Lompat ke isi

Suku Gayo: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
k Etnik
 
(56 revisi perantara oleh 22 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{Infobox ethnic group
{{Infobox ethnic group
|group = Urang Gayo
|group = Urang Gayo
|image = [[Berkas:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Groepsportret_van_Gajo_bevolking_in_een_dorp_bij_het_meer_van_Takingeun_TMnr_60034981.jpg|350px]]
|image = [[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Groepsportret van Gajo bevolking in een dorp bij het meer van Takingeun TMnr 60034981.jpg|350px]]
|caption = Sekelompok orang Gayo di [[Takengon]] tahun 1922
|caption = Sekelompok orang Gayo di [[Takengon (kota)|Takengon]] tahun 1922
|poptime = 336.856<ref>[http://books.google.co.id/books?id=crKfCgAAQBAJ&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false Demography of Indonesia's Ethnicity] page 120</ref>
|poptime = 336.856<ref>[http://books.google.co.id/books?id=crKfCgAAQBAJ&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false Demography of Indonesia's Ethnicity] page 120</ref>
|popplace = [[Aceh Tengah]], [[Bener Meriah]], [[Gayo Lues]], [[Aceh Timur]], [[Aceh Tamiang]]
|popplace = [[Aceh Tengah]], [[Bener Meriah]], [[Gayo Lues]]
|langs = [[Bahasa Gayo|Gayo]]
|langs = [[Bahasa Gayo|Gayo]]
|rels = [[Islam]]
|rels = '''Mayoritas''' <br> [[Islam]]
|related = [[Suku Alas|Alas]], [[Suku Kluet|Kluet]], [[Suku Batak|Batak]], [[Suku Singkil|Singkil]], [[Suku Devayan|Devayan]], [[Suku Nias|Nias]], [[Suku Enggano|Enggano]], [[Suku Aceh|Aceh]]|native_name=}}
}}
'''Gayo''' adalah salah satu [[suku]] bangsa yang mendiami dataran tinggi Gayo di Provinsi [[Aceh]] bagian tengah. Berdasarkan sensus 2010 jumlah suku Gayo yang mendiami provinsi Aceh mencapai 336.856 jiwa.<ref>{{cite book

'''Suku Gayo,''' merupakan salah satu suku bangsa yang mendiami dataran tinggi Gayo di Provinsi [[Aceh]] bagian tengah. Berdasarkan sensus 2010 jumlah suku Gayo yang mendiami provinsi Aceh mencapai 336.856 jiwa.<ref>{{cite book
|last = Aris Ananta, Evi Nurvidya Arifin, M. Sairi Hasbullah, Nur Budi Handayani, dan Agus Pramono
|last = Aris Ananta, Evi Nurvidya Arifin, M. Sairi Hasbullah, Nur Budi Handayani, dan Agus Pramono
|first =
|first =
Baris 19: Baris 18:
|page = 120
|page = 120
|accessdate =
|accessdate =
|isbn = }}</ref> Wilayah tradisional suku Gayo meliputi Kabupaten [[Kabupaten Aceh Tengah|Aceh Tengah]], Kabupaten [[Kabupaten Bener Meriah|Bener Meriah]], Kabupaten [[Kabupaten Gayo Lues|Gayo Lues]], dan beberapa sebarannya di Kabupaten [[Kabupaten Aceh Tenggara|Aceh Tenggara]].
|isbn = }}</ref>
Wilayah tradisional suku Gayo meliputi kabupaten [[Kabupaten Aceh Tengah|Aceh Tengah]], [[Kabupaten Bener Meriah|Bener Meriah]] dan [[Kabupaten Gayo Lues|Gayo Lues]].


== Bahasa ==
== Bahasa ==
{{Utama|Bahasa Gayo}}
[[Bahasa Gayo]] adalah bahasa yang dipakai sebagai bahasa sehari-hari oleh suku Gayo. Bahasa Gayo ini mempunyai keterkaitan dengan bahasa Suku [[Batak Karo|Karo]] di [[Sumatra Utara]]. Bahasa ini termasuk kelompok bahasa yang disebut "Northwest Sumatra-Barrier Islands" dari rumpun bahasa Austronesia.
Bahasa Gayo adalah [[bahasa]] yang dipakai sebagai bahasa sehari-hari oleh masyarakat Gayo. Bahasa ini termasuk kelompok bahasa yang disebut "Northwest Sumatra-Barrier Islands" dari rumpun bahasa [[Rumpun bahasa Austronesia|Austronesia.]]


Pengaruh dari luar yaitu bahasa di luar bahasa Gayo turut mempengaruhi variasi dialek tersebut. Bahasa Gayo yang ada di Lokop, sedikit berbeda dengan bahasa Gayo yang ada di Gayo Kalul, Gayo Lut, [[Kerajaan Linge|Linge]] dan Gayo Lues. Hal tersebut disebabkan karena pengaruh bahasa Aceh yang lebih dominan di Aceh Timur. Begitu juga halnya dengan Gayo Kalul, di Aceh Tamiang, sedikit banyak terdapat pengaruh Melayu karena lebih dekat ke Sumatra Utara. Kemudian, Gayo Lues lebih dipengaruhi oleh bahasa Alas dan bahasa Karo karena interaksi yang lebih banyak dengan kedua suku tersebut lebih-lebih komunitas Gayo yang ada di kabupaten Aceh Tenggara yang disebut Gayo Alas.
Pengaruh dari luar yaitu bahasa di luar bahasa Gayo turut mempengaruhi variasi dialek tersebut. Bahasa Gayo yang ada di Lokop, sedikit berbeda dengan bahasa Gayo yang ada di Gayo Kalul, Gayo Lut, [[Kerajaan Linge|Linge]], dan Gayo Lues. Hal tersebut disebabkan karena pengaruh bahasa [[Bahasa Aceh|Aceh]] yang lebih dominan di [[Kabupaten Aceh Timur|Aceh Timur]]. Begitu juga halnya dengan Gayo Kalul, di [[Kabupaten Aceh Tamiang|Aceh Tamiang]], sedikit banyak terdapat pengaruh [[Suku Melayu|Melayu]] karena lebih dekat ke [[Sumatera Utara]], Kemudian Gayo Lues lebih dipengaruhi oleh bahasa [[Bahasa Alas-Kluet|Alas]] karena interaksi yang lebih banyak dengan masyarakat [[Suku Alas|Alas]].


Dialek pada suku Gayo, menurut M.J. Melalatoa, dialek Gayo Lut terdiri dari subdialek Gayo Lut dan Deret, sedangkan Bukit dan Cik merupakan sub-subdialek. Demikian pula dengan dialek Gayo Lues terdiri dari subdialek Gayo Lues Gayo Alas,Gayo Serbejadi. Subdialek Serbejadi sendiri meliputi sub-subdialek Serbejadi, Lokop dan Kalul (1981:53). Sementara Baihaqi Ak., dkk menyebut jumlah dialek bahasa Gayo sesuai dengan persebaran [[suku Gayo]] tadi (Gayo Lut, Deret, Gayo Lues, Gayo Alas, Gayo Lokop/Serbejadi dan Gayo Kalul). Namun demikian, dialek Gayo Lues,Gayo Alas, Gayo Lut, Gayo Lukup/Serbejadi,Gayo Kalul dan Gayo Deret dapat dikatakan sama atau amat berdekatan. Di Gayo Lut sendiri terdapat dua dialek yang disana dinamakan dialek Bukit dan Cik (1981:1).
Dialek pada suku Gayo, menurut M.J. Melalatoa, dialek Gayo Lut terdiri dari subdialek Gayo Lut dan Deret, sedangkan Bukit dan Cik merupakan sub-subdialek. Demikian pula dengan dialek Gayo Lues terdiri dari subdialek Gayo Lues, Gayo-Alas,Gayo Serbejadi. Subdialek Serbejadi sendiri meliputi sub-subdialek Serbejadi, Lokop dan Kalul (1981:53). Sementara Baihaqi Ak., dkk menyebut jumlah dialek bahasa Gayo sesuai dengan persebaran suku Gayo tadi (Gayo Lut, Deret, Gayo Lues, Gayo-Alas, Gayo Lokop/Serbejadi dan Gayo Kalul). Namun demikian, dialek Gayo Lues, Gayo-Alas, Gayo Lut, Gayo Lukup/Serbejadi, Gayo Kalul, dan Gayo Deret dapat dikatakan sama atau amat berdekatan. Di Gayo Lut sendiri terdapat dua dialek yang di sana dinamakan dialek Bukit dan Cik (1981:1).


Dalam bahasa Gayo, (memanggil seseorang) dengan panggilan yang berbeda, untuk menunjukan tata krama, sopan santun dan rasa hormat. Pemakaian ''ko'' dan ''kam'', yang keduanya berarti kamu (anda). Panggilan ''ko'' biasa digunakan dari orang tua dan/atau lebih tua kepada yang lebih muda. Kata ''kam'' sendiri lebih sopan dibandingkan dengan ''ko''. Bahasa Gayo Lut dinilai lebih sopan dan halus dibandingkan dengan bahasa Gayo lainnya.
Dalam bahasa [[Bahasa Gayo|Gayo]], (memanggil seseorang) dengan panggilan yang berbeda, untuk menunjukan tata krama, sopan santun dan rasa hormat. Pemakaian ''ko'' dan ''kam'', yang keduanya berarti kamu (Anda). Panggilan ''ko'' biasa digunakan dari orang tua dan/atau lebih tua kepada yang lebih muda. Kata ''kam'' sendiri lebih sopan dibandingkan dengan ''ko''. Bahasa Gayo Lut dinilai lebih sopan dan halus dibandingkan dengan bahasa Gayo lainnya.


== Marga ==
== Marga ==
[[Berkas:Pacuan Kuda Tradisional.jpg|jmpl|300px|Pacuan kuda tradisional Gayo]]
[[Berkas:Pacuan Kuda Tradisional.jpg|jmpl|300px|Pacuan kuda tradisional Gayo.]]

Walaupun sebagian besar masyarakat suku Gayo tidak mencantumkan nama marganya, tetapi sebagian kecil masih ada yang menabalkan atau mencantumkan nama marga-marganya, terutama yang bermukim di wilayah Bebesen.Sebenarnya marga itu hanya untuk mengetahui asal/garis keturunan individu itu sendiri, makanya di suku gayo marga tidak terlalu di pentingkan. Berikut daftar marga-marga pada suku Gayo:


Walaupun sebagian besar masyarakat Gayo tidak mencantumkan nama marganya, tetapi sebagian kecil masih ada yang menabalkan atau mencantumkan nama marga-marganya, terutama yang bermukim di wilayah Bebesen. Sebenarnya marga itu hanya untuk mengetahui asal/garis keturunan individu itu sendiri, makanya di suku gayo marga tidak terlalu di pentingkan. Berikut daftar marga-marga pada suku Gayo:
'''Marga Uken'''
'''Marga Uken'''
*Bukit (Bukit Eweh/Bukit Lah)
*Bukit (Bukit Eweh/Bukit Lah)
Baris 41: Baris 40:
*Gunung
*Gunung
*Kala
*Kala

'''''Marga Toa'''''
'''''Marga Toa'''''
*Ariga
*[[Tarigan|Ariga]]
*Cibero
*[[Siboro|Cibero]]
*Melala
*[[Meliala|Melala]]
*Munte
*[[Munte]]
*Tebe
*Tebe

'''''Marga lain-lain'''''
'''''Marga lain-lain'''''
*Alga
*Alga
*Linge
*Linge
*Gading
*Uning
*Reje Guru
*Lot
Terdapat lima buah marga utama (''belah'') di wilayah [[Bebesen, Aceh Tengah|Bebesen]], yaitu Linge, Munte, Cebero, Tene, dan Melala. Kelima marga ini merupakan keturunan [[Suku Batak|Batak]].{{Sfn|Hurgronje|Asnah|p=37, 38}} Reje Linge yang merupakan salah satu penguasa (''reje'') yang ternama di Tanah Gayo dan memerintah di daerah aliran Sungai Jemer merupakan keturunan [[Suku Karo|Batak Karo]].{{Sfn|Hurgronje|Asnah|p=39}} Ketika rombongan kerabat Sibayak Lingga dari [[Kabupaten Karo|Tanah Karo]] datang mengunjungi Reje Linge, mereka diberi hadiah berupa pakaian dan senjata oleh Raja Linge. Selain itu, Raja Linge pernah membantu saudara-saudaranya di Tanah Karo dalam menyelesaikan suatu pertempuran.{{Sfn|Hurgronje|Asnah|p=39}}


== Sejarah ==
==Sejarah==
Pada abad ke-11, [[Kerajaan Linge]] didirikan oleh orang-orang Gayo pada era pemerintahan Sultan Makhdum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari [[Kesultanan Perlak]]. Informasi ini diketahui dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesen dan dari Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja pada era kolonial Belanda.
Pada abad ke-11, [[Kerajaan Linge]] didirikan oleh orang-orang Gayo pada era pemerintahan [[Sultan Makhdum Johan]] Berdaulat [[Mahmud Syah dari Melaka|Mahmud Syah]] dari [[Kesultanan Perlak]]. Informasi ini diketahui dari keterangan [[Raja Uyem]] dan anaknya Raja Ranta yaitu [[Raja Cik Bebesen]] dan dari Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja pada era kolonial [[Hindia Belanda|Belanda]].

Raja Linge I, disebutkan mempunyai 4 orang anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga (Ali Syah), Meurah Johan (Johan Syah) dan Meurah Lingga (Malamsyah).
Raja Linge I, disebutkan mempunyai 4 orang anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga (Ali Syah), Meurah Johan (Johan Syah), dan Meurah Lingga (Malamsyah).

Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah [[Karo]] dan membuka negeri di sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke [[Aceh Besar]] dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lam Krak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamuri atau [[Kesultanan Lamuri]]. Ini berarti Kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, [[Gayo]], yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai [[Kesultanan Daya]] di Pasai. Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wih ni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge, [[Aceh Tengah]]. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.
Sebayak Lingga kemudian merantau ke [[Tanah Karo]] dan membuka negeri di sana. Ia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke [[Kabupaten Aceh Besar|Aceh Besar]] dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lam Krak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamuri atau [[Kerajaan Lamuri]]. Ini berarti Kerajaan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai [[Kesultanan Daya]] di Pasai. Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wih ni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge, [[Kabupaten Aceh Tengah|Aceh Tengah]]. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.

Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja Linge lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.<ref>M. Junus Djamil. 1959. Gajah Putih. Lembaga Kebudayaan Atjeh. Kutaraja</ref>
Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja Linge lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.<ref>M. Junus Djamil. 1959. Gajah Putih. Lembaga Kebudayaan Atjeh. Kutaraja</ref>

=== Dinasti Lingga ===
=== Dinasti Lingga ===
# Adi Genali Raja Linge I di [[Gayo]]
# Adi Genali Raja Linge I di Gayo
## Raja Sebayak Lingga di Tanah Karo. Menjadi Raja Karo
## Raja Sebayak Lingga di Tanah Karo. Menjadi Raja Karo
## Raja Meurah Johan (pendiri Kesultanan Lamuri)
## Raja Meurah Johan (pendiri Kesultanan Lamuri)
Baris 70: Baris 74:
# Raja Lingga III-XII di Gayo
# Raja Lingga III-XII di Gayo
# Raja Lingga XIII menjadi Amir al-Harb Kesultanan Aceh. Pada tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru di Malaysia yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Mansyur Syah. Raja Lingga XIII diangkat menjadi kabinet di kerajaan baru tersebut. Keturunannya mendirikan Kesultanan Lingga di kepulauan Riau, pulau Lingga, yang kedaulatannya mencakup Riau (Indonesia), Temasek (Singapura) dan sedikit wilayah Malaysia.
# Raja Lingga XIII menjadi Amir al-Harb Kesultanan Aceh. Pada tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru di Malaysia yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Mansyur Syah. Raja Lingga XIII diangkat menjadi kabinet di kerajaan baru tersebut. Keturunannya mendirikan Kesultanan Lingga di kepulauan Riau, pulau Lingga, yang kedaulatannya mencakup Riau (Indonesia), Temasek (Singapura) dan sedikit wilayah Malaysia.

Raja-raja di Sebayak Lingga Karo tidak terdokumentasi. Pada era Belanda kembali diangkat raja-rajanya tetapi hanya dua era
Raja-raja di Sebayak Lingga Karo tidak terdokumentasi. Pada era Belanda kembali diangkat raja-rajanya tetapi hanya dua era
# Raja Sendi Sibayak Lingga (pilihan Belanda)
# Raja Sendi Sibayak Lingga (pilihan Belanda)
Baris 76: Baris 80:


== Kehidupan sosial ==
== Kehidupan sosial ==
[[Berkas:Umah-Pitu-Ruang-Gayo.jpg|jmpl|200px|Rumah Adat Gayo Pitu Ruang]]
[[Berkas:Umah-Pitu-Ruang-Gayo.jpg|jmpl|200px|Rumah tradisional masyarakat Gayo (Pitu Ruang).]]


Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut ''kampong''. Setiap kampong dikepalai oleh seorang ''gecik''. Kumpulan beberapa kampung disebut ''kemukiman'', yang dipimpin oleh ''mukim''. Sistem pemerintahan tradisional berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat, terdiri dari ''reje'' (raja), ''petue'' (petua), ''imem'' (imam), dan ''rayat'' (rakyat).
Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut ''kampong''. Setiap kampong dikepalai oleh seorang ''gecik''. Kumpulan beberapa kampung disebut ''kemukiman'', yang dipimpin oleh ''mukim''. Sistem pemerintahan tradisional berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat, terdiri dari ''reje'' (raja), ''petue'' (petua), ''imem'' (imam), dan ''rayat'' (rakyat).
Baris 82: Baris 86:
Pada masa sekarang beberapa buah kemukiman merupakan bagian dari kecamatan, dengan unsur-unsur kepemimpinan terdiri atas: ''gecik'', ''wakil gecik'', ''imem'', dan cerdik pandai yang mewakili rakyat.
Pada masa sekarang beberapa buah kemukiman merupakan bagian dari kecamatan, dengan unsur-unsur kepemimpinan terdiri atas: ''gecik'', ''wakil gecik'', ''imem'', dan cerdik pandai yang mewakili rakyat.


Sebuah kampong biasanya dihuni oleh beberapa kelompok ''belah'' (klan). Anggota-anggota suatu belah merasa berasal dari satu nenek moyang, masih saling mengenal, dan mengembangkan hubungan tetap dalam berbagai upacara [[adat]]. Garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip [[patrilineal]]. Sistem perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah eksogami ''belah'', dengan adat menetap sesudah nikah yang [[patrilokal]] (''juelen'') atau [[matrilokal]] (''angkap'').
Sebuah kampong biasanya dihuni oleh beberapa kelompok ''belah'' (klan). Anggota-anggota suatu belah merasa berasal dari satu nenek moyang, masih saling mengenal, dan mengembangkan hubungan tetap dalam berbagai upacara [[adat]]. Garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip [[Patrilinealitas|patrilineal]]. Sistem perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah eksogami ''belah'', dengan adat menetap sesudah nikah yang [[patrilokal]] (''juelen'') atau [[matrilokal]] (''angkap'').

Kelompok kekerabatan terkecil disebut ''sara ine'' (keluarga inti). Kesatuan beberapa keluarga inti disebut ''sara dapur''. Pada masa lalu beberapa ''sara dapur'' tinggal bersama dalam sebuah rumah panjang, sehingga disebut ''sara umah''. Beberapa buah rumah panjang bergabung ke dalam satu ''belah'' (klan). Pada masa sekarang banyak keluarga inti yang mendiami rumah sendiri. Pada masa lalu orang Gayo terutama mengembangkan mata pencaharian bertani di [[sawah]] dan beternak, dengan adat istiadat mata pencaharian yang rumit.

Selain itu ada penduduk yang berkebun, menangkap [[ikan]], dan meramu hasil [[hutan]]. Mereka juga mengembangkan kerajinan membuat [[keramik]], menganyam, dan menenun. Kini mata pencaharian yang dominan adalah berkebun, terutama tanaman [[kopi gayo]]. Kerajinan membuat keramik dan anyaman pernah terancam punah, namun dengan dijadikannya daerah ini sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Aceh, kerajinan keramik mulai dikembangkan lagi. Kerajinan lain yang juga banyak mendapat perhatian adalah kerajinan membuat sulaman [[kerawang]] dengan motif yang khas. Kerajianan ini menjadi salah satu sumber perekonomian masayarakat suku Gayo. Banyak wisatawan yang berkunjung ke gayo dan menjadikan kerajinan yang dihasilkan oleh masyarakat Gayo sebagai oleh-oleh mereka ketika berkunjung.

== Kekerabatan ==
Hubungan kekerabatan yang terdapat dalam masyarakat di Tanah Gayo, yaitu:{{Sfn|Hurgronje|Asnah|p=235-239}}
* ''Saudere'', ''sara reje'', atau ''sara kampung'', yakni semua lelaki yang berada di bawah kepemimpinan seorang ''reje''.
* ''Wali'' atau ''sara asal'', yakni semua lelaki yang berasal dari kepimpinan ''reje'' yang berbeda, namun merupakan satu keturunan patrilineal.
* ''Ama'', yaitu ayah. Ayah kandung disebut ''ama pedih'' atau ''ama pedehe''. Kerabat yang berasal dari pihak ayah juga disebut ''ama'' dengan keterangan tambahan, seperti ''ama uwe'' untuk saudara laki-laki ayah yang lebih tua, ''ama lah'' atau ''ama ngah'' untuk saudara laki-laki yang lebih muda, dan ''ama encu'' untuk saudara laki-laki ayah yang paling bungsu.
* ''Ine'', yaitu ibu. Ibu kandung disebut ''ine pedih'' atau ''ine pedehe''. Semua saudara-saudara perempuan ibu secara patrilineal juga disebut ''ine'' dengan sebutan tambahan, seperti ''uwe'', ''lah'' atau ''ngah'' dan ''encu''.
* ''Ibi'' atau ''bibi'', yaitu saudara perempuan ayah.
* ''Empu rawan'', yaitu kakek.
* ''Empu banan'', yaitu nenek.
* ''Empu ralik'' atau ''datu ralik'' adalah kakek/nenek dari pihak ibu.
* ''Ralik'' yaitu hubungan kekerabatan dari pihak (''belah'') ibu.
* ''Sara ralik'', yaitu hubungan kekerabatan antara dua laki-laki yang menikahi dua perempuan dari ''belah'' yang sama.
* ''Dengan'', yaitu panggilan saudara perempuan kepada saudara laki-lakinya dan sebaliknya.
* ''Sarine'', yaitu hubungan kekerabatan antara saudara segenerasi secara patrilineal.
* ''Impel'', yaitu anak-anak dari ''pun'' dan ''bibi''.
* ''Mpurah'', yaitu mertua, termasuk saudara-saudara segenerasi dari mertua.
* ''Kile'', yaitu menantu laki-laki.
* ''Pemen'' atau ''pemaen'', yaitu menantu perempuan.
* ''Era'', yaitu hubungan kekerabatan antara laki-laki dengan istri saudaranya dan perempuan dengan saudara laki-laki dari suaminya.
* ''Lakun'', yaitu hubungan kekerabatan laki-laki dari pihak ''sarine'' terhadap ''dengan'' dari istrinya.
* ''Kawe'', yaitu adik perempuan.
* ''Kil'', yaitu suami dari bibi.
* ''Until'', yaitu keponakan dari saudara laki-laki.
* ''Pun'', yaitu saudara laki-laki ibu.
* ''Inepun'', yaitu istri dari saudara laki-laki ibu.
* ''Ndue'', yaitu hubungan kekerabatan antara dua perempuan yang menikahi dua laki-laki yang bersaudara (''sarine'').
* ''Biak'', yaitu hubungan kekerabatan yang dihubungkan atas perkawinan.
* ''Lat bei'', yaitu semua istri yang sudah kawin dari ''ralik''.
* ''Periban'', yaitu hubungan kekerabatan antara orang-orang yang menikahi perempuan yang bersaudara (''sarine'').


Kelompok kekerabatan terkecil disebut ''sara ine'' (keluarga inti). Kesatuan beberapa keluarga inti disebut ''sara dapur''. Pada masa lalu beberapa ''sara dapur'' tinggal bersama dalam sebuah rumah panjang, sehingga disebut ''sara umah''. Beberapa buah rumah panjang bergabung ke dalam satu ''belah'' (klan). Pada masa sekarang banyak keluarga inti yang mendiami rumah sendiri. Pada masa lalu orang [[Gayo]] terutama mengembangkan mata pencaharian bertani di [[sawah]] dan beternak, dengan [[adat]] istiadat mata pencaharian yang rumit.


Selain itu ada penduduk yang berkebun, menangkap [[ikan]], dan meramu hasil [[hutan]]. Mereka juga mengembangkan kerajinan membuat [[keramik]], menganyam, dan menenun. Kini mata pencaharian yang dominan adalah berkebun, terutama tanaman [[Kopi Gayo]]. Kerajinan membuat keramik dan anyaman pernah terancam punah, namun dengan dijadikannya daerah ini sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Aceh, kerajinan keramik mulai dikembangkan lagi. Kerajinan lain yang juga banyak mendapat perhatian adalah kerajinan membuat sulaman [[kerawang]] dengan motif yang khas.
== Seni budaya ==
== Seni budaya ==
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Graf in de Gajolanden Atjeh TMnr 60038907.jpg|jmpl|200px|Kubur tradisional orang Gayo]]
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Graf in de Gajolanden Atjeh TMnr 60038907.jpg|jmpl|200px|Kuburan tradisional masyarakat Gayo.]]
[[Berkas:Kerawang Gayo.png|jmpl|200x200px|Motif tradisional Gayo]]
[[Berkas:Kerawang Gayo.png|jmpl|200x200px|Motif tradisional Gayo.]]
Suatu unsur [[budaya]] yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo adalah kesenian, yang hampir tidak pernah mengalami kemandekan bahkan cenderung berkembang. Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, antara lain [[tari Saman]] dan seni bertutur yang disebut [[Didong]]. Selain untuk hiburan dan rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual, pendidikan, penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan struktur sosial masyarakat. Di samping itu ada pula bentuk kesenian seperti tari Bines, tari Guel, tari Munalu, ''Sebuku /Pepongoten'' (seni meratap dalam bentuk prosa), ''guru didong'', dan ''melengkan'' (seni berpidato berdasarkan adat).
Suatu unsur [[budaya]] yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo adalah kesenian, yang hampir tidak pernah mengalami kemandekan bahkan cenderung berkembang. Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, antara lain [[tari saman]] dan seni bertutur yang disebut [[Didong]]. Selain untuk hiburan dan rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual, pendidikan, penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan struktur sosial masyarakat. Di samping itu ada pula bentuk kesenian seperti tari Bines, tari Guel, tari Munalu, ''Sebuku /Pepongoten'' (seni meratap dalam bentuk prosa), ''guru didong'', dan ''melengkan'' (seni berpidato berdasarkan adat).


Dalam seluruh segi kehidupan, orang Gayo memiliki dan membudayakan sejumlah nilai budaya sebagai acuan tingkah laku untuk mencapai ketertiban, disiplin, kesetiakawanan, gotong royong, dan rajin (''mutentu''). Pengalaman nilai budaya ini dipacu oleh suatu nilai yang disebut ''bersikemelen'', yaitu persaingan yang mewujudkan suatu nilai dasar mengenai harga diri (''mukemel''). Nilai-nilai ini diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti dalam bidang ekonomi, kesenian, kekerabatan, dan pendidikan. Sumber dari nilai-nilai tersebut adalah agama Islam serta adat setempat yang dianut oleh seluruh masyarakat Gayo.
Dalam seluruh segi kehidupan, orang Gayo memiliki dan membudayakan sejumlah nilai budaya sebagai acuan tingkah laku untuk mencapai ketertiban, disiplin, kesetiakawanan, gotong royong, dan rajin (''mutentu''). Pengalaman nilai budaya ini dipacu oleh suatu nilai yang disebut ''bersikemelen'', yaitu persaingan yang mewujudkan suatu nilai dasar mengenai harga diri (''mukemel''). Nilai-nilai ini diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti dalam bidang ekonomi, kesenian, kekerabatan, dan pendidikan. Sumber dari nilai-nilai tersebut adalah agama Islam serta adat setempat yang dianut oleh seluruh masyarakat Gayo.


== Seni dan tarian ==
== Seni dan tarian ==
Beberapa seni dan tarian Gayo, di antaranya adalah:
{{Col|2}}
* [[Didong]]
* [[Didong]]
* Didong Niet
* Didong Niet
* [[Tari Saman]]
* [[Tari saman]]
* [[Tari Bines]]
* [[Tari bines]]
* [[Tari Guel]]
* [[Tari guel]]
* Tari Munalu
* Tari munalu
* Tari Sining
* Tari sining
* Tari Turun ku Aih Aunen
* Tari turun ku aih aunen
* Tari Resam Berume
* Tari resam berume
* Tuah Kukur
* Tuah Kukur
* Melengkanu
* Melengkan
{{EndDiv}}
* Dabus


{| class="wikitable"
{| class="wikitable"
Baris 112: Baris 150:
! [[Didong]]!! [[Tari Saman]] !! [[Tari Guel]]
! [[Didong]]!! [[Tari Saman]] !! [[Tari Guel]]
|-
|-
| [[Berkas:Didong.jpg|150px]]||[[Berkas:The_Gesture_of_Aceh_Corner_01.jpg|150px]]|| [[Berkas:Guel dance.jpg|100px]]
| [[Berkas:Didong.jpg|150px]]||[[Berkas:The Gesture of Aceh Corner 01.jpg|150px]]|| [[Berkas:Guel dance.jpg|100px]]
|}
|}


== Makanan khas ==
== Makanan khas ==
Beberapa makanan khas Gayo, di antaranya adalah:
* Masam Jaeng
{{Col|2}}
* Gutel
* Masam jaeng
* Lepat
* Pulut Bekuah
* Pulut bekuah
* Cecah
* Cecah agur
* Cecah terong
* Pengat
* Apam
* [[Pengat]]
* Gegaloh
* Gegaloh
* Lepat petukel
* Se
* [[Gutel]]
{{EndDiv}}


== Galeri ==
== Galeri ==
<gallery>
<Gallery>
File:COLLECTIE TROPENMUSEUM Gajosche djingki's voor het stampen van padi Sumatra TMnr 10011222.jpg|Orang Gayo
File:COLLECTIE TROPENMUSEUM Gajosche djingki's voor het stampen van padi Sumatra TMnr 10011222.jpg|Orang Gayo.
file:COLLECTIE TROPENMUSEUM Houtvesters en dragers in een bivak in de Isak-vallei Gajolanden TMnr 60023620.jpg|Urang Gayo
file:COLLECTIE TROPENMUSEUM Houtvesters en dragers in een bivak in de Isak-vallei Gajolanden TMnr 60023620.jpg|Urang Gayo.
File:Danau Laut Tawar.jpg|Danau Laut Tawar, Takengon (Aceh Tengah)
File:Danau Laut Tawar.jpg|[[Danau Laut Tawar]] di [[Kabupaten Aceh Tengah]].
</gallery>
</Gallery>


== Sumber ==
== Referensi ==
{{Reflist}}
<references/>
=== Daftar pustaka ===
{{refbegin}}
* {{Cite book|last1=Hurgronje|first1=C. Snouck|translator-last=Asnah|translator-first=Hatta Hasan Aman|date=1996|url=https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=116416|title=Gayo: Masyarakat dan Kebudayaannya Awal Abad ke-20|location=[[Daerah Khusus Ibukota Jakarta|Jakarta]]|publisher=[[Balai Pustaka]]|isbn=979407988x|url-status=live}|ref={{sfnref|Hurgronje|Asnah|1996}}}}
{{refend}}


== Bacaan lanjutan ==
== Bacaan lanjutan ==
Baris 139: Baris 185:
* Bowen, John Richard, 1993,"Return to Sender: A Muslim Discourse of Sorcery in a Relatively Egalitarian Society, the Gayo of Nothern Sumatra", in C. W. Watson and Roy Ellen (Eds.), Understanding Witchcraft and Sorcery in Southeast Asia, Honolulu-Hawaii: University of Hawaii Press.
* Bowen, John Richard, 1993,"Return to Sender: A Muslim Discourse of Sorcery in a Relatively Egalitarian Society, the Gayo of Nothern Sumatra", in C. W. Watson and Roy Ellen (Eds.), Understanding Witchcraft and Sorcery in Southeast Asia, Honolulu-Hawaii: University of Hawaii Press.
* Bowen, John Richard, 1993, "Muslims Through Discourse : Religion and Ritual in Gayo Society", Princeton, N.J. : Princeton University Press.
* Bowen, John Richard, 1993, "Muslims Through Discourse : Religion and Ritual in Gayo Society", Princeton, N.J. : Princeton University Press.
* SNOUCK HURGRONJE, C., - Het Gajoland en zijne bewoners.
* Ibrahim, Mahmud, 2007, "Mujahid Dataran Tinggi Gayo", Yayasan Maqamammahmuda.
* Ibrahim, Mahmud, 2007, "Mujahid Dataran Tinggi Gayo", Yayasan Maqamammahmuda.
* Wiradyana, Ketut dan Setiawan, Taufiqurrahman, 2011, "Gayo Merangkai Identitas", Gudang Penerbit.
* Wiradyana, Ketut dan Setiawan, Taufiqurrahman, 2011, "Gayo Merangkai Identitas", Gudang Penerbit.


{{Suku bangsa di Indonesia}}
{{Suku bangsa di Indonesia}}

[[Kategori:Aceh]]
[[Kategori:Suku Gayo]]
[[Kategori:Suku Gayo]]
[[Kategori:Suku bangsa di Aceh]]
[[Kategori:Suku bangsa di Aceh]]
[[Kategori:Suku bangsa di Sumatra]]
[[Kategori:Kelompok etnik di Indonesia]]

Revisi terkini sejak 12 Juli 2024 11.11

Urang Gayo
Sekelompok orang Gayo di Takengon tahun 1922
Daerah dengan populasi signifikan
Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues
Bahasa
Gayo
Agama
Mayoritas
Islam
Kelompok etnik terkait
Alas, Kluet, Batak, Singkil, Devayan, Nias, Enggano, Aceh

Gayo adalah salah satu suku bangsa yang mendiami dataran tinggi Gayo di Provinsi Aceh bagian tengah. Berdasarkan sensus 2010 jumlah suku Gayo yang mendiami provinsi Aceh mencapai 336.856 jiwa.[1] Wilayah tradisional suku Gayo meliputi Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Gayo Lues, dan beberapa sebarannya di Kabupaten Aceh Tenggara.

Bahasa Gayo adalah bahasa yang dipakai sebagai bahasa sehari-hari oleh masyarakat Gayo. Bahasa ini termasuk kelompok bahasa yang disebut "Northwest Sumatra-Barrier Islands" dari rumpun bahasa Austronesia.

Pengaruh dari luar yaitu bahasa di luar bahasa Gayo turut mempengaruhi variasi dialek tersebut. Bahasa Gayo yang ada di Lokop, sedikit berbeda dengan bahasa Gayo yang ada di Gayo Kalul, Gayo Lut, Linge, dan Gayo Lues. Hal tersebut disebabkan karena pengaruh bahasa Aceh yang lebih dominan di Aceh Timur. Begitu juga halnya dengan Gayo Kalul, di Aceh Tamiang, sedikit banyak terdapat pengaruh Melayu karena lebih dekat ke Sumatera Utara, Kemudian Gayo Lues lebih dipengaruhi oleh bahasa Alas karena interaksi yang lebih banyak dengan masyarakat Alas.

Dialek pada suku Gayo, menurut M.J. Melalatoa, dialek Gayo Lut terdiri dari subdialek Gayo Lut dan Deret, sedangkan Bukit dan Cik merupakan sub-subdialek. Demikian pula dengan dialek Gayo Lues terdiri dari subdialek Gayo Lues, Gayo-Alas,Gayo Serbejadi. Subdialek Serbejadi sendiri meliputi sub-subdialek Serbejadi, Lokop dan Kalul (1981:53). Sementara Baihaqi Ak., dkk menyebut jumlah dialek bahasa Gayo sesuai dengan persebaran suku Gayo tadi (Gayo Lut, Deret, Gayo Lues, Gayo-Alas, Gayo Lokop/Serbejadi dan Gayo Kalul). Namun demikian, dialek Gayo Lues, Gayo-Alas, Gayo Lut, Gayo Lukup/Serbejadi, Gayo Kalul, dan Gayo Deret dapat dikatakan sama atau amat berdekatan. Di Gayo Lut sendiri terdapat dua dialek yang di sana dinamakan dialek Bukit dan Cik (1981:1).

Dalam bahasa Gayo, (memanggil seseorang) dengan panggilan yang berbeda, untuk menunjukan tata krama, sopan santun dan rasa hormat. Pemakaian ko dan kam, yang keduanya berarti kamu (Anda). Panggilan ko biasa digunakan dari orang tua dan/atau lebih tua kepada yang lebih muda. Kata kam sendiri lebih sopan dibandingkan dengan ko. Bahasa Gayo Lut dinilai lebih sopan dan halus dibandingkan dengan bahasa Gayo lainnya.

Pacuan kuda tradisional Gayo.

Walaupun sebagian besar masyarakat Gayo tidak mencantumkan nama marganya, tetapi sebagian kecil masih ada yang menabalkan atau mencantumkan nama marga-marganya, terutama yang bermukim di wilayah Bebesen. Sebenarnya marga itu hanya untuk mengetahui asal/garis keturunan individu itu sendiri, makanya di suku gayo marga tidak terlalu di pentingkan. Berikut daftar marga-marga pada suku Gayo:

Marga Uken

  • Bukit (Bukit Eweh/Bukit Lah)
  • Jongok
  • Gunung
  • Kala

Marga Toa

Marga lain-lain

  • Alga
  • Linge
  • Gading
  • Uning
  • Reje Guru
  • Lot

Terdapat lima buah marga utama (belah) di wilayah Bebesen, yaitu Linge, Munte, Cebero, Tene, dan Melala. Kelima marga ini merupakan keturunan Batak.[2] Reje Linge yang merupakan salah satu penguasa (reje) yang ternama di Tanah Gayo dan memerintah di daerah aliran Sungai Jemer merupakan keturunan Batak Karo.[3] Ketika rombongan kerabat Sibayak Lingga dari Tanah Karo datang mengunjungi Reje Linge, mereka diberi hadiah berupa pakaian dan senjata oleh Raja Linge. Selain itu, Raja Linge pernah membantu saudara-saudaranya di Tanah Karo dalam menyelesaikan suatu pertempuran.[3]

Pada abad ke-11, Kerajaan Linge didirikan oleh orang-orang Gayo pada era pemerintahan Sultan Makhdum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kesultanan Perlak. Informasi ini diketahui dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesen dan dari Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja pada era kolonial Belanda.

Raja Linge I, disebutkan mempunyai 4 orang anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga (Ali Syah), Meurah Johan (Johan Syah), dan Meurah Lingga (Malamsyah).

Sebayak Lingga kemudian merantau ke Tanah Karo dan membuka negeri di sana. Ia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lam Krak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamuri atau Kerajaan Lamuri. Ini berarti Kerajaan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wih ni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge, Aceh Tengah. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.

Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja Linge lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.[4]

Dinasti Lingga

[sunting | sunting sumber]
  1. Adi Genali Raja Linge I di Gayo
    1. Raja Sebayak Lingga di Tanah Karo. Menjadi Raja Karo
    2. Raja Meurah Johan (pendiri Kesultanan Lamuri)
    3. Meurah Silu anak dari Meurah Sinabung (pendiri Kesultanan Samudera Pasai), dan
  2. Raja Linge II alias Marah Lingga di Gayo
  3. Raja Lingga III-XII di Gayo
  4. Raja Lingga XIII menjadi Amir al-Harb Kesultanan Aceh. Pada tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru di Malaysia yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Mansyur Syah. Raja Lingga XIII diangkat menjadi kabinet di kerajaan baru tersebut. Keturunannya mendirikan Kesultanan Lingga di kepulauan Riau, pulau Lingga, yang kedaulatannya mencakup Riau (Indonesia), Temasek (Singapura) dan sedikit wilayah Malaysia.

Raja-raja di Sebayak Lingga Karo tidak terdokumentasi. Pada era Belanda kembali diangkat raja-rajanya tetapi hanya dua era

  1. Raja Sendi Sibayak Lingga (pilihan Belanda)
  2. Raja Kalilong Sibayak Lingga

Kehidupan sosial

[sunting | sunting sumber]
Rumah tradisional masyarakat Gayo (Pitu Ruang).

Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut kampong. Setiap kampong dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman, yang dipimpin oleh mukim. Sistem pemerintahan tradisional berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat, terdiri dari reje (raja), petue (petua), imem (imam), dan rayat (rakyat).

Pada masa sekarang beberapa buah kemukiman merupakan bagian dari kecamatan, dengan unsur-unsur kepemimpinan terdiri atas: gecik, wakil gecik, imem, dan cerdik pandai yang mewakili rakyat.

Sebuah kampong biasanya dihuni oleh beberapa kelompok belah (klan). Anggota-anggota suatu belah merasa berasal dari satu nenek moyang, masih saling mengenal, dan mengembangkan hubungan tetap dalam berbagai upacara adat. Garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal. Sistem perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah eksogami belah, dengan adat menetap sesudah nikah yang patrilokal (juelen) atau matrilokal (angkap).

Kelompok kekerabatan terkecil disebut sara ine (keluarga inti). Kesatuan beberapa keluarga inti disebut sara dapur. Pada masa lalu beberapa sara dapur tinggal bersama dalam sebuah rumah panjang, sehingga disebut sara umah. Beberapa buah rumah panjang bergabung ke dalam satu belah (klan). Pada masa sekarang banyak keluarga inti yang mendiami rumah sendiri. Pada masa lalu orang Gayo terutama mengembangkan mata pencaharian bertani di sawah dan beternak, dengan adat istiadat mata pencaharian yang rumit.

Selain itu ada penduduk yang berkebun, menangkap ikan, dan meramu hasil hutan. Mereka juga mengembangkan kerajinan membuat keramik, menganyam, dan menenun. Kini mata pencaharian yang dominan adalah berkebun, terutama tanaman kopi gayo. Kerajinan membuat keramik dan anyaman pernah terancam punah, namun dengan dijadikannya daerah ini sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Aceh, kerajinan keramik mulai dikembangkan lagi. Kerajinan lain yang juga banyak mendapat perhatian adalah kerajinan membuat sulaman kerawang dengan motif yang khas. Kerajianan ini menjadi salah satu sumber perekonomian masayarakat suku Gayo. Banyak wisatawan yang berkunjung ke gayo dan menjadikan kerajinan yang dihasilkan oleh masyarakat Gayo sebagai oleh-oleh mereka ketika berkunjung.

Kekerabatan

[sunting | sunting sumber]

Hubungan kekerabatan yang terdapat dalam masyarakat di Tanah Gayo, yaitu:[5]

  • Saudere, sara reje, atau sara kampung, yakni semua lelaki yang berada di bawah kepemimpinan seorang reje.
  • Wali atau sara asal, yakni semua lelaki yang berasal dari kepimpinan reje yang berbeda, namun merupakan satu keturunan patrilineal.
  • Ama, yaitu ayah. Ayah kandung disebut ama pedih atau ama pedehe. Kerabat yang berasal dari pihak ayah juga disebut ama dengan keterangan tambahan, seperti ama uwe untuk saudara laki-laki ayah yang lebih tua, ama lah atau ama ngah untuk saudara laki-laki yang lebih muda, dan ama encu untuk saudara laki-laki ayah yang paling bungsu.
  • Ine, yaitu ibu. Ibu kandung disebut ine pedih atau ine pedehe. Semua saudara-saudara perempuan ibu secara patrilineal juga disebut ine dengan sebutan tambahan, seperti uwe, lah atau ngah dan encu.
  • Ibi atau bibi, yaitu saudara perempuan ayah.
  • Empu rawan, yaitu kakek.
  • Empu banan, yaitu nenek.
  • Empu ralik atau datu ralik adalah kakek/nenek dari pihak ibu.
  • Ralik yaitu hubungan kekerabatan dari pihak (belah) ibu.
  • Sara ralik, yaitu hubungan kekerabatan antara dua laki-laki yang menikahi dua perempuan dari belah yang sama.
  • Dengan, yaitu panggilan saudara perempuan kepada saudara laki-lakinya dan sebaliknya.
  • Sarine, yaitu hubungan kekerabatan antara saudara segenerasi secara patrilineal.
  • Impel, yaitu anak-anak dari pun dan bibi.
  • Mpurah, yaitu mertua, termasuk saudara-saudara segenerasi dari mertua.
  • Kile, yaitu menantu laki-laki.
  • Pemen atau pemaen, yaitu menantu perempuan.
  • Era, yaitu hubungan kekerabatan antara laki-laki dengan istri saudaranya dan perempuan dengan saudara laki-laki dari suaminya.
  • Lakun, yaitu hubungan kekerabatan laki-laki dari pihak sarine terhadap dengan dari istrinya.
  • Kawe, yaitu adik perempuan.
  • Kil, yaitu suami dari bibi.
  • Until, yaitu keponakan dari saudara laki-laki.
  • Pun, yaitu saudara laki-laki ibu.
  • Inepun, yaitu istri dari saudara laki-laki ibu.
  • Ndue, yaitu hubungan kekerabatan antara dua perempuan yang menikahi dua laki-laki yang bersaudara (sarine).
  • Biak, yaitu hubungan kekerabatan yang dihubungkan atas perkawinan.
  • Lat bei, yaitu semua istri yang sudah kawin dari ralik.
  • Periban, yaitu hubungan kekerabatan antara orang-orang yang menikahi perempuan yang bersaudara (sarine).


Seni budaya

[sunting | sunting sumber]
Kuburan tradisional masyarakat Gayo.
Motif tradisional Gayo.

Suatu unsur budaya yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo adalah kesenian, yang hampir tidak pernah mengalami kemandekan bahkan cenderung berkembang. Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, antara lain tari saman dan seni bertutur yang disebut Didong. Selain untuk hiburan dan rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual, pendidikan, penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan struktur sosial masyarakat. Di samping itu ada pula bentuk kesenian seperti tari Bines, tari Guel, tari Munalu, Sebuku /Pepongoten (seni meratap dalam bentuk prosa), guru didong, dan melengkan (seni berpidato berdasarkan adat).

Dalam seluruh segi kehidupan, orang Gayo memiliki dan membudayakan sejumlah nilai budaya sebagai acuan tingkah laku untuk mencapai ketertiban, disiplin, kesetiakawanan, gotong royong, dan rajin (mutentu). Pengalaman nilai budaya ini dipacu oleh suatu nilai yang disebut bersikemelen, yaitu persaingan yang mewujudkan suatu nilai dasar mengenai harga diri (mukemel). Nilai-nilai ini diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti dalam bidang ekonomi, kesenian, kekerabatan, dan pendidikan. Sumber dari nilai-nilai tersebut adalah agama Islam serta adat setempat yang dianut oleh seluruh masyarakat Gayo.

Seni dan tarian

[sunting | sunting sumber]

Beberapa seni dan tarian Gayo, di antaranya adalah:

Didong Tari Saman Tari Guel

Makanan khas

[sunting | sunting sumber]

Beberapa makanan khas Gayo, di antaranya adalah:

  • Masam jaeng
  • Pulut bekuah
  • Cecah agur
  • Cecah terong
  • Apam
  • Pengat
  • Gegaloh
  • Lepat petukel
  • Gutel

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Aris Ananta, Evi Nurvidya Arifin, M. Sairi Hasbullah, Nur Budi Handayani, dan Agus Pramono (2015). Demography of Indonesia’s Ethnicity. Institute of Southeast Asian Studies dan BPS – Statistics Indonesia. hlm. 120. 
  2. ^ Hurgronje & Asnah, hlm. 37, 38.
  3. ^ a b Hurgronje & Asnah, hlm. 39.
  4. ^ M. Junus Djamil. 1959. Gajah Putih. Lembaga Kebudayaan Atjeh. Kutaraja
  5. ^ Hurgronje & Asnah, hlm. 235-239.

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]

Bacaan lanjutan

[sunting | sunting sumber]
  • Bowen, John Richard, 1991,"Sumatran Politics and Poetics : Gayo History, 1900-1989", New Haven : Yale University Press.
  • Bowen, John Richard, 1993,"Return to Sender: A Muslim Discourse of Sorcery in a Relatively Egalitarian Society, the Gayo of Nothern Sumatra", in C. W. Watson and Roy Ellen (Eds.), Understanding Witchcraft and Sorcery in Southeast Asia, Honolulu-Hawaii: University of Hawaii Press.
  • Bowen, John Richard, 1993, "Muslims Through Discourse : Religion and Ritual in Gayo Society", Princeton, N.J. : Princeton University Press.
  • Ibrahim, Mahmud, 2007, "Mujahid Dataran Tinggi Gayo", Yayasan Maqamammahmuda.
  • Wiradyana, Ketut dan Setiawan, Taufiqurrahman, 2011, "Gayo Merangkai Identitas", Gudang Penerbit.