Deklarasi Balfour: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Glorious Engine (bicara | kontrib)
Baris 247: Baris 247:


Pada bulan Oktober tahun berikutnya, [[Neville Chamberlain]] membahas tentang "Negara Yahudi yang baru" saat memimpin sebuah pertemuan kaum Sionis.{{sfn|Friedman|1973|p=313}} Ketika itu, Neville Chamberlain adalah Anggota Parlemen dari daerah pemilihan Ladywood, Birmingham. Mengilas balik peristiwa tersebut, pada tahun 1939, tepat sesudah Neville Chamberlain mengesahkan Buku Putih tahun 1939, Kantor Telegraf Yahudi mengemukakan bahwa si Perdana Menteri sudah "sangat berubah pikiran dalam rentang waktu 21 tahun"<ref>{{cite web|date=1939|url=https://www.jta.org/1939/05/19/archive/chamberlain-in-1918-envisaged-jewish-state-linked-to-u-s-or-britain|title=Chamberlain, in 1918, Envisaged Jewish State Linked to U.S. or Britain|publisher=Jewish Telegraph Agency|access-date=4 November 2017}}</ref> Setahun kemudian, pada peringatan dua tahun dicanangkannya Deklarasi Balfour, Jenderal [[Jan Smuts]] mengemukakan bahwa Inggris "akan menepati janjinya ... dan sebuah negara Yahudi yang jaya pada akhirnya akan terwujud."{{sfn|Friedman|1973|p=313}} Dalam nada yang sama, beberapa bulan kemudian, Neville Churchill mengeluarkan pernyataan sebagai berikut:
Pada bulan Oktober tahun berikutnya, [[Neville Chamberlain]] membahas tentang "Negara Yahudi yang baru" saat memimpin sebuah pertemuan kaum Sionis.{{sfn|Friedman|1973|p=313}} Ketika itu, Neville Chamberlain adalah Anggota Parlemen dari daerah pemilihan Ladywood, Birmingham. Mengilas balik peristiwa tersebut, pada tahun 1939, tepat sesudah Neville Chamberlain mengesahkan Buku Putih tahun 1939, Kantor Telegraf Yahudi mengemukakan bahwa si Perdana Menteri sudah "sangat berubah pikiran dalam rentang waktu 21 tahun"<ref>{{cite web|date=1939|url=https://www.jta.org/1939/05/19/archive/chamberlain-in-1918-envisaged-jewish-state-linked-to-u-s-or-britain|title=Chamberlain, in 1918, Envisaged Jewish State Linked to U.S. or Britain|publisher=Jewish Telegraph Agency|access-date=4 November 2017}}</ref> Setahun kemudian, pada peringatan dua tahun dicanangkannya Deklarasi Balfour, Jenderal [[Jan Smuts]] mengemukakan bahwa Inggris "akan menepati janjinya ... dan sebuah negara Yahudi yang jaya pada akhirnya akan terwujud."{{sfn|Friedman|1973|p=313}} Dalam nada yang sama, beberapa bulan kemudian, Neville Churchill mengeluarkan pernyataan sebagai berikut:
{{quote|Jika, sebagaimana yang mungkin sekali akan terjadi, terwujud selagi kami masih hidup, di tepi Sungai Yordan, sebuah Negara Yahudi di bawah perlindungan Mahkota Inggris, yang mungkin nantinya terdiri atad tiga atau empat juta warga Yahudi, maka di dalam lembaran sejarah dunia akan tercatat sebuah kejadian, yang jika ditinjau dari segala sudut pandang, akan mendatangkan kebajikan.<ref>Alexander, Edward. ''The State of the Jews: A Critical Appraisal'', Routledge (2012) ebook</ref>}}
{{quote|Jika, sebagaimana yang mungkin sekali akan terjadi, terwujud selagi kami masih hidup, di tepi Sungai Yordan, sebuah Negara Yahudi di bawah perlindungan Mahkota Inggris, yang mungkin nantinya terdiri atas tiga atau empat juta warga Yahudi, maka di dalam lembaran sejarah dunia akan tercatat sebuah kejadian, yang jika ditinjau dari segala sudut pandang, akan mendatangkan kebajikan.<ref>Alexander, Edward. ''The State of the Jews: A Critical Appraisal'', Routledge (2012) ebook</ref>}}


Dalam rapat kabinet Kekaisaran Inggris tanggal 22 Juni 1921, Neville Churchill ditanya Arthur Meighen, Perdana Menteri Kanada, mengenai arti dari kediaman nasional. Neville Churchill menjawab, "jika dalam waktu bertahun-tahun mereka sudah menjadi golongan mayoritas di sana, dengan sendirinya mereka akan mengambil alih negeri itu....pro rata dengan orang Arab. Kami memberi janji yang sama bahwa kami tidak akan menyingkirkan orang Arab dari tanahnya maupun menyalahi hak-hak politik dan kemasyarakatannya". {{sfn|Johnson|2013|p=441}}<!--
Dalam rapat kabinet Kekaisaran Inggris tanggal 22 Juni 1921, Neville Churchill ditanya Arthur Meighen, Perdana Menteri Kanada, mengenai arti dari kediaman nasional. Neville Churchill menjawab, "jika dalam waktu bertahun-tahun mereka sudah menjadi golongan mayoritas di sana, dengan sendirinya mereka akan mengambil alih negeri itu....pro rata dengan orang Arab. Kami memberi janji yang sama bahwa kami tidak akan menyingkirkan orang Arab dari tanahnya maupun menyalahi hak-hak politik dan kemasyarakatannya". {{sfn|Johnson|2013|p=441}}<!--

Revisi per 30 Mei 2020 09.07

Deklarasi Balfour
Deklarasi Balfour tercantum dalam surat Arthur Balfour kepada Walter Rothschild
Dibuat02 November 1917 (1917-11-02)
LokasiBritish Library
PenulisWalter Rothschild, Arthur Balfour, Leo Amery, Alfred Milner
PenandatanganArthur Balfour
TujuanMenegaskan dukungan pemerintah Inggris terhadap penciptaan "kediaman nasional" di Palestina bagi orang Yahudi dengan dua syarat.

Deklarasi Balfour adalah pernyataan terbuka dari pemerintah Inggris yang dikeluarkan semasa Perang Dunia I untuk menegaskan dukungannya terhadap penciptaan "kediaman nasional" di Palestina bagi orang Yahudi, manakala Palestina masih menjadi bagian dari wilayah kedaulatan Kekaisaran Turki Osmanli, dan masyarakat Yahudi masih tergolong kaum minoritas di Palestina. Isi Deklarasi Balfour adalah sebagai berikut:

Pemerintahan Sri Baginda memandang baik penciptaan kediaman nasional di Palestina bagi orang Yahudi, dan akan berusaha sekuat tenaga untuk memudahkan terlaksananya maksud ini, dengan keinsafan bahwa tak satu pun langkah pelaksanaannya akan mencederai hak-hak sipil dan keagamaan komunitas-komunitas non-Yahudi di Palestina, maupun hak-hak dan status politik yang dinikmati orang Yahudi di negeri-negeri lain.

Deklarasi Balfour tercantum dalam sepucuk surat tertanggal 2 November 1917 dari Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour kepada Walter Rothschild, tokoh pimpinan komunitas Yahudi Inggris, untuk diberitahukan kepada Federasi Sionis Britania Raya dan Irlandia. Isi Deklarasi Balfour disiarkan lewat media massa pada tanggal 9 November 1917.

Segera sesudah memaklumkan perang terhadap Kekaisaran Turki Osmanli pada bulan November 1914, kabinet perang Inggris mulai memikirkan masa depan Palestina. Dalam tempo dua bulan, Herbert Samuel, anasir Sionis dalam kabinet Inggris, mengedarkan sebuah memorandum di kabinet, berisi usulan untuk mendukung cita-cita kaum Sionis demi mendapatkan dukungan orang Yahudi bagi kepentingan perjuangan Inggris dalam Perang Dunia I. Pada bulan April 1915, Perdana Menteri Inggris Herbert Henry Asquith membentuk panitia khusus untuk merumuskan kebijakan pemerintah Inggris terkait Kekaisaran Turki Osmanli, termasuk Palestina. Herbert Henry Asquith, yang menghendaki agar Kekaisaran Turki Osmanli direformasi seusai perang, meletakkan jabatan pada bulan Desember 1916. Penggantinya, David Lloyd George, justru menghendaki agar Kekaisaran Turki Osmanli dipecah-belah. Negosiasi-negosiasi tahap awal antara pemerintah Inggris dan kaum Sionis berlangsung dalam sebuah konferensi yang dihadiri Sir Mark Sykes dan tokoh-tokoh pimpinan Sionis pada tanggal 7 Februari 1917. Menindaklanjuti diskusi-diskusi susulan selepas konferensi, pada tanggal 19 Juni, Arthur Balfour meminta Walter Rothschild dan Chaim Weizmann untuk mengajukan suatu rancangan deklarasi dukungan. Rancangan-rancangan deklarasi yang diajukan selanjutnya dibahas dalam rapat kabinet dengan mempertimbangkan masukan-masukan dari kubu Yahudi Sionis maupun kubu Yahudi anti-Sionis, tetapi tidak melibatkan wakil-wakil masyarakat Palestina.

Mendekati akhir tahun 1917, menjelang pencanangan Deklarasi Balfour, Perang Dunia I telah sampai ke tahap buntu. Amerika Serikat dan Rusia, dua negara sekutu Inggris, tidak sepenuhnya melibatkan diri. Amerika Serikat belum ditimpa kerugian akibat perang, sementara Rusia tengah diguncang kudeta kaum Bolsyewik. Situasi buntu di kawasan selatan Palestina dipecahkan oleh Pertempuran Bersyeba pada tanggal 31 Oktober 1917. Pada tanggal yang sama, rapat kabinet pemerintahan Inggris memutuskan untuk merilis rumusan akhir deklarasi dukungan. Rapat-rapat kabinet yang digelar sebelumnya telah mengkaji manfaat-manfaat propaganda yang bakal diperoleh dari komunitas Yahudi sedunia bagi perjuangan Blok Sekutu.

Kalimat pembuka Deklarasi Balfour merupakan ungkapan dukungan terbuka pertama dari sebuah kekuatan politik utama dunia kepada gerakan Sionisme. Istilah "kediaman nasional" (bahasa Inggris: national home) belum pernah muncul di ranah hukum internasional, dan sengaja diciptakan agar bermakna kabur sehingga tidak dapat dipastikan bahwa yang dimaksud dengan istilah ini adalah sebuah negara Yahudi. Tapal batas wilayah yang disebut "Palestina" tidak ditetapkan. Kemudian hari pemerintah Inggris menegaskan bahwa frasa "di Palestina" berarti kediaman nasional orang Yahudi tidak bakal mencakup seantero wilayah Palestina. Bagian kedua dari isi Deklarasi Balfour sengaja ditambahkan untuk menenangkan para penentang kebijakan ini, yakni pihak-pihak yang khawatir kebijakan ini malah akan berdampak buruk terhadap posisi populasi lokal Palestina, dan akan mengobarkan sentimen antisemit di seluruh dunia karena "mengecap orang Yahudi sebagai pendatang asing di negara tempat mereka dilahirkan". Deklarasi Balfour mengamanatkan perlindungan hak-hak sipil dan keagamaan orang Arab Palestina, yang merupakan warga mayoritas di Palestina, maupun hak-hak dan status politik komunitas-komunitas Yahudi di luar Palestina. Pada tahun 1939, pemerintah Inggris mengakui bahwa pandangan-pandangan populasi lokal semestinya turut pula dijadikan bahan pertimbangan, dan pada tahun 2017, pemerintah Inggris mengakui bahwa Deklarasi Balfour semestinya mengamanatkan pula perlindungan hak-hak politik orang Arab Palestina.

Deklarasi Balfour memunculkan berbagai konsekuensi jangka panjang. Deklarasi ini membuat dukungan terhadap gerakan Sionisme mengalami peningkatan pesat di kalangan komunitas Yahudi sedunia, dan menjadi komponen pokok dalam penyusunan Memorandum Penyerahan Mandat atas Palestina kepada Inggris, yakni dokumen yang mendasari pembentukan Wilayah Mandat Palestina, cikal bakal dari wilayah Israel dan Palestina sekarang ini. Oleh karena itu, Deklarasi Balfour dianggap sebagai sebab utama berlarut-larutnya konflik Israel–Palestina, yang kerap disebut sebagai konflik paling alot di muka bumi. Beberapa hal terkait deklarasi ini masih menjadi kontroversi, misalnya soal bertentangan tidaknya deklarasi ini dengan janji-janji awal pemerintah Inggris kepada Syarif Mekah yang disampaikan melalui surat-menyurat antara Henry McMahon dan Husain bin Ali Alhasyimi.

Latar belakang

Dukungan awal dari pemerintah Inggris

"Memorandum kepada para kepala monarki Protestan di Eropa perihal pemulangan orang Yahudi ke Palestina" dari Lord Shaftesbury, sebagaimana yang termuat dalam surat kabar Colonial Times pada tahun 1841

Dukungan politik awal dari pemerintah Inggris terhadap pertambahan jumlah pemukim Yahudi di tanah Palestina didasarkan atas kalkulasi-kalkulasi geopolitik.[1][i] Dukungan tersebut mula-mula muncul pada awal era 1840-an,[3] dipelopori oleh Lord Palmerston, sesudah Suriah dan Palestina diserobot Muhammad Ali Pasya, Wali Negeri Mesir yang mendurhaka terhadap Kekaisaran Turki Osmanli.[4][5] Prancis kian meluaskan pengaruhnya di Palestina maupun negeri-negeri lain di Timur Tengah, dan perannya selaku pelindung komunitas-komunitas Kristen Katolik mulai menguat, sementara Rusia sudah disegani sebagai pelindung komunitas-komunitas Kristen Ortodoks Timur di kawasan yang sama. Situasi seperti ini membuat Inggris tidak punya ruang lingkup pengaruh di Timur Tengah,[4] dan oleh karena itu perlu menemukan atau menciptakan suatu kaum yang dapat mereka "ayomi" di kawasan itu.[6] Pertimbangan-pertimbangan politik tersebut didukung oleh sentimen Kristen Injili yang bersimpati terhadap "kepulangan orang Yahudi" ke Palestina, yakni sentimen yang diusung anasir-anasir kalangan elit politik Inggris pada pertengahan abad ke-19, teristimewa Lord Shaftesbury.[ii] Kementerian Luar Negeri Inggris secara aktif mendorong orang Yahudi untuk beremigrasi ke Palestina, misalnya melalui imbauan-imbauan Charles Henry Churchill, yang disampaikan lewat surat dalam rentang waktu 1841-1842, kepada Moses Montefiore, pemimpin komunitas Yahudi Inggris.[8][a]

Ikhtiar-ikhtiar semacam ini bersifat pradini,[8] dan tidak membuahkan hasil.[iii] Hanya 24.000 orang Yahudi yang bermukim di Palestina menjelang kemunculan Sionisme di kalangan komunitas Yahudi sedunia pada dua dasawarsa terakhir abad ke-19.[10] Perubahan mendadak geopolitik akibat meletusnya Perang Dunia I membuat kalkulasi-kalkulasi awal, yang sempat ditinggal terbengkalai, menjadi titik tolak pembaharuan taksiran-taksiran stategis maupun tawar-menawar politik atas kawasan Timur Tengah dan Timur Jauh.[5]

Sionisme purwa

Gerakan Sionisme muncul menjelang akhir abad ke-19 sebagai reaksi terhadap gerakan-gerakan antisemit dan nasionalis eksklusioner di Eropa.[11][iv][v] Nasionalisme romantis di Eropa Tengah dan Eropa Timur turut membantu kelahiran Haskalah, atau gerakan "Pencerahan Yahudi", yang menimbulkan perpecahan di dalam komunitas Yahudi, yakni perpecahan antara golongan yang menganggap Yahudi sebagai agama mereka dan golongan yang menganggap Yahudi sebagai suku-bangsa atau bangsa mereka.[11][12] Pogrom-pogrom anti-Yahudi yang terjadi dalam rentang waktu 1881–1884 di Kekaisaran Rusia mendorong penguatan identitas golongan yang kedua. Dari golongan ini muncul organisasi-organisasi perintis yang disebut Hobebei Tsion (Pencinta Sion), risalah Swa-Emansipasi yang ditulis oleh Leon Pinsker, dan gelombang pertama imigrasi besar-besaran orang Yahudi ke Palestina yang secara retrospektif diberi nama "Aliyah Pertama".[14][15][12]

"Program Basel" disetujui dalam Kongres Sionis yang pertama pada tahun 1897. Kalimat pertamanya berbunyi, "Sionisme berusaha menciptakan tempat tinggal (Heimstätte) bagi bangsa Yahudi di Palestina di bawah naungan hukum publik."

Pada tahun 1896, Theodor Herzl, wartawan Yahudi warga Austria-Hongaria, menerbitkan risalah yang menjadi landasan Sionisme politik, yakni Der Judenstaat ("Negara Yahudi" atau "Negara Orang Yahudi"). Dalam risalah ini, ia mengemukakan bahwa satu-satunya solusi bagi "masalah Yahudi" di Eropa, termasuk antisemitisme yang kian marak, adalah menciptakan sebuah negara bagi orang Yahudi.[16][17] Setahun kemudian, Theodor Herzl mendirikan Organisasi Sionis. Pada penyelenggaraan kongres pertamanya, Organisasi Sionis mengamanatkan pembentukan "kediaman bagi bangsa Yahudi di Palestina di bawah naungan hukum publik". Usulan langkah-langkah pelaksanaan amanat ini mencakup tindakan mempromosikan pemukiman orang Yahudi di Palestina, mengorganisasikan orang Yahudi di diaspora, mempertebal perasaan dan keinsyafan sebagai orang Yahudi, serta berancang-ancang untuk mendapatkan izin-izin yang diperlukan dari pemerintah.[17] Theodor Herzl wafat pada tahun 1904, 44 tahun sebelum lahirnya Negara Israel, negara Yahudi yang ia gagas. Sampai akhir hayatnya, ia tak kunjung mendapatkan kekuasaan politik yang diperlukan untuk menjalankan rencana-rencananya.[10]

Chaim Weizmann, pemimpin kaum Sionis yang kelak menjadi Presiden Organisasi Sionis Sedunia dan Presiden Israel yang pertama, hijrah dari Swiss ke ke Inggris pada tahun 1904. Ia berjumpa dengan Arthur Balfour dalam suatu pertemuan yang diatur oleh Charles Dreyfus, wakil konstituen Yahudi dalam tim kampanye Arthur Balfour. Pertemuan ini berlangsung sesudah Arthur Balfour meletakkan jabatan perdana menteri dan baru saja mulai berkampanye dalam rangka menghadapi Pemilihan Umum Inggris tahun 1906.[18][vi] Sebelum itu pada tahun yang sama, Arthur Balfour berhasil memperjuangkan rancangan Undang-Undang Warga Asing dalam sidang parlemen dengan pidato-pidatonya yang berapi-api tentang perlunya membendung gelombang imigrasi pengungsi Yahudi dari Kekaisaran Rusia ke Inggris.[20][21] Dalam pertemuan ini, ia menanyakan alasan keberatan Chaim Weizmann terhadap Rancangan Uganda tahun 1903 yang justru didukung oleh Theodor Herzl, yakni rencana penyerahan sebagian dari wilayah protektorat Inggris di Afrika Timur untuk dijadikan wilayah otonom orang Yahudi. Rancangan Uganda ditawarkan kepada Theodor Herzl oleh Joseph Chamberlain, Menteri Urusan Tanah Jajahan dalam kabinet Arthur Balfour, selepas berkunjung ke Afrika Timur pada tahun 1903.[vii] Menyusul kematian Theodor Herzl, rancangan ini ditolak lewat pemungutan suara dalam Kongres Sionis yang ketujuh pada tahun 1905,[viii] sesudah dua tahun menjadi pokok perdebatan sengit di dalam Organisasi Sionis.[24] Chaim Weizmann menjawab pertanyaan Arthur Balfour dengan mengemukakan keyakinannya bahwa kecintaan orang Yahudi terhadap Yerusalem sebanding dengan kecintaan orang Inggris terhadap kota London.[b]

Pada bulan Januari 1914, Chaim Weizmann berjumpa dengan Baron Edmond de Rothschild, anggota keluarga besar Rothschild cabang Prancis dan salah seorang penganjur utama gerakan Sionisme,[26] untuk membicarakan proyek pembangunan Universitas Ibrani di Yerusalem.[26] Kendati bukan bagian dari Organisasi Sionis Sedunia, Baron Edmond de Rothschild telah berjasa mendanai pembentukan koloni-koloni tani Yahudi Aliyah Pertama dan mengalihkannya kepada Asosiasi Kolonisasi Yahudi pada tahun 1899.[27] Tidak percuma Chaim Weizmann berkenalan dengan Baron Edmond de Rothschild karena beberapa bulan kemudian, putra sang baron, James de Rothschild, minta dipertemukan dengan Chaim Weizmann pada tanggal 25 November 1914. James de Rothschild berharap Chaim Weizmann bersedia membantunya memengaruhi orang-orang di lingkungan pemerintahan Inggris yang ia anggap dapat menerima rencana pendirian "Negara Yahudi" di Palestina.[c][29] Melalui istri James de Rothschild, Dorothy de Rothschild, Chaim Weizmann berkenalan dengan Rózsika Rothschild, yang kemudian mengenalkannya kepada keluarga besar Rothschild cabang Inggris, teristimewa suaminya, Charles Rothschild, dan abang iparnya, Walter Rothschild, seorang ahli zoologi dan mantan anggota parlemen Inggris.[30] Nathan Rothschild, Baron Rothschild yang pertama, kepala keluarga besar Rothschild cabang Inggris, menjaga jarak aman dengan Sionisme, tetapi ia wafat pada bulan Maret 1915, dan gelar kebangsawanannya diwarisi oleh Walter Rothschild.[30][31]

Sebelum pencanangan Deklarasi Balfour, sekitar 8.000 dari 300.000 warga Yahudi Inggris adalah anggota organisasi kaum Sionis.[32][33] Di peringkat global, per 1913 (tahun data termutakhir prapencanangan Deklarasi Balfour), kira-kira 1% dari jumlah orang Yahudi sedunia adalah anggota organisasi kaum Sionis.[34]

Palestina di bawah pemerintah Turki Osmanli

Daerah sejajar Sungai Yordan yang disebut "Tanah Palestina" (Arab: ارض فلسطين, Arḍ Filasṭīn) di dalam peta keluaran tahun 1732, karya Kâtip Çelebi (1609–1657), ahli geografi Turki Osmanli.[35]

Terhitung sampai tahun 1916, sudah empat abad lamanya Palestina menjadi bagian dari Kekaisaran Turki Osmanli atau Kesultanan Utsmaniyah.[36] Nyaris sepanjang kurun waktu empat abad ini, orang Yahudi menjadi kaum minoritas di Palestina, yakni sekitar 3% saja dari keseluruhan populasi. Umat Islam merupakan bagian terbesar dari populasi Palestina, disusul oleh umat Kristen.[37][38][39][ix]

Pemerintah Turki Osmanli di Istambul mulai memberlakukan pembatasan-pembatasan terhadap imigrasi orang Yahudi ke Palestina menjelang akhir tahun 1882 setelah menyaksikan Aliyah Pertama yang berawal pada permulaan tahun itu.[41] Meskipun imigrasi orang Yahudi sedikit banyak menimbulkan ketegangan dengan populasi lokal Palestina, terutama dengan golongan saudagar dan pemuka masyarakat, pada tahun 1901, Gerbang Agung (pemerintah pusat Turki Osmanli) memberi orang Yahudi hak yang sama dengan orang Arab untuk membeli tanah di Palestina, dan persentase orang Yahudi dari jumlah populasi Palestina pun meningkat menjadi 7% pada tahun 1914.[42] Pada waktu yang sama, seiring kian meningkatnya rasa tidak percaya terhadap Aliyah Kedua dan Kaum Muda Turki, yakni kaum nasionalis Turki yang telah berhasil menguasai pemerintahan Turki Osmanli pada tahun 1908, gerakan nasionalisme Arab serta nasionalisme Palestina pun semakin bertumbuh, dan semangat anti-Sionisme menjadi unsur pemersatu di Palestina.[42][43] Para sejarawan tidak tahu apakah kekuatan-kekuatan penggerak ini pada akhirnya akan tetap menimbulkan konflik andaikata Deklarasi Balfour tidak pernah ada.[x]

Perang Dunia I

1914–1916: Diskusi-diskusi pendahuluan antara pemerintah Inggris dan kaum Sionis

Pada bulan Juli 1914, meletus perang di Eropa antara kubu Entente Tiga (Inggris, Prancis, Rusia) dan kubu Kekaisaran Sentral (Jerman, Austria-Hongaria, Turki Osmanli).[45]

Kabinet pemerintahan Inggris pertama kali membahas Palestina dalam rapat tanggal 9 November 1914, empat hari sesudah Inggris memaklumkan perang terhadap Kekaisaran Turki Osmanli. Wilayah Kekaisaran Turki Osmanli ketika itu mencakup pula Mutasarifat Yerusalem, yakni daerah yang kerap disebut Palestina.[46] Dalam rapat tersebut, Menteri Keuangan Inggris David Lloyd George "mengungkit perihal akhir takdir Palestina".[47] David Lloyd George adalah pemilik firma hukum Lloyd George, Roberts and Co, yang sudah sejak satu dasawarsa sebelumnya menjalin hubungan kerja sama dengan Federasi Sionis Britania Raya dan Irlandia dalam penyusunan Rancangan Uganda.[48] David Lloyd George menjadi Perdana Menteri Inggris pada waktu pencanangan Deklarasi Balfour, dan menjadi pejabat yang bertanggung jawab atas terbitnya deklarasi tersebut.[49]

Masa Depan Palestina, memorandum kabinet dari Herbert Samuel, sebagaimana tercantum dalam risalah rapat kabinet pemerintahan Inggris (CAB 37/123/43), per 21 Januari 1915

Usaha-usaha politik Chaim Weizmann mengalami kemajuan pesat.[d] Pada tanggal 10 Desember 1914, ia berjumpa dengan Herbert Samuel, anggota kabinet pemerintahan Inggris dan seorang Yahudi sekuler yang sudah mempelajari Sionisme.[51] Herbert Samuel merasa tuntutan-tuntutan Chaim Weizmann terlampau bersahaja.[e] Selang dua hari kemudian, Chaim Weizmann sekali lagi bertatap muka dengan Arthur Balfour setelah terakhir kali bertemu pada tahun 1905. Arthur Balfour sudah berada di luar lingkungan pemerintahan semenjak kekalahannya dalam pemilihan umum tahun 1906, tetapi masih menjadi anggota senior Partai Konservatif yang kala itu menjadi Kubu Oposisi Resmi.[f]

Sebulan kemudian, Herbert Samuel mengedarkan sebuah memorandum bertajuk Masa Depan Palestina kepada kolega-koleganya di kabinet. Memorandum ini berisi pernyataan yang berbunyi: "Saya yakin bahwa solusi bagi masalah Palestina yang sangat dapat diterima oleh para pemimpin dan pendukung gerakan Sionisme di seluruh dunia adalah aneksasi Palestina oleh Kekaisaran Inggris".[54] Herbert Samuel membahas isi selembar salinan dari memorandumnya ini dengan Nathan Rothschild pada bulan Februari 1915, sebulan sebelum Nathan Rothschild wafat.[31] Memorandum ini merupakan dokumen resmi pertama yang memuat pengajuan permintaan dukungan bagi orang Yahudi sebagai salah satu prasyarat perang.[55]

Sejumlah diskusi lebih lanjut menyusul kemudian, termasuk pertemuan-pertemuan pendahuluan dalam kurun waktu 1915–1916 antara Lloyd George, yang diangkat menjadi menteri urusan kelengkapan perang pada bulan Mei 1915,[56] dan Chaim Weizmann, yang diangkat menjadi penasihat ilmiah untuk kementerian tersebut pada bulan September 1915.[57][56] Tujuh belas tahun kemudian, dalam Kenang-Kenangan Perang yang ditulisnya, Lloyd George menyebut pertemuan-pertemuan tersebut sebagai "sumber dan cikal bakal" Deklarasi Balfour. Pernyataan Lloyd George ini telah dibantah para sejarawan.[g]

1915–1916: Komitmen-komitmen awal Inggris terkait Palestina

Penggalan dokumen kabinet pemerintahan Inggris nomor CAB 24/68/86 (bulan November 1918) dan Buku Putih Churchill (bulan Juni 1922)
Peta dari dokumen Kementerian Luar Negeri Inggris nomor FO 371/4368 (bulan November 1918) menampilkan Palestina di dalam wilayah "Arab"[64]
Dokumen kabinet menyatakan bahwa Palestina tercakup dalam wilayah yang dijanjikan Henry McMahon kepada bangsa Arab, sementara Buku Putih Churchill menyatakan bahwa Palestina "senantiasa dianggap" tidak tercakup di dalamnya.[62][xi]

Palestina dalam peta Persetujuan Sykes–Picot di bawah "administrasi internasional", dengan Teluk Haifa, Akko, dan kota Haifa sebagai daerah kantong Inggris, dan tidak mencakup kawasan yang terbentang mulai dari sebelah selatan kota Hebron[h]

Menjelang akhir tahun 1915, Komisaris Tinggi Inggris untuk Mesir, Henry McMahon, bersurat-suratan sebanyak sepuluh kali dengan Syarif Mekah, Husain bin Ali Alhasyimi. Melalui surat-suratnya Henry McMahon berjanji kepada Husain bin Ali Alhasyimi untuk mengakui kemerdekaan bangsa Arab "di dalam wilayah dengan tapal-tapal batas yang diusulkan Syarif Mekah" sebagai imbalan atas kesediaan Husain bin Ali Alhasyimi untuk mengobarkan pemberontakan melawan Kekaisaran Turki Osmanli. Kawasan yang dikecualikan dari wilayah yang dijanjikan tersebut adalah "sebagian wilayah Suriah" yang terletak di sebelah barat "Distrik Damsyik, Distrik Hums, Distrik Hamah, dan Distrik Halab".[67][i] Selama beberapa dasawarsa pasca-Perang Dunia I, ruang lingkup kawasan pesisir yang dikecualikan ini menjadi pokok perdebatan sengit[69] karena Palestina terletak di sebelah barat daya Damsyik dan tidak disebutkan secara gamblang.[67]

Bangsa Arab bangkit memberontak melawan Kekaisaran Turki Osmanli pada tanggal 5 Juni 1916,[70] dengan berpegang pada mufakat quid pro quo yang dicapai lewat hubungan surat-menyurat antara Henry McMahon dan Husain bin Ali Alhasyimi.[71] Meskipun demikian, kurang dari tiga pekan sebelum pemberontakan meletus, pemerintah Inggris, pemerintah Prancis, dan pemerintah Rusia diam-diam telah menyepakati Persetujuan Sykes–Picot, yang kemudian hari disebut Arthur Balfour sebagai "metode yang sepenuhnya baru" untuk memecah-belah kawasan Timur Tengah, manakala kesepakatan tahun 1915 "tampaknya sudah lekang dari ingatan orang".[j]

Kesepakatan antara Inggris dan Prancis ini dirundingkan pada akhir tahun 1915 dan awal tahun 1916 antara Sir Mark Sykes dan François Georges-Picot. Pokok-pokok kesepakatan utama masih berbentuk draf dalam memorandum bersama yang diterbitkan pada tanggal 5 Januari 1916.[73][74] Mark Sykes adalah anggota Parlemen Inggris dari Partai Konservatif yang berhasil menduduki posisi yang cukup berpengaruh terhadap kebijakan Inggris terkait Timur Tengah, mulai sejak diangkat menjadi anggota Panitia De Bunsen dan menggagas pembentukan Biro Arab pada tahun 1915.[75] François Georges-Picot adalah diplomat Prancis yang pernah menjadi konsul jenderal di Beirut.[75] Isi kesepakatan mereka adalah penetapan batas-batas ruang lingkup pengaruh dan kekuasaan di Asia Barat yang diusulkan untuk dibentuk andaikata Entente Tiga berhasil mengalahkan Kekaisaran Turki Osmanli dalam Perang Dunia I.[76][77] Sejumlah besar kawasan yang didiami bangsa Arab dibagi-bagi menjadi bakal wilayah administratif Inggris dan bakal wilayah administratif Perancis. Palestina diusulkan untuk dijadikan wilayah internasional,[76][77] dengan bentuk administrasi pemerintahan yang akan ditetapkan sesudah berkonsultasi dengan Rusia dan Husain bin Ali Alhasyimi.[76] Draf bulan Januari ini mengetengahkan kepentingan-kepentingan umat Kristen maupun umat Islam, dan menyebutkan pula bahwa "anggota-anggota komunitas Yahudi di seluruh dunia memiliki keprihatinan yang sungguh-sungguh dan sentimental terhadap masa depan negeri itu."[74][78][k]

Sebelum memorandum bersama ini diterbitkan, belum ada negosiasi aktif dengan kaum Sionis, tetapi Mark Sykes sudah menginsafi keberadaan Sionisme, dan berhubungan baik dengan Moses Gaster – mantan Presiden Federasi Sionis Inggris[80] – dan boleh jadi sudah pernah membaca memorandum kabinet tahun 1915 yang disusun oleh Herbert Samuel.[78][81] Pada tanggal 3 Maret, ketika Mark Sykes dan François Georges-Picot masih berada di Petrograd, Lucien Wolf, sekretaris Panitia Gabungan untuk Luar Negeri (panitia bentukan organisasi-organisasi Yahudi untuk memperjuangkan kepentingan orang Yahudi di luar negeri), mengajukan draf pernyataan jaminan kepada Kementerian Luar Negeri Inggris. Pernyataan jaminan ini disiapkan agar sewaktu-waktu dapat diterbitkan Blok Sekutu untuk mendukung aspirasi-aspirasi orang Yahudi. Isi draf tersebut adalah sebagai berikut:

Bilamana Palestina sudah tercakup di dalam ruang lingkup pengaruh Inggris atau Prancis seusai perang, maka pemerintah Inggris atau Prancis sekali-kali tidak boleh menyepelekan nilai sejarah negeri itu bagi komunitas Yahudi. Masyarakat Yahudi harus dapat hidup aman sentosa, menikmati kebebasan sipil dan keagamaan, hak-hak politik yang setara dengan masyarakat lain, kemudahan-kemudahan yang berpatutan dalam urusan imigrasi dan kolonisasi, serta keistimewaan-keistimewaan warga kotapraja di kota-kota dan koloni-koloni tempat tinggal mereka jika dipandang perlu.

Pada tanggal 11 Maret, telegram-telegram [l] dikirimkan atas nama Sir Edward Grey kepada duta-duta besar Inggris di Rusia dan Prancis. Telegram-telegram ini berisi pemberitahuan yang harus disampaikan kepada pihak-pihak yang berwenang di Rusia dan Prancis. Pernyataan jaminan termasuk dalam isi pemberitahuan, demikian pula pernyataan berikut ini:

Rancangan ini dapat saja dibuat lebih menarik di mata mayoritas orang Yahudi andaikata mereka dijanjikan bahwa apabila seiring berlalunya waktu masyarakat koloni Yahudi di Palestina sudah cukup kuat untuk menghadapi masyarakat Arab maka mereka dapat dibenarkan untuk mengambil alih penanganan urusan-urusan dalam negeri Palestina (kecuali atas Yerusalem dan tempat-tempat suci).

Sesudah membaca telegram ini, Mark Sykes pun berdiskusi dengan François Georges-Picot. Ia mengusulkan (dengan merujuk kepada memorandum Herbert Samuel[m]) pembentukan sebuah negara kesultanan bangsa Arab di bawah perlindungan Prancis dan Inggris, beberapa cara mengatur kewenangan atas tempat-tempat suci, dan pendirian sebuah badan usaha untuk membeli tanah bagi masyarakat koloni Yahudi, yang nantinya akan menjadi warga negara kesultanan tersebut dengan hak-hak yang setara dengan orang Arab.[n]

Tak lama sesudah pulang dari Petrograd, Mark Sykes memberi arahan kepada Herbert Samuel, yang kemudian memberi arahan kepada Moses Gaster, Chaim Weizmann, dan Nahum Sokolow dalam sebuah pertemuan. Catatan tertanggal 16 April dalam buku harian Moses Gaster berisi uraian sebagai berikut: "Kami ditawari wilayah kondominium Prancis-Inggris di Palest[ina]. Penguasanya berbangsa Arab demi menjaga perasaan orang Arab, tetapi di dalam undang-undang dasarnya termaktub sebuah piagam untuk kaum Sionis yang mendapuk Inggris sebagai penjamin dan pihak akan mendukung kami setiap kali timbul pergesekan... Tawaran ini pada praktiknya merupakan realisasi paripurna dari program Sionis kami. Meskipun demikian, kami bersiteguh meminta piagam yang bersifat nasional, kebebasan berimigrasi, serta otonomi dalam negeri, dan pada saat yang sama juga hak-hak kewarganegaraan penuh bagi [tidak terbaca] dan orang-orang Yahudi di Palestina."[83] Mark Sykes sendiri menganggap butir-butir Persetujuan Sykes-Picot sudah basi, bahkan sebelum ditandatangani. Dalam sepucuk surat pribadi yang ia tulis pada bulan Maret 1916, Mark Sykes mengungkapkan hasil penalarannya bahwa "kaum Sionislah yang kini menjadi kunci situasi".[xii][85] Baik Prancis maupun Rusia ternyata tidak menyukai isi draf pernyataan jaminan, dan Lucien Wolf akhirnya diberitahu pada tanggal 4 Juli bahwa "sekarang bukanlah saat yang tepat untuk mengeluarkan pernyataan apapun." [86]

Ikhtiar-ikhtiar semasa Perang Dunia I ini, termasuk Deklarasi Balfour, kerap ditelaah bersamaan oleh para sejarawan karena adanya potensi ketidakselarasan, baik yang nyata maupun yang terbayang, antara satu ikhtiar dengan ikhtiar lain, khususnya dalam hal rencana pengaturan Palestina.[87] Meminjam kata-kata Profesor Albert Hourani, pendiri Pusat Kajian Timur Tengah di St Antony's College, Oxford, "perdebatan seputar tafsir kesepakatan-kesepakatan ini adalah perdebatan yang tidak bakal berkesudahan, karena kesepakatan-kesepakatan ini memang sengaja disusun sedemikian rupa sehingga dapat memunculkan lebih dari satu macam tafsir."[88]

1916–1917: Perubahan di lingkungan pemerintahan Inggris

Dari sudut pandang politik Inggris, Deklarasi Balfour lahir lantaran Perdana Menteri Herbert Henry Asquith beserta kabinetnya digantikan oleh Perdana Menteri Lloyd George beserta kabinetnya pada bulan Desember 1916. Sekalipun Herbert Henry Asquith dan Lloyd George sama-sama berasal dari Partai Liberal dan sama-sama membentuk kabinet pemerintahan koalisi di masa perang, Lloyd George dan menteri luar negerinya, Arthur Balfour, ingin agar wilayah Kekaisaran Turki Osmanli dipecah-belah seusai perang, sementara Herbert Henry Asquith dan menteri luar negerinya, Sir Edward Grey, ingin agar Kekaisaran Turki Osmanli cukup direformasi saja.[89][90]

Dua hari sesudah menjabat, Lloyd George menyampaikan kepada Jenderal Robertson, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Kekaisaran Inggris, bahwa ia menginginkan kemenangan besar, lebih bagus lagi kalau Yerusalem juga dapat direbut, demi menciptakan kesan yang mampu memukau opini publik Inggris.[91] Lloyd George lantas bergegas menggelar rapat kabinet perang guna merencanakan "kampanye militer lebih lanjut ke dalam wilayah Palestina begitu Al Arisy berhasil diamankan."[92] Tekanan dari Lloyd George terhadap Jenderal Robertson yang bersikap ragu-ragu menghasilkan perebutan daerah Sinai yang selanjutnya disatukan kembali dengan wilayah Mesir, jajahan Inggris. Dengan merebut Al Arisy pada bulan Desember 1916 dan Rafah pada bulan Januari 1917, pasukan Inggris akhirnya sampai di tapal batas selatan wilayah Kekaisaran Turki Osmanli.[92] Situasi buntu di kawasan selatan Palestina bermula setelah pasukan Inggris dua kali gagal merebut Gaza antara tanggal 26 Maret sampai tanggal 19 April.[93] Kegiatan kampanye militer di Sinai dan Palestina tertahan untuk sementara waktu, dan pasukan Inggris baru dapat bergerak memasuki wilayah Palestina pada tanggal 31 Oktober 1917.[94]

1917: Negosiasi resmi Inggris dengan kaum Sionis

Menyusul pergantian kabinet pemerintahan Inggris, Mark Sykes diangkat menjadi Sekretaris Kabinet Perang yang bertanggung jawab menangani urusan-urusan Timur Tengah. Kendati sudah kenal baik dengan Moses Gaster,[xiii] Mark Sykes berusaha untuk bertemu dengan pemimpin-pemimpin kaum Sionis lainnya semenjak bulan Januari 1917. Pada akhir bulan itu, ia sudah berkenalan dengan Chaim Weizmann dan rekan seperjuangannya, Nahum Sokolow, wartawan sekaligus eksekutif Organisasi Sionis Sedunia yang hijrah ke Inggris pada permulaan Perang Dunia I.[xiv]

Dengan mengaku bertindak atas nama pribadi, Mark Sykes mengadakan serangkaian diskusi mendalam dengan jajaran pimpinan kaum Sionis pada tanggal 7 Februari 1917.[o] Hubungan yang pernah terjalin antara Inggris dengan "orang Arab" lewat surat-menyurat turut dibahas dalam pertemuan ini. Menurut catatan Nahum Sokolow, Mark Sykes mengemukakan bahwa "orang Arab menegaskan kalau bahasa harus dijadikan tolok ukur [dalam menentukan siapa yang berhak menjadi penguasa di Palestina] dan [berdasarkan tolok ukur tersebut] dapat saja mengklaim seantero wilayah Suriah dan Palestina. Kendati demikian, orang Arab bisa diatur, apalagi jika mereka mendapat dukungan dari orang Yahudi dalam urusan-urusan lain."[97][98][p] Sampai dengan saat itu kaum Sionis belum tahu apa-apa tentang Persetujuan Sykes–Picot, meskipun sudah curiga.[97] Salah satu sasaran yang hendak dicapai Mark Sykes adalah menggerakkan Sionisme untuk menjadikan Inggris sebagai negara yang berwenang mengatur urusan luar negeri Palestina, sehingga ada alasan untuk membela diri jika digugat Prancis.[100]

Akhir 1917: Perkembangan Perang Dunia I

Peta situasi militer pada pukul 18:00, tanggal 1 November 1917, tepat sebelum pencanangan Deklarasi Balfour.

Selagi Kabinet Perang Inggris sibuk menggelar rapat-rapat pembahasan yang kelak melahirkan Deklarasi Balfour, Perang Dunia I telah sampai pada tahap buntu. Di Front Barat, Blok Sentral mula-mula unggul pada musim semi tahun 1918,[101] sebelum akhirnya diungguli Blok Sekutu untuk seterusnya sejak bulan Juli 1918.[101] Sekalipun sudah memaklumkan perang terhadap Jerman pada musim semi tahun 1917, Amerika Serikat belum ditimpa kerugian akibat perang sehingga tidak melibatkan diri secara aktif. Ketika korban-korban pertama berjatuhan di pihak Amerika Serikat pada tanggal 2 November 1917,[102] Presiden Woodrow Wilson masih saja berharap dapat menghindari pengerahan kontingen-kontingen besar prajurit ke medan perang.[103] Angkatan bersenjata Rusia diketahui terusik oleh revolusi yang tengah melanda Rusia dan peningkatan dukungan terhadap faksi Bolsyewik. Kendati demikian, Pemerintahan Sementara Rusia yang dikepalai Aleksander Kerenski masih melibatkan diri dalam peperangan. Rusia baru menarik diri sesudah revolusi mencapai tahap paripurna pada tanggal 7 November 1917.[104]

Persetujuan

April sampai Juni: Diskusi-diskusi Blok Sekutu

Arthur Balfour melangsungkan pertemuan dengan Chaim Weizmann di kantor Kementerian Luar Negeri Inggris pada tanggal 22 Maret 1917. Dua hari kemudian, Chaim Weizmann mengungkapkan bahwa pertemuan tersebut adalah "kali pertama saya berbincang secara mendalam dengan beliau".[105] Dalam pertemuan ini, Chaim Weizmann mengemukakan bahwa kaum Sionis lebih suka jika Palestina dijadikan wilayah protektorat Inggris alih-alih wilayah protektorat Amerika Serikat, wilayah protektorat Prancis, atau wilayah administrasi internasional. Arthur Balfour menyambut baik pernyataan ini, tetapi mewanti-wanti bahwa "bisa saja timbul masalah dengan Prancis dan Italia".[105]

Arah kebijakan Pracis sehubungan dengan Palestina pada khususnya dan Negeri Syam pada umumnya menjelang pencanangan Deklarasi Balfour mula-mula sejalan dengan butir-butir Persetujuan Sykes-Picot, tetapi mulai simpang siur sejak tanggal 23 November 1915 setelah Prancis mengendus adanya pembicaraan antara Inggris dan Syarif Mekah.[106] Sebelum tahun 1917, hanya Inggris yang bertempur di tapal batas selatan Kekaisaran Turki Osmanli, mengingat Mesir jajahan Inggris memang berbatasan langsung dengan wilayah Kekaisaran Turki Osmanli, lagipula Prancis masih disibukkan oleh pertempuran Front Barat yang berlangsung di negaranya.[107][108] Italia, yang mulai melibatkan diri dalam Perang Dunia I sesudah menandatangani Perjanjian London pada bulan April 1915, baru ikut turun tangan di Timur Tengah sesudah mencapai kesepakatan dengan Prancis dan Inggris dalam konferensi yang diselenggarakan di Saint-Jean-de-Maurienne pada bulan April 1917. Dalam konferensi ini, Lloyd George mengemukakan gagasan menjadikan Palestina sebagai negara protektorat Inggris , tetapi gagasan ini "ditanggapi dengan sangat dingin" oleh Prancis maupun Italia.[109][110][q] Pada bulan Mei dan Juni 1917, Prancis dan Italia menurunkan detasemen-detasemennya untuk membantu Inggris yang sedang giat memperbesar kekuatan tempurnya dalam rangka mempersiapkan diri untuk menyerang Palestina sekali lagi.[107][108]

Pada awal bulan April, Mark Sykes dan François Georges-Picot sekali lagi ditunjuk menjadi negosiator utama. Kali ini keduanya diutus ke Timur Tengah selama sebulan penuh untuk melakukan pembicaraan-pembicaraan lebih lanjut dengan Syarif Mekah dan pemimpin-pemimpin Arab lainnya.[111][r] Pada tanggal 3 April 1917, Mark Sykes menemui Lloyd George, Lord Curzon, dan Maurice Hankey untuk menerima surat tugas sehubungan dengan misi yang diembannya, yakni berusaha agar Prancis tidak menarik dukungannya sekaligus berusaha agar "tidak mencelakai pergerakan kaum Sionis maupun peluangnya untuk berkembang di bawah pengayoman Inggris , tidak membuat janji politik apapun dengan orang Arab, khususnya janji politik yang berkaitan dengan Palestina".[113] Sebelum bertolak ke Timur Tengah, François Georges-Picot, melalui Mark Sykes, mengundang Nahum Sokolow ke Paris untuk menatar para pejabat pemerintah Prancis agar paham akan Sionisme.[114] Mark Sykes, yang sudah melapangkan jalan lewat surat-menyurat dengan François Georges-Picot,[115] tiba beberapa hari sesudah Nahum Sokolow sampai ke Paris. Sebelum Mark Sykes tiba, Nahum Sokolow telah menemui François Georges-Picot dan pejabat-pejabat pemerintah Prancis lainnya, dan berhasil meyakinkan Kementerian Luar Negeri Prancis untuk menerima, sebagai bahan kajian, sebuah pernyataan sasaran-sasaran kaum Sionis "sehubungan dengan kumudahan-kemudahan kolonisasi, otonomi komunal, hak-hak berbahasa, dan pembentukan sebuah badan usaha Yahudi berpiagam pemerintah."[116] Mark Sykes melanjutkan perjalanannya ke Italia dan melangsungkan pertemuan dengan Duta Besar Inggris maupun wakil pemerintah Inggris di Vatikan untuk sekali lagi melapangkan jalan bagi Nahum Sokolow.[117]

Nahum Sokolow diberi kesempatan audiensi dengan Paus Benediktus XV pada tanggal 6 Mei 1917.[118] Menurut catatan jalannya audiensi yang ditulis Nahum Sokolow, yakni satu-satunya keterangan tentang pertemuan tersebut yang diketahui oleh para sejarawan, Sri Paus secara umum mengungkapkan simpati dan dukungannya terhadap proyek kaum Sionis.[119][xv] Pada tanggal 21 Mei 1917, Angelo Sereni, ketua Panitia Paguyuban-Paguyuban Bani Israel,[s] memperkenalkan Nahum Sokolow kepada Sidney Sonnino, Menteri Luar Negeri Italia. Ia juga diberi kesempatan bertatap muka dengan Paolo Boselli, Perdana Menteri Italia. Atas arahan Sidney Sonnino, sekretaris jenderal Kementerian Luar Negeri Italia mengirim sepucuk surat yang, kendati tidak dapat mengungkapkan pandangan pribadinya mengenai kebajikan-kebajikan sebuah program yang berkaitan dengan semua negara anggota Blok Sekutu, "secara umum" menyatakan bahwa ia tidak menentang klaim-klaim sah orang Yahudi.[125] Dalam perjalanan pulangnya, Nahum Sokolow sekali lagi berjumpa dengan pejabat-pejabat Prancis dan berhasil mendapatkan selembar surat tertanggal 4 Juni 1917 dari Kepala Bagian Urusan Politik Kementerian Luar Negeri Prancis Jules Cambon, yang berisi pernyataan simpati terhadap perjuangan kaum Sionis.[126] Surat ini tidak dipublikasikan, tetapi disimpan di kantor Kementerian Luar Negeri Inggris.[127][xvi]

Sesudah Amerika Serikat melibatkan diri dalam Perang Dunia I pada tanggal 6 April, Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour memimpin rombongan Misi Balfour ke Washington D.C. dan New York, tempat ia singgah selama sebulan, dari pertengahan bulan April sampai pertengahan bulan Mei. Selama melawat ke Amerika Serikat, ia menyempatkan diri untuk berdiskusi tentang Sionisme dengan Louis Brandeis, seorang tokoh Sionis terkemuka dan sekutu dekat Presiden Woodrow Wilson yang telah diangkat menjadi salah seorang Hakim Agung Amerika Serikat setahun sebelumnya.[t]

Juni dan Juli: Keputusan untuk menyusun sebuah deklarasi

Selembar salinan draf deklarasi yang mula-mula diajukan oleh Lord Rothschild bersama surat pengantarnya, 18 Juli 1917, dari arsip Kabinet Perang Inggris

Pada tanggal 13 Juni 1917, Kepala Bagian Urusan Timur Tengah Kementerian Luar Negeri Inggris Ronald Graham telah dapat memastikan bahwa ketiga politikus paling relevan – Perdana Menteri, Menteri Luar Negeri, dan Wakil Parlementer Menteri Luar Negeri Lord Robert Cecil – semuanya menghendaki agar Inggris mendukung pergerakan kaum Sionis.[u] Pada hari yang sama, Chaim Weizmann menyurati Ronald Graham untuk memperjuangkan dikeluarkannya sebuah deklarasi terbuka.[v][131][132]

Dalam suatu pertemuan pada tanggal 19 Juni, Arthur Balfour meminta Lord Rothschild dan Chaim Weizmann untuk mengajukan suatu rumusan deklarasi.[133] Sepanjang beberapa minggu berikutnya, panitia negosiasi kaum Sionis menyiapkan selembar draf deklarasi yang terdiri atas 143 patah kata, tetapi Mark Sykes, Ronald Graham, maupun Lord Rothschild menilai draf tersebut terlalu menjurus ke hal-hal yang sensitif.[134] Di lain pihak, Kementerian Luar Negeri Inggris juga menyiapkan selembar draf, yang digambarkan pada tahun 1961 oleh Harold Nicolson, selaku orang yang terlibat langsung dalam penyusunannya, sebagai usulan penciptaan "suaka bagi orang-orang Yahudi yang menjadi korban penindasan".[135][136] Draf yang disusun oleh Kementerian Luar Negeri Inggris ditolak mentah-mentah oleh kaum Sionis sehingga tidak jadi dipakai. Tak selembar pun salinan draf ini dapat ditemukan di kumpulan arsip Kementerian Luar Negeri Inggris .[135][136]

Sesudah berdiskusi lebih lanjut dengan pihak kementerian, Lord Rothschild akhirnya merevisi draf yang disiapkan kaum Sionis sehingga menjadi lebih singkat, hanya mengandung 46 patah kata, dan mengirimkannya kepada Arthur Balfour pada tanggal 18 Juli.[134] Draf ini diterima Kementerian Luar Negeri Inggris dan diajukan kepada kabinet untuk dipertimbangkan secara resmi.[137]

September dan Oktober: Persetujuan dari Amerika Serikat dan Kabinet Perang Inggris

Sebagai bahan pertimbangan dalam diskusi-diskusi Kabinet Perang Inggris, diminta pandangan dari sepuluh orang "wakil" pemuka masyarakat Yahudi. Para pemuka masyarakat Yahudi yang mendukung adalah keempat anggota tim negosiasi kaum Sionis (Lord Rothschild, Chaim Weizmann, Nahum Sokolow, dan Herbert Samuel), Stuart Samuel (abang Herbert Samuel), dan Rabi Ketua Joseph Hertz, sementara yang menentang adalah Edwin Montagu, Philip Magnus, Claude Montefiore, dan Lionel Cohen.

Pada tanggal 31 Oktober 1917, Kabinet Perang Inggris memutuskan untuk mengeluarkan deklarasi. Keputusan ini diambil sebagai tindak lanjut dari hasil diskusi dalam empat kali rapat kabinet perang (termasuk rapat tanggal 31 Oktober) yang digelar dalam tempo dua bulan.[137] Demi membantu memperlancar diskusi, Sekretariat Kabinet Perang Inggris dipimpin oleh Maurice Hankey dan dibantu para Sekretaris Pembantu[138][139] – terutama Mark Sykes dan Leo Amery, rekan separtai Mark Sykes di Parlemen Inggris yang juga pro-Sionis – mengumpulkan perspektif-perspektif pihak luar untuk diajukan kepada kabinet perang. Perspektif-perspektif pihak luar tersebut mencakup pandangan-pandangan para pejabat pemerintahan, pandangan-pandangan para sekutu dalam Perang Dunia I – teristimewa pandangan Presiden Woodrow Wilson – serta pernyataan-pernyataan pandangan resmi yang diajukan pada bulan Oktober oleh enam orang tokoh pimpinan kaum Sionis dan empat orang pemuka masyarakat Yahudi non-Sionis.[137]

Sebelum mengeluarkan deklarasi, para pejabat Inggris dua kali meminta persetujuan President Amerika Serikat Woodrow Wilson. Ketika pertama kali dimintai persetujuannya pada tanggal 3 September, President Woodrow Wilson menolak dengan alasan waktunya belum tepat. Ia baru memberikan persetujuan setelah diminta untuk kedua kalinya pada tanggal 6 Oktober.[140]

Petikan-petikan dari notula keempat rapat Kabinet Perang Inggris berikut ini memperlihatkan faktor-faktor utama yang menjadi bahan pertimbangan para menteri:

  • 3 September 1917: "Menanggapi anjuran agar urusan ini sebaiknya ditangguhkan dulu, [Arthur Balfour] mengemukakan bahwa urusan ini sudah lama sekali ditahan-tahan Kementerian Luar Negeri. Ada organisasi yang sangat kuat dan antusias, khususnya di Amerika Serikat, yang gigih memperjuangkan urusan ini, serta mengemukakan keyakinannya bahwa Blok Sekutu akan sangat terbantu jika dapat menarik ketulusan dan kesungguhan orang-orang tersebut ke pihak kita. Jika tidak berbuat apa-apa, maka kita berisiko putus hubungan secara langsung dengan mereka, jadi situasi ini perlu dihadapi."[141]
  • 4 Oktober 1917: "... [Arthur Balfour] mengemukakan bahwa pemerintah Jerman sedang berusaha keras menarik simpati gerakan Sionisme. Kendati ditentang oleh sejumlah hartawan Yahudi di negara itu, gerakan Sionisme didukung oleh mayoritas warga Yahudinya, setidaknya di Rusia dan Amerika, dan mungkin sekali di negara-negara lain ... Tuan Balfour selanjutnya membaca selembar pernyataan yang sangat simpatik dari pemerintah Prancis kepada kaum Sionis, lalu menegaskan bahwa ia tahu Presiden Woodrow Wilson benar-benar mendukung gerakan itu."[142]
  • 25 Oktober 1917: "... sekretaris mengemukakan bahwa ia telah didesak oleh Kementerian Luar Negeri untuk mengangkat permasalahan Sionisme, suatu keputusan pendahuluan atas permasalahan ini dianggap sangat penting."[143]
Notula rapat Kabinet Perang Inggris tanggal 31 Oktober 1917 yang menyetujui dikeluarkannya Deklarasi Balfour
  • 31 Oktober 1917: "[Arthur Balfour] berkesimpulan semua orang kini setuju bahwa, ditinjau dari sudut pandang yang murni bersifat diplomatik dan politik, sudah sepatutnya dikeluarkan sebuah deklarasi yang mendukung aspirasi-aspirasi kaum nasionalis Yahudi. Mayoritas orang Yahudi di Rusia dan Amerika, maupun di seluruh dunia, kini tampaknya mendukung Sionisme. Jika kita dapat mengeluarkan sebuah deklarasi yang yang mendukung cita-cita tersebut, maka kita harus mampu melanjutkan kegiatan propaganda yang sangat berguna itu di Rusia dan Amerika."[144]

Penyusunan draf

Deklasifikasi arsip pemerintah Inggris telah memungkinkan para ahli untuk mengetahui keseluruhan proses penyusunan draf Deklarasi Balfour. Dalam bukunya yang terbit pada tahun 1961 dan kerap dijadikan sumber rujukan, Leonard Stein membeberkan empat draft terdahulu Deklarasi Balfour.[145]

Kegiatan penyusunan draf berawal dari petunjuk yang diberikan Chaim Weizmann kepada tim penyusun draf Sionis mengenai tujuan-tujuannya melalui sepucuk surat tertanggal 20 Juni 1917, sehari sesudah pertemuannya dengan Lord Rothschild dan Arthur Balfour. Ia mengusulkan agar deklarasi tersebut harus memuat penegasan dari pemerintah Inggris akan "keyakinan, kemauan, atau niatnya untuk mendukung kehendak kaum Sionis menciptakan kediaman nasional di Palestina; menurut hemat saya, soal kekuasaan suzeranitas tidak perlu disinggung-singgung karena dapat mengganggu hubungan baik antara Inggris dan Prancis; deklarasi ini harus merupakan deklarasi Sionis."[89][146]

Sebulan sesudah menerima draf ringkas yang diajukan Lord Rothschild pada tanggal 12 Juli, Arthur Balfour mengusulkan sejumlah amandemen yang lebih bersifat teknis.[145] Amandemen-amandemen yang lebih substantif termuat dalam dua draf berikutnya, yakni draf yang diajukan pada akhir bulan Agustus oleh Alfred Milner, salah seorang dari kelima anggota mula-mula kabinet perang Lloyd George dengan jabatan menteri tanpa portofolio,[xvii] dan draf yang diajukan pada awal bulan Oktober oleh Alfred Milner dan Leo Amery. Dalam draf yang diajukan pada akhir bulan Agustus, cakupan geografi disusutkan dari seluruh Palestina menjadi "di Palestina", sementara dalam draf yang diajukan pada awal bulan Oktober, tercantum tambahan dua "klausa pengaman".[145]

Daftar draf Deklarasi Balfour yang diketahui beserta perubahan dari draf ke draf
Draf Teks Perubahan
Draf awal dari kaum Sionis
Bulan Juli 1917[147]
Pemerintahan Sri Baginda, sesudah mempertimbangkan sasaran-sasaran Organisasi Sionis, menerima prinsip pengakuan Palestina menjadi kediaman nasional orang Yahudi, dan hak orang Yahudi untuk membangun kehidupan berbangsa di Palestina di bawah perlindungan yang akan dibentuk saat perdamaian disepakati sesudah perang dimenangkan.

Pemerintahan Sri Baginda, demi terwujudnya prinsip ini, memandang penting pemberian otonomi dalam negeri kepada bangsa Yahudi di Palestina, kebebasan berimigrasi bagi orang Yahudi, dan pembentukan sebuah Badan Usaha Kolonisasi Nasional Yahudi untuk menangani usaha pemukiman kembali serta pengembangan ekonomi negeri itu.
Syarat-syarat dan bentuk-bentuk otonomi dalam negeri serta piagam bagi Badan Usaha Kolonisasi Nasional Yahudi, menurut hemat Pemerintahan Sri Baginda, harus dijabarkan secara terperinci dan ditetapkan bersama wakil-wakil Organisasi Sionis.[148]

Draf Lord Rothschild
Tanggal 12 Juli 1917[147]
1. Pemerintahan Sri Baginda menerima Prinsip bahwa Palestina harus direkonstitusi menjadi kediaman nasional orang Yahudi.

2. Pemerintahan Sri Baginda akan berusaha sekuat tenaganya untuk menjamin terlaksananya maksud ini serta akan mendiskusikan metode-metode dan cara-cara yang diperlukan dengan Organisasi Sionis.[145]

1. Pemerintahan Sri Baginda [*] menerima prinsip pengakuan bahwa Palestina harus direkonstitusi menjadi kediaman nasional orang Yahudi. [*]

2. Pemerintahan Sri Baginda [*] akan berusaha sekuat tenaganya untuk menjamin terlaksananya maksud ini serta akan mendiskusikan metode-metode dan cara-cara yang diperlukan dengan Organisasi Sionis.
* banyak kata dihapus

Draf Arthur Balfour
Pertengahan bulan Agustus 1917
Pemerintahan Sri Baginda menerima prinsip bahwa Palestina harus direkonstitusi menjadi kediaman nasional orang Yahudi, dan akan berusaha sekuat tenaga untuk menjamin terlaksananya maksud ini serta akan bersiap sedia untuk mempertimbangkan saran apa saja yang berkenaan dengan hal tersebut yang ingin diajukan Organisasi Sionis kepadanya.[145] 1. Pemerintahan Sri Baginda menerima prinsip bahwa Palestina harus direkonstitusi menjadi kediaman nasional orang Yahudi. , dan 2. Pemerintahan Sri Baginda akan berusaha sekuat tenaganya untuk menjamin terlaksananya maksud ini serta akan mendiskusikan metode-metode dan cara-cara yang diperlukan dengan bersiap sedia untuk mempertimbangkan saran apa saja yang berkenaan dengan hal tersebut yang ingin diajukan Organisasi Sionis kepadanya.
Draf Alfred Milner
Akhir bulan Agustus 1917
Pemerintahan Sri Baginda menerima prinsip bahwa segala macam peluang harus dibuka bagi penciptaan kediaman bagi orang Yahudi di Palestina, dan akan berusaha sekuat tenaganya untuk memudahkan terlaksananya maksud ini serta akan bersiap sedia untuk mempertimbangkan saran apa saja yang berkenaan dengan hal tersebut yang ingin diajukan organisasi-organisasi kaum Sionis kepadanya.[145] Pemerintahan Sri Baginda menerima prinsip bahwa Palestina harus dibentuk ulang menjadi kediaman nasional segala macam peluang harus dibuka bagi penciptaan kediaman bagi orang Yahudi di Palestina, dan akan berusaha sekuat tenaganya untuk menjamin memudahkan terlaksananya maksud ini serta akan bersiap sedia untuk mempertimbangkan saran apa saja yang berkenaan dengan hal tersebut yang ingin diajukan Organisasi organisasi-organisasi kaum Sionis kepadanya.
Draf Alfred Milner dan Leo Amery
Tanggal 4 Oktober 1917
Pemerintahan Sri Baginda memandang baik penciptaan kediaman nasional di Palestina bagi bangsa Yahudi, dan akan berusaha sekuat tenaganya untuk memudahkan terlaksananya maksud ini, dengan keinsyafan bahwa tak satu pun langkah pelaksanaannya akan mencederai hak-hak sipil dan keagamaan komunitas-komunitas non-Yahudi di Palestina, maupun hak-hak dan status politik yang dinikmati di negeri-negeri lain oleh orang Yahudi yang sudah puas dengan kewarganegaraannya.[145] Pemerintahan Sri Baginda menerima prinsip bahwa segala macam peluang harus dibuka bagi memandang baik penciptaan kediaman nasional di Palestina bagi bangsa orang Yahudi di Palestina, dan akan berusaha sekuat tenaganya untuk memudahkan terlaksananya maksud ini serta akan bersiap sedia untuk mempertimbangkan saran apa saja yang berkenaan dengan hal tersebut yang ingin diajukan organisasi-organisasi kaum Sionis kepadanya , dengan keinsyafan bahwa tak satu pun langkah pelaksanaannya akan mencederai hak-hak sipil dan keagamaan komunits-komunitas non-Yahudi di Palestina, maupun hak-hak dan status politik yang dinikmati di negeri-negeri lain oleh orang Yahudi yang sudah puas dengan kewarganegaraannya.[145]
Versi akhir Pemerintahan Sri Baginda memandang baik penciptaan kediaman nasional di Palestina bagi orang Yahudi, dan akan berusaha sekuat tenaga untuk memudahkan terlaksananya maksud ini, dengan keinsafan bahwa tak satu pun langkah pelaksanaannya akan mencederai hak-hak sipil dan keagamaan komunitas-komunitas non-Yahudi di Palestina, maupun hak-hak dan status politik yang dinikmati orang Yahudi di negeri-negeri lain. Pemerintahan Sri Baginda memandang baik penciptaan kediaman nasional di Palestina bagi bangsa orang Yahudi, dan akan berusaha sekuat tenaganya untuk memudahkan terlaksananya maksud ini, dengan keinsyafan bahwa tak satu pun langkah pelaksanaannya akan mencederai hak-hak sipil dan keagamaan komunitas-komunitas non-Yahudi di Palestina, maupun hak-hak dan status politik yang dinikmati orang Yahudi di negeri-negeri lain oleh orang Yahudi yang sudah puas dengan kewarganegaraannya.[145]

Penulis-penulis terkemudian telah memperdebatkan siapa sesungguhnya "tokoh utama" dalam penyusunan Deklarasi Balfour. Dalam bukunya, The Anglo-American Establishment, yang terbit tahun 1981 sesudah ia wafat, Carroll Quigley, profesor sejarah di Universitas Georgetown, memaparkan pandangannya bahwa Lord Milnerlah yang berjasa menyusun Deklarasi Balfour.[xviii] Baru-baru ini, William D. Rubinstein, Profesor Sejarah Zaman Modern di Universitas Aberystwyth, Wales, mengemukakan bahwa Leo Amerylah penyusun utama Deklarasi Balfour.[150] Sahar Huneidi mengungkap dalam bukunya bahwa William Ormsby-Gore, dalam laporan yang ia susun untuk diserahkan kepada John Shuckburgh, mengaku telah menyusun draf akhir Deklarasi Balfour bersama-sama dengan Leo Amery.[151]

Pokok-pokok penting

Versi deklarasi yang sudah disetujui, yakni pernyataan dalam satu kalimat yang terdiri atas 67 patah kata,[152] termuat dalam surat singkat yang dikirim Arthur Balfour kepada Walter Rothschild pada tanggal 2 November 1917 untuk disampaikan kepada Federasi Sionis Britania Raya dan Irlandia.[153] Deklarasi tersebut berisi empat klausa. Dua klausa pertama adalah janji dukungan terhadap "penciptaan kediaman nasional bagi orang yahudi di Palestina", dan dua klausa terakhir adalah "klausa-klausa pengaman"[154][155] yang menjamin "hak-hak sipil dan keagamaan komunitas-komunitas non-Yahudi di Palestina" maupun "hak-hak dan status politik yang dinikmati orang yahudi di negeri-negeri lain".[153]

"Kediaman nasional bagi orang Yahudi" versus negara Yahudi

"Kata-kata dalam dokumen ini dipilih dengan sangat cermat, dan frasa kabur 'kediaman nasional bagi orang Yahudi' dapat dianggap lumayan tidak mengkhawatirkan... Namun kekaburan makna frasa tersebut telah menjadi sumber masalah sedari awal. Orang-orang berjabatan tinggi telah menggunakan bahasa yang sangat longgar dengan penuh perhitungan untuk menyampaikan maksud yang berbeda dari maksud yang dapat dipahami dari kata-kata tersebut menurut tafsir yang lebih moderat. President Woodrow Wilson menghilangkan segala keraguan terkait maksud kata-kata tersebut dengan mengedepankan pemahamannya sendiri, ketika berbicara kepada para pemuka masyarakat Yahudi di Amerika pada bulan Maret 1919. 'Saya semakin yakin bahwa bangsa-bangsa sekutu, dengan dukungan bulat dari pemerintah dan rakyat kami, setuju bahwa di Palestina harus diasaskan sebuah persemakmuran Yahudi,' ujarnya.[w] Mendiang Presiden Roosevelt pernah menyatakan bahwa perihal 'Palestina harus dijadikan sebuah Negara Yahudi' sepatutnya dijadikan salah satu syarat perdamaian Blok Sekutu. Tuan Winston Churchill sudah berwacana tentang 'Negara Yahudi' dan Tuan Bonar Law sudah mengemukakan perihal 'pengembalian Palestina kepada orang Yahudi' dalam sidang parlemen." [157][x]

Laporan Komisi Palin, bulan Agustus 1920[159]

Istilah "kediaman nasional" memang sengaja dibiarkan ambigu maknanya,[160] karena tidak memiliki nilai guna di mata hukum dan belum pernah digunakan dalam ranah hukum internasional,[153] sehingga maknanya tidak jelas dibanding istilah-istilah lain semacam "negara".[153] Alih-alih istilah "negara", istilah "kediaman nasional" sengaja dipakai karena adanya penentangan terhadap program kaum Sionis tersebut di dalam tubuh kabinet Inggris.[153] Menurut sejarawan Norman Rose, para perancang utama Deklarasi Balfour beranggapan bahwa bila sudah tiba masanya, sebuah Negara Yahudi akan terbentuk dengan sendirinya, sementara Komisi Kerajaan untuk Urusan Palestina berkesimpulan bahwa kata-kata tersebut adalah "hasil kompromi di antara para menteri yang beranggapan dan yang tidak beranggapan bahwa sebuah Negara Yahudi pada akhirnya akan dapat berdiri."[161][xix]

Memorandum kabinet tertanggal 26 Oktober 1917 dari Lord Curzon, yang membahas arti frasa "Kediaman Nasional bagi bangsa Yahudi di Palestina" dengan menyinggung berbagai macam opini yang ada, diedarkan seminggu sebelum pencanangan Deklarasi Balfour[163]

Makna frasa tersebut sudah berusaha ditafsirkan dalam korespondensi yang bermuara pada versi akhir Deklarasi Balfour. Dalam sebuah laporan resmi yang diserahkan kepada kabinet perang pada tanggal 22 September, Mark Sykes mengemukakan bahwa kaum Sionis tidak ingin "menjadikan Palestina maupun mendirikan di Palestina sebuah negara republik Yahudi maupun negara bentuk apa pun" tetapi lebih menghendaki semacam wilayah protektorat sebagaimana tersedia dalam Mandat atas Palestina.[y] Sebulan kemudian, Lord Curzon menerbitkan sebuah memorandum berisi dua pertanyaan,[163] yang diedarkan pada tanggal 26 Oktober 1917. Pertanyaan pertama berkaitan dengan makna frasa "Kediaman Nasional bagi bangsa Yahudi di Palestina"; ia melihat ada beragam opini mengenai makna frasa tersebut, mulai dari sebuah negara yang seutuhnya sampai dengan sekadar sebuah pusat kerohanian bagi orang Yahudi.[165]

Sejumlah media massa Inggris berasumsi bahwa jauh-jauh hari sudah ada niat untuk mendirikan sebuah negara Yahudi sebelum Deklarasi Balfour rampung disusun.[xx] Di Amerika Serikat, media massa mulai menggunakan istilah-istilah "Kediaman Nasional Yahudi", "Negara Yahudi", "Republik Yahudi", maupun "Persemakmuran Yahudi".[167]

Pakar perjanjian, David Hunter Miller, yang turut hadir hadir dalam Konferensi Damai Paris tahun 1919 dan kemudian hari menyusun kompendium dokumen-dokumennya dalam 22 jilid buku, menyajikan laporan dari Bagian Intelijen Delegasi Amerika Serikat dalam konferensi tersebut, yang merekomendasikan agar "dibentuk sebuah negara terpisah di Palestina," dan agar "Liga Bangsa-Bangsa mengakui Palestina sebagai negara Yahudi, segera sesudah sesudah negara tersebut wujud."[168][169] Laporan tersebut juga mengusulkan agar didirikan negara Palestina merdeka di bawah mandat Liga Bangsa-Bangsa yang dipercayakan kepada Inggris. Para pendatang Yahudi akan diizinkan dan didorong untuk tinggal di negara ini, dan tempat-tempat suci di negara ini akan ditempatkan di bawah pengaturan Liga Bangsa-Bangsa.[169] Kelompok the Inquiry memang memberi pendapat positif mengenai kemungkinan bahwa sebuah negara Yahudi pada akhirnya akan berdiri di Palestina jika data kependudukan yang diperlukan untuk hal tersebut sudah ada.[169]

Sejarawan Matthew Jacobs kemudian hari mengemukakan dalam tulisannya bahwa pendekatan Amerika Serikat tersebut dihambat oleh "ketiadaan pengetahuan khusus mengenai kawasan itu" dan bahwasanya "seperti kebanyakan laporan mengenai Timur Tengah yang dikerjakan The Inquiry, laporan-laporan tentang Palestina mengandung banyak sekali cacat" serta "mempraanggapkan hasil tertentu dari perang". Ia mengutip tulisan Miller yang mengulas tentang sebuah laporan mengenai sejarah dan dampak dari Sionisme, bahwa laporan tersebut "sama sekali tidak memadai dari segala macam sudut pandang dan harus dianggap tidak lebih dari bahan-bahan yang akan digunakan kemudian hari untuk menyusun laporan".[170]

Pada tanggal 2 Desember 1917, Lord Robert Cecil berusaha meyakinkan para peserta konferensi bahwa pemerintah Inggris sungguh-sungguh bermaksud menyerahkan daerah "Yudea kepada orang Yahudi."[168] Yair Auron mengemukakan bahwa Lord Robert Cecil, yang ketika itu adalah Wakil Menteri Luar Negeri Inggris dan hadir mewakili pemerintah Inggris dalam sebuah pertemuan perayaan yang diselenggarakan Federasi Sionis Inggris, "mungkin sekali sudah menyampaikan lebih dari isi penyampaian resminya" ketika berkata (dikutip dari keterangan Leonard Stein) bahwa "keinginan kami adalah negara-negara Arab menjadi milik bangsa Arab, Armenia menjadi milik bangsa Armenia, dan Yudea menjadi milik orang Yahudi".[171]

Pada bulan Oktober tahun berikutnya, Neville Chamberlain membahas tentang "Negara Yahudi yang baru" saat memimpin sebuah pertemuan kaum Sionis.[168] Ketika itu, Neville Chamberlain adalah Anggota Parlemen dari daerah pemilihan Ladywood, Birmingham. Mengilas balik peristiwa tersebut, pada tahun 1939, tepat sesudah Neville Chamberlain mengesahkan Buku Putih tahun 1939, Kantor Telegraf Yahudi mengemukakan bahwa si Perdana Menteri sudah "sangat berubah pikiran dalam rentang waktu 21 tahun"[172] Setahun kemudian, pada peringatan dua tahun dicanangkannya Deklarasi Balfour, Jenderal Jan Smuts mengemukakan bahwa Inggris "akan menepati janjinya ... dan sebuah negara Yahudi yang jaya pada akhirnya akan terwujud."[168] Dalam nada yang sama, beberapa bulan kemudian, Neville Churchill mengeluarkan pernyataan sebagai berikut:

Jika, sebagaimana yang mungkin sekali akan terjadi, terwujud selagi kami masih hidup, di tepi Sungai Yordan, sebuah Negara Yahudi di bawah perlindungan Mahkota Inggris, yang mungkin nantinya terdiri atas tiga atau empat juta warga Yahudi, maka di dalam lembaran sejarah dunia akan tercatat sebuah kejadian, yang jika ditinjau dari segala sudut pandang, akan mendatangkan kebajikan.[173]

Dalam rapat kabinet Kekaisaran Inggris tanggal 22 Juni 1921, Neville Churchill ditanya Arthur Meighen, Perdana Menteri Kanada, mengenai arti dari kediaman nasional. Neville Churchill menjawab, "jika dalam waktu bertahun-tahun mereka sudah menjadi golongan mayoritas di sana, dengan sendirinya mereka akan mengambil alih negeri itu....pro rata dengan orang Arab. Kami memberi janji yang sama bahwa kami tidak akan menyingkirkan orang Arab dari tanahnya maupun menyalahi hak-hak politik dan kemasyarakatannya". [174]

Ruang lingkup kediaman nasional "di Palestina"

Frasa "di Palestina", alih-alih "Palestina", juga dipilih dengan sengaja.[xxi] Usulan draf deklarasi yang termuat dalam surat tertanggal 12 Juli dari Lord Rothschild kepada Arthur Balfour menyebut-nyebut prinsip "bahwa Palestina harus direkonstitusi menjadi Kediaman Nasional orang Yahudi."[175] Dalam teks akhir yang sudah diamandemen Lord Milner, kata "direkonstitusi" dihilangkan dan kata "bahwa" diganti dengan "di".[176][177]

Dengan demikian teks akhir menghilangkan keharusan untuk menjadikan seluruh wilayah Palestina sebagai Kediaman Nasional orang Yahudi, sehinga kemudian hari menimbulkan kontroversi mengenai ruang lingkup yang dimaksud dari Kediaman Nasional di Palestina, khususnya terkait pandangan Sionisme Revisionis yang mengklaim seluruh wilayah mandat Palestina dan wilayah Emirat Seberang Yordan sebagai Tanah Air Orang Yahudi.[147][176] Kekeruhan ini dijernihkan Buku Putih Churchill pada tahun 1922, yang berisi pernyataan bahwa "maksud dari istilah-istilah yang diacu dalam deklarasi tersebut bukanlah Palestina secara keseluruhan harus diubah menjadi Kediaman Nasional orang Yahudi, melainkan Kediaman Nasional orang Yahudi harus didirikan 'di Palestina.'"[178]

Deklarasi Balfour tidak memerinci batas-batas geografi Palestina.[179] Seusai Perang Dunia I, tiga dokumen, yakni Deklarasi Balfour, surat-surat dari hubungan Korespondensi Husain-McMahon, dan Perjanjian Sykes-Picot, dijadikan acuan dalam negosiasi-negosiasi penentuan tapal batas wilayah Palestina.[180]

Hak-hak sipil dan keagamaan komunitas-komunitas non-Yahudi di Palestina

"Meskipun demikian, jika berpegang pada makna resmi dari isi Pernyataan Balfour... sulit diragukan bahwa Program Sionis yang ekstrem tersebut harus dimodifikasi secara besar-besaran. Karena "kediaman nasional bagi bangsa Yahudi" tidaklah sama dengan membuat Palestina menjadi sebuah Negara Yahudi, dan usaha pendirian Negara Yahudi semacam itu juga tidak dapat dilaksanakan tanpa melakukan pelanggaran terberat terhadap "hak-hak sipil dan keagamaan komunitas-komunitas non-Yahudi yang sudah ada di Palestina." Fakta ini berulang kali mengemuka dalam konferensi Komisi King-Crane bersama wakil-wakil umat Yahudi, yakni bahwasanya kaum Sionis berharap akan melepas segenap kepemilikan dari penduduk non-Yahudi yang ada di Palestina sekarang ini melalui berbagai bentuk tindakan membeli."

Laporan Komisi King–Crane, Agustus 1919[181]

Klausa pengaman pertama Deklarasi Balfour mengatur perlindungan terhadap hak-hak sipil dan keagamaan orang-orang bukan Yahudi di Palestina. Klausa ini disusun bersama-sama dengan klausa pengaman kedua oleh Leo Amery sambil berkonsultasi dengan Lord Milner, dengan maksud untuk "sebijak mungkin menenangkan pihak-pihak penentang, baik orang Yahudi maupun pihak pro-Arab, tanpa mencederai substansi dari deklarasi yang diikhtiarkan tersebut".[182][z]

Hak-hak dan status politik yang dinikmati orang Yahudi di negeri-negeri lain

Edwin Montagu, satu-satunya orang Yahudi berjabatan tinggi di jajaran pemerintah Inggris,[184] menerbitkan memorandum tertanggal 23 Agustus 1917 yang mengungkap keyakinannya bahwa "buah dari kebijakan Pemerintahan Sri Baginda bersifat antisemit, dan kelak akan mengobarkan gerakan antisemit di semua negara di muka bumi."

Klausa pengaman yang kedua adalah komitmen bahwa tak satu pun langkah pelaksanaan boleh mencederai hak-hak komunitas-komunitas Yahudi di luar Palestina.[185] Draf-draf awal yang disusun oleh Walter Rothschild, Arthur Balfour, dan Alfred Milner tidak memuat klausa pengaman ini. Klausa ini baru disusun bersama klausa pengaman yang pertama pada awal bulan Oktober[185] guna menampung pandangan pemuka-pemuka masyarakat Yahudi Inggris dari kubu penentang.[185] Walter Rothschild berkeberatan terhadap klausa ini ini karena mempraanggapkan kemungkinan timbulnya bahaya terhadap kaum non-Sionis, yang mana ia sangkal.[186]

Lewat harian The Times edisi 24 Mei 1917, Panitia Bersama untuk Urusan Luar Negeri bentukan Dewan Perwakilan Umat Yahudi Inggris dan Asosiasi Yahudi Inggris mempublikasikan sepucuk surat berjudul Pandangan-Pandangan Umat Yahudi Inggris yang ditandatangani David Lindo Alexander (ketua Dewan Perwakilan Umat Yahudi Inggris) dan Claude Montefiore (ketua Asosiasi Yahudi Inggris). Pandangan mereka termuat dalam isi surat, bahwasanya "penciptaan kebangsaan Yahudi di Palestina, yang didasarkan atas teori ketunawismaan ini, tentu akan membuat seluruh dunia mengecap orang Yahudi sebagai pendatang asing di negara tempat mereka dilahirkan, dan mengecilkan posisi selaku warga negara dan anak bangsa yang sudah mereka dapatkan dengan susah payah di negara-negara tersebut."[187] Pada bulan Agustus, Edwin Montagu, tokoh Yahudi anti-Sionis yang berpengaruh dan Menteri Urusan India, satu-satunya orang Yahudi dalam kabinet pemerintahan Inggris, menerbitkan memorandum kabinet yang memuat pernyataan bahwa "buah dari kebijakan Pemerintahan Sri Baginda bersifat antisemit, dan kelak akan mengobarkan gerakan antisemit di semua negara di muka bumi."[188]

Tanggapan

Teks deklarasi tersebut diterbitkan dalam pers sepekan setelah ditandatangani, pada 9 November 1917.[189] Peristiwa terakhir lainnya terjadi dalam jangka pendek, dua peristiwa paling relevan adalah penaklukan militer Inggris yang nyaris terjadi di Palestina dan pembocoran Perjanjian Sykes-Picot yang sebelumnya rahasia. Di sisi militer, Gaza dan Jaffa jatuh dalam beberapa hari, dan Yerusalem menyerah kepada Inggris pada 9 Desember.[94] Publikasi Persetujuan Sykes–Picot, setelah Revolusi Rusia, dalam Izvestia dan Pravda milik Bolshevik pada 23 November 1917 dan dalam Manchester Guardian di Inggris pada 26 November 1917, mewakili momen dramatis untuk kampanye Timur Sekutu:[190][191] "Inggris merasa malu, orang-orang Arab cemas dan Turki gembira."[192] Kaum Sionis telah menyadari penjelasan dari perjanjian tersebut sejak bulan April dan secara khusus menjadi bagian dari Palestina, setelah sebuah pertemuan antara Weizmann dan Cecil dimana Weizmann membuat sangat jelas tujuan-tujuannya kepada skema yang diusulkan.[193]

Tanggapan Sionis

Deklarasi Balfour yang diterbitkan dalam The Times pada 9 November 1917

Deklarasi tersebut mewakili dukungan publik pertama bagi Sionisme oleh sebuah kekuatan politik besar[194] – publikasinya membangkitkan Sionisme, yang akhirnya meraih sebuah piagam resmi.[195] Selain publikasinya dalam surat-surat kabar, selebaran-selebaran diedarkan di seluruh komunitas Yahudi. Selebaran-selebaran tersebut dijatuhkan dari udara pada komunitas Yahudi di Jerman Austria, serta Pangkal Pemukiman, yang telah diberikan kepada Blok Sentral setelah Rusia menarik diri.[196]

Weizmann berpendapat bahwa deklarasi tersebut akan memiliki tiga dampak: ini akan mengalihkan Rusia untuk memberikan tekanan terhadap Front Timur Jerman, sejak Yahudi memiliki pengaruh dalam Revolusi Maret 1917; ini akan mendorong komunitas Yahudi besar di Amerika Serikat untuk menggelontorkan pendanaan yang lebih besar bagi upaya perang Amerika, yang telah berjalan sejak April tahun tersebut; dan, terakhir, bahwa ini akan memberikan dukungan Yahudi Jerman untuk Kaiser Wilhelm II.[197]

Deklarasi tersebut menimbulkan peningkatan luar biasa dan tak terkira dalam sejumlah penganut Sionisme Amerika; pada 1914, 200 perhimpunan Sionis Amerika terdiri dari sebanyak 7,500 anggota, yang bertumbuh menjadi 30,000 anggota dalam 600 perhimpunan pada 1918 dan 149,000 anggota pada 1919.[xxii] Meskipun Inggris menganggap deklarasi tersebut merefleksikan sebuah dominansi yang berdiri sebelumnya dari posisi Sionis dalam pemikiran Yahudi, deklarasi itu sendiri adalah tanggung jawab berkelanjutan bagi legitimasi dan kepemimpinan Sionisme.[xxiii]

Tepat sebulan setelah deklarasi tersebut dikeluarkan, sebuah selebrasi skala besar diadakan di Royal Opera House – pidato-pidato diberikan oleh para Sionis utama serta para anggota pemerintahan Inggris termasuk Sykes dan Cecil.[199] Dari 1918 sampai Perang Dunia II, Yahudi di Mandat Palestina merayakan Hari Balfour sebagai hari libur nasional tahunan pada 2 November.[200] Selebrasi-selebrasi tersebut meliputi upacara-upacara di sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga masyarakat lainnya dan artikel-artikel yang menyanjungnya dalam pers Ibrani.[200] Pada Agustus 1919, Balfour menyepakati permintaan Weizmann untuk menamai sebuah pemukiman pasca-perang pertama di Mandat Palestina, "Balfouria", dalam menghormatinya.[201][202] Ini ditujukan untuk menjadi model pemukiman untuk kegiatan Yahudi Amerika di Palestina pada masa mendatang.[203]

Herbert Samuel, anggota parlemen Sionis yang memorandum tahun 1915 buatannya telah mulai didiskusikan dalam Kabinet Inggris, dibujuk oleh Lloyd George pada 24 April 1920 untuk bertindak sebagai gubernur sipil Palestina Britania pertama, menggantikan pemerintahan militer sebelumnya yang telah memerintah kawasan tersebut sejak perang.[204] Tak lama setelah memulai jabatannya pada Juli 1920, ia diundang untuk membacakan haftarah dari Yesaya 40 di Sinagoge Hurva di Yerusalem,[205] yang, menurut memoirnya, memimpin kongregasi para pemukim lama untuk merasakan "pemenuhan nubuat kuno yang telah berada di tangan".[aa][207]

Penentangan di Palestina

Surat kabar Arab Palestina paling populer, Filastin (La Palestine), mempublikasikan sebuah editorial empat halaman yang dilayangkan kepada Lord Balfour pada Maret 1925.

Komunitas Kristen dan Muslim lokal Palestina, yang terdiri dari hampir 90% populasi, sangat menentang deklarasi tersebut.[208] Seperti yang dideskripsikan oleh filsuf Palestina-Amerika Edward Said pada 1979, ini dianggap terdiri dari: "(a) oleh sebuah kekuatan Eropa, (b) tentang wilayah non-Eropa, (c) di sebuah kedataran yang tak tak saling cocok dari kedua keberadaan tersebut dan keinginan pemukim mayoritas asli di wilayah tersebut, dan (d) ini mengambil bentuk janji tentang wilayah yang sama dengan kelompok asing lainnya."[xxiv]

Menurut Komisi King-Crane 1919, "Tak ada pejabat Inggris, yang dikonsultasikan oleh para Komisioner, yang meyakini bahwa program Sionis dapat dibawakan oleh sepasukan bersenjata."[210] Seorang delegasi dari Asosiasi Muslim-Kristen, yang dikepalai oleh Musa al-Husayni, mengekspresikan ketidaksetujuan publik pada 3 November 1918, sehari setelah pawai Komisi Sionis menandai peringatan pertama Deklarasi Balfour.[211] Mereka menyerahkan sebuah petisi yang ditandatangani oleh lebih dari 100 orang terkenal kepada Ronald Storrs, gubernur militer Inggris:

Kami kemarin melihat sekerumunan besar Yahudi membawa spanduk dan berjalan ke sepanjang jalan meneriakkan kata-kata yang menyakitkan perasaan dan melukai jiwa. Kami menyatakan dengan suara terbuka bahwa Palestina, yang merupakan Tanah Suci dari bapak-bapak kami dan tempat makam dari para leluhur kami, yang telah didiami oleh orang Arab pada masa yang panjang, yang mencintainya dan mati dalam mempertahankannya, sekarang menjadi tanah air bagi mereka... Kami orang Arab, Muslim dan Nasrani, selalu sangat bersimpati dengan Yahudi yang ditindas dan ketidakberuntungan mereka di negara-negara lain... namun terdapat perbedaan besar antasra simpati semacam itu dan penerimaan dari negara semacam itu... pemerintahan atas kami dan penyingkiran dari urusan-urusan kami.[212]

Kelompok tersebut juga menentang pembawaan "spanduk putih dan biru dengan dua segitiga menyilang di tengahnya",[213] menggambarkan perhatian otoritas Inggris kepada konsekuensi serius dari implikasi politik apapun dalam mengibarkan spanduk-spanduk tersebut.[213] Pada bulan berikutnya, pada peringatan pertama pendudukan Jaffa oleh Inggris, Asosiasi Muslim-Kristen mengirim sebuah memorandum panjang dan petisi kepada gubernur militer menentang pembentukan apapun dari sebuah negara Yahudi.[214]

Tanggapan Arab secara luas

Di dunia Arab secara luas, deklarasi tersebut dipandang sebagai sebuah pengkhianatan dari pemahaman masa perang Inggris dengan orang Arab.[197] Syarif Makkah dan pemimpin Arab lain menganggap deklarasi tersebut sebagai sebuah pelanggaran dari sebuah komitmen sebelumnya yang dibuat dalam korespondensi McMahon–Hussein dalam pembalasan untuk peluncuran Pemberontakan Arab.[87]

Setelah publikasi deklarasi tersebut, Komandan Inggris David George Hogarth menengok Hussein pada Januari 1918 untuk memberikan sebuah pesan agar "kebebasan politik dan ekonomi" populasi Palestina tak dipertanyakan.[77] Hogarth mengabarkan bahwa Hussein "tak akan menerima sebuah Negara Yahudi independen di Palestina, maupun yang aku instruksikan untuk memperingatkannya bahwa negara semacam itu dicampurtangankan oleh Britania Raya".[215] Hussein juga mengetahui Persetujuan Sykes–Picot saat dibocorkan oleh pemerintah Uni Soviet baru pada Desember 1917, namun disatistfikasi oleh dua telegram penyalahpahaman dari Sir Reginald Wingate, yang telah menggantikan McMahon dalam jabatan Komisioner Tinggi Mesir, yang menganggap bahwa komitmen Inggris kepada orang Arab masih valid dan bahwa Perjanjian Sykes-Picot bukanlah sebuah traktat resmi.[77]

Ketidaksepakatan Arab berkelanjutan atas tujuan Sekutu juga berujung pada 1918 dalam Deklarasi Tujuh Orang dan Deklarasi Inggris-Prancis, yang menjanjikan "pembebasan bulat dan akhir dari suku bangsa yang lama ditindas oleh bangsa Turki, dan menghimpun pemerintahan dan administrasi nasional yang memberikan otoritas mereka dari tujuan inisiatif bebas dan pilihan penduduk asli".[77][216]

Pada 1919, Raja Hussein menolak meratifikasi Traktat Versailles. Setelah Februari 1920, Inggris berhenti membayar subsidi kepadanya.[217] Pada Agustus 1920, lima hari setelah penandatanganan Traktat Sevres, yang resmi mengakui Kerajaan Hejaz, Curzon membujuk Kairo untuk meminta tanda tangan Hussein pada kedua traktat tersebut dan menyepakati pembayaran £30,000 pada tanda tangan tersebut.[218] Hussein menolak dan pada 1921, menyatakan bahwa ia enggan "mencantumkan namanya pada sebuah dokumen yang menyerahkan Palestina kepada kaum Sionis dan Suriah kepada bangsa-bangsa asing."[219] Setelah Konferensi Kairo tahun 1921, Lawrence dikirim untuk mengusahakan dan mendorong agar Raja tersebut menandatangani sebuah traktat, sebuah subsidi tahunan £100,000 dipersiapkan; upaya tersebut juga gagal. Pada 1923, Inggris membuat upaya lanjutan untuk memajukan masalah-masalah yang berdiri dengan Hussein dan saat upaya tersebut dilakukan lagi, Hussein masih menolak untuk mengakui Deklarasi Balfour atau Mandar apapun yang ia raih sebagai domainnya. Pada Maret 1924, secara singkat mengondisikan kemungkinan penghapusan artikel penawaran dari traktat tersebut, pemerintah menunda negosiasi lanjutan apapun.[220]

Sekutu dan Blok Asosiasi

Deklarasi tersebut mula-mula didukung oleh pemerintah asing pada 27 Desember 1917, saat pemimpin dan diplomat Sionis Serbia David Albala mengumumkan dukungan pemerintahan dalam pengasingan Serbia saat sebuah misi ke Amerika Serikat.[221][222][223] Dalam dua bulan, pemerintah Prancis dan Italia menawarkan dukungan mereka, masing-masing pada 14 Februari dan 9 Mei 1918.[224] Di sebuah pertemuan pribadi di London pada 1 Desember 1918, Lloyd George dan Perdana Menteri Prancis Georges Clemenceau menyepakati modifikasi tertentu pada Perjanjian Sykes-Picot, termasuk kekuasaan Inggris atas Palestina.[225]

Pada 25 April 1920, konferensi San Remo – sebuah pertumbuhan dari Konferensi Perdamaian Paris yang dihadiri oleh para perdana menteri dari Inggris, Prancis dan Italia, Duta Besar Jepang untuk Prancis, dan Duta Besar Amerika Serikat untuk Italia – menjalin pernyataan dasar untuk tiga mandat Liga Bangsa-Bangsa: mandar Prancis untuk Suriah, dan mandat-mandat Inggris untuk Mesopotamia dan Palestina.[226] Dengan menghormati Palestina, resolusi tersebut menyatakan bahwa Inggris bertanggung jawab atas pengambilan tanggung jawab dari Deklarasi Balfour.[227] Prancis dan Italia menyatakan penolakan mereka secara jelas dari "peran Sionis dari mandar Palestina" dan menyatakan secara khusus bahwa bahasa yang dipakai bukanlah pengaman hak "politik" non-Yahudi, menerima klaim Curzon bahwa "dalam bahasa Britania, seluruh hak biasa meliputi dalam "hak sipil"".[228] Atas permintaan Prancis, ini menyepakati bahwa sebuah pemahaman disematkan dalam proses verbal dari mandat tersebut yang tak akan melibatkan penyerahan hak-hak menonjol yang dipegang oleh komunitas non-Yahudi di Palestina.[227][229] Perbatasan Palestina tak dispesifikasikan, untuk "ditentukan oleh Blok Sekutu Utama."[227] Tiga bulan kemudian, pada Juli 1920, kekalahan Kerajaan Arab Suriah pimpinan Faisal atas Prancis memberikan Inggris kebutuhan untuk mengetahui "apa itu 'Suriah' yang Prancis beri sebuah mandat di San Remo?" dan "apakah ini meliputi Trans-Yordania?"[230] – mereka kemudian memutuskan untuk mendorong sebuah kebijakan dari Trans-Yordan berkaitan dengan wilayah mandat Palestina tanpa menambahkannya pada wilayah Tanah Air Yahudi.[231][232]

Pada 1922, Kongres resmi memajukan dukungan Amerika untuk Deklarasi Balfour melalui pengesahan Resolusi Lodge-Fish,[140][233][234] meskipun mendapatkan penentangan dari Departemen Negara.[235] Profesor Lawrence Davidson, dari West Chester University, yang risetnya berfokus pada hubungan Amerika dengan Timur Tengah, berpendapat bahwa Presiden Wilson dan Kongres menghiraukan nilai-nilai demokratis daalam menyanjung "romantisisme biblikal" saat mereka mendukung deklarasi tersebut.[236] Ia menekankan sebuah lobi pro-Sionis terorganisir di Amerika Serikat, yang pada masa itu aktif saat komunitas Arab Amerika kecil di negara tersebut memiliki kekuasaan politik yang kecil.[236]

Blok Sentral

Tak lama setelah publikasi Deklarasi Balfour, ini mendatangkan tanggapan taktikal dari Blok Sentral.[237] Dua pekan setelah deklarasi tersebut, Ottokar Czernin, Menteri Luar Negeri Austria, memberikan sebuah wawancara kepada Arthur Hantke, Presiden Federasi Sionis Jerman, menjanjikan agar pemerintahannya akan mempengaruhi Turki saat perang terjadi.[238] Pada 12 Desember, Wazir Agung Utsmaniyah, Talaat Pasha, memberikan sebuah wawancara kepada surat kabar Jerman Vossische Zeitung[238] yang diterbitkan pada 31 Desember dan kemudian dirilis dalam surat kabar periodikal Yahudi Jerman Jüdische Rundschau pada 4 Januari 1918,[239][238] dimana ia menyebut deklarasi tersebut sebagai "une blague"[238] (sebuah penipuan) dan menjanjikan agar di bawah kekuasaan Utsmaniyah "seluruh harapan terjustifikasi dari Yahudi di Palestina akan dapat menemukan pemenuhan mereka" yang ditujukan kepada kapasitas absortif dari negara tersebut.[238] Pernyataan Turki ini didukung oleh Kantor Luar Negeri Jerman pada 5 Januari 1918.[238] Pada 8 Januari 1918, sebuah perhimpunan Yahudi-Jerman, Persatuan Organisasi-organisasi Yahudi Jerman untuk Perlindungan Hak Yahudi dari Timur (VJOD),[ab] dibentuk untuk memajukan progres tambahan untuk Yahudi di Palestina.[240]

Setelah perang, Traktat Sèvres ditandatangani oleh Kekaisaran Utsmaniyah pada 10 Agustus 1920.[241] Traktat tersebut membubarkan Kekaisaran Utsmaniyah, meminta Turki untuk menarik kedaulatan atas sebagian besar Timur Tengah.[241] Artikel 95 dari traktat tersebut mencantumkan istilah-istilah dari Deklarasi Balfour dengan penghormatan kepada "pemerintahan Palestina, dalam batas-batas seperti yang ditentukan oleh Blok Sekutu Utama".[241] Karena pencantuman deklarasi tersebut dalam Traktat Sèvres tak menyematkan status sah dari deklarasi tersebut atau Mandat tersebut, tak ada dampak saat Sèvres ditindih oleh Traktat Lausanne, yang tak meliputi rujukan apapun kepada deklarasi tersebut.[242]

Pada 1922, pakar teori antisemit Jerman Alfred Rosenberg dalam kontribusi primernya pada teori Nazi tentang Sionisme,[243] Der Staatsfeindliche Zionismus ("Sionisme, Musuh Negara"), menuduh kaum Sionis Jerman campur tangan atas kekalahan Jerman dan mendukung Inggris dan penerapan Deklarasi Balfour, dalam sebuah versi dari mitos ditusuk dari belakang.[xxv] Adolf Hitler memegang pandangan serupa dalam beberapa pidatonya dari tahun 1920 dan seterusnya.[244]

Takhta Suci

Dengan kebangkitan deklarasi tersebut dan Inggris masuk ke Yerusalem pada 9 Desember, Vatikan merevisi sikap simpatetik sebelumnya kepada Sionisme dan mengadopsi pendirian menentang yang berlanjut sampai awal 1990an.[245]

Perubahan opini Inggris

"Efek Deklarasi Balfour dikatakan membuat kaum Muslim dan Kristen tersingkir... Ini tak mungkin meminimalisir kepahitan dari kebangkitan tersebut. Mereka menganggap bahwa mereka menangani sebuah penekanan yang mereka benci jauh melebihi Turki dan timbul di pemikiran dominasinya... Orang berpengaruh berbicara terbuka soal pengkhianatan tersebut dan bahwa Inggris telah menjual negara tersebut dan meraih harganya... Sampai Pemerintahan [Sionis] mengadopsi sikap "Mereka ingin Negara Yahudi dan mereka tak ingin menunggu", dan mereka tak menyelimuti diri mereka sendiri pada setiap pengartian yang terbuka kepada mereka di negara tersebut dan luar negeri untuk menegakkan penanganan Pemerintahan yang menghormati "Status Quo" dan mengkomitmenkannya, dan melalui Pemerintahan mendatang, menuju sebuah kebijakan yang tak terkontemplasi dalam Deklarasi Balfour... Apa yang lebih alami bahwa itu [kaum Muslim dan Kristen] harus gagal untuk mewujudkan kesulitan Pemerintahan dan bekerja di bawah dan sejalan dengan tuntutan-tuntutan yang dipublikasikan secara terbuka dari Yahudi agar diwejang dan dipandu dalam Deklarasi tersebut selain sebuah surat matir?"

Laporan Komisi Palin, Agustus 1920[246]

Kebijakan Inggris sesuai yang diketakan dalam deklarasi tersebut menghadapi sejumlah tantangan untuk penerapannya pada tahun-tahun berikutnya. Pertama adalah negosiasi damai tak langsung yang diadakan antara Inggris dan Utsmaniyah pada Desember 1917 dan Januari 1918 saat penundaan dalam pertikaian-pertikaian untuk alasan hujan;[247] meskipun pembicaraan damai tersebut gagal, catatan-catatan arsip menunjukkan bahwa para anggota penting Kabinet Perang berkehendak untuk diijinkan meninggalkan Palestina di bawah kedaulatan Turki nominal sebagai bagian dari seluruh kesepakatan.[248]

Pada Oktober 1919, hampir setahun setelah akhir perang, Lord Curzon menggantikan Balfour pada jabatan Menteri Luar Negeri. Curzon telah menjadi anggota Kabinet tahun 1917 yang telah menyepakati deklarasi tersebut, dan menurut sejarawan Inggris Sir David Gilmour, Curzon telah menjadi "satu-satunya figur senior dalam pemerintahan Inggris pada masa itu yang memandang bahwa kebijakan tersebut akan berujung pada dekade-dekade pertikaian Arab-Yahudi".[249] Sehingga, ia memutuskan untuk memajukan sebuah kebijakan sejalan dengan "penafsiran yang lebih sempit dan lebih diterima ketimbang lebih lebar".[250] Setelah Bonar Law dilantik menjadi Perdana Menteri pada akhir 1922, Curzon menulis kepada Law bahwa ia menganggap deklarasi tersebut sebagai komitmen Timur Tengah Inggris "terburuk" dan "sebuah kontradiksi keras dari prinsip-prinsip yang kita deklarasikan secara terbuka".[251]

Pada Agustus 1920, laporan Komisi Palin, mula-mula dalam sebuah kalimat panjang dari Komisi Penyidikan Inggris tentang pertanyaan Palestina saat masa Mandat,[252] menyatakan bahwa "Deklarasi Balfour... tanpa diragukan adalah titik permulaan dari seluruh ketegangan". Penjelasan dari laporan tersebut, yang tak dipublikasikan, menyebut Deklarasi Balfour sebanyak tiga kali, menyatakan bahwa "sebab-sebab aliensasi dan eksasperasi dari perasaan penduduk Palestina" meliputi:

  • "ketidakmampuan untuk merekonsiliasikan kebijakan yang penentuan nasib sendiri yang dideklarasikan Sekutu dengan Deklarasi Balfour, memberikan kebangkitan kepada sebuah esensi pengkhianatan dan anksietas intens untuk masa depan kami";[253]
  • "ketidakapresiasian pengartian sebenarnya dari Deklarasi Balfour dan pelupaan terhadap pemanduan yang ditentukan, karena kurangnya retorika para politikus dan pernyataan dan penulisan tereksargerasi dari orang-orang penting, terutama kaum Sionis";[253] dan
  • "Indiskresi dan agresi Sionis sejak Deklarasi Balfour menimbulkan kekhawatiran semacam itu".[253]

Opini masyarakat dan pemerintah Inggris menjadi makin tak senang dengan dukungan negara terhadap Sionisme; bahkan Sykes mulai mengubah pandangannya pada akhir 1918.[ac] Pada Februari 1922, Churchill menghubungi Samuel, yang telah memulai perannya sebagai Komisioner Tinggi untuk Palestina pada 18 bulan sebelumnya, membujuk agar memotong pengeluaran dan menyatakan:

Di Dewan-dewan Parlemen, terdapat pertumbuhan gerakan pertikaian, melawan kebijakan Sionis di Palestina, yang akan distimulasikan oleh artikel-artikel saat ini Northcliffe.[ad] Aku tak dapat mengambil tindakan pada pergerakan ini, namun makin sulit untuk mendatangkan argumen bahwa tak adil untuk menanyai pembayar pajak Inggris tersebut, terutama dengan perpajakan, untuk menyematkan bayaran sebuah kebijakan populer yang terhimpun di Palestina.[256]

Setelah pengeluaran Buku Putih Churchill pada Juni 1922, Dewan Bangsawan menolak Mandat Palestina dimasukkan Deklarasi Balfour dengan 60 suara berbanding 25, setelah pergerakan yang dikeluarkan oleh Lord Islington.[257][258] Suara tersebut hanya bersifak simbolik karena ini kemudian ditindih oleh sebuah suara dalam Dewan Rakyat setelah sikap taktikal dan berbagai janji yang dibuat oleh Churchill.[257][xxvi]

Pada Februari 1923, setelah perubahan dalam pemerintahan, Cavendish, dalam sebuah memorandum panjang untuk Kabinet, menghimpun pendirian untuk peninjauan rahasia dari kebijakan Palestina:

Ini akan menepis anggapan bahwa kebijakan Sionis hanyalah sebuah kebijakan tak populer. Ini telah secara pahit diserang dalam Parlemen dan masih menyayat dalam bagian tertentu dari pers. Dasar berintang dari serangan tersebut adalah tiga hal:(1) tuduhan pelanggaran dari janji-janji McMahon; (2) ketidakadilan yang terjadi di sebuah negara atas sebuah kebijakan dimana mayoritas besar dari penduduknya dilawan; dan (3) keblunderan finansial atas pembayar pajak Inggris. ...[261]

Catatan penyorotannya membujuk agar sebuah pernyataan kebijakan dibuat sememungkinkannya dan agar kabinet berfokus pada tiga pertanyaan: (1) apakah janji-janji pada konflik Arab sejalan dengan deklarasi Balfour atau tidak; (2) jika tidak, apakah pemerintah baru harus melanjutkan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah lama dalam Buku Putih 1922, dan (3) jika tidak, apakah kebijakan alternatif harus diadopsi.[151]

Stanley Baldwin, yang menggantikan Bonar Law, pada Juni 1923 menghimpun subkomite kabinet yang ditugaskan untuk:

membuat kebijakan Palestina disegarkan dan untuk menasihati Kabinet penuh soal apakah Inggris harus mempertahankan Palestina dan apakah jika masih bisa, kebijakan pro-Sionis harus dilanjutkan.[262]

Kabinet menyepakati laporan komite tersebut pada 31 Juli 1923. Menyebutnya "bukanlah penyingkatan pernyataan", Quigley menyatakan bahwa pemerintah memutuskan dirinya sendiri pada dukungannya untuk Sionisme yang dihimpun oleh konsiderasi-konsiderasi yang tak dilakukan dengan jasa-jasa Sionisme atau akibatnya untuk Palestina.[263] Huneidi berkata, “diharapkan atau tidak, ini sangat tak mungkin bagi pemerintahan manapun untuk menempatkan dirinya sendiri tanpa penyakralan substansial dari konsistensi dan penghormatan diri, jika bukannya kehormatan[264]

Pemakaian kata dari deklarasi tersebut kemudian dicantumkan dalam Mandat Britania untuk Palestina, sebuah instrumen hukum yang menciptakan Mandat Palestina dengan keperluan eksplisit dari pengambilan dampak dari deklarasi tersebut dan akhirnya diformalisasi pada September 1923.[265][266] Tak seperti deklarasi itu sendiri, Mandat tersebut secara sah diserahkan kepada pemerintah Inggris.[265] Pada Juni 1924, Inggris membuat laporannya kepada Komisi Mandat Permanan untuk periode Juli 1920 sampai akhir 1923 yang berisi ketiadaan pelonggaran yang tertuang dalam dokumen-dokumen internal; dokumen-dokumen tersebut berkaitan dengan peninjauan ulang tahun 1923 yang diadakan diam-diam sampai awal 1970an. [267]

Historiografi

{{{annotations}}}

"Palestina dan Deklarasi Balfour", Makalah Kabinet meninjau latar belakang deklarasi tersebut, Januari 1923

Lloyd George dan Balfour masih berada di pemerintahan sampai keruntuhan koalisi pada Oktober 1922.[268] Di bawah pemerintahan Konservatif baru, upaya dibuat untuk mengidentifikasi latar belakang dan motivasi untuk deklarasi tersebut.[269] Sebuah memorandum Kabinet pribadi dibuat pada Januari 1923, memberikan penjelasan Kantor Luar Negeri yang diketahui pada masa itu dan catatan Kabinet perang yang berujung pada deklarasi tersebut. Sebuah catatan Kantor Luar Negeri yang menyertainya menyatakan bahwa para pengarang primer dari deklarasi tersebut adalah Balfour, Sykes, Weizmann, dan Sokolow, dengan "mungkin Lord Rothschild sebagai seorang figur di latar belakang", dan bahwa "negosiasi tampak utamanya bersifat lisan dan melalui pengartian dari catatan pribadi dan memoranda yang hanya memberikan catatan seadanya."[269][270]

Setelah serangan umum tahun 1936 yang berujung pada pemberontakan Arab di Palestina 1936–1939, perpecahan kekerasan paling signifikan sejak masa Mandat dimulai, sebuah Komisi Kerajaan Inggris  – sebuah badan penyidikan masyarakat tingkat tinggi – ditunjuk untuk menyelidiki sebab dari ketegangan tersebut.[271] Komisi Kerajaan Palestina, diangkat dengan istilah rujukan yang lebih signifikan ketimbang penyidikan Inggris sebelumnya di Palestina,[271] menyelesaikan laporan 404 halaman setelah enam bulan pengerjaan pada Juni 1937, diterbitkan sebulan kemudian.[271] Laporan tersebut dimulai dengan menjelaskan sejarah masalah, termasuk penjelasan mendetail dari asal muasal Deklarasi Balfour. Sebagian besar penjelasan ini didasarkan pada pengakuan pribadi Lloyd-George;[272] Balfour telah meninggal pada 1930 dan Sykes pada 1919.[273] Ia berkata kepada komisi bahwa dekalrasi tersebut dibuat "karena alasan-alasan propagandis... Terutama simpati Yahudi akan konfirmasi dukungan Yahudi Amerika, dan akan membuatnya lebih sulit bagi Jerman untuk mengurangi komitmen militernya dan menunjang posisi ekonominya di front timur".[ae] Dua tahun kemudian, dalam Memoirs buatannya,[af] Lloyd George menjelaskan sebanyak sembilan faktor yang memotivasi keputusannya sebagai Perdana Menteri untuk merilis deklarasi tersebut,[153] termasuk alasan-alasan tambahan agar keberadaan Yahudi di Palestina akan memperkuat posisi Inggris di Terusan Suez dan menegakkan rute dominion imperial mereka di India.[153]

Perhitungan geopolitik ini diperdebatkan dan didiskusikan pada tahun-tahun berikutnya.[153] Para sejarawan sepakat bahwa Inggris meyakini bahwa dukungan yang dikeluarkan akan berbanding kepada Yahudi di Jerman dan Amerika Serikat, membuat dua penasihat terdekat Woodrow Wilson diketahui menjadi Sionis tulen;[xxvii][xxviii][278] mereka juga mengharapkan dorongan dukungan dari populasi Yahudi besar di Rusia.[279] Selain itu, Inggris berniat untuk mendahului keberadaan Prancis pada pemerintahan mancanegara di Palestina.[xxix]

Beberapa sejarawan berpendapat bahwa keputusan pemerintah Ingrgsi merefleksikan apa yang James Gelvin, Profesor Sejarah Timur Tengah di UCLA, sebut 'antisemitisme patrisian' dalam perkiraan berlebih dari kekuatan Yahudi di Amerika Serikat dan Rusia.[153] Sionisme Amerika masih bersifat dini; pada 1914, Federasi Sionis memiliki biaya kecil sekitar $5,000 dan hanya terdiri dari 12,000 anggota, meskipun populasi Yahudi Amerika berjumlah tiga juta orang.[xxx] Namun organisasi-organisasi Sionis sekarang meraih kesuksesan, setelah sepasukan dalam komunitas Yahudi Amerika, dalam mengaransemenkan kongres Yahudi untuk memperdebatkan masalah Yahudi secara keseluruhan.[xxxi] Ini berdampak pada perkiraan keseimbangan kekuatan pemerintah Inggris dan Prancis dalam publik Yahudi Amerika.[xxii]

Avi Shlaim, Profesor Emeritus Hubungan Internasional di Universitas Oxford, beranggapan bahwa dua aliran pemikiran utama berkembang pada pertanyaan pasukan penggerak primer di balik deklarasi tersebut,[87] satu dipersembahkan pada 1961 oleh Leonard Stein,[284] seorang pengacara dan mantan sekretaris politik untuk Organisasi Sionis Sedunia, dan yang lainnya pada 1970 oleh Mayir Vereté, saat itu Profesor Sejarah Israel di Universitas Ibrani Yerusalem.[285] Shlaim menyatakan bahwa Stein tak meraih konklusi potongan jelas apapun, namun secara implisit dalam naratifnya adalah bahwa deklarasi tersebut utamanya dihasilkan dari kegiatan dan keterampilan kaum Sionis, sementara menurut Vereté, itu adalah kerja dari para pragmatis keras kepala yang dimotivasi oleh kepentingan imperial Inggris di Timur Tengah.[87] Kebanyakan pembelajaran modern tentang keputusan untuk mengeluarkan deklarasi tersebut berfokus pada gerakan Sionis dan persaingan di dalamnya,[286] dengan sebuah perdebatan penting tentang apakah peran Weizmann menonjol atau apakah Inggris tampaknya mengeluarkan deklarasi serupa dalam peristiwa lain.[286] Danny Gutwein, Profesor Sejarah Yahudi di Universitas Haifa, menyinggung soal sebuah gagasan lama, yang menganggap bahwa persetujuan Sykes pada Februari 1917 kepada kaum Sionis adalah momen penting, dan bahwa ini sejalan dengan penyeragaman agenda pemerintah yang lebih besar untuk pemisahan Kekaisaran Utsmaniyah.[xxxii]

Dampak jangka panjang

Deklarasi tersebut memiliki dua akibat tak langsung, pendirian negara Yahudi dan keadaan kronis dari konflik antara Arab dan Yahudi di seluruh Timur Tengah.[287][288][289][290][291][292] Ini telah disebut sebagai "dosa asal" dari kegagalan Inggris di Palestina[293] dan peristiwa-peristiwa secara luas di Palestina.[294] Pernyataan tersebut juga memiliki dampak signifikan pada anti-Sionisme tradisional dari Yahudi taat, beberapa orang memandangnya sebagai providensi ilahi; ini berkontribusi pada pertumbuhan Sionisme Religius pada gerakan Sionis secara besar.[xxxiii]

Dimulai pada tahun 1920, konflik antar-komunal di Mandat Palestina pecah, yang melebar menjadi konflik Arab-Israel regional, sering kali disebut sebagai "konflik paling berintrik" di dunia.[296][297][298] "Obligasi ganda" kepada dua komunitas tersebut dengan cepat tak terelakkan;[299] Inggris kemudian menyatakan bahwa tak mungkin bagi kami untuk mendamaikan dua komunitas tersebut di Palestina dengan memakai pesan-pesan berbeda bagi audien yang berbeda.[ag] Komisi Kerajaan Palestina – dalam membuat proporsal resmi pertama untuk pemisahan wilayah – menyebut persyaratan tersebut sebagai "obligasi berseberangan",[301][302] dan itu adalah "penyakit yang sangat mendalam, dalam keadaan kami, satu-satunya harapan untuk menyembuhkannya adalah melalui operasi pembedahan".[303] Setelah pemberontakan Arab di Palestina tahun 1936–1939, dan ketegangan seluruh dunia yang berkembang berujung pada Perang Dunia II, Parlemen Inggris menyepakati Makalah Putih 1939 – pernyataan formal terakhir mereka terhadap kebijakan pemerintahan di Mandat Palestina – mendeklarasikan bahwa Palestina tak seharusnya menjadi Negara Yahudi dan memberlakukan pembatasan terhadap imigrasi Yahudi.[304][305] Meskipun Inggris menganggap keputusan ini dengan komitmen Balfour untuk melindungi hak non-Yahudi, beberapa Sionis memandangnya sebagai pengukuhan dari deklarasi tersebut.[304][305][ah] Meskipun kebijakan ini berlangsung sampai Inggris menyerahkan Mandat tersebut apda 1948, ini hanya disajikan untuk menyoroti kesulitan fundamental bagi Inggris dalam memberikan obligasi-obligasi Mandat.[308]

Keterlibatan Inggris dalam hal ini menjadi salah satu bagian paling kontroversial dari sejarah Kekaisaran tersebut, dan merusak reputasinya di Timur Tengah dari generasi ke generasi.[xxxiv] Menurut sejarawan Elizabeth Monroe: "diukur oleh kepentingan Inggris sendiri, [deklarasi tersebut adalah] salah satu kesalahpahaman terbesar dalam sejarah kekaisaran[nya]."[309] Studi tahun 2010 oleh Jonathan Schneer, spesialis dalam sejarah Inggris modern di Georgia Tech, menyatakan bahwa karena penghimpunan deklarasi tersebut dikarakteristisasikan oleh "kontradiksi, penipuan, kesalahpahaman, dan pikiran pengharapan", deklarasi tersebut menabur gigi naga dan "menghasilkan panen pembunuhan, dan mereka memajukan panen sampai masa sekarang".[xxxv] Batu pendirian untuk Israel modern telah dihimpun, namun prediksi bahwa ini akan menghimpun pengerjaan dasar untuk kerjasama Arab-Yahudi yang harmoni ditunjang pada pemikiran pengharapan.[310][xxxvi]

Dokumen Deklarasi Balfour

Meja tulis Lord Balfour, di Museum Diaspora Yahudi di Tel Aviv

Dokumen tersebut dipersembahkan kepada British Museum pada tahun 1924 oleh Walter Rothschild. Saat ini, dokumen tersebut disimpan di British Library, yang terpisah dari British Museum pada tahun 1973, sebagai Manuskrip Tambahan nomor 41178.[312] Dari Oktober 1987 sampai Mei 1988, dokumen tersebut dipinjamkan di luar Inggris untuk disimpan di Knesset, Israel.[313] Pemerintah Israel sekarang sedang menegosiasikan pengadaan peminjaman kedua pada tahun 2018, dengan rencana menyimpan dokumen tersebut di Balai Kemerdekaan, Tel Aviv.[313]

Baca juga

Catatan

Kutipan pendukung primer

  1. ^ Moses Montefiore adalah orang Yahudi terkaya di Inggris, dan pemimpin Dewan Perwakilan Umat Yahudi Inggris. Surat pertama yang dikirimkan Charles Henry Churchill pada tahun 1841, dimaksudkan untuk mengatalisasi ketertarikan terhadap emigrasi orang Yahudi ke Palestina. Dalam surat ini, Charles Henry Churchill mengemukakan bahwa, "misalkan anda dan kolega-kolega anda secara bersama-sama serta bersungguh-sungguh mencurahkan minat pada perkara penting ini, yakni perihal pemulihan negara kuno anda, maka saya melihat (dengan mendasarkan opini-opini saya pada sikap terkini pemerintah dalam hubungan luar negeri dengan Kekaisaran Turki) bahwa hanya selaku kawula Gerbang Agung sajalah anda sekalian dapat mulai mengupayakan tempat berpijak di Palestina."[8]
  2. ^ Menurut memoar Weizmann, isi perbincangan mereka adalah sebagai berikut: "Tuan Balfour, misalkan saya menawarkan Paris alih-alih London kepada Tuan, apakah Tuan akan terima tawaran saya?" Beliau bangkit berdiri, menatap saya, lalu menjawab, "Tapi Dr. Weizmann, kami punya London." "Itu benar," kata saya, "tapi kami dulu punya Yerusalem sewaktu London masih rawa-rawa." Beliau ... mengutarakan dua hal yang terus terngiang-ngiang dalam ingatan saya. Yang pertama adalah, "banyakkah orang Yahudi yang sepikiran dengan anda?" Saya jawab, "saya yakin bahwa saya menyuarakan isi benak jutaan orang Yahudi yang tidak akan pernah Tuan jumpai dan yang tidak dapat menyuarakan sendiri pendapat mereka." ... Menanggapi ucapan saya ini, beliau berkata, "jika betul demikian, kalian dapat menjadi kekuatan besar suatu hari nanti." Tak lama sebelum saya pamit, Balfour berkata, "Saya heran. Orang-orang Yahudi yang saya jumpai agak berbeda." Saya jawab, "Tuan Balfour, yang Tuan jumpai itu jenis orang Yahudi yang keliru".[25]
  3. ^ Weizmann menjabarkan jalannya pertemuan ini dalam catatannya sebagai berikut: "[James] beranggapan bahwa aspirasi-aspirasi orang Yahudi terkait Palestina akan ditanggapi dengan sangat baik di lingkungan pemerintahan, yang akan mendukung proyek semacam itu, dilihat dari sudut padangan kemanusiaan maupun dari sudut pandang politik Inggris. Pembentukan komunitas Yahudi yang kuat di Palestina akan dipandang sebagai sebuah aset politik yang bernilai tinggi. Oleh karena itu ia beranggapan bahwa tuntutan-tuntutan yang ujung-ujungnya cuma meminta dukungan terhadap usaha kolonisasi orang Yahudi di Palestina sesungguhnya terlampau bersahaja dan tidak cukup mampu menggugah para negarawan Inggris. Orang semestinya meminta sesuatu yang lebih besar daripada itu dan yang mengarah kepada pembentukan Negara Yahudi."[28] Gutwein menafsirkan diskusi ini sebagai berikut: "Anjuran James agar kaum Sionis tidak terhenti pada tuntutan pemukiman orang Yahudi di Palestina saja, tetapi meradikalisasi tuntutan-tuntutan mereka akan sebuah negara Yahudi, mencerminkan kontrasnya sikap politik antara golongan reformis, yang sedianya akan mendukung pemukiman orang Yahudi di Palestina sebagai bagian dari usaha reorganisasi Kekaisaran Turki Osmanli, dan golongan radikal, yang memandang negara Yahudi sebagai alat pemecah-belah Kekaisaran Turki Osmanli. Sekalipun James menegaskan bahwa tuntutan akan sebuah negara Yahudi akan membantu usaha mendapatkan dukungan para negarawan Inggris, jika menilik penentangan Asquith dan Grey terhadap tuntutan ini, agaknya isi penyampaian James yang kurang tepat kalau tidak dapat dikatakan menyesatkan itu dimaksudkan untuk membujuk Weizmann, yang sama artinya dengan membujuk kaum Sionis, untuk membantu golongan radikal dan Lloyd George."[28]
  4. ^ Memurut memoir Weizmann: "Masuknya Turki ke kancah peperangan dan isi pidato perdana menteri di Balai Gilda merupakan dorongan tambahan yang mempercepat usaha penjajakan... Tanpa disangka-sangka muncul kesempatan untuk membahas permasalahan-permasalahan orang Yahudi dengan Tuan Charles Prestwich Scott (Editor surat kabar Manchester Guardian)… Tuan Scott, yang saya yakini sudah sangat teliti dan penuh simpati mencurahkan perhatiannya terhadap keseluruhan permasalahan tersebut, cukup berbaik hati berjanji akan menyampaikan soal ini kepada Tuan Lloyd George... Karena kebetulan harus memenuhi beberapa janji pertemuan yang sudah telanjur dibuat, Tuan Lloyd George menyarankan agar saya menemui Tuan Herbert Samuel, dan wawancara pun dilangsungkan di kantornya. [Catatan kaki: 10 Desember 1914]"[50]
  5. ^ Menurut memoar Weizmann: "Beliau yakin bahwa tuntutan-tuntutan saya terlampau bersahaja, bahwasanya perkara-perkara besar harus dilaksanakan di Palestina; beliau sendiri akan berhijrah dan berharap orang-orang Yahudi segera berhijrah begitu situasi militer telah dibereskan... Orang Yahudi harus rela berkorban. Ia pun siap untuk berkorban. Ketika itulah saya memberanikan diri untuk menanyakan, dari segi apa rencana-rencana Tuan Samuel lebih ambisius dibanding rencana saya. Tuan Samuel tidak begitu suka untuk mebincangkan rencana-rencananya, karena lebih senang untuk membiarkan rencana-rencana tersebut tetap 'cair', tetapi ia menyarankan agar orang Yahudi membangun jalur-jalur kereta api, pelabuhan-pelabuhan, sebuah universitas, jaringan persekolahan, dan lain-lain... Ia juga berpikir bahwa mungkin Haikal dapat dibangun kembali, sebagai lambang persatuan orang Yahudi, tentunya dalam bentuk yang sudah dimordenisasi."[52]
  6. ^ Menurut memoar Weizmann: "Atas saran Baron James, saya menjumpai Sir Philip Magnus. Lama saya berbincang dengan beliau, dan beliau mengungkapkan kesediaan beliau untuk bekerja sama, asalkan tidak sampai menyinggung pihak lain... Saya meminta opini Sir Philip mengenai manfaat dan mudarat melakukan temu wicara dengan Tuan Balfour, dan beliau beranggapan bahwa wawancara dengan Tuan Balfour tentu akan sangat menarik sekaligus bermanfaat... Dalam salah satu kunjungan saya ke London, saya menyurati Tuan Balfour dan berhasil membuat janji temu wicara dengan beliau pada hari Sabtu, pekan yang sama, pukul 12 siang di reumah beliau.[Catatan kaki: 12 Desember 1914] Saya berbicara kepada beliau dengan cara yang sama ketika berbicara dengan Tuan Samuel, tetapi keseluruhan perbincangan kami malah menjadi lebih bersifat akademis ketimbang praktis."[53]
  7. ^ Weizmann diminta menciptakan cara baru untuk memproduksi aseton guna menekan biaya produksi kordit.[49] Anggapan umum bahwa peran ini mempengaruhi keputusan untuk mencanangkan Deklarasi Balfour sudah dianggap "mengada-ada",[58] "dongeng", "mitos",[59] dan "hasil khayalan [Lloyd George] belaka".[60] Dalam Kenang-Kenangan Perang yang memunculkan mitos ini, Lloyd George memaparkan sebagai berikut: "Namun pada musim semi tahun 1915, posisi di pasar aseton Amerika sudah sangat mengkhawatirkan... Menurut hasil pantauan kita atas segala macam keperluan yang mungkin timbul, dalam waktu singkat dapat diketahui secara jelas bahwa pasokan alkohol kayu untuk kegiatan manufaktur aseton nyata-nyata tidak cukup untuk memenuhi permintaan yang kian meningkat, khususnya pada tahun 1916... Ketika sedang mondar-mandir mencari solusi untuk mengatasi kesulitan ini, saya berpapasan dengan mendiang Charles Prestwich Scott, Editor surat kabar Manchester Guardian... Saya diberitahu tentang Profesor Weizmann, dan yang bersangkutan saya undang ke London untuk bertatap muka dengan saya... Ia sanggup memproduksi aseton melalui suatu proses fermentasi pada skala laboratorium, tetapi masih perlu waktu untuk memastikan bahwa proses tersebut dapat dilakukan pada skala pabrik. Beberapa minggu kemudian, ia mendatangi saya dan memberitahukan bahwa "masalah sudah terpecahkan."... Ketika kesulitan-kesulitan kita sudah teratasi berkat kejeniusan Dr. Weizmann, saya sampaikan kepadanya, 'anda sudah sangat berjasa bagi negara, jadi saya harus minta Perdana Menteri mengajukan rekomendasi kepada Sri Baginda agar berkenan menganugerahkan satu dua penghargaan untuk anda.' Ia berkata, 'saya tidak mengharapkan apa-apa.' 'Tapi adakah sesuatu yang dapat kami perbuat untuk menunjukkan pengakuan kami terhadap jasa-jasa anda yang begitu besar bagi negara?' tanya saya. 'Ada', jawabnya, 'saya mohon kiranya Tuan sudi melakukan sesuatu untuk bangsa saya.' Ia kemudian menjelaskan aspirasi-aspirasinya tentang repatriasi orang Yahudi ke tanah suci yang sudah mereka gembar-gemborkan itu. Itulah sumber dan cikal bakal deklarasi terkenal mengenai Kediaman Nasional bagi orang Yahudi di Palestina. Begitu saya menjadi perdana menteri, urusan ini saya bahas tuntas dengan Tuan Balfour, yang ketika itu menjabat sebagai menteri luar negeri. Selaku seorang ilmuwan, ia benar-benar terkesan mendengar penuturan saya tentang pencapaian-pencapaian Dr. Weizmann. Kami begitu tidak sabaran saat itu untuk menghimpun dukungan orang Yahudi di negara-negara netral, terutama di Amerika. Dr. Weizmann pun diperkenalkan dengan menteri luar negeri, dan perkenalan ini menjadi awal dari hubungan baik yang kelak melahirkan, lewat penelaahan yang lama dan saksama, Deklarasi Balfour yang terkenal itu..."[61]
  8. ^ Dalam sepucuk surat tertanggal 27 Februari 1916, jelang keberangkatannya ke Rusia, Sykes berkabar kepada Samuel sebagai berikut: "saya baca memorandum [tahun 1915 yang anda susun] dan sudah hafal isinya."[65] Sehubungan dengan tapal-tapal batas, Sykes memberikan penjelasannya sebagai berikut: "Dengan dikecualikannya Hebron dan daerah di sisi timur Sungai Yordan, berkurang pula pokok bahasan yang harus dibicarakan dengan kaum Muslim, karena Mesjid Umar ketika itu menjadi satu-satunya pokok bahasan mahapenting yang perlu dibicarakan dengan mereka, dan semakin mempertegas pemutusan perhubungan dengan kaum badawi, yang tidak pernah menyeberangi sungai itu selain untuk berbisnis. Dalam benak saya, tujuan utama Sionisme adalah merealisasikan cita-cita penciptaan pusat kebangsaan, bukannya tapal-tapal batas maupun luas wilayah."[66]
  9. ^ Baca isi surat asli tertanggal 25 Oktober 1915 di sini. George Antonius – orang pertama yang menerbitkan surat-surat tersebut secara utuh – menyebut surat ini sebagai "surat terpenting di antara semua surat yang dialamatkan Henry McMahon kepada Syarif Mekah, dan dapat dianggap sebagai dokumen internasional terpenting dalam sejarah pergerakan nasional Arab... masih dirujuk sebagai bukti utama yang melandasi dakwaan bangsa Arab bahwa Inggris telah mencederai janjinya kepada mereka."[68]
  10. ^ Dalam memo yang ia keluarkan pada bulan Agustus 1919, Arthur Balfour mengemukakan bahwa, "pada tahun 1915, Syarif Mekahlah yang dipercaya untuk menetapkan tapal-tapal batas, dan tidak ada batasan apa pun yang diberlakukan atas kebebasannya untuk mengambil keputusan dalam urusan ini, selain dari beberapa rancangan yang bertujuan melindungi kepentingan-kepentingan Prancis di Suriah Barat dan Kilikia. Pada tahun 1916, semuanya ini tampaknya sudah lekang dari ingatan orang. Persetujuan Sykes–Picot tidak menyebut-menyebut Syarif Mekah, dan sejauh berkaitan dengan lima dokumen kita, sudah tidak terdengar lagi kabar tentang dirinya semenjak saat itu. Sebuah metode yang sepenuhnya baru diadopsi oleh Prancis dan Inggris, yang bersama-sama merumuskan rancangan-rancangan ala kadarnya dari wilayah tersebut dalam Persetujuan Sykes–Picot, yakni rancangan-rancangan yang sampai sejauh ini tidak diterima secara gamblang maupun diganti secara gamblang oleh negara-negara Blok Sekutu dan negara-negara mitranya."[72]
  11. ^ Sykes telah membincangkan urusan ini dengan Picot. Ia mengusulkan pembentukan sebuah negara kesultanan bangsa Arab di Palestina di bawah naungan Prancis dan Inggris. Ia mendapat teguran resmi dari Grey, Buchanan harus memberitahu Sykes 'untuk melupakan bahwa memorandum kabinet Tuan Samuel ada menyinggung mengenai wilayah protektorat Inggris dan saya sampaikan kepada Tuan Samuel waktu itu bahwa wilayah protektorat Inggris memang hal yang mustahil terwujud dan Sir M. Sykes mestinya tidak menyinggungnya tanpa menjelaskan kemustahilannya'.[79]
  12. ^ Isi telegram yang ditujukan kepada Sazonov dapat dibaca di [82]
  13. ^ Dalam rangka memastikan mana yang harus diterima dan mana yang harus ditolak oleh kaum Sionis, saya berpedoman pada telegram dari anda serta ingatan saya akan isi memorandum Tuan Samuel kepada kabinet pada bulan Maret 1915. Dalam telegram dikatakan bahwa rezim internasional bukan bentuk yang tepat dan dalam memorandum dikatakan bahwa dominion Prancis juga bukan bentuk yang tepat. Di lain pihak [? Prancis terlewatkan] [jika sikap Picot betul-betul mencerminkan sikap pemerintah Prancis] tidak akan pernah setuju kalau Inggris yang berkuasa untuk sementara waktu maupun menyelenggarakan pemerintahan sementara di Palestina, sekalipun kita iming-imingi Siprus sebagai hadiah dan mengangkat orang Prancis menjadi gubernur atas Yerusalem, Betlehem, Nasaret, dan Yafo. Tampaknya hal ini tidak dapat mereka terima dengan lapang dada, dan tindakan mengungkit hal ini tampaknya cuma membangkitkan segala kenangan buruk yang mengesalkan hati mereka mulai dari masalah Jeanne d'Arc sampai ke masalah Fasyoda
  14. ^ Sykes mendapat teguran resmi dari Grey, Buchanan harus menyuruh Sykes 'untuk melupakan bahwa memorandum kabinet Tuan Samuel ada menyinggung mengenai wilayah protektorat Inggris dan saya sampaikan kepada Tuan Samuel waktu itu bahwa wilayah protektorat Inggris memang hal yang mustahil terwujud dan Sir M. Sykes mestinya tidak menyinggungnya tanpa menjelaskan kemustahilannya'.[79]
  15. ^ Pada tahun 1919, Nahum Sokolow menggambarkan jalannya pertemuan tersebut sebagai berikut: "Tanggal 7 Februari 1917 merupakan sebuah titik balik dalam sejarah... Pada permulaan tahun 1917, Sir Mark Sykes menjalin keakraban dengan Dr. Weizmann serta penulis sendiri, dan diskusi-diskusi yang dilakukan beliau dengan Dr. Weizmann akhirnya bermuara pada pertemuan tanggal 7 Februari 1917, yang menandai awal dari negosiasi-negosiasi resmi. Selain Sir Mark Sykes, orang-orang yang ikut hadir dalam pertemuan ini adalah Lord Rothschild, Tuan Herbert Bentwich, Tuan Joseph Cowen, Dr. M. Gaster (yang rumahnya dijadikan tempat pertemuan), Tuan James de Rothschild, Tuan Harry Sacher, Yang Terhormat Tuan Herbert Samuel Anggota Parlemen, Dr. Chaim Weizmann, dan penulis sendiri. Perbincangan membuahkan hasil yang memuaskan, dan diputuskan untuk meneruskan ikhtiar ini."[96]
  16. ^ Sykes juga memberitahu kaum Sionis bahwa ia akan mengadakan pertemuan dengan Picot esok hari dan Sokolow ditunjuk Rothschild untuk ikut menghadiri pertemuan tersebut yang menurut rencana akan dilangsungkan di rumah Sykes. Sokolow berhasil memaparkan perjuangan kaum Sionis dan mengungkapkan keinginannya akan sebuah wilayah protektorat Inggris kendati Picot menolak membahas soal ini. Sehari sesudahnya, Sokolow dan Picot melangsungkan pertemuan sendiri di kantor Kedutaan Prancis. Dalam pertemuan ini, Picot mengatakan bahwa "ia sendiri yang akan mengatur agar fakta-fakta tentang Sionisme dikomunikasikan kepada pihak-pihak yang tepat dan ia akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan simpati dalam bentuk apa saja bagi gerakan tersebut selama masih sejalan dengan pendirian Prancis dalam permasalahan ini."[99]
  17. ^ Setelah meninjau kembali konferensi ini pada tanggal 25 April, kabinet perang "cenderung berpandangan bahwa cepat atau lambat Persetujuan Sykes-Picot mesti dikaji ulang... Tidak ada tindakan apapun yang sekarang harus diambil sehubungan dengan hal ini".[109]
  18. ^ Sykes selaku Kepala Pejabat Politik untuk Pasukan Ekspedisioner Mesir dan Picot selaku Haut-Commissaire Français pour Les Territoires Occupés en Palestine et en Syrie (Komisaris Tinggi untuk [bakal] Wilayah-Wilayah Pendudukan di Palestina dan Suriah), masing-masing menerima surat tugas mereka pada tanggal 3 April dan 2 April.[112][113] Rencananya Sykes dan Picot akan tiba di Timur Tengah pada akhir bulan April, dan melanjutkan pembicaraan sampai akhir bulan Mei.[111]
  19. ^ Panitia Paguyuban Bani Israel (bahasa Italia: Comitato delle università israelitiche) kini bernama Serikat Komunitas Yahudi Italia (bahasa Italia: Unione delle comunità ebraiche italiane, disingkat UCEI)
  20. ^ Pada tahun 1929, pimpinan Sionis Jacob de Haas menulis sebagai berikut: "Pada bulan Mei 1917, menjelang kedatangan Misi Balfour ke Amerika Serikat, President Wilson berusaha meluangkan banyak waktu untuk membicarakan prospek-prospek kaum Sionis Palestina, dan kesempatan ini tidak disia-siakan. Dalam resepsi resmi pertama yang digelar President Wilson untuk menyambut Tuan Balfour, si tamu agung menyebut Brandeis sebagai orang yang ingin ia ajak berbicara empat mata. Ketika berada di Washington, Tuan Balfour merangkum pendiriannya dalam satu kalimat, "saya seorang Sionis." Kendati Balfour dan Brandeis hanya bertemu bilamana sempat, tokoh-tokoh Sionis lainnya bertemu dan membincangkan permasalahan Palestina dengan semua anggota rombongan misi Inggris yang pengertian baiknya perlu ditumbuhsuburkan menurut anggapan Sionis. Tindakan ini dipandang perlu karena ketika itu pembentukan wilayah mandat Amerika untuk Palestina, yakni kebijakan yang tidak disukai Brandeis, tak henti-hentinya dibahas oleh media massa Eropa."[128]
  21. ^ Ronald Graham mengemukakan dalam surat yang ia kirim kepada Lord Hardinge, Wakil Permanen Menteri Luar Negeri (jabatan pegawai negeri sipil atau pegawai negeri bukan menteri yang paling senior di kantor Kementerian Luar Negeri) pada tanggal 13 Juni 1917 sebagai berikut: "Tampaknya karena simpati terhadap pergerakan kaum Sionis, yang sudah diungkapkan oleh Perdana Menteri, Tuan Balfour, Lord R. Cecil, dan pejabat-pejabat lainnya, kita harus bersungguh-sungguh mendukung pergerakan kaum Sionis, sekalipun sampai dengan kebijakan kaum Sionis terumuskan secara lebih jelas dukungan kita mestilah bersifat umum. Oleh karena itu kita harus memetik segala macam keuntungan politik sebanyak mungkin dari hubungan kita dengan Sionisme, dan tidak diragukan lagi bahwa keuntungan tersebut nantinya sangat besar, teristimewa di Rusia, tempat satu-satunya sarana untuk menjangkau orang Yahudi dari kalangan proletariat adalah Sionisme, yang keanggotaannya meliputi sebagian besar warga Yahudi di negara itu."[129]
  22. ^ Weizmann mengemukakan dalam suratnya sebagai berikut: "Dari segala segi tampaknya pemerintah Inggris sudah harus mengungkapkan rasa simpati dan dukungannya terhadap klaim-klaim kaum Sionis atas Palestina. Sesungguhnya pemerintah Inggris hanya perlu mengonfirmasi pandangan yang sudah sering kali diungkapkan kepada kita oleh para petinggi maupun wakil-wakil rakyat yang duduk dalam pemerintahan, dan yang sudah hampir tiga tahun lamanya melandasi negosiasi-negosiasi kita"[130]
  23. ^ Pada tanggal 16 April 1919, sebagai jawaban atas permohonan para Utusan Perdamaian Amerika untuk mengklarifikasi pandangan-pandangannya yang diberitakan dalam surat kabar, Woodrow Wilson menegaskan, "tentu saja saya tidak menggunakan kata-kata yang dikutip dalam lampiran, dan kata-kata tersebut pun tidak disebut sebagai kata-kata saya. Namun saya memang mengutarakan maksud yang diungkapkan dengan kalimat 'diasaskan sebuah persemakmuran Yahudi' dalam kutipan tersebut, meskipun kalimat itu sedikit melenceng dari apa yang ada dalam benak saya ketika itu. Saya hanya bermaksud untuk menegaskan persetujuan yang sudah kita tunjukkan terhadap sikap pemerintahan Inggris sehubungan dengan masa depan Palestina'.[156]
  24. ^ Schmidt mengutip pendapat Stein bahwa "pandangan-pandangan Bonar Law perihal kaum Sionis tidaklah diketahui orang", putra dan penulis biografinya pun demikian.[158]
  25. ^ Memorandum resmi Mark Sykes memuat umpan balik dari hasil pertemuan tersebut sebagai berikut:
    "Apa yang tidak dikehendaki kaum Sionis: I. Memiliki kekuasaan politik istimewa atas kota tua Yerusalem itu sendiri maupun kekuasaan atas tempat-tempat suci Kristen atau Islam; II. Menjadikan Palestina atau mendirikan di Palestina sebuah negara Republik Yahudi atau negara bentuk apa pun; III. Mendapatkan apa saja hak istimewa yang tidak didapatkan penduduk lain di Palestina; Di lain pihak, kaum Sionis menghendaki: I. Pengakuan terhadap warga Yahudi Palestina sebagai satu unit kebangsaan, berfederasi dengan unit-unit kebangsaan [lain] di Palestina; II. Pengakuan hak pemukim Yahudi bona fide (berkehendak baik) untuk tercakup dalam unit kebangsaan Yahudi di Palestina"[164]
  26. ^ Amery meriwayatkan saat-saat tersebut dalam memoarnya sebagai berikut: "Setengah jam sebelum pertemuan dilangsungkan, Milner melongok dari bilik kerjanya di gedung kabinet, tepat di sebelah bilik kerja saya, lalu menyampaikan kepada saya kesulitan-kesulitan, dan menunjukkan satu dua usulan draf alternatif, yang tak satu pun memuaskan hatinya. Dapatkah saya menyusun sebuah draf yang dapat sebijak mungkin menenangkan para penentang, baik orang Yahudi maupun pihak pro-Arab, tanpa mencederai substansi dari deklarasi yang diikhtiarkan tersebut?"[183]
  27. ^ Di perjalanan menuju Sinagoge Hurva pada Sabat Nachamu, Samuel menulis dalam memoirnya bahwa ia "menemukan jalanan sekitar sangat berjejalan, dan bangunan besar itu sendiri dikemas pada pintu-pintu dan atap-atap, kebanyakan oleh para pemukim lama, beberapa diantaranya masih hidup, dan ada yang sudah mati, di Kota Suci untuk mengguncangkan pietas. Sekarang, pada hari itu, untuk pertama kalinya sejak penghancuran Bait Allah, mereka dapat menyaksikan salah satu dari bangsa mereka sendiri menajdi gubernur di Tanah Israel. Bagi mereka, ini tampak bahwa pemenuhan nubuat kuno telah telah berada di tangan. Saat itu, bertepatan dengan ritual lazim, aku 'membacakan Bacaan Hukum' dan dari bagian tengah mengutip doa dan pemberkatan dalam bahasa Ibrani, 'Beri kasih pada Sion, baginya adalah rumah kehidupan kami, dan menyelamatkannhya agar meraih jiwa, secara cepat, pada hari-hari kami. Diberkatilah Engkau, Allah kami, yang membuat Sion menjadi bahagia melalui anak-anaknya: dan saat itu disusul firman-firman pembuka dari sebuah bab Yesaya dimajukan pada hari itu, 'Hiburkanlah, hiburkanlah umat-Ku, demikian firman Allahmu, tenangkanlah hati Yerusalem dan serukanlah kepadanya, bahwa perhambaannya sudah berakhir, bahwa kesalahannya telah diampuni,' – emosi yang tak aku bendung namun rasanya tampak menyebar ke sebagian besar kongregasi tersebut. Beberapa menangis. Seseorang hampir terdengar berdesah berulang kali."[206]
  28. ^ Dalam bahasa Jerman asli: Vereinigung jüdischer Organisationen Deutschlands zur Wahrung der Rechte der Juden des Ostens
  29. ^ Diplomat dan biografer Sykes, Shane Leslie, menulis pada 1923 tentang Sykes: "Perjalanan terakhirnya ke Palestina telah menumbuhkan beberapa keraguan, yang membuatnya tak nyenyak saat mengunjungi Roma. Kepada Kardinal Gasquet, ia dibujuk mengubah pandangannya tentang Sionisme, dan agar ia memutuskan untuk mengkualifikasi, memandu dan, jika memungkinkan, menyelamatkan keadaan berbahaya tersebut yang cepat berkembang. Jika kematian tak dialaminya, itu tak akan terlambat."[254]
  30. ^ Viscount Northcliffe, yang memiliki The Times, Daily Mail, dan penerbitan lain sebanyak sekitar dua per lima dari total peredaran surat kabar Inggris, menerbitkan sebuah pernyataan dari Kairo pada 15 Februari 1922 (halaman 10) menyatakan bahwa Palestina beresiko menjadi Irlandia kedua. Artikel-artikel berikutnya yang diterbitkan dalam The Times pada 11 April (halaman 5), 26 April (halaman 15), 23 Juni (halaman 17), 3 Juli (halaman 15) dan 25 Juli (halaman 15)[255]
  31. ^ Komisi Kerajaan Palestina menyebut bukti Lloyd George sebagai berikut: "Dalam bukti yang ia berikan kepada kami, Tuan Lloyd George, yang menjadi Perdana Menteri pada masa itu, menyatakan bahwa, meskipun sebab Sionis telah banyak didukung di Inggris dan Amerika sebelum November, 1917, peluncuran Deklarasi Balfour pada masa itu adalah "karena alasan-alasan propagandis"; dan, ia menjelaskan posisi serius dimana Sekutu dan Blok Asosiasi pada masa itu. Orang Ruomania telah dihancurkan. Tentara Rusia tertekan. Tentara Prancis tak dapat membuat serangan berskala besar. Italia mengalami kekalahan besar di Caporetto. Jutaan ton perkapalan Inggris telah ditenggelamkan oleh kapal-kapal selam Jerman. Tak ada divisi Amerika yang tersedia di parit-parit. Dalam situasi kritis ini, simpati Yahudi atau balasannya diyakini akan membuat perbedaan substansial dari satu cara atau cara lainnya pada sebab Sekutu. Selain itu, simpati Yahudi akan mendorong dukungan Yahudi Amerika, yang akan menjadikannya lebih sulit bagi Jerman untuk mengurangi komitmen militernya dan menunjang posisi ekonomi di front timur... Para pemimpin Sionis [Tuan Lloyd George memberitahukan kami] memberikan kami sebuah janji bahwa, jika Sekutu berniat kepada diri mereka sendiri untuk memberikan dorongan untuk pendirian tanah air bagi Yahudi di Palestina, mereka akan melakukan hal terbaik mereka untuk menumpas sentimen Yahudi dan mendukung sebab Sekutu di seluruh dunia. Mereka memegang kata-kata kami."[274]
  32. ^ Menurut memoir Lloyd George: "Deklarasi Balfour mewakilkan kebijakan menunjang dari seluruh pihak di negara kami dan juga di Amerika, namun peluncurannya pada 1917 adalah karena, seperti yang kukatakan, adalah untuk alasan-alasan propagandis... Gerakan Sionis sangat dikecualikan di Rusia dan Amerika... Diyakini juga bahwa deklarasi semacam itu akan memiliki pengaruh poten atas Yahudi dunia di luar Rusia, dan mengamankan bantuan kepentingan finansial Yahudi untuk Entente. Di Amerika, bantuan mereka dengan hormat akan memiliki nilai istimewa saat Sekutu hampir meraup emas dan memasarkan keamanan bagi penjualan Amerika. Hal semacam ini adalah konsiderasi utama yang, pada 1917, mendorong Pemerintah Inggris menuju pembuatan sebuah kontrak dengan Yahudi."[275]
  33. ^ Contohnya, pada 1930, saat menyadari bahwa Raja George V diminta pandangannya tentang keadaan di Palestina, John Chancellor, Komisioner Tinggi untuk Palestina, menulis sebuah surat 16 halaman melalui Lord Stamfordham, Sekretaris Pribadi Raja. Surat tersebut menyatakan, "Fakta-fakta dari situasi tersebut adalah bahwa dalam arus deras dari perang tersebut, Pemerintah Inggris membuat janji kepada orang Arab dan janji kepada orang Yahudi yang tak konsisten satu sama lain dan tak dapat terpenuhi. Hal terjujurnya adalah untuk memajukan kesulitan kami dan berkata kepada Yahudi bahwa, sejalan dengan Deklarasi Balfour, mereka menyanjung Tanah Air Yahudi di Palestina dan bahwa Tanah Air Yahudi di Palestina pada kenyataannya berdiri dan akan diutamakan dan bahwa, tanpa melanggar bagian lain dari Deklarasi Balfour, tak menyerobot kepentingan orang Arab, mereka tak dapat lebih dari yang mereka lakukan."[300] Renton menulis: "Upaya untuk menciptakan pesan berbeda bagi audien berbeda terkait masa depan tempat yang sama, seperti yang diupayakan sejak kejatuhan Yerusalem, tak mempan."[299]
  34. ^ Sudut pandang protagonis utama pada Makalah Putih 1939 tersebut: Inggris, paragraf 6 dari Makalah Putih: "Pemerintahan Sri Baginda memegang penafsiran ini dari Deklarasi 1917 dan menyanjungnya sebagai deskripsi otoritatif dan komprehensif dari karakter Tanah Air Yahudi di Palestina."; Kaum Sionis, Pernyataan Tanggapan oleh Badan Yahudi: "Kebijakan baru untuk Palestina yang ditujukan kepada Mandat tersebut dalam Makalah Putih sekarang mengeluarkan sangkalan-sangkalan kepada hak orang Yahudi untuk membangun ulang tanah air mereka di negara leluhur mereka...";[306] Orang Arab, dari diskusi UNSCOP tahun 1947: "Sejak proporsal tersebut tak mengukur tawaran-tawaran politik yang diusulkan oleh para perwakilan Arab saat Konferensi London awal 1939, ini resmi ditolak oleh para perwakilan Arab Palestina yang bertindak di bawah pengaruh Haji Amin Eff el Husseini. Opini Arab yang lebih moderat diwakilkan dalam Partai Pertahanan Nasional yang disiapkan untuk menerima Makalah Putih."[307]

Catatan penjelas dan sudut pandang cendekiawan

  1. ^ Renton menjelaskannya sebagai berikut: "Salah satu aspek krusial dari penggambaran Deklarasi Balfour sebagai produk belas kasihan Inggris seperti ini, apabila dibandingkan dengan realpolitik, adalah bahwasanya Inggris memiliki rasa peduli yang alami dan mengakar terhadap hak-hak orang Yahudi, terutama terhadap pemulihan bangsa mereka, yang sudah mendarah daging dalam kebudayaan dan sejarah Inggris. Dengan penyajian seperti ini, Deklarasi Balfour dibuat tampak sebagai peristiwa yang muncul secara alami, seakan-akan sudah ditakdirkan Tuhan. Dengan demikian, Sionisme ditampilkan bukan semata-mata sebagai telos sejarah bangsa Yahudi melainkan juga sejarah bangsa Inggris. Kecenderungan sejarah nasionalis dan sejarah Sionis untuk berkembang menuju satu titik takdir dan penebusan membuka ruang, yang memang perlu ada, bagi penjelasan semacam itu. Dengan demikian diciptakanlah mitos 'proto-Sionisme' Inggris, yang sudah begitu lama memengaruhi historiografi Deklarasi Balfour, sekadar untuk memenuhi kebutuhan para juru propaganda Sionis yang bekerja bagi pemerintah Inggris."[2]
  2. ^ Donald Lewis mengemukakan dalam tulisannya sebagai berikut: "Pokok pikiran dari karya tulis ini adalah bahwasanya dengan menginsafi [filosemitisme Kristen dan Sionisme Kristen] sajalah seseorang dapat memahami pengaruh agama dan kebudayaan yang bahu-membahu menciptakan suatu iklim opini di kalangan elit politik di Inggris yang mendukung Deklarasi Balfour."[7]
  3. ^ Sehubungan dengan rancangan-rancangan Eropa untuk mendorong umat Kristen Protestan, Kristen Katolik, dan Yahudi berimigrasi ke Palestina, Schölch mengemukakan bahwa "dari sekian banyak proyek dan usaha kolonisasi itu, hanya dua yang berhasil, yakni usaha-usaha pemukiman Serikat Haikal sejak tahun 1868 dan usaha-usaha pemukiman para imigran Yahudi sejak tahun 1882."[9]
  4. ^ LeVine dan Mossberg menjabarkan pokok pikiran ini sebagai berikut: "Cikal bakal Sionisme bukanlah agama Yahudi maupun tradisi, melainkan antisemitisme dan nasionalisme. Cita-cita Revolusi Prancis, yang secara perlahan-lahan menyebar ke seluruh penjuru Eropa, pada akhirnya mencapai daerah Tapal Batas Permukiman di Kekaisaran Rusia dan turut membantu kelahiran Haskalah, atau gerakan Pencerahan Yahudi. Kemunculan Haskalah mengakibatkan perpecahan permanen di kalangan umat Yahudi sedunia, yakni perpecahan antara kubu yang berpegang teguh pada halakah atau visi agama-sentris dari jati diri mereka dan kubu yang mengadopsi sebagian dari retorika rasial pada masa itu serta membuat orang Yahudi menjadi sebuah bangsa. Keadaan ini dibantu oleh gelombang pogrom di Eropa Timur yang mengakibatkan dua juta orang Yahudi terpaksa mengungsi ke tempat lain; kebanyakan mengungsi ke Amerika, tetapi ada pula yang memutuskan untuk mengungsi ke Palestina. Penggerak di balik semua ini adalah gerakan Hobebei Tsion, yang sejak tahun 1882 bergiat mengembangkan suatu jati diri Ibrani yang berbeda dari keyahudian sebagai sebuah agama."[12]
  5. ^ Gelvin mengemukakan dalam tulisannya sebagai berikut: "Kenyataan bahwa nasionalisme Palestina berkembang lebih kemudian daripada Sionisme, dan memang berkembang sebagai tanggapan terhadap Sionisme, sama sekali tidak mengecilkan nasionalisme Palestina maupun membuatnya tidak seabsah Sionisme. Semua gerakan nasionalisme muncul sebagai penentangan terhadap 'pihak lain'. Apa lagi alasan perlunya menjabarkan jati diri anda? Dan semua nasionalisme disifatkan oleh apa yang ditentangnya. Sebagaimana yang sudah kita ketahui, Sionisme itu sendiri muncul sebagai reaksi terhadap gerakan-gerakan antisemit dan nasionalis eksklusioner di Eropa. Jadi keliru jika kita menilai Sionisme lantaran satu dan lain hal tidak seabsah antisemitisme atau nasionalisme-nasionalisme Eropa tersebut. Lagi pula Sionisme itu sendiri juga disifatkan oleh penentangannya terhadap warga pribumi Palestina. Baik slogan 'pendaulatan tanah' maupun slogan 'pendaulatan tenaga kerja', yang menjadi unsur pokok dari tuntutan dominan Sionisme di Yisyub, tercipta sebagai hasil konfrontasi kaum Sionis dengan bangsa Palestina selaku 'pihak lain'."[13]
  6. ^ Defries mengemukakan dalam tulisannya sebagai berikut: "Kendati enggan, Balfour sudah menyetujui usaha-usaha permulaan Chamberlain untuk menolong orang Yahudi mencari wilayah untuk dijadikan sebuah permukiman Yahudi. Menurut penulis biografinya, ia sudah cukup tertarik pada gerakan Sionisme menjelang akhir tahun 1905 sampai-sampai mengizinkan kepala hubungan konstituen Yahudi dalam partainya, Charles Dreyfus, untuk mengatur pertemuan dengan Weizmann. Mungkin sekali hatinya tergelitik oleh penolakan Kongres Sionis terhadap tawaran 'Uganda'. Agaknya mustahil Balfour 'teryakinkan untuk berubah' mendukung Sionisme lantaran pertemuan ini, sebagaimana yang dinyatakan oleh Weizmann dan digembar-gemborkan oleh penulis biografi Balfour. Balfour baru saja meletakkan jabatan perdana menteri ketika berjumpa dengan Weizmann."[19]
  7. ^ Rovner mengemukakan dalam tulisannya sebagai berikut: "Pada musim semi tahun 1903, menteri berusia enam puluh enam tahun yang rewel dalam urusan kerapian berpakaian itu baru saja pulang dari lawatannya ke tanah jajahan Inggris di Afrika... Entah bagaimana caranya sehingga gagasan itu tercetus dalam benaknya, yang jelas Chamberlain menerima Herzl di kantornya cuma beberapa minggu seusai pogrom-pogrom di Kisyinyew. Dengan tatapan yang tajam menembus lensa monokelnya, ia menawarkan bantuan kepada Herzl. "Saya sudah menemukan tanah untuk anda dalam penjalanan lawatan saya," kata Chamberlain kepada Herzl, "yaitu Uganda. Memang letaknya tidak di pesisir, tetapi semakin masuk ke pedalaman semakin bagus iklimnya, bahkan cocok bagi orang Eropa… lalu terbersit dalam pikiran saya, sepertinya ini tanah yang tepat untuk Dr. Herzl." "[22]
  8. ^ Rovner mengemukakan dalam tulisannya sebagai berikut: "Pada sore hari keempat penyelenggaraan kongres, Nordau yang sudah terlihat lelah mengajukan tiga resolusi ke hadapan dewan delegasi, yakni (1) bahwasanya Organisasi Sionis mengarahkan seluruh usaha pemukiman di masa yang akan datang semata-mata ke Palestina; (2) bahwasanya Organisasi Sionis berterima kasih kepada pemerintah Inggris atas tawaran wilayah otonom di Afrika Timur; dan (3) bahwasanya orang Yahudi yang menyatakan kesediaannya untuk mendukung Program Basel sajalah yang dibenarkan menjadi anggota Organisasi Sionis." Zangwill berkeberatan… Ketika Nordau menegaskan bahwa kongres berhak untuk meloloskan resolusi-resolusi tersebut, Zangwill pun berang. "Anda akan didakwa di hadapan pengadilan sejarah," katanya menantang Nordau… Mulai sekitar pukul 1:30 lewat tengah hari, pada hari Minggu tanggal 30 Juli 1905, seorang Sionis dimaknai sebagai orang yang mengusung Program Basel dan satu-satunya "tafsir sah" dari program tersebut yang membatasi kegiatan pemukiman di Palestina saja. Zangwill dan para pendukungnya tidak dapat menerima "tafsir sah" dari Nordau yang mereka yakini akan mengakibatkan penelantaran massa Yahudi dan visi Herzl. Salah seorang teritorialis mengklaim Usisykin beserta para pemilik hak suara yang sehaluan dengannya sudah nyata-nyata "mengubur Sionisme politik"."[23]
  9. ^ Yonathan Mendel mengemukakan dalam tulisannya sebagai berikut: Persentase orang Yahudi di Palestina sebelum kebangkitan Sionisme dan gelombang-gelombang aliyah tidak dapat dipastikan angkanya, tetapi mungkin sekali berkisar antara 2 sampai 5 persen. Menurut catatan-catatan Kekaisaran Turki Osmanli, pada tahun 1878, jumlah keseluruhan penduduk di kawasan yang kini menjadi wilayah Israel/Palestina berjumlah 462.465 jiwa pada tahun 1878. Jumlah keseluruhan ini terdiri atas 403.795 jiwa (87%) umat Islam, 43.659 jiwa (10%) umat Kristen, dan 15.011 jiwa (3%) umat Yahudi (dikutip dalam Alan Dowty, Israel/Palestine, Cambridge: Polity, 2008, hlm. 13). Baca juga Mark Tessler, A History of the Israeli–Palestinian Conflict (Bloomington, IN: Indiana University Press, 1994), hlmn. 43 dan 124.[40]
  10. ^ Schneer mengemukakan bahwa: "Deklarasi Balfour tidak dengan sendirinya merupakan sumber masalah di sebuah negeri yang sebelumnya kurang lebih damai, tetapi Deklarasi Balfour juga bukanlah sekadar papan penunjuk arah belaka di sebuah jalan yang tak bersimpang menuju jurang. Tak seorang pun dapat menduga jalan sejarah Palestina andaikata Deklarasi Balfour tidak pernah ada. Apa yang sudah terjadi adalah akibat dari adanya kekuatan-kekuatan dan faktor-faktor yang sama sekali tidak terduga."[44]
  11. ^ Kedourie menjelaskan pernyataan Buku Putih Churchill tahun 1922 sebagai berikut: "... dusta bahwa pemerintah 'senantiasa' menganggap rancangan Henry McMahon mencakup Wilayet Beirut dan Sanjaq Yerusalem, karena nyatanya dalil ini tidak lebih lama umurnya daripada memorandum Hubert Winthrop Young yang terbit pada bulan November 1920"[63]
  12. ^ Sekembalinya dari Petrograd, sesudah menerima teguran resmi, Sykes menyurati Sir Arthur Nicholson katanya, "dari isi telegram anda, saya khawatir sudah menyusahkan anda sehubungan dengan Picot & Palestina. Namun percayalah, belum ada kerugian apa-apa, P sedang senang-senangnya menikmati puri barunya di Armenia, dan S[azonow] kelihatannya gembira dapat lepas dari keharusan untuk menangani orang Armenia dalam jumlah yang lebih banyak daripada yang sanggup ia tolong. Menurut hemat saya, kaum Sionislah yang kini menjadi kunci situasi-masalahnya adalah bagaimana caranya agar mereka dapat merasa puas?...." Isi surat selengkapnya dapat dibaca di [84]
  13. ^ Menurut penuturan banyak pihak, antara lain Schneer, peran serta Gaster dalam memunculkan Deklarasi Balfour telah disepelekan orang. Para ahli, termasuk James Renton, sudah mengusahakan agar peran sertanya kembali dihargai.[95]
  14. ^ Sykes diperkenalkan dengan Weizmann and Sokolow oleh James Aratoon Malcolm, pengusaha Inggris keturunan Armenia, dan L. J. Greenberg, editor surat kabar mingguan The Jewish Chronicle.[89]
  15. ^ Dalam History of Zionism yang ditulisnya, Sokolow mengemukakan bahwa ia menjumpai para kardinal dan beraudiensi dengan Sri Paus, tetapi tidak memerinci lebih lanjut.[120] Sokolow menulis tiga laporan mengenai isi pembicaraannya dengan Sri Paus. Satu laporan tulis tangan dalam bahasa Prancis, yang dijadikan acuan oleh Minerbi "karena pembicaraan tersebut mungkin sekali berlangsung dalam dalam bahasa Prancis dan karena laporan tersebut ditulis tangan sendiri oleh Sokolow segera sesudah pertemuan berakhir"[121][122] dan dua laporan lainnya "diketik dalam bahasa Italia beberapa hari seusai audiensi".[121][122] Kreutz, mengikuti Stein, mewanti-wanti bahwa laoran-laporan itu "tentu saja tidak boleh dianggap sebagai sebuah catatan verbatim"[123][124] Minerbi menerjemahkannya sebagai berikut: "Sokolow: Hati saya benar-benar tersentuh bila mengenang kembali peristiwa-peristiwa bersejarah itu. Memang sudah sepatutnya demikian. Izinkanlah saya untuk menambahkan bahwa Roma yang dulu membinasakan Yudea sudah mendapatkan balasan yang setimpal. Roma sudah tiada, sementara orang Yahudi bukan saja masih hidup sampai sekarang, melainkan juga masih cukup berdaya untuk mengklaim kembali negeri mereka. Sri Paus: Ya, ya, memang sudah ditakdirkan demikian; sudah kehendak Tuhan... Sri Paus:...Tetapi hal-ihwal tempat-tempat suci adalah persoalan yang sangat penting bagi kami. Hak-hak suci harus tetap lestari. Kami akan mengatur hal ini dengan Gereja maupun negara-negara Adidaya. Anda harus menghormati hak-hak ini seutuh-utuhnya... Hak-hak ini sudah setua ratusan tahun, dijamin dan dilestarikan oleh semua pemerintahan."
  16. ^ Sekalipun surat tersebut sudah diserahkan Sokolow kepada Ronald Graham, Picot dipanggil ke London pada akhir bulan Oktober untuk menghadiri rapat kabinet dan menjelaskan pendirian Prancis dalam hal pergerakan kaum Sionis. Kaufman mengutip pendapat Stein bahwa mungkin saja dokumen tersebut tidak diteruskan kepada Lord Balfour dan mungkin pula Lord Barfour lupa akan keberadaan surat itu. Selain itu Kaufman juga mengutip pendapat Verete bahwa dokumen tersebut mungkin sekali sudah hilang.[127]
  17. ^ Milner dijadikan anggota kabinet karena pernah bertugas sebagai Komisaris Tinggi untuk Kawasan Selatan Afrika semasa Perang Boer II, perang berskala besar terakhir yang melibatkan Inggris sebelum meletusnya Perang Dunia I
  18. ^ Quigley menulis sebagai berikut: "Deklarasi yang selama ini disebut sebagai Deklarasi Balfour semestinya disebut "Deklarasi Milner" karena sesungguhnya Milnerlah yang menyusunnya, dan rupa-rupanya Milner pula yang paling gigih memperjuangkannya dalam rapat kabinet perang. Fakta ini baru diungkap kepada publik pada tanggal 21 Juli 1937. Ketika itu William Ormsby-Gore, atas nama pemerintah Inggris, mengemukakan di hadapan sidang Majelis Rakyat Jelata bahwa, "draf yang mula-mula diajukan oleh Lord Balfour bukanlah draft akhir yang disetujui kabinet perang. Draf yang disetujui kabinet perang dan kemudian disetujui pula oleh pemerintah negara-negara Blok Sekutu serta pemerintah Amerika Serikat... dan akhirnya terwujud dalam Mandat Liga Bangsa-Bangsa, sesungguhnya disusun oleh Lord Milner. Draf akhir memang harus dikeluarkan atas nama Menteri Luar Negeri, tetapi penyusunnya adalah Lord Milner."[149]
  19. ^ Norman Rose menjelaskannya sebagai berikut: "Isi pikiran para perancang utama sudah dapat ditebak. Bukti-buktinya sudah tidak dapat dipungkiri lagi. Semuanya beranggapan bahwa, bila sudah genap waktunya, sebuah Negara Yahudi akan berdiri. Bagi kaum Sionis, Deklarasi Balfour adalah langkah pertama ke arah terbentuknya sebuah negara Yahudi. Meskipun demikian, bagi Weizmann – tokoh yang dikenal sebagai seorang Anglofil (pengagum berat Inggris) – dan jajaran pimpinan kaum Sionis, Deklarasi Balfour terbukti menimbulkan dampak yang tidak diharapkan. Begitu Inggris berusaha menunaikan berbagai macam kewajiban mereka, bagi kaum Sionis tibalah masa-masa penuh harapan tetapi sekaligus penuh rasa frustasi mendalam. Salah satu pihak yang berpandangan sinis mengemukakan bahwa proses pelunasan janji yang termuat dalam Deklarasi Balfour dimulai pada tanggal 3 November 1917."[162]
  20. ^ Surat kabarDaily Chronicle, pada tanggal 30 Maret 1917, menganjurkan pembentukan kembali "Palestina Yahudi" dan membangun "sebuah negara Sionis ... di bawah perlindungan Inggris."[166] Surat kabar The New Europe, pada tanggal 12, 19, dan 26 April 1917, memuat tulisan tentang "sebuah negara Yahudi," sama seperti yang dilakukan surat-surat kabar lain, termasuk surat kabar Liverpool Courier (tanggal 24 April), The Spectator (tanggal 5 Mei), dan Glasgow Herald (tanggal 29 Mei).[166] Beberapa surat kabar Inggris memberitakan bahwa Inggrislah yang berkepentingan mendirikan kembali sebuah "Negara Yahudi" atau "Negeri Yahudi," antara lain surat kabar Methodist Times, The Manchester Guardian, The Globe, dan The Daily News.[166]
  21. ^ Gelvin menulis sebagai berikut: "Kata-kata dalam Deklarasi Balfour dipilih secara saksama. Bukan kebetulan kalau Deklarasi Balfour memuat frasa "di Palestina" bukannya "Palestina", dan bukan kebetulan juga kalau Kementerian Luar Negeri menggunakan frasa "kediaman nasional" alih-alih kata "negara" yang lebih pasti– sekalipun frasa "kediaman nasional" tidak pernah dipakai dan tidak punya dasar dalam hukum internasional. Lalu apa sesungguhnya yang dimaksud dengan frasa "memandang baik" dan "berusaha sekuat tenaga"? Ketaksaan yang tampak pada isi deklarasi ini mencerminkan perdebatan yang timbul bukan saja di kalangan pemerintah Inggris melainkan juga di kalangan kaum Sionis dan komunitas-komunitas Yahudi Inggris."[153]
  22. ^ a b Reinharz menulis: "Inggris dan Prancis memperkirakan keseimbangan kekuatan dalam publik Yahudi Amerika sangat disebabkan oleh kesuksesannya dalam perjuangan untuk sebuah kongres. Ini adalah sebuah kemenangan bagi kaum Sionis di bawah kepemimpinan para penasihat dekat Pemerintahan Wilson, seperti Brandeis dan Frankfurter, melawan keputusan para bankir dari Wall Street, AJC, dan Komite Buruh Nasional. Ini diiringi dengan pertumbuhan impresif dalam keanggotaan terorganisir: dari 7,500 dalam 200 perhimpunan Sionis pada 1914 menjadi 30,000 dalam 600 perhimpunan pada 1918. Setahun kemudian, jumlah anggotanya mencapai 149,000. Selain itu, FAZ dan PZC mengumpulkan jutaan dolar saat tahun0tahun perang. Demonstrasi dukungan bagi Sionisme pada masyarakat Yahudi Amerika tersebut memainkan peran penting dalam konsiderasi Inggris yang berujung pada Deklarasi Balfour. Pemerintah Amerika (atau, setidaknya, Departemen Negara), yang utamanya tak ingin mendukung Deklarasi tersebut, hampir memisahkan dirinya sendiri – tampaknya karena kekuatan yang bertumbuh dari kaum Sionis di Amerika Serikat."[283]
  23. ^ James Renton menulis: "Secara keseluruhan, jelas bahwa Deklarasi tersebut, kampanye propaganda Inggris-Sionis, dukungan publik dari buruh internasional dan Presiden Wilson memberikan posisi berkuasa kepada kaum Sionis dari pengaruh berkelanjutan mereka dalam Yahudi Amerika. Ini tak datang dari dampak yang diberikan oleh Pemerintah Inggris. Deklarasi Balfour tentunya bukan diartikan sebagai alat untuk membantu pertumbuhan gerakan Sionis, atau untuk menimbulkan perpecahan komunal. Pengeluarannya ditujukan untuk merefleksikan sebuah perubahan yang terjadi dalam Yahudi dunia, namun pada kenyataannya tanggung jawab untuk klaim Sionis untuk legitimasi dan kepemimpinan."[198]
  24. ^ Edward Said menulis dalam The Question of Palestine tahun 1979 buatannya: "Apa yang berpengaruh soal deklarasi tersebut adalah, pertama, bahwa itu telah lama membentuk dasar yudisial klaim Sionis pada Palestina dan, kedua, dan lebih krusial bagi keperluan kami disini, bahwa ini adalah sebuah pernyataan yang pasukan posisional hanya dapat mengapresiasi saat demografi atau realitas manusia dari Palestina jelas terjaga dalam pikir. Sehingga, deklarasi tersebut dibuat (a) oleh sebuah kekuatan Eropa, (b) tentang wilayah non-Eropa, (c) di sebuah kedataran yang tak tak saling cocok dari kedua keberadaan tersebut dan keinginan pemukim mayoritas asli di wilayah tersebut, dan (d) ini mengambil bentuk janji tentang wilayah yang sama dengan kelompok asing lainnya, sehingga kelompok asing ini berniat, sangat secara harfiah, membuat wilayah ini menjadi tanah air bagi orang Yahudi. Tak banyak dipakai pada masa sekarang dalam menyelimuti sebuah pernyataan seperti Deklarasi Balfour. Ini tampak lebih bernilai untuk memandangnya sebagai bagian dari sebuah sejarah, dari sebuah gaya dan set karakteristik yang secara sentral meliputi pertanyaan Palestina seperti yang dapat didiskusikan pada masa sekarang."[209]
  25. ^ Ini disebutkan serupa oleh William Helmreich dan Francis Nicosia. Helmreich menyatakan bahwa: "Ini mewakili bagian sebuah kerjasama pada gagasan-gagasan yang siap diekspresikan dalam artikel-artikel pada Volkischer Beobachter dan dalam karyakarya terbitan lainnya, terutama Die Spur. Judul tersebut memberikan sebuah kesimpulan dari sebuah tesis yang Rosenberg majukan kepada para pembacanya: "Organisasi Sionis di Jerman tak lebih dari sebuah organisasi yang mendorong sebuah pemahaman terlegalisir dari negara Jerman." Ia menuduh kaum Sionis Jerman mengkhianati Jerman pada masa perang dengan mendukung Deklarasi Balfour Inggris dan kebijakan-kebijakan pro-Sionis dan menuduh bahwa mereka aktif campur tangan dalam kekalahan Jerman dan penetapan Versailles yang memberikan Tanah Air Yahudi di Palestina. Ia ingin menyatakan bahwa kepentingan Sionis mula-mula dan terutama adalah Yahudi dunia, dan melalui implikasi dari persekongkolan Yahudi mancanegara."[243] Selain itu, Nicosia menyatakan: "Rosenberg berpendapat bahwa Yahudi telah merencanakan Perang Besar dalam rangka mengamankan sebuah negara di Palestina. Dalam kata lain, ia menganggap bahwa mereka melakukan kekerasan dan perang pada kalangan priyayi dalam rangka mengamankan kepentingan Yahudi eksklusif mereka sendiri."[244]
  26. ^ Churchill mengisi perdebatan Dewan Rakyat dengan argumen berikut ini: "Palestina seluruhnya sangat penting bagi kkita... dalam pandangan yang bertumbuh signifikan dari Terusan Suez; dan aku berpikir £1,000,000 setahun... akan menjadi terlalu banyak bagi Britania Raya untuk membayar kontrol dan pemanduan dari tanah berseharag besar ini, dan untuk menjaga firman yang telah diberikan kepada seluruh bangsa di dunia."[259] Mathew menyebut manuver Churchill adalah sebagai berikut: "...keputusan yang dimajukan oleh mayoritas besar dalam Dewan Rakyat, sebuah hasil yang bukanlah perubahan opini mendadak namun oportunisme terampil Churchhill membalikkan menit terakhir debat umum tentang pendirian untuk koloni-koloni di seluruh dunia dalam suara konfidensi tentang kebijakan Palestina dari pemerintahan tersebut, ditujukan dalam markah ulang buatannya bukannya sebuah argumen Sionis namun konsiderasi imperial dan strategis.[260]
  27. ^ Gelvin menyatakan bahwa "Inggris tak terlalu mengetahui apa yang membuat Presiden Woodrow Wilson dan keputusannya (sebelum Amerika masuk perang) bahwa cara untuk mengakhiri pertikaian adalah agar kedua belah pihak menerima "perdamaian tanpa kemenangan". Dua penasihat terdekat Wilson, Louis Brandeis dan Felix Frankfurter, merupakan Sionis tulen. Bagaimana hal baik menghimpun sebuah persekutuan tak menentu ketimbang memajukan tujuan-tujuan Sionis? Inggris mengadopsi pemikiran serupa saat mereka datang ke Rusia, yang berada dalam pertengahan revolusi mereka. Beberapa revolusioner paling berpengaruh, termasuk Leon Trotsky, adalah keturunan Yahudi. Kenapa tak memandang jika mereka akan mendorong agar Rusia tetap dalam perang dengan menunjukkan ke-Yahudi-an laten mereka dan memberikan mereka alasan lain untuk melanjutkan pertarungan tersebut? ... Hal ini meliputi tak hanya orang yang siap disebut namun juga keinginan Inggris untuk meraih sumber finansial Yahudi."[276]
  28. ^ Schneer mendeskripsikan hal ini sebagai berikut: "Kemudian, pandangan dari Whitehall pada awal 1916: Jika kekalahan tak terelakkan, itu adalah kemenangan; dan kejatuhan dari perang yang timbul di Front Barat tak akan terprediksi. Pasukan kolosal dalam cangkian kematian di sepanjang Eropa dan di Eurasia tampak ditunda satu sama lain. Hanya tambahan pasukan baru signifikan di satu sisi atau lainnya yang tampaknya berada di ujung skala tersebut. Kehendak Inggris, bermula pada awal 1916, untuk mengeksplor beberapa jenis aransemen secara serius dengan "Yahudi dunia" atau "Yahudi besar" harus dimengerti dalam konteks ini."[277]
  29. ^ Grainger menulis: "Ini kemudian diluncurkan sebagai isyarat humanitarian besar dan dikecam sebagai sebuah rencana yang jahat, namun diskusi Kabinet sebelumnya tentang hal ini menunjukkan bahwa ini adalah produk perhitungan politik keras kepala… Ini berpendapat bahwa deklarasi semacam itu akan mendorong dukungan bagi Sekutu di Amerika Serikat dan di Rusia, dua negara di dunia yang memiliki populasi Yahudi yang sangat besar. Namun di balik itu, semuanya mengetahui bahwa, jika Inggris menjanjikan kebijakan semacam itu, ini akan secara dibutuhkan diangkat untuk mengimplementasikannya, dan ini akan diartikan bahwa ia akan memberikan kontrol politik atas Palestina. Satu tujuan dari Deklarasi Balfour adalah untuk membekukan Prancis (dan pihak lainnya) dari keberadaan pasca-perang apapun di Palestina."[280] dan Barr menulis: "Untuk mendompleng keberadaan Prancis untuk pemerintahan mancanegara saat Palestina telah ditaklukkan, pemerintah Inggris sekarang membuat dukungannya untuk publik Sionisme."[281]
  30. ^ Brysac dan Meyer menulis: "Seperti yang pengacara dan sejarawan David Fromkin sebutkan, dari sekitar tiga juta Yahudi yang tinggal di Amerika Serikat pada 1914, hanya dua belas ribu orang yang masuk Federasi Sionis yang masih amatir, yang diklaim memiliki lima ratus anggota di New York. Biaya tahunannya sebelum 1914 tak pernah mencapai $5,200, dan hadiah tunggal terbesar yang ia raih sejumlah $200."[282]
  31. ^ Reinharz menyebutnya sebagai berikut: "Di Konferensi Darurat Sionis pada AGustus 1914, Poalei-Zion menuntut pengadaan kongres Yahudi yang akan memperdebatkan masalah Yahudi secara keseluruhan... Pada setahun diskusi yang tak berbuah, AJC hanya akan menyepakati konvensi terbatas dari organisasi-organisasi spesifik, ketimbang sebuah kongres berbasis pada pemilihan demokratis. Sehingga pada Maret 1916, kaum Sionis mengundang sejumlah organisasi lainnya untuk menghimpun sebuah kongres. Perpecahan internal di kalangan Yahudi Amerika, yang sangat mengkhawatirkan, pecah secara bulat... Pemilihan-pemilihan diadakan pada bulan Juni, dua bulan setelah Amerika Serikat memasuki perang; 325,000 orang memberikan suara, 75,000 orang diantaranya berasal dari kamp buruh Sionis. Ini adalah demonstrasi impresif dari kemampuan Sionis imigran untuk memajukan dukungan masif. Setelah itu, Presiden Wilson menyarankan Wise untuk tak menghadiri kongres tersebut saat perang, dan sesi pembukaannya kemudian ditunda dari 2 September 1917, sampai "negosiasi damai akan memungkinkan", Penerimaan PZC dari tawaran tersebut kembali berkembang di kalangan para pendukung kongres tersebut, yang menyebutnya sebagai penyerahan mengikis."[283]
  32. ^ Gutwein menyebut dampaknya sebagai berikut: "Persetujuan Sykes untuk kepemimpinan Sionis-radikal pada awal 1917 berujung pada transformasi besar dalam pendirian politik Weizmann. Dari pecahnya perang sampai kejatuhan Asquith, Weizmann memajukan dorongan kepada para pejabat dan negarawan Inggris untuk meminta bantuan mereka, namun upayanya diblok karena posisi radikalnya. Sekarang, Sykes menyepakati Weizmann dan Sokolow serta meminta bantuan mereka untuk memajukan tujuan-tujuan radikal. Opsi bersama dari Weizmann dan kaum Sionis-radikal dalam pemerintahan Lloyd George mentransformasikan mereka dari pelobi menjadi mitra, dan Sykes memakai bantuan mereka untuk mempromosikan tiga tujuan besar dari kebijakan radikal tersebut: pertarungan melawan kebijakan "perdamaian tanpa kemenangan" buatan Wilson; pendirian "Armenia Raya" sebagai protektorat Rusia yang meliputi Armenia Turki; dan penggantian kekuasaan Inggris-Prancis bersama di Palestina, dalam jiwa Persetujuan Sykes–Picot, dengan sebuah protektorat Inggris eksklusif."[89]
  33. ^ Profesor sosiologi Israel Menachem Friedman menulis: "...seseorang tak dapat memperkirakan pengaruh dramatis [deklarasi tersebut] pada masyarakat Yahudi, khususnya orang-orang yang tinggal di Eropa Timur. Berbicara secara kiasan, mereka merasa bahwa jika mereka benar-benar mendengar pukulan sayap-sayap Penebusan. Dari sudut pandang teologi, Deklarasi Balfour bahkan lebih signifikan ketimbang kegiatan-kegiatan Sionis di Palestina pada masa itu. Meskipun usaha Sionis di Palestina didefinisikan sebagai "pemberontakan" melawan Allah dan kepercayaan tradisional dalam Penebusan. Sehingga Yahudi yang meyakini Providensi Ilahi harus berpadu dengan kepercayaan bahwa Deklarasi Balfour adalah manifestasi dari Rahmat Allah. Fenomena politik ini – yang dikeluarkan sebagai hasil dari lobi Sionis dan dialamatkan kepada Eksekutif Sionis – mengejutkan pendirian anti-Sionisme religius tradisional serta mendorong Sionis religius."[295]
  34. ^ Norman Rose menyatakan: "... bagi Inggris, Deklarasi Balfour membuka salah satu episode paling kontroversial dalam sejarah kekaisaran mereka. Tak terselesaikan oleh kompleksitas diplomasi perang, tak dapat menjembatani perpecahan dengan pihak-pihak yang terlibat, Deklarasi tersebut memasangkan hubungan mereka dengan Arab Palestina dan Sionis. Dan tak kurang, ini menyematkan reputasi Inggris di seluruh Timur Tengah Arab dari generasi ke generasi."[162]
  35. ^ Menyinggung soal Schneer, yang disebut dua kali dalam karyanya, menyatakan bahwa: "Karena ini tak terprediksi dan dikarakteristisasikan oleh "kontradiksi, penipuan, kesalahpahaman, dan pikiran pengharapan", berujung pada deklarasi tersebut menabur gigi naga. Ini menghasilkan panen pembunuhan, dan mereka memajukan panen sampai masa sekarang".[290]
  36. ^ Penerapan deklarasi tersebut menimbulkan penyudutan orang Arab yang mengalienasikan mereka dari para administrator Inggris di Mandat Palestina.[197] Sejarawan Palestina Rashid Khalidi berpendapat bahwa setelah Deklarasi Balfour, ini membulatkan "apa yang terjadi pada seratus tahun perang melawan orang Palestina".[311]

Kutipan

  1. ^ Renton 2007, hlm. 2.
  2. ^ Renton 2007, hlm. 85.
  3. ^ Schölch 1992, hlm. 44.
  4. ^ a b Stein 1961, hlm. 5–9.
  5. ^ a b Liebreich 2004, hlm. 8–9.
  6. ^ Schölch 1992, hlm. 41.
  7. ^ Lewis 2014, hlm. 10.
  8. ^ a b c Friedman 1973, hlm. xxxii.
  9. ^ Schölch 1992, hlm. 51.
  10. ^ a b Cleveland & Bunton 2016, hlm. 229.
  11. ^ a b Cohen 1989, hlm. 29–31.
  12. ^ a b c LeVine & Mossberg 2014, hlm. 211.
  13. ^ Gelvin 2014, hlm. 93.
  14. ^ Rhett 2015, hlm. 106.
  15. ^ Cohen 1989, hlm. 31–32.
  16. ^ Cohen 1989, hlm. 34–35.
  17. ^ a b Rhett 2015, hlm. 107–108.
  18. ^ Weizmann 1949, hlm. 93–109.
  19. ^ Defries 2014, hlm. 51.
  20. ^ Klug 2012, hlm. 199–210.
  21. ^ Hansard, Aliens Bill: HC Deb 02 Mei 1905 jld 145 cc768-808; dan Aliens Bill, HC Deb 10 Juli 1905 jld 149 cc110-62
  22. ^ Rovner 2014, hlm. 51–52.
  23. ^ Rovner 2014, hlm. 81.
  24. ^ Rovner 2014, hlm. 51–81.
  25. ^ Weizmann 1949, hlm. 111.
  26. ^ a b Lewis 2009, hlm. 73–74.
  27. ^ Penslar 2007, hlm. 138–139.
  28. ^ a b Gutwein 2016, hlm. 120–130.
  29. ^ Schneer 2010, hlm. 129–130: "Baron James memohon dengan sangat kepadanya..."
  30. ^ a b Schneer 2010, hlm. 130.
  31. ^ a b Cooper 2015, hlm. 148.
  32. ^ Stein 1961, hlm. 66–67.
  33. ^ Schneer 2010, hlm. 110.
  34. ^ Fromkin 1990, hlm. 294.
  35. ^ Tamari 2017, hlm. 29.
  36. ^ Cleveland & Bunton 2016, hlm. 38.
  37. ^ Quigley 1990, hlm. 10.
  38. ^ Friedman 1973, hlm. 282.
  39. ^ Della Pergola 2001, hlm. 5 dan Bachi 1974, hlm. 5
  40. ^ Mendel 2014, hlm. 188.
  41. ^ Friedman 1997, hlm. 39–40.
  42. ^ a b Tessler 2009, hlm. 144.
  43. ^ Neff 1995, hlm. 159–164.
  44. ^ Schneer 2010, hlm. 14.
  45. ^ Schneer 2010, hlm. 32.
  46. ^ Büssow 2011, hlm. 5.
  47. ^ Reid 2011, hlm. 115.
  48. ^ Defries 2014, hlm. 44.
  49. ^ a b Lewis 2009, hlm. 115–119.
  50. ^ Weizmann 1983, hlm. 122.
  51. ^ Huneidi 2001, hlm. 79–81.
  52. ^ Weizmann 1983, hlm. 122b.
  53. ^ Weizmann 1983, hlm. 126.
  54. ^ Kamel 2015, hlm. 106.
  55. ^ Huneidi 2001, hlm. 83.
  56. ^ a b Billauer 2013, hlm. 21.
  57. ^ Lieshout 2016, hlm. 198.
  58. ^ Defries 2014, hlm. 50.
  59. ^ Cohen 2014, hlm. 47.
  60. ^ Lewis 2009, hlm. 115.
  61. ^ Lloyd George 1933, hlm. 50.
  62. ^ Posner 1987, hlm. 144.
  63. ^ Kedourie 1976, hlm. 246.
  64. ^ Kattan 2009, hlm. xxxiv (Peta 2), dan hlm. 109.
  65. ^ Kamel 2015, hlm. 109.
  66. ^ Sanders 1984, hlm. 347.
  67. ^ a b Huneidi 2001, hlm. 65.
  68. ^ Antonius 1938, hlm. 169.
  69. ^ Huneidi 2001, hlm. 65–70.
  70. ^ Kattan 2009, hlm. 103.
  71. ^ Kattan 2009, hlm. 101.
  72. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Balfour1919
  73. ^ Kedourie 2013, hlm. 66.
  74. ^ a b Dockrill & Lowe 2002, hlm. 539–543, isi memorandum bersama selengkapnya.
  75. ^ a b Ulrichsen & Ulrichsen 2014, hlm. 155–156.
  76. ^ a b c Schneer 2010, hlm. 75–86.
  77. ^ a b c d e Khouri 1985, hlm. 8–10
  78. ^ a b Kedourie 2013, hlm. 81.
  79. ^ a b Lieshout 2016, hlm. 196.
  80. ^ Halpern 1987, hlm. 48, 133.
  81. ^ Rosen 1988, hlm. 61.
  82. ^ Jeffries 1939, hlm. 112-114.
  83. ^ Friedman 1973, hlm. 119-120.
  84. ^ Kedourie, Elie (1970). "Sir Mark Sykes and Palestine 1915-16". Middle Eastern Studies. 6 (3): 340–345. doi:10.1080/00263207008700157. JSTOR 4282341. 
  85. ^ Dockrill & Lowe 2001, hlm. 228–229.
  86. ^ Lieshout 2016, hlm. 189.
  87. ^ a b c d Shlaim 2005, hlm. 251–270.
  88. ^ Hourani 1981, hlm. 211.
  89. ^ a b c d Gutwein 2016, hlm. 117–152.
  90. ^ Mathew 2013, hlm. 231–250.
  91. ^ Woodward 1998, hlm. 119–120.
  92. ^ a b Woodfin 2012, hlm. 47–49.
  93. ^ Grainger 2006, hlm. 81–108.
  94. ^ a b Grainger 2006, hlm. 109–114.
  95. ^ Renton 2004, hlm. 149.
  96. ^ Sokolow 1919, hlm. 52.
  97. ^ a b Schneer 2010, hlm. 198.
  98. ^ Stein 1961, hlm. 373; Stein mengutip isi catatan Sokolow yang tersimpan di Pusat Arsip Sionis.
  99. ^ Schneer 2010, hlm. 200.
  100. ^ Schneer 2010, hlm. 198–200.
  101. ^ a b Zieger 2001, hlm. 97–98.
  102. ^ Zieger 2001, hlm. 91.
  103. ^ Zieger 2001, hlm. 58.
  104. ^ Zieger 2001, hlm. 188–189.
  105. ^ a b Schneer 2010, hlm. 209.
  106. ^ Brecher 1993, hlm. 642–643.
  107. ^ a b Grainger 2006, hlm. 66.
  108. ^ a b Wavell 1968, hlm. 90–91.
  109. ^ a b Lieshout 2016, hlm. 281.
  110. ^ Grainger 2006, hlm. 65.
  111. ^ a b Schneer 2010, hlm. 227–236.
  112. ^ Laurens 1999, hlm. 305.
  113. ^ a b Lieshout 2016, hlm. 203.
  114. ^ Schneer 2010, hlm. 210.
  115. ^ Schneer 2010, hlm. 211.
  116. ^ Schneer 2010, hlm. 212.
  117. ^ Schneer 2010, hlm. 214.
  118. ^ Schneer 2010, hlm. 216.
  119. ^ Friedman 1973, hlm. 152.
  120. ^ Sokolow 1919, hlm. 52–53.
  121. ^ a b Minerbi 1990, hlm. 63–64, 111.
  122. ^ a b Minerbi 1990, hlm. 221; mengutip CZA Z4/728 untuk versi bahasa Prancisnya dan CZA A18/25 untuk versi bahasa Italianya..
  123. ^ Stein 1961, hlm. 407.
  124. ^ Kreutz 1990, hlm. 51.
  125. ^ Manuel 1955, hlm. 265–266.
  126. ^ Kedourie 2013, hlm. 87.
  127. ^ a b Kaufman 2006, hlm. 385.
  128. ^ de Haas 1929, hlm. 89–90.
  129. ^ Friedman 1973, hlm. 246.
  130. ^ Weizmann 1949, hlm. 203.
  131. ^ Palestina dan Deklarasi Balfour, Risalah Kabinet, Januari 1923
  132. ^ Rhett 2015, hlm. 16.
  133. ^ Friedman 1973, hlm. 247.
  134. ^ a b Rhett 2015, hlm. 27.
  135. ^ a b Rhett 2015, hlm. 26.
  136. ^ a b Stein 1961, hlm. 466.
  137. ^ a b c Hurewitz 1979, hlm. 102.
  138. ^ Adelson 1995, hlm. 141.
  139. ^ Hansard, [http://hansard.millbanksystems.com/written_answers/1917/mar/14/war-cabinet Kabinet Perang Inggris : HC Deb 14 Maret 1917 jld. 91 cc1098-9W
  140. ^ a b Lebow 1968, hlm. 501.
  141. ^ Hurewitz 1979, hlm. 103.
  142. ^ Hurewitz 1979, hlm. 104.
  143. ^ Hurewitz 1979, hlm. 105.
  144. ^ Hurewitz 1979, hlm. 106.
  145. ^ a b c d e f g h i Stein 1961, hlm. 664: "Apendiks: Urutan draf dan teks akhir Deklarasi Balfour"
  146. ^ Lieshout 2016, hlm. 219.
  147. ^ a b c Halpern 1987, hlm. 163.
  148. ^ Rhett 2015, hlm. 24.
  149. ^ Quigley 1981, hlm. 169.
  150. ^ Rubinstein 2000, hlm. 175–196.
  151. ^ a b Huneidi 1998, hlm. 33.
  152. ^ Caplan 2011, hlm. 62.
  153. ^ a b c d e f g h i j Gelvin 2014, hlm. 82ff.
  154. ^ Kattan 2009, hlm. 60–61.
  155. ^ Bassiouni & Fisher 2012, hlm. 431.
  156. ^ Talhami 2017, hlm. 27.
  157. ^ Hansard, [1]: HC Deb 27 April 1920 jilid 128 cc1026-7
  158. ^ Schmidt 2011, hlm. 69.
  159. ^ Palin Commission 1920, hlm. 9.
  160. ^ Makovsky 2007, hlm. 76: "Definisi "kediaman nasional" memang sengaja dibiarkan bermakna ambigu."
  161. ^ Palestine Royal Commission 1937, hlm. 24.
  162. ^ a b Rose 2010, hlm. 18.
  163. ^ a b Curzon 1917.
  164. ^ Strawson 2009, hlm. 33.
  165. ^ Lieshout 2016, hlm. 225–257.
  166. ^ a b c Friedman 1973, hlm. 312.
  167. ^ Panitia Darurat Amerika untuk Urusan Sionis, The Balfour Declaration and American Interests in Palestine (New York 1941) hlmn. 8-10.
  168. ^ a b c d Friedman 1973, hlm. 313.
  169. ^ a b c Miller, David Hunter. My Diary at the Conference of Paris (New York), Appeal Printing Co., (1924), jld. 4 hlmn. 263-264
  170. ^ Jacobs 2011, hlm. 191.
  171. ^ Auron 2017, hlm. 278.
  172. ^ "Chamberlain, in 1918, Envisaged Jewish State Linked to U.S. or Britain". Jewish Telegraph Agency. 1939. Diakses tanggal 4 November 2017. 
  173. ^ Alexander, Edward. The State of the Jews: A Critical Appraisal, Routledge (2012) ebook
  174. ^ Johnson 2013, hlm. 441.
  175. ^ Stein 1961, hlm. 470.
  176. ^ a b Friedman 1973, hlm. 257.
  177. ^ Renton 2016, hlm. 21.
  178. ^ Caplan 2011, hlm. 74.
  179. ^ Biger 2004, hlm. 49.
  180. ^ Biger 2004, hlm. 51.
  181. ^ Bickerton & Klausner 2016, hlm. 109.
  182. ^ Lieshout 2016, hlm. 221.
  183. ^ Amery 1953, hlm. 116.
  184. ^ Schneer 2010, hlm. 193.
  185. ^ a b c Schneer 2010, hlm. 336.
  186. ^ Ingrams 2009, hlm. 13.
  187. ^ Lieshout 2016, hlm. 214.
  188. ^ Makdisi 2010, hlm. 239.
  189. ^ Schneer 2010, hlm. 342.
  190. ^ Ulrichsen & Ulrichsen 2014, hlm. 157.
  191. ^ Allawi 2014, hlm. 108.
  192. ^ Peter Mansfield, majalah The British Empire , no. 75, Time-Life Books, 1973
  193. ^ Schneer 2010, hlm. 223.
  194. ^ Caplan 2011, hlm. 78: "...becoming the first major power..."
  195. ^ Stein 2003, hlm. 129.
  196. ^ Palestine Royal Commission 1937, hlm. 23.
  197. ^ a b c Watts 2008, hlm. 190a.
  198. ^ Renton 2007, hlm. 148.
  199. ^ Sokolow 1919, hlm. 99–116; Sokolow published the speeches in full.
  200. ^ a b Sorek 2015, hlm. 25.
  201. ^ Tomes 2002, hlm. 198.
  202. ^ Glass 2002, hlm. 199.
  203. ^ Glass 2002, hlm. 200.
  204. ^ Huneidi 2001, hlm. 94.
  205. ^ Domnitch 2000, hlm. 111–112.
  206. ^ Samuel 1945, hlm. 176.
  207. ^ Huneidi 2001, hlm. 96.
  208. ^ Palin Commission 1920, hlm. 11.
  209. ^ Said 1979, hlm. 15–16.
  210. ^ Friedman 2000, hlm. 273.
  211. ^ Wasserstein 1991, hlm. 31.
  212. ^ Wasserstein 1991, hlm. 32; Wasserstein quotes Storrs to OETA headquarters, 4 Nov. 1918 (ISA 2/140/4A)
  213. ^ a b Huneidi 2001, hlm. 32
  214. ^ Huneidi 2001, hlm. 32a, Huneidi cites: 'Petition from the Moslem-Christian Association in Jaffa, to the Military Governor, on the occasion of the First Anniversary of British Entry into Jaffa', 16 November 1918. Zu'aytir papers, pp. 7–8.
  215. ^ Huneidi 2001, hlm. 66.
  216. ^ Report of a Committee Set up to Consider Certain Correspondence Between Sir Henry McMahon and the Sharif of Mecca in 1915 and 1916 Diarsipkan 24 October 2015 di Wayback Machine., UNISPAL, Annex A, paragraph 19.
  217. ^ Paris 2003, hlm. 249.
  218. ^ Mousa 1978, hlm. 184-5.
  219. ^ Mousa 1978, hlm. 185.
  220. ^ Huneidi 2001, hlm. 71-2.
  221. ^ Lebel 2007, hlm. 159, 212–213.
  222. ^ Michael Freund (4 November 2013). "David Albala: Serbian Warrior, Sionist Hero". The Jerusalem Post. Diakses tanggal 3 October 2017. 
  223. ^ Ristović 2016, hlm. 49.
  224. ^ Palestine Royal Commission 1937, hlm. 22.
  225. ^ Rose 2010, hlm. 17.
  226. ^ Quigley 2010, hlm. 27–29.
  227. ^ a b c Quigley 2010, hlm. 29.
  228. ^ Pedersen 2015, hlm. 35.
  229. ^ Grief 2008, hlm. 30.
  230. ^ Wilson 1990, hlm. 44: Wilson cites Hubert Young to Ambassador Hardinge (Paris), 27 July 1920, FO 371/5254
  231. ^ Wilson 1990, hlm. 44, 46–48.
  232. ^ Wasserstein 2008, hlm. 105–106: "...the myth of Palestine's 'first partition'..."
  233. ^ 67th Congress, H.J.Res. 322; pdf
  234. ^ Brecher 1987.
  235. ^ Davidson 2002, hlm. 27–30.
  236. ^ a b Davidson 2002, hlm. 1.
  237. ^ Friedman 1997, hlm. 340–343.
  238. ^ a b c d e f Cohen 1946, hlm. 120.
  239. ^ Friedman 1997, hlm. 379.
  240. ^ Toury 1968, hlm. 81–84.
  241. ^ a b c Huneidi 2001, hlm. 18–19.
  242. ^ De Waart 1994, hlm. 113.
  243. ^ a b Helmreich 1985, hlm. 24.
  244. ^ a b Nicosia 2008, hlm. 67.
  245. ^ Ciani 2011, hlm. 13.
  246. ^ Palin Commission 1920, hlm. 10.
  247. ^ Grainger 2006, hlm. 218.
  248. ^ Schneer 2010, hlm. 347–360.
  249. ^ Gilmour 1996, hlm. 67.
  250. ^ Gilmour 1996, hlm. 66; Gilmour quotes: Curzon to Allenby, 16 July 1920, CP 112/799
  251. ^ Gilmour 1996, hlm. 67; Gilmour quotes: Curzon to Bonar Law, 14 December 1922, Bonar Law Papers, 111/12/46
  252. ^ Huneidi 2001, hlm. 35.
  253. ^ a b c Kattan 2009, hlm. 84.
  254. ^ Leslie 1923, hlm. 284.
  255. ^ Defries 2014, hlm. 103.
  256. ^ Huneidi 2001, hlm. 57;  Huneidi cites: CO 733/18, Churchill to Samuel, Telegram, Private and Personal, 25 February 1922
  257. ^ a b Huneidi 2001, hlm. 58.
  258. ^ Hansard, Palestine Mandate: HL Deb 21 June 1922 vol 50 cc994-1033 (outcome of the vote cc1033 on next page)
  259. ^ Hansard, Colonial Office: HC Deb 04 July 1922 vol 156 cc221–343 (outcome of the vote cc343)
  260. ^ Mathew 2011, hlm. 36.
  261. ^ Quigley 2011, hlm. 269.
  262. ^ Cohen 2010, hlm. 6.
  263. ^ Quigley 2011, hlm. 279.
  264. ^ Huneidi 1998, hlm. 37.
  265. ^ a b Renton 2016, hlm. 16.
  266. ^ Palestine Royal Commission 1937, hlm. 31.
  267. ^ Quigley 2011, hlm. 280-2.
  268. ^ Defries 2014, hlm. 88–90.
  269. ^ a b Huneidi 2001, hlm. 61–64.
  270. ^ Huneidi 2001, hlm. 256.
  271. ^ a b c Caplan 2011, hlm. 94.
  272. ^ Palestine Royal Commission 1937, hlm. 22–28.
  273. ^ Kattan 2009, hlm. 388–394.
  274. ^ Palestine Royal Commission 1937, hlm. 23–24
  275. ^ Lloyd George 1939, hlm. 724–734.
  276. ^ Gelvin 2014, hlm. 82–83.
  277. ^ Schneer 2010, hlm. 152.
  278. ^ Rubin, Martin (2010). "The Great Promise, review of Jonathan Schneer's Balfour Declaration". The Wall Street Journal. Diakses tanggal 8 October 2017. As Mr. Schneer documents, the declaration was, among much else, part of a campaign to foster world-wide Jewish support for the Allied war effort, not least in the U.S. 
  279. ^ Ingrams 2009, hlm. 16.
  280. ^ Grainger 2006, hlm. 178.
  281. ^ Barr 2011, hlm. 60.
  282. ^ Brysac & Meyer 2009, hlm. 115.
  283. ^ a b Reinharz 1988, hlm. 131–145.
  284. ^ Stein 1961.
  285. ^ Vereté 1970.
  286. ^ a b Smith 2011, hlm. 50–51.
  287. ^ Division for Palestinian Rights of the United Nations Secretariat 1978:"It ultimately led to partition and to the problem as it exists today. Any understanding of the Palestine issue, therefore, requires some examination of this Declaration which can be considered the root of the problem of Palestine."
  288. ^ Watts 2008, hlm. 190: "indirectly...led to"
  289. ^ Ingrams 2009, hlm. IX, 5: "Probably no other scrap of paper in history has had the effect of this brief letter, the cause of a conflict..."
  290. ^ a b Schneer 2010, hlm. 370, 376.
  291. ^ Shlaim 2005, hlm. 268.
  292. ^ Tucker 2017, hlm. 469–482.
  293. ^ Shlaim 2009, hlm. 23.
  294. ^ Cohen & Kolinsky 2013, hlm. 88.
  295. ^ Friedman 2012, hlm. 173.
  296. ^ Chris Rice, quoted in Munayer Salim J, Loden Lisa, Through My Enemy's Eyes: Envisioning Reconciliation in Israel-Palestine, quote: "The Palestinian-Israeli divide may be the most intractable conflict of our time."
  297. ^ Virginia Page Fortna, Peace Time: Cease-fire Agreements and the Durability of Peace, p. 67, "Britain's contradictory promises to Arabs and Jews during World War I sowed the seeds of what would become the international community's most intractable conflict later in the century."
  298. ^ Avner Falk, Fratricide in the Holy Land: A Psychoanalytic View of the Arab-Israeli Conflict, Chapter 1, p. 8, "Most experts agree that the Arab-Israeli conflict is the most intractable conflict in our world, yet very few scholars have produced any psychological explanation—let alone a satisfactory one—of this conflict's intractability."
  299. ^ a b Renton 2007, hlm. 151.
  300. ^ Shlaim 2005, hlm. 251–270a: Shlaim quotes: Sir John R. Chancellor to Lord Stamfordham, 27 May 1930, Middle East Archive, St. Antony's College, Oxford.
  301. ^ Palestine Royal Commission 1937, hlm. 363.
  302. ^ Cleveland & Bunton 2016, hlm. 244.
  303. ^ Palestine Royal Commission 1937, hlm. 368.
  304. ^ a b Lewis 2009, hlm. 175.
  305. ^ a b Berman 1992, hlm. 66.
  306. ^ Laqueur & Schueftan 2016, hlm. 49.
  307. ^ UNSCOP 1947, hlm. II, Art. 110.
  308. ^ UNSCOP 1947.
  309. ^ Monroe 1981, hlm. 43.
  310. ^ Schneer 2010, hlm. 361.
  311. ^ Black, Ian (30 December 2015). "Middle East still rocking from first world war pacts made 100 years ago". The Guardian. Diakses tanggal 8 October 2017. 
  312. ^ Friedman 1973, hlm. 396, note 65.
  313. ^ a b Ahren, Raphael (November 2, 2016). "Red tape, blunders keep Balfour Declaration away from the homeland it promised". Times of Israel. Diakses tanggal 8 October 2017. 

Daftar pustaka

Karya yang dikhususkan

Sejarah umum

Karya buatan pihak-pihak yang terlibat

Pranala luar