Lompat ke isi

Suku Kubu: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Roby diery (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Perbaikan penulisan, penghilangan karakteristik fisik, penghilangan penggunaan kata kubu, penambahan cara hidup nomaden SAD.
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 1: Baris 1:
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Een groep Koeboes mannen vrouwen en kinderen uit Djambi TMnr 10005794.jpg|jmpl|300px|Sekelompok orang Kubu pada tahun 1930-an]]
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Een groep Koeboes mannen vrouwen en kinderen uit Djambi TMnr 10005794.jpg|jmpl|300px|Sekelompok orang Kubu pada tahun 1930-an]]
'''Suku Kubu''' atau juga dikenal dengan '''Suku Anak Dalam''' atau '''Orang Rimba atau Orang Ulu''' adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau [[Sumatra]], suku ini masih dikategorikan sebagai "masyarakat terasing" yang berdiam di beberapa kabupaten di Provinsi [[Jambi]] dan [[Sumatra Selatan]]. Mereka mayoritas hidup di provinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000 orang.
'''Suku Kubu''' atau juga dikenal dengan '''Suku Anak Dalam''' atau '''Orang Rimba atau Orang Ulu''' adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau [[Sumatra]], suku ini masih dikategorikan sebagai "masyarakat terasing" yang berdiam di beberapa kabupaten di Provinsi [[Jambi]] dan [[Sumatra Selatan]]. Mereka mayoritas hidup di provinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000 orang. Orang sekitar menyebut suku ini sebagai “Suku Kubu”, namun panggilan ini kurang disukai karena bermakna peyorasi atau menghina.


Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, [[Taman Nasional Bukit Duabelas]]. Mereka kemudian dinamakan ''Moyang Segayo.'' Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari [[Kerajaan Pagaruyung|wilayah Pagaruyung]], yang mengungsi ke Jambi. Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan [[suku Minangkabau]], seperti sistem kekeluargaan [[matrilineal]].
Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, [[Taman Nasional Bukit Duabelas]]. Mereka kemudian dinamakan ''Moyang Segayo.'' Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari [[Kerajaan Pagaruyung|wilayah Pagaruyung]], yang mengungsi ke Jambi. Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan [[suku Minangkabau]], seperti sistem kekeluargaan [[matrilineal]]. Kehidupan mereka seminomaden, dan berkelompok dengan sebutan “Tubo” yang dipimpin oleh seorang “Tumenggung” dan terdiri dari beberapa kepala keluarga. Biasanya pemilihan Tumenggung berdasarkan garis keturunan, tetapi sekarang siapapun bisa dipilih sebagai Tumenggung asalkan dinilai punya kapasitas.


Ciri-ciri fisik suku Anak Dalam hampir sama dengan ciri-ciri fisik orang Indonesia lainnya. Tinggi badan mereka 155–170 cm, dengan kapal lonjong, mata hitam dan agak sipit, serta muka bujur telur. Mata pencahariannya meramu hasil hutan dan berburu. Senjata yang digunakan antara lain lembing kayu, tombak bermata besi,dan parang, walaupun banyak yang dari mereka sekarang telah memiliki lahan karet dan pertanian lainnya.
Mata pencahariannya kebanyakan adalah meramu hasil hutan dan berburu. Senjata yang digunakan antara lain lembing kayu, tombak bermata besi,dan parang, walaupun banyak yang dari mereka sekarang telah memiliki lahan karet dan pertanian lainnya.


Secara garis besar di Jambi mereka hidup di 3 wilayah ekologis yang berbeda, yaitu Orang Kubu yang di utara Provinsi Jambi (sekitaran Taman Nasional Bukit 30), Taman Nasional Bukit 12, dan wilayah selatan Provinsi Jambi (sepanjang [[jalan lintas Sumatra]]).
Secara garis besar di Jambi mereka hidup di 3 wilayah ekologis yang berbeda, yaitu Orang Kubu yang di utara Provinsi Jambi (sekitaran Taman Nasional Bukit 30), Taman Nasional Bukit 12, dan wilayah selatan Provinsi Jambi (sepanjang [[jalan lintas Sumatra]]).
Baris 12: Baris 12:
Kehidupan mereka sangat mengenaskan seiring dengan hilangnya sumber daya [[hutan]] yang ada di Jambi dan Sumatra Selatan, dan proses-proses marginalisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan suku bangsa dominan (Orang [[Melayu]]) yang ada di Jambi dan Sumatra Selatan.<ref>{{Cite book|title=Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia|last=Melalatoa|first=M.Junus|publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia|year=1995|isbn=|location=Jakarta|pages=|url-status=live}}</ref>
Kehidupan mereka sangat mengenaskan seiring dengan hilangnya sumber daya [[hutan]] yang ada di Jambi dan Sumatra Selatan, dan proses-proses marginalisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan suku bangsa dominan (Orang [[Melayu]]) yang ada di Jambi dan Sumatra Selatan.<ref>{{Cite book|title=Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia|last=Melalatoa|first=M.Junus|publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia|year=1995|isbn=|location=Jakarta|pages=|url-status=live}}</ref>


Mayoritas suku kubu menganut kepercayaan animisme, tetapi ada juga beberapa puluh keluarga suku kubu yang pindah ke [[Agama Kristen]] atau [[Islam]]. Untuk suku Kubu yang tinggal menetap di daerah Sumatra Selatan terutama daerah rawas rupit dan musi lakitan, di sana banyak terdapat suku Kubu yang menggantungkan hidup di persawitan, bahkan ada di antara yang memanfaatkan lahan sawit perusahaan Lonsum untuk mereka curi dan mereka jual ke lapak lapak setempat. Mereka seperti itu karena memegang prinsip dasar apa yang tumbuh di alam adalah milik mereka bersama. Namun, banyak juga orang kubu di daerah Musi dan Rawas yang menerima modernisasi termasuk penggunaan kendaraan bermotor dan senjata api rakitan (''kecepek''). Pakaian dan fisik mereka yang agak sedikit kumal biasanya menjadi stereotipe yang membuat orang-orang sekitar bisa membedakan suku Kubu dan masyarakat sekitar.
Mayoritas suku Anak Dalam menganut kepercayaan animisme, tetapi ada juga beberapa puluh keluarga suku Anak Dalam yang pindah ke [[Agama Kristen]] atau [[Islam]]. Untuk suku Anak Dalam yang tinggal menetap di daerah Sumatra Selatan terutama daerah rawas rupit dan musi lakitan, di sana banyak terdapat juga suku Anak Dalam yang menggantungkan hidup di persawitan, bahkan ada yang ‘mencuri’ hasil perusahaan sawit sekitar. Mereka seperti itu karena memegang prinsip dasar apa yang tumbuh di alam adalah milik mereka bersama. Namun, banyak juga suku Anak Dalam di daerah Musi dan Rawas yang menerima modernisasi termasuk penggunaan kendaraan bermotor dan senjata api rakitan (''kecepek'')


'''Tokoh yang berpengaruh di dunia pendidikan''' Suku Anak Dalam adalah [[Butet Manurung]] ia membuat sekolah rintisan yang di beri nama dengan [[Sokola Rimba]].
'''Tokoh yang berpengaruh di dunia pendidikan''' Suku Anak Dalam adalah [[Butet Manurung]] ia membuat sekolah rintisan yang di beri nama dengan [[Sokola Rimba]].

Revisi per 23 September 2020 03.10

Sekelompok orang Kubu pada tahun 1930-an

Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba atau Orang Ulu adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatra, suku ini masih dikategorikan sebagai "masyarakat terasing" yang berdiam di beberapa kabupaten di Provinsi Jambi dan Sumatra Selatan. Mereka mayoritas hidup di provinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000 orang. Orang sekitar menyebut suku ini sebagai “Suku Kubu”, namun panggilan ini kurang disukai karena bermakna peyorasi atau menghina.

Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari wilayah Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi. Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan suku Minangkabau, seperti sistem kekeluargaan matrilineal. Kehidupan mereka seminomaden, dan berkelompok dengan sebutan “Tubo” yang dipimpin oleh seorang “Tumenggung” dan terdiri dari beberapa kepala keluarga. Biasanya pemilihan Tumenggung berdasarkan garis keturunan, tetapi sekarang siapapun bisa dipilih sebagai Tumenggung asalkan dinilai punya kapasitas.

Mata pencahariannya kebanyakan adalah meramu hasil hutan dan berburu. Senjata yang digunakan antara lain lembing kayu, tombak bermata besi,dan parang, walaupun banyak yang dari mereka sekarang telah memiliki lahan karet dan pertanian lainnya.

Secara garis besar di Jambi mereka hidup di 3 wilayah ekologis yang berbeda, yaitu Orang Kubu yang di utara Provinsi Jambi (sekitaran Taman Nasional Bukit 30), Taman Nasional Bukit 12, dan wilayah selatan Provinsi Jambi (sepanjang jalan lintas Sumatra).

Kebiasaan Berpindah-pindah. Suku bangsa Anak Dalam mempunyai kebiasaan Berpindah-pindah tempat tinggal, yang mereka sebut melangun. Melangun dilakukan karena beberapa sebab, yaitu salah satu anggota keluarga meninggal, hasil hutan di lokasi tempat tinggalnya habis, terjadinya musim buah, atau ada ancaman dari luar. Kepindahan karena ada salah satu warga yang meninggal dilakukan karena tempat itu dipercaya akan mendarat sial dan mereka tidak sampai hati melihat hasil pekerjaan dan barang-barang milik almarhum di tempat lama.Di kalangan masyarakat Anak Dalam di Air Hitam, sebelum Melangun dilakukan, mayat ditempatkan di atas beli berukuran 1×2 meter, disertai peralatan miliknya.

Kehidupan mereka sangat mengenaskan seiring dengan hilangnya sumber daya hutan yang ada di Jambi dan Sumatra Selatan, dan proses-proses marginalisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan suku bangsa dominan (Orang Melayu) yang ada di Jambi dan Sumatra Selatan.[1]

Mayoritas suku Anak Dalam menganut kepercayaan animisme, tetapi ada juga beberapa puluh keluarga suku Anak Dalam yang pindah ke Agama Kristen atau Islam. Untuk suku Anak Dalam yang tinggal menetap di daerah Sumatra Selatan terutama daerah rawas rupit dan musi lakitan, di sana banyak terdapat juga suku Anak Dalam yang menggantungkan hidup di persawitan, bahkan ada yang ‘mencuri’ hasil perusahaan sawit sekitar. Mereka seperti itu karena memegang prinsip dasar apa yang tumbuh di alam adalah milik mereka bersama. Namun, banyak juga suku Anak Dalam di daerah Musi dan Rawas yang menerima modernisasi termasuk penggunaan kendaraan bermotor dan senjata api rakitan (kecepek)

Tokoh yang berpengaruh di dunia pendidikan Suku Anak Dalam adalah Butet Manurung ia membuat sekolah rintisan yang di beri nama dengan Sokola Rimba.

Pranala luar

  1. ^ Melalatoa, M.Junus (1995). Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.