Lompat ke isi

Suku Kubu: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: kemungkinan perlu pemeriksaan terjemahan VisualEditor
Baris 1: Baris 1:
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Een groep Koeboes mannen vrouwen en kinderen uit Djambi TMnr 10005794.jpg|jmpl|300px|Sekelompok orang Kubu pada tahun 1930-an]]
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Een groep Koeboes mannen vrouwen en kinderen uit Djambi TMnr 10005794.jpg|jmpl|300px|Sekelompok orang Kubu pada tahun 1930-an]]
'''Suku Kubu''' atau juga dikenal dengan '''Suku Anak Dalam''' merupakan penyebutan untuk masyarakat yang tinggal di kawasan hutan dataran rendah di Sumatera Tengah khususnya [[Jambi]]. Penyebutan ini menggenarilasasi dua kelompok masyarakat yaitu Orang Rimba dan Suku Batin Sembilan. Kubu berasal dari kata ''ngubu'' atau ''ngubun'' dari bahasa Melayu yang berarti bersembunyi di dalam hutan. Orang sekitar menyebut suku ini sebagai “Suku Kubu”, tetapi panggilan ini kurang disukai karena bermakna peyorasi atau menghina.<ref>{{Cite book|last=Chamim|first=Mardiyah|date=2021|title=Menjaga Rimba Terakhir|location=Jambi|publisher=Warsi|isbn=978-602-51390-1-7|pages=141|url-status=live}}</ref>
'''Suku Kubu''' atau juga dikenal dengan '''Suku Anak Dalam''' merupakan penyebutan untuk masyarakat yang tinggal di kawasan hutan dataran rendah di Sumatera Tengah khususnya [[Jambi]]. Penyebutan ini menggenarilasasi dua kelompok masyarakat yaitu Orang Rimba dan Suku Batin Sembilan. Kubu berasal dari kata ''ngubu'' atau ''ngubun'' dari bahasa Melayu yang berarti bersembunyi di dalam hutan. Orang sekitar menyebut suku ini sebagai “Suku Kubu”. Baik Orang Rimba maupun Batin Sembilan tidak ada yang menyebut diri dan kelompok mereka sebagai Suku Kubu. Oleh karena itu, panggilan ini kurang disukai karena bermakna peyorasi atau menghina.<ref>{{Cite book|last=Chamim|first=Mardiyah|date=2021|title=Menjaga Rimba Terakhir|location=Jambi|publisher=Warsi|isbn=978-602-51390-1-7|pages=141|url-status=live}}</ref>


Sebaran Orang Rimba di Jambi berada di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD)  yang secara geografis terletak antara 102<sup>0</sup> 30’ 00 - 102<sup>0</sup> 55’ 00 Bt dan 1<sup>0</sup> 45’ 00 -2<sup>0</sup> 00’ 00 LS, dengan jumlah 2.546. Sebagian kecil ada di wilayah Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) sebanyak 474 jiwa. Orang rimba juga dapat ditemukan di hutan-hutan sekunder dan perkebunan kelapa  sawit se sepanjang jalur lintas Sumatera hingga ke batas Sumatera Selatan, dengan jumlah populasi 1.373 jiwa.
Sebaran Orang Rimba di Jambi berada di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD)  yang secara geografis terletak antara 102<sup>0</sup> 30’ 00 - 102<sup>0</sup> 55’ 00 Bt dan 1<sup>0</sup> 45’ 00 -2<sup>0</sup> 00’ 00 LS. Sebagian kecil ada di wilayah selatan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT). Orang rimba juga dapat ditemukan di hutan-hutan sekunder dan perkebunan kelapa sawit sepanjang [[Jalan Raya Lintas Sumatra|jalan lintas Sumatra]] hingga ke batas [[Sumatra Selatan]].


== Sejarah ==
Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, [[Taman Nasional Bukit Duabelas]]. Mereka kemudian dinamakan ''Moyang Segayo.'' Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari [[Kerajaan Pagaruyung|wilayah Pagaruyung]], yang mengungsi ke Jambi. Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan [[suku Minangkabau]], seperti sistem kekeluargaan [[matrilineal]]. Kehidupan mereka seminomaden, dan berkelompok dengan sebutan “Tubo” yang dipimpin oleh seorang “Tumenggung” dan terdiri dari beberapa kepala keluarga. Biasanya pemilihan Tumenggung berdasarkan garis keturunan, tetapi sekarang siapapun bisa dipilih sebagai Tumenggung asalkan dinilai punya kapasitas.
Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, [[Taman Nasional Bukit Duabelas]]. Mereka kemudian dinamakan ''Moyang Segayo.'' Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari [[Kerajaan Pagaruyung|wilayah Pagaruyung]], yang mengungsi ke Jambi. Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan [[suku Minangkabau]], seperti sistem kekeluargaan [[matrilineal]]. Kehidupan mereka seminomaden, dan berkelompok dengan sebutan “Tubo” yang dipimpin oleh seorang “Tumenggung” dan terdiri dari beberapa kepala keluarga. Biasanya pemilihan Tumenggung berdasarkan garis keturunan, tetapi sekarang siapapun bisa dipilih sebagai Tumenggung asalkan dinilai punya kapasitas.


== Mata pencaharian ==
Mata pencahariannya kebanyakan adalah meramu hasil hutan dan berburu. Senjata yang digunakan antara lain lembing kayu, tombak bermata besi,dan parang, walaupun banyak yang dari mereka sekarang telah memiliki lahan karet dan pertanian lainnya.
Mata pencahariannya kebanyakan adalah meramu hasil hutan dan berburu. Senjata yang digunakan antara lain lembing kayu, tombak bermata besi,dan parang, walaupun banyak yang dari mereka sekarang telah memiliki lahan karet dan pertanian lainnya. Untuk suku Anak Dalam yang tinggal menetap di daerah Sumatra Selatan terutama daerah rawas rupit dan musi lakitan, di sana banyak terdapat juga suku Anak Dalam yang menggantungkan hidup di persawitan, bahkan ada yang ‘mencuri’ hasil perusahaan sawit sekitar. Mereka seperti itu karena memegang prinsip dasar apa yang tumbuh dalam adalah milik mereka bersama. Namun, banyak juga suku Anak Dalam di daerah Musi dan Rawas yang menerima modernisasi termasuk penggunaan kendaraan bermotor dan senjata api rakitan (''kecepek'')


== Kepercayaan ==
Secara garis besar di Jambi mereka hidup di 3 wilayah ekologis yang berbeda, yaitu Orang Kubu yang di utara Provinsi Jambi (sekitaran [[Taman Nasional Bukit Tiga Puluh]]), Taman Nasional Bukit Duabelas , dan wilayah selatan Provinsi Jambi (sepanjang [[jalan lintas Sumatra]]).
Mayoritas suku Anak Dalam menganut kepercayaan animisme, tetapi ada juga beberapa puluh keluarga suku Anak Dalam yang pindah ke [[Agama Kristen]] atau [[Islam]].


== Adat istiadat ==
Suku bangsa Anak Dalam mempunyai kebiasaan Berpindah-pindah tempat tinggal, yang mereka sebut '''melangun'''. Melangun dilakukan karena beberapa sebab, yaitu salah satu anggota keluarga meninggal, hasil hutan di lokasi tempat tinggalnya habis, terjadinya musim buah, atau ada ancaman dari luar. Kepindahan karena ada salah satu warga yang meninggal dilakukan karena tempat itu dipercaya akan mendarat sial dan mereka tidak sampai hati melihat hasil pekerjaan dan barang-barang milik almarhum di tempat lama.Di kalangan masyarakat Anak Dalam di Air Hitam, sebelum Melangun dilakukan, mayat ditempatkan di atas beli berukuran 1×2 meter, disertai peralatan miliknya.
'''''1.     Belangun'''''


''Belangun'' adalah kebiasaan orang rimba pindah dari satu tempat ke tempat yang lain dalam jarak relatif jauh yang dilakukan karena adanya kematian. ''Belangun'' dilakukan  untuk menghilangkan segala kenangan dengan si mati selama hidupnya.  Dengan ''belangun'' ketempat lain diharapkan hati yang sedih dapat terhibur dengan suasana yang baru. Terjadinya kematian di lokasi pemukiman mereka (orang rimba) juga dipersepsikan tanah pemukiman tersebut sebagai tanah yang tidak baik lagi untuk di pakai, karena akan memberikan kesialan selama mereka bertahan menempatinya. Ketika belangun semua harta benda orang rimba akan dibawa serta. Barang-barang ini akan ditempatkan dalam ambung. Di kalangan masyarakat Anak Dalam di Air Hitam, sebelum Melangun dilakukan, mayat ditempatkan di atas beli berukuran 1×2 meter, disertai peralatan miliknya.
Kehidupan mereka sangat mengenaskan seiring dengan hilangnya sumber daya [[hutan]] yang ada di Jambi dan Sumatra Selatan, dan proses-proses marginalisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan suku bangsa dominan (Orang [[Melayu]]) yang ada di Jambi dan Sumatra Selatan.<ref>{{Cite book|title=Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia|last=Melalatoa|first=M.Junus|publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia|year=1995|isbn=|location=Jakarta|pages=|url-status=live}}</ref>


'''2.     ''Bebalai'''''
Mayoritas suku Anak Dalam menganut kepercayaan animisme, tetapi ada juga beberapa puluh keluarga suku Anak Dalam yang pindah ke [[Agama Kristen]] atau [[Islam]]. Untuk suku Anak Dalam yang tinggal menetap di daerah Sumatra Selatan terutama daerah rawas rupit dan musi lakitan, di sana banyak terdapat juga suku Anak Dalam yang menggantungkan hidup di persawitan, bahkan ada yang ‘mencuri’ hasil perusahaan sawit sekitar. Mereka seperti itu karena memegang prinsip dasar apa yang tumbuh di alam adalah milik mereka bersama. Namun, banyak juga suku Anak Dalam di daerah Musi dan Rawas yang menerima modernisasi termasuk penggunaan kendaraan bermotor dan senjata api rakitan (''kecepek'')


Bebalai adalah pesta adat perkawinan orang rimba. Acara ini dilakukan jauh di dalam hutan, bersama para dukun dan penghulu adat ritual-ritual adat dilakukan. Acara bebalai ini sangat tertutup bagi pihak luar.  Biasanya pesta berlangsung 7 hari 7 malam dengan sajian beragam buah-buahan hutan.
Suku Anak Dalam adalah [[Butet Manurung]] ia membuat sekolah rintisan yang di beri nama dengan [[Sokola Rimba]].

'''3.Tarik Rentok'''

Tarik rentok adalah adat perkawinan orang rimba yang dilakukan karena kedua pasangan telah melanggar tabu adat. Tarik rentok juga dilakukan didalam hutan jauh dari pemukiman kelompok. Ini dilakukan karena sang laki-laki (''jenton'') diketahui telah ‘''mengambil’'' berbagai perhiasan (manik-manik, gelang dll) gadis rimba.  Tarik rentok ini hanya dilakukan dalam waktu satu hari saja, tanpa menggunakan pesta atau pertunjukkan yang begitu meriah seperti pada pesat ''bebalai.''

'''''4.  Cenenggo dan Sesandingon (Sakit dan mengasingkan diri)'''''

Di dalam kehidupan orang rimba penyakit bisa disebabkan  oleh banyak hal diantaranya karena gangguan setan, seringnya melakukan perjalanan dan kontak dengan orang dusun (orang terang), dan juga bisa disebabkan karena terlalu banyak memakan buah-buahan, misalnya pada musim buah atau ''musim petahunan godong'' yang terjadi antara 2 – 3 tahun sekali, pada saat itu buah dan madu hutan berlimpah, akibatnya adalah pola konsumsi buah yang berlebihan asam-manis menyebabkan mereka terkena penyakit.

Orang yang sedang mengidap penyakit disebut dengan istilah ''Cenenggo'' atau ber-''cenengg.'' Istilah ini secara luas juga bisa diartikan sebagai kelompok yang terserang penyakit.  Penyakit yang kerap menyinggahi orang rimba cacar (''cacar''), batuk (''betuk''), batuk pilek (''betuk slemo''), kolera (''gelira''). Namun orang rimba berkeyakinan penyakit ini berasa dari orang terang atau dari hilir. Penyakit-penyakit ini dalam kehidupan orang rimba begitu ditakuti karena dapat menyebabkan kematian. Untuk mengatasinya mereka selalu berhati-hati melakukan kontak dengan siapa saja, baik dengan orang terang maupun dengan orang rimba yang berasal dari kelompok lain ataupun yang baru melakukan kontak dengan orang dusun.

Untuk pencegahan terhadap penularan penyakit ada prilaku yang unik dan agaknya berlebihan di lingkungan orang rimba, seperti berkomunikasi dalam jarak yang berjauhan + 10 meter dari masing-masing mereka, selain itu mereka yang merasakan dirinya sehat (''bungaron'') sanggup untuk tidak melintasi jalan yang dilintasi orang yang ''bercinenggo'' demikian juga sebaliknya'','' walaupun jalan di hutan hanya satu jalan, maka yang mereka lakukan adalah menerobos menembus semak-belukar yang ada kalanya banyak ditumbuhi tanaman berduri ataupun rawa,  dengan bertelanjang kaki dan bercawat, mereka menembus belukar. Prilaku seperti ini disebabkan adanya pandangan bahwa jalan-jalan yang dilintasi orang rimba yang ''bercinenggo'' tersebut sudah dihinggapi oleh penyakitnya sehingga dapat menular kepada orang yang melintas di atas jalan tersebut. Jalan akan dianggap steril dari penyakit dan dapat dilintasi kembali setelah adanya hujan karena penyakit-penyakit tadi telah hanyut terbawa air ke hilir, atau paling lambat adalah 5 hari setelah di lintasi orang yang ''bercinenggo'' .

Orang atau kelompok yang ''bercinenggo'' wajib memberitahukan kepada anggota kelompoknya atau kepada orang rimba lain yang dikunjunginya, dengan harapan ia bisa mendapatkan bantuan selama menjalani sakit, baik makanan ataupun pengobatan.  Tidak ada pemberian kabar tentang kondisinya  yang sakit dianggap telah melanggar adat, dan kelak ada yang tahu tentang kondisinya dan menyebabkan penularan kepada orang lain, maka ia dihukum denda dengan membayar 2 keping kain panjang. atau akibat dari penularan penyakitnya telah menyebabkan kematian maka di hukum denda sebanyak 500 keping/helai kain panjang atau yang disebut dengan istilah ''bayar bangun.''

Ketatnya aturan adat yang di miliki orang rimba secara tidak tertulis itu, ternyata membuat orang rimba merasa takut untuk melanggarnya. Ketidak mampuan membayar bangun dengan sejumlah kain yang di tetapkan adat bisa dilakukan dengan cara menggantikan peranan si mati kepada keluarga yang ditinggalkan.  Kalau  yang mati tersebut adalah seorang laki-laki maka ia harus mencari ganti dari pihak keluarganya yang juga harus laki-laki, atau bila sumber penularannya berasal dari seorang laki-laki maka dirinya sendiri yang menggantikan peran si mati di dalam keluarganya demikian pula sebaliknya. Kalau juga tidak sanggup ini akan berakibat maut bagi si penular penyakit, artinya ia harus membayar dengan nyawanya sendiri (di hukum mati) (selama Warsi melakukan pendampingan terhadap Orang Rimba belum pernah ada sangsi ini dijatuhkan ke anggota kelompok)  atau di usir dari kelompoknya.

Untuk mencegah penularan maka orang atau kelompok yang bercenango harus memisahkan diri dari kelompoknya maupun kelompok lain yang berdekatan. Istilah ini disebut dengan istilah ''bersesandingon,'' atau dalam bahasa kita lebih dikenal dengan pengkarantinaan.  Jarak antara sedekat-dekatnya dalam jarak orang rimba sejauh suara dipantulkan, atau dalam perkiraan saya sejauh + 500 meter dari pemukiman kelompok orang rimba. Tempat ''bersesandingon'' harus berada jauh di dalam hutan diwilayah yang tidak pernah dilalui oleh orang rimba.  Selama melakukan ''bersesandingon''  orang rimba yang ''bercinenggo'' membuat rumahnya dan mencari makannya sendiri di dalam hutan.  Pertemuan dengan individu kelompok masih boleh dilakukan dengan mengatur jarak dari masing-masing individu,  tetapi sangat dilarang untuk masuk kedalam kawasan pemukiman kelompok.

Selama ''bersesandingon'' tentunya jika tidak mendapatkan makanan atau binatang buruan, ia boleh meminta kepada kelompoknya untuk diantarkan ke suatu tempat dan ia akan menjemputnya. begitu sebaliknya orang yang ''bercinenggo'' boleh saja memberikan binatang hasil buruannya kepada kelompoknya.


== Rujukan ==
== Rujukan ==

Revisi per 20 Januari 2022 03.45

Sekelompok orang Kubu pada tahun 1930-an

Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam merupakan penyebutan untuk masyarakat yang tinggal di kawasan hutan dataran rendah di Sumatera Tengah khususnya Jambi. Penyebutan ini menggenarilasasi dua kelompok masyarakat yaitu Orang Rimba dan Suku Batin Sembilan. Kubu berasal dari kata ngubu atau ngubun dari bahasa Melayu yang berarti bersembunyi di dalam hutan. Orang sekitar menyebut suku ini sebagai “Suku Kubu”. Baik Orang Rimba maupun Batin Sembilan tidak ada yang menyebut diri dan kelompok mereka sebagai Suku Kubu. Oleh karena itu, panggilan ini kurang disukai karena bermakna peyorasi atau menghina.[1]

Sebaran Orang Rimba di Jambi berada di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD)  yang secara geografis terletak antara 1020 30’ 00 - 1020 55’ 00 Bt dan 10 45’ 00 -20 00’ 00 LS. Sebagian kecil ada di wilayah selatan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT). Orang rimba juga dapat ditemukan di hutan-hutan sekunder dan perkebunan kelapa sawit sepanjang jalan lintas Sumatra hingga ke batas Sumatra Selatan.

Sejarah

Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari wilayah Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi. Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan suku Minangkabau, seperti sistem kekeluargaan matrilineal. Kehidupan mereka seminomaden, dan berkelompok dengan sebutan “Tubo” yang dipimpin oleh seorang “Tumenggung” dan terdiri dari beberapa kepala keluarga. Biasanya pemilihan Tumenggung berdasarkan garis keturunan, tetapi sekarang siapapun bisa dipilih sebagai Tumenggung asalkan dinilai punya kapasitas.

Mata pencaharian

Mata pencahariannya kebanyakan adalah meramu hasil hutan dan berburu. Senjata yang digunakan antara lain lembing kayu, tombak bermata besi,dan parang, walaupun banyak yang dari mereka sekarang telah memiliki lahan karet dan pertanian lainnya. Untuk suku Anak Dalam yang tinggal menetap di daerah Sumatra Selatan terutama daerah rawas rupit dan musi lakitan, di sana banyak terdapat juga suku Anak Dalam yang menggantungkan hidup di persawitan, bahkan ada yang ‘mencuri’ hasil perusahaan sawit sekitar. Mereka seperti itu karena memegang prinsip dasar apa yang tumbuh dalam adalah milik mereka bersama. Namun, banyak juga suku Anak Dalam di daerah Musi dan Rawas yang menerima modernisasi termasuk penggunaan kendaraan bermotor dan senjata api rakitan (kecepek)

Kepercayaan

Mayoritas suku Anak Dalam menganut kepercayaan animisme, tetapi ada juga beberapa puluh keluarga suku Anak Dalam yang pindah ke Agama Kristen atau Islam.

Adat istiadat

1.     Belangun

Belangun adalah kebiasaan orang rimba pindah dari satu tempat ke tempat yang lain dalam jarak relatif jauh yang dilakukan karena adanya kematian. Belangun dilakukan  untuk menghilangkan segala kenangan dengan si mati selama hidupnya.  Dengan belangun ketempat lain diharapkan hati yang sedih dapat terhibur dengan suasana yang baru. Terjadinya kematian di lokasi pemukiman mereka (orang rimba) juga dipersepsikan tanah pemukiman tersebut sebagai tanah yang tidak baik lagi untuk di pakai, karena akan memberikan kesialan selama mereka bertahan menempatinya. Ketika belangun semua harta benda orang rimba akan dibawa serta. Barang-barang ini akan ditempatkan dalam ambung. Di kalangan masyarakat Anak Dalam di Air Hitam, sebelum Melangun dilakukan, mayat ditempatkan di atas beli berukuran 1×2 meter, disertai peralatan miliknya.

2.     Bebalai

Bebalai adalah pesta adat perkawinan orang rimba. Acara ini dilakukan jauh di dalam hutan, bersama para dukun dan penghulu adat ritual-ritual adat dilakukan. Acara bebalai ini sangat tertutup bagi pihak luar.  Biasanya pesta berlangsung 7 hari 7 malam dengan sajian beragam buah-buahan hutan.

3.Tarik Rentok

Tarik rentok adalah adat perkawinan orang rimba yang dilakukan karena kedua pasangan telah melanggar tabu adat. Tarik rentok juga dilakukan didalam hutan jauh dari pemukiman kelompok. Ini dilakukan karena sang laki-laki (jenton) diketahui telah ‘mengambil’ berbagai perhiasan (manik-manik, gelang dll) gadis rimba.  Tarik rentok ini hanya dilakukan dalam waktu satu hari saja, tanpa menggunakan pesta atau pertunjukkan yang begitu meriah seperti pada pesat bebalai.

4.  Cenenggo dan Sesandingon (Sakit dan mengasingkan diri)

Di dalam kehidupan orang rimba penyakit bisa disebabkan  oleh banyak hal diantaranya karena gangguan setan, seringnya melakukan perjalanan dan kontak dengan orang dusun (orang terang), dan juga bisa disebabkan karena terlalu banyak memakan buah-buahan, misalnya pada musim buah atau musim petahunan godong yang terjadi antara 2 – 3 tahun sekali, pada saat itu buah dan madu hutan berlimpah, akibatnya adalah pola konsumsi buah yang berlebihan asam-manis menyebabkan mereka terkena penyakit.

Orang yang sedang mengidap penyakit disebut dengan istilah Cenenggo atau ber-cenengg. Istilah ini secara luas juga bisa diartikan sebagai kelompok yang terserang penyakit.  Penyakit yang kerap menyinggahi orang rimba cacar (cacar), batuk (betuk), batuk pilek (betuk slemo), kolera (gelira). Namun orang rimba berkeyakinan penyakit ini berasa dari orang terang atau dari hilir. Penyakit-penyakit ini dalam kehidupan orang rimba begitu ditakuti karena dapat menyebabkan kematian. Untuk mengatasinya mereka selalu berhati-hati melakukan kontak dengan siapa saja, baik dengan orang terang maupun dengan orang rimba yang berasal dari kelompok lain ataupun yang baru melakukan kontak dengan orang dusun.

Untuk pencegahan terhadap penularan penyakit ada prilaku yang unik dan agaknya berlebihan di lingkungan orang rimba, seperti berkomunikasi dalam jarak yang berjauhan + 10 meter dari masing-masing mereka, selain itu mereka yang merasakan dirinya sehat (bungaron) sanggup untuk tidak melintasi jalan yang dilintasi orang yang bercinenggo demikian juga sebaliknya, walaupun jalan di hutan hanya satu jalan, maka yang mereka lakukan adalah menerobos menembus semak-belukar yang ada kalanya banyak ditumbuhi tanaman berduri ataupun rawa,  dengan bertelanjang kaki dan bercawat, mereka menembus belukar. Prilaku seperti ini disebabkan adanya pandangan bahwa jalan-jalan yang dilintasi orang rimba yang bercinenggo tersebut sudah dihinggapi oleh penyakitnya sehingga dapat menular kepada orang yang melintas di atas jalan tersebut. Jalan akan dianggap steril dari penyakit dan dapat dilintasi kembali setelah adanya hujan karena penyakit-penyakit tadi telah hanyut terbawa air ke hilir, atau paling lambat adalah 5 hari setelah di lintasi orang yang bercinenggo .

Orang atau kelompok yang bercinenggo wajib memberitahukan kepada anggota kelompoknya atau kepada orang rimba lain yang dikunjunginya, dengan harapan ia bisa mendapatkan bantuan selama menjalani sakit, baik makanan ataupun pengobatan.  Tidak ada pemberian kabar tentang kondisinya  yang sakit dianggap telah melanggar adat, dan kelak ada yang tahu tentang kondisinya dan menyebabkan penularan kepada orang lain, maka ia dihukum denda dengan membayar 2 keping kain panjang. atau akibat dari penularan penyakitnya telah menyebabkan kematian maka di hukum denda sebanyak 500 keping/helai kain panjang atau yang disebut dengan istilah bayar bangun.

Ketatnya aturan adat yang di miliki orang rimba secara tidak tertulis itu, ternyata membuat orang rimba merasa takut untuk melanggarnya. Ketidak mampuan membayar bangun dengan sejumlah kain yang di tetapkan adat bisa dilakukan dengan cara menggantikan peranan si mati kepada keluarga yang ditinggalkan.  Kalau  yang mati tersebut adalah seorang laki-laki maka ia harus mencari ganti dari pihak keluarganya yang juga harus laki-laki, atau bila sumber penularannya berasal dari seorang laki-laki maka dirinya sendiri yang menggantikan peran si mati di dalam keluarganya demikian pula sebaliknya. Kalau juga tidak sanggup ini akan berakibat maut bagi si penular penyakit, artinya ia harus membayar dengan nyawanya sendiri (di hukum mati) (selama Warsi melakukan pendampingan terhadap Orang Rimba belum pernah ada sangsi ini dijatuhkan ke anggota kelompok)  atau di usir dari kelompoknya.

Untuk mencegah penularan maka orang atau kelompok yang bercenango harus memisahkan diri dari kelompoknya maupun kelompok lain yang berdekatan. Istilah ini disebut dengan istilah bersesandingon, atau dalam bahasa kita lebih dikenal dengan pengkarantinaan.  Jarak antara sedekat-dekatnya dalam jarak orang rimba sejauh suara dipantulkan, atau dalam perkiraan saya sejauh + 500 meter dari pemukiman kelompok orang rimba. Tempat bersesandingon harus berada jauh di dalam hutan diwilayah yang tidak pernah dilalui oleh orang rimba.  Selama melakukan bersesandingon  orang rimba yang bercinenggo membuat rumahnya dan mencari makannya sendiri di dalam hutan.  Pertemuan dengan individu kelompok masih boleh dilakukan dengan mengatur jarak dari masing-masing individu,  tetapi sangat dilarang untuk masuk kedalam kawasan pemukiman kelompok.

Selama bersesandingon tentunya jika tidak mendapatkan makanan atau binatang buruan, ia boleh meminta kepada kelompoknya untuk diantarkan ke suatu tempat dan ia akan menjemputnya. begitu sebaliknya orang yang bercinenggo boleh saja memberikan binatang hasil buruannya kepada kelompoknya.

Rujukan

  1. ^ Chamim, Mardiyah (2021). Menjaga Rimba Terakhir. Jambi: Warsi. hlm. 141. ISBN 978-602-51390-1-7. 

Pranala luar