Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia: Perbedaan antara revisi
→Pasal santet: hapus, belum ada catatan bahwa pasal tersebut masih disetujui DPR sampai sekarang. |
|||
Baris 84: | Baris 84: | ||
Ahli hukum pidana [[Barda Nawawi Arief]], yang ikut menyusun beleid itu mengatakan, pasal tersebut merupakan perluasan dari Pasal 162 KUHP yang mengatur larangan membantu tindak pidana, yang berbunyi "Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menawarkan untuk memberi keterangan, kesempatan, atau sarana guna melakukan tindak pidana, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 400.500."<ref name="tempo">[https://tempo.co/read/news/2013/03/17/063467552/ini-bunyi-pasal-santet-di-ruu-kuhp Ini Bunyi Pasal Santet di RUU KUHP] - [[Tempo.co.id]]</ref> |
Ahli hukum pidana [[Barda Nawawi Arief]], yang ikut menyusun beleid itu mengatakan, pasal tersebut merupakan perluasan dari Pasal 162 KUHP yang mengatur larangan membantu tindak pidana, yang berbunyi "Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menawarkan untuk memberi keterangan, kesempatan, atau sarana guna melakukan tindak pidana, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 400.500."<ref name="tempo">[https://tempo.co/read/news/2013/03/17/063467552/ini-bunyi-pasal-santet-di-ruu-kuhp Ini Bunyi Pasal Santet di RUU KUHP] - [[Tempo.co.id]]</ref> |
||
⚫ | Meskipun [[Eva Sundari]] menilai hukum akan sulit membuktikan seseorang memiliki kekuatan santet sehingga pasal ini rawan [[kriminalisasi]],<ref name="detik2">[http://news.detik.com/berita/d-2199720/anggota-komisi-iii-eva-sundari-pasal-santet-rawan-kriminalisasi Anggota Komisi III Eva Sundari: Pasal Santet Rawan Kriminalisasi] - Detik.com</ref> pakar hukum pidana dari [[Universitas Indonesia]], [[Andi Hamzah]], pembuktiannya tidak perlu membawa dukun santet melainkan cukup dengan saksi yang mendengar bahwa seseorang menyatakan dirinya mampu untuk melakukan santet.<ref name="viva1">[http://nasional.news.viva.co.id/news/read/399684-pidana-santet-bisa-dibuktikan-ini-penjelasan-pakar-hukum-ui Pidana Santet Bisa Dibuktikan? Ini Penjelasan Pakar Hukum UI] - VIVA.co.id</ref> |
||
Meskipun [[Eva Sundari]] menilai hukum akan sulit membuktikan seseorang memiliki kekuatan santet sehingga pasal ini rawan [[kriminalisasi]], |
|||
⚫ | <ref name="detik2">[http://news.detik.com/berita/d-2199720/anggota-komisi-iii-eva-sundari-pasal-santet-rawan-kriminalisasi Anggota Komisi III Eva Sundari: Pasal Santet Rawan Kriminalisasi] - Detik.com</ref> pakar hukum pidana dari [[Universitas Indonesia]], [[Andi Hamzah]], pembuktiannya tidak perlu membawa dukun santet melainkan cukup dengan saksi yang mendengar bahwa seseorang menyatakan dirinya mampu untuk melakukan santet.<ref name="viva1">[http://nasional.news.viva.co.id/news/read/399684-pidana-santet-bisa-dibuktikan-ini-penjelasan-pakar-hukum-ui Pidana Santet Bisa Dibuktikan? Ini Penjelasan Pakar Hukum UI] - VIVA.co.id</ref> |
||
Pro dan kontra delik santet sudah muncul sejak 1990-an |
Pro dan kontra delik santet sudah muncul sejak 1990-an.<ref name="kompas">[http://nasional.kompas.com/read/2016/11/21/06581241/kembalinya.pasal.santet?page=all Kembalinya Pasal Santet] - [[Kompas.com]]</ref> Konon untuk mendalami pasal santet, [[Dewan Perwakilan Rakyat]] (DPR) melakukan studi banding ke [[Belanda]], [[Inggris]], [[Prancis]], dan [[Rusia]].<ref name="viva2">[http://politik.news.viva.co.id/news/read/399407-dalami-pasal-santet--dpr-studi-banding-ke-eropa Dalami Pasal Santet, DPR Studi Banding ke Eropa] - VIVA.co.id</ref> |
||
== Peraturan terkait == |
== Peraturan terkait == |
Revisi per 2 Oktober 2022 03.18
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (bahasa Belanda: Wetboek van Strafrecht, umum dikenal sebagai KUH Pidana atau KUHP) adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum pidana di Indonesia. Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 No. 2, menetapkan, bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang sekarang berlaku, ialah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942[1].
Sejarah
KUHP atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perbuatan pidana secara materiil di Indonesia. KUHP yang sekarang diberlakukan adalah KUHP yang bersumber dari hukum kolonial Belanda, yakni Wetboek van Strafrecht voor Nederlands-Indië. Pengesahannya dilakukan melalui Staatsblad Tahun 1915 nomor 732 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. Setelah kemerdekaan, KUHP tetap diberlakukan disertai penyelarasan kondisi berupa pencabutan pasal-pasal yang tidak lagi relevan. Hal ini berdasarkan pada Ketentuan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang menyatakan bahwa: "Segala badan negara dan peraturan yang masih ada langsung diberlakukan selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini." Ketentuan tersebutlah yang kemudian menjadi dasar hukum pemberlakuan semua peraturan perundang-undangan pada masa kolonial pada masa kemerdekaan[2].
Untuk menegaskan kembali pemberlakuan hukum pidana pada masa kolonial tersebut, pada tanggal 26 Februari 1946, pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Undang-undang inilah yang kemudian dijadikan dasar hukum perubahan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS), yang kemudian dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Meskipun demikian, dalam Pasal XVII UU Nomor 1 Tahun 1946 juga terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa: “Undang-undang ini mulai berlaku buat pulau Jawa dan Madura pada hari diumumkannya dan buat daerah lain pada hari yang akan ditetapkan oleh Presiden.” Dengan demikian, pemberlakuan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadi Wetboek van Strafrecht hanya terbatas pada wilayah jawa dan Madura. Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di seluruh wilayah Republik Indonesia baru dilakukan pada tanggal 20 September 1958, dengan diundangkannya UU No. 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1958 yang berbunyi: “Undang-Undang No. 1 tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.” Jadi, per tanggal 1 Januari 2013, KUHP tersebut sudah berlaku selama 95 (sembilan puluh lima) tahun.
Meskipun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah diberlakukan secara nasional tidak berarti bahwa upaya untuk membuat sistem hukum pidana yang baru terhenti. Upaya melakukan pembaruan hukum pidana terus berjalan semenjak tahun 1958 dengan berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional sebagai upaya untuk membentuk KUHP Nasional yang baru. Seminar Hukum Nasional I yang diadakan pada tahun 1963 telah menghasilkan berbagai resolusi yang antara lain adanya desakan untuk menyelesaikan KUHP Nasional dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Sebenarnya sudah beberapa kali ada usaha perbaikan KUHP dengan pembuatan Rancangan KUHP. Rancangan tersebut antara lain:
- Konsep Rancangan Buku I KUHP tahun 1968.
- Konsep Rancangan Buku I KUHP tahun 1971.
- Konsep Tim Harris, Basaroeddin, dan Situmorang tahun 1981.
- Konsep RKUHP tahun 1981/1982 yang diketuai oleh Prof. Soedarto.
- Konsep RKUHP tahun 1982/1983.
- Konsep RKUHP tahun 1982/1983 yang mengalami perbaikan.
- Konsep RKUHP tahun 1982/1983 yang merupakan hasil penyempurnaan tim sampai 27 April 1987 dan disempurnakan lagi sampai pada November 1987.
- Konsep RKUHP tahun 1991/1992 yan diketuai oleh Prof. Marjono Reksodiputro[3].
Isi
Adapun isi dari KUHP disusun dalam 3 (tiga) buku, antara lain:
- Buku I Aturan Umum (Pasal 1 sampai dengan Pasal 103)
- Bab I - Aturan Umum
- Bab II - Pidana
- Bab III - Hal-Hal yang Menghapuskan, Mengurangi atau Memberatkan Pidana
- Bab IV - Percobaan
- Bab V - Penyertaan dalam Tindak Pidana
- Bab VI - Gabungan Tindak Pidana
- Bab VII - Mengajukan dan Menarik Kembali Pengaduan dalam Hal Kejahatan-Kejahatan yang Hanya Dituntut atas Pengaduan
- Bab VIII - Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan Menjalankan Pidana
- Bab IX - Arti Beberapa Istilah yang Dipakai dalam Kitab Undang- Undang
- Aturan Penutup
- Buku II Kejahatan (Pasal 104 sampai dengan Pasal 488)
- Bab I - Kejahatan Terhadap Keamanan Negara
- Bab II - Kejahatan-Kejahatan Terhadap Martabat Presiden Dan Wakil Presiden
- Bab III - Kejahatan-Kejahatan Terhadap Negara Sahabat Dan Terhadap Kepala Negara Sahabat Serta Wakilnya
- Bab IV - Kejahatan Terhadap Melakukan Kewajiban Dan Hak Kenegaraan
- Bab V - Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum
- Bab VI - Perkelahian Tanding
- Bab VII - Kejahatan Yang Membahayakan Keamanan Umum Bagi Orang Atau Barang
- Bab VIII - Kejahatan Terhadap Penguasa Umum
- Bab IX - Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu
- Bab X - Pemalsuan Mata Uang Dan Uang Kertas
- Bab XI - Pemalsuan Meterai Dan Merek
- Bab XII - Pemalsuan Surat
- Bab XIII - Kejahatan Terhadap Asal-Usul Dan Perkawinan
- Bab XIV - Kejahatan Terhadap Kesusilaan
- Bab XV - Meninggalkan Orang Yang Perlu Ditolong
- Bab XVI - Penghinaan
- Bab XVII - Membuka Rahasia
- Bab XVIII - Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang
- Bab XIX - Kejahatan Terhadap Nyawa
- Bab XX - Penganiayaan
- Bab XXI - Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan
- Bab XXII - Pencurian
- Bab XXIII - Pemerasan Dan Pengancaman
- Bab XXIV - Penggelapan
- Bab XXV - Perbuatan Curang
- Bab XXVI - Perbuatan Merugikan Pemiutang Atau Orang Yang Mempunyai Hak
- Bab XXVII - Menghancurkan Atau Merusakkan Barang
- Bab XXVIII - Kejahatan Jabatan
- Bab XXIX - Kejahatan Pelayaran
- Bab XXIX A - Kejahatan Penerbangan Dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan (UU No. 4 Tahun 1976)
- Bab XXX - Penadahan Penerbitan Dan Percetakan
- Bab XXXI - Aturan Tentang Pengulangan Kejahatan Yang Bersangkutan Dengan Berbagai-Bagai Bab
- Buku III Pelanggaran (Pasal 489 sampai dengan Pasal 569)
- Bab I - Tentang Pelanggaran Keamanan Umum Bagi Orang Atau Barang Dan Kesehatan
- Bab II - Pelanggaran Ketertiban Umum
- Bab III - Pelanggaran Terhadap Penguasa Umum
- Bab IV - Pelanggaran Mengenai Asal-Usul Dan Perkawinan
- Bab V - Pelanggaran Terhadap Orang Yang Memerlukan Pertolongan
- Bab VI - Pelanggaran Kesusilaan
- Bab VII - Pelanggaran Mengenai Tanah, Tanaman, Dan Pekarangan
- Bab VIII - Pelanggaran Jabatan
- Bab IX - Pelanggaran Pelayaran[4].
Revisi
Pasal santet
Pasal 293 Rancangan KUHP berbunyi:[5]
(1). Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV. (2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga).
Ahli hukum pidana Barda Nawawi Arief, yang ikut menyusun beleid itu mengatakan, pasal tersebut merupakan perluasan dari Pasal 162 KUHP yang mengatur larangan membantu tindak pidana, yang berbunyi "Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menawarkan untuk memberi keterangan, kesempatan, atau sarana guna melakukan tindak pidana, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 400.500."[5]
Meskipun Eva Sundari menilai hukum akan sulit membuktikan seseorang memiliki kekuatan santet sehingga pasal ini rawan kriminalisasi,[6] pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Andi Hamzah, pembuktiannya tidak perlu membawa dukun santet melainkan cukup dengan saksi yang mendengar bahwa seseorang menyatakan dirinya mampu untuk melakukan santet.[7]
Pro dan kontra delik santet sudah muncul sejak 1990-an.[8] Konon untuk mendalami pasal santet, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan studi banding ke Belanda, Inggris, Prancis, dan Rusia.[9]
Peraturan terkait
- Undang Undang Nomor 1 Tahun 1946
- Undang Undang Nomor 8 Tahun 1951
- Undang Undang Nomor 73 Tahun 1958
- Undang Undang Nomor 1 Tahun 1960
- PERPU No. 16 Tahun 1960
- PERPU No. 18 Tahun 1960
- Undang Undang Nomor 8 Tahun 1961
- Undang Undang Nomor 7 Tahun 1974
- Undang Undang Nomor 4 Tahun 1976
- Undang Undang Nomor 27 Tahun 1999
Bacaan lanjutan
- Prayudi, Guse (2012). Panduan Lengkap Hukum Pidana & Perdata. Yogyakarta: Tora Book Yogyakarta. ISBN 978-602-99724-4-3
- Soesilo, R (1976). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Lengkap. Bogor: Politea.
Referensi
- ^ https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/25029/uu-no-1-tahun-1946
- ^ https://rasindonews.wordpress.com/2022/06/03/delik-penghasutan-dalam-pasal-160-kuhp/
- ^ https://tribratanews.kepri.polri.go.id/2019/06/28/sejarah-dan-isi-dari-kitab-undang-undang-hukum-pidana-bag-i/
- ^ https://kumparan.com/berita-terkini/bunyi-dan-makna-pasal-363-kuhp-tentang-pencurian-1xYWYQGgDcQ/1
- ^ a b Ini Bunyi Pasal Santet di RUU KUHP - Tempo.co.id
- ^ Anggota Komisi III Eva Sundari: Pasal Santet Rawan Kriminalisasi - Detik.com
- ^ Pidana Santet Bisa Dibuktikan? Ini Penjelasan Pakar Hukum UI - VIVA.co.id
- ^ Kembalinya Pasal Santet - Kompas.com
- ^ Dalami Pasal Santet, DPR Studi Banding ke Eropa - VIVA.co.id