Lompat ke isi

Suku Semende: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Farhan Curious (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Deni Yuniardi (bicara | kontrib)
Sejarah Semende
Tag: menambah kata-kata yang berlebihan atau hiperbolis kemungkinan perlu pemeriksaan terjemahan VisualEditor
Baris 18: Baris 18:
|related=[[Suku Palembang|Melayu Palembang]]{{br}}[[Suku Alas|Alas]]{{br}}[[Suku Komering|Komering]]{{br}}[[Suku Lampung|Lampung]]{{br}}[[Orang Minangkabau|Minangkabau]]}}
|related=[[Suku Palembang|Melayu Palembang]]{{br}}[[Suku Alas|Alas]]{{br}}[[Suku Komering|Komering]]{{br}}[[Suku Lampung|Lampung]]{{br}}[[Orang Minangkabau|Minangkabau]]}}


'''Suku Semende''' atau '''Semende''' adalah salah satu suku bangsa yang berasal dari [[Sumatra|Pulau Sumatra]] tepatnya di Sumatra Selatan. Populasi suku semende tersebar mulai dari Sumatera Selatan, Lampung, dan Bengkulu. Di Sumatera Selatan, Suku semende mendiami daerah:
'''Suku Semende''' atau '''Semendo''' adalah salah satu suku bangsa yang berasal dari [[Sumatra|Pulau Sumatra]] tepatnya di Sumatra Selatan.{{sfn|Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia|p=344-345}} Suku ini memiliki dua subsuku atau bisa juga disebut marga/klan/kaum yaitu Semende Darat dan Semende Lembak. Semende Darat bertempat tinggal di [[Pulau Panggung, Semende Darat Laut, Muara Enim|Pulau Panggung]], dan [[Muara Enim, Muara Enim|Muara Enim]].{{sfn|Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia|p=344-345}} Semende Lembak tinggal di [[Baturaja, Ogan Komering Ulu|Kecamatan Pulau Beringin, Sungai Are, Sindang Danau, dan kecamatan Mekakau Ilir di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan]] Mereka juga tinggal di [[Kecamatan]] [[Semende Darat Laut, Muara Enim|Semendo Darat Laut]], [[Semende Darat Tengah, Muara Enim|Semendo Darat Tengah]], [[Semende Darat Ulu, Muara Enim|Semendo Darat Ulu]]. Dan sebagian lainnya berada di Kota [[Kota Prabumulih|Prabumulih]], [[Kabupaten Ogan Komering Ilir]], dan [[Kabupaten Ogan Komering Ulu]].{{sfn|Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia|p=344-345}} Suku Semende merupakan bagian dari Rumpun Melayu Tengah. {{cn}}

# [[Kecamatan]] [[Semende Darat Laut, Muara Enim|Semende Darat Laut]],
# [[Semende Darat Tengah, Muara Enim|Kecamatan Semende Darat Tengah]],
# Kecamatan [[Semende Darat Ulu, Muara Enim|Semende Darat Ulu]],
# [[Baturaja, Ogan Komering Ulu|Kecamatan Pulau Beringin, Sungai Are, Sindang Danau,]]
# [[Baturaja, Ogan Komering Ulu|kecamatan Mekakau Ilir]]
# [[Way Tenong, Lampung Barat|Kecamatan Way Tenong]], Lampung Barat
# Kecamatan Kebun Tebu
# Kecamatan Sumber Jaya
# Kecamatan Gedung Surian
# Kecamatan Ulu Semong
# Kecamatan Ulu Belu, Tanggamus
# Talang Padang, Tanggamu
# Rebang, Way kanan
# [[Banjit, Way Kanan]]
# [[Tanjung Raja, Lampung Utara]]
# Palas, Lampung Selatan
# Sinar Semende, Bandar Lampung
# Kaur, bengkulu


Sejarah Suku Semende

Sejarah suku semende erat kaitanya dengan perjalanan dakwah islam di Sumatera Selatan, bahakn di Nusantara.

Tim Pelacakan Sejarah dibentuk oleh Panitia Mudzakarah Ulama Serumpun Melayu pada bulan Agustus 2007 lalu. Tugasnya adalah menemukan fakta apakah benar pada abad ke 17 masehi telah berkumpul para ’ulama di Sumatera Selatan untuk bermudzakarah? Sejumlah pertanyaan penting yang harus dijawab antara lain : apa latar belakangnya mudzakarah tersebut; siapa saja tokohnya; dimana lokasinya; dan apa isi mudzakarah tersebut; hasil-hasilnya; serta pengaruhnya terhadap ummat Islam khususnya di Rumpun Melayu?

Untuk menjawab berbagai pertanyaan awal di atas, maka dalam tim ini dibentuk dua bidang tugas. ''Pertama,'' bertugas untuk menggali fakta dari literatur atau tulisan sejarah di buku, internet, serta asip-arsip kuno di perpustakan dan di masyarakat. ''Kedua,'' melalui wawancara langsung dengan pakar sejarah dari Perguruan Tinggi, Musium Purbakala, serta tokoh masyarakat yang merupakan keturunan dari pelaku sejarah. Juga dilakukan tinjauan langsung ke lokasi sejarah di daerah Perdipe. Tim ini bekerja sekitar dua bulan sejak dibentuk. Kemudian hasil penelitian ini telah disampaikan pada Musyawarah Pleno ke 1 DP3MU September 2007 lalu di Auditorium Yayasan AKUIS Pusat, Banyuasin, Sumatera Selatan.

Berdasarkan Hasil Pelacakan Sejarah yang telah dilakukan, maka ada beberapa bukti sejarah yang ditemukan :

1. Pada tahun 1650 masehi atau 1072 hijriyah telah bertemu sekitar 50 ’ulama di Perdipe, Sumatera Selatan.

2. Mereka berasal dari wilayah Rumpun Melayu yang meliputi Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Malaka, Fak-Fak- Papua, Ternate, dan Kepulauan Mindanau.

3. Hasil Mudzakarah ini memunculkan perluasan dakwah Islam yang berakibat terkikisnya faham anismisme dan budaya jahiliyah di masyarakat.

4. Munculnya kader-kader mujahid yang mengadakan perlawan terhadap penjajah Eropa.

5. Terjadinya perluasan wilayah Islam yang ditandai dengan munculnya Kesultanan yang baru yang masing-masing saling bekerjasama secara baik.


'''Siapakah Tokoh Sentral pada Mudzakarah ’Ulama Serumpun Melayu abad 17 M'''

Berdasarkan arsip kuno berupa '''''kaghas''''' (tulisan dengan huruf ulu diatas kulit kayu) yang ditemukan di Dusun Penghapau, Semende Darat, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan yang diterjemahkan pada tahun 1974 oleh Drs. Muhammad Nur (ahli purbakala Pusat Jakarta), ada beberapa catatan sejarah. Bahwa pada tahun 1072 Hijriyah atau 1650 Masehi telah ada seorang tokoh ’Ulama yang bernama '''Syech Nurqodim al-Baharudin''' yang bergelar '''Puyang Awak''' yang mendakwahkan Islam di daerah dataran Gunung Dempo Sumatera Selatan.

Menurut buku ''”Jagad Basemah Libagh Semende Panjang''”, Terbitan Pustaka Dzumirah, Karya TG.KH. Drs. Thoulun Abdurrauf, dinyatakan bahwa pada abad ke 14 – 17 Masehi, kaum Imperialis dan Kapitalis Eropa (Portugis, Inggris, dan Belanda) telah merompak di lautan dan merampok di daratan yang diistilahkan dalam bahasa melayu, yaitu ''mengayau.'' Mereka dengan taktik ''devide et impera'' berusaha memecah-belah penduduk di Rumpun Melayu yang berpusat di Pulau Jawa dan Semenanjung Malaka. Maka para waliullah di daerah tersebut dengan dipelopori oleh Syech Nurqodim al-Baharudin pada tahun 1650 M / 1072 H menggelar musyawarah yang berpusat di Perdipe (Sekarang masuk wilayah Kota Pagar Alam, Dataran Gunung Dempo, Sumatera Selatan). Tujuan musyawarah ini antara lain guna menyusun kekuatan bagi persiapan perang bulan sabit merah untuk menumpas ekspansi perang salib di Asia Tenggara.

Masih menurut beliau, bahwa kosa kata ”belanda” konon adalah sebutan bahasa melayu untuk orang netherlands. Kata belanda berasal dari dua suku kata ”''belah''” (memecah) dan ”''nde''” (keluarga), maknanya ”tukang memecah-belah keluarga”. Berbeda maknanya dengan kata ”''semende”'' dari dua suku kata ''”same”'' (satu) dan ''”nde”'' (keluarga), maka maknanya ”satu keluarga” yaitu persaudaraan mukmin.


'''Siapakah Tokoh Sentral pada Mudzakarah ’Ulama Serumpun Melayu abad 17 M'''

Berdasarkan arsip kuno berupa '''''kaghas''''' (tulisan dengan huruf ulu diatas kulit kayu) yang ditemukan di Dusun Penghapau, Semende Darat, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan yang diterjemahkan pada tahun 1974 oleh Drs. Muhammad Nur (ahli purbakala Pusat Jakarta), ada beberapa catatan sejarah. Bahwa pada tahun 1072 Hijriyah atau 1650 Masehi telah ada seorang tokoh ’Ulama yang bernama '''Syech Nurqodim al-Baharudin''' yang bergelar '''Puyang Awak''' yang mendakwahkan Islam di daerah dataran Gunung Dempo Sumatera Selatan.

Menurut buku ''”Jagad Basemah Libagh Semende Panjang''”, Terbitan Pustaka Dzumirah, Karya TG.KH. Drs. Thoulun Abdurrauf, dinyatakan bahwa pada abad ke 14 – 17 Masehi, kaum Imperialis dan Kapitalis Eropa (Portugis, Inggris, dan Belanda) telah merompak di lautan dan merampok di daratan yang diistilahkan dalam bahasa melayu, yaitu ''mengayau.'' Mereka dengan taktik ''devide et impera'' berusaha memecah-belah penduduk di Rumpun Melayu yang berpusat di Pulau Jawa dan Semenanjung Malaka. Maka para waliullah di daerah tersebut dengan dipelopori oleh Syech Nurqodim al-Baharudin pada tahun 1650 M / 1072 H menggelar musyawarah yang berpusat di Perdipe (Sekarang masuk wilayah Kota Pagar Alam, Dataran Gunung Dempo, Sumatera Selatan). Tujuan musyawarah ini antara lain guna menyusun kekuatan bagi persiapan perang bulan sabit merah untuk menumpas ekspansi perang salib di Asia Tenggara.

Masih menurut beliau, bahwa kosa kata ”belanda” konon adalah sebutan bahasa melayu untuk orang netherlands. Kata belanda berasal dari dua suku kata ”''belah''” (memecah) dan ”''nde''” (keluarga), maknanya ”tukang memecah-belah keluarga”. Berbeda maknanya dengan kata ”''semende”'' dari dua suku kata ''”same”'' (satu) dan ''”nde”'' (keluarga), maka maknanya ”satu keluarga” yaitu persaudaraan mukmin.


'''Latar Belakang Mudzakarah ’Ulama Serumpun Melayu Tempo Dulu'''

Setiap ulama yang shohih dapat dikenali langkah-langkahnya yang senatiasa menyusuaikan dengan panduan Alqur-an dan sunnah Rosul. Demikian pula analisis kami terhadap gerakan yang dibangun Syaikh Nurqodim al-Baharudin. Dengan segala keterbatasannya selaku manusia biasa dan dengan kesemangatannya selaku hamba Allah yang diberi amanah ke’ulamaan beliau telah berupaya membangun tata kehidupan masyarakat madani yang di contohkan Rosulullah Muhammad SAW. Inilah latar belakang pokok mudzakarah tersebut yaitu ingin mewujudkan tata kehidupan masyarakat yang diatur dengan Syariat Dinullah dengan panduan dari Rosulnya. Beliau tidak bermaksud membangun kekuasan dengan sistem kerajaan. Namun masyarakat madani yang tunduk pada kepemimpinan Allah dan Rosul dengan ’Ulama sebagai Ulil Amrinya.

Kemudian dengan melihat situasi dan kondisi perkembangan Islam di Eropa, Afrika, Asia, hingga wilayah Nusantara memberikan peluang yang besar kepada para ’ulama untuk menyebarkan ajaran Islam ke seluruh dunia, sehingga memberi corak tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat. Terciptanya kestabilitasan dan perbaikan sistem kehidupan yang meliputi aspek sosial, budaya, ekonomi, pemerintahan dan keamanan, militer dan ilmu pengetahuan merupakan salah satu ''effect'' positif penyebaran melalui Dakwah dan Jihad.

Di rumpun melayu, khususnya setelah terjadi kekosongan kekuasaandi wilayah Sumatera Selatan akibat runtuhnya kekuasaan Sriwijaya dan Majapahit, dan terjadinya peralihan kekuasaan dari kerajaan Demak ke Pajang dan Mataram, sementara di wilayah Besemah (Pagaralam) masyarakat mengalami ''disintegrasi'' nilai-nilai kebudayaan yang mengakibatkan terciptanya kekacauan dalam sistem kehidupan sosial kemasyarakatan sehingga mereka kehilangan norma dan aturan yang mengatur tatanan kehidupan sosial. Hal ini yang menjadi faktor kedua dan mengilhami proses penyebaran Islam di wilayah Besemah dan Semendo oleh para ’ulama melalui proses mudzakarah.

Demikianlah dua latar pokok munculnya pertemuan ulama pada masa itu, yaitu ''ittiba'' kepada panduan Allah dan Rosul dengan gambaran dalilnya antara lain Surah al Anfal ayat 72, mengenai perintah iman, hijrah dan jihad. Selanjutnya kedua, yaitu kondisi dunia dan ummat yang menghendaki para ’ulama agar bersepakat mengangkat Islam.


'''Lokasi dan Hasil Keputusan Mudzakarah Ulama Tempo Dulu'''

Keberadaan dan kegiatan dakwah yang dilakukan beliau lama-kelamaan mulai tersebar. Bahwa di daerah Batang Hari Sembilan telah ada seorang aulia yang bernama Syaikh Nur Qodim Al Baharudin. Banyaklah penghulu agama / pemuka agama dari berbagai daerah berdatangan memenuhi ajakan Puyang Nur Qodim untuk bermukim di Talang Tumutan Tujuh akhirnya diresmikanlah oleh Puyang Ratu Agung Empuh Eyang Dade Abang menjadi ”dusun Paradipe” (para penghulu agama) tahun1650 M / 1072 H sekarang dinamakan dusun Tue. Dari perluasan daerah inilah disebut wilayah jagad Semende Panjang Basemah Libagh.

Kegiatan pembukaan wilayah oleh Syaikh al Baharudin antara lain :

1. Pembukaan dusun dan Wilayah Pertanian Pagaruyung yang dipimpin oleh Puyang Ahmad Pendekar Raje Adat Pagaruyung dari Tanah Minang Kabau.

2. Pembaharuan dusun serta pemekaran Wilayah Peghapau yang dipimpin oleh Puyang Prikse Alam, dan Puyang Agung Nyawa beserta Puyang Tuan Kuase Raje Ulieh dari negeri Cina yang nama aslinya Ong Gun Tie

3. Pembukaan Dusun dengan pemukiman di dusun Muara Tenang oleh Putra Sunan Bonang dari Jawa. Di Tanjung Iman oleh Puyang Same Wali, di Padang Ratu oleh Puyang Nakanadin, di Tanjung Raye oleh Puyang Regan Bumi dan Tuan Guru Sakti Gumai serta di Tanjung Laut oleh Puyang Tuan Kacik berpusat di Pardipe

4. Pemekaran pembukaan wilayah Marga Semende, Muare Saung dan Marga Pulau Beringin (OKU).

5. Pembukaan wilaya Marga Semende Ulu Nasal dan Marga Semende Pajar Bulan Segirin Bengkulu

6. Pembukaan dusun dan wilayah pertanian di Lampung yakni Marga Semende Waitenang, Marga Semende Wai Seputih, Marga Semende Kasui, Marga Semende Peghung dan Marga Semende Ulak Rengas (Raje Mang Kute) Muchtar Alam..

'''Pendiri Adat Semende'''

1. a. Ratu Agung Umpu Eyang Dade Abang (Bapak Nur Qodim – Puyang Awak).

b. Puyang Awak Syaikh Nurqodim Al Baharudin

2. Puyang Mas Penghulu Ulama Panglima Perang dari Gheci Mataram Jawa.

3. Ahmad Pendekar Raje Adat Pagaruyung dari Minang Kabau (Sumbar).

4. Puyang Sang Ngerti Penghulu Agama dari Tebing Rindu Ati Bangkahulu (Bengkulu).

5. Puyang Perikse Alam dari Lubuk Dendan Mulak Basemah.

6. Puyang Agung Nyawe.

7. Puyang Lurus Sambung Ati dari gunung Puyung Banten Selatan Jabar.

8. Tuan Kuase Raje Ulie Depati Penanggungan.

9. Puyang Lebi Abdul Kahar dari Pulau Panggung.

10. Tuan Mas Pangeran Bonang Muara Tenang.

11. Regan Bumi Nakanadin samewali Tanjung Raya.

12. Tuan Kecil dari Tanjung Laut.


Mengenai hasil keputusan yang di dapat, antara lain adalah munculnya rumusan kesepakatan ulama mengenai tahapan waktu kaderisasi ummat dan masa tegaknya daulah Islam di Rumpun Melayu. Rumusan ini menggunakan bahasa melayu setempat yang tercatat sampai saat ini dan mengandung pesan yang amat kuat, yaitu ''”Tujuh Ganti Sembilan Gilir”''. Terjemahnya adalah tujuh generasi dan sembilan masa pergiliran Kesultanan”. Satu generasi adalah sekitar 40 tahun sehingga makna ''tujuh ganti'' adalah 280 tahun masa pengkaderan atau persiapan ummat ummat Islam untuk bangkit dan mengusir penjajah dari Eropa. Terbukti sekitar 300 tahun kemudian dari tahun 1650 penjajah belanda angkat kaki dari negeri ini. Kemudian Kesultanan Mataram sebagai pusat komunikasi dari kesultanan lain di rumpun melayu diberi batas amanah sampai ke 9 kepemimpinan untuk selanjutnya menegakkan Syariat Islam secara total.

Data mengenai ulama yang hadir antara lain 40 ulama Malaka yang berangkat dari Johor, utusan Mataram Raden Seto dan Raden Khatib dan beberapa utusan lain dari Pagaruyung dan beberapa dari wilayah Rumou Melayu lainnya. Lokasi Mudzakarah Ulama ini adalah di Dusun Perdipe (Para Dipo; para penghulu agama)


== Referensi ==
== Referensi ==

Revisi per 29 November 2022 06.58

Jeme Semende
Daerah dengan populasi signifikan
(Sumatra Selatan), Indonesia Indonesia
Agama
Islam
Lainnya
Kelompok etnik terkait
Melayu Palembang
Alas
Komering
Lampung
Minangkabau

Suku Semende atau Semende adalah salah satu suku bangsa yang berasal dari Pulau Sumatra tepatnya di Sumatra Selatan. Populasi suku semende tersebar mulai dari Sumatera Selatan, Lampung, dan Bengkulu. Di Sumatera Selatan, Suku semende mendiami daerah:

  1. Kecamatan Semende Darat Laut,
  2. Kecamatan Semende Darat Tengah,
  3. Kecamatan Semende Darat Ulu,
  4. Kecamatan Pulau Beringin, Sungai Are, Sindang Danau,
  5. kecamatan Mekakau Ilir
  6. Kecamatan Way Tenong, Lampung Barat
  7. Kecamatan Kebun Tebu
  8. Kecamatan Sumber Jaya
  9. Kecamatan Gedung Surian
  10. Kecamatan Ulu Semong
  11. Kecamatan Ulu Belu, Tanggamus
  12. Talang Padang, Tanggamu
  13. Rebang, Way kanan
  14. Banjit, Way Kanan
  15. Tanjung Raja, Lampung Utara
  16. Palas, Lampung Selatan
  17. Sinar Semende, Bandar Lampung
  18. Kaur, bengkulu


Sejarah Suku Semende

Sejarah suku semende erat kaitanya dengan perjalanan dakwah islam di Sumatera Selatan, bahakn di Nusantara.

Tim Pelacakan Sejarah dibentuk oleh Panitia Mudzakarah Ulama Serumpun Melayu pada bulan Agustus 2007 lalu. Tugasnya adalah menemukan fakta apakah benar pada abad ke 17 masehi telah berkumpul para ’ulama di Sumatera Selatan untuk bermudzakarah? Sejumlah pertanyaan penting yang harus dijawab antara lain : apa latar belakangnya mudzakarah tersebut; siapa saja tokohnya; dimana lokasinya; dan apa isi mudzakarah tersebut; hasil-hasilnya; serta pengaruhnya terhadap ummat Islam khususnya di Rumpun Melayu?

Untuk menjawab berbagai pertanyaan awal di atas, maka dalam tim ini dibentuk dua bidang tugas. Pertama, bertugas untuk menggali fakta dari literatur atau tulisan sejarah di buku, internet, serta asip-arsip kuno di perpustakan dan di masyarakat. Kedua, melalui wawancara langsung dengan pakar sejarah dari Perguruan Tinggi, Musium Purbakala, serta tokoh masyarakat yang merupakan keturunan dari pelaku sejarah. Juga dilakukan tinjauan langsung ke lokasi sejarah di daerah Perdipe. Tim ini bekerja sekitar dua bulan sejak dibentuk. Kemudian hasil penelitian ini telah disampaikan pada Musyawarah Pleno ke 1 DP3MU September 2007 lalu di Auditorium Yayasan AKUIS Pusat, Banyuasin, Sumatera Selatan.

Berdasarkan Hasil Pelacakan Sejarah yang telah dilakukan, maka ada beberapa bukti sejarah yang ditemukan :

1. Pada tahun 1650 masehi atau 1072 hijriyah telah bertemu sekitar 50 ’ulama di Perdipe, Sumatera Selatan.

2. Mereka berasal dari wilayah Rumpun Melayu yang meliputi Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Malaka, Fak-Fak- Papua, Ternate, dan Kepulauan Mindanau.

3. Hasil Mudzakarah ini memunculkan perluasan dakwah Islam yang berakibat terkikisnya faham anismisme dan budaya jahiliyah di masyarakat.

4. Munculnya kader-kader mujahid yang mengadakan perlawan terhadap penjajah Eropa.

5. Terjadinya perluasan wilayah Islam yang ditandai dengan munculnya Kesultanan yang baru yang masing-masing saling bekerjasama secara baik.


Siapakah Tokoh Sentral pada Mudzakarah ’Ulama Serumpun Melayu abad 17 M

Berdasarkan arsip kuno berupa kaghas (tulisan dengan huruf ulu diatas kulit kayu) yang ditemukan di Dusun Penghapau, Semende Darat, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan yang diterjemahkan pada tahun 1974 oleh Drs. Muhammad Nur (ahli purbakala Pusat Jakarta), ada beberapa catatan sejarah. Bahwa pada tahun 1072 Hijriyah atau 1650 Masehi telah ada seorang tokoh ’Ulama yang bernama Syech Nurqodim al-Baharudin yang bergelar Puyang Awak yang mendakwahkan Islam di daerah dataran Gunung Dempo Sumatera Selatan.

Menurut buku ”Jagad Basemah Libagh Semende Panjang”, Terbitan Pustaka Dzumirah, Karya TG.KH. Drs. Thoulun Abdurrauf, dinyatakan bahwa pada abad ke 14 – 17 Masehi, kaum Imperialis dan Kapitalis Eropa (Portugis, Inggris, dan Belanda) telah merompak di lautan dan merampok di daratan yang diistilahkan dalam bahasa melayu, yaitu mengayau. Mereka dengan taktik devide et impera berusaha memecah-belah penduduk di Rumpun Melayu yang berpusat di Pulau Jawa dan Semenanjung Malaka. Maka para waliullah di daerah tersebut dengan dipelopori oleh Syech Nurqodim al-Baharudin pada tahun 1650 M / 1072 H menggelar musyawarah yang berpusat di Perdipe (Sekarang masuk wilayah Kota Pagar Alam, Dataran Gunung Dempo, Sumatera Selatan). Tujuan musyawarah ini antara lain guna menyusun kekuatan bagi persiapan perang bulan sabit merah untuk menumpas ekspansi perang salib di Asia Tenggara.

Masih menurut beliau, bahwa kosa kata ”belanda” konon adalah sebutan bahasa melayu untuk orang netherlands. Kata belanda berasal dari dua suku kata ”belah” (memecah) dan ”nde” (keluarga), maknanya ”tukang memecah-belah keluarga”. Berbeda maknanya dengan kata ”semende” dari dua suku kata ”same” (satu) dan ”nde” (keluarga), maka maknanya ”satu keluarga” yaitu persaudaraan mukmin.


Siapakah Tokoh Sentral pada Mudzakarah ’Ulama Serumpun Melayu abad 17 M

Berdasarkan arsip kuno berupa kaghas (tulisan dengan huruf ulu diatas kulit kayu) yang ditemukan di Dusun Penghapau, Semende Darat, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan yang diterjemahkan pada tahun 1974 oleh Drs. Muhammad Nur (ahli purbakala Pusat Jakarta), ada beberapa catatan sejarah. Bahwa pada tahun 1072 Hijriyah atau 1650 Masehi telah ada seorang tokoh ’Ulama yang bernama Syech Nurqodim al-Baharudin yang bergelar Puyang Awak yang mendakwahkan Islam di daerah dataran Gunung Dempo Sumatera Selatan.

Menurut buku ”Jagad Basemah Libagh Semende Panjang”, Terbitan Pustaka Dzumirah, Karya TG.KH. Drs. Thoulun Abdurrauf, dinyatakan bahwa pada abad ke 14 – 17 Masehi, kaum Imperialis dan Kapitalis Eropa (Portugis, Inggris, dan Belanda) telah merompak di lautan dan merampok di daratan yang diistilahkan dalam bahasa melayu, yaitu mengayau. Mereka dengan taktik devide et impera berusaha memecah-belah penduduk di Rumpun Melayu yang berpusat di Pulau Jawa dan Semenanjung Malaka. Maka para waliullah di daerah tersebut dengan dipelopori oleh Syech Nurqodim al-Baharudin pada tahun 1650 M / 1072 H menggelar musyawarah yang berpusat di Perdipe (Sekarang masuk wilayah Kota Pagar Alam, Dataran Gunung Dempo, Sumatera Selatan). Tujuan musyawarah ini antara lain guna menyusun kekuatan bagi persiapan perang bulan sabit merah untuk menumpas ekspansi perang salib di Asia Tenggara.

Masih menurut beliau, bahwa kosa kata ”belanda” konon adalah sebutan bahasa melayu untuk orang netherlands. Kata belanda berasal dari dua suku kata ”belah” (memecah) dan ”nde” (keluarga), maknanya ”tukang memecah-belah keluarga”. Berbeda maknanya dengan kata ”semende” dari dua suku kata ”same” (satu) dan ”nde” (keluarga), maka maknanya ”satu keluarga” yaitu persaudaraan mukmin.


Latar Belakang Mudzakarah ’Ulama Serumpun Melayu Tempo Dulu

Setiap ulama yang shohih dapat dikenali langkah-langkahnya yang senatiasa menyusuaikan dengan panduan Alqur-an dan sunnah Rosul. Demikian pula analisis kami terhadap gerakan yang dibangun Syaikh Nurqodim al-Baharudin. Dengan segala keterbatasannya selaku manusia biasa dan dengan kesemangatannya selaku hamba Allah yang diberi amanah ke’ulamaan beliau telah berupaya membangun tata kehidupan masyarakat madani yang di contohkan Rosulullah Muhammad SAW. Inilah latar belakang pokok mudzakarah tersebut yaitu ingin mewujudkan tata kehidupan masyarakat yang diatur dengan Syariat Dinullah dengan panduan dari Rosulnya. Beliau tidak bermaksud membangun kekuasan dengan sistem kerajaan. Namun masyarakat madani yang tunduk pada kepemimpinan Allah dan Rosul dengan ’Ulama sebagai Ulil Amrinya.

Kemudian dengan melihat situasi dan kondisi perkembangan Islam di Eropa, Afrika, Asia, hingga wilayah Nusantara memberikan peluang yang besar kepada para ’ulama untuk menyebarkan ajaran Islam ke seluruh dunia, sehingga memberi corak tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat. Terciptanya kestabilitasan dan perbaikan sistem kehidupan yang meliputi aspek sosial, budaya, ekonomi, pemerintahan dan keamanan, militer dan ilmu pengetahuan merupakan salah satu effect positif penyebaran melalui Dakwah dan Jihad.

Di rumpun melayu, khususnya setelah terjadi kekosongan kekuasaandi wilayah Sumatera Selatan akibat runtuhnya kekuasaan Sriwijaya dan Majapahit, dan terjadinya peralihan kekuasaan dari kerajaan Demak ke Pajang dan Mataram, sementara di wilayah Besemah (Pagaralam) masyarakat mengalami disintegrasi nilai-nilai kebudayaan yang mengakibatkan terciptanya kekacauan dalam sistem kehidupan sosial kemasyarakatan sehingga mereka kehilangan norma dan aturan yang mengatur tatanan kehidupan sosial. Hal ini yang menjadi faktor kedua dan mengilhami proses penyebaran Islam di wilayah Besemah dan Semendo oleh para ’ulama melalui proses mudzakarah.

Demikianlah dua latar pokok munculnya pertemuan ulama pada masa itu, yaitu ittiba kepada panduan Allah dan Rosul dengan gambaran dalilnya antara lain Surah al Anfal ayat 72, mengenai perintah iman, hijrah dan jihad. Selanjutnya kedua, yaitu kondisi dunia dan ummat yang menghendaki para ’ulama agar bersepakat mengangkat Islam.


Lokasi dan Hasil Keputusan Mudzakarah Ulama Tempo Dulu

Keberadaan dan kegiatan dakwah yang dilakukan beliau lama-kelamaan mulai tersebar. Bahwa di daerah Batang Hari Sembilan telah ada seorang aulia yang bernama Syaikh Nur Qodim Al Baharudin. Banyaklah penghulu agama / pemuka agama dari berbagai daerah berdatangan memenuhi ajakan Puyang Nur Qodim untuk bermukim di Talang Tumutan Tujuh akhirnya diresmikanlah oleh Puyang Ratu Agung Empuh Eyang Dade Abang menjadi ”dusun Paradipe” (para penghulu agama) tahun1650 M / 1072 H sekarang dinamakan dusun Tue. Dari perluasan daerah inilah disebut wilayah jagad Semende Panjang Basemah Libagh.

Kegiatan pembukaan wilayah oleh Syaikh al Baharudin antara lain :

1. Pembukaan dusun dan Wilayah Pertanian Pagaruyung yang dipimpin oleh Puyang Ahmad Pendekar Raje Adat Pagaruyung dari Tanah Minang Kabau.

2. Pembaharuan dusun serta pemekaran Wilayah Peghapau yang dipimpin oleh Puyang Prikse Alam, dan Puyang Agung Nyawa beserta Puyang Tuan Kuase Raje Ulieh dari negeri Cina yang nama aslinya Ong Gun Tie

3. Pembukaan Dusun dengan pemukiman di dusun Muara Tenang oleh Putra Sunan Bonang dari Jawa. Di Tanjung Iman oleh Puyang Same Wali, di Padang Ratu oleh Puyang Nakanadin, di Tanjung Raye oleh Puyang Regan Bumi dan Tuan Guru Sakti Gumai serta di Tanjung Laut oleh Puyang Tuan Kacik berpusat di Pardipe

4. Pemekaran pembukaan wilayah Marga Semende, Muare Saung dan Marga Pulau Beringin (OKU).

5. Pembukaan wilaya Marga Semende Ulu Nasal dan Marga Semende Pajar Bulan Segirin Bengkulu

6. Pembukaan dusun dan wilayah pertanian di Lampung yakni Marga Semende Waitenang, Marga Semende Wai Seputih, Marga Semende Kasui, Marga Semende Peghung dan Marga Semende Ulak Rengas (Raje Mang Kute) Muchtar Alam..

Pendiri Adat Semende

1. a. Ratu Agung Umpu Eyang Dade Abang (Bapak Nur Qodim – Puyang Awak).

b. Puyang Awak Syaikh Nurqodim Al Baharudin

2. Puyang Mas Penghulu Ulama Panglima Perang dari Gheci Mataram Jawa.

3. Ahmad Pendekar Raje Adat Pagaruyung dari Minang Kabau (Sumbar).

4. Puyang Sang Ngerti Penghulu Agama dari Tebing Rindu Ati Bangkahulu (Bengkulu).

5. Puyang Perikse Alam dari Lubuk Dendan Mulak Basemah.

6. Puyang Agung Nyawe.

7. Puyang Lurus Sambung Ati dari gunung Puyung Banten Selatan Jabar.

8. Tuan Kuase Raje Ulie Depati Penanggungan.

9. Puyang Lebi Abdul Kahar dari Pulau Panggung.

10. Tuan Mas Pangeran Bonang Muara Tenang.

11. Regan Bumi Nakanadin samewali Tanjung Raya.

12. Tuan Kecil dari Tanjung Laut.


Mengenai hasil keputusan yang di dapat, antara lain adalah munculnya rumusan kesepakatan ulama mengenai tahapan waktu kaderisasi ummat dan masa tegaknya daulah Islam di Rumpun Melayu. Rumusan ini menggunakan bahasa melayu setempat yang tercatat sampai saat ini dan mengandung pesan yang amat kuat, yaitu ”Tujuh Ganti Sembilan Gilir”. Terjemahnya adalah tujuh generasi dan sembilan masa pergiliran Kesultanan”. Satu generasi adalah sekitar 40 tahun sehingga makna tujuh ganti adalah 280 tahun masa pengkaderan atau persiapan ummat ummat Islam untuk bangkit dan mengusir penjajah dari Eropa. Terbukti sekitar 300 tahun kemudian dari tahun 1650 penjajah belanda angkat kaki dari negeri ini. Kemudian Kesultanan Mataram sebagai pusat komunikasi dari kesultanan lain di rumpun melayu diberi batas amanah sampai ke 9 kepemimpinan untuk selanjutnya menegakkan Syariat Islam secara total.

Data mengenai ulama yang hadir antara lain 40 ulama Malaka yang berangkat dari Johor, utusan Mataram Raden Seto dan Raden Khatib dan beberapa utusan lain dari Pagaruyung dan beberapa dari wilayah Rumou Melayu lainnya. Lokasi Mudzakarah Ulama ini adalah di Dusun Perdipe (Para Dipo; para penghulu agama)

Referensi

Catatan kaki

Daftar pustaka

  • Zulyani, Hidayah (April 2015). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (edisi ke-2). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm. 470. ISBN 978-979-461-929-2.