Lompat ke isi

Haji wadak

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Haji wadak (bahasa Arab: حجة الوداع) atau haji perpisahan merupakan haji terakhir bagi Nabi Muhammad saw. yang dilaksanakan pada bulan Zulhijah 10 Hijriah (632 Masehi). Umat muslim mematuhi setiap gerakan, tindakan, dan gerak-gerik Nabi Muhammad saw. pada ketika itu, dan setiap perbuatan yang dilakukan olehnya menjadi contoh untuk selama-lamanya bagi muslim di seluruh dunia.

Sejarah

Waktu pelaksanaan

Perselisihan pendapat

Ada sementara kalangan yang menyebut bahwa Allah mewajibkan haji pada tahun ke-10, ke-9, ke-6 Hijriah dan ada juga yang menyatakan bahwa haji telah diwajibkan sebelum Rasulullah berhijrah. Pernyataan-pernyataan ini jelas janggal dan aneh.[1] Ibnu Qayyim[2] menyatakan, berdasarkan bukti-bukti yang kuat dan dapat dipercaya, haji diwajibkan pada tahun ke-10 Hijriah. Inilah yang sesuai dengan ajaran Rasulullah agar manusia tidak menunda-nunda suatu kewajiban. Terkait dengan kewajiban haji ini, Allah berfirman, "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, (yaitu) bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah."[3] Padahal ayat ini turun pada akhir tahun ke-9 Hijriah.

Haji Pertama dan Terakhir

Di dalam catatan sejarah disebutkan bahwa Rasulullah sendiri tidak pernah melakukan haji dari Madinah, kecuali yang beliau lakukan pada tahun ke-10 Hijriah. Haji ini kemudian dikenal dengan nama haji balâgh (haji penyampaian dakwah Allah), haji Islam (haji penyerahan diri), dan haji wada' (haji perpisahan). Pasalnya, haji ini adalah haji terakhir Rasulullah bersama kaum muslimin. Sesudah itu, beliau tidak pernah berhaji lagi. Disebut sebagai haji balâgh karena pada saat itu Rasulullah menyampaikan ajaran Allah berupa diwajibkannya haji kepada seluruh umat manusia, baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan. Bahkan, tidak ada satu pun unsur dan nilai ajaran Islam, kecuali beliau telah menjelaskannya secara terperinci. Ketika beliau tengah menerangkan masalah haji kepada seluruh muslimin yang hadir di padang Arafah, Allah menurunkan ayat,(لْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا) ۚ "Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai islam itu jadi agama bagimu."[4][5]

Semangat haji

Ketika Rasulullah mengumumkan keinginan kuat beliau untuk melaksanakan haji, tepatnya pada tahun ke-10 Hijriah, banyak sekali orang yang datang ke Madinah. Mereka semua ingin menyempurnakan keislaman mereka dengan melaksanakan rukun Islam yang kelima dan melakukan apapun yang dilakukan oleh Rasulullah.[6]

Rasulullah keluar dari Madinah pada tanggal 5 Zulkaidah. Baik di perjalanan pergi maupun pulang dari haji, terjadi berbagai peristiwa.[7] Perjalanan beliau ini telah memberi inspirasi kepada para ulama fikih sehingga tercipta bab-bab fikih ibadah di mana para ulama, baik ulama terdahulu maupun kontemporer, mengajinya secara khusus. Mereka membuat bab haji secara tersendiri di dalam kitab-kitab yang mereka tulis.[8]

Khotbah Perpisahan

Di bab-bab fikih ibadah, semua orang akan dengan mudah menemukan bagaimana tata cara haji dan hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah itu. Di samping itu, seseorang juga akan dengan mudah menemukan berbagai wasiat Rasulullah untuk umat beliau. Salah satu khotbah haji paling masyhur yang disampaikan oleh Rasulullah adalah khotbah beliau di tengah lautan manusia yang tengah berhaji ketika mereka melalui hari-hari Tasyrik. Salah satu ucapan beliau adalah, "Sesungguhnya darah dan harta kalian adalah suci, sama seperti sucinya hari yang kalian jalani ini, pada bulan ini, di negeri kalian ini. Ingatlah bahwa segala sesuatu yang terjadi pada masa Jahiliah dan disaksikan oleh kedua mata kakiku ini telah dihapuskan.

Bahwa darah yang tertumpah pada masa Jahiliah, semuanya telah dihapuskan. Darah pertama dari sekian banyak darah kita yang telah kuhapuskan adalah darah Ibnu Rabi'ah ibn Harits. Pada saat itu, Ibnu Rabi'ah disusui di tempat Bani Sa'ad, kemudian dibunuh oleh Hudzail.

Bahwa riba yang dijalankan pada masa Jahiliah telah dihapuskan. Dan praktik riba yang pertama kali dihapuskan adalah riba yang terjadi di antara kita, riba yang dilakukan oleh Abbas ibn Abdul Muththalib. Maka, sesungguhnya seluruh riba yang telah dilakukan olehnya telah dihapuskan.

Takutlah kalian kepada Allah dalam soal perempuan. Sesungguhnya kalian telah mengambil mereka sebagai amanah dari Allah dan menghalalkan kehormatan mereka dengan mengatasnamakan Allah. Hak kalian atas mereka adalah bahwa mereka tidak mengizinkan seseorang yang tidak kalian sukai menginjakkan kakinya di lantai kalian. Jika mereka tetap melakukannya (melanggar perintah suami dengan memasukkan orang lain ke tempat tidur), pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membahayakan. Dan hak mereka atas kalian adalah memberikan nafkah dan pakaian dengan cara yang baik.

Dan sesungguhnya telah kutinggalkan untuk kalian sesuatu yang jika kalian berpegang teguh kepadanya, niscaya kalian tidak akan sesat selama-lamanya. Sesuatu itu adalah Kitab Allah.

Apabila pada hari kemudian aku mempertanyakan semua itu kepada kalian, apa jawaban kalian?

Mereka (kaum muslimin yang mengikuti haji pada tahun itu) berkata, "Kami bersaksi bahwa sesungguhnya Anda benar-benar telah menyampaikan ajaran-ajaran Tuhan Anda, melaksanakannya, dan menasihatkan-nya kepada umat Anda. Anda telah menjalankan segala sesuatu yang ada pada Anda."

Rasulullah berkata, "Ya Allah, saksikanlah."

Beliau mengucapkan kata-kata tersebut sebanyak tiga kali.[9]

Kemudian, di sela-sela khotbahnya Rasulullah berkata, "... celakalah kalian, perhatikanlah oleh kalian, janganlah kalian kembali kepada kekufuran sepeninggalku, di mana kalian menghancurkan dan memerangi satu sama lain."[10]

Beliau berkata pula, "Sesungguhnya setan sudah kehilangan harapan untuk dapat disembah di bumi kalian ini. Akan tetapi, ia punya kesempatan untuk dipertuan manusia dalam berbagai hal selain itu, dan semuanya bersumber dari perbuatan kalian. Oleh karena itu, berhati-hatilah, saudara-saudara.

Sesungguhnya aku telah meninggalkan sesuatu. Seandainya kalian berpegang teguh padanya, niscaya kalian tidak akan tersesat selamanya. Sesuatu itu adalah Kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya.

Sesungguhnya setiap muslim adalah saudara bagi setiap muslim lainnya. Seluruh muslimin adalah bersaudara. Oleh sebab itu, tidak diperbolehkan bagi siapapun untuk mengambil harta saudaranya, kecuali sesuatu yang diberikan atas kebaikan hatinya...[11]

Dalam khotbah tersebut, beliau juga menyampaikan pesan pesan sebagai berikut:

  1. ''Hai sekalian manusia dengarkan perkataanku ini. Sebab saya tidak tahu, barang kali kita tidak berjumpa lagi pada tahun depan seperti ini''.
  2. Sesama muslim diharamkan saling menumpahkan darah, mengambil harta, dan melaksanakan segala macam riba.
  3. Tuhan hanya satu.
  4. Asal kejadian manusia juga satu yaitu Adam.
  5. Tidak ada kelebihan antara bangsa Arab dengan yang lainnya, yang membedakan hanyalah takwa di hadapan Allah Swt.

Analisis

Hikmah dari haji wada

1. Rasulullah ingin mengajarkan kepada umatnya tentang tata cara melaksanakan haji yang diajarkan oleh Islam setelah diharamkannya beberapa unsur jahiliah, seperti berdesak-desakan, bersiul-siul, dan bertelanjang saat melakukan tawaf setelah dibersihkannya semua berhala yang ada di Ka'bah.

2. Ada beberapa hal yang dilakukan Rasulullah dalam haji wada' ini:

A. Rasulullah ingin bertemu dengan seluruh muslimin yang datang kepada beliau dari berbagai penjuru.

B. Menyampaikan kepada mereka berbagai ajaran dan prinsip Islam dengan kalimat yang singkat dan padat.

C. Menganjurkan kepada kaum muslimin untuk menyampaikan semua hal yang telah beliau sampaikan kepada siapa saja yang belum mendengarnya, di mana pun mereka berada, hingga datangnya hari kiamat kelak.

D. Tujuan Rasulullah melaksanakan ibadah haji adalah juga untuk memberikan contoh praktis kepada seluruh umat manusia tentang tata cara menjalankan rukun Islam yang kelima. Karena itu, khotbah beliau pada haji ini banyak menerangkan tentang hukum-hukum haji dan beberapa prinsip dan ajaran dasar Islam.

Hukum-hukum

Adapun hadis terpenting yang menjelaskan tentang hukum-hukum haji yang dilakukan oleh Rasulullah dan wasiat beliau saat itu adalah yang bersumber dari Jabir dan diriwayatkan oleh Muslim. Tentang hal ini, An-Nawawi mengatakan, "Hadis ini penting dan memuat berbagai ajaran dan prinsip dasar Islam yang sangat urgen. Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim sendirian, sebab al-Bukhari tidak meriwayatkan-nya di kitab Shaḥîḥ-nya. Selain Muslim, ada satu perawi lain yang juga meriwayatkan hadis tersebut, yakni Abu Daud. Akan tetapi, hadis yang diriwayatkan-nya sama persis seperti yang diriwayatkan oleh Muslim."

Qadhi Iyadh berkata, "Banyak orang yang mengatakan bahwa riwayat itu sarat dengan hukum-hukum fikih. Bahkan Abu Bakar ibn Mundzir menulis satu bab yang cukup panjang untuk menjelaskan 150 hukum yang bisa disarikan dari peristiwa haji wada' ini..."

Al-Albani[12] telah meringkas hukum-hukum fikih dari haji wada' Rasulullah menjadi 72 pokok permasalahan.

Salah satu kitab penting yang berhubungan dengan haji wada adalah Zâd al-Ma'âd,[13] di mana Syu'aib al-Arnauth dan Abdul Qadir al-Arnauth menyebutkan banyak hikmah dan pelajaran dari peristiwa ini.

Prinsip dasar

Beberapa prinsip ajaran Islam yang ditegaskan dan diwasiatkan Rasulullah kepada umatnya saat itu adalah sebagai berikut.

  1. Pengumuman tentang hak-hak asasi seorang Muslim, bahwa jiwa, darah, harta, dan kehormatan seorang muslim adalah suci.[14]
  2. Pemberitahuan tentang diharamkannya kezaliman, riba, dan seluruh tradisi jahiliah yang membahayakan.[15]
  3. Pengumuman tentang hak-hak asasi kaum perempuan dan perintah untuk mengakui keberadaan perempuan secara baik-baik. Di samping itu, juga ada penjelasan tentang hak-hak suami yang harus dipenuhi oleh istrinya.[16]
  4. Pemberitahuan tentang diharamkannya mewasiatkan harta pusaka kepada ahli waris. Disebutkan juga beberapa hukum harta pusaka sebagaimana yang termaktub di dalam Alquran.[17]
  5. Pemberitahuan tentang diharamkannya mengadopsi anak angkat dan memperlakukannya seperti anak sendiri atau menisbatkan nama anak tersebut kepada si pengasuh (tabanni). Hal ini juga merupakan isyarat diharamkannya penisbatan nama seorang anak kepada seseorang yang bukan ayah kandungnya sendiri.[18]
  6. Penentuan bahwa nasab seorang anak hasil zina mengikuti orang yang berada di atas kasur kelahirannya (suami sah ibunya). Adapun pezina atau orang yang menzinai ibu si anak harus dihukum rajam dan tidak berhak mengakuinya sebagai anak.[19]
  7. Pemberitahuan kepada seluruh umat Islam bahwa seorang muslim adalah orang yang mampu menjaga lisan dan tangannya dari perbuatan yang tidak menyenangkan muslim lainnya. Seorang mukmin adalah orang yang dapat memegang amanat dalam menjaga harta dan jiwa muslimin lainnya. Orang yang berhijrah adalah orang-orang yang berusaha menjauhkan dirinya dari berbagai kesalahan dan dosa, sedangkan mujahidin adalah orang yang membimbing jiwanya dengan berusaha sekuat tenaga untuk taat kepada Allah,[20] menjalankan amanat yang diberikan kepadanya, kemudian menyampaikan amanat itu kepada orang yang dituju.[21]
  8. Peringatan bagi seluruh umat Islam untuk tidak berbohong dan menuduh Rasulullah pernah berbuat dusta. Untuk itu, beliau bersabda, "Barangsiapa mendustakan aku, niscaya ia akan kekal di tempatnya di neraka."
  9. Wasiat bagi seluruh umat Islam agar berpegang teguh kepada Alquran dan sunah. Rasulullah bersabda, "Dan aku telah meninggalkan sesuatu, yang jika kalian berpegang teguh padanya, niscaya kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitab Allah dan sunah Rasul-Nya."[22]
  10. Pesan bahwa seluruh muslim adalah bersaudara. Oleh karena itu, Rasulullah mengajarkan kepada setiap muslim untuk tidak mengambil harta muslim lainnya, kecuali dengan cara yang baik.[23]
  11. Perintah kepada umat Islam untuk selalu tunduk dan patuh kepada pemimpinnya, apapun ras, warna kulit, atau kedudukan sosialnya. Tentunya selama para pemimpin tersebut berjalan pada koridor yang telah ditetapkan oleh ajaran Allah (Alquran).[24]
  12. Anjuran agar kita senantiasa berlomba-lomba hanya dalam ketakwaan dan bukan dalam kemaksiatan.[25]
  13. Pesan agar kita berlemah-lembut kepada orang-orang yang lemah.[26]
  14. Pesan bahwa ada tiga hal yang dapat menjauhkan hati manusia dari sifat dendam dan dengki, yakni ikhlas dalam beramal (berbuat hanya karena Allah), mengikuti nasihat pemimpin, dan terus merapatkan diri dengan barisan kaum muslimin.[27]

Catatan kaki

  1. ^ Ibnu Katsir, 5, hlm. 123
  2. ^ Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (1986), 3, hlm. 595.
  3. ^ Alquran, s. 3, a. 97.
  4. ^ Alquran, s. 5, a. 3.
  5. ^ Ibnu Hajar (1978), 16, hlm. 235; Al-Bukhari, no. 4407; Ibnu Katsir, 5, hlm. 123.
  6. ^ Muslim (1980), 2, hlm. 887, no. 1218.
  7. ^ Ibnu Katsir, 5, hh. 223-233.
  8. ^ Di antara ulama salaf yang berkonsentrasi pada soal ini adalah Ibnu Hazm, sedangkan dari ulama khalaf adalah al-Albani, Muhammad Zakariya, atau Dr. Faruq Hamadah, yang menulis tentang hal ini dengan judul al-Washiyyah an-Nabawiyyah li al-Ummah al-Islâmiyyah. Apabila kita mengumpulkan berbagai tema tentang soal ini dari beragam materi kajian; baik dari kajian sastra, hadis, ataupun sîrah, kita akan menemukan 38 materi. Setelah itu, materi-materi itu dianalisis, di-takhrîj, dan dikukuhkan; apakah ia memiliki landasan dasar dari Alquran dan hadis atau tidak. Proses itu dilakukan menggunakan metode kritik hadis (jarḥ wa at-ta'dîl) yang biasa dan sudah dipercaya oleh para ulama salaf. Tentu saja semuanya memerlukan kehati-hatian karena berhubungan dengan masalah agama.
  9. ^ Muslim (1980), 2, hh. 889-890, no. 1218, yang diambil dari hadis Jabir yang cukup panjang dan terkenal. Hadis tersebut menggambarkan tentang kondisi haji Wada' pada tahun itu.
  10. ^ Ibnu Hajar (1978), 16, hlm. 133; Al-Bukhari, no. 4403; Muslim (1980), 1, hlm. 82, no. 65-66. Selain itu, Anda juga dapat melihat hukum-hukum yang berhubungan dengan haji pada saat haji Wada' di kitab Al-Bukhari, Kitab 64 al-Maghâzî, Bab "Ḥujjat al-Wadâ'", di sejumlah bab yang berlainan; Muslim (1980), 2, hlm. 834, no. 1017, kitab al-Ḥajj, juga pada bab-bab yang beragam; As-Sa'ati, 12, hh. 210-212, yang diambil dari riwayat mu'allaq milik Ibnu Ishaq (Ibnu Hisyam (1988), 4, hh. 333-337); Al-Baihaqi (1985), 5, hh. 432-452; Ibnu Qayyim (1986), 2, hh. 101-116; dan kitab-kitab lain, baik yang datang dari para ulama terdahulu maupun para ulama kontemporer yang telah saya sebutkan.
  11. ^ Diambil dari riwayat Al-Baihaqi, 5, hlm. 449; Al-Hakim, 1, hlm. 93, yang diambil dari hadis Ibnu Abbas, kemudian sebagiannya diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (1965), 3, hlm.54, kitab at-Tafsîr, Bab "Wa Min Sûrah at-Taubah", no. 3295. Riwayat ini ditulis secara ringkas dan dinilai sahih oleh al-Albani. Riwayat yang diambil dari hadis Amr ibn Ahwash dinilai ḥasan oleh al-Albani. Hadis ini juga dinisbatkan kepada Ibnu Majah (1975), hadis no. 1851; As-Sa'ati, 21, hlm. 280. Dalam proses takhrîj yang dilakukan olehnya, as-Sa'ati berkata, "Hadis ini disebutkan oleh Ibnu Katsir di at-Târîkh. Hadisnya ia sebutkan secara keseluruhan, kemudian dinisbatkan kepada Ahmad. Setelah itu, ia berkata, 'Sebagian hadis tersebut diriwayatkan oleh Abu Daud, juga oleh para ulama hadis di kitab-kitab mereka. Akan teapi, hadis-hadis itu diriwayatkan secara terputus dan, dalam beberapa bab, secara terpisah. Akan tetapi, hadis ini datang dari jalur periwayatan di tingkatan sahih. Wallâhu a'lam'." Selain itu, Anda juga dapat melihatnya di Al-Haitsami (1979), no. 1524.
  12. ^ Al-Albani meringkas hukum-hukum yang lahir selama berlangsungnya haji Wada'. Hukum-hukum tersebut diambil dari hadits Jabir r.a., Al-Albani (1985), hlm. 94-100.
  13. ^ Ibnu Qayyim (1986), 2, hh. 101-324.
  14. ^ Muslim (1980), hlm. 889, no. 1218, yang diambil dari hadis Jabir yang cukup panjang. Hadis tersebut menjelaskan tentang perjalanan Rasulullah ketika melaksanakan haji Wada' dan yang lain.
  15. ^ Muslim, loc. cit.
  16. ^ Muslim; Abu Daud (1969), 3, hlm. 824, kitab al-Buyû' wa al-Ijârât, Bab "Fî Tadhmîn al-'Âriyah", no. 3565; At-Tirmidzi (1965), 3, hlm.54, kitab at-Tafsîr, Bab "Wa Min Sûrah at-Taubah", no. 3295. Kemudian hadis tersebut diringkas dan dinilai ḥasan oleh al-Albani; Ibnu Majah (1975), 2, kitab at-Tijârât, hadis no. 2295; Ash-Shan'ani (1972), 9, hlm. 48, no. 16308; Ibnu Hanbal (1978), 5, hlm. 267.
  17. ^ Ash-Shan'ani (1972), 9, hlm. 48, no. 16308; Ibnu Hanbal (1978), 5, hlm. 267; Abu Daud (1969), 3, hlm. 824, kitab al-Buyû' wa al-Ijârât, Bab "Fî Tadhmîn al-'Âriyah", no. 3565.
  18. ^ Ibid.; Abu Daud (1969), 5, hlm. 339, kitab al-Adâb, no. 5115; Ibnu Majah (1975), no. 2712.
  19. ^ Op. cit.
  20. ^ Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (Al-Haitsami (n.d.), hlm. 25) dengan jalur periwayatan yang para perawinya berada di tingkatan tsiqah.
  21. ^ Ibnu Hanbal (1978), 5, hlm. 73; Al-Haitsami (1979), 2, hlm. 34, yang di jalur periwayatannya terdapat Musa ibn Ubaid ar-Randi, padahal ar-Randi adalah seorang perawi yang dinilai dha'îf.
  22. ^ Ibnu Majah (1975), no. 3057. Ia berkata di az-Zawâ`id, "Jalur periwayatan hadis ini berada di tingkatan sahih." Anda juga dapat melihatnya di Ibnu Hanbal (1978), 5, hlm. 412.
  23. ^ At-Tirmidzi (1965), 3, hlm.54, kitab at-Tafsîr, Bab "Wa Min Sûrah at-Taubah", diringkas oleh Syaikh al-Albani, no. 3295. Hadisnya diambil dari Amr ibn Ahwash, kemudian dinilai ḥasan oleh al-Albani. Anda juga dapat melihatnya di Al-Hakim, 1, hlm. 93; Ibnu Hanbal (1978), 3, hlm. 423.
  24. ^ Muslim (1980), 2, hlm. 944, no. 1298.
  25. ^ Al-Haitsami (1967), 3, hlm. 372. Al Haitsami berkata, "Hadis ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani di kitab al-Kabr dengan beragam jalur periwayatan. Jalur periwayatan yag dipakai di sini berada di tingkatan dha'îf, tetapi sebelumnya telah tertulis sebuah riwayat tentang khutbah Rasulullah pada hari Arafah yang memiliki tingkat sahih." Untuk lebih jelasnya, Anda dapat memeriksa Jam'u al-Fawâ`id, 1, hlm. 510, yang mengomentari teks hadis di atas. Adapun teks hadis yang dimaksud adalah, "Sesungguhnya ayah kalian satu, dan sesungguhnya agama kalian satu. Ayah kalian adalah Adam, dan Adam hanyalah manusia yang tercipta dari debu." Hadis tersebut diriwayatkan oleh al-Bazzar, dan para perawinya berada di tingkatan sahih. Demikian termaktub di Kasyf al-Astâr, 2, hlm. 435.
  26. ^ Ibnu Hanbal (1978), 4, hlm. 35. Di al-Ishâbah, 3, hlm. 653, Ibnu Hajar berkata, "Hadis tersebut diriwayatkan oleh al-Baghawi, Ibnu Syahin, Ibnu Sakan, Ibnu Mundih, al-Azadi, dan yang lain. Adapun jalur periwayatannya berada di tingkatan shaih."
  27. ^ Ibnu Hanbal (1978), 4, hh. 80, 82; Ad-Darimi (n.d.), hh. 231, 233-234; Ibnu Majah (1975), no. 3056; Ath-Thabrani (1977), 2, hh. 130-131; Al-Hakim, 1, hlm. 87; Al-Mundziri (n.d.), , 1, hlm. 109. Al-Mundziri menilai riwayat tersebut sebagai ḥasan.

Daftar pustaka

  • Alquran. 
  • Abu Daud, Sulaiman ibn al-Asy'as as-Sajistani (1969). Ubaid ad-Du'as, ed. Al-Marâsil (dalam bahasa bahasa Arab). Damaskus: Nasyr wa Tauzi' Muhammad Ali as-Sayyid. 
  • Ad-Darimi, Abu Muhammad Abdullah ibn Abdirrahman ibn al-Fadhl (n.d.). Sunan ad-Dârimî (dalam bahasa bahasa Arab). Kairo: Dar Ihya` as-Sunnah an-Nabawiyyah. 
  • Al-Albani, Muhammad Nashiruddin (1985). Ḥujjat an-Nabîy (dalam bahasa bahasa Arab). Beirut: Al-Maktab al-Islami. 
  • Al-Baihaqi, Ahmad ibn al-Husain ibn Ali (1985). Abdul Mu'thi Qal'ah Ji, ed. Dalâ`il an-Nubuwwah wa Ma'rifât Aḥwâl Shâḥîb asy-Syarî'ah (dalam bahasa bahasa Arab). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. 
  • Al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad ibn Isma'il. Shaḥîḥ al-Bukhârî (dalam bahasa bahasa Arab). 
  • Al-Haitsami, Abu Bakar Nuruddin Ali ibn Abi Bakar ibn Sulaiman (1979). Kasyf al-Astâr 'an Zawâ`id al-Bazzâr (dalam bahasa bahasa Arab). Beirut: Mu`assasah ar-Risalah. 
  • Al-Haitsami, Abu Bakar Nuruddin Ali ibn Abi Bakar ibn Sulaiman (n.d.). Muhammad ibn Abdirrazaq Hamzah, ed. Mawârid azh-Zham`ân ilâ Zawâ`id Ibnu Ḥibbân (dalam bahasa bahasa Arab). Beirut: Dar Maktabah al-Hilal. 
  • Al-Hakim, Abu Abdullah Muhammad ibn Abdillah ibn Muhammad an-Nisaburi. Al-Mustadrak 'alâ ash-Shaḥîḥain (dalam bahasa bahasa Arab). Riyadh: Maktabah wa Mathabi' an-Nashr al-Haditsah. 
  • Al-Mundziri, Abdul Azhîm ibn Abdil Qawî ibn Abdillâh Abu Muhammad Zakiyuddîn (n.d.). Ibrahim Syamsuddin, ed. At-Targhîb wa at-Tarhîb min al-Ḥadîts asy-Syarîf (dalam bahasa bahasa Arab). Beirut. 
  • As-Sa'ati, Ahmad ibn Abdirrahman al-Banna. Al-Fatḥ ar-Rabbânî li Tartîb Musnad Aḥmad ibn Ḥanbal asy-Syaibânî Ma'a Bulûgh al-Amâni fî Asrâr al-Fatḥ ar-Rabbânî (dalam bahasa bahasa Arab). Kairo: Dar asy-Syihab. 
  • Ash-Shan'ani, Abdurrazaq ibn Himam ibn Nafi' Abu Bakar. (1972). Habiburrahman al-Uzhma, ed. Al-Mushannaf (dalam bahasa bahasa Arab). Beirut: Al-Maktab al-Islami. 
  • At-Tirmidzi, Muhammad ibn Isa ibn Surah (1965). Izzat Ubaid ad-Du'as, ed. Sunan at-Tirmîdzî (dalam bahasa bahasa Arab). Hamash: Dar Makabah Dar ad-Da'wah. 
  • Ath-Thabrani, Abu al-Qasim Sulaiman ibn Ahmad (1977). Hamdi Abdul Majid as-Salafi, ed. Al-Mu'jam al-Kabîr (dalam bahasa bahasa Arab). Baghdad: Wizarah al-Auqaf al-Iraqiyyah Ihya` at-Turats al-Arabi. 
  • Ibnu Hajar, Ahmad ibn Ali ibn Muhammad al-Kanani (1978). Fatḥ al-Bâri Syarḥ Shaḥîḥ al-Bukhârî (dalam bahasa bahasa Arab). Kairo: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyyah. 
  • Ibnu Hisyam, Abu Muhammad Abdul Malik ibn Hisyam ibn Ayyub al-Himyari (1988). Muhammad Himam Abdurrahim Sa'id; Muhammad Abdullah Abu Sha'ilik, ed. As-Sîrah an-Nabawiyyah (dalam bahasa bahasa Arab). Jordania: Maktabah al-Manar. 
  • Ibnu Katsir, Abu al-Fida Isma'il ibn Umar al-Quraisyi. Muhammad Abdul Aziz an-Najjar, ed. Al-Bidâyah wa an-Nihâyah (dalam bahasa bahasa Arab). Kairo: Mathba'ah al-Fujalah al-Jadidah. 
  • Ibnu Majah, Abu Abdullah Muhammad ib Yazid al-Qazwaini (1975). Muhammad Fuad Abdul Baqi, ed. Sunan Ibnu Mâjah (dalam bahasa bahasa Arab). Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi. 
  • Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Abu Abdillah Muhammad ibn Abi Bakar (1986). Syu'aib al-Arnauth dan Abdul Qadir al-Arnauth, ed. Zâd al-Ma'âd fî Hadyi Khair al-'Ibâd (dalam bahasa bahasa Arab). Beirut: Mu`assasah ar-Risalah. 
  • Muslim, Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Nisaburi (1980). Muhammad Fuad Abdul Baqi, ed. Shaḥîḥ Muslim (dalam bahasa bahasa Arab). Riyadh: Ri'asah Idarat al-Buhuts al-Ilmiyyah wa al-Ifta' wa ad-Da'wah wa al-Irsyad. 

Pranala luar