Orang Tionghoa-Indonesia
Artikel harus menyertakan terjemahan dari frasa dalam bahasa non-Indonesia yang terkandung didalam artikel ini dengan menggunakan {{lang}}, {{transliteration}} untuk alih-bahasa, dan {{IPA}} untuk transkripsi IPA. Lihat kode ISO 639 untuk bantuan parameter. |
Jumlah populasi | |
---|---|
2.832.510 (2010)[1]
1.2% dari populasi Indonesia | |
Daerah dengan populasi signifikan | |
Serta populasi diaspora yang besar di: Malaysia[2] Singapura[2] Australia[3][4] Taiwan[5] Belanda Hong Kong Amerika Serikat | |
Bahasa | |
| |
Agama | |
[6]
| |
Kelompok etnik terkait | |
Tionghoa Perantauan |
Orang Tionghoa-Indonesia[catatan 1] adalah salah sebuah kelompok masyarakat di Indonesia[7] yang asal-usul leluhur mereka berasal dari Tiongkok. Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya.
Asal kata
Wilayah pemukiman yang penduduknya mayoritas orang Tionghoa lazim disebut Pecinan (dalam bahasa Inggris konsep yang setara adalah "Chinatown", dan dalam Tionghoa modern disebut Tángrén Jiē, alias Jalan Tenglang.[8][9]
Populasi di Indonesia
Berdasarkan Volkstelling (sensus) pada masa Hindia Belanda, populasi Tionghoa-Indonesia mencapai 1.233.000 (2,03%) dari penduduk Indonesia pada tahun 1930.[10] Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun ahli antropologi Amerika, G.W. Skinner, dalam risetnya pernah memperkirakan populasi masyarakat Tionghoa di Indonesia mencapai 2.505.000 (2,5%) pada tahun 1961.[11]
Dalam sensus penduduk pada tahun 2000, ketika untuk pertama kalinya responden sensus ditanyai mengenai asal etnis mereka, hanya 1% atau 1.739.000 jiwa yang mengaku sebagai Tionghoa. Definisi "etnis" yang dipakai BPS didasarkan atas pengakuan orang yang disensus. Atas dasar ini, jumlah ini dapat dianggap sebagai batas bawah ("lowerbound") karena banyak warga Tionghoa yang enggan mengaku sebagai "Tionghoa" dalam sensus. Perkiraan kasar yang dipercaya mengenai jumlah suku Tionghoa-Indonesia saat ini ialah berada di antara kisaran 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia.[12]
Menurut Perpustakaan Universitas Ohio, jumlah suku Tionghoa di Indonesia mencapai 7.310.000 jiwa. Jumlah ini merupakan yang terbesar di luar Cina[13] Sedangkan pada tahun 2006 jumlah etnis Tionghoa di Indonesia mencapai 7.670.000.[14] Poston, Dudley; Wong, Juyin (2016) memperkirakan populasi Tionghoa Indonesia mencapai lebih dari 8.010.720 jiwa.[15]
Sejarah
Masa-masa awal
Orang dari Cina daratan telah ribuan tahun mengunjungi dan mendiami kepulauan Nusantara.
Beberapa catatan tertua ditulis oleh para agamawan, seperti Fa Hien pada abad ke-4 dan I Ching pada abad ke-7. Fa Hien melaporkan suatu kerajaan di Jawa ("To lo mo") dan I Ching ingin datang ke India untuk mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sanskerta. Di Jawa ia berguru pada seseorang bernama Jñânabhadra.
Dengan berkembangnya kerajaan-kerajaan di Nusantara, para imigran Cina pun mulai berdatangan, terutama untuk kepentingan perdagangan. Pada prasasti-prasasti dari Jawa orang Tionghoa disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap di samping nama-nama sukubangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anakbenua India. Dalam suatu prasasti perunggu bertahun 860 dari Jawa Timur disebut suatu istilah, Juru Cina, yang berkait dengan jabatan pengurus orang-orang Tionghoa yang tinggal di sana. Beberapa motif relief di Candi Sewu diduga juga mendapat pengaruh dari motif-motif kain sutera Cina.[16]
Catatan Ma Huan, ketika turut serta dalam ekspedisi Cheng Ho, menyebut secara jelas bahwa pedagang Tionghoa muslim menghuni ibu kota dan kota-kota bandar Majapahit (abad ke-15) dan membentuk satu dari tiga komponen penduduk kerajaan itu.[17] Ekspedisi Cheng Ho juga meninggalkan jejak di Semarang, ketika orang keduanya, Wang Jinghong, sakit dan memaksa rombongan melepas sauh di Simongan (sekarang bagian dari Kota Semarang). Wang kemudian menetap karena tidak mampu mengikuti ekspedisi selanjutnya. Ia dan pengikutnya menjadi salah satu cikal-bakal warga Tionghoa Semarang. Wang mengabadikan Cheng Ho menjadi sebuah patung (disebut "Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong"), serta membangun kelenteng Sam Po Kong atau Gedung Batu.[18] Di komplek ini Wang juga dikuburkan dan dijuluki "Mbah Jurumudi Dampo Awang".[19]
Sejumlah sejarawan juga menunjukkan bahwa Supadi, pendiri Kesultanan Demak, memiliki darah Cina selain keturunan Majapahit. Beberapa wali penyebar agama Islam di Jawa juga memiliki darah Cina, meskipun mereka memeluk Islam dan tidak lagi secara aktif mempraktikkan kultur Tionghoa.[20]
Kitab Sunda Tina Layang Parahyang menyebutkan kedatangan rombongan Tionghoa ke muara Ci Sadane (sekarang Teluknaga) pada tahun 1407, pada masa daerah itu masih di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda (Pajajaran). Pemimpinnya adalah Halung dan mereka terdampar sebelum mencapai tujuan di Kalapa.
Era kolonial
Pada masa kolonial, Belanda pernah mengangkat beberapa pemimpin komunitas dengan gelar Kapiten Cina, yang diwajibkan setia dan menjadi penghubung antara pemerintah dengan komunitas Tionghoa. Beberapa di antara mereka ternyata juga telah berjasa bagi masyarakat umum, misalnya So Beng Kong dan Phoa Beng Gan yang membangun kanal di Batavia[butuh rujukan]. Di Batavia, Mohamad Djafar menjadi kapten Tionghoa muslim yang terakhir (ke-dua). Di Yogyakarta, Kapiten Tan Djin Sing sempat menjadi Bupati Yogyakarta.[21]
Sebetulnya terdapat juga kelompok Tionghoa yang pernah berjuang melawan Belanda, baik sendiri maupun bersama etnis lain. Bersama Kesultanan Mataram, kelompok Tionghoa berperang melawan VOC tahun 1740-1743 yang disebut dengan peristiwa Perang Kuning.[22] Di Kalimantan Barat, komunitas Tionghoa yang tergabung dalam "Republik" Lanfong[butuh rujukan] berperang dengan pasukan Belanda pada abad XIX.
Dalam perjalanan sejarah pra kemerdekaan, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan, seperti pembantaian di Batavia 1740 dan pembantaian masa perang Jawa 1825–1830. Pembantaian di Batavia tersebut[23][24][2] Diarsipkan 2009-09-21 di Wayback Machine. melahirkan gerakan perlawanan dari etnis Tionghoa yang bergerak di beberapa kota di Jawa Tengah yang dibantu pula oleh etnis Jawa. Pada gilirannya ini mengakibatkan pecahnya kerajaan Mataram. Orang Tionghoa tidak lagi diperbolehkan bermukim di sembarang tempat. Aturan Wijkenstelsel ini menciptakan permukiman etnis Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di Hindia Belanda.
Pendidikan
Kebangkitan nasionalisme di Hindia Belanda tidak terlepas dari perkembangan yang terjadi pada komunitas Tionghoa. Tanggal 17 Maret 1900 terbentuk di Batavia Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang mendirikan sekolah-sekolah, seperti di kota Garut dirintis dan didirikan pada tahun 1907 oleh seorang pengusaha hasil bumi saat itu bernama Lauw O Teng beserta kedua anak lelakinya bernama Lauw Tek Hay dan Lauw Tek Siang,dengan maksud agar orang Tionghoa bisa pintar, (kemudian jumlahnya mencapai 54 buah sekolah dan pada tahun 1908 dan mencapai 450 sekolah tahun 1934). Inisiatif ini diikuti oleh etnis lain, seperti keturunan Arab yang mendirikan Djamiat-ul Chair meniru model THHK. Pada gilirannya hal ini menyadarkan priyayi Jawa tentang pentingnya pendidikan bagi generasi muda sehingga dibentuklah Budi Utomo.
Perekonomian
Target pemerintah kolonial untuk mencegah interaksi pribumi dengan etnis Tionghoa melalui aturan passenstelsel dan Wijkenstelsel itu ternyata menciptakan konsentrasi kegiatan ekonomi orang Tionghoa di perkotaan. Ketika perekonomian dunia beralih ke sektor industri, orang-orang Tionghoa paling siap berusaha dengan spesialisasi usaha makanan-minuman, jamu, peralatan rumah tangga, bahan bangunan, pemintalan, batik, kretek dan transportasi. Tahun 1909 di Buitenzorg (Bogor) Sarekat Dagang Islamiyah didirikan oleh RA Tirtoadisuryo mengikuti model Siang Hwee (kamar dagang orang Tionghoa) yang dibentuk tahun 1906 di Batavia. Bahkan pembentukan Sarekat Islam (SI) di Surakarta tidak terlepas dari pengaruh asosiasi yang lebih dulu dibuat oleh warga Tionghoa. Pendiri SI, Haji Samanhudi, pada mulanya adalah anggota Kong Sing, organisasi paguyuban tolong-menolong orang Tionghoa di Surakarta. Samanhudi juga kemudian membentuk Rekso Rumekso yaitu Kong Sing-nya orang Jawa.
Pergerakan
Pemerintah kolonial Belanda makin khawatir karena Sun Yat Sen memproklamasikan Republik Tiongkok, Januari 1912. Organisasi Tionghoa yang pada mulanya berkecimpung dalam bidang sosial-budaya mulai mengarah kepada politik. Tujuannya menghapuskan perlakukan diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda dalam bidang pendidikan, hukum/peradilan, status sipil, beban pajak, hambatan bergerak dan bertempat tinggal.
Dalam rangka pelaksanaan Politik Etis, pemerintah kolonial berusaha memajukan pendidikan, namun warga Tionghoa tidak diikutkan dalam program tersebut. Padahal orang Tionghoa membayar pajak ganda (pajak penghasilan dan pajak kekayaan). Pajak penghasilan diwajibkan kepada warga pribumi yang bukan petani. Pajak kekayaan (rumah, kuda, kereta, kendaraan bermotor dan peralatan rumah tangga) dikenakan hanya bagi Orang Eropa dan Timur Asing (termasuk orang etnis Tionghoa). Hambatan untuk bergerak dikenakan bagi warga Tionghoa dengan adanya passenstelsel.
Pada waktu terjadinya Sumpah Pemuda, ada beberapa nama dari kelompok Tionghoa sempat hadir, antara lain Kwee Tiam Hong dan tiga pemuda Tionghoa lainnya. Sin Po sebagai koran Melayu Tionghoa juga sangat banyak memberikan sumbangan dalam menyebarkan informasi yang bersifat nasionalis. Pada 1920-an itu, harian Sin Po memelopori penggunaan kata Indonesia bumiputera sebagai pengganti kata Belanda inlander di semua penerbitannya. Langkah ini kemudian diikuti oleh banyak harian lain. Sebagai balas budi, semua pers lokal kemudian mengganti kata "Tjina" dengan kata Tionghoa. Pada 1931 Liem Koen Hian mendirikan PTI, Partai Tionghoa Indonesia (dan bukan Partai Tjina Indonesia).
Masa Revolusi dan Pra Kemerdekaan RI
Pada masa revolusi tahun 1945-an, Mayor John Lie yang menyelundupkan barang-barang ke Singapura untuk kepentingan pembiayaan Republik. Rumah Djiaw Kie Siong di Rengasdengklok, dekat Karawang, diambil-alih oleh Tentara Pembela Tanah Air (PETA), kemudian penghuninya dipindahkan agar Bung Karno dan Bung Hatta dapat beristirahat setelah "disingkirkan" dari Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1945. Di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merumuskan UUD'45 terdapat 4 orang Tionghoa yaitu; Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw, dan di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) terdapat 1 orang Tionghoa yaitu Drs.Yap Tjwan Bing. Liem Koen Hian yang meninggal dalam status sebagai warganegara asing, sesungguhnya ikut merancang UUD 1945. Lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh W.R. Supratman, pun pertama kali dipublikasikan oleh Koran Sin Po.
Dalam perjuangan fisik ada beberapa pejuang dari kalangan Tionghoa, namun nama mereka tidak banyak dicatat dan diberitakan. Salah seorang yang dikenali ialah Tony Wen, yaitu orang yang terlibat dalam penurunan bendera Belanda di Hotel Oranye Surabaya.
Pasca kemerdekaan
Orde Lama
Pada Orde Lama, terdapat beberapa menteri Republik Indonesia dari keturunan Tionghoa seperti Oei Tjoe Tat, Ong Eng Die, Siauw Giok Tjhan, dll. Bahkan Oei Tjoe Tat pernah diangkat sebagai salah satu Tangan Kanan Ir. Soekarno pada masa Kabinet Dwikora. Pada masa ini hubungan Ir. Soekarno dengan beberapa tokoh dari kalangan Tionghoa dapat dikatakan sangat baik. Walau pada Orde Lama terdapat beberapa kebijakan politik yang diskriminatif seperti Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang WNA Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar ibu kota provinsi dan kabupaten. Hal ini menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang dan pada akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun 1965 dan lainnya.
Orde Baru
Selama Orde Baru dilakukan penerapan ketentuan tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, atau yang lebih populer disebut SBKRI, yang utamanya ditujukan kepada warga negara Indonesia (WNI) etnis Tionghoa beserta keturunan-keturunannya. Walaupun ketentuan ini bersifat administratif, secara esensi penerapan SBKRI sama artinya dengan upaya yang menempatkan WNI Tionghoa pada posisi status hukum WNI yang "masih dipertanyakan".
Pada Orde Baru Warga keturunan Tionghoa dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan[butuh rujukan].
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
Pada masa akhir dari Orde Baru, terdapat peristiwa kerusuhan rasial yang merupakan peristiwa terkelam bagi masyarakat Indonesia terutama warga Tionghoa karena kerusuhan tersebut menyebabkan jatuhnya banyak korban bahkan banyak di antara mereka mengalami pelecehan seksual, penjarahan, kekerasan, dan lainnya.
Reformasi
Reformasi yang digulirkan pada 1998 telah banyak menyebabkan perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia. Walau belum 100% perubahan tersebut terjadi, namun hal ini sudah menunjukkan adanya tren perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi terhadap masyarakat Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya, ataupun atraksi Tionghoa dilarang dipertontonkan di depan publik, saat ini telah menjadi pemandangan umum hal tersebut dilakukan. Di Medan, Sumatera Utara, misalnya, adalah hal yang biasa ketika warga Tionghoa menggunakan bahasa Hokkien ataupun memajang aksara Tionghoa di toko atau rumahnya. Selain itu, pada Pemilu 2004 lalu, kandidat presiden dan wakil presiden Megawati-Hasyim Muzadi menggunakan aksara Tionghoa dalam selebaran kampanyenya untuk menarik minat warga Tionghoa.
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Budaya Tionghoa-Indonesia
Bab atau bagian ini tidak memiliki referensi atau sumber tepercaya sehingga isinya tidak bisa dipastikan. |
Bahasa
Empat kelompok utama bahasa Tionghoa di Indonesia adalah Hokkien (Min Selatan; Min Nan), Mandarin, Hakka, dan Kantonis. Selain itu, orang-orang Teochew berbicara dengan bahasa mereka sendiri yang memiliki tingkat pemahaman yang sama dengan Hokkien. Namun, perbedaan antara keduanya menonjol di luar wilayah asalnya. Ada sekitar 2,2 juta penutur asli dari pelbagai varietas bahasa Tionghoa di Indonesia pada tahun 1982: 1.300.000 penutur varietas Min Selatan (termasuk Hokkien dan Teochew); 640.000 penutur bahasa Hakka; 460.000 penutur bahasa Mandarin; 180.000 penutur bahasa Kanton; dan 20.000 penutur dari varietas Timur Min (termasuk bahasa Fuzhou). Selain itu, sekitar 20.000 berbicara dengan dialek bahasa Indonesia yang berbeda.
Busana
Baju Koko
Baju koko merupakan baju model Tiongkok yang kerahnya bulat tertutup, modelnya seperti piyama. Biasanya digunakan oleh Muslim Tionghoa. [butuh rujukan]
Cheongsam
Cheongsam merupakan busana tradisional (perempuan) Tionghoa. Pakaian dicirikan oleh kerah berdiri, membuka sisi kanan, pas pinggang, dan tergelincir bawah, yang sepenuhnya dapat memicu keindahan bentuk tubuh perempuan. Cheongsam berasal dari chèuhngsāam (Hanzi:.. 长衫 / 長衫, 'kemeja panjang / baju').[25]
Seni Pertunjukan
Barongsai
Barongsai adalah tari tradisional Tionghoa dengan menggunakan sarung dan kostum yang menyerupai singa. Kesenian barongsai diperkirakan masuk di Indonesia pada abad-17, ketika terjadi migrasi besar dari Tiongkok Selatan. Pada 1965 kesenian barongsai di Indonesia sempat terhenti akibat situasi politik dan adanya pelarangan kebudayaan Tionghoa di Indonesia. Meski saat itu barongsai tidak diizinkan dimainkan, namun ada satu tempat yang bisa menampilkan kesenian budaya barongsai secara besar-besaran, yakni di Kota Semarang, tepatnya di panggung besar Kelenteng Sam Poo Kong atau dikenal juga dengan Kelenteng Gedong Batu. Barongsai di Indonesia kemudian mengalami masa marak ketika masih adanya perkumpulan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang mempopulerkan seni barongsai. Pada 9 Agustus 2012 di Jakarta, telah berdiri FOBI (Federasi Olahraga Barongsai Indonesia) yang menjadi wadah dari olahraga barongsai di Indonesia. FOBI akhirnya resmi masuk KONI pada 11 Juni 2013. Barongsai pun kini tidak hanya dimainkan oleh etnis Tionghoa saja, namun juga dimainkan oleh para kaum muda non-Tionghoa.[26]
Liang Liong
Tari Naga (karakter sederhana: 舞龙; karakter tradisional: 舞龍; pinyin: wǔ lóng) atau disebut juga Liang Liong di Indonesia. Tarian ini sering tampil pada waktu perayaan-perayaan tertentu. Orang Tionghoa sering menggunakan istilah 'Keturunan Naga'(龍的傳人 atau 龙的传人, lóng de chuán rén) sebagai suatu simbol identitas etnis. Dalam tarian ini, satu regu orang Tionghoa memainkan naga-nagaan yang diusung dengan belasan tongkat atau lebih. Penari terdepan mengangkat, menganggukkan, menyorongkan dan mengibas-kibaskan kepala naga-nagaan tersebut yang merupakan bagian dari gerakan tarian yang diarahkan oleh salah seorang penari.
Wayang Potehi
Wayang Potehi merupakan salah satu jenis wayang khas Tionghoa yang berasal dari Tiongkok bagian selatan. Kesenian ini dibawa oleh perantau etnis Tionghoa ke berbagai wilayah Nusantara pada masa lampau dan telah menjadi salah satu jenis kesenian tradisional Indonesia. Potehi berasal dari kata pou 布 (kain), te 袋 (kantong), dan hi 戯 (wayang). Wayang Potehi adalah wayang boneka yang terbuat dari kain. Sang dalang akan memasukkan tangan mereka ke dalam kain tersebut dan memainkannya layaknya wayang jenis lain. Kesenian ini sudah berumur sekitar 3.000 tahun dan berasal dari Tiongkok.
Wushu
Wushu (武術 atau 武术; Hanzi: wǔshù) secara harafiah berarti "seni bertempur/bela diri". Ini juga merupakan istilah lain dari kungfu yang lebih dahulu populer, yang berarti "ahli" dalam bidang tertentu. Kata Wushu berasal dari dua kata yaitu “Wu” dan “Shu”. Arti dari kata “Wu” adalah ilmu perang, sedangkan arti kata “Shu” adalah seni. Sehingga Wushu bisa juga diartikan sebagai seni untuk berperang atau seni beladiri (Martial Art). Wushu juga mempelajari seni, olahraga, kesehatan, pengobatan, beladiri, pernapasan, pikiran dan mental. Semua aliran kung fu atau seni bela diri yang berasal dari China tradisional, baik keras atau lembut dapat disebut Wushu. Wushu keras termasuk tinju selatan Nanquan dan tinju panjang Changquan. Wushu lembut termasuk tinju Taiji, Telapak Baguazhang, dan tinju xingyiquan. Adapun seni beladiri Wushu yang telah dikembangkan oleh orang-orang etnis Tionghoa yang menetap di wilayah Asia Tenggara (terutama Indonesia) sering kali disebut dengan istilah Kuntao.[27]
Festival
Festival Qingming
Festival Qingming 清明節 merupakan ritual tahunan etnis Tionghoa untuk bersembahyang dan ziarah kubur sesuai dengan ajaran Khong Hu Cu. Festival tradisional Tionghoa ini dilaksanakan pada hari ke-104 setelah titik balik Matahari di musim dingin (atau hari ke-15 pada hari persamaan panjang siang dan malam di musim semi), pada umumnya dirayakan pada tanggal 5 April atau 4 April pada tahun kabisat. Festival ini masih sering dirayakan di Kepulauan Bangka Belitung.
Imlek
Imlek merupakan perayaan terpenting orang Tionghoa. Perayaan Tahun Baru Imlek dimulai pada hari pertama bulan pertama (Tionghoa: 正月; Pinyin: zhēng yuè) di tarikh Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh 十五暝 元宵節 pada tanggal kelima belas (pada saat bulan purnama). Malam tahun baru Imlek dikenal sebagai Chúxī 除夕 yang berarti "malam pergantian tahun". Perayaan ini dirayakan dengan kumpul keluarga, jamuan besar, berdoa, penyalaan lampion dan penyulutan kembang api.
Lihat pula
- Tiongkok
- Daftar tokoh Tionghoa-Indonesia
- Marga Tionghoa
- Orang Peranakan
- Persatuan Islam Tionghoa Indonesia
- Pecinan
- Peraturan terhadap orang Tionghoa di Indonesia
- Persekutuan Gereja-gereja Tionghoa Indonesia
- Tionghoa
- Masakan Tionghoa-Indonesia
- Tionghoa Padang
Catatan
- ^ Biasanya juga disebut sebagai Tenglang (Hokkien: Tn̂g-lâng), Tengnang (Tiochiu), Thong ngin (Hakka), Tonning (Fuqing), Tòhng yàn (bahasa Kantonis). Dalam bahasa Mandarin mereka disebut Tangren (Hanzi: 唐人, "orang Tang") atau lazim disebut Huaren (Hanzi Tradisional: 華人 ; Hanzi Sederhana: 华人). Istilah Tangren berasal dari nama Dinasti Tang, sementara istilah orang Han (Hanzi Tradisional: 漢人, Hanzi Sederhana: 汉人, Hanyu Pinyin: Hànrén, "orang Han") berasal dari nama Dinasti Han. Slang bahasa Inggris: Chindo; singkatan dari bahasa Inggris: Chinese Indonesian (Post, The Jakarta. "Why it's important to talk about Chinese-Indonesians or Chindos". The Jakarta Post (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-12-09.)
Referensi
- ^ "Chinese Diaspora".
- ^ a b Thomas Fuller (12 December 1998). "Indonesia's Ethnic Chinese Find a Haven For Now, But Their Future Is Uncertain: Malaysia's Wary Welcome". The New York Times. Diakses tanggal 5 Februari 2022.
- ^ Stephen Gapps. "A Complicated Journey: Chinese, Indonesian, and Australian Family Histories". Australian National Maritime Museum. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 May 2018. Diakses tanggal 5 Februari 2022.
- ^ Terri McCormack (2008). "Indonesians". Dictionary of Sydney. Diakses tanggal 5 Februari 2022.
- ^ "Statistics" (dalam bahasa Tionghoa). National Immigration Agency, ROC. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-01-18. Diakses tanggal 5 Februari 2022.
- ^ Siagian, Oscar (2017-10-26). "WNI Keturunan Tionghoa Bisa 'Lebih Indonesia Dibanding Suku Bangsa Lain'". BBC.com. Diakses tanggal 2022-02-24.
- ^ sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Trisnanto, AM Adhy (Minggu, 18 Februari 2007), "Etnis Tionghoa Juga Bangsa Indonesia", Suara Merdeka, diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-12-29, diakses tanggal 13 Agustus 2008
- ^ Hoy, William J (1943). "Chinatown derives its own street names". California Folklore Quarterly. 2 (April): 71–75. doi:10.2307/1495551. JSTOR 1495551.
- ^ Yung, Judy and the Chinese Historical Society of America (2006). San Francisco's Chinatown. Arcadia Publishing. ISBN 978-07385-3130-4.
- ^ Vasanty, Puspa (2004). Prof. Dr. Koentjaraningrat, ed. "Kebudayaan Orang Tionghoa Di Indonesia", Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Penerbit Djambatan. hlm. hal. 359. ISBN 979-428-510-2.
- ^ Skinner, G.W. (1963). R.T. McVey, ed. "The Chinese Minority", Indonesia. New Haven, HRAF. hlm. hal. 99.
- ^ Kusno, Malikul (Sabtu, 9 Desember 2006), "UU Kewarganegaraan dan Etnis Tionghoa", Harian Umum Sinar Harapan, diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-06-16, diakses tanggal 18 Agustus 2008
- ^ "Ohio University". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-03-10. Diakses tanggal 2007-02-28.
- ^ "印尼2006 年華人人口統計推估 (Perkiraan Statistik Jumlah Penduduk Tionghoa-Indonesia Tahun 2006)" (PDF). Overseas Compatriot Affairs Commission, R.O.C (Taiwan). Diakses tanggal 2010-05-10.
本會以人口增加率1.38%估計,2006 年印尼華人人口約有767 萬人,約占印尼總人口的3.4%,尚屬合理。
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaPoston and Wong
- ^ Rustopo 2008. Jawa Sejati. Otobiografi Go Tik Swan. Penerbit Ombak Yogyakarta
- ^ Arismunandar A 2007. Kerajaan Majapahit abad XIV dan XV. Artikel pada laman Majapahit Kingdom Diarsipkan 2022-03-12 di Wayback Machine.
- ^ Ada yang berpendapat kelenteng ini dibangun oleh orang dari Tuban, suatu pelabuhan penting di pantai utara Jawa Timur pada masa lalu.[1]
- ^ "Zulkifli AA. Laksamana Cheng Ho pernah singgah di Surabaya". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-07-15. Diakses tanggal 2012-07-15.
- ^ (Indonesia) Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 63. ISBN 9798451163.
- ^ Setiono, Benny G. "Tionghoa Dalam Pusaran Politik", hal. 167, Transmedia
- ^ Fadillah, Arie Sunaryo,Danny Adriadhi Utama ,Ramadhian; Fadillah, Ramadhian; Sunaryo, Arie (24 Januarin 2020). Pratomo, Angga Yudha, ed. "Geger Pecinan, Saat Laskar Tionghoa-Jawa Bersatu Melawan VOC". Merdeka.com. Diakses tanggal 15 Januari 2022.
- ^ http://home.iae.nl/users/arcengel/NedIndie/chinezenengels.htm
- ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-28. Diakses tanggal 2006-11-13.
- ^ Teniwut, Meilani (2023-01-13). "Model Baju Changsan untuk Perayaan Imlek Tahun 2023". mediaindonesia.com. Diakses tanggal 2023-01-15.
- ^ Indonesia, INI BARU (ALE/SA) (2018-02-16). "Barongsai di Indonesia, Dulu dan Kini". INI BARU Indonesia. Inibaru.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-11-20.
- ^ "Sejarah Wushu, Dari Tes Masuk Militer Hingga Cabang Olahraga". kumparan. kumparanSPORT.
Bacaan lanjutan
- T'ien Ju-k'ang. The Chinese of Sarawak, L. S. E. Monographs on Social Anthropology, No. 12, London (London School of Economics, Department of Anthropology), 1953.
- Willmott, Donald Earl. The Chinese of Semarang: A Changing Minority in Indonesia, Ithaca (Cornell University Press), 1960.
- (Indonesia) Sejarah Keturunan Tionghoa yang Terlupakan Diarsipkan 2007-01-07 di Wayback Machine.
Pranala luar
Pranala luar pada artikel ini mungkin tidak sesuai dengan kebijakan atau pedoman Wikipedia. Bantulah memperbaiki artikel ini dengan membuang pranala luar yang berlebihan dan tidak sesuai. |
- (Indonesia) Forum Diskusi Budaya Tionghoa dan Sejarah Tiongkok
- (Indonesia) Budaya, Sejarah & Tradisi Tionghoa
- (Indonesia) Budaya Tionghoa Diarsipkan 2010-12-29 di Wayback Machine.
- (Indonesia) Seputar Info Tradisi dan Budaya Tionghoa