Dalam artikel ini, Tuhan (dengan T besar) merujuk pada Tuhan monoteisme, manakala tuhan (dengan t kecil) merujuk pada Tuhan/Dewa semua kepercayaan secara umum.
Ateisme sebagai pandangan filosofi adalah posisi yang tidak mempercayai keberadaan Tuhan dan dewa-dewi[1] ataupun penolakan terhadap teisme[2]. Dalam pengertian yang paling luas, ia adalah ketiadaan kepercayaan pada keberadaan dewa atau Tuhan.[3]
Istilah ateisme berasal dari Bahasa Yunani ἄθεος (atheos), yang secara peyoratif digunakan untuk merujuk pada siapapun yang kepercayaannya bertentangan dengan agama/kepercayaan yang sudah mapan di lingkungannya. Dengan menyebarnya pemikiran bebas, skeptisme ilmiah, dan kritik terhadap agama, istilah ateis mulai dispesifikasi untuk merujuk kepada mereka yang tidak percaya kepada tuhan. Orang yang pertama kali mengaku sebagai "ateis" muncul pada abad ke-18. Pada zaman sekarang, sekitar 2,3% populasi dunia mengaku sebagai ateis, manakala 11,9% mengaku sebagai nonteis.[4] Sekitar 65% orang Jepang mengaku sebagai ateis, agnostik, ataupun orang yang tak beragama; dan sekitar 48%-nya di Rusia.[5] Persentase komunitas tersebut di Uni Eropa berkisar antara 6% (Italia) sampai dengan 85% (Swedia).[5]
Banyak ateis bersikap skeptis kepada keberadaan fenomena paranormal karena kurangnya bukti empiris. Yang lain memberikan argumen dengan dasar filosofis, sosial, atau sejarah.
Pada kebudayaan Barat, ateis seringkali diasumsikan sebagai tak beragama (ireligius).[6] Namun beberapa sistem kepercayaan keagamaan dan spiritual seperti agama BuddhaTheravada tidak memiliki kepercayaan terhadap tuhan, dan agama tersebut juga disebut sebagai ateistik.[7] Walaupun banyak dari yang mendefinisikan dirinya sebagai ateis cenderung kepada filosofi sekuler seperti humanisme[8], rasionalisme, dan naturalisme[9], tidak ada ideologi atau perilaku spesifik yang dijunjung oleh semua ateis.[10]
Asal Istilah
Pada zaman Yunani kuno, kata sifat atheos (ἄθεος, berasal dari awalan ἀ- + θεός "tuhan") berarti "tak bertuhan". Kata ini mulai merujuk pada penolakan tuhan yang disengajakan dan aktif pada abad ke-5 SM, dengan definisi "memutuskan hubungan dengan tuhan/dewa" atau "menolak tuhan/dewa". Terjemahan modern pada teks-teks klasik kadang-kadang menerjemahkan atheossebagai "ateistik". Sebagai nomina abstrak, terdapat pula ἀθεότης (atheotēs), yang berarti "ateisme". Cicero mentransliterasi kata Yunani tersebut ke dalam bahasa Latinatheos. Istilah ini sering digunakan pada perdebatan antara umat Kristen awal dengan para pengikut agama Yunani kuno (Helenis), yang mana masing-masing pihak menyebut satu sama lainnya sebagai ateis secara peyoratif.[11]
Ateisme pertama kali digunakan untuk merujuk pada "kepercayaan tersendiri" pada akhir abad ke-18 di Eropa, utamanya merujuk pada ketidakpercayaan pada Tuhan monoteis.[12] Pada abad ke-20, globalisasi memperluas definisi istilah ini untuk merujuk pada "ketidakpercayaan pada semua tuhan/dewa", walaupun adalah masih umum untuk merujuk ateisme sebagai "ketidakpercayaan pada Tuhan (monoteis)".[13] Akhir-akhir ini, terdapat suatu desakan di dalam kelompok filosofi tertentu untuk mendefinisikan ulang ateisme sebagai "ketiadaan kepercayaan pada dewa/dewi", daripada ateisme sebagai kepercayaan itu sendiri. Definisi ini sangat populer di antara komunitas ateis, walaupun penggunaannya masih sangat terbatas.[13][14][15]
Definisi dan Pembedaan
Para penulis berbeda-beda dalam mendefinisikan dan mengklasifikasi ateisme[16], yakni apakah ateisme merupakan suatu kepercayaan tersendiri ataukah hanyalah ketiadaan pada kepercayaan, dan apakah ateisme memerlukan penolakan yang secara sadar dan eksplisit dilakukan. Berbagai kategori telah diajukan untuk mencoba membedakan jenis-jenis bentuk ateisme.
Ruang lingkup
Beberapa ambiguitas dan kontroversi yang terlibat dalam pendefinisian ateisme terletak pada sulitnya mencapai konsensus dalam mendefinisikan kata-kata seperti dewa dan tuhan. Pluralitas dalam konsep ketuhanan dan dewa menyebabkan perbedaan pemikiran akan penerapan kata ateisme. Dalam konteks di mana teisme didefinisikan sebagai kepercayaan pada Tuhan monoteis, orang-orang yang percaya pada dewa-dewi lainnya akan diklasifikasikan sebagai ateis. Sebaliknya pula, orang-orang Romawi kuno juga menuduh umat Kristen sebagai ateis karena tidak menyembah dewa-dewi paganisme. Pada abad ke-20, pandangan ini mulai ditinggalkan seiring dengan dianggapnya teisme meliputi keseluruhan kepercayaan pada dewa/tuhan.[17]
Bergantung pada apa yang para ateis tolak, penolakan ateisme dapat berkisar dari penolakan akan keberadaan tuhan/dewa sampai dengan keberadaan konsep-konsep spiritual dan paranormal seperti yang ada pada agama Hindu dan Buddha.[18]
Implisit dan eksplisit
Definisi ateisme juga bervariasi dalam halnya sejauh mana seseorang harus mengambil posisi mengenai gagasan keberadaan tuhan untuk dianggap sebagai ateis. Ateisme kadang-kadang didefinisikan secara luas untuk meliputi ketiadaan kepercayaan akan keberadaan tuhan/dewa. Definisi yang luas ini akan memasukkan orang-orang yang tidak memiliki konsep teisme sebagai ateis. Pada tahun 1772, Baron d'Holbach mengatakan bahwa "Semua anak-anak dilahirkan sebagai ateis, karena mereka tidak tahu akan Tuhan."[19]George H. Smith (1979) juga mensugestikan bahwa: "Orang yang tidak kenal dengan teisme adalah ateis karena ia tidak percaya pada tuhan. Kategori ini juga akan memasukkan anak dengan kapasitas konseptual untuk mengerti isu-isu yang terlibat, tapi masih tidak sadar akan isu-isu tersebut (sebagai ateis). Fakta bahwa anak ini tidak percaya pada tuhan membuatnya pantas disebut ateis."[20] Smith menciptakan istilah ateisme implisit untuk merujuk pada "ketiadaan kepercayaan teistik tanpa penolakan yang secara sadar dilakukan" dan ateisme eksplisit untuk merujuk pada definisi ketidakpercayaan yang dilakukan secara sadar.
Dalam kebudayaan Barat, pandangan bahwa anak-anak dilahirkan sebagai ateis merupakan pemikiran yang baru. Sebelum abad ke-18, keberadaan Tuhan diterima secara sangat luas sedemikiannya keberadaan ateisme yang benar-benar tidak percaya akan Tuhan itu dipertanyakan keberadaannya. Hal ini disebut theistic innatism (pembawaan lahir teistik), yakni suatu nosi bahwa semua orang percaya pada Tuhan dari lahir. Pandangan ini memiliki konotasi bahwa para ateis hanyalah menyangkal diri sendiri.[21] Terdapat pula sebuah posisi yang mengklaim bahwa ateis akan dengan cepat percaya pada Tuhan pada saat krisis, bahwa ateis percaya pada tuhan pada saat meninggal dunia, ataupun bahwa "tidak ada ateis dalam lubang perlindungan perang (no atheists in foxholes)."[22] Beberapa pendukung pandangan ini mengklaim bahwa keuntungan antropologis agama membuat manusia dapat mengatasi keadaan susah lebih baik (cf.opium of the people Karl Marx, Contribution to the Critique
of Hegel's Philosophy of Right, Deutsch-Französische Jahrbücher
February, 1844). Beberapa ateis menitikberatkan fakta bahwa terdapat banyak contoh yang membuktikan sebaliknya, di antaranya contoh-contoh "ateis yang benar-benar berada di lubang perlindungan perang."[23]
Kuat dan lemah
Para filsuf seperti Antony Flew[24], Michael Martin[13], dan William L. Rowe[25] membedakan antara ateisme kuat (positif) dengan ateisme lemah (negatif). Ateisme kuat adalah penegasan bahwa tuhan tidak ada, sedangkan ateisme lemah meliputi seluruh bentuk ajaran nonteisme lainnya. Menurut kategorisasi ini, siapapun yang bukan teis dapatlah ateis yang lemah ataupun kuat.[26] Istilah lemah dan kuat ini merupakan istilah baru; namun istilah yang setara seperti ateisme negatif dan positif telah digunakan dalam berbagai literatur-literatur filosofi[24] dan apologetika Katolik (dalam artian yang sedikit berbeda).[27] Menggunakan batasan ateisme ini, kebanyakan agnostik adalah ateis lemah.
Manakala Martin, menegaskan bahwa agnostisisme memiliki bawaan ateisme lemah,[13] kebanyakan agnostik memandang pandangan mereka berbeda dari ateisme, yang mereka liat ateisme sama saja tidak benarnya dengan teisme.[28] Ketidaktercapaian pengetahuan yang diperlukan untuk membuktikan atau membantah keberadaan tuhan/dewa kadang-kadang dilihat sebagai indikasi bahwa ateisme memerlukan sebuah lompatan kepercayaan. Respon ateis terhadap argumen ini adalah bahwa dalil-dalil keagamaan yang tak terbukti seharusnyalah pantas mendapatkan ketidakpercayaan yang sama sebagaimana ketidakpercayaan pada dalil-dalil tak terbukti lainnya,[29] dan bahwa ketidakterbuktian keberadaan tuhan tidak mengimplikasikan bahwa probabilitas keberadaan tuhan sama dengan probabilitas ketiadaan tuhan.[30] Filsuf Skotlandia J. J. C. Smart bahkan berargumen bahwa "kadang-kadang seseorang yang benar-benar ateis dapat menyebut dirinya sebagai seorang agnostik karena generalisasi skeptisisme filosofis tak beralasan yang akan menghalangi kita dari berkata kita tahu apapun, kecuali mungkin kebenaran matematika dan logika formal."[31] Karenanya, beberapa penulis ateis populer seperti Richard Dawkins memilih untuk membedakan posisi teis, agnostik, dan ateis sebagai spektrum probabilitas terhadap pernyataan "Tuhan ada" (spektrum probabilitas teistik).[32]
Dasar pemikiran
Batasan dasar pemikiran ateistik yang paling luas adalah antara ateisme praktis dengan ateisme teoritis. Bentuk-bentuk ateisme teoritis yang berbeda-beda berasal dari argumen filosofis dan dasar pemikiran yang berbeda-beda pula. Sebaliknya, ateisme praktis tidaklah memerlukan argumen yang spesifik dan dapat meliputi pengabaian dan ketidaktahuan akan pemikiran tentang tuhan/dewa.
Ateisme praktis
Dalam ateisme praktis atau pragmatis, yang juga dikenal sebagai apateisme, individu hidup tanpa tuhan dan menjelaskan fenomena alam tanpa menggunakan alasan paranormal. Menurut pandangan ini, keberadaan tuhan tidaklah disangkal, namun dapat dianggap sebagai tidak penting dan tidak berguna; tuhan tidaklah memberikan kita tujuan hidup, ataupun mempengaruhi kehidupan sehari-hari kita.[34] Salah satu bentuk ateisme praktis dengan implikasinya dalam komunitas ilmiah adalah naturalisme metodologis, yaitu pengambilan asumsi naturalisme filosofis dalam metode ilmiah yang tidak diucapkan dengan ataupun tanpa secara penuh menerima atau mempercayainya."[35]
Ateisme praktis dapat berupa:
Ketiadaan motivasi religius, yakni kepercayaan pada tuhan tidak memotivasi tindakan moral, religi, ataupun bentuk-bentuk tindakan lainnya;
Pengesampingan masalah tuhan dan religi secara aktif dari penelusuran intelek dan tindakan praktis;
Pengabaian, yakni ketiadaan ketertarikan apapun pada permasalahan tuhan dan agama; dan
Ateisme teoritis secara eksplisit memberikan argumen menentang keberadaan tuhan, dan secara aktif merespon kepada argumen teistik mengenai keberadaan tuhan, seperti misalnya argumen dari rancangan dan taruhan Pascal. Terdapat berbagai alasan-alasan teoritis untuk menolak keberadaan tuhan , utamanya secara ontologis, gnoseologis, dan epistemologis. Selain itu terdapat pula alasan psikologis dan sosiologis.
Argumen epistemologis dan ontologis
Ateisme epistemologis berargumen bahwa orang tidak dapat mengetahui Tuhan ataupun menentukan keberadaan Tuhan. Dasar epistemologis ateisme adalah agnostisisme. Dalam filosofi imanensi, ketuhanan tidak dapat dipisahkan dari dunia itu sendiri, termasuk pula pikiran seseorang, dan kesadaran tiap-tiap orang terkunci pada subjek. Menurut bentuk agnostisisme ini, keterbatasan pada perspektif ini menghalangi kesimpulan objektif apapun mengenai kepercayaan pada tuhan dan keberadaannya. Agnostisisme rasionalistikKant dan Pencerahan hanya menerima ilmu yang dideduksi dari rasionalitas manusia. Bentuk ateisme ini memiliki posisi bahwa tuhan tidak dapat dilihat sebagai suatu materi secara prinsipnya, sehingga tidak dapat diketahui apakah ia ada atau tidak. Skeptisisme, yang didasarkan pada pemikiran Hume, menegaskan bahwa kepastian akan segala sesuatunya adalah tidak mungkin, sehingga seseorang tidak akan pernah mengetahui keberadaan tentang Tuhan. Alokasi agnostisisme terhadap ateisme adalah dipertentangkan; ia juga dapat dianggap sebagai pandangan dunia dasar yang independen.[34]
Argumen lainnya yang mendukung ateisme yang dapat diklasifikasikan sebagai epistemologis ataupun ontologis meliputi positivisme logis dan ignostisisme, yang menegaskan ketidakberartian ataupun ketidakterpahaman istilah-istilah dasar seperti "Tuhan" dan pernyataan seperti "Tuhan adalah mahakuasa." Nonkognitivisme teologis memiliki posisi bahwa pernyataan "Tuhan ada" bukanlah suatu dalil, namun adalah omong kosong ataupun secara kognitif tidak berarti.
Ateisme metafisik didasarkan pada monisme metafisika, yakni pandangan bahwa realitas adalah homogen dan tidak dapat dibagi. Ateis metafisik absolut termasuk ke dalam beberapa bentuk fisikalisme, sehingga secara eksplisit menolak keberadaan makhluk-makhluk halus. Ateis metafisik relatif menolak secara implisit konsep-konsep ketuhanan tertentu didasarkan pada ketidakkongruenan antara filosofi dasar mereka dengan sifat-sifat yang biasanya ditujukan kepada tuhan, misalnya transendensi, sifat-sifat personal, dan keesaan tuhan. Contoh-contoh ateisme metafisik relatif meliputi panteisme, panenteisme, dan deisme.[37]
Argumen psikologis, sosiologis, dan ekonomi
Para filsuf seperti Ludwig Feuerbach[39] dan Sigmund Freud berargumen bahwa Tuhan dan kepercayaan keagamaan lainnya hanyalah ciptaan manusia, yang diciptakan untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan psikologis dan emosi manusia. Hal ini juga merupakan pandangan banyak Buddhis.[40]Karl Marx dan Friedrich Engels, dipengaruhi oleh karya Feuerbach, berargumen bahwa kepercayaan pada Tuhan dan agama adalah fungsi sosial, yang digunakan oleh penguasa untuk menekan kelas pekerja. Menurut Mikhail Bakunin, "pemikiran akan Tuhan mengimplikasikan turunnya derajat akal manusia dan keadilan; ia merupakan negasi kebebasan manusia yang paling tegas, dan seperlunya akan berakhir pada perbudakan umat manusia, dalam teori dan prakteknya." Ia membalikkan aforisme Voltaire yang terkenal yang berbunyi jika "Tuhan tidak ada, maka adalah perlu untuk menciptakanNya", dengan menulis: "Jika Tuhan benar-benar ada, maka adalah perlu untuk menghapusnya."[41]
Argumen logis dan berdasarkan bukti
Ateisme logis memiliki posisi bahwa berbagai konsep ketuhanan, seperti tuhan personal dalam kekristenan, dianggap secara logis tidak konsisten. Para ateis ini memberikan argumen deduktif yang menentang keberadaan Tuhan, yang menegaskan ketidakcocokan antara sifat-sifat tertentu Tuhan, misalnya kesempurnaan, status pencipta, kekekalan, kemahakuasaan, kemahatahuan, kemahabelaskasihan, transendensi, kemahaadilan, dan kemahapengampunan Tuhan.[42]
Ateis teodisi percaya bahwa dunia ini tidak dapat dicocokkan dengan sifat-sifat yang terdapat pada Tuhan dan dewa-dewi sebagaimana yang diberikan oleh para teolog. Mereka berargumen bahwa kemahatahuan, kemahakuasaan, dan kemahabelaskasihan Tuhan tidaklah cocok dengan dunia yang penuh dengan kejahatan dan penderitaan, dan di mana welas kasih tuhan/dewa adalah tidak dapat dilihat oleh banyak orang.[43] Argumen yang sama juga diberikan oleh Siddhartha Gautama, pendiri Agama Buddha.[44]
Ateisme aksiologis atau konstruktif menolak keberadaan tuhan, dan sebaliknya menerima keberadaan "kemutlakan yang lebih tinggi" seperti kemanusiaan. Ateisme dalam bentuk ini menganggap kemanusiaan sebagai sumber mutlak etika dan nilai-nilai, dan mengijinkan individu untuk menyelesaikan permasalahan moral tanpa bergantung pada Tuhan. Marx, Nietzsche, Freud, dan Sartre semuanya menggunakan argumen ini untuk menyebarkan pesar-pesan kebebasan, Übermensch, dan kebahagiaan tanpa kekangan.[34]
Salah satu kritik yang paling umum terhadap ateisme adalah bahwa menolak keberadaan Tuhan akan membawa pada relativisme moral, menyebabkan seseorang tidak bermoral ataupun tidak memiliki dasar etika,[45] atau membuat hidup tidak berarti dan menyedihkan.[46]Blaise Pascal memaparkan argumen ini pada tahun 1669.[47]
Demografi
Adalah sulit untuk menghitung jumlah ateis di dunia. Para responden survei dapat mendefinisikan "ateisme" secara berbeda-beda ataupun menarik garis batas yang berbeda antara ateisme, kepercayaan non-religius, dan kepercayaan religius non-teis dan spiritual.[50] Selain itu, masyarakat di beberapa belahan dunia enggan melaporkan dirinya sebagai ateis untuk menghindari stigma sosial, diskriminasi, dan penganiayaan. Survei tahun 2005 yang dipublikasi dalam Encyclopædia Britannica menunjukkan bahwa kelompok non-religius mencapai sekitar 11,9% populasi dunia, dan ateis sekitar 2,3%. Jumlah ini tidak termasuk orang-orang yang memeluk agama ateistik, seperti agama Buddha.[4] Survei November-Desember 2006 yang dilakukan di Amerika Serikat dan lima negara Eropa, dan dipublikasi di Financial Times menunjukkan bahwa orang Amerika (73%) cenderung lebih percaya kepada tuhan/dewa atau makhluk tertinggi dalam bentuk apapun daripada orang Eropa. Di antara orang dewasa Eropa yang disurvei, orang Italia adalah yang paling banyak percaya (62%) dan orang Perancis adalah yang paling rendah (27%). Di Perancis, 32% mengaku dirinya sebagai ateis, dan 32% lainnya mengaku sebagai agnostik.[51] Survei resmi Uni Eropa memberikan hasil-hasil berikut: 18% populasi Uni Eropa tidak percaya pada tuhan; 27% yakin akan keberadaan beberapa "makhluk harus atau roh", manakala 52% percaya pada tuhan-tuhan tertentu. Proporsi orang yang percaya naik menjadi 65% pada orang-orang yang putus sekolah pada usia 15; responden survei yang menganggap dirinya berasal dari latar belakang keluarga yang keras juga lebih cenderung percaya pada tuhan daripada yang merasa dirinya tumbuh di lingkungan tanpa aturan yang keras.[52]
Sebuah surat yang dipublikasi di Nature pada tahun 1998 melaporkan sebuah survei bahwa kepercayaan pada tuhan personal ataupun kehidupan setelah mati berada dalam posisi terendah di antara para anggota Akademi Sains Nasional AS, hanya 7,0% anggota yang percaya pada tuhan personal, dibandingkan dengan lebih dari 85% masyarakat AS secara umumnya.[53] Pada tahun yang sama pula, Frank Sulloway dari Massachusetts Institute of Technology dan Michael Shermer dari California State University melakukan sebuah kajian yang menemukan bahwa pada sampel survei mereka yang terdiri dari orang dewasa AS yang "dipercayai" (12% Ph.D dan 62% lulusan perguruan tinggi), 64%-nya percaya pada Tuhan, dan terdapat sebuah korelasi yang mengindikasikan menurunnya tingkat kepercayaan seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan.[54]
Korelasi yang berbanding terbalik antara keimanan dengan kecerdasan juga telah ditemukan pada 39 kajian yang dilakukan antara tahun 1927 sampai dengan tahun 2002, menurut sebuah artikel dalam Majalah Mensa.[55] Penemuan ini secara luas sesuai dengan meta-analisis statistis tahun 1958 yang dilakukan oleh Profesor Michael Argyle dari Universitas Oxford. Ia menganalisa tujuh kajian riset yang telah menginvestigasi korelasi antara sikap terhadap agama dengan pengukuran inteligensi pada pelajar-pelajar sekolah dan perguruan tinggi AS. Walaupun korelasi negatif ditemukan dengan jelas, analisis ini tidak mengidentifikasi sebab musababnya, namun menilai bahwa faktor-faktor seperti latar belakang keluarga yang otoriter dan kelas sosial mungkin memainkan sebagian peran penting.[56]
Pada sensus pemerintah Australia pada tahun 2006, pada pertanyaan yang menanyakan Apakah agama anda? Dari keseluruhan populasi, 18,7% mencentang kotak tak beragama ataupun menulis sebuah respon yang diklasifikasikan sebagai non-religius (humanisme, agnostik, ateis). Pertanyaan ini bersifat sukarela dan 11,2% tidak menjawab pertanyaan ini.[57] Pada sensus Selandia Baru 2006 yang menanyakan Apakah agama anda?, 34,7% mengindikasikan tidak beragama, 12,2% tidak merespon ataupun keberatan untuk menjawab pertanyaan tersebut.[58]
Ateisme, agama, dan moralitas
Walaupun orang yang mengaku sebagai ateis biasanya diasumsikan tak beragama, beberapa sekte agama tertentu pula ada yang menolak keberadaan dewa pencipta yang personal.[59] Pada akhir-akhir ini, aliran-aliran keagamaan tertentu juga telah menarik banyak penganut yang secara terbuka ateis, seperti misalnya Yahudi ateis atau Yahudi humanis[60][61] dan Kristen ateis.[62][63][64]
Dikarenakan artian paling kaku ateisme positif tidak memerlukan kepercayaan spesifik apapun diluar ketidakpercayaan pada dewa/tuhan, ateis dapat memiliki kepercayaan spiritual apapun. Untuk alasan yang sama pula, para ateis dapat berpegang pada berbagai kepercayaan etis, mulai dari universalisme moralhumanisme, yang berpandangan bahwa nilai-nilai moral haruslah diterapkan secara konsisten kepada seluruh manusia, sampai dengan nihilisme moral, yang berpendapat bahwa moralitas adalah hal yang tak berarti.[65]
Walaupun ia merupakan kebenaran filosofis, yang secara ringkas dipaparkan dalam karya Plato dilema Euthyphro bahwa peran tuhan dalam menentukan yang benar dari yang salah adalah tidak diperlukan maupun adalah sewenang-wenang, argumen bahwa moralitas haruslah diturunkan dari Tuhan dan tidak dapat ada tanpa pencipta yang bijak telah menjadi isu-isu yang terus menerus muncul dalam debat politik.[66][67][68] Persepsi moral seperti "membunuh adalah salah" dilihat sebagai hukum Tuhan, yang memerlukan pembuat hukum dan hakim. Namun, banyak ateis yang berargumen bahwa memperlakukan moralitas secara legalistik adalah analogi salah, dan bahwa moralitas tidak seperlunya memerlukan seorang pencipta hukum sama halnya hukum itu sendiri.[69]
Filsuf Susan Neiman[70] dan Julian Baggini[71] menegaskan bahwa perilaku etis yang dilakukan hanya karena mandat Yang Di atas bukanlah perlaku etis yang sebenarnya, melainkan hanyalah kepatuhan buta. Baggini berargumen bahwa ateisme merupakan dasar etika yang lebih superior, dan mengklaim bahwa dasar moral di luar perintah agama adalah diperlukan untuk mengevaluasi moralitas perintah itu sendiri. Sebagai contoh, perintah "anda haruslah mencuri" adalah amoral bahkan jika suatu agama memerintahkannya, sehingga ateis memiliki keuntungan untuk dapat lebih melakukan evaluasi tersebut daripada umat beragama yang mematuhi perintah agamanya sendiri.[72] Filsuf politik kontemporer Britania Martin Cohen menawarkan contoh historis perintah Alkitab yang menganjurkan penyiksaan dan perbudakan sebagai bukti bahwa perintah-perintah religius mengikuti norma-norma sosial dan politik, dan bukannya norma-norma sosial dan politik yang mengikuti perintah religius. Namun ia juga mencatat bahwa kecenderungan yang sama jugalah terjadi pada filsuf-filsuf yang tidak memihak dan objektif.[73] Cohen memperluas argumen ini dengan lebih mendetail pada Political Philosophy from Plato to Mao dalam kasus kitab Al-Quran yang ia lihat telah memiliki peran yang disesalkan dalam memelihara kode-kode sosial zaman pertengahan di tengah-tengah perubahan masyarakat sekuler.[74]
Walaupun demikian, para ateis seperti Sam Harris berargumen bahwa kebergantungan agama Barat pada otoritas Yang Di Atas berkontribusi pada otoritarianisme dan dogmatisme.[75] Dan sebenarnya pula, fundamentalisme agama dan agama ekstrinsik (di mana agama dipeluk karena ia lebih menguntungkan[76]) berkorelasi dengan otoritarianise, dogmatisme, dan prasangka.[77] Argumen ini, bersama dengan kejadian-kejadian historis seperti Perang Salib, Inkuisisi, dan penghukuman tukang sihir, sering digunakan oleh para ateis yang antiagama untuk membenarkan pandangan mereka.[78]
Ini adalah artikel yang memenuhi kriteria penghapusan cepat artikel berbahasa asing yang tidak diterjemahkan, dari proyek Wikimedia bernama Tidak ada pranala ke proyek Wikimedia sumber. Lihat KPC A2.%5B%5BWP%3ACSD%23A2%7CA2%5D%5D%3A+Artikel+yang+tidak+diterjemahkanA2
Jika artikel ini tidak memenuhi syarat KPC, atau Anda ingin memperbaikinya, silakan hapus pemberitahuan ini, tetapi tidak dibenarkan menghapus pemberitahuan ini dari halaman yang Anda buat sendiri. Jika Anda membuat halaman ini tetapi Anda tidak setuju, Anda boleh mengeklik tombol di bawah ini dan menjelaskan mengapa Anda tidak setuju halaman itu dihapus. Silakan kunjungi halaman pembicaraan untuk memeriksa jika sudah menerima tanggapan pesan Anda.
Ingat bahwa artikel ini dapat dihapus kapan saja jika sudah tidak diragukan lagi memenuhi kriteria penghapusan cepat, atau penjelasan dikirim ke halaman pembicaraan Anda tidak cukup meyakinkan kami.
Śrīmad Bhāgavatam
Canto 7: The Science of God
Chapter 6: Prahlāda Instructs His Demoniac Schoolmates
This chapter describes Prahlāda Mahārāja's instructions to his class friends. In speaking to his friends, who were all sons of demons, Prahlāda Mahārāja stressed that every living entity, especially in human society, must be interested in spiritual realization from the very beginning of life. When human beings are children, they should be taught that the Supreme Personality of Godhead is the worshipable Deity for everyone. One should not be very much interested in material enjoyment; instead, one should be satisfied with whatever material profits are easily obtainable, and because the duration of one's life is very short, one should utilize every moment for spiritual advancement. One may wrongly think, "In the beginning of our lives let us enjoy material facilities, and in old age we may become Krishna conscious." Such materialistic thoughts are always useless because in old age one cannot be trained in the spiritual way of life. Therefore, from the very beginning of life, one should engage in devotional service (śravanam kīrtanam vishnoh [SB 7.5.23]). This is the duty of all living entities. Material education is infected by the three modes of nature, but spiritual education, for which there is a great need in human society, is transcendental. Prahlāda Mahārāja disclosed the secret of how he had received instructions from Nārada Muni. By accepting the lotus feet of Prahlāda Mahārāja, who is in the paramparā succession, one will be able to understand the mode of spiritual life. In accepting this mode of activity, there is no need for material qualifications.
After Prahlāda Mahārāja's class friends had listened to Prahlāda Mahārāja, they inquired how he had become so learned and advanced. In this way the chapter ends.
SB 7.6.1: Prahlāda Mahārāja said: One who is sufficiently intelligent should use the human form of body from the very beginning of life — in other words, from the tender age of childhood — to practice the activities of devotional service, giving up all other engagements. The human body is most rarely achieved, and although temporary like other bodies, it is meaningful because in human life one can perform devotional service. Even a slight amount of sincere devotional service can give one complete perfection.
SB 7.6.2: The human form of life affords one a chance to return home, back to Godhead. Therefore every living entity, especially in the human form of life, must engage in devotional service to the lotus feet of Lord Vishnu. This devotional service is natural because Lord Vishnu, the Supreme Personality of Godhead, is the most beloved, the master of the soul, and the well-wisher of all other living beings.
SB 7.6.3: Prahlāda Mahārāja continued: My dear friends born of demoniac families, the happiness perceived with reference to the sense objects by contact with the body can be obtained in any form of life, according to one's past fruitive activities. Such happiness is automatically obtained without endeavor, just as we obtain distress.
SB 7.6.4: Endeavors merely for sense gratification or material happiness through economic development are not to be performed, for they result only in a loss of time and energy, with no actual profit. If one's endeavors are directed toward Krishna consciousness, one can surely attain the spiritual platform of self-realization. There is no such benefit from engaging oneself in economic development.
SB 7.6.5: Therefore, while in material existence [bhavam āśritah], a person fully competent to distinguish wrong from right must endeavor to achieve the highest goal of life as long as the body is stout and strong and is not embarrassed by dwindling.
SB 7.6.6: Every human being has a maximum duration of life of one hundred years, but for one who cannot control his senses, half of those years are completely lost because at night he sleeps twelve hours, being covered by ignorance. Therefore such a person has a lifetime of only fifty years.
SB 7.6.7: In the tender age of childhood, when everyone is bewildered, one passes ten years. Similarly, in boyhood, engaged in sporting and playing, one passes another ten years. In this way, twenty years are wasted. Similarly, in old age, when one is an invalid, unable to perform even material activities, one passes another twenty years wastefully.
SB 7.6.8: One whose mind and senses are uncontrolled becomes increasingly attached to family life because of insatiable lusty desires and very strong illusion. In such a madman's life, the remaining years are also wasted because even during those years he cannot engage himself in devotional service.
SB 7.6.9: What person too attached to household life due to being unable to control his senses can liberate himself? An attached householder is bound very strongly by ropes of affection for his family [wife, children and other relatives].
SB 7.6.10: Money is so dear that one conceives of money as being sweeter than honey. Therefore, who can give up the desire to accumulate money, especially in household life? Thieves, professional servants [soldiers] and merchants try to acquire money even by risking their very dear lives.
SB 7.6.11-13: How can a person who is most affectionate to his family, the core of his heart being always filled with their pictures, give up their association? Specifically, a wife is always very kind and sympathetic and always pleases her husband in a solitary place. Who could give up the association of such a dear and affectionate wife? Small children talk in broken language, very pleasing to hear, and their affectionate father always thinks of their sweet words. How could he give up their association? One's elderly parents and one's sons and daughters are also very dear. A daughter is especially dear to her father, and while living at her husband's house she is always in his mind. Who could give up that association? Aside from this, in household affairs there are many decorated items of household furniture, and there are also animals and servants. Who could give up such comforts? The attached householder is like a silkworm, which weaves a cocoon in which it becomes imprisoned, unable to get out. Simply for the satisfaction of two important senses — the genitals and the tongue — one is bound by material conditions. How can one escape?
SB 7.6.14: One who is too attached cannot understand that he is wasting his valuable life for the maintenance of his family. He also fails to understand that the purpose of human life, a life suitable for realization of the Absolute Truth, is being imperceptibly spoiled. However, he is very cleverly attentive to seeing that not a single farthing is lost by mismanagement. Thus although an attached person in material existence always suffers from threefold miseries, he does not develop a distaste for the way of material existence.
SB 7.6.15: If a person too attached to the duties of family maintenance is unable to control his senses, the core of his heart is immersed in how to accumulate money. Although he knows that one who takes the wealth of others will be punished by the law of the government, and by the laws of Yamarāja after death, he continues cheating others to acquire money.
SB 7.6.16: O my friends, sons of demons! In this material world, even those who are apparently advanced in education have the propensity to consider, "This is mine, and that is for others." Thus they are always engaged in providing the necessities of life to their families in a limited conception of family life, just like uneducated cats and dogs. They are unable to take to spiritual knowledge; instead, they are bewildered and overcome by ignorance.
SB 7.6.17-18: My dear friends, O sons of the demons, it is certain that no one bereft of knowledge of the Supreme Personality of Godhead has been able to liberate himself from material bondage at any time or in any country. Rather, those bereft of knowledge of the Lord are bound by the material laws. They are factually addicted to sense gratification, and their target is woman. Indeed, they are actually playthings in the hands of attractive women. Victimized by such a conception of life, they become surrounded by children, grandchildren and great-grandchildren, and thus they are shackled to material bondage. Those who are very much addicted to this conception of life are called demons. Therefore, although you are sons of demons, keep aloof from such persons and take shelter of the Supreme Personality of Godhead, Nārāyana, the origin of all the demigods, because the ultimate goal for the devotees of Nārāyana is liberation from the bondage of material existence.
SB 7.6.19: My dear sons of demons, the Supreme Personality of Godhead, Nārāyana, is the original Supersoul, the father of all living entities. Consequently there are no impediments to pleasing Him or worshiping Him under any conditions, whether one be a child or an old man. The relationship between the living entities and the Supreme Personality of Godhead is always a fact, and therefore there is no difficulty in pleasing the Lord.
SB 7.6.20-23: The Supreme Personality of Godhead, the supreme controller, who is infallible and indefatigable, is present in different forms of life, from the inert living beings [sthāvara], such as the plants, to Brahmā, the foremost created living being. He is also present in the varieties of material creations and in the material elements, the total material energy and the modes of material nature [sattva-guna, rajo-guna and tamo-guna], as well as the unmanifested material nature and the false ego. Although He is one, He is present everywhere, and He is also the transcendental Supersoul, the cause of all causes, who is present as the observer in the cores of the hearts of all living entities. He is indicated as that which is pervaded and as the all-pervading Supersoul, but actually He cannot be indicated. He is changeless and undivided. He is simply perceived as the supreme sac-cid-ānanda [eternity, knowledge and bliss]. Being covered by the curtain of the external energy, to the atheist He appears nonexistent.
SB 7.6.24: Therefore, my dear young friends born of demons, please act in such a way that the Supreme Lord, who is beyond the conception of material knowledge, will be satisfied. Give up your demoniac nature and act without enmity or duality. Show mercy to all living entities by enlightening them in devotional service, thus becoming their well-wishers.
SB 7.6.25: Nothing is unobtainable for devotees who have satisfied the Supreme Personality of Godhead, who is the cause of all causes, the original source of everything. The Lord is the reservoir of unlimited spiritual qualities. For devotees, therefore, who are transcendental to the modes of material nature, what is the use of following the principles of religion, economic development, sense gratification and liberation, which are all automatically obtainable under the influence of the modes of nature? We devotees always glorify the lotus feet of the Lord, and therefore we need not ask for anything in terms of dharma, kāma, artha and moksha.
SB 7.6.26: Religion, economic development and sense gratification — these are described in the Vedas as tri-varga, or three ways to salvation. Within these three categories are education and self-realization; ritualistic ceremonies performed according to Vedic injunction; logic; the science of law and order; and the various means of earning one's livelihood. These are the external subject matters of study in the Vedas, and therefore I consider them material. However, I consider surrender to the lotus feet of Lord Vishnu to be transcendental.
SB 7.6.27: Nārāyana, the Supreme Personality of Godhead, the well-wisher and friend of all living entities, formerly explained this transcendental knowledge to the great saint Nārada. Such knowledge is extremely difficult to understand without the mercy of a saintly person like Nārada, but everyone who has taken shelter of Nārada's disciplic succession can understand this confidential knowledge.
SB 7.6.28: Prahlāda Mahārāja continued: I received this knowledge from the great saint Nārada Muni, who is always engaged in devotional service. This knowledge, which is called bhāgavata-dharma, is fully scientific. It is based on logic and philosophy and is free from all material contamination.
SB 7.6.29-30: The sons of the demons replied: Dear Prahlāda, neither you nor we know any teacher or spiritual master other than Shanda and Amarka, the sons of Śukrācārya. After all, we are children and they our controllers. For you especially, who always remain within the palace, it is very difficult to associate with a great personality. Dear friend, most gentle one, would you kindly explain how it was possible for you to hear Nārada? Kindly dispel our doubts in this regard.
^Theism is used here in its most general sense, that is belief in one or more deities. This would then define atheism as the rejection of belief that any deities exist, regardless of whether the further conclusion is drawn that deities do not exist.
Nielsen, Kai (2009). "Atheism". Encyclopædia Britannica. Diakses tanggal 2007-04-28. "Atheism, in general, the critique and denial of metaphysical beliefs in God or spiritual beings.... a more adequate characterization of atheism consists in the more complex claim that to be an atheist is to be someone who rejects belief in God for [reasons that depend] on how God is being conceived."
Edwards, Paul (1967). "Atheism". The Encyclopedia of Philosophy. Vol. 1. Collier-MacMillan. hlm. 175. On our definition, an 'atheist' is a person who rejects belief in God, regardless of whether or not his reason for the rejection is the claim that 'God exists' expresses a false proposition. People frequently adopt an attitude of rejection toward a position for reasons other than that it is a false proposition. It is common among contemporary philosophers, and indeed it was not uncommon in earlier centuries, to reject positions on the ground that they are meaningless. Sometimes, too, a theory is rejected on such grounds as that it is sterile or redundant or capricious, and there are many other considerations which in certain contexts are generally agreed to constitute good grounds for rejecting an assertion.
Runes, Dagobert D.(editor) (1942 edition). Dictionary of Philosophy. New Jersey: Littlefield, Adams & Co. Philosophical Library. ISBN0064634612. (a) the belief that there is no God; (b) Some philosophers have been called "atheistic" because they have not held to a belief in a personal God. Atheism in this sense means "not theistic". The former meaning of the term is a literal rendering. The latter meaning is a less rigorous use of the term though widely current in the history of thoughtPeriksa nilai tanggal di: |year= (bantuan)Pemeliharaan CS1: Teks tambahan: authors list (link) - entry by Vergilius Ferm
2.3% Atheists: Persons professing atheism, skepticism, disbelief, or irreligion, including the militantly antireligious (opposed to all religion).
11.9% Nonreligious: Persons professing no religion, nonbelievers, agnostics, freethinkers, uninterested, or dereligionized secularists indifferent to all religion but not militantly so.
^Drachmann, A. B. (1977 ("an unchanged reprint of the 1922 edition")). Atheism in Pagan Antiquity. Chicago: Ares Publishers. ISBN0-89005-201-8. Atheism and atheist are words formed from Greek roots and with Greek derivative endings. Nevertheless they are not Greek; their formation is not consonant with Greek usage. In Greek they said atheos and atheotēs; to these the English words ungodly and ungodliness correspond rather closely. In exactly the same way as ungodly, atheos was used as an expression of severe censure and moral condemnation; this use is an old one, and the oldest that can be traced. Not till later do we find it employed to denote a certain philosophical creed.Periksa nilai tanggal di: |year= (bantuan)
^In part because of its wide use in monotheistic Western society, atheism is usually described as "disbelief in God", rather than more generally as "disbelief in deities". A clear distinction is rarely drawn in modern writings between these two definitions, but some archaic uses of atheism encompassed only disbelief in the singular God, not in polytheistic deities. It is on this basis that the obsolete term adevism was coined in the late 19th century to describe an absence of belief in plural deities. Britannica (1911). "Atheonism". Encyclopædia Britannica (edisi ke-11th Edition).Pemeliharaan CS1: Teks tambahan (link)
^Cudworth, Ralph (1678). The True Intellectual System of the Universe: the first part, wherein all the reason and philosophy of atheism is confuted and its impossibility demonstrated.
^ abFlew, Antony. "The Presumption of Atheism". The Presumption of Atheism and other Philosophical Essays on God, Freedom, and Immortality. New York: Barnes and Noble, 1976. pp 14ff.
^Rowe, William L. "Atheism". Routledge Encyclopedia of Philosophy. Edward Craig (editor). Routledge: June 1998. ISBN 0-415-18706-0. 530-534.
^Kenny, Anthony (2006). "Why I Am Not an Atheist". What I believe. Continuum. ISBN0-8264-8971-0. The true default position is neither theism nor atheism, but agnosticism … a claim to knowledge needs to be substantiated; ignorance need only be confessed.
^Baggini 2003, hlm. 30–34. "Who seriously claims we should say 'I neither believe nor disbelieve that the Pope is a robot', or 'As to whether or not eating this piece of chocolate will turn me into an elephant I am completely agnostic'. In the absence of any good reasons to believe these outlandish claims, we rightly disbelieve them, we don't just suspend judgement."
^Baggini 2003, hlm. 22. "A lack of proof is no grounds for the suspension of belief. This is because when we have a lack of absolute proof we can still have overwhelming evidence or one explanation which is far superior to the alternatives."
^Smart, J.C.C. (2004-03-09). "Atheism and Agnosticism". Stanford Encyclopedia of Philosophy. Diakses tanggal 2007-04-12.
^Cudworth, Ralph. The true intellectual system of the universe. 1678. Dawkins, Richard. The God Delusion. Bantam Books: 2006, p. 50. (ISBN 0-618-68000-4)
^V.A. Gunasekara, "The Buddhist Attitude to God". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-01-02. In the Bhuridatta Jataka, "The Buddha argues that the three most commonly given attributes of God, viz. omnipotence, omniscience and benevolence towards humanity cannot all be mutually compatible with the existential fact of dukkha."
^Larson, Edward J. (1998). "Correspondence: Leading scientists still reject God". Nature. 394 (6691): 313. doi:10.1038/28478.Parameter |coauthors= yang tidak diketahui mengabaikan (|author= yang disarankan) (bantuan) Available at StephenJayGould.org, Stephen Jay Gould archive. Retrieved on 2006-12-17
^Shermer, Michael (1999). How We Believe: Science, Skepticism, and the Search for God. New York: William H Freeman. hlm. pp76–79. ISBN 0-7167-3561-X.Pemeliharaan CS1: Teks tambahan (link)
^According to Dawkins (2006), p. 103. Dawkins cites Bell, Paul. "Would you believe it?" Mensa Magazine, UK Edition, Feb. 2002, pp. 12–13. Analyzing 43 studies carried out since 1927, Bell found that all but four reported such a connection, and he concluded that "the higher one's intelligence or education level, the less one is likely to be religious or hold 'beliefs' of any kind."
^Argyle, Michael (1958). Religious Behaviour. London: Routledge and Kegan Paul. hlm. pp 93–96. ISBN0-415-17589-5.Pemeliharaan CS1: Teks tambahan (link)
^Winston, Robert (Ed.) (2004). Human. New York: DK Publishing, Inc. hlm. p. 299. ISBN0-7566-1901-7. Nonbelief has existed for centuries. For example, Buddhism and Jainism have been called atheistic religions because they do not advocate belief in gods.Pemeliharaan CS1: Teks tambahan: authors list (link) Pemeliharaan CS1: Teks tambahan (link)
^Lyas, Colin (1970). "On the Coherence of Christian Atheism". Philosophy: the Journal of the Royal Institute of Philosophy. 45 (171): 1–19.Parameter |month= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Smith 1979, hlm. 275. "Among the many myths associated with religion, none is more widespread -or more disastrous in its effects -than the myth that moral values cannot be divorced from the belief in a god."
^In Dostoevsky's The Brothers Karamazov (Book Eleven: Brother Ivan Fyodorovich, Chapter 4) there is the famous argument that If there is no God, all things are permitted.: "'But what will become of men then?' I asked him, 'without God and immortal life? All things are lawful then, they can do what they like?'"
^ For Kant, the presupposition of God, soul, and freedom was a practical concern, for "Morality, by itself, constitutes a system, but happiness does not, unless it is distributed in exact proportion to morality. This, however, is possible in an intelligible world only under a wise author and ruler. Reason compels us to admit such a ruler, together with life in such a world, which we must consider as future life, or else all moral laws are to be considered as idle dreams..." (Critique of Pure Reason, A811).
^ 101 Ethical Dilemmas, 2nd edition, by Cohen, M., Routledge 2007, pp184-5. (Cohen notes particularly that Plato and Aristotle produced arguments in favour of slavery.)
^ Political Philosophy from Plato to Mao, by Cohen, M, Second edition 2008
^Moreira-almeida, A. (2006). "Religiousness and mental health: a review". Revista Brasileira de Psiquiatria. 28: 242–250. Diakses tanggal 2007-07-12.Parameter |coauthors= yang tidak diketahui mengabaikan (|author= yang disarankan) (bantuan)
^Harris, Sam (2005). "An Atheist Manifesto". Truthdig. Diakses tanggal 2006-10-29. In a world riven by ignorance, only the atheist refuses to deny the obvious: Religious faith promotes human violence to an astonishing degree.