Lompat ke isi

Kerajaan Wajo

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kerajaan Wajo

1399–1957
Bendera
Ibu kotaWajo
Bahasa yang umum digunakanBugis
Agama
Islam
PemerintahanKerajaan
Arung Matowa 
Sejarah 
• Didirikan
1399
• Dibubarkan
1957
Didahului oleh
Digantikan oleh
Cinnotabi
Kabupaten Wajo
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Kerajaan Wajo adalah sebuah kerajaan yang didirikan sekitar tahun 1399, di wilayah yang menjadi Kabupaten Wajo saat ini di Sulawesi Selatan. Penguasanya disebut "Raja Wajo". Wajo adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yaitu Cinnotabi.

Ada tradisi lisan yakni pau-pau rikadong dianggap sebagai kisah terbentuknya [[Wajo]]. yaitu putri dari Luwu, We Tadampali yang mengidap sakit kulit kemudian diasingkan dan terdampar di Tosora. Selanjutnya dia bertemu dengan putra Arumpone Bone yang sedang berburu. Akhirnya mereka menikah dan membentuk dinasti di Wajo. Ada juga tradisi lisan lain yaitu kisah La Banra, seorang pangeran Soppeng yang merantau ke Sajoanging dan membuka tanah di Cinnotabi.

Sejarah Awal

Sejarah Wajo berbeda dengan sejarah kerajaan lain yang umumnya memulai kerajaannya dengan kedatangan To Manurung. Sejarah awal Wajo menurut Lontara Sukkuna Wajo dimulai dengan pembentukan komunitas dipinggir Danau Lampulung. Disebutkan bahwa orang-orang dari berbagai daerah, utara, selatan, timur dan barat, berkumpul dipinggir Danau Lampulung. Mereka dipimpin oleh seseorang yang tidak diketahui namanya yang digelari dengan Puangnge Ri Lampulung. Puang ri Lampulung dikenal sebagai orang yang bijak, mengetahui tanda-tanda alam dan tatacara bertani yang baik. Adapun penamaan danau Lampulung dari kata sipulung yang berarti berkumpul.

Komunitas Lampulung terus berkembang dan memperluas wilayahnya hingga ke Saebawi. Setelah Puang ri Lampulung meninggal, komunitas ini cair. Hingga tiba seseorang yang memiliki kemampuan sama dengannya, yaitu Puang ri Timpengeng di Boli. Komunitas ini kemudian hijrah dan berkumpul di Boli. Komunitas Boli terus berkembang hingga meninggalnya Puang ri Timpengeng.

Setelah itu, putra mahkota kedatuan Cina dan kerajaan Mampu, yaitu La Paukke datang dan mendirikan kerajaan Cinnotabi. Adapun urutan Arung Cinnotabi yaitu, La Paukke Arung Cinnotabi I yang diganti oleh anaknya We Panangngareng Arung Cinnotabi II. We Tenrisui, putrinya menjadi Arung Cinnotabi III yang diganti oleh putranya La Patiroi sebagai Arung Cinnotabi IV. Sepeninggal La Patiroi, Adat Cinnotabi mengangkat La Tenribali dan La Tenritippe sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V. Setelah itu, Akkarungeng (kerajaan) Cinnotabi bubar. Warga dan adatnya berkumpul di Boli dan membentuk komunitas baru lagi yang disebut Lipu Tellu KajuruE.

La Tenritau menguasai wilayah majauleng, La Tenripekka menguasai wilayah sabbamparu dan La Matareng menguasai wilayah takkalalla. Ketiganya adalah sepupu satu kali La Tenribali. La Tenribali sendiri setelah kekosongan Cinnotabi membentuk kerajaan baru disebut Akkarungeng ri Penrang dan menjadi Arung Penrang pertama. Ketiga sepupunya kemudian meminta La Tenribali agar bersedia menjadi raja mereka. Melalui perjanjian Assijancingeng ri Majauleng maka dibentuklah kerajaan Wajo. La Tenribali diangkat sebagai raja pertama bergelar Batara Wajo. Ketiga sepupunya bergelar Paddanreng yang menguasai wilayah distrik yang disebut Limpo. La Tenritau menjadi Paddanreng ri Majauleng, yang kemudian berubah menjadi Paddanreng Bettempola pertama. La Tenripekka menjadi Paddanreng Sabbamparu yang kemudian menjadi Paddanreng Talotenreng. Terakhir La Matareng menjadi Paddanreng ri Takkallala menjadi Paddanreng Tuwa.

Wajo sebagai Kerajaan

Wajo mengalami perubahan struktural pasca Perjanjian Lapadeppa yang berisi tentang pengakuan hak-hak kemerdekaan orang Wajo. Posisi Batara Wajo yang bersifat monarki absolut diganti menjadi Arung Matowa yang bersifat monarki konstitusional. Masa keemasan Wajo adalah pada pemerintahan La Tadampare Puangrimaggalatung. Wajo menjadi anggota persekutuan Tellumpoccoe sebagai saudara tengah bersama Bone sebagai saudara tua dan Soppeng sebagai saudara bungsu.

Wajo memeluk Islam secara resmi pada tahun 1610 pada pemerintahan La Sangkuru Patau Mulajaji Sultan Abdurahman dan Dato Sulaiman menjadi Qadhi pertama Wajo. Setelah Dato Sulaiman kembali ke Luwu melanjutkan dakwah yang telah dilakukan sebelumnya, Dato ri Tiro melanjutkan tugas Dato Sulaiman. Setelah selesai Dato ri Tiro ke Bulukumba dan meninggal di sana. Wajo terlibat Perang Makassar (1660-1669) disebabkan karena persoalan geopolitik di dataran tengah Sulawesi yang tidak stabil dan posisi Arung Matowa La Tenrilai To Sengngeng sebagai menantu Sultan Hasanuddin. Kekalahan Gowa tidak menyebabkan La Tenrilai rela untuk menandatangani perjanjian Bungaya, sehingga Wajo diserang oleh pasukan gabungan setelah terlebih dahulu Lamuru yang juga berpihak ke Sultan Hasanuddin juga diserang. Kekalahan Wajo menyebabkan banyak masyarakatnya pergi meninggalkan Wajo dan membangun komunitas sosial ekonomi di daerah rantauannya. La Mohang Daeng Mangkona salah satu panglima perang Wajo yang tidak terima kekalahan merantau ke Kutai dan membuka lahan yang kini dikenal sebagai Samarinda.

Pada pemerintahan La Salewangeng to Tenrirua Arung Matowa ke 30, ia membangun Wajo pada sisi ekonomi dan militer dengan cara membentuk koperasi dan melakukan pembelian senjata serta melakukan pelatihan penggunaan senjata. La Maddukkelleng kemenakan La Salewangeng menjadi Arung Matowa 31 dilantik di saat perang. Pada zamannya ia memajukan posisi wajo secara sosial politik di antara kerajaan-kerajaan di sulsel. La Koro Arung Padali, memodernisasi struktur kerajaan Wajo dengan membentuk jabatan militer Jenerala (Jendral), Koronele (Kolonel), Manynyoro (Mayor), dan Kapiteng (Kapten). Dia juga menandatangani Large Veklaring sebagai pembaruan dari perjanjian Bungaya.

Pada zaman Ishak Manggabarani, persekutuan [[Wajo]] dengan [[Bone]] membuat keterlibatan Wajo secara tidak langsung pada Rumpa'na Bone. Saat itu Belanda melancarkan [[politik pasifikasi]] untuk memaksa semua kerajaan di [[Sulawesi Selatan]] tunduk secara totalitas. Kekalahan Bone melawan Kompeni juga harus ditanggung oleh [[Wajo]] sehingga [[Wajo]] harus membayar denda perang pada Kompeni dan menandatangani Korte Veklaring sebagai pembaruan dari Large Veklaring.

[[Wajo]] dibawah Republik Indonesia Serikat, atau tepatnya Negara Indonesia Timur, berbentuk swapraja pada tahun 1945-1949. Setelah Konferensi Meja Bundar, Wajo bersama swapraja lain akhirnya menjadi kabupaten pada tahun 1957. Antara tahun 1950-1957 pemerintahan tidak berjalan secara maksimal disebabkan gejolak pemberontakan DI/TII. Setelah 1957, pemimpin di Wajo adalah seorang Bupati. Wajo yang dulunya kerajaan, kemudian menjadi Onderafdeling, selanjutnya Swapraja, dan akhirnya menjadi kabupaten.

Struktur Kerajaan Wajo

Masa Batara Wajo

- Batara Wajo --> Penguasa tertinggi (1 orang)

- Paddanreng --> Penguasa wilayah (3 orang), terdiri dari Paddanreng Bettempola untuk Limpo (distrik) Majauleng, Paddanreng Talotenreng untuk Limpo (distrik) Sabbamparu dan Paddanreng Tuwa untuk Limpo (distrik) Takkalalla

- Arung Mabbicara --> Pejabat pemerintah kerajaan/hakim (12 orang). Terdiri dari 4 orang Arung Mabbicara untuk masing-masing dari 3 Limpo (distrik). Mengepalai Ana Limpo

- Pabbate Caddi --> Pemegang Panji kerajaan (12 orang), satu orang untuk tiap ana limpo (sub distrik)

Masa Arung Matoa

- Arung Matoa --> Penguasa tertinggi (1 orang)

- Paddanreng --> Penguasa wilayah (3 orang). Masing-masing mengepalai Limpo (distrik)

- Pabbate Lompo --> Panglima perang, terdiri dari Pilla, Patola dan Cakkuridi (3 orang). Satu orang tiap limpo (distrik). Pabbate Lompo Pilla mendampingi Paddanreng Bettempola, Pabbate Lompo Patola mendampingi Paddanreng Talotenreng, Pabbate Lompo Cakkuridi mendampingi Paddanreng Tuwa.

- Arung Mabbicara --> Aparat pemerintah/Hakim (30 orang). Masing-masing 10 orang tiap Limpo (distrik). Terdiri dari 4 orang Arung Mabbicara yang mengepalai ana limpo, dan 6 Arung Mabbicara yang tidak menguasai wilayah ana limpo (arung paddoki roki)

- Suro --> Utusan (3 orang). Masing-masing 1 orang Suro tiap Limpo (distrik)

Kelima jabatan diatas disebut sebagai Arung PatappuloE, penguasa 40.

Jabatan lain yang tidak masuk Arung PatappuloE

- Arung Bettempola --> Setelah La Tiringeng to Taba, dirangkap oleh Paddanreng Bettempola. Bertugas sebagai ibu orang Wajo. Mengangkat dan menurunkan Arung Matoa berdasar kesepakatan orang Wajo. Jabatan ini dimulai dari We Tadampali Arung Saotanre, istri Paddanreng Bettempola II. Setelahnya, dijabat oleh La Tiringeng To Taba. Dalam perkembangan, jabatan Arung Saotanre berubah menjadi Arung Simentempola. Setelah To Angkone, salah seorang Paddanreng Bettempola dipecat. Maka jabatan Paddanreng Bettempola dirangkap oleh Arung Simentempola yang berubah menjadi Arung Simentempola. Arung Bettempola pulalah yang memastikan kemerdekaan orang Wajo.

- Punggawa --> Panglima perang wilayah, bertugas mengantar Arung lili ke pejabat Arung PatappuloE. Terdiri dari 3 orang, satu orang tiap limpo. Meski tidak masuk Arung PatappuloE, tetapi punya wewenang memveto keputusan kerajaan tentang perang.

- Petta MancijiE -->> Staf keprotokuleran istana

- Parewa Sara -->> Pejabat Syariat. Dibentuk setelah Wajo menerima Islam sebagai agama resmi kerajaan tahun 1610. Terdiri dari Qadhi, Imam, Khatib, Bilal dan Doja

Penguasa Kerajaan Wajo

  • Batara Wajo bersifat monarki absolut. Diangkat berdasar keturunan
  • Arung Matoa Wajo bersifat monarki konstitusional. Dipilih oleh Arung PatappuloE
  • Arung Matoa yang resmi tercatat adalah nomor 1-45
  • Untuk nomor 46-47 tertulis di satu sumber yaitu Lontara Akkarungeng ri Wajo
  • Untuk nomor 48, 49 dan 50 adalah Pemerintah Swapraja yang jabatannya adalah Kepala Pemerintah Negeri (KPN) yang merupakan peralihan sebelum masuk masa Bupati.
No Penguasa Mulai
Menjabat
Akhir
Jabatan
Batara Wajo
1 La Tenribali
2 La Mataesso
3 La Pateddungi to samallangi
Arung Matowa
1 La Palewo to Palippu 1474 1481
2 La Obbi Settiriware 1481 1486
3 La Tenriumpu to Langi 1486 1491
4 La Tadampare Puangrimaggalatung 1491 1521
5 La Tenri Pakado To Nampe 1524 1535
6 La Temmassonge 1535 1538
7 La Warani To Temmagiang 1538 1547
8 La Malagenni 1547 1547
9 La Mappapuli To Appamadeng 1547 1564
10 La Pakoko To Pa’bele’ 1564 1567
11 La Mungkace To Uddamang 1567 1607
12 La Sangkuru Patau Mulajaji Arung Peneki Sultan Abdurahman 1607 1610
13 La Mappepulu To Appamole 1610 1616
14 La Samalewa To Appakiung 1616 1621
15 La Pakallongi To Alinrungi 1621 1626
16 To Mappassaungnge 1627 1628
17 La Pakallongi To Alinrungi 1628 1636
18 La Tenrilai To Uddamang 1636 1639
19 La Isigajang To Bunne 1639 1643
20 La Makkaraka To Patemmui 1643 1648
21 La Temmasonge 1648 1651
22 La Paramma To Rewo 1651 1658
23 La Tenri Lai To Sengngeng 1658 1670
24 La Palili To Malu’ 1670 1679
25 La Pariusi Daeng Manyampa 1679 1699
26 La Tenri Sessu To Timo E 1699 1702
27 La Mattone’ 1702 1703
28 La Galigo To Sunnia 1703 1712
29 La Tenri Werung Arung Peneki 1712 1715
30 La Salewangeng To Tenriruwa Arung Sengkang 1715 1736
31 La Maddukkelleng Daeng Simpuang Arung Peneki Arung Sengkang 1736 1754
32 La Mad’danaca 1754 1755
33 La Passaung 1758 1761
34 La Mappajung Puanna Salowo Ranreng Tuwa 1761 1767
35 La Malliungeng 1767 1770
36 La Mallalengeng 1795 1817
37 La Manang 1821 1825
38 La Pa’dengngeng 1839 1845
39 La Pawellangi Pajumpero'e 1854 1859
40 La Cincing Akil Ali Datu Pammana Pilla Wajo 1859 1885
41 La Koro Arung Padali 1885 1891
42 La Passamula Datu Lompulle Ranreng Talotenreng 1892 1897
43 Ishak Manggabarani Krg Mangeppe 1900 1916
44 Andi Oddangpero Datu Larompong Arung Peneki 1926 1933
45 Andi Mangkona Datu Mario 1933 1949
46 Andi Sumangerukka Datu Pattojo Patola Wajo 1949 1949
47 Andi Ninnong Datu Tempe Ranreng Tuwa Wajo 1949 1950
48 Andi Pallawarukka Datu Pammana Eks Pilla Wajo 1950 1952
49 Andi Macca Amirullah Eks Sullewatang Ugi 1952 1954
50 Andi Pallawarukka Datu Pammana Eks Pilla Wajo 1954 1957

Referensi

https://www.diskusilepas.id/2012/12/susunan-raja-raja-wajo-batara-wajo-1.htmll

https://www.diskusilepas.id/2013/12/sistem-pemerintahan-di-kerajaan-wajo.html

https://www.diskusilepas.id/2014/07/struktur-parewa-sara-di-wajo-abad-17.html