Organisasi Perdagangan Dunia
Tanggal pendirian | 1 Januari 1995 |
---|---|
Tipe | Organisasi internasional |
Tujuan | Pengurangan tarif dan hambatan perdagangan lainnya |
Kantor pusat | Centre William Rappard, Jenewa, Swiss |
Jumlah anggota | 164 anggota (2016)[1] |
Bahasa resmi | Inggris, Prancis, Spanyol[2] |
Roberto Azevêdo | |
Anggaran | 197 juta franc Swiss tahun 2016[3] |
Situs web | www |
Organisasi Perdagangan Dunia (bahasa Inggris: World Trade Organization, disingkat WTO) adalah sebuah organisasi internasional yang menanggungi upaya untuk meliberalisasi perdagangan. Organisasi ini menyediakan aturan-aturan dasar dalam perdagangan internasional, menjadi wadah perundingan konsesi dan komitmen dagang bagi para anggotanya, serta membantu anggota-anggotanya menyelesaikan sengketa dagang melalui mekanisme yang mengikat secara hukum. Organisasi ini didirikan pada 1 Januari 1995 dengan tujuan untuk mengurangi tarif dan hambatan perdagangan lainnya, yang diharapkan akan memajukan ekonomi dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Pendahulu Organisasi Perdagangan Dunia adalah Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan yang ditetapkan pada tahun 1947. Setelah upaya untuk mendirikan Organisasi Perdagangan Internasional kandas akibat penolakan Kongres Amerika Serikat untuk meratifikasi Piagam Havana, perjanjian tersebut menjadi semacam lembaga ad hoc dan berlaku "sementara" selama 47 tahun. Organisasi Perdagangan Dunia menggantikan perjanjian ini setelah diberlakukannya Persetujuan Marrakesh yang juga melampirkan perjanjian-perjanjian utama yang mengatur perdagangan internasional, termasuk Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan 1994 yang menggantikan perjanjian tahun 1947.
Dua badan pengambilan keputusan utama di WTO adalah Konferensi Tingkat Menteri dan Dewan Umum. Organisasi Perdagangan Dunia juga memiliki sistem penyelesaian sengketa yang mengikat secara hukum. WTO bermarkas di Jenewa, Swiss. Pada tahun 2016, organisasi ini memiliki 164 anggota berupa negara dan wilayah pabean yang mewakili 99,5% populasi dunia dan 98% perdagangan dunia. Seluruh anggota WTO diharuskan memberikan satu sama lain status "perlakuan yang sama untuk semua anggota", sehingga keistimewaan yang diberikan oleh suatu anggota WTO kepada anggota WTO lainnya juga harus diberikan kepada seluruh anggota WTO. Selain itu, berdasarkan aturan "perlakuan nasional", anggota WTO harus memperlakukan produk asing yang telah memasuki pasar domestiknya sebagaimana produk "sejenis" diperlakukan di negaranya.
Keberadaan WTO berhasil mengurangi tarif dan hambatan-hambatan perdagangan lainnya, dan keberhasilan ini dikatakan telah meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi angka kemiskinan, dan menurunkan harga. Namun, organisasi ini telah menuai kritikan karena dianggap mengesampingkan kepentingan-kepentingan masyarakat lainnya, seperti hak asasi manusia, hak-hak buruh, dan pelestarian lingkungan hidup. Organisasi ini juga dicap tidak demokratis, terutama akibat kurangnya keterlibatan dari lembaga swadaya masyarakat dan ketimpangan antara negara maju dengan negara berkembang. Selain itu, janji bahwa perdagangan bebas akan memajukan ekonomi dan mengentaskan kemiskinan telah dipertanyakan, dan pendekatan ekonomi ini malah dianggap memperparah ketimpangan ekonomi dan merugikan negara-negara berkembang.
Sejarah
Pendirian sistem perdagangan modern dilandaskan pada pengalaman selama periode antarperang, ketika negara-negara berupaya memperbaiki keadaan ekonomi mereka dengan mengambil kebijakan yang berdampak buruk terhadap negara-negara lain, seperti protektionisme, devaluasi mata uang, dan pengendalian modal. Contohnya adalah Undang-Undang Smoot-Hawley tahun 1930 di Amerika Serikat yang menaikkan tarif dari 38% menjadi 52%. Akibat penetapan undang-undang ini, mitra-mitra dagang Amerika Serikat mengambil tindakan balasan. Kemudian terjadi efek domino setelah perdagangan mulai beralih ke pasar lain, karena di tempat tersebut juga diambil tindakan proteksionisme, yang lagi-lagi berujung pada tindakan balasan. Setelah berakhirnya Perang Dunia II, negara-negara ingin agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi, dan oleh sebab itulah mereka berupaya mendirikan organisasi-organisasi internasional yang dapat menanggulangi hal tersebut.[4] Maka digelarlah Konferensi Bretton Woods pada Juli 1944 yang mendirikan Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia, Konferensi Dumbarton Oaks pada Agustus-Oktober 1944 yang akhirnya berujung pada pendirian Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Konferensi Havana tentang Perdagangan dan Kesempatan Kerja pada November 1947-Maret 1948 yang melahirkan Piagam Havana.[5] Piagam ini merupakan kerangka hukum bagi sebuah lembaga internasional yang dapat mengurus perdagangan antarnegara, yaitu Organisasi Perdagangan Internasional (bahasa Inggris: International Trade Organization, disingkat ITO).[4] Piagam ini mengatur berbagai hal, seperti penetapan asas perlakuan yang sama untuk semua anggota (bahasa Inggris: most favoured nation, disingkat MFN) tanpa syarat kepada semua negara anggota serta pembentukan prosedur untuk menyelesaikan sengketa.[6] Dengan ini, para pendirinya berharap agar pengurangan hambatan terhadap perdagangan akan meningkatkan pendapatan dan meredakan konflik politik atau sengketa dagang yang ditakutkan dapat memicu konflik yang lebih besar.[4]
Sementara itu, di Lake Success, New York, pada awal tahun 1947, ditetapkan Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan (bahasa Inggris: General Agreement on Tariffs and Trade, disingkat GATT) yang merupakan hasil perundingan antara 23 negara (12 negara maju dan 11 negara berkembang).[4] Perjanjian ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1948 untuk sementara waktu sembari menunggu peresmian Piagam Havana. Namun, Kongres Amerika Serikat menolak meratifikasi Piagam Havana pada tanggal 6 Desember 1950,[7] padahal keterlibatan Amerika Serikat di dalam bakal organisasi ini dianggap sangat penting.[8] Maka upaya untuk mendirikan ITO pun kandas, dan akibatnya GATT memiliki sejarah yang unik karena perjanjian ini diberlakukan "sementara" selama 47 tahun. Walaupun GATT adalah perjanjian yang bersifat substansif dan tidak berurusan dengan pendirian sebuah lembaga khusus, secara perlahan GATT mulai berkembang menjadi lembaga internasionalnya sendiri. Negara-negara anggota berupaya menjawab permasalahan-permasalahan institusional yang timbul dengan pendekatan ad hoc, termasuk dengan mengambil keputusan berdasarkan konsensus. Maka dari itu, meskipun GATT secara resmi tidak mendirikan sebuah organisasi dagang internasional, negara-negara yang telah meratifikasi perjanjian tersebut bertindak seolah mereka tergabung di dalam sebuah lembaga internasional.[7] GATT sendiri juga menjadi landasan bagi pengadaan delapan putaran perundingan perdagangan multilateral yang diadakan secara berkala untuk mengurangi tarif dan hambatan perdagangan lainnya. Putaran-putaran tersebut meliputi Putaran Jenewa 1947, Putaran Annecy 1949, Putaran Torquay 1950, Putaran Jenewa 1956, Putaran Dillon 1960–61, Putaran Kennedy 1962–67, Putaran Tokyo 1973–79, dan Putaran Uruguay tahun 1986–94.[9]
Putaran GATT | Tahun | Jumlah negara peserta |
---|---|---|
Jenewa | 1947 | 19 |
Annecy | 1949 | 27 |
Torquay | 1950 | 33 |
Jenewa | 1956 | 36 |
Dillon | 1960–61 | 43 |
Kennedy | 1962–67 | 74 |
Tokyo | 1973–79 | 85 |
Uruguay | 1986–94 | 128 |
Sumber: Hoekman & Mavroidis 2007[10] |
Sebelum Putaran Kennedy, negara-negara memusatkan perhatian mereka pada upaya untuk mengurangi hambatan berupa tarif, tetapi semenjak putaran tersebut mereka juga mulai membahas pengurangan hambatan yang bukan tarif, contohnya adalah perundingan Perjanjian tentang Hambatan Teknis Perdagangan pada Putaran Tokyo dan perundingan kembali perjanjian ini dan perundingan Perjanjian tentang Penerapan Tindakan Sanitari dan Fitosanitari pada Putaran Uruguay. Selain itu, pada Putaran Uruguay, isu tentang kekayaan intelektual dan perdagangan jasa juga dibahas.[11]
Semenjak dimulainya Putaran Uruguay, para perunding telah menyadari bahwa mereka membutuhkan mekanisme kelembagaan dan sistem penyelesaian sengketa yang lebih baik. Salah satu pokok yang dirundingkan selama Putaran tersebut adalah "berfungsinya sistem GATT" (bahasa Inggris: functioning of the GATT system, disingkat FOGS). Banyak negara yang ingin menghindari masalah yang timbul selama Putaran Tokyo, yaitu kemunculan "perjanjian-perjanjian sampingan" yang hanya berlaku bagi negara anggota GATT yang bersedia mengikuti perjanjian tersebut (permasalahan ini disebut "GATT à la carte"). Oleh sebab itu, para perunding di GATT bersedia menjadikan pembahasan FOGS di dalam Putaran Uruguay sebagai kesempatan untuk mendirikan sebuah organisasi dagang di tingkat global.[12] Kemudian, di dalam Rancangan Penetapan Akhir Putaran Uruguay yang dikeluarkan pada tahun 1991, terkandung sebuah usulan untuk mendirikan "Organisasi Dagang Multilateral". Nama yang diusulkan kemudian diubah menjadi "Organisasi Perdagangan Dunia". Persetujuan-persetujuan hasil Putaran Uruguay lalu disatukan ke dalam suatu perjanjian yang menjadi kerangka lembaga baru ini, yaitu Persetujuan Marrakesh (juga disebut "Perjanjian WTO"), termasuk di dalamnya adalah Perjanjian GATT 1994 yang menggantikan GATT 1947 serta perjanjian-perjanjian sampingan yang telah dirundingkan sebelumnya. Perjanjian WTO sudah dapat ditandatangani pada tanggal 15 April 1994. Persetujuan ini sendiri mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995, sehingga tanggal tersebut merupakan tanggal resmi pendirian Organisasi Perdagangan Dunia.[13]
Pada November 2001, anggota-anggota WTO yang berkumpul selama Konferensi Tingkat Menteri Keempat di Doha, Qatar, memutuskan untuk memulai putaran perundingan baru yang disebut Putaran Pembangunan Doha. Pokok bahasan dari perundingan ini bermacam-macam, seperti pertanian, akses pasar untuk produk yang bukan pertanian, fasilitasi perdagangan, revisi aturan WTO, dan penyelesaian sengketa. Selain itu, putaran pembangunan ini juga sangat mempertimbangkan kebutuhan negara-negara berkembang dan keuntungan yang dapat mereka peroleh dari perdagangan.[14] Namun, para anggota tidak dapat menemukan titik temu dalam berbagai hal. Selama Konferensi Tingkat Menteri Kelima di Cancún, Meksiko, pada tahun 2003, negara-negara berkembang menolak memulai perundingan mengenai "isu-isu Singapura" yang berkaitan dengan kebijakan kompetisi dan investasi, transparansi dalam proyek pengadaan pemerintah, dan fasilitasi dagang.[15][16] Pada saat yang sama, negara-negara maju juga menolak memangkas subsidi pertanian, padahal negara-negara berkembang merasa sangat dirugikan dengan adanya subsidi tersebut karena merusak daya saing produk mereka. Perseteruan ini mengakibatkan kegagalan Konferensi Tingkat Menteri Cancún.[17][16] Kebuntuan ini sempat diakhiri pada musim panas tahun 2004 setelah Program Kerja Doha yang baru ditetapkan oleh Dewan Umum WTO pada tanggal 1 Agustus 2004, dan salah satu keputusan terpenting yang diambil oleh dewan tersebut adalah keputusan untuk tidak mencoba memulai perundingan tentang isu-isu Singapura. Kemudian, pada Konferensi Tingkat Menteri Keenam di Hong Kong pada Desember 2005, anggota WTO sepakat untuk menghapuskan subsidi ekspor pertanian sebelum tahun 2013. Namun, anggota WTO sama sekali tidak dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan lain, seperti akses pasar untuk produk pertanian, bantuan domestik untuk produksi pertanian, akses pasar untuk produk non-pertanian, dan liberalisasi perdagangan jasa. Kemudian, tenggat waktu untuk membuat kesepakatan tentang akses pasar untuk produk non-pertanian pada musim panas tahun 2006 tidak dipenuhi, dan Direktur Jenderal WTO pada saat itu, Pascal Lamy, memutuskan untuk menangguhkan Putaran Perundingan Doha pada akhir Juli 2006.[18] Setelah itu, perundingan-perundingan yang dilakukan untuk permasalahan-permasalahan yang lebih kecil pun tidak membuahkan hasil,[19] dan akhirnya Pascal Lamy mengumandangkan pada tanggal 31 Mei 2011 bahwa Putaran Pembangunan Doha sudah "mati".[14] Walaupun begitu, selama Konferensi Tingkat Menteri Kesembilan di Bali, Indonesia, pada Desember 2013, anggota-anggota WTO berhasil menyepakati "Paket Bali", dan perjanjian terpenting yang menjadi bagian dari "paket" ini adalah Perjanjian Fasilitasi Perdagangan yang dimaksudkan untuk menyederhanakan prosedur bea cukai, meningkatkan keefisienan dan kecepatan prosedur, serta mengurangi biaya untuk mematuhi prosedur bea cukai.[20]
Logika ekonomi
"Sang penjahit tidak mencoba membuat sepatunya sendiri, tetapi membelinya dari sang pengrajin sepatu. Sang pengrajin sepatu tidak mencoba membuat bajunya sendiri, tetapi mempekerjakan sang penjahit. Sang petani tidak mencoba membuat keduanya, tetapi mempekerjakan dua pengrajin tersebut."
— Ekonom Skotlandia Adam Smith.[21][22]
WTO pada dasarnya didirikan dengan logika ekonomi bahwa perdagangan bebas akan memperkuat ekonomi dan menguntungkan masyarakat dengan memanfaatkan keunggulan komparatif dari masing-masing negara. Tokoh yang paling dikenal sebagai pencetus teori keunggulan komparatif adalah David Ricardo. Sebagai contoh, jika negara A adalah penghasil beras terbaik dan negara B adalah produsen laptop yang paling bagus, maka jelas bahwa keduanya akan diuntungkan jika A fokus pada beras, B fokus pada laptop, dan kemudian keduanya saling berdagang, alih-alih A mencoba mengalokasikan sumber daya untuk memproduksi keduanya sendirian, padahal mereka tidak dapat membuat laptop secara efisien. Namun, permasalahan muncul jika negara A lebih hebat dalam membuat segala hal daripada B. Walaupun begitu, Richardo menggunakan contoh yang sederhana untuk menunjukkan bahwa dalam keadaan seperti itu, perdagangan bebas masih akan menguntungkan kedua belah pihak. Bayangkan Kerajaan Britania Raya adalah negara yang dapat memproduksi botol anggur dengan mempekerjakan 120 orang, sementara Kerajaan Portugal dapat memproduksi jumlah yang sama dengan 80 tenaga kerja saja. Pada saat yang sama, Britania Raya dapat menghasilkan pakaian dalam jumlah tertentu dengan 100 tenaga buruh, sementara untuk memproduksi jumlah yang sama, Portugal membutuhkan 90 tenaga kerja. Walaupun Portugal memiliki keunggulan absolut terhadap Britania Raya dalam memproduksi pakaian dan botol anggur, menurut Ricardo, perdagangan akan tetap menguntungkan kedua belah pihak. Jika Britania Raya memutuskan untuk menghasilkan pakaian dengan 100 tenaga kerja dan mengekspornya ke Portugal untuk mendapatkan botol anggur yang dihasilkan oleh 80 petani Portugis, maka Britania Raya akan diuntungkan karena untuk membuat botol anggur sendiri, mereka membutuhkan 120 tenaga kerja. Portugal juga diuntungkan, karena daripada harus mengerahkan 90 orang untuk membuat pakaian, mereka cukup mempekerjakan 80 orang untuk memproduksi botol anggur.[23] Model Ricardo sendiri merupakan hasil penyederhanaan yang mengasumsikan bahwa biaya dan harga berlaku tetap, tetapi para ekonom modern telah memutakhirkan teori Ricardo dan menyesuaikannya dengan kenyataan dalam ekonomi modern. Contohnya adalah model Heckscher–Ohlin yang telah menemukan bahwa suatu negara akan mengekspor barang yang memiliki faktor produksi murah dan berlimpah di negaranya dan mengimpor barang dengan faktor produksi yang langka. Maka dari itu, perdagangan bebas dianggap penting untuk kemajuan ekonomi, karena jika negara memfokuskan diri pada keunggulan komparatif, maka modal dan tenaga kerja dapat dialokasikan secara efisien, dan produktivitas pun meningkat dan pertumbuhan ekonomi juga terdorong.[24] Hambatan perdagangan seperti tarif dan kuota dapat mengurangi keuntungan dari perdagangan atau bahkan menihilkannya, dan oleh sebab itulah anggota-anggota WTO berusaha memajukan ekonomi dengan mengurangi hambatan-hambatan tersebut.[25] Sebagai contoh, menurut laporan yang disusun oleh Kantor Eksekutif Presiden Amerika Serikat, pengurangan tarif di Amerika Serikat semenjak Perang Dunia II telah menambah produk domestik bruto negara sebesar 7,3% atau sekitar $1,3 triliun pada tahun 2014.[26] Selain itu, perdagangan bebas diyakini juga akan mengurangi kemiskinan dan menambah lapangan pekerjaan, terutama dengan dibukanya pasar baru untuk menjual barang dan jasa ke luar negeri, dan keuntungan lain dari perdagangan bebas adalah harga yang lebih murah dan pilihan yang lebih banyak untuk konsumen karena sudah tidak ada lagi tarif atau pembatasan yang menghambat barang atau jasa dari luar negeri.[27]
Tujuan dan fungsi
Tujuan pendirian WTO dijabarkan di dalam mukadimah Perjanjian WTO, yaitu untuk meningkatkan taraf hidup, mewujudkan lapangan kerja penuh, menambah pendapatan riil dan permintaan, serta memperbesar produksi dan perdagangan barang dan jasa. Mukadimah persetujuan tersebut juga menambahkan bahwa segala upaya untuk mewujudkan angan-angan ini harus mempertimbangkan pelestarian lingkungan dan kebutuhan negara-negara berkembang.[28] Selain itu, mukadimah ini turut menegaskan pentingnya pembangunan berkelanjutan (pembangunan yang juga mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungan hidup) serta integrasi negara-negara berkembang (terutama negara-negara terbelakang) dengan sistem perdagangan dunia.[29] Menurut pakar hukum dagang asal Belanda, Peter Van den Bossche, mukadimah ini membantah keyakinan bahwa WTO hanya memperhatikan liberalisasi perdagangan tanpa memedulikan isu kemiskinan, kerusakan lingkungan, dan pembangunan berkelanjutan.[30] Di dalam mukadimah yang sama, dikatakan bahwa tujuan-tujuan ini dapat dicapai dengan mengurangi tarif dan hambatan-hambatan perdagangan lainnya serta dengan menghapuskan segala tindakan diskriminatif di dalam hubungan dagang internasional. Sementara itu, sehubungan dengan dampak hukum dari penjabaran tujuan WTO di dalam mukadimah Perjanjian WTO, Badan Banding di dalam perkara US–Shrimp menyatakan bahwa bahasa yang digunakan di dalam mukadimah ini menunjukkan itikad dari para perunding Perjanjian WTO, sehingga isi mukadimah ini turut "mewarnai" upaya penafsiran terhadap perjanjian-perjanjian yang terlampir di dalam Perjanjian WTO.[30]
Secara umum, fungsi WTO secara umum seperti yang dijabarkan dalam Pasal II:1 Perjanjian WTO adalah untuk menyediakan "kerangka kelembagaan bersama" yang mewadahi hubungan dagang antar anggota WTO. Pasal III Perjanjian WTO kemudian merincikan fungsi-fungsi khusus, yaitu untuk memfasilitasi pemberlakuan perjanjian-perjanjian yang terlampir di dalam Perjanjian WTO, untuk menyediakan wadah perundingan perjanjian dagang yang baru, untuk melaksanakan Kesepahaman Penyelesaian Sengketa yang berisi tentang prosedur penyelesaian sengketa, untuk melaksanakan Mekanisme Peninjauan Kebijakan Perdagangan, serta untuk bekerja sama dengan Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia agar kebijakan ekonomi global dapat menjadi lebih koheren.[31][32]
Perjanjian-perjanjian WTO
Perjanjian utama yang melandasi lembaga WTO adalah Persetujuan Marrakesh atau "Perjanjian WTO". Perjanjian ini sendiri sebenarnya merupakan perjanjian singkat yang hanya terdiri dari 16 pasal, tetapi terdapat perjanjian-perjanjian terperinci lainnya yang dilampirkan dalam perjanjian ini. Berdasarkan Pasal II Perjanjian WTO, perjanjian-perjanjian dan instrumen-instrumen hukum yang disebutkan di dalam Lampiran 1, 2, dan 3 (disebut "Perjanjian Dagang Multilateral") merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Perjanjian WTO dan mengikat kepada semua anggota.[33] Sementara itu, perjanjian-perjanjian dan instrumen-instrumen hukum yang disebutkan di dalam Lampiran 4 (disebut "Perjanjian Dagang Plurilateral") juga merupakan bagian dari Perjanjian WTO dan hanya berlaku bagi anggota yang telah menerima perjanjian tersebut.[34] Lampiran 1A mengandung perjanjian-perjanjian multilateral yang mengatur perdagangan barang, yaitu:[35]
- Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan 1994, termasuk di dalamnya adalah GATT 1947 dan instrumen-instrumen hukum yang berlaku sesuai dengan GATT 1947 sebelum berlakunya Perjanjian WTO (contohnya sertifikasi konsesi tarif)
- Perjanjian tentang Pertanian
- Perjanjian tentang Penerapan Tindakan Sanitari dan Fitosanitari
- Perjanjian tentang Tekstil dan Pakaian (sudah tidak berlaku sejak 1 Januari 2005)[36]
- Perjanjian tentang Hambatan Teknis Perdagangan
- Perjanjian tentang Tindakan-Tindakan Investasi yang Terkait Perdagangan
- Perjanjian tentang Penerapan Pasal VI Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan 1994 (Perjanjian Anti-Dumping)
- Perjanjian tentang Penerapan Pasal VII Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan 1994 (Perjanjian Penilaian Pabean)
- Perjanjian tentang Pemeriksaan Pra-Pengapalan
- Perjanjian tentang Ketentuan Asal Barang
- Perjanjian tentang Prosedur Izin Impor
- Perjanjian tentang Subsidi dan Tindakan Imbalan
- Perjanjian tentang Tindakan Pengamanan
- Perjanjian Fasilitasi Perdagangan yang dimasukkan ke dalam lampiran ini melalui Protokol Amendemen yang ditetapkan oleh anggota WTO pada 27 November 2014[37]
Lampiran 1B berisi Perjanjian Umum tentang Perdagangan Jasa (bahasa Inggris: General Agreement on Trade in Services, disingkat GATS), dan di dalam Lampiran 1C terdapat Perjanjian tentang Aspek-Aspek Hak Kekayaan Intelektual yang Terkait Perdagangan ("Perjanjian TRIPS").[34] Sementara itu, Lampiran 2 berisikan Kesepahaman Penyelesaian Sengketa (bahasa Inggris: Dispute Settlement Understanding, disingkat DSU) yang mengatur prosedur penyelesaian sengketa dagang,[38] dan Lampiran 3 mengandung Mekanisme Peninjauan Kebijakan Perdagangan yang menjabarkan prosedur peninjauan kebijakan dagang anggota-anggota WTO.[39] Di Lampiran 4 sendiri terdapat dua perjanjian plurilateral, yaitu Perjanjian tentang Perdagangan Pesawat Sipil (yang disepakati pada Putaran Tokyo tahun 1979) dan Perjanjian tentang Pengadaan Pemerintah (sesuai dengan hasil revisi tahun 2014).[40] Sebelumnya terdapat pula perjanjian plurilateral yang disebut Persetujuan Peternakan Susu Internasional dan Persetujuan Daging Sapi Internasional, tetapi perjanjian-perjanjian plurilateral ini sudah tidak berlaku pada tahun 1997.[41] Di sisi lain, pada tanggal 13 Desember 1996, Persetujuan Teknologi Informasi (bahasa Inggris: Information Technology Agreement, disingkat ITA) telah disepakati oleh 29 anggota WTO melalui "Deklarasi Tingkat Menteri tentang Perdagangan Produk Teknologi Informasi" yang dikeluarkan di Singapura. Persetujuan yang juga bersifat plurilateral ini menghapuskan bea masuk untuk berbagai produk dalam bidang teknologi informasi, seperti komputer, peralatan telekomunikasi, dan semikonduktor,[42] dan secara keseluruhan terdapat sekitar 222 jenis barang. Semenjak itu, jumlah anggota yang turut serta dalam perjanjian ini terus bertambah hingga mencapai 67 negara pada tahun 2015. Kemudian, pada tanggal 28 Juli 2015, setelah sempat tersendat selama beberapa tahun, daftar barang yang masuk ke dalam cakupan persetujuan ini diperluas dengan 201 jenis produk tambahan. Persetujuan yang telah diperbaharui ini juga dijuluki "ITA II".[43]
Di dalam Perjanjian WTO, terdapat protokol-protokol aksesi dari anggota-anggota WTO yang baru bergabung setelah ditetapkannya perjanjian tersebut, dan protokol-protokol ini dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari perjanjian ini. Contohnya adalah Protokol Aksesi Tiongkok.[40] Selain itu, terdapat pula "daftar komitmen" (bahasa Inggris: schedules of commitments) yang berisikan komitmen suatu anggota WTO terhadap produk atau jasa tertentu, dan daftar ini juga dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Perjanjian WTO.[44]
Struktur
Organisasi Perdagangan Dunia adalah sebuah organisasi internasional yang memiliki kapasitas hukum dan juga dianggap sebagai subjek hukum internasional.[45] Struktur kelembagaannya diatur oleh Pasal IV Perjanjian WTO.[46] Terdapat dua badan yang mengambil keputusan di WTO, yaitu Konferensi Tingkat Menteri dan Dewan Umum. Kekuasaan tertinggi berada di tangan Konferensi Tingkat Menteri yang terdiri dari para perwakilan dari semua anggota WTO. Perwakilan-perwakilan ini bertemu setidaknya dua tahun sekali.[45] Di bawahnya, Dewan Umum berperan sebagai badan pengambil keputusan utama sekaligus perumus kebijakan selama rentang waktu antara setiap Konferensi Tingkat Menteri. Dewan Umum terdiri dari para diplomat setingkat duta besar dari semua anggota WTO yang berkumpul di Jenewa setidaknya dua bulan sekali. Dewan ini dikepalai oleh seorang ketua yang dipilih oleh dewan itu sendiri.[47] Dewan Umum berperan dalam menetapkan anggaran tahunan dan kebijakan keuangan organisasi,[48] serta dalam mengatur kerja sama dengan organisasi internasional lainnya atau dengan lembaga swadaya masyarakat.[45] Pekerjaan dewan umum dilengkapi oleh dua badan lainnya, yaitu Badan Penyelesaian Sengketa dan Badan Peninjauan Kebijakan Perdagangan.[45]
Di bawah Dewan Umum, terdapat dewan-dewan dan komite-komite khusus yang dibentuk oleh Pasal IV:5 Perjanjian WTO, yakni Dewan Perdagangan Barang, Dewan Perdagangan Jasa, dan Dewan TRIPS. Dewan-dewan ini melapor kepada Dewan Umum WTO, dan wewenang mereka sendiri sangat terbatas dan tidak boleh melebihi apa yang ditetapkan di dalam Perjanjian WTO, di dalam perjanjian dagang masing-masing (contohnya GATS untuk Dewan Perdagangan Jasa), dan oleh keputusan dari Dewan Umum.[49] Dewan-dewan ini diperbolehkan mendirikan komite-komite atau badan subsider sesuai dengan kebutuhan.[45] Selain itu, terdapat juga berbagai komite dan kelompok kerja yang membantu kerja Konferensi Tingkat Menteri dan Dewan Umum, seperti Komite tentang Perdagangan dan Lingkungan yang didirikan di Marrakesh pada tanggal 14 April 1994 berdasarkan Keputusan Tingkat Menteri tentang Perdagangan dan Lingkungan, Komite tentang Perdagangan dan Pembangunan yang ditetapkan oleh Pasal IV:7 Perjanjian WTO dan dibentuk oleh Dewan Umum pada tahun 1995, atau Komite tentang Perjanjian Dagang Regional yang juga didirikan oleh Dewan Umum pada tahun berikutnya.[50]
Organisasi Perdagangan Dunia juga dilengkapi oleh Sekretariat yang bertugas menyediakan bantuan teknis, profesional, dan kepegawaian kepada badan-badan WTO, menyediakan bantuan teknis kepada anggota yang masih berstatus negara berkembang, mengawasi dan mengkaji perdagangan dunia, memberikan nasihat kepada negara yang ingin bergabung dengan WTO, serta menyediakan informasi kepada masyarakat.[51] Sekretariat WTO dipimpin oleh seorang Direktur Jenderal. Konferensi Tingkat Menteri dapat memilih Direktur Jenderal dan menetapkan wewenang serta masa jabatannya. Direktur Jenderal harus bertindak independen dari pemerintahan.[45] Direktur Jenderal berwenang mengangkat pegawai-pegawai, dan mereka bekerja sebagai pegawai negeri internasional.[45][52] Pegawai-pegawai ini kebanyakan berlatar belakang ahli hukum dan ekonom.[52]
Anggota
Pada tahun 2016, WTO memiliki 164 anggota yang mewakili 99,5% populasi dunia dan 98% perdagangan dunia.[1] Para anggotanya tidak hanya terdiri dari negara-negara berdaulat, tetapi juga meliputi wilayah pabean (bahasa Inggris: customs territories), yaitu daerah yang bebas mengatur hubungan dagang mereka sendiri. Contoh wilayah pabean yang menjadi anggota WTO adalah "Hong Kong, Tiongkok", "Makau, Tiongkok", dan "Tionghoa Taipei" (lebih dikenal dengan julukan "Taiwan" di Indonesia).[53] Selain itu, WTO juga memiliki kekhususannya sendiri dengan menerima Uni Eropa sebagai anggota. Pada saat yang sama, negara-negara anggota Uni Eropa juga menjadi anggota WTO, sehingga negara-negara ini seolah memiliki keanggotaan ganda. Walaupun begitu, pada kenyataannya Komisi Eropa-lah yang bertindak sebagai perantara Uni Eropa sekaligus semua negara anggotanya di dalam pertemuan-pertemuan dan perundingan-perundingan yang digelar di WTO.[54]
Terdapat dua cara bagi negara yang ingin bergabung dengan WTO. Cara pertama yang disebut "keanggotaan awal" (bahasa Inggris: original membership) hanya dapat digunakan oleh negara yang pernah bergabung dengan GATT 1947 dan Komunitas Eropa. Berdasarkan Pasal XI:1 Perjanjian WTO, negara-negara tersebut dapat diterima sebagai anggota WTO jika mereka menerima semua ketentuan Perjanjian WTO dan perjanjian-perjanjian multilateral yang berada di bawahnya, dan jika memberikan konsesi dan membuat komitmen dalam perdagangan barang dan jasa yang kemudian dicantumkan di dalam daftar masing-masing.[55] Cara kedua adalah melalui prosedur aksesi seperti yang ditetapkan di dalam Pasal XII Perjanjian WTO. Negara atau wilayah pabean yang ingin bergabung harus menerima semua ketentuan Perjanjian WTO dan perjanjian-perjanjian multilateral yang berada di bawahnya, dan kemudian mereka harus melakukan perundingan aksesi yang mencoba menentukan kesesuaian undang-undang dan praktik dagang calon anggota dengan aturan WTO dan langkah yang dapat diambil untuk menyesuaikannya, serta konsesi akses pasar untuk perdagangan barang dan komitmen perdagangan jasa yang akan diambil oleh calon anggota.[56] Tahapannya secara umum dapat dibagi menjadi empat, yaitu:
- Tahap "perkenalan": calon anggota melaporkan semua kebijakan dagang dan ekonomi yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban anggota WTO dan mengirim memorandum yang berkaitan dengan hal ini. Memorandum ini akan diperiksa oleh kelompok kerja WTO yang didirikan khusus untuk keperluan ini untuk melihat apakah undang-undang dan praktik calon anggota sejalan dengan aturan WTO.[57]
- Tahap perundingan bilateral mengenai konsesi akses pasar dan komitmen yang akan diambil, tetapi pada akhirnya hasil perundingan bilateral tersebut harus diberlakukan secara multilateral kepada semua anggota WTO sesuai dengan asas MFN.[57]
- Tahap perumusan ketentuan keanggotaan: kelompok kerja WTO akan merumuskan ketentuan aksesi yang dijabarkan di dalam laporan kelompok kerja, rancangan protokol aksesi, dan rancangan "daftar barang" dan "daftar jasa" yang berisikan semua konsesi akses pasar dan komitmen calon anggota. Semua dokumen ini akan dikirimkan kepada Konferensi Tingkat Menteri atau Dewan Umum.[58]
- Tahap pengambilan keputusan: Konferensi Tingkat Menteri atau Dewan Umum akan memutuskan berdasarkan konsensus apakah mereka akan menerima calon anggota atau tidak. Jika lamaran untuk bergabung diterima, maka bakal anggota secara resmi akan bergabung dengan WTO dalam waktu tiga puluh hari setelah mereka mengirimkan instrumen ratifikasi protokol aksesi.[59]
Dalam sejarahnya, proses aksesi ke dalam WTO biasanya memakan waktu yang panjang; walaupun Kirgizstan merupakan negara tercepat yang bergabung ke dalam WTO (hanya memerlukan 2 tahun 10 bulan), perundingan aksesi dengan Aljazair masih belum selesai dari tahun 1987.[59] Republik Rakyat Tiongkok sendiri membutuhkan lebih dari empat belas tahun untuk menyelesaikan proses aksesi, dan mereka secara resmi bergabung pada November 2001.[60]
Selain anggota, WTO juga memiliki sejumlah "pengamat". Negara-negara yang baru saja mendapatkan status pengamat harus memulai perundingan untuk bergabung dengan WTO dalam kurun waktu lima tahun. Kewajiban ini tidak berlaku untuk Vatikan yang memiliki status pengamat di WTO. Selain itu, sejumlah organisasi internasional juga memiliki status pengamat permanen, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, Dana Moneter Internasional, Bank Dunia, Organisasi Pangan dan Pertanian, Konferensi PBB mengenai Perdagangan dan Pembangunan, Organisasi Hak atas Kekayaan Intelektual Dunia, dan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi. Ada pula organisasi-organisasi internasional yang hanya memiliki status pengamat di dalam badan WTO tertentu sesuai dengan mandat mereka, contohnya adalah Komisi Codex Alimentarius (lembaga gabungan Organisasi Pangan dan Pertanian dengan Organisasi Kesehatan Dunia) yang memiliki status mengamat di Komite Tindakan Sanitari dan Fitosanitari WTO.[55]
Pengambilan keputusan
Berdasarkan Pasal IX:1 Perjanjian WTO, Organisasi Perdagangan Dunia melanjutkan praktik pengambilan keputusan di dalam GATT 1947 yang menggunakan sistem konsensus. Prosedur standar ini akan dijalankan apabila tidak ada anggota yang terang-terangan menolak penetapan suatu keputusan. Apabila konsensus tidak dapat tercapai, maka keputusan akan diambil lewat pemungutan suara. Setiap anggota memiliki satu suara, tetapi jumlah suara Uni Eropa dianggap sama dengan jumlah negara anggotanya, dan jumlah suara Uni Eropa dan negara-negara anggotanya tidak boleh melebihi jumlah negara anggota Uni Eropa.[61] Selain itu, WTO juga memiliki prosedur-prosedur khusus. Sebagai contoh, Konferensi Tingkat Menteri dan Dewan Umum berwenang membuat penafsiran yang bersifat otoritatif terhadap perjanjian-perjanjian WTO, dan keputusan untuk menetapkan penafsiran semacam ini harus mendapatkan persetujuan dari 3/4 mayoritas. Contoh lain berkaitan dengan penerimaan anggota baru. Pasal XII:2 Perjanjian WTO mengatur bahwa keputusan yang berkenaan dengan hal tersebut diambil oleh Konferensi Tingkat Menteri dengan dukungan dari 2/3 mayoritas. Namun, sebagai catatan, Dewan Umum bersepakat pada tanggal 15 November 1995 untuk mencoba mengambil keputusan lewat konsensus terlebih dahulu, sehingga pemungutan suara untuk menerima anggota baru baru akan diadakan jika konsensus tidak dapat tercapai.[62]
Aturan-aturan dasar
WTO memiliki banyak aturan yang rumit mengenai perdagangan barang dan jasa dan perlindungan hak kekayaan intelektual.[63] Aspek-aspek dagang yang menjadi cakupan dari hukum WTO sendiri bermacam-macam, contohnya adalah tarif, kuota, regulasi di tingkatan nasional, tindakan yang diambil demi keamanan nasional, persyaratan pabean,[63] subsidi,[64] dan dumping.[65] Secara umum, terdapat empat jenis aturan dasar yang bersifat substansif dalam hukum WTO, yaitu aturan yang melarang diskriminasi, aturan mengenai akses pasar, aturan mengenai praktik perdagangan yang tidak adil, serta aturan mengenai pengecualian.[63]
Non-diskriminasi
Di dalam hukum WTO, terdapat dua aturan utama yang melarang diskriminasi, yaitu "perlakuan yang sama untuk semua anggota" (MFN) dan "perlakuan nasional". Berdasarkan aturan MFN, apabila suatu anggota WTO memutuskan untuk memberikan suatu perlakuan yang menguntungkan atau mengistimewakan salah satu anggota, maka keuntungan atau keistimewaan tersebut juga harus diberikan kepada semua anggota WTO tanpa terkecuali. Maka dari itu, anggota WTO tidak boleh memilih-milih dalam memberikan konsesi dagang kepada salah satu anggota lainnya. Sebagai contoh, apabila salah satu anggota WTO memutuskan untuk memangkas tarif impor beras dari salah satu anggota, maka pemangkasan tarif beras tersebut juga harus diberlakukan kepada semua anggota WTO.[66][67] Sementara itu, aturan "perlakuan nasional" menitahkan bahwa anggota WTO harus memperlakukan produk impor sebagaimana anggota tersebut memperlakukan produk sejenis di negaranya. Dalam kata lain, anggota WTO tidak boleh mendiskriminasi produk asing setelah produk tersebut masuk ke dalam pasar domestik. Sebagai contoh, apabila suatu anggota WTO memutuskan untuk menghapuskan pajak rokok buatan dalam negeri, maka penghapusan pajak tersebut juga harus diberlakukan untuk rokok-rokok impor yang sudah memasuki pasar dalam negeri. Jika mereka hanya memungut pajak tersebut untuk rokok impor, maka mereka telah melanggar aturan perlakuan nasional.[66][68]
Kedua aturan ini terkandung di dalam GATT dan GATS. Namun, kedua perjanjian ini memiliki perbedaan besar dalam hal cakupan penerapan. Aturan MFN di dalam GATS berlaku untuk semua jasa secara umum, walaupun anggota-anggota dapat membuat beberapa pengecualian yang terbatas cakupannya. Namun, aturan mengenai perlakuan nasional hanya berlaku untuk anggota yang telah membuat komitmen khusus terhadap sektor-sektor jasa tertentu atau terhadap salah satu dari empat cara untuk memasok jasa (pasokan lintas batas, konsumsi luar negeri, kehadiran komersial, dan kehadiran manusia alamiah atau natural person). Komitmen-komitmen ini dicantumkan di dalam daftar komitmen jasa setiap anggota. Oleh sebab itu, dalam membaca peraturan di dalam GATS, daftar komitmen jasa dari salah satu anggota yang sedang dikaji juga harus dipertimbangkan, dan mereka tidak harus menerapkan aturan perlakuan nasional untuk sektor jasa atau cara memasok yang belum diliberalisasi. Sementara itu, aturan perlakuan nasional di dalam GATT berlaku secara umum.[66][69]
Aturan mengenai akses pasar
Negara-negara membutuhkan akses pasar agar perdagangan barang dan jasa dapat berjalan lancar, tetapi akses pasar terhadap suatu negara seringkali dihambat oleh berbagai cara, baik itu tarif maupun non-tarif.[70] Secara umum, terdapat empat jenis aturan WTO yang terkait dengan akses pasar, yaitu peraturan tentang bea cukai, peraturan tentang cukai dan pungutan-pungutan keuangan lainnya, peraturan tentang pembatasan secara kuantitatif, serta peraturan tentang hambatan non-tarif lainnya.[66]
Pada dasarnya, pemungutan bea cukai itu tidak dilarang, tetapi tarif yang dipungut oleh suatu negara tidak boleh melebihi batas maksimal yang ditetapkan di dalam daftar konsesi masing-masing. Hukum WTO sendiri mengajak anggota-anggotanya untuk terus melakukan perundingan demi pengurangan tarif yang menguntungkan semua pihak, dan hasil dari perundingan ini juga akan dimasukkan ke dalam daftar konsesi anggota terkait.[71] Sehubungan dengan "cukai dan pungutan-pungutan lainnya", Badan Banding di dalam perkara India–Additional Import Duties telah mendefinisikan istilah ini sebagai "cukai dan pungutan yang bukan bea cukai biasa".[72] Misalnya, Panel di dalam perkara Dominican Republic–Safeguard Measures mendapati bahwa tindakan pengamanan yang dilakukan oleh petugas bea cukai Republik Dominika terhadap impor kantong plastik polipropilena merupakan "cukai dan pungutan lainnya", karena kebijakan ini bukanlah "bea cukai biasa".[73] Contoh-contoh lain yang dapat ditemui dalam perkara-perkara di Panel dan Badan Banding adalah cukai tambahan terhadap suatu barang yang sudah dikenakan bea cukai, pembayaran jaminan keamanan untuk mengimpor barang, atau biaya cukai tanpa batasan maksimal.[74]
Hukum WTO sendiri tidak mengizinkan pembatasan kuantitatif terhadap barang. Oleh sebab itu, secara umum anggota WTO tidak diperbolehkan melarang pengimporan atau pengeksporan barang tertentu, dan mereka juga tidak dapat memberlakukan kuota terhadap barang. Untuk perdagangan jasa, aturan ini hanya berlaku untuk sektor jasa yang telah diliberalisasi oleh anggota tersebut.[71] Sementara itu, peraturan yang keempat merupakan sebuah kategori dengan cakupan yang luas, contohnya adalah kurangnya transparansi hukum dagang, praktik perdagangan yang tidak adil, prosedur bea cukai, buruknya perlindungan hak kekayaan intelektual, tindakan sanitari dan fitosanitari, atau keberadaan hambatan teknis.[75] Aturan mengenai perlindungan hak kekayaan intelektual, tindakan sanitari dan fitosanitari, dan hambatan teknis diatur oleh perjanjiannya sendiri.[76] Misalnya, regulasi teknis yang diberlakukan oleh suatu negara harus mematuhi asas MFN, dan anggota yang memberlakukan regulasi ini harus memastikan agar tidak timbul hambatan perdagangan yang tidak diperlukan.[77]
Aturan mengenai praktik perdagangan yang tidak adil
Hukum WTO memiliki aturan-aturan khusus mengenai praktik-praktik perdagangan tertentu yang dianggap tidak adil, yaitu subsidi dan dumping. Subsidi diatur oleh Pasal XVI GATT dan juga Perjanjian tentang Subsidi dan Tindakan Imbalan (bahasa Inggris: Agreement on Subsidies and Countervailing Measures, disingkat Perjanjian SCM).[78] Menurut Perjanjian SCM, subsidi adalah kontribusi keuangan dari pemerintah atau badan publik, atau bantuan pendapatan atau harga dalam bentuk apapun sesuai dengan Pasal XVI GATT, yang memberikan keuntungan.[79] Hukum WTO melarang beberapa jenis subsidi, yaitu subsidi ekspor dan substitusi impor.[80] Sebagian besar dari jenis subsidi lainnya tidak dilarang, tetapi subsidi-subsidi tersebut tergolong sebagai "subsidi yang dapat ditindak" (actionable), yaitu subsidi yang dapat ditentang oleh anggota WTO apabila subsidi tersebut menimbulkan "dampak-dampak merugikan" (adverse effects) terhadap kepentingan anggota tersebut. Subsidi-subsidi tersebut meliputi subsidi yang mengakibatkan kerugian terhadap industri domestik yang menghasilkan produk sejenis, subsidi yang menyebabkan penghapusan atau pengurangan terhadap keuntungan yang diperoleh secara langsung ataupun tidak langsung dari GATT 1994, serta subsidi yang menyebabkan kerugian serius.[a][81] Jika anggota yang memberikan subsidi semacam itu menolak mencabutnya atau tidak mau mengambil langkah untuk menghilangkan dampaknya yang merugikan, anggota lain yang dirugikan dapat mengambil tindakan balasan yang sebanding dengan dampak dari subsidi tersebut.[78] Di Perjanjian SCM sendiri sebenarnya masih ada jenis subsidi ketiga, yaitu subsidi yang tidak dapat ditindak. Menurut Pasal 8.2 Perjanjian SCM, subsidi-subsidi tersebut meliputi subsidi lingkungan hidup, subsidi penelitian, dan subsidi untuk pembangunan daerah tertinggal. Namun, sesuai dengan Pasal 31 Perjanjian SCM, subsidi ini hanya berlaku lima tahun setelah Perjanjian WTO secara keseluruhan mulai berlaku. Akibatnya, aturan mengenai subsidi yang tidak dapat ditindak hanya berlaku hingga tanggal 31 Desember 1999, dan semenjak itu subsidi-subsidi tersebut tergolong sebagai subsidi yang dapat ditindak.[82] Sementara itu, dumping adalah praktik penjualan produk di pasar negara lain dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang seharusnya di dalam negeri. Secara umum, dumping tidak dilarang oleh hukum WTO, tetapi Pasal VI GATT dan Perjanjian Anti-Dumping mengizinkan anggota WTO untuk memungut bea anti-dumping terhadap anggota lain apabila praktik dumping yang diamalkan oleh anggota tersebut tersebut mengakibatkan atau mengancam akan mengakibatkan kerugian material terhadap produk sejenis yang diproduksi oleh anggota tersebut.[83]
Pengecualian
Upaya untuk meliberalisasi perdagangan dapat bertabrakan dengan kepentingan-kepentingan masyarakat, contohnya adalah pelestarian lingkungan hidup atau kepentingan ekonomi lainnya. Maka dari itu, hukum WTO memiliki pasal-pasal "pengecualian" yang membenarkan penyimpangan dari aturan-aturan dasar WTO dalam keadaan tertentu demi kepentingan-kepentingan masyarakat. Pengecualian secara umum terkandung di dalam Pasal XX GATT dan XIV GATS, contohnya adalah perlindungan moral masyarakat atau perlindungan kehidupan manusia, hewan, atau tumbuhan. Kepentingan untuk melindungi keamanan nasional juga dapat ditemui dalam Pasal XXI GATT dan Pasal XIV bis GATS. Sementara itu, Pasal XII dan XIX GATT serta Pasal X dan XII GATS mencantumkan kepentingan-kepentingan ekonomi, misalnya perlindungan industri dalam negeri dari kerugian serius yang diakibatkan oleh peningkatan impor secara tajam dan tak terduga.[84]
Sehubungan dengan pengecualian umum yang terkandung di dalam GATT dan GATS, anggota WTO biasanya dapat melewati langkah pertama untuk membenarkan kebijakan tersebut, yaitu pembuktian bahwa kebijakan tersebut benar-benar dimaksudkan untuk melindungi kepentingan terkait. Sebagai contoh, sehubungan dengan Pasal XIV GATS, Panel di dalam perkara US–Gambling menerima argumen dari Amerika Serikat bahwa kebijakan yang membatasi judi dapat dibenarkan untuk melindungi moral masyarakat, dan "moral masyarakat" sendiri didefinisikan oleh Panel sebagai "standar tindakan benar dan salah yang dipelihara oleh atau atas perantara suatu komunitas atau bangsa." Badan Banding sepakat dengan keputusan ini.[85][86] Namun, upaya untuk memakai Pasal XX GATT dan Pasal XIV GATS acapkali kandas akibat keberadaan chapeau (mukadimah) di dalam kedua pasal tersebut. Chapeau ini menyatakan bahwa tindakan-tindakan yang diambil oleh anggota WTO untuk melindungi kepentingan tertentu tidak diperbolehkan apabila tindakan tersebut tergolong sebagai diskriminasi yang sembarangan atau tidak dapat dibenarkan, atau jika tindakan tersebut merupakan kedok untuk membatasi perdagangan internasional. Fungsi dari chapeau ini adalah untuk menghindari penyalahgunaan, tetapi kenyataannya chapeau ini malah mementalkan banyak upaya untuk membenarkan tindakan perlindungan. Contohnya, dalam perkara US–Gambling, pada akhirnya Amerika Serikat dinilai telah melanggar hukum WTO karena mereka mengizinkan jasa taruhan balap kuda yang disediakan oleh beberapa perusahaan Amerika Serikat, sehingga Amerika Serikat dianggap telah berlaku diskriminatif. Sementara itu, dalam perkara US–Shrimp, tindakan yang ingin melindungi penyu sebagai sumber daya alam yang dapat habis (sesuai dengan Pasal XX(g) GATT)[b] juga ditolak karena bersifat diskriminatif.[87]
Hukum WTO juga menyediakan pengecualian dalam bentuk perjanjian dagang regional, yaitu perjanjian yang ditetapkan oleh negara-negara tertentu untuk semakin memperkuat upaya integrasi ekonomi. Contohnya adalah Kawasan Perdagangan Bebas Perbara, Perjanjian Perdagangan Bebas Eropa Tengah, atau Mercosur di Amerika Selatan. Dalam ranah WTO, "perjanjian dagang regional" juga dapat bersifat bilateral, contohnya adalah Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Serikat-Kolombia atau Perjanjian Perdagangan Bebas Uni Eropa-Korea Selatan.[88] Pada dasarnya perjanjian-perjanjian semacam ini menjadi pengecualian bagi asas MFN, karena negara yang tergabung di dalam perjanjian perdagangan bebas seperti ini memberikan keuntungan tertentu kepada mitra dagangnya, tetapi tidak kepada anggota WTO yang lain.[89] Pasal XXIV GATT dan Pasal V GATS sama-sama mengizinkan penetapan perjanjian dagang regional yang mendirikan serikat pabean atau kawasan perdagangan bebas.[90] Selain itu, pada tanggal 28 November 1979, negara-negara anggota GATT mengeluarkan sebuah keputusan mengenai Enabling Clause yang mengizinkan Perlakuan Khusus dan Berbeda (Special and Differential Treatment) untuk negara-negara berkembang. Enabling Clause ini kini menjadi bagian dari GATT 1994.[91] Salah satu contohnya adalah perlakuan yang lebih menguntungkan bagi negara berkembang walaupun hal ini menyimpang dari asas MFN, pemberian landasan hukum kepada negara berkembang untuk membentuk "perjanjian dagang preferensial" sendiri, serta pemberian preferensi dagang tambahan kepada negara terbelakang.[92]
Penyelesaian sengketa
WTO memiliki sistem penyelesaian sengketa yang bertindak layaknya pengadilan dagang internasional.[93] Sistem penyelesaian sengketa ini memiliki yurisdiksi wajib (compulsory jurisdiction), atau dalam kata lain anggota-anggota WTO harus menerima yurisdiksi sistem tersebut.[94] Yurisdiksinya juga bersifat eksklusif dalam artian anggota yang ingin menuntut pelanggaran kewajiban hukum WTO yang dilakukan anggota lain harus membawa perkara ini ke sistem penyelesaian sengketa di WTO.[95] Selain itu, putusan yang dikeluarkan oleh sistem penyelesaian sengketa ini mengikat secara hukum.[93] Tujuan dari sistem ini sendiri ditetapkan oleh Pasal 3.2 DSU, yaitu untuk "memberikan kepastian dan prediktabilitas" terhadap sistem perdagangan multilateral, sehingga badan yang menyelesaikan sengketa akan mengeluarkan putusan yang sama untuk isu hukum yang sama kecuali jika ada alasan yang kuat.[96] Selain itu, sistem ini juga didirikan untuk mempertahankan hak dan kewajiban anggota sesuai dengan yang ditetapkan oleh perjanjian-perjanjian WTO. Maka dari itu, seperti yang tertulis secara gamblang di dalam Pasal 3.2 DSU, badan yang menyelesaikan sengketa tidak boleh mengeluarkan putusan yang menambah ataupun mengurangi hak dan kewajiban anggota. Salah satu dampaknya adalah penolakan penggunaan perjanjian di luar WTO sebagai landasan hukum, karena tindakan seperti itu akan "menambah atau mengurangi" hak dan kewajiban anggota.[97]
Sistem ini sendiri memiliki dua macam lembaga, yaitu lembaga politik berupa Badan Penyelesaian Sengketa dan lembaga kehakiman seperti Panel dan Badan Banding (bahasa Inggris: Appellate Body). Badan Penyelesaian Sengketa pada dasarnya adalah sesi khusus di Dewan Umum WTO. Badan ini terdiri dari para diplomat yang mewakili semua anggota WTO, dan Pasal 2.1 DSU menyatakan bahwa fungsi dari badan ini adalah untuk menjalankan sistem penyelesaian sengketa, termasuk dengan mendirikan panel, menetapkan laporan panel dan Badan Banding, mengawasi pemberlakuan isi putusan, serta mengizinkan pengambilan tindakan balasan terhadap anggota yang terbukti melanggar hukum WTO.[98] Badan ini juga dapat mengangkat anggota Badan Banding dan menetapkan aturan perilaku dalam sistem penyelesaian sengketa. Dalam mengambil beberapa keputusan penting (seperti pembentukan Panel, penetapan laporan Panel dan Badan Banding, dan pemberian izin untuk menangguhkan konsesi dagang), Badan Penyelesaian Sengketa memiliki sistem "konsensus terbalik": keputusan akan diambil kecuali jika para anggota WTO telah mencapai konsensus untuk tidak mengambil keputusan tersebut.[99]
Untuk lembaga kehakimannya, Panel berperan seperti pengadilan tingkat pertama. Namun, lembaga ini bukanlah sebuah pengadilan permanen, tetapi merupakan sebuah lembaga ad hoc yang dibentuk oleh Badan Penyelesaian Sengketa untuk sengketa-sengketa tertentu. Panel akan dibubarkan setelah sengketanya diselesaikan.[100] Untuk memulai perkara di sistem penyelesaian sengketa WTO, anggota yang menuntut harus meminta konsultasi dengan anggota lain terlebih dahulu. Anggota terkait harus membalas permintaan ini dalam waktu sepuluh hari dan juga harus berunding dengan itikad baik dalam waktu tiga puluh hari setelah permintaan tersebut resmi dilayangkan. Setelah itu, pihak yang menuntut baru dapat melayangkan permintaan resmi untuk mendirikan sebuah Panel kepada Badan Penyelesaian Sengketa.[101] Permintaan ini berfungsi untuk menentukan cakupan sengketa dan yurisdiksi panel, serta untuk memberitahu anggota yang dipermasalahkan dan anggota-anggota lain mengenai perkara tersebut. Permintaan ini harus disampaikan dalam bentuk tulisan.[100] Panel biasanya terdiri dari tiga orang, tetapi pihak-pihak yang bersengketa dapat memutuskan dalam waktu sepuluh hari setelah pembentukan Panel agar jumlah anggotanya dijadikan lima.[102] Berdasarkan Pasal 11 DSU, tugas Panel adalah untuk meninjau perkara secara objektif.[103] Setelah Panel mengeluarkan putusan, laporannya akan ditetapkan oleh Badan Penyelesaian Sengketa dalam waktu 60 hari setelah laporan tersebut dibagikan kepada semua anggota. Keputusan untuk menetapkan laporan diambil berdasarkan sistem konsensus terbalik.[104]
Apabila salah satu pihak dalam suatu perkara merasa tidak puas dengan putusan Panel, maka mereka dapat memohon peninjauan dari Badan Banding. Tidak seperti Panel, Badan Banding merupakan sebuah lembaga yang terus berdiri, dan lembaga ini sendiri dibentuk pada Februari 1995.[105] Lembaga ini terdiri dari tujuh hakim yang merupakan pakar hukum, perdagangan internasional, dan subjek yang dibahas dalam perjanjian-perjanjian WTO. Mereka bertindak secara independen dari pemerintahan di tingkatan nasional, dan Badan Penyelesaian Sengketa dapat mengangkat hakim di Badan Banding untuk masa jabatan selama empat tahun. Masing-masing boleh diangkat lagi satu kali.[106] Menurut Pasal 17.12 DSU, tugas Badan Banding adalah untuk mempertimbangkan permasalahan-permasalahan yang diangkat selama prosedur banding, dan Pasal 17.13 DSU juga menegaskan bahwa Badan Banding berwenang mengubah, menegakkan, atau membatalkan putusan Panel.[107] Setelah Badan Banding mengeluarkan putusannya, laporannya juga harus ditetapkan oleh Badan Penyelesaian Sengketa dalam waktu 30 hari setelah laporan tersebut dibagikan kepada anggota-anggota WTO. Pengambilan keputusan ini juga memakai sistem konsensus terbalik.[108] Setelah itu, sengketa terkait akan memasuki tahap implementasi dan penegakan. Dalam waktu 30 hari setelah laporan Panel atau Badan Banding ditetapkan, pihak yang didapati telah melanggar hukum WTO harus memberitahukan kepada Badan Penyelesaian Sengketa bagaimana mereka akan mengimplementasikan putusan badan tersebut.[109] Jika anggota terkait tidak dapat langsung mematuhi putusan Panel atau Badan Banding, maka mereka diberi tenggat waktu yang "masuk akal" untuk mengimplementasikan putusan tersebut. Menurut Pasal 21.3 DSU, "tenggat waktu yang masuk akal" adalah tenggat waktu yang diusulkan oleh anggota terkait yang disetujui oleh Badan Penyelesaian Sengketa, atau tenggat waktu yang disepakati oleh kedua belah pihak dalam sengketa dalam waktu 45 hari setelah putusan Panel atau Badan Banding ditetapkan, atau tenggat waktu yang ditentukan melalui prosedur arbitrase dalam waktu 90 hari setelah penetapan putusan Panel atau Badan Banding.[110] Sebelum tenggat waktu ini habis, pihak-pihak dalam sengketa mungkin saja akan berselisih pandang mengenai tindakan implementasi yang patut diambil atau yang sejalan dengan hukum WTO, sehingga Pasal 21.5 DSU menyediakan prosedur khusus untuk menyelesaikan perselisihan ini dengan meminta peninjauan dari Panel yang dibentuk pada permulaan sengketa.[111] Jika pihak yang telah melanggar hukum WTO menolak untuk mengimplementasikan putusan Panel atau Badan Banding atau tidak mengimplementasikannya dengan benar dalam tenggat waktu yang dianggap masuk akal, maka pihak yang dirugikan dapat berunding dengan pihak yang melanggar untuk mendapatkan kompensasi. Jika kompensasi tidak dapat diperoleh, pihak yang dirugikan dapat meminta izin dari Badan Penyelesaian Sengketa untuk mengambil tindakan balasan, contohnya dengan menangguhkan konsesi dari pihak yang dirugikan kepada pihak yang merugikan.[112]
Kritik
Berkat GATT dan WTO, tarif dan hambatan-hambatan perdagangan lainnya telah dikurangi secara signifikan. Namun, janji bahwa perdagangan bebas akan melejitkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan pendapatan rakyat telah dipertanyakan. Sebagai contoh, Meksiko dan El Salvador memiliki ekonomi yang terbuka, tetapi tingkat pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan riil, dan upaya pengentasan kemiskinan di kedua negara tersebut masih belum maksimal. Sementara itu, Vietnam mengalami pertumbuhan yang pesat dan tingkat kemiskinan di negara tersebut menurun drastis meskipun pemerintahnya memberlakukan sistem proteksionisme. Ekonom Ha-Joon Chang sendiri berpendapat bahwa terdapat sebuah "paradoks" dalam keyakinan neoliberal mengenai perdagangan bebas, karena pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang lebih tinggi dari tahun 1960 hingga 1980 daripada dari tahun 1980 hingga 2000 meskipun kebijakan dagangnya jauh lebih liberal daripada sebelumnya. Selain itu, terdapat pula hasil penelitian yang menunjukkan bahwa negara-negara akan mengurangi hambatan perdagangan secara signifikan setelah ekonominya menjadi lebih kaya. Maka dari itu, para pengkritik WTO menegaskan bahwa liberalisasi perdagangan tidak menjamin pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan.[113]
Para pengkritik WTO juga mengemukakan pandangan bahwa keuntungan yang diperoleh dari perdagangan bebas tidak terbagi secara merata. Kritik ini biasanya ditopang dengan data yang menunjukkan bahwa jurang antara yang kaya dan miskin terus melebar, terutama di Republik Rakyat Tiongkok dan India yang semakin bertambah ketimpangan ekonominya meskipun pertumbuhan ekonominya sangat tinggi.[114] Selain itu, pendekatan WTO yang ingin mengurangi hambatan perdagangan dapat merugikan negara-negara berkembang. Dengan dihapuskannya tarif, negara kehilangan salah satu sumber pendapatannya.[115] Liberalisasi perdagangan yang terlalu dini juga ditakutkan akan memerangkap negara berkembang di sektor primer yang tidak membutuhkan tenaga kerja yang terampil.[116] Negara berkembang yang ingin maju biasanya akan melakukan industrialisasi, tetapi industri yang baru lahir tidak bisa serta merta langsung meroket begitu saja. Konon ekonom terkemuka Adam Smith pernah memberikan nasihat kepada pemerintah Amerika Serikat yang baru merdeka saat itu agar mereka fokus pada sektor pertanian daripada mencoba menyaingi Eropa yang industrinya lebih maju, tetapi Amerika Serikat tidak menggubrisnya dan malah memasang tarif yang tinggi untuk melindungi produsen Amerika. Saat ini Amerika Serikat adalah salah satu negara dengan industri terkuat di dunia.[117] Hal yang sama juga berlaku untuk Macan Asia Timur, dan bahkan muncul dugaan bahwa jika Korea Selatan menghapuskan tarifnya sebelum ekonomi mereka tumbuh pesat, kemungkinan besar saat ini negara tersebut hanya akan menjadi negara miskin penghasil beras.[118]
WTO turut digempur oleh kritik bahwa lembaga tersebut tidak demokratis. Pertama-tama, aturan WTO membatasi kemampuan negara untuk meregulasi ekonominya, dan hal ini menyulitkan upaya negara untuk menegakkan keinginan rakyat. Selain itu, proses pengambilan keputusan di lembaga WTO dianggap kurang melibatkan lembaga swadaya masyarakat, padahal keputusan yang diambil di lembaga tersebut akan berdampak terhadap penghidupan banyak sekali orang.[119] Ditambah lagi proses perundingan di WTO seringkali dilakukan secara rahasia oleh kelompok-kelompok dengan kepentingan-kepentingan ekonomi tertentu, dan rakyat sendiri kurang diinformasikan soal kesepakatan-kesepakatan tersebut.[120] Akibatnya, aturan-aturan WTO pun didominasi oleh kepentingan dagang, dan kepentingan-kepentingan lainnya (seperti hak asasi manusia, hak-hak buruh, dan pelestarian lingkungan hidup) cenderung dikesampingkan dan juga tidak terwakilkan dalam proses pengambilan keputusannya.[121] Selain itu, negara-negara maju memiliki kekuatan untuk mendominasi proses perundingan di WTO. Walaupun keputusan diambil lewat konsensus, negara-negara kecil sulit dalam menantang negara-negara maju apabila terdapat ketidaksetujuan. Oleh sebab itu, negara-negara kecil pun sulit untuk mendapatkan perjanjian yang adil untuk kepentingan mereka. Hal ini semakin diperparah dengan kebiasaan perundingan di GATT yang tidak selalu melibatkan semuanya, contohnya keberadaan "Ruangan Hijau" untuk perundingan kebijakan dan perjanjian tertentu yang hanya melibatkan anggota-anggota yang diundang.[122] Dalam proses penyelesaian sengketa sendiri, negara maju juga lebih unggul daripada negara miskin dalam memulai sengketa dan juga dalam menegakkan putusan Panel atau Badan Banding. Sengketa di WTO memakan biaya yang besar dan membutuhkan tenaga-tenaga ahli. Kalaupun ada negara kecil yang berhasil memenangkan sengketa, tindakan balasan yang dapat mereka ambil tidak akan terlalu berdampak terhadap negara maju yang ekonominya jauh lebih besar, dan kadang negara maju bahkan dapat mengabaikan putusan yang tidak mereka sukai.[123]
Ketimpangan antara negara maju dan negara berkembang terlihat jelas dalam sektor pertanian. Hukum WTO menuai kritikan pedas karena Perjanjian tentang Pertanian mengizinkan negara-negara maju untuk mempertahankan subsidi pertanian yang sangat merugikan negara-negara berkembang (contohnya adalah Kebijakan Pertanian Bersama di Uni Eropa). Akibat subsidi tersebut, negara-negara ini dapat menjual hasil yang berlebih ke pasar dunia dengan harga yang jauh lebih rendah, dan pada saat yang sama mereka menuntut agar negara-negara berkembang membuka pasar mereka. Alhasil para petani di negara-negara berkembang tidak dapat bersaing dengan produk pertanian negara-negara maju.[124] Walaupun anggota-anggota WTO sudah sepakat untuk menghapuskan subsidi ekspor pertanian, negara-negara maju masih mempertahankan subsidi dan melindungi sektor pertanian mereka dengan hambatan-hambatan perdagangan, dan praktik ini menghalangi perkembangan industri pertanian di negara-negara berkembang. Pada saat yang sama, jika semua subsidi pertanian langsung dihapuskan, harga pangan bisa melejit, dan hal ini juga akan merugikan rakyat dan mengancam ketersediaan pangan. Maka dari itu, pakar hukum yang mengkritik WTO dari sudut pandang hak asasi manusia, Sarah Joseph, menyarankan agar subsidi ini dihapuskan secara bertahap agar pasar dapat menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi.[125]
Catatan
- ^ Menurut Pasal 6.3 Perjanjian SCM, "kerugian serius" bisa berupa: "subsidi yang menggantikan atau menghalangi impor produk sejenis dari anggota lain ke pasar anggota pemberi subsidi", "subsidi yang menggantikan atau menghalangi ekspor produk sejenis dari anggota lain ke pasar negara ketiga", "subsidi yang mengakibatkan pemotongan harga yang jauh lebih rendah dari produk yang disubsidi dibandingkan dengan harga produk sejenis dari anggota lain dalam pasar yang sama atau penekanan harga yang besar, penurunan harga atau kehilangan penjualan yang berarti dalam pasar yang sama", atau "subsidi yang mengakibatkan kenaikan pangsa pasar negara yang memberi subsidi produk atau barang dagangan primer bila dibandingkan dengan pangsa rata-rata yang dimilikinya tiga tahun sebelumnya". Lihat Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 818
- ^ Sebelumnya, Amerika Serikat mencoba mengajukan argumen bahwa "sumber daya alam yang dapat habis" hanya mengacu kepada sumber daya yang tidak hidup seperti emas atau perak. Namun, Badan Banding menyatakan bahwa sumber daya hidup juga bisa habis atau bahkan punah, dan menurut mereka gagasan modern dan "evolusioner" mengenai pelestarian lingkungan dapat mengilhami upaya penafsiran terhadap GATT yang dilakukan pada tahun 1998. Untuk keterangan lebih lanjut, lihat Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 573-578
Rujukan
- ^ a b Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 113.
- ^ Van den Bossche & Prévost 2016, hlm. 281.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 157.
- ^ a b c d Hoekman & Mavroidis 2007, hlm. 7.
- ^ VanGrasstek 2013, hlm. 43.
- ^ VanGrasstek 2013, hlm. 44.
- ^ a b Hoekman & Mavroidis 2007, hlm. 8.
- ^ Matsushita, Schoenbaum, Mavroidis & Hahn 2015, hlm. 2.
- ^ Matsushita, Schoenbaum, Mavroidis & Hahn 2015, hlm. 9.
- ^ Hoekman & Mavroidis 2007, hlm. 9.
- ^ Hoekman & Mavroidis 2007, hlm. 12.
- ^ Matsushita, Schoenbaum, Mavroidis & Hahn 2015, hlm. 9-10.
- ^ Matsushita, Schoenbaum, Mavroidis & Hahn 2015, hlm. 10-11.
- ^ a b Matsushita, Schoenbaum, Mavroidis & Hahn 2015, hlm. 26.
- ^ Hoekman & Mavroidis 2007, hlm. 5.
- ^ a b Deutsche Welle 2003.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 94-95.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 95.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 97.
- ^ Matsushita, Schoenbaum, Mavroidis & Hahn 2015, hlm. 27.
- ^ Lowenfeld 2003, hlm. 4.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 19-20.
- ^ Trebilcock, Howse & Eliason 2012, hlm. 3.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 20-21.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 23.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 21.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 22-23.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 88.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 88-89.
- ^ a b Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 89.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 90.
- ^ Matsushita, Schoenbaum, Mavroidis & Hahn 2015, hlm. 11-12.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 43.
- ^ a b Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 44.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 45-48.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 47.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 48.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 44, 51-52.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 44, 52.
- ^ a b Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 53.
- ^ Matsushita, Schoenbaum, Mavroidis & Hahn 2015, hlm. 11.
- ^ Wunsch-Vincent 2005, hlm. 33-34.
- ^ Marx 2015, hlm. 346-347.
- ^ WTO.
- ^ a b c d e f g Matsushita, Schoenbaum, Mavroidis & Hahn 2015, hlm. 12.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 128.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 132.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 133.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 134.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 135.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 142-143.
- ^ a b Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 144.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 114.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 115-116.
- ^ a b Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 118.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 118-119.
- ^ a b Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 119.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 119-120.
- ^ a b Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 120.
- ^ Matsushita, Schoenbaum, Mavroidis & Hahn 2015, hlm. 13.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 146-147.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 148-149.
- ^ a b c Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 38.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 769.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 696.
- ^ a b c d Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 39.
- ^ Van den Bossche & Prévost 2016, hlm. 13.
- ^ Van den Bossche & Prévost 2016, hlm. 13-14.
- ^ Trebilcock & Howse 2005, hlm. 390.
- ^ Van den Bossche & Prévost 2016, hlm. 49.
- ^ a b Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 40.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 462.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 463.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 464.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 39-40.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 883, 935, 993.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 899, 912.
- ^ a b Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 41.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 775.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 802-811.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 811-818.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 846.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 699-701.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 42.
- ^ Joseph 2011, hlm. 108.
- ^ Gaines & Olsen 2012, hlm. 216-217.
- ^ Joseph 2011, hlm. 115.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 671-673.
- ^ Matsushita, Schoenbaum, Mavroidis & Hahn 2015, hlm. 507.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 674, 679, 688.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 687-688.
- ^ Matsushita, Schoenbaum, Mavroidis & Hahn 2015, hlm. 701.
- ^ a b Matsushita, Schoenbaum, Mavroidis & Hahn 2015, hlm. 83.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 168.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 169.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 185.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 68.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 209.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 210.
- ^ a b Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 212.
- ^ Matsushita, Schoenbaum, Mavroidis & Hahn 2015, hlm. 90.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 217.
- ^ Matsushita, Schoenbaum, Mavroidis & Hahn 2015, hlm. 98.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 278.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 233.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 234-235.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 243.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 284.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 285.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 285-286.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 287.
- ^ Van den Bossche & Zdouc 2017, hlm. 289.
- ^ Joseph 2011, hlm. 164-165.
- ^ Joseph 2011, hlm. 166-167.
- ^ Joseph 2011, hlm. 170.
- ^ Joseph 2011, hlm. 171.
- ^ Joseph 2011, hlm. 173.
- ^ Joseph 2011, hlm. 174.
- ^ Joseph 2011, hlm. 56-57.
- ^ Joseph 2011, hlm. 58.
- ^ Joseph 2011, hlm. 58-59.
- ^ Joseph 2011, hlm. 62-63.
- ^ Joseph 2011, hlm. 67.
- ^ Gonzalez 2002, hlm. 438.
- ^ Joseph 2011, hlm. 211-213.
Daftar pustaka
Buku
- Gaines, Sanford E.; Olsen, Birgitte Egelund (2012). "Trade and Social Objectives". Dalam Gaines, Sanford E.; Olsen, Birgitte Egelund; Sørensen, Karsten Engsig. Liberalising Trade in the EU and the WTO. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 9781107012752.
- Hoekman, Bernard M.; Mavroidis, Petros C. (2007). The World Organization: Law, Economics, and Politics. London & New York: Routledge. ISBN 9780415414586.
- Joseph, Sarah (2011). Blame it on the WTO?: A Human Rights Critique. Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780199565894.
- Lowenfeld, Andreas F. (2003). International Economic Law. Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780199264117.
- Matsushita, Mitsuo; Schoenbaum, Thomas J.; Mavroidis, Petros C.; Hahn, Michael (2015). The World Trade Organization: Law, Practice, and Policy (edisi ke-3). Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780199571857.
- Trebilcock, Michael J.; Howse, Robert (2005). The Regulation of International Trade (edisi ke-3). London & New York: Routledge. ISBN 9780415700337.
- Trebilcock, Michael J.; Howse, Robert; Eliason, Antonia (2012). The Regulation of International Trade (edisi ke-4). London & New York: Routledge. ISBN 9780415610896.
- Van den Bossche, Peter; Zdouc, Werner (2017). The Law and Policy of the World Trade Organization (edisi ke-4). Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 9781316662496.
- Van den Bossche, Peter; Prévost, Denise (2016). Essentials of WTO Law. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 9781316571545.
- VanGrasstek, Craig (2013). The History and Future of the World Trade Organization (PDF). Jenewa: World Trade Organization. ISBN 9789287038715.
- Wunsch-Vincent, Sacha (2005). WTO, E-commerce and Information Technologies: From the Uruguay Round through the Doha Development Agenda. New York City: The United Nations Information and Communication Technologies Task Force.
Jurnal
- Gonzalez, Carmen G. (2002). "Institutionalizing Inequality: The WTO Agreement on Agriculture, Food Security, and Developing Countries". Columbia Journal of Environmental Law. 27: 433-490.
- Marx, Aaron (2015). "The ITA II: Successful Trade Liberalization". Global Trade and Customs Journal. 10: 346-354.
Sumber daring
- "WTO legal texts". Organisasi Perdagangan Dunia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 Januari 2019. Diakses tanggal 28 Januari 2019.
- "WTO Talks Collapse in Cancun". Deutsche Welle. 15 September 2003. Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 Januari 2019. Diakses tanggal 28 Januari 2019.
Bacaan lanjut
- Macrory, Patrick F. J.; Appleton, Arthur E.; Plummer, Michael G., ed. (2005). The World Trade Organization: Legal, Economic and Political Analysis. New York: Springer. ISBN 0-387-22685-0.
Pranala luar
- (Inggris) Situs web resmi