Hamengkubuwana IX
Hamengkubuwana IX ꦲꦩꦼꦁꦑꦸꦨꦸꦮꦤ ꧇꧙꧇ | |||||
---|---|---|---|---|---|
Sri Sultan Hamengkubuwana IX | |||||
Sultan Yogyakarta | |||||
Bertakhta | 1940–1988 | ||||
Penobatan | 18 Maret 1940[1] | ||||
Pendahulu | Sultan Hamengkubuwana VIII | ||||
Penerus | Sultan Hamengkubuwana X | ||||
Wakil Presiden Indonesia ke-2 | |||||
Mulai menjabat | 23 Maret 1973–23 Maret 1978 | ||||
Presiden | Soeharto | ||||
Pendahulu | Mohammad Hatta | ||||
Penerus | Adam Malik | ||||
Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Indonesia ke-1 | |||||
Mulai menjabat | 25 Juli 1966–29 Maret 1973 | ||||
Presiden | Soeharto | ||||
Pendahulu | Tidak ada, jabatan baru | ||||
Penerus | Widjojo Nitisastro | ||||
Wakil Perdana Menteri Indonesia ke-5 | |||||
Mulai menjabat | 6 Sept 1950–27 Apr 1951 | ||||
Presiden | Soekarno | ||||
Pendahulu | Abdul Hakim | ||||
Penerus | Suwiryo | ||||
Perdana menteri | Mohammad Natsir | ||||
Menteri Pertahanan Indonesia ke-3 | |||||
Mulai menjabat | 15 Juli 1948–20 Des 1949 | ||||
Presiden | Soekarno | ||||
Pendahulu | Mohammad Hatta (a.i.) | ||||
Perdana menteri | Mohammad Hatta | ||||
Mulai menjabat | 3 Apr 1952–2 Jun 1953 | ||||
Presiden | Soekarno | ||||
Pendahulu | Sewaka | ||||
Penerus | Wilopo | ||||
Perdana menteri | Wilopo | ||||
Menteri Negara Indonesia | |||||
Mulai menjabat | 2 Okt 1946–20 Des 1949 | ||||
Presiden | Soekarno | ||||
Perdana menteri | Sutan Sjahrir Amir Sjarifuddin Mohammad Hatta | ||||
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta ke-1 | |||||
Mulai menjabat | 4 Maret 1950–2 Okt 1988 | ||||
Presiden | Soekarno Soeharto | ||||
Penerus | Paku Alam VIII | ||||
Ketua Kwartir Nasional ke-1 | |||||
Mulai menjabat | 14 Agustus 1961–27 Nov 1974 | ||||
Pendahulu | Tidak ada, jabatan baru | ||||
Penerus | M. Sarbini | ||||
Kelahiran | Gusti Raden Mas Dorodjatun 12 April 1912 Ngasem, Ngayogyakarta Hadiningrat | ||||
Kematian | 2 Oktober 1988 Washington, D.C., Amerika Serikat[1] | (umur 76)||||
Pemakaman | |||||
| |||||
Wangsa | Mataram | ||||
Ayah | Sultan Hamengkubuwana VIII | ||||
Ibu | Raden Ajeng Kustilah[1] | ||||
Agama | Islam | ||||
Tanda tangan | |||||
Karier militer | |||||
Dinas/cabang | TNI Angkatan Darat | ||||
Lama dinas | 1945–1953 | ||||
Pangkat | Letnan Jenderal | ||||
Perang/pertempuran |
Sri Sultan Hamengkubuwana IX atau Gusti Raden Mas Dorodjatun (bahasa Jawa: Sri Sultan Hamengkubuwana IX, Hanacaraka: ꦯꦿꦶꦯꦸꦭ꧀ꦡꦟ꧀ꦲꦩꦼꦁꦑꦸꦨꦸꦮꦤ IX), 12 April 1912 – 2 Oktober 1988[a]) adalah seorang sultan yang pernah memimpin di Kesultanan Yogyakarta dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang pertama setelah kemerdekaan Indonesia. Memerintah antata tahun 1940-1988, ia adalah penguasa Yogyakarta terlama dalam sejarah (48 tahun). Ia pernah menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia yang kedua antara tahun 1973 dan 1978. Dia juga dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia, dan pernah menjabat sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka.
Biografi
Lahir di Yogyakarta dengan nama Gusti Raden Mas Dorodjatun di Ngasem, Hamengkubuwana IX adalah putra dari Sri Sultan Hamengkubuwana VIII dan permaisuri Kangjeng Raden Ayu Adipati Anom Hamengkunegara. Di umur 4 tahun Hamengkubuwana IX tinggal pisah dari keluarganya. Dia memperoleh pendidikan di Europeesche Lagere School di Yogyakarta. Pada tahun 1925 ia melanjutkan pendidikannya ke Hoogere Burgerschool di Semarang, dan Hoogere Burgerschool te Bandoeng - HBS Bandung. Pada tahun 1930-an dia berkuliah di Rijkuniversiteit (sekarang Universiteit Leiden), Belanda ("Sultan Henkie").
Hamengkubuwana IX dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta pada tanggal 18 Maret 1940 dengan gelar "Ngarsa Dalem Sampéyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengkubuwana Sénapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga ing Ngayogyakarta Hadiningrat". Ia merupakan sultan yang menentang penjajahan Belanda dan mendorong kemerdekaan Indonesia. Selain itu, dia juga mendorong agar pemerintah RI memberi status khusus bagi Yogyakarta dengan predikat "Istimewa".[1] Sebelum dinobatkan, Sultan yang berusia 28 tahun bernegosiasi secara alot selama 4 bulan dengan diplomat senior Belanda Dr. Lucien Adam mengenai otonomi Yogyakarta. Pada masa Jepang, Sultan melarang pengiriman romusa dengan mengadakan proyek lokal saluran irigasi Selokan Mataram. Sultan bersama Paku Alam IX adalah penguasa lokal pertama yang menggabungkan diri ke Republik Indonesia. Sultan pulalah yang mengundang Presiden untuk memimpin dari Yogyakarta setelah Jakarta dikuasai Belanda dalam Agresi Militer Belanda I. Sultan Hamengkubuwana IX tercatat sebagai Gubernur terlama yang menjabat di Indonesia antara 1945-1988 dan Raja Kesultanan Yogyakarta terlama antara 1940-1988.
Dukungan pada Republik Indonesia
Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, keadaan perekonomian sangat buruk. Kas negara kosong, pertanian dan industri rusak berat akibat perang. Blokade ekonomi yang dilakukan Belanda membuat perdagangan dengan luar negeri terhambat. Kekeringan dan kelangkaan bahan pangan terjadi di mana-mana, termasuk di Yogyakarta. Oleh karena itu, untuk menjamin agar roda pemerintahan RI tetap berjalan, Sultan Hamengkubuwana IX menyumbangkan kekayaannya sekitar 6.000.000 Gulden, baik untuk membiayai pemerintahan, kebutuhan hidup para pemimpin dan para pegawai pemerintah lainnya. Setelah Perundingan Renville, pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melakukan Agresi Militer yang ke-2. Sasaran penyerbuan adalah Ibu kota Yogyakarta. Selanjutnya pada tanggal 22 Desember 1948 Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Sutan Syahrir dan para pembesar lainnya di tangkap Belanda dan diasingkan ke Pulau Bangka. Sementara itu, Sultan Hamengkubuwana IX tidak ditangkap karena kedudukannya yang istimewa, dikhawatirkan akan mempersulit keberadaan Belanda di Yogyakarta. Selain itu, waktu itu Belanda sudah mengakui Yogyakarta sebagai kerajaan dan menghormati kearifan setempat. Akan tetapi, Sultan menolak ajakan Belanda untuk bekerja sama dengan Belanda. Untuk itu, Sultan Hamengkubuwana IX menulis surat terbuka yang disebarluaskan ke seluruh daerah Yogyakarta. Dalam surat itu dikatakan bahwa Sultan "meletakkan jabatan" sebagai Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengunduran diri Sultan kemudian diikuti oleh Sri Paku Alam. Hal ini bertujuan agar masalah keamanan di wilayah Yogyakarta menjadi beban tentara Belanda. Selain itu dengan demikian, Sultan tidak akan dapat diperalat untuk membantu musuh. Sementara itu, secara diam-diam Sultan membantu para pejuang RI, dengan memberikan bantuan logistik kepada para pejuang, pejabat pemerintah RI dan orang-orang Republiken. Bahkan di lingkungan keraton, Sultan memberikan tempat perlindungan bagi kesatuan-kesatuan TNI. Pada Februari 1949, dengan bantuan kurir, Sultan menghubungi Panglima Besar Sudirman untuk meminta persetujuannya melaksanakan serangan umum terhadap Belanda. Setelah mendapat persetujuan Panglima Sudirman, Sultan langsung menghubungi Letkol Soeharto untuk memimpin serangan umum melawan Belanda di Yogyakarta. Serangan ini berhasil menguasai Yogyakarta selama sekitar enam jam. Kemenangan ini penting untuk menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia masih terus berjuang untuk mempertahankan kemerdekaannya. Sesuai dengan hasil Perundingan Roem-Royen, maka pasukan Belanda harus ditarik dari daerah Yogyakarta. Pihak Belanda minta jaminan keamanan selama penarikan itu berlangsung. Untuk itu, Presiden Sukarno mengangkat Sri Sultan sebagai penanggung jawab keamanan dan tugas itu dilaksanakannya dengan baik. Pada tanggal 27 Desember 1949 ketika di Belanda berlangsung penyerahan kedaulatan, maka di Istana Rijkswik (Istana Merdeka) Jakarta, juga terjadi penyerahan kedaulatan dari Wakil Tinggi Mahkota Belanda kepada Pemerintah RIS. Sri Sultan Hamengkubuwana IX kembali mendapatkan kepercayaan untuk menerima penyerahan kedaulatan itu sebagai wakil dari pemerintahan RIS.
Serangan Umum 1 Maret 1949
Peranan Sultan Hamengkubuwana IX dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 oleh TNI masih tidak sinkron dengan versi Soeharto. Menurut Sultan, ialah yang melihat semangat juang rakyat melemah dan menganjurkan serangan umum. Sedangkan menurut Suharto, ia baru bertemu Sultan malah setelah penyerahan kedaulatan. Sultan menggunakan dana pribadinya (dari istana Yogyakarta) untuk membayar gaji pegawai republik yang tidak mendapat gaji semenjak Agresi Militer ke-2.
Sejak 1946 ia pernah beberapa kali menjabat menteri pada kabinet yang dipimpin Presiden Sukarno. Jabatan resminya pada tahun 1966 adalah ialah Menteri Utama di bidang Ekuin. Pada tahun 1973 ia diangkat sebagai wakil presiden. Pada akhir masa jabatannya pada tahun 1978, ia menolak untuk dipilih kembali sebagai wakil presiden dengan alasan kesehatan. Namun, ada rumor yang mengatakan bahwa alasan sebenarnya ia mundur adalah karena tak menyukai Presiden Soeharto yang represif seperti pada Peristiwa Malari dan hanyut pada KKN.
Ia ikut menghadiri perayaan 50 tahun kekuasaan Ratu Wilhelmina di Amsterdam, Belanda pada tahun 1938.
Bapak Pramuka Indonesia
Sejak usia muda Hamengkubuwana IX telah aktif dalam organisasi pendidikan kepanduan. Menjelang tahun 1960-an, Hamengkubuwana IX telah menjadi Pandu Agung (Pemimpin Kepanduan). Pada tahun 1961, ketika berbagai organisasi kepanduan di Indonesia berusaha disatukan dalam satu wadah, Sri Sultan Hamengkubuwana IX memiliki peran penting di dalamnya. Presiden RI saat itu, Sukarno, berulang kali berkonsultasi dengan Sri Sultan tentang penyatuan organisasi kepanduan, pendirian Gerakan Pramuka, dan pengembangannya.
Pada tanggal 9 Maret 1961, Presiden Sukarno membentuk Panitia Pembentukan Gerakan Pramuka. Panitia ini beranggotakan Sri Sultan Hamengkubuwana IX, Prof. Prijono (Menteri P dan K), Dr.A. Azis Saleh (Menteri Pertanian), dan Achmadi (Menteri Transmigrasi, Koperasi dan Pembangunan Masyarakat Desa). Panitia inilah yang kemudian mengolah Anggaran Dasar Gerakan Pramuka dan terbitnya Keputusan Presiden RI Nomor 238 Tahun 1961, tanggal 20 Mei 1961.
Pada tanggal 14 Agustus 1961, yang kemudian dikenal sebagai Hari Pramuka, selain dilakukan penganugerahan Panji Kepramukaan dan defile, juga dilakukan pelantikan Mapinas (Majelis Pimpinan Nasional), Kwarnas dan Kwarnari Gerakan Pramuka. Sri Sultan Hamengkubuwana IX menjabat sebagai Ketua Kwarnas sekaligus Wakil Ketua I Mapinas (Ketua Mapinas adalah Presiden RI).
Sri Sultan bahkan menjabat sebagai Ketua Kwarnas (Kwartir Nasional) Gerakan Pramuka hingga empat periode berturut-turut, yakni pada masa bakti 1961-1963, 1963-1967, 1967-1970 dan 1970-1974. Sehingga selain menjadi Ketua Kwarnas yang pertama kali, Hamengkubuwana IX pun menjadi Ketua Kwarnas terlama kedua, yang menjabat selama 13 tahun (4 periode) setelah Letjen. Mashudi yang menjabat sebagai Ketua Kwarnas selama 15 tahun (3 periode).
Keberhasilan Sri Sultan Hamengkubuwana IX dalam membangun Gerakan Pramuka dalam masa peralihan dari “kepanduan” ke “kepramukaan”, mendapat pujian bukan saja dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri. Dia bahkan akhirnya mendapatkan Bronze Wolf Award dari World Organization of the Scout Movement (WOSM) pada tahun 1973. Bronze Wolf Award merupakan penghargaan tertinggi dan satu-satunya dari World Organization of the Scout Movement (WOSM) kepada orang-orang yang berjasa besar dalam pengembangan kepramukaan.
Atas jasa tersebutlah, Musyawarah Nasional (Munas) Gerakan Pramuka pada tahun 1988 yang berlangsung di Dili (Ibu kota Provinsi Timor Timur, sekarang negara Timor Leste), mengukuhkan Sri Sultan Hamengkubuwana IX sebagai Bapak Pramuka Indonesia. Pengangkatan ini tertuang dalam Surat Keputusan nomor 10/MUNAS/88 tentang Bapak Pramuka.
Wafat
Minggu malam 2 Oktober 1988, Sri Sultan Hamengkubuwana IX meninggal dunia di George Washington University Medical Center, Amerika Serikat karena serangan jantung dan dimakamkan di pemakaman para sultan Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, Indonesia.
Silsilah
- Anak keenam belas dari Sultan Hamengkubuwana VIII dan permaisuri RA Kustilah/KRA Adipati Anom Hamengkunegara/Kangjeng Alit.
Istri | Anak | Mantu |
---|---|---|
BRA Pintakapurnama/KRA Pintakapurnama, putri R.B. Suryokusumo, buyut HB VI (1940) | BRM Murtyanta/GBPH Adi Kusuma/GBPH Hadikusuma | Dr. Sri Hardani |
BRM Kaswara/GBPH Hadisurya | Andinidevi | |
BRA Gusti Sri Murhanjati/GKR Anom | Kolonel Budi Permana/KPH Adibrata | |
BRA Sri Murdiyatun/GBRAy Murdakusuma | KRT Murdakusuma | |
BRA Dra. Sri Murywati/GBRAy Dra. Darmakusuma | KRT Ir Suyono Darmakusuma | |
RA Siti Kustina/BRA Windyaningrum/KRA Widyaningrum/RAy Adipati Anom, putri Raden Wedana Purwowinoto, buyut HB III (1943) | BRM Herjuna Darpita/KGPH Mangkubumi, SH/KGPAA Mangkubumi/Sri Sultan Hamengkubuwana X | Tatiek Drajad Suprihastuti/BRA Mangkubumi/GKR Hemas |
BRM Sumyandana/GBPH Joyokusumo | Hj. Nuraida | |
BRM Ibnu Prastawa/KGPH Hadiwinoto | Aryuni Utari | |
BRA Dr Sri Kuswarjanti/GBRAy Dr. Riyakusuma | KRT Riyakusuma | |
KRA Hastungkara/BRA Kusyadinah, putri Raden Panji Trusthajumena, buyut HB VII (1948) | BRM Harumanta/GBPH Prabukusuma, S.Psi | Kuswarini |
BRM Kuslardiyanta | Jeng Yeni | |
BRM Sulaksmana/GBPH Yudhaningrat, MM. | Raden Roro Endang Hermaningrum | |
BRM Abirama/GBPH Candradiningrat | Hery Iswanti | |
BRA Kushandanari | ||
BRA Sri Kusulodewi/ GBRAy Padmokusumo | KRT Padmokusumo Sastronegoro | |
KRA Ciptamurti, putri KPH/BRA Brongtodiningrat, cucu HB VII | BRM Anindita/GBPH Pakuningrat | Nurita Afridiana |
BRM Prasasta/GBPH Cakraningrat | Lakhsmi Indra Suharjana | |
BRM Arianta/GBPH Suryodiningrat | Farida Indah | |
BRM Sarsana/GBPH Suryomataram | ||
BRM Harkomoyo/GBPH Hadinegoro | Iceu Cahyani | |
BRM Swatindra/GBPH Suryonegoro | Rr. Endang Retno Werid Soelasmi Lim | |
Norma Musa/KRA Norma Nindya Kirana, putri Handaru Widharna (1977) |
Pendidikan
- Taman kanak-kanak atau Frobel School asuhan Juffrouw Willer di Bintaran Kidul
- Eerste Europeesche Lagere School di Yogyakarta (1925)
- Hoogere Burgerschool (HBS, setingkat SMP dan SMU) di Semarang dan Bandung (1931)
- Rijkuniversiteit Leiden, jurusan Indologie (ilmu tentang Indonesia) kemudian ekonomi
Jabatan
- Kepala dan Gubernur Militer Daerah Istimewa Yogyakarta (1945)
- Menteri Negara pada Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 – 27 Juni 1947)
- Menteri Negara pada Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II (3 Juli 1947 – 11 November 1947 dan 11 November 1947 – 28 Januari 1948)
- Menteri Negara pada Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 – 4 Agustus 1949)
- Menteri Pertahanan/Koordinator Keamanan Dalam Negeri pada Kabinet Hatta II (4 Agustus 1949 – 20 Desember 1949)
- Menteri Pertahanan pada masa RIS (20 Desember 1949 – 6 September 1950)
- Wakil Perdana Menteri pada Kabinet Natsir (6 September 1950 – 27 April 1951)
- Ketua Dewan Kurator Universitas Gajah Mada Yogyakarta (1951)
- Ketua Dewan Pariwisata Indonesia (1956)
- Ketua Sidang ke 4 ECAFE (Economic Commision for Asia and the Far East) dan Ketua Pertemuan Regional ke 11 Panitia Konsultatif Colombo Plan (1957)
- Ketua Federasi ASEAN Games (1958)
- Menteri/Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (5 Juli 1959)
- Ketua Delegasi Indonesia dalam pertemuan PBB tentang Perjalanan dan Pariwisata (1963)
- Menteri Koordinator Pembangunan (21 Februari 1966)
- Wakil Perdana Menteri Bidang Ekonomi 11 (Maret 1966)
- Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka (1968)
- Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia/KONI (1968)
- Ketua Delegasi Indonesia di Konferensi Pasific Area Travel Association (PATA) di California, Amerika Serikat (1968)
- Wakil Presiden Indonesia (25 Maret 1973 – 23 Maret 1978)
Pahlawan Nasional
Hamengkubuwana IX diangkat menjadi pahlawan nasional Indonesia tanggal 8 Juni 2003 oleh presiden Megawati Sukarnoputri.
Pelarangan hak milik tanah atas kaum Tionghoa
Pada 1948, saat Revolusi Nasional Indonesia, Hamengkubuwana IX mencabut hak milik etnis Tionghoa karena dianggap memihak Belanda.[2]
Galeri
-
Sri Sultan Hamengku Buwono IX membacakan sumpah jabatannya sebagai Wakil Presiden RI.
-
Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Presiden Soeharto dalam Rapat Paripurna Pertama Kabinet Pembangunan I di Gedung Bina Graha, Jakarta pada 19 Juni 1968.
-
Sri Sultan Hamengkubuwono IX menerima kunjungan Presiden Bank Dunia Robert McNamara di Jakarta, pada 11 Juni 1968.
Lihat pula
Catatan kaki
- ^ Sultan wafat tanggal 2 Oktober pukul 20:05 waktu Washington, DC atau tanggal 3 Oktober pukul 07:05 Waktu Indonesia Barat
Literatur
- Roem, Mohammad. Tahta untuk Rakyat, Jakarta: Gramedia (1982)
- Pour, Julius. Doorstood Nar Jogya, Jakarta: Gramedia (2010)
Referensi
- ^ a b c Biografi singkat HB IX. Website resmi kraton Yogya. 2019. Diakses tanggal 21/07/2019
- ^ http://nusantarakini.com/2016/11/20/sikap-sri-sultan-hamengkubuwono-ix-terhadap-etnis-tionghoa-begini-kisahnya/
Pranala luar
- (Indonesia) "Bangsawan yang Demokratis" Bio Sri Sultan HB IX di Ensiklopedi Tokoh Indonesia
- (Indonesia) Situs Web Tokoh Indonesia
- (Indonesia) Hamengkubuwana IX di kraton.yogya.indo.net.id
- (Inggris) HB IX - Genealogy
- (Indonesia) Biodata pada Kepustakaan Presiden RI
Jabatan politik | ||
---|---|---|
Jabatan lowong Terakhir dijabat oleh Mohammad Hatta
|
Wakil Presiden Indonesia 1973–1978 |
Diteruskan oleh: Adam Malik |
Didahului oleh: Lucien Adam |
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta 1945–1988 |
Diteruskan oleh: Sri Paku Alam VIII |
Gelar kebangsawanan | ||
Didahului oleh: Hamengkubuwono VIII |
Raja Kesultanan Yogyakarta 1940–1988 |
Diteruskan oleh: Hamengkubuwono X |
Jabatan lain | ||
Didahului oleh: Jabatan baru |
Ketua Kwartir Nasional 1961–1974 |
Diteruskan oleh: M. Sarbini |
- Pages using infobox royalty with unknown parameters
- Kelahiran 1912
- Kematian 1988
- Meninggal usia 76
- Artikel kurang kutipan baris
- Artikel biografi yang tidak memiliki referensi Mei 2020
- Pahlawan nasional Indonesia
- Tokoh dari Kota Yogyakarta
- Wakil Presiden Indonesia
- Sultan Yogyakarta
- Bangsawan Asia
- Gubernur Yogyakarta
- Menteri Kabinet Sjahrir III
- Menteri Kabinet Amir Sjarifuddin I
- Menteri Kabinet Amir Sjarifuddin II
- Menteri Kabinet Hatta I
- Menteri Kabinet Hatta II
- Menteri Kabinet Republik Indonesia Serikat
- Wakil Perdana Menteri Indonesia
- Ketua KONI
- Poligamis
- Menteri Pertahanan Indonesia
- Tokoh Jawa
- Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia
- Tokoh Orde Lama
- Wakil Menteri Pekerjaan Umum