Lompat ke isi

Kerajaan Melayu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kerajaan Melayu I
950 BC–888 AD
Peta Melayu purba berdasarkan teori yang koentjaraningrat. Pusat Kerajaan Melayu adalah Mandah, Indragiri Hilir. Tetapi berbagai negeri Melayu lainnya pun bersemi sebelum bubar pada akhir abad ke-9 Masihi.
Peta Melayu purba berdasarkan teori yang koentjaraningrat. Pusat Kerajaan Melayu adalah Mandah, Indragiri Hilir. Tetapi berbagai negeri Melayu lainnya pun bersemi sebelum bubar pada akhir abad ke-9 Masihi.
Ibu kotaMandah
Bahasa yang umum digunakanMelayu Kuno,
Agama
Majusi dan Yahudi
PemerintahanMonarki
Maharaja 
Sejarah 
• Didirikan
950 BC
888 AD
Mata uangKoin emas dan perak
Digantikan oleh
krjKerajaan
Bentan, Kerajaan Singapura, Kesultanan Melaka, Kerajaan Indragiri, Kesultanan Siak Sri Indrapura
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Kerajaan Melayu atau dalam bahasa Hokkien ditulis Mi-La-Yu (末羅瑜國) merupakan sebuah nama kerajaan yang berada di Pulau Sumatra. Dari bukti dan keterangan yang disimpulkan dari prasasti dan berita dari Tiongkok, keberadaan kerajaan yang mengalami naik turun ini dapat di diketahui dimulai pada abad ke-1 yang berpusat di Indragiri Hilir.

Kerajaan ini berada di pulau Swarnadwipa atau Swarnabumi (Thai:Sovannophum) yang oleh para pendatang disebut sebagai pulau emas yang memiliki tambang emas, dan pada awalnya mempunyai kemampuan dalam mengontrol perdagangan di Selat Melaka sebelum akhirnya wilayah timurnya terintegrasi dengan Melaka (Thai:Sevichai) pada abad 15[1].

Penggunaan kata Melayu, telah dikenal sekitar tahun 985 BC seperti yang tersebut dalam buku Geographike Sintaxis karya Ptolemy yang menyebutkan maleu-kolon[2]. Dan kemudian dalam kitab Hindu Purana pada zaman Gautama Buddha terdapat istilah Malaya dvipa yang bermaksud tanah yang mulia.

Berita tentang kerajaan Melayu antara lain diketahui dari dua buah buku karya Pendeta I Tsing atau I Ching (義淨; pinyin Yì Jìng) (634-713), yang termasyhur yaitu Nan-hai Chi-kuei Nei-fa Chuan (Catatan Ajaran Buddha yang dikirimkan dari Laut Selatan) serta Ta-T’ang Hsi-yu Ch’iu-fa Kao-seng Chuan (Catatan Pendeta-pendeta yang menuntut ilmu di India zaman Dinasti Tang)[3] dalam pelayarannya dari Tiongkok ke India tahun 671, singgah di Indragiri enam bulan lamanya untuk mempelajari Sabdawidya, dan menerjemahkan naskah-naskah Purba dari bahasa Sanskerta ke bahasa Hokkien.[4][5]

Kisah pelayaran I-tsing dari Kanton tahun 671 diceritakannya sendiri, dengan terjemahan sebagai berikut[6]:

Perjalanan pulang dari India tahun 685 diceritakan oleh I-tsing sebagai berikut[3]:

Menurut catatan I Tsing, Maharaja Melayu menganut agama Majusi.

Berita lain mengenai kerajaan Melayu berasal dari T'ang-Hui-Yao yang disusun oleh Wang p'u pada tahun 961, kerajaan Melayu mengirimkan utusan ke Tiongkok pada tahun 735 untuk pertama kalinya, tetapi setelah munculnya Abassiyah sekitar 750, kerajaan Melayu tidak ada lagi mengirimkan utusan ke Tiongkok.[7]

Lokasi Pusat Kerajaan

Dari uraian I-tsing jelas sekali bahwa Kerajaan Melayu terletak di tengah pelayaran antara Selatan Svarnabhumi dan Kedah. Ahli sejarah sepakat bahwa negeri Melayu berlokasi di Indragiri Hilir

Prof. Slamet Muljana berpendapat, istilah Melayu berasal dari kata Malaya yang dalam bahasa Sanskerta bermakna “laut”. Nama sebuah kerajaan biasanya merujuk pada nama ibu kotanya. Oleh karena itu, ia tidak setuju apabila istana Melayu terletak di Jambi, karena daerah itu merupakan dataran tinggi. Menurutnya, pelabuhan Melayu memang terletak di Kuala Tungkal, tetapi istananya terletak di pesisir kerana Melayu adalah negara maritim. Dan menurut prasasti Tanjore yang dikeluarkan oleh Rajendra Chola I bertarikh 1030, menyebutkan bahwa ibu kota kerajaan Melayu dilindungi oleh benteng-benteng, dan terletak di tepi pantai. Lokasi pastinya adalah Mandah. Muljana berpendapat, "... baik ditinjau dari peninggalan-peninggalan kuno yang berupa piagam maupun dari pemberitaan piagam Tanjore, maka letak pusat kerajaan Melayu di sekitar Mandah sangat menguntungkan negara."

Dari keterangan Abu Raihan Muhammad ibn Ahmad Al-Biruni, ahli geografi Persia, yang pernah mengunjungi Asia Tenggara tahun 1030 dan menulis catatan perjalanannya dalam Tahqiq ma li l-Hind (Fakta-fakta di Hindia) yang menyatakan bahwa ia mengunjungi suatu negara yang terletak pada garis khatulistiwa penghasil kelapa, yakni kemaharajaan Melayu[8][9].

Pelabuhan Melayu merupakan penguasa lalu lintas Selat Malaka saat itu. Dengan bergabungnya Temiang, secara otomatis pelabuhan pun bertambah. Maka sejak tahun 357 penguasa lalu lintas dan perdagangan Selat Malaka digantikan oleh kerajaan Melayu[10][7]. -->

Dalam Kitab Nagarakretagama

Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebut Dharmasraya sebagai salah satu di antara sekian banyak negeri jajahan Kerajaan Majapahit di Pulau Sumatra[11]. Namun interpretasi isi yang menguraikan daerah-daerah "wilayah" kerajaan Majapahit yang harus menghaturkan upeti ini masih kontroversial, sehingga dipertentangkan sampai hari ini.

Pada tahun 1339 Adityawarman dikirim sebagai uparaja atau raja bawahan Majapahit untuk menaklukan wilayah Swarnnabhumi nama lain pulau Sumatra. Penaklukan Majapahit dimulai dengan menguasai Palembang. Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan menyebut nama Arya Damar sebagai Bupati Palembang yang berjasa membantu Gajah Mada menaklukkan Bali pada tahun 1343[12]. Menurut Prof. C.C. Berg, tokoh ini dianggapnya identik dengan Adityawarman[13].

Dari Dharmasraya ke Pagaruyung

Setelah membantu Majapahit dalam melakukan beberapa penaklukan, pada tahun 1343 Adityawarman kembali ke Swarnnabhumi dan pada tahun 1347 memproklamirkan dirinya sebagai pelanjut Dinasti Mauli penguasa Kerajaan Melayu di Dharmasraya[14] dan selanjutnya memindahkan pusat pemerintahannya ke Suruaso, (daerah Minangkabau)[15], dengan gelar Maharajadiraja Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa[16]. Dengan melihat gelar yang disandang Adityawarman, terlihat dia menggabungan beberapa nama yang pernah dikenal sebelumnya, Mauli merujuk garis keturunannya kepada Wangsa Mauli penguasa Dharmasraya dan gelar Sri Udayadityavarman pernah disandang salah seorang raja Sriwijaya serta menambahkah Rajendra nama penakluk penguasa Sriwijaya, raja Chola dari Koromandel. Hal ini tentu sengaja dilakukan untuk mempersatukan seluruh keluarga penguasa di Swarnnabhumi.

Dari catatan Dinasti Ming (1368-1644) menyebutkan bahwa di San-fo-tsi (Sumatra) terdapat tiga orang raja. Mereka adalah Sengk'ia-li-yu-lan (alias Adityawarman), Ma-ha-na-po-lin-pang (Maharaja Palembang), dan Ma-na-cha-wu-li (Maharaja Dharmasraya). Dan sebelumnya pada masa Dinasti Yuan (1271-1368), Adityawarman juga pernah dikirim oleh Jayanegara sebanyak dua kali sebagai duta ke Tiongkok yaitu pada tahun 1325 dan 1332, dan tentu dengan nama yang sama pada masa Dinasti Ming masih dirujuk kepada Adityawarman, yang kemudian kembali mengirimkan utusan sebanyak 6 kali pada rentang tahun 1371 sampai 1377[17]. Dan kemudian dari berita ini dapat dikaitkan dengan penemuan Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah di Kerinci yang diperkirakan pada zaman Adityawarman, dimana pada naskah tersebut ada menyebutkan tentang Maharaja Dharmasraya. Jika dikaitkan dengan piagam yang dipahat pada bahagian belakang Arca Amoghapasa, jelas Adityawarman bergelar Maharajadiraja, dan membawahi Dharmasraya dan Palembang[18].

Daftar Raja Melayu

Berikut ini daftar nama raja Melayu:

Tarikh Nama Raja atau Gelar Ibu kota Prasasti, catatan pengiriman utusan ke Tiongkok serta peristiwa
671 Minanga Berita China, catatan perjalanan I-tsing (634-713). Dan Prasasti Kedukan Bukit tahun 682.
682-1156 Belum ada berita
1157-1182 Belum ada berita
1183 Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa Dharmasraya Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand, perintah kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin.
1184-1285 Belum ada berita
1286 Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa Dharmasraya Prasasti Padang Roco tahun 1286 di Siguntur (Kabupaten Dharmasraya sekarang), pengiriman Arca Amonghapasa sebagai hadiah Raja Singhasari kepada Raja Malayu.
1316 Akarendrawarman Dharmasraya atau Suruaso Prasasti Suruaso (Kab. Tanah Datar sekarang).
1347 Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa Suruaso atau Pagaruyung Arca Amoghapasa,tahun 1347 di (Kab. Dharmasraya sekarang),

Pindah ke Suruaso, Prasasti Suruaso (Kabupaten Tanah Datar sekarang), Pengiriman utusan ke Tiongkok sebanyak 6 kali dalam rentang waktu 1371 sampai 1377 pada masa Dinasti Ming.

1375 Ananggawarman Pagaruyung Prasasti Batusangkar (Kab. Tanah Datar sekarang).

Referensi

  1. ^ Louis-Charles Damais, 1952, Etude d’Epigraphie Indonesienne III: Liste des Principales Datees de l’Indonesie, BEFEO, tome 46. (merupakan terjemahan Pararaton dalam bahasa Prancis)
  2. ^ Berggren, J. Lennart and Jones, Alexander, (2000), Ptolemy's Geography: An Annotated Translation of the Theoretical Chapters, Princeton University Press, Princeton and Oxford, ISBN 0-691-01042-0.
  3. ^ a b O. W. Wolters, (1967), Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca
  4. ^ Junjiro Takakusu, (1896), A record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing, Oxford, London.
  5. ^ Edouard Chavannes, (1894), Memoire compose a l’epoque de la grande dynastie Tang, sur les Religieux Eminents qui allerent chercher la loi dans les pays d’Occident, par I-tsing, Ernest Leroux, Paris.
  6. ^ Gabriel Ferrand, 1922, L’Empire de Milayu, Imprimerie Nationale, Paris, “Textes Chinois”
  7. ^ a b Slamet Muljana. (2006). Sriwijaya. Yogyakarta: LKIS Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Muljana" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  8. ^ W.J. van der Meulen. "SUVARNADVIPA AND THE CHRYSE CHERSONESOS*" (PDF). Diakses tanggal 4 February 2010. 
  9. ^ .Paul Wheatley, 1961, The Golden Khersonese, University of Malaya Press, Kuala Lumpur.
  10. ^ Meyer, Milton Walter (1997). Asia: a concise history. Lanham, Md: Rowman & Littlefield Publishers. ISBN 0-8476-8063-0. 
  11. ^ J.L.A. Brandes, 1902, Nāgarakrětāgama; Lofdicht van Prapanjtja op koning Radjasanagara, Hajam Wuruk, van Madjapahit, naar het eenige daarvan bekende handschrift, aangetroffen in de puri te Tjakranagara op Lombok.
  12. ^ Darta, A.A. Gde, A.A. Gde Geriya, A.A. Gde Alit Geria, 1996, Babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan, Denpasar: Upada Sastra.
  13. ^ C.C. Berg, 1985, Penulisan Sejarah Jawa, (terj.), Jakarta: Bhratara.
  14. ^ Djafar, Hasan, (1992), Prasasti-Prasasti Masa Kerajaan Melayu Kuno dan Permasalahannya. Dibawakan dalam Seminar Sejarah Melayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992, Jambi: Pemerintah Daerah Tk I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jambi.
  15. ^ Casparis, J. G. de.,, (1992), Kerajaan Malayu dan Adityawarman, Seminar Sejarah Melayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992, Jambi: Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jambi.
  16. ^ Kern, J.H.C., (1907), De wij-inscriptie op het Amoghapāça-beeld van Padang Candi(Batang Hari-districten); 1269 Çaka, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde.
  17. ^ Casparis, J. G. de., (1992), Kerajaan Malayu dan Adityawarman, Seminar Sejarah Malayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992, Jambi: Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jambi, hlm. 235-256.
  18. ^ Kozok, Uli, (2006), Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-603-6.

Lihat Pula