Kerajaan Kalingga
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Kerajaan Kalingga Ho-ling | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Abad ke-6–Abad ke-7 | |||||||||
Peta kerajaan Kalingga | |||||||||
Ibu kota | Tidak diketahui, diperkirakan antara Pekalongan dan Jepara | ||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Sanskerta, Jawa Kuno, Melayu Kuno | ||||||||
Agama | Hindu dan Buddha | ||||||||
Pemerintahan | Monarki | ||||||||
• Abad ke-6 | Ratu Shima | ||||||||
Sejarah | |||||||||
• Didirikan | Abad ke-6 | ||||||||
• Runtuh | Abad ke-7 | ||||||||
| |||||||||
Sekarang bagian dari | Indonesia | ||||||||
Catatan sejarah berdasarkan naskah-naskah dan catatan perdagangan Tiongkok. | |||||||||
Bagian dari seri mengenai |
---|
Sejarah Indonesia |
Garis waktu |
Portal Indonesia |
Kerajaan Kalingga (bahasa Jawa: ꦏꦫꦠꦺꦴꦤ꧀ꦏꦭꦶꦔ꧀ꦒ) atau Kerajaan Ho-ling (Hanzi: 訶陵; Hēlíng atau 闍婆; She-pó / She-bó, juga Dūpó / Dūbó dalam sumber-sumber berita Tiongkok) atau kerajaan Keling adalah kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang pertama muncul di pantai utara Jawa Tengah pada abad ke-6 Masehi, bersamaan dengan Kerajaan Sriwijaya.
Historiografi
Temuan arkeologis dan catatan sejarah dari kerajaan ini langka, dan lokasi persis ibu kota kerajaan tidak diketahui. Diperkirakan ada di suatu daerah antara Pekalongan dan Jepara saat ini. Sebuah tempat bernama Kecamatan Keling ditemukan di pantai utara Kabupaten Jepara, namun beberapa temuan arkeologis di dekat Kabupaten Pekalongan dan Batang menunjukkan bahwa Kabupaten Pekalongan adalah pelabuhan kuno, nama Pekalongan mungkin merupakan nama yang diubah dari Pe-Kaling-an. Kalingga ada antara abad ke-6 dan ke-7, dan itu adalah salah satu kerajaan Hindu-Buddha paling awal yang didirikan di Jawa Tengah.[1]
Sejarah
Sumber lokal
Carita Parahyangan
Berdasarkan naskah Carita Parahyangan yang berasal dari abad ke-16, putri Ratu Shima, bernama Parwati, menikah dengan putra mahkota Kerajaan Galuh yang bernama Rahyang Mandiminyak, yang kemudian menjadi raja kedua dari Kerajaan Galuh. Dikisahkan Ratu Shima memiliki cucu bernama Sannaha yang menikah dengan raja Galuh ketiga, yaitu Bratasenawa. Sannaha dan Bratasenawa memiliki anak yang bernama Rakryan Sanjaya yang kelak menjadi raja dan menggabungkan Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.
Setelah Ratu Shima meninggal pada tahun 732 M, Rakryan Sanjaya menggantikan buyutnya dan menjadi raja Kalingga Selatan yang kemudian disebut Mataram, dan kemudian mendirikan dinasti baru bernama wangsa Sanjaya.
Kekuasaan di Sunda-Galuh diserahkan kepada putranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakryan Panaraban. Kemudian Rakryan Sanjaya menikahi Sudiwara putri Rakryan Dewasingha, raja Kalingga Utara, dan memiliki putra yaitu Rakai Panangkaran.
Nama Ho-ling diperkirakan muncul pada abad ke-5 (kemudian disebut Keling) yang diperkirakan terletak di utara Jawa Tengah. Keterangan tentang Kerajaan Ho-ling didapat dari catatan dari Tiongkok. Pada tahun 752, Kerajaan Ho-ling menjadi pesaing Kedatuan Sriwijaya dikarenakan kerajaan ini menjadi bagian jaringan perdagangan, bersama Kerajaan Melayu dan Kerajaan Tarumanagara Ketiga kerajaan tersebut menjadi pesaing kuat jaringan perdagangan Sriwijaya.[2] Tidak ada bukti peperangan antara sriwijaya dan kalingga.
Kisah lokal
Terdapat kisah yang berkembang di Jawa Tengah mengenai seorang ratu legendaris yang menjunjung tinggi prinsip 'keadilan' dan 'kebenaran' dengan keras tanpa pandang bulu. Kisah legenda ini bercerita mengenai Ratu Shima yang mendidik rakyatnya agar selalu berlaku jujur dan menindak tegas kejahatan pencurian. Ia menerapkan hukuman yang tegas yaitu pemotongan tangan bagi siapa saja yang mencuri.
Pada suatu ketika seorang raja dari seberang lautan mendengar mengenai kemasyhuran rakyat Kalingga yang terkenal jujur dan taat hukum. Untuk mengujinya ia meletakkan sekantung uang emas di persimpangan jalan dekat pasar. Tak ada seorang pun rakyat Kalingga yang berani menyentuh apalagi mengambil barang yang bukan miliknya. Hingga tiga tahun kemudian kantung itu disentuh oleh putra mahkota dengan kakinya. Ratu Shima demi menjunjung hukum menjatuhkan hukuman mati kepada putranya. Dewan menteri memohon agar Ratu mengampuni kesalahan putranya. Karena kaki sang pangeranlah yang menyentuh barang yang bukan miliknya, maka sang pangeran dijatuhi hukuman potong kaki.[3]
Berita Tiongkok
Berita keberadaan Ho-ling juga dapat diperoleh dari berita yang berasal dari zaman dinasti Tang dan catatan I-Tsing, seorang biksu Buddha yang berkelana lewat laut ke India melalui jalur sutra.
Catatan dari zaman Dinasti Tang
Catatan pada zaman Dinasti Tang, memberikan keterangan tentang keberadaan Ho-ling sebagai berikut.
- Ho-ling atau Jawa terletak di seberang lautan selatan. Di sebelah utaranya terletak Ta Hen La (Kamboja), di sebelah timurnya terletak Po-Li (Bali) dan di sebelah barat terletak Sumatra.[4]
- Ibu kota Ho-ling dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tonggak kayu.
- Raja tinggal di suatu bangunan besar bertingkat, beratap daun palem, dan singgasananya terbuat dari gading.
- Penduduk Ho-ling sudah pandai membuat minuman keras dari bunga kelapa.
- Daerah Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula badak dan gading gajah.
Catatan dari berita Tiongkok ini juga menyebutkan bahwa sejak tahun 674, rakyat Ho-ling diperintah oleh penguasa perempuan yang disebut Hsi-mo (Ratu Shima). Ia adalah seorang ratu yang sangat adil dan bijaksana. Pada masa pemerintahannya Ho-ling sangat aman dan tentram.
Catatan I-Tsing
Catatan I-Tsing (tahun 664/665 M) menyebutkan bahwa pada abad ke-7 tanah Jawa telah menjadi salah satu pusat pengetahuan agama Buddha. Di Ho-ling ada pendeta Tionghoa bernama Hwining, yang menerjemahkan salah satu kitab agama Buddha ke dalam bahasa Tionghoa. Ia bekerjasama dengan pendeta Jawa bernama Janabadra. Kitab terjemahan itu antara lain memuat cerita tentang Nirwana, tetapi cerita ini berbeda dengan cerita Nirwana dalam agama Buddha Hinayana.
Kutipan
- ^ Mengenal Kerajaan Kalingga[1]
- ^ Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. hlm. pages 171. ISBN 981-4155-67-5.
- ^ Drs. R. Soekmono, (1973 edisi cetak ulang ke-5 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 37.
- ^ Groeneveldt, W.P (2018). Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Depok: Komunitas Bambu. hlm. 17. ISBN 978-602-9402-92-6.
Referensi
- Sudiono (2000). Peninggalan Prasejarah di Kabupaten Purworejo. Jakarta: Puslitkernas: Majalah Kalpataru Majalah Arkeologi 14 29-50.
- Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. hlm. pages 171. ISBN 981-4155-67-5.
- Drs. R. Soekmono, (1973 edisi cetak ulang ke-5 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 37.
- Ary Sulistyo (2008). Situs-situs Megalitik di Daerah Tenggara Gunung Slamet Purbalingga Jawa Tengah: Kajian Linguistik Fisik dan Karakteristik Situs. Universitas Indonesia Library (dalam bahasa Indonesia).
Didahului oleh: Tarumanagara |
Kerajaan Hindu-Budha 594 - 782 |
Diteruskan oleh: Medang |