Lompat ke isi

Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (biasa disingkat dengan PRRI) merupakan salah satu gerakan pertentangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat (Jakarta) yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 dengan keluarnya ultimatum dari Dewan Perjuangan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein di Padang, Sumatera Barat, Indonesia.

Dan kemudian gerakan ini mendapat sambutan dari wilayah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah, dimana pada tanggal 17 Februari 1958 kawasan tersebut menyatakan mendukung PRRI.[1]

Konflik yang terjadi ini sangat dipengaruhi oleh tuntutan keinginan akan adanya otonomi daerah yang lebih luas. Selain itu ultimatum yang dideklarasikan itu bukan tuntutan pembentukan negara baru maupun pemberontakan, tetapi lebih merupakan protes mengenai bagaimana konstitusi dijalankan.[2] Pada masa bersamaan kondisi pemerintahan di Indonesia masih belum stabil pasca agresi Belanda. Hal ini juga memengaruhi hubungan pemerintah pusat dengan daerah serta menimbulkan berbagai ketimpangan dalam pembangunan, terutama pada daerah-daerah di luar pulau Jawa.

Dan sebelumnya bibit-bibit konflik tersebut dapat dilihat dengan dikeluarkannya Perda No. 50 tahun 1950 tentang pembentukan wilayah otonom oleh provinsi Sumatera Tengah waktu itu yang mencakup wilayah provinsi Sumatera Barat, Riau yang kala itu masih mencakup wilayah Kepulauan Riau, dan Jambi sekarang.[3]

Bagaimanapun, pertentangan ini dianggap sebagai sebuah pemberontakan[1] oleh pemerintah pusat, yang menganggap ultimatum itu merupakan proklamasi pemerintahan tandingan, dan kemudian ditumpas dengan pengerahan kekuatan militer terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah militer Indonesia.

Kabinet PRRI

Kabinet PRRI terdiri dari:

Pasca PRRI

Peristiwa ini belakangan menyebabkan timbulnya eksodus besar-besaran suku Minangkabau ke daerah lain[4] dan juga menimbulkan efek psikologis yang besar pada sebagian besar masyarakat Minangkabau masa tersebut, yaitu melekatnya stigma pemberontak[5], padahal kawasan Minangkabau sejak zaman Belanda termasuk kawasan yang gigih menentang kolonial serta kawasan Indonesia yang setia dan banyak melahirkan pemimpin-pemimpin nasionalis yang penting selama masa pra kemerdekaan. Selain beberapa tindakan kekerasan yang dialami oleh masyarakat juga menguncang harga diri, harkat dan martabat yang begitu terhina dan dihinggapi mentalitas orang kalah [6] serta trauma atas kekalahan PRRI. Sampai hari ini para pelaku peristiwa PRRI tetap menolak dianggap sebagai pemberontak atas tindakan yang mereka lakukan.[4]

Referensi

  1. ^ a b Poesponegoro. Marwati Djoened, Notosusanto. Nugroho, (1992), Sejarah nasional Indonesia: Jaman Jepang dan zaman Republik Indonesia, PT Balai Pustaka, ISBN 978-979-407-412-1.
  2. ^ Lukman Hakiem, (2008), M. Natsir di panggung sejarah republik, Penerbit Republika, ISBN 978-979-1102-43-8.
  3. ^ Asnan, Gusti, (2007), Memikir ulang regionalisme: Sumatera Barat tahun 1950-an, Yayasan Obor Indonesia, ISBN 978-979-461-640-6.
  4. ^ a b Syamdani, (2009), PRRI, pemberontakan atau bukan, Media Pressindo, ISBN 978-979-788-032-3.
  5. ^ Kahin, Audrey R.,(2005), Dari pemberontakan ke integrasi: Sumatera Barat dan politik Indonesia, 1926-1998, Yayasan Obor Indonesia, ISBN 978-979-461-519-5.
  6. ^ Hidayat, Komaruddin (2008). Reinventing Indonesia: menemukan kembali masa depan bangsa. Jakarta: PT Mizan Publika. isbn 9794335169.