Wangsa Sailendra

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 4 Mei 2023 03.17 oleh Devi 4340 (bicara | kontrib) (→‎Daftar pustaka: menambah buku.)
Bas-relief di Borobudur menampilkan Raja dan Ratu dengan segenap abdi pengiringnya. Adegan keluarga kerajaan seperti ini kemungkinan besar dibuat berdasarkan istana wangsa Sailendra sendiri.

}}

Candi Borobudur, salah satu peninggalan Wangsa Śailendra.

Wangsa Sailendra atau Syailendra (Śailendravamśa) adalah nama wangsa atau dinasti raja - raja yang berkuasa di Mdaŋ (Kerajaan Medang atau Kerajaan Mataram Kuno), Di Jawa Tengah sejak tahun 752 dan menguasai Sriwijaya, Di Pulau Sumatra sejak kepemimpinan Balaputradewa Putra dari Jawa Tengah, Sebagian besar raja-rajanya adalah penganut dan pelindung agama Buddha Mahayana. Namun menurut prasasti Sojomerto, Dapunta Sailendra yang menjadi leluhur wangsa Sailendra merupakan seorang Hindu aliran Siwa. Dari Jawa Tengah, dan wangsa Sailendra di perkirakan berasal dari Kerajaan Kalingga di abad ke-5 di Jawa Tengah dan memiliki banyak peninggalan candi - candi yang terdapat di dataran Kedu, Jawa Tengah, Disamping berasal dari Jawa Tengah, daerah lain seperti Sumatra atau bahkan India dan Kamboja, sempat diajukan sebagai asal mula wangsa ini, Tapi tidak ada sisilah atau bukti prasasti yang mendukung.

Asal-usul

Istilah Sailendra dalam bahasa Sanskerta artinya "Raja Gunung", merujuk ke gunung-gunung berapi tinggi seperti Gunung Merapi yang menghadap ke Borobudur, candi besar agama Buddha yang dibangun oleh wangsa ini.[1]

Di Indonesia nama Śailendravamsa dijumpai pertama kali di dalam prasasti Kalasan dari tahun 778 Masehi (Śailendragurubhis; Śailendrawańśatilakasya; Śailendrarajagurubhis). Kemudian nama itu ditemukan di dalam prasasti Kelurak dari tahun 782 Masehi (Śailendrawańśatilakena), dalam prasasti Abhayagiriwihara dari tahun 792 Masehi (dharmmatuńgadewasyaśailendra), prasasti Sojomerto dari sekitar tahun 700 Masehi (selendranamah) dan prasasti Kayumwuńan dari tahun 824 Masehi (śailendrawańśatilaka). Di luar Indonesia nama ini ditemukan dalam prasasti Ligor dari tahun 775 Masehi dan prasasti Nalanda.

Mengenai asal-usul keluarga Śailendra banyak dipersoalkan oleh beberapa sarjana. Berbagai pendapat telah dikemukakan oleh sejarawan dan arkeologis dari berbagai negara. Ada yang mengatakan bahawa keluarga Jawa Śailendra berasal dari Sumatra, dari India, dan dari Funan, Tapi pendapat semua itu gagal dan tidak ada bukti, dan beberapa sejarawan menyatakan wangsa Sailendra berasal dari jawa tengah dengan sisilah kerajaan kalingga di abad ke-5 sebelum ada sriwijaya yang muncul di abad ke-6 besamaan kerajaan melayu di jambi dan tarumanegara di sunda,

Teori India

Majumdar beranggapan bahwa keluarga Śailendra di Nusantara, baik di Śrīwijaya (Sumatra) maupun di Mdaŋ (Jawa) berasal dari Kalingga (Jepara) dan kerajaan kalingga sudah ada di abad ke-5 sebelum ada kerajaan sriwijaya yang muncul di abad ke-6, sekaligus membatalkan Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh Nilakanta Sastri dan Moens. Moens menganggap bahwa keluarga Śailendra berasal dari India yang menetap di Palembang sebelum kedatangan Dapunta Hyang. Pada tahun 683 Masehi, keluarga ini melarikan diri ke Jawa karena terdesak oleh Dapunta Hyang dengan bala tentaranya, dan teori Nilakanta Sastri di nyatakan tidak tepat dan bukti, karena Dapunta Hyang datang ke sumatera pada abad ke-6, Sementara kerajaan Kalingga sudah berdiri di abad ke-5.

Teori Funan

George Cœdès lebih condong kepada anggapan bahwa Śailendra yang ada di Nusantara itu berasal dari Funan (Kamboja). Karena terjadi kerusuhan yang mengakibatkan runtuhnya kerajaan Funan, kemudian keluarga kerajaan ini menyingkir ke Jawa, dan muncul sebagai penguasa di Medang pada pertengahan abad ke-8 Masehi dengan menggunakan nama keluarga Śailendra. Namun teori ini tidak terbukti kuat karena beberapa prasasti dan catatan lainya menyatakan sisilah Sailendra telah bermukim turun-temurun di Jawa tengah, di abad ke-5

Teori Nusantara

Teori Nusantara mengajukan kepulauan Nusantara; terutama pulau Sumatra atau Jawa; sebagai tanah air wangsa ini. Teori ini mengajukan bahwa wangsa Śailendra mungkin berasal dari Sumatra yang kemudian berpindah dan berkuasa di Jawa, atau mungkin wangsa asli dari pulau Jawa tetapi mendapatkan pengaruh kuat dari Sriwijaya.

Menurut beberapa sejarawan, keluarga Śailendra berasal dari Sumatra yang bermigrasi ke Jawa Tengah setelah Sriwijaya melakukan ekspansi ke tanah Jawa pada abad ke-7 Masehi dengan menyerang kerajaan Tarumanagara di Jawa. Namun pendapat ini masih diragukan, karena ratu Shima merupakan keturunan Syailendra menjadi ratu dari kerajaan Kalingga sebelum ekspansi Sriwijaya menurut Prasasti Kota Kapur.[2] Serangan Sriwijaya atas Jawa berdasarkan atas Prasasti Kota Kapur yang mencanangkan ekspansi atas Bumi Jawa yang tidak mau berbhakti kepada Sriwijaya. Ia mengemukakan gagasannya itu didasarkan atas sebutan gelar Dapunta Selendra pada prasasti Sojomerto. Gelar ini ditemukan juga pada prasasti Kedukan Bukit pada nama Dapunta Hiyaŋ. Prasasti Sojomerto dan prasasti Kedukan Bukit merupakan prasasti yang berbahasa Melayu Kuno. Namun keberhasilan Sriwijaya dalam ekspansi Bhumi Jawa yang tercatat di Prasasti Kota Kapur diragukan keberhasilannya. Karena sampai saat ini tidak ditemukan bukti yang menyatakan pengusaan Sriwijaya atas Bhumi Jawa. Bukti wilayah kekuasaan Sriwijaya di Pulau Jawa hanya sebatas di wilayah Sunda (termasuk pelabuhan Kalapa). Justru yang menjadi misteri adalah keberadaan Wangsa Sailendra yang tiba-tiba menjadi penguasa Suwarnadwipa pada era Balaputradewa. Bahkan di Prasasti Nalada disebutkan Balaputradewa Raja Suwarnadwipa merupakan cucu dari Raja Yawadwipa yang menikah dengan Tara Putri Dharmasetu.

Teori Nusantara juga dikemukakan oleh Poerbatjaraka. Pendapat dari Poerbatjaraka yang didasarkan atas Carita Parahiyangan kemudian diperkuat dengan sebuah temuan prasasti di wilayah Kabupaten Batang. Di dalam prasasti yang dikenal dengan nama prasasti Sojomerto itu disebutkan nama Dapunta Selendra, nama ayahnya (Santanū), nama ibunya (Bhadrawati), dan nama istrinya (Sampūla) (da pū nta selendra namah santanū nāma nda bapa nda bhadrawati nāma nda aya nda sampūla nāma nda ..). Menurut Boechari, tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah bakal raja-raja keturunan Śailendra yang berkuasa di Medang.

Nama Dapunta Selendra jelas merupakan ejaan Melayu dari kata dalam bahasa Sanskerta Śailendra karena di dalam prasasti digunakan bahasa Melayu Kuno. Jika demikian, kalau keluarga Śailendra berasal dari India Selatan tentunya mereka memakai bahasa Sansekerta di dalam prasasti-prasastinya. Dengan ditemukannya prasasti Sojomerto telah diketahui asal keluarga Śailendra dengan pendirinya Dapunta Selendra. Berdasarkan paleografinya, prasasti Sojomerto berasal dari sekitar pertengahan abad ke-7 Masehi.

Menurut Poerbatjaraka, Sanjaya dan keturunan-keturunannya itu ialah raja-raja dari keluarga Śailendra, asli Nusantara yang menganut agama Śiwa. Tetapi sejak Paņamkaran berpindah agama menjadi penganut Buddha Mahāyāna, raja-raja di Matarām menjadi penganut agama Buddha Mahāyāna juga. Pendapatnya itu didasarkan atas Carita Parahiyangan yang menyebutkan bahwa Rakai Sañjaya menyuruh anaknya Rakai Panaraban atau Rakai Tamperan untuk berpindah agama karena agama yang dianutnya (aliran Saiwa) ditakuti oleh semua orang. Kabar mengenai Rakai Panangkaran yang berpindah agama dari aliran Siwa menjadi Buddha Mahayana juga sesuai dengan isi Prasasti Raja Sankhara (koleksi Museum Adam Malik yang kini hilang).

Kemudian Prasasti Canggal menyebutkan bahwa Sañjaya mendirikan sebuah lingga di bukit Sthīrańga untuk tujuan dan keselamatan rakyatnya. Disebutkan pula bahwa Sañjaya memerintah Jawa menggantikan Sanna; Raja Sanna mempunyai saudara perempuan bernama Sanaha yang kemudian dikawininya dan melahirkan Sañjaya.

Dari prasasti Sojomerto dan prasasti Canggal telah diketahui nama tiga orang penguasa di Mdaŋ (Matarām), yaitu Dapunta Selendra, Sanna, dan Sañjaya. Raja Sañjaya mulai berkuasa di Mdaŋ pada tahun 717 Masehi. Dari Carita Parahiyangan dapat diketahui bahwa Sena (Raja Sanna) berkuasa selama 7 tahun. Kalau Sañjaya naik takhta pada tahun 717 Masehi, maka Sanna naik takhta sekitar tahun 710 Masehi. Hal ini berarti untuk sampai kepada Dapunta Selendra (pertengahan abad ke-7 Masehi) masih ada sisa sekitar 60 tahun. Kalau seorang penguasa memerintah lamanya kira-kira 25 tahun, maka setidak-tidaknya masih ada 2 penguasa lagi untuk sampai kepada Dapunta Selendra.

Dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahawa Raja Mandimiñak mendapat putra Sang Sena (Sanna). Ia memegang pemerintahan selama 7 tahun, dan Mandimiñak diganti oleh Sang Sena yang memerintah 7 tahun. Dari urutan raja-raja yang memerintah itu, dapat diduga bahwa Mandimiñak mulai berkuasa sejak tahun 703 Masehi. Ini berarti masih ada 1 orang lagi yang berkuasa sebelum Mandimiñak.

Karena teori Poerbatjaraka berdasarkan Carita Parahiyangan, maka keluarga Śailendra diduga berasal dari pulau Jawa yang berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Tokoh Sanna dan Sanjaya berkaitan erat dengan sejarah Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Mereka pada awalnya beragama Siwa seperti kebanyakan keluarga kerajaan permulaan di pulau Jawa seperti Tarumanagara dan Kalingga. Penggunaan bahasa Bahasa Melayu Kuno pada prasasti Sojomerto di Jawa Tengah serta penggunaan gelaran Dapunta menunjukkan bahwa keluarga Sailendra telah dipengaruhi bahasa, budaya, dan sistem politik Sriwijaya, hal ini menimbulkan dugaan bahwa mereka adalah vasal atau Perdikan anggota kedatuan Sriwijaya. Hal ini seiring dengan kabar penaklukan Bhumi Jawa oleh Sriwijaya sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Kota Kapur.

Berita yang berasal dari masa Dinasti Tang memberitakan tentang Kerajaan Kalingga yang disebut She-po (Jawa). Pada tahun 674 Masehi rakyat kerajaan itu menobatkan seorang wanita sebagai ratu, yaitu Hsi-ma (Ratu Sima). Ratu ini memerintah dengan baik. Mungkinkah ratu ini merupakan pewaris takhta dari Dapunta Selendra? Apabila ya, maka diperoleh urutan raja-raja yang memerintah di Mdaŋ, yaitu Dapunta Selendra (?- 674 Masehi), Ratu Sima (674-703 Masehi), Mandimiñak (703-710 Masehi), R. Sanna (710-717 Masehi), R. Sañjaya (717-746 Masehi), dan Rakai Paņamkaran (746-784 Masehi), dan seterusnya.

Era Kerajaan Medang

Candi Kalasan sebagai tempat pemujaan Dewi Tara.

Selama ini kerajaan Medang dianggap diperintah oleh dua wangsa yaitu Wangsa Sailendra yang beragama Buddha dan Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu Siwa, pendapat ini pertama kali diperkenalkan oleh Bosch.[3] Pada awal era Medang atau Mataram Kuno, wangsa Sailendra cukup dominan di Jawa Tengah. Menurut para ahli sejarah, wangsa Sanjaya awalnya berada di bawah pengaruh kekuasaan wangsa Sailendra. Mengenai persaingan kekuasaan tersebut tidak diketahui secara pasti, akan tetapi kedua-duanya sama-sama berkuasa di Jawa Tengah. Sementara Poerbatjaraka menolak anggapan Bosch mengenai adanya dua wangsa kembar berbeda agama yang saling bersaing ini. Menurutnya hanya ada satu wangsa dan satu kerajaan, yaitu wangsa Sailendra dan Kerajaan Medang. Sanjaya dan keturunannya adalah anggota Sailendra juga.[4] Ditambah menurut Boechari, melalui penafsirannya atas Prasasti Sojomerto bahwa wangsa Sailendra pada mulanya memuja Siwa, sebelum Panangkaran beralih keyakinan menjadi penganut Buddha Mahayana.

Raja-raja yang berkuasa dari keluarga Sailendra tertera dalam prasasti Ligor, prasasti Nalanda maupun prasasti Klurak, sedangkan raja-raja dari keluarga Sanjaya tertera dalam prasasti Canggal dan prasasti Mantyasih. Berdasarkan candi-candi, peninggalan kerajaan Mataram Kuno dari abad ke-8 dan ke-9 yang bercorak Budha (Sailendra) umumnya terletak di Jawa Tengah bagian selatan, sedangkan yang bercorak Hindu (Sanjaya) umumnya terletak di Jawa Tengah bagian utara.

Berdasarkan penafsiran atas prasasti Canggal (732 M) Sanjaya memang mendirikan Shivalingga baru (Candi Gunung Wukir), artinya ia membangun dasar pusat pemerintahan baru. Hal ini karena raja Jawa pendahulunya, Raja Sanna wafat dan kerajaannya tercerai-berai diserang musuh. Saudari Sanna adalah Sannaha, ibunda Sanjaya, artinya Sanjaya masih kemenakan Sanna. Sanjaya mempersatukan bekas kerajaan Sanna, memindahkan ibu kota dan naik takhta membangun kraton baru di Mdang i Bhumi Mataram. Hal ini sesuai dengan adat dan kepercayaan Jawa bahwa kraton yang sudah pernah pralaya, diserang, kalah dan diduduki musuh, sudah buruk peruntungannya sehingga harus pindah mencari tempat lain untuk membangun kraton baru. Hal ini serupa dengan zaman kemudian pada masa Mataram Islam yang meninggalkan Kartasura yang sudah pernah diduduki musuh dan berpindah ke Surakarta. Perpindahan pusat pemerintahan ini bukan berarti berakhirnya wangsa yang berkuasa. Hal ini sama dengan Airlangga pada zaman kemudian yang membangun kerajaan baru, tetapi ia masih merupakan keturunan wangsa penguasa terdahulu, kelanjutan Dharmawangsa yang juga anggota wangsa Isyana. Maka disimpulkan meski Sanjaya memindahkan ibu kota ke Mataram, ia tetap merupakan kelanjutan dari wangsa Sailendra yang menurut prasasti Sojomerto didirikan oleh Dapunta Selendra.

Pada masa pemerintahan raja Indra (782-812), puteranya, Samaratungga, dinikahkan dengan Dewi Tara, puteri Dharmasetu, Maharaja Sriwijaya. Prasasti yang ditemukan tidak jauh dari Candi Kalasan memberikan penjelasan bahwa candi tersebut dibangun untuk menghormati Tara sebagai Bodhisattva wanita. Pada tahun 790, Sailendra menyerang dan mengalahkan Chenla (Kamboja Selatan), kemudian sempat berkuasa di sana selama beberapa tahun.

Candi Borobudur selesai dibangun pada masa pemerintahan raja Samaratungga (812-833). Borobudur merupakan monumen Buddha terbesar di dunia, dan kini menjadi salah satu kebanggaan bangsa Indonesia. Dari hasil pernikahannya dengan Dewi Tara, Samaratungga memiliki putri bernama Pramodhawardhani dan putra bernama Balaputradewa. Balaputra kemudian memerintah di Sriwijaya, maka selain pernah berkuasa di Medang, wangsa Sailendra juga berkuasa di Sriwijaya.

Runtuhnya Wangsa Sailendra

Berapa sejarawan berusaha menjelaskan berakhirnya kekuasaan Sailendra di Jawa Tengah mengaitkannya dengan kepindahan Balaputradewa ke Sriwijaya (Sumatra). Selama ini sejarawan seperti Dr. Bosch dan Munoz menganut paham adanya dua wangsa kembar berbeda keyakinan yang saling bersaing; Sanjaya-Sailendra. Mereka beranggapan Sailendra yang penganut Buddha kalah bersaing dan terusir oleh wangsa Sanjaya yang Hindu aliran Siwa. Dimulai dengan adanya ketimpangan perekonomian serta perbedaan keyakinan antara Sailendra sang penguasa yang beragama Buddha dengan rakyat Jawa yang kebanyakan beragama Hindu Siwa, menjadi faktor terjadinya ketidakstabilan di Jawa Tengah.[butuh rujukan] Untuk memantapkan posisinya di Jawa Tengah, raja Samaratungga menikahkan putrinya Pramodhawardhani, dengan anak Garung, Rakai Pikatan yang waktu itu menjadi pangeran wangsa Sanjaya.[2] Sejak itu pengaruh Sanjaya yang bercorak Hindu mulai dominan di Mataram, menggantikan agama Buddha. Rakai Pikatan bahkan menyerang Balaputradewa, yang merupakan paman atau saudara Pramodhawardhani. Sejarah wangsa Sailendra berakhir pada tahun 850, yaitu ketika Balaputradewa melarikan diri ke Suwarnadwipa yang merupakan negeri asal ibunya. Setelah terusirnya wangsa Sailendra dari Jawa Tengah, Munoz beranggapan berakhir pula kekuasaan Sriwijaya atas Jawa selama satu abad. Munoz beranggapan bahwa orang-orang Jawa pengikut Balaputradewa merasa terancam dan akhirnya menyingkir, mengungsi ke Jawa Barat untuk mendirikan kerajaan Banten Girang.[2] Hal ini berdasarkan temuan arca-arca bergaya Jawa Tengahan abad ke-10 di situs Gunung Pulasari, Banten Girang.

Sementara itu, sejarawan seperti Poerbatjaraka dan Boechari percaya bahwa hanya ada satu wangsa yaitu Sailendra, dan tidak pernah disebutkan Sanjayavamça dalam prasasti apapun. Sanjaya dan keturunannya dianggap masih masuk dalam wangsa Sailendra. Secara tradisional, selama ini kurun kekuasaan Sailendra dianggap berlangsung antara abad ke-8 hingga ke-9 Masehi, dan hanya terbatas di Jawa Tengah, tepatnya di Dataran Kedu, dari masa kekuasaan Panangkaran hingga Samaratungga. Hal ini sesuai dengan penafsiran Slamet Muljana yang menganggap Panangkaran sebagai Raja Sailendra pertama yang naik takhta. Akan tetapi penafsiran paling mutakhir berdasarkan temuan Prasasti Sojomerto serta kelanjutan Sailendra di Sriwijaya mengusulkan; bahwa masa kekuasaan wangsa Sailendra berlangsung jauh lebih lama. Dari pertengahan abad ke-7 (perkiraan dituliskannya Prasasti Sojomerto), hingga awal abad ke-11 masehi (jatuhnya wangsa Sailendra di Sriwijaya akibat serangan Cholamandala dari India). Dalam kurun waktu tertentu, wangsa Sailendra berkuasa baik di Jawa Tengah maupun di Sumatra. Persekutuan dan hubungan pernikahan keluarga kerajaan antara Sriwijaya dan Sailendra memungkinkan bergabungnya dua keluarga kerajaan, dengan wangsa Sailendra akhirnya berkuasa baik di Kerajaan Medang Mataram di Jawa Tengah sekaligus di Sriwijaya, Sumatra.

Daftar para raja

Beberapa sejarawan mencoba merekonstruksi kembali urutan daftar silsilah raja-raja Sailendra; meskipun satu sama lain mungkin tidak sepakat. Misalnya, Slamet Muljana, meneruskan teori dinasti kembar Bosch, berpendapat bahwa anggota wangsa Sailendra pertama yang berhasil menjadi raja adalah Rakai Panangkaran. Sementara itu, Poerbatjaraka berpendapat bahwa wangsa Sanjaya itu tidak pernah ada. Dengan kata lain, Wangsa Sanjaya juga merupakan anggota Wangsa Sailendra. Boechari mencoba menyusun tahap awal perkembangan wangsa Sailendra berdasarkan penafsiran atas Prasasti Sojomerto. Sementara Poerbatjaraka mencoba menyusun daftar raja penguasa Sailendra pada periode menengah dan lanjut berdasarkan hubungannya dengan tokoh Sanjaya, beberapa prasasti Sailendra, serta penafsiran atas naskah Carita Parahyangan. Akan tetapi banyak kebingungan yang muncul, karena tampaknya Sailendra berkuasa atas banyak kerajaan; Kalingga, Medang, dan Sriwijaya. Akibatnya nama beberapa raja tampak tumpang tindih dan berkuasa di kerajaan-kerajaan ini secara bersamaan. Tanda tanya (?) menunjukkan keraguan atau dugaan, karena data atau bukti sejarah sahih masih sedikit ditemukan dan belum jelas terungkap.

Kurun Waktu Nama Raja atau Penguasa Ibu Kota Prasasti atau Catatan Bersejarah Peristiwa
sekitar 650 Santanu ? Prasasti Sojomerto (sekitar 670—700) Sebuah keluarga beragama Siwa berbahasa Melayu kuno mulai bermukim di pesisir utara Jawa Tengah, diduga berasal dari Sumatra (?) atau asli dari Jawa tetapi di bawah pengaruh Sriwijaya (raja bawahan)
sekitar 674 Dapunta Selendra Batang (pantai utara Jawa Tengah) Prasasti Sojomerto (sekitar 670—700) Dimulainya wangsa keluarga penguasa, pertama kalinya nama 'Selendra' (Sailendra) disebutkan
674—703 Shima (?) Kalingga, di antara Pekalongan dan Jepara Carita Parahyangan, Catatan Tiongkok mengenai kunjungan biksu Hwi-ning di Ho-ling (664) dan pemerintahan Ratu Hsi-mo (674) Menguasai kerajaan Kalingga
703—710 Mandimiñak (?) ? Carita Parahyangan
710—717 Sanna ? Prasasti Canggal (732), Carita Parahyangan Sanna berkuasa di Jawa, tetapi setelah kematiannya kerajaan runtuh dan terpecah-belah akibat pemberontakan atau serangan dari luar
717—760 Sanjaya Mataram, Jawa Tengah Prasasti Canggal (732), Carita Parahyangan Sanjaya, putra Sannaha, keponakan Sanna memulihkan keamanan, mempersatukan kerajaan dan naik takhta, sejarawan lama menafsirkannya sebagai berdirinya Wangsa Sanjaya, sementara pihak lain menganggap ia sebagai kelanjutan Sailendra
760—775 Rakai Panangkaran Mataram, Jawa Tengah Prasasti Raja Sankhara, Prasasti Kalasan (778), Carita Parahyangan Rakai Panangkaran beralih keyakinan dari memuja Siwa menjadi penganut Buddha Mahayana, pembangunan Candi Kalasan
775—800 Dharanindra Mataram, Jawa Tengah Prasasti Kelurak (782), Prasasti Ligor B (sekitar 787) Juga berkuasa di Sriwijaya (Sumatra), membangun Manjusrigrha, memulai membangun Borobudur (sekitar 770), Jawa menyerang dan menaklukan Ligor dan Kamboja Selatan (Chenla) (790)
800—812 Samaragrawira Mataram, Jawa Tengah Prasasti Ligor B (sekitar 787) Juga berkuasa di Sriwijaya, Kamboja memerdekakan diri (802)
812—833 Samaratungga Mataram, Jawa Tengah Prasasti Karangtengah (824) Juga berkuasa di Sriwijaya, merampungkan Borobudur (825)
833—856 Pramodhawardhani berkuasa mendampingi suaminya Rakai Pikatan Mamrati, Jawa Tengah Prasasti Siwagrha (856) Mengalahkan dan mengusir Balaputradewa yang menyingkir ke Sumatra (Sriwijaya). Membangun Candi Prambanan dan Candi Plaosan. Para raja Medang penerus Pikatan, mulai dari Dyah Lokapala (850—890) hingga Wawa (924—929) dapat dianggap sebagai penerus trah Sailendra, meskipun Dyah Balitung (898—910) dalam Prasasti Mantyasih (907) hanya merunut leluhurnya hingga Sanjaya, akibatnya menumbuhkan teori Wangsa Sanjaya.
833—850 Balaputradewa Sriwijaya, Sumatra Selatan Prasasti Siwagrha (856), Prasasti Nalanda (860) Dikalahkan Pikatan-Pramodhawardhani, terusir dari Jawa Tengah, menyingkir ke Sumatra dan berkuasa di Sriwijaya, mengaku dirinya sebagai pewaris sah wangsa Sailendra dari Jawa, membangun Candi di Nalanda (India)
sekitar 960 Çri Udayadityavarman Sriwijaya, Sumatra Selatan Utusan ke Tiongkok (960 dan 962) Mengirim utusan dan persembahan untuk mendapat misi dagang dengan Tiongkok
sekitar 980 Haji (Hia-Tche) Sriwijaya, Sumatra Selatan Utusan ke Tiongkok (980–983) Mengirim utusan dan persembahan untuk mendapat misi dagang dengan Tiongkok
sekitar 988 Sri Cudamanivarmadeva Sriwijaya, Sumatra Selatan Utusan ke Tiongkok (988-992-1003), Prasasti Tanjore atau prasasti Leiden (1044) Mengirim utusan dan persembahan untuk mendapat misi dagang dengan Tiongkok, Raja Jawa Dharmawangsa menyerang Sriwijaya, membangun Candi untuk Kaisar Tiongkok, pemberian desa perdikan oleh Raja-raja I
sekitar 1008 Sri Maravijayottungga Sriwijaya, Sumatra Selatan Utusan ke Tiongkok (1008) Mengirim utusan dan persembahan untuk mendapat misi dagang dengan Tiongkok (1008)
sekitar 1017 Sumatrabhumi Sriwijaya, Sumatra Selatan Utusan ke Tiongkok(1017) Mengirim utusan dan persembahan untuk mendapat misi dagang dengan Tiongkok (1017)
sekitar 1025 Sangramavijayottungga Sriwijaya, Sumatra Selatan Prasasti Chola di Candi Rajaraja, Tanjore Serbuan kerajaan Cholamandala atas Sriwijaya, ibu kota ditaklukan oleh Rajendra Chola

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Bowring 2022, hlm. 74.
  2. ^ a b c Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. hlm. pages 171. ISBN 981-4155-67-5. 
  3. ^ Bosch, F.D.K. (1952). "Çriwijaya, de Çailendrawamsa- en de Sańjayawamça". B.K.I. 108: 113–123. 
  4. ^ (Poerbatjaraka, 1958: 254-264)

Daftar pustaka

  • Bowring, Philip (2022). Nusantaria: Sejarah Asia Tenggara Maritim. Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 978-602-481-801-2. 
  • George Coedes. 1934. On the origins of the Sailendras of Indonesia. Journal of the Greater India Society I: 61–70.
  • K.A.N. Sastri. 1949. History of Sri Vijaya. University of Madras.
  • Marwati Djoened Poesponegoro. Nugroho Notosusanto. 1992. Sejarah Nasional Indonesia: Jaman Kuno. Jakarta: PT Balai Pustaka (Persero). ISBN 979-407-408-X
  • Paul Michel Munoz. 2006. Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapura: Editions Didier Millet, ISBN 981-4155-67-5.
  • R.C. Majumdar. Note on Šailendra kings mentioned in Leiden Plates. EL, XXII, pp. 281–4.
  • R. Ng. Poerbatjaraka. 1952. Riwajat Indonesia, djilid I, "Çrivijaya, de Śańjaya en de Çailendrawamça. B.K.I., 254-264.
  • Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya. PT LKIS Pelangi Aksara, ISBN 978-979-8451-62-1.