Hukum acara perdata Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Hukum acara perdata Indonesia adalah serangkaian kaidah, prosedur yang menentukan cara penyelesaian perkara perdata melalui badan peradilan, dan peraturan hukum yang mengatur pelaksanaan hukum perdata pada tata hukum positif yang berlaku di Indonesia[1].

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Hukum acara perdata dalam tata hukum Indonesia mulai berkembang pada masa penjajahan Belanda. Di bawah hukum Hindia Belanda, lingkungan peradilan dibedakan untuk golongan Eropa dan yang dipersamakan dengannya pada satu pengadilan, dan untuk golongan Pribumi dan Timur Asing (Tionghoa dan Arab) pada satu pengadilan lain.[2]

Golongan Eropa dan yang dipersamakan dengannya diatur oleh Reglement op de Burgelijke Rechtsvordering (RV) yang diundangkan oleh Staatsblad No. 52 Tahun 1847. Undang-undang ini mengatur tata cara berperkara perdata di hadapan Raad van Justitie dan Residentie-gerecht.[3]

Golongan Pribumi dan Timur Asing diatur menggunakan dua undang-undang perdata yang berbeda, yaitu HIR dan RBg. Inlandsch Reglement (IR) diundangkan melalui Staatsblad No. 16 Tahun 1848 dan diperbaharui menjadi Herziene Indonesich Reglement (HIR) melalui Staatsblad No. 44 Tahun 1941. HIR hanya berlaku untuk golongan Pribumi dan Timur Asing yang berperkara di muka Landraad yang berada di Pulau Jawa dan Madura. Di luar Jawa dan Madura, berlaku Reglement Voor de Buitengewesten (RBg), yang diundangkan melalui Staatsblad No. 227 Tahun 1927. Yang dimaksud oleh wilayah-wilayah luar Jawa dan Madura ini antara lain adalah Ambon, Aceh, Minangkabau, Palembang, Kalimantan, Minahasa, dan lain-lain.[3]

Sumber[sunting | sunting sumber]

Undang-Undang Nomor 20/1947 Tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura[sunting | sunting sumber]

Undang-undang ini menjadi salah satu sumber hukum acara perdata, dan mengatur tentang upaya banding dalam perdata. Misalnya di dalam Pasal 3 ayat (1) sebagai berikut:

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 1/1951[sunting | sunting sumber]

Hukum acara perdata pada pengadilan negeri dilakukan dengan memperhatikan ketentuan Undang-Undang Darurat Nomor 1/1951 tersebut menurut peraturan-peraturan Republik Indonesia dahulu yang telah ada dan berlaku untuk pengadilan negeri dalam daerah Republik Indonesia. Adapun yang dimaksud oleh Undang-Undang Darurat tersebut tidak lain adalah Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR atau reglemen Indonesia yang diperbaharui: S. 1848 Nomor 16, S. 1941 Nomor 44) untuk daerah Jawa dan Madura, serta Rechtsglement voor de Buitengewesten (RBg atau reglemen daerah seberang: S. 1927 Nomor 227) untuk daerah luar Jawa dan Madura. Maka, untuk acara perdata, yang dinyatakan resmi berlaku adalah HIR untuk Jawa dan Madura serta RBg untuk luar Jawa dan Madura.

Reglement op de Burgerlijke rechtsvordering (RBRv atau reglemen acara perdata, yaitu hukum acara perdata untuk golongan Eropa: S. 1847 Nomor 52, 1849 Nomor 63), merupakan sumber juga dari hukum acara perdata. Supomo berpendapat bahwa dengan dihapuskannya raad van justitie danhooggerechtshof, Rv sudah tidak berlaku lagi sehingga dengan demikian hanya HIR dan RBg sajalah yang berlaku. Keadaan tersebut menimbulkan pertanyaan, hukum acara perdata manakah yang diberlakukan apabila seorang yang tunduk pada BW (kitab undang-undang hukum perdata), sebagai contoh kasus: mengajukan gugatan cerai? Dalam praktik, acara yang diatur dalam Rv akan diterapkan.

Kecuali itu, dapat disebutkan Reglement op de Rechterlijke Organisasie in het beleid der justitie in Indonesie (R.O. atau Reglemen tentang Organisasi Kehakiman: S. 1847 Nomor 23) dan Burgelijk Wetboek (BW) buku IV sebagai sumber dari hukum acara perdata dan selebihnya terdapat dalam BW, WvK (Wetboek van Koophandel; Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) dan Peraturan Kepailitan.[4]

Yurisprudensi[sunting | sunting sumber]

Sebagai perbandingan, perlu diketahui juga Undang-Undang Nomor 5/1986 (Lembaran Negara 77) tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang penerapannya selambat-lambatnya lima tahun sesudah diundangkannya. Yurisprudensi juga merupakan sumber dari hukum acara perdata, antara lain dapat disebutkan putusan Mahakamh Agung tertanggal 14 April 1971 Nomor 99 K/Sip/197122 yang menyeragamkan hukum acara dalam perceraian bagi mereka yang tunduk pada BW dengan tidak membedakan antara permohonan untuk mendapatkan izin guna mengajukan gugat perceraian dan gugatan perceraian itu sendiri yang berarti bahwa hakim harus mengusahakan perdamaian di dalam persidangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 53 HOCI.

Adat Kebiasaan Hakim dalam Memeriksa Perkara[sunting | sunting sumber]

Wirjono Prodjodikoro (1975: 9) berpendapat bahwa adat kebiasaan yang dianut oleh para hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara perdata juga sebagai sumber dari hukum acara perdata. Adat kebiasaan yang tidak tertulis dari hakim dalam melakukan pemeriksaan itu akan beraneka ragam. Tidak mustahil adat kebiasaan seorang hakim berbeda, bahkan bertentangan dengan adat kebiasaan hakim yang lain dari pengadilan yang sama dalam melakukan pemeriksaan. Mengingat bahwa hukum acara perdata dimaksudkan untuk menjamin dilaksanakannya atau ditegakkannya hukum perdata materiil yang berarti mempertahankan tata hukum perdata, pada asasnya hukum acara perdata bersifat mengikat dan memaksa. Sementara itu, adat kebiasaan hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara perdata yang tidak tertulis dalam melakukan pemeriksaan tidak akan menjamin kepastian hukum.

Perjanjian Internasional[sunting | sunting sumber]

Salah satu sumber hukum acara perdata lainnya adalah perjanjian internasional. Sebagai contoh, ”Perjanjian Kerja Sama di Bidang Peradilan antara Republik Indonesia dan Kerajaan Thailand”. Di dalamnya, terdapat kesepakatan mengadakan kerja sama dalam menyampaikan dokumen-dokumen pengadilan dan memperoleh bukti-bukti dalam hal perkara-perkara hukum perdata dan dagang. Warga negara kedua belah pihak akan mendapat keleluasaan beperkara dan menghadap ke pengadilan di wilayah pihak yang lainnya dengan syarat-syarat yang sama, seperti warga negara pihak itu. Masing-masing pihak akan menunjuk satu instansi yang berkewajiban untuk mengirimkan dan menerima permohonan penyampaian dokumen panggilan. Instansi untuk Republik Indonesia adalah Direktorat Jendral Pembinaan Badan Peradilan Umum Departemen Kehakiman, sedangkan Kerajaan Thailand adalah Office of Judicial Affairs of the Ministry of Justice.

Doktrin/Ilmu Pengetahuan[sunting | sunting sumber]

Doktrin atau ilmu pengetahuan juga merupakan sumber hukum acara perdata atau sumber tempat hakim dapat menggali hukum acara perdata. Akan tetapi, doktrin itu sendiri bukanlah hukum. Kewibawaan ilmu pengetahuan karena didukung oleh para pengikutnya serta sifat objektif dari ilmu pengetahuan itu menyebabkan putusan hakim juga bernilai objektif.

Instruksi dan Surat Edaran Mahkamah Agung[sunting | sunting sumber]

Instruksi dan surat edaran Mahkamah Agung (SEMA) sepanjang mengatur hukum acara perdata dan hukum perdata materiil tidaklah mengikat hakim sebagaimana halnya undang-undang. Akan tetapi, instruksi dan surat edaran MA merupakan sumber tempat hakim yang dapat menggali hukum acara perdata ataupun hukum perdata materiil.

Sehubungan dengan ini, perhatikan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3/1963 yang pada umumnya dianggap membatalkan BW. Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif dengan Surat Edaran Nomor 3/1963 tersebut tidak wenang membatalkan BW atau undang-undang. Maksud Mahkamah Agung dengan SEMA Nomor 3 Tahun 1963 yang merupakan instruksi kepada para hakim memang baik, yaitu agar hakim menyesuaikan BW dengan perkembangan masyarakat, tetapi SEMA Nomor 3 Tahun 1963 itu sendiri secara yuridis teoretis tidak mempunyai kekuatan membatalkan BW. Kalau Mahkamah Agung dengan SEMA No. 3/1963 bermaksud untuk membatalkan BW, Mahkamah Agung melanggar ajaran tentang pembagian kekuasaan. Atas dasar kebebasannya, hakim cukup berwenang untuk menyesuaikan isi undang-undang dengan perkembangan masyarakat, tanpa menunjuk pada SEMA No. 3/1963.

Dapat juga hakim menggunakan lembaga-lembaga hukum acara perdata yang disebut dalam instruksi atau surat edaran, asal saja sebagai ciptaan sendiri tanpa menunjuk instruksi atau surat edaran yang bersangkutan (bandingkan dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta tertanggal 17 Januari 1955, H 1966 No. 1—2 hlm. 77).

Asas[sunting | sunting sumber]

Pelaksanaan persidangan perdata pada lingkungan peradilan Indonesia berpegang pada beberapa jenis asas yang diatur dan terkandung pada HIR, RBg, maupun peraturan perundang-undangan lain.

Mandiri dan tidak memihak[sunting | sunting sumber]

Dalam penyelenggaraan peradilan, seorang hakim menjaga kemandirian peradilannya sesuai amanat undang-undang. Namun, beberapa sarjana hukum berpendapat bahwa kemandirian ini tidak mutlak sifatnya, melainkan harus mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia. [5] Pengadilan tidak boleh memihak, dan hakim harus objektif dalam meemriksa suatu perkara. Semua putusan pengadilan harus memuat alasan putusan yang menjadi dasar untuk mengadili. Alasan putusan tersebut menjadi pertanggungjawaban keadilan hakim kepada masyarakat dan memuat nilai objektif.[5]

(1) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.

(2) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

— Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU 48/2009

Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.

— Pasal 4 ayat (1) UU 48/2009

Peran hakim[sunting | sunting sumber]

Dalam pengadilan perdata, inisiatif ada atau tidaknya suatu perkara perdata diambil oleh pihak-pihak yang merasa hak mereka telah dilanggar. Inisiatif ada pada penggugat, sehingga apakah suatu perkara itu diajukan atau tidak kepada pengadilan merupakan sepenuhnya diskresi pihak-pihak yang berkepentingan. Hakim tidak berhak mengambil inisiatif memulai proses hukum (nemo judex sine actore). Prinsip ini disebut "hakim yang menunggu" (lijdelijkeheid van de rechter atau judex ne procedat ex officio).[6]

Di lain hal, apabila perkara tersebut telah masuk ke tahap pengadilan, maka hakim bertindak aktif mulai dari awal hingga akhir pengadilan. Pemikiran asas ini berakar pada kewenangan ketua Pengadilan Negeri untuk memberikan nasihat dan bantuan kepada penggugat atau kuasa penggugat dalam hal mengajukan gugatannya itu.[7] Hal ini sejalan dengan sistem peradilan Indonesia yang bersifat inkusatorial (inquisitorial system), di mana hakim mengambil peran yang aktif dalam persidangan.

Ketua berwenang untuk pada pemeriksaan perkara memberikan penerangan yang diperlukan kepada pihak-pihak dan menunjukkan upaya-upaya hukum dan alat-alat bukti yang dapat mereka gunakan, jika hal ini dipandangnya perlu demi kebaikan dan kelancaran jalannya persidangan.[8]

— Pasal 132 HIR

Sederhana, cepat, dan biaya ringan[sunting | sunting sumber]

Dalam menyelenggarakan pengadilan perdata, pihak-pihak yang berperkara dikenakan biaya. Biaya tersebut digunakan untuk membiayai petugas kepaniteraan, pemanggilan, pemberitahuan para pihak yang berperkara, materai, kuasa hukum, dan ahli bahasa. Mahkamah Agung lebih lanjut mengatur hal ini dalam Surat Edaran No. 4 Tahun 2008 Diarsipkan 2017-01-15 di Wayback Machine. tentang Pemungutan Biaya Perkara.

Biaya yang dikenakan kepada pihak yang berperkara haruslah ringan, dalam artian tidak membebani penyelesaian perkara dan tidak mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam proses pengadilan. Dalam hal pihak yang berperkara tidak mampu untuk membayar biayanya, pasal 68B ayat (2) dan (3) UU 49/2009 mengatur bahwa negara berkewajiban menanggung biaya perkara tersebut, dengan melampirkan surat keterangan tidak mampu dari kelurahan tempat yang bersangkutan berdomisili.

Pengadilan dilangsungkan dengan jelas, mudah dipahami, dan tidak berbelit-belit. Formalitas dan syarat-syarat yang cenderung menghambat dan memperlambat proses peradilan dapat menimbulkan pelbagai penafsiran dan mengancam kepastian hukum, sehingga dapat menyebabkan kurangnya wibawa lembaga peradilan.[9]

Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

— Pasal 4 ayat (2) UU 48/2009.

Pengadilan terbuka untuk umum[sunting | sunting sumber]

Sidang-sidang pengadilan perdata harus terbuka untuk umum (openbaarheid van rechtsspraak), kecuali alasan-alasan tertentu yang ditentukan oleh undang-undang. Putusan pengadilan hanya dianggap sah jika diucapkan oleh hakim pada sebuah sidang yang terbuka untuk umum; apabila tidak, maka putusan tersebut dianggap batal demi hukum.

(1) Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain.

(2) Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

(3) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum.

— Pasal 13 ayat (1), (2), dan (3) UU 48/2009.

Perwakilan hukum[sunting | sunting sumber]

Pihak-pihak yang berperkara di pengadilan dapat mewakilkan kepentingannya kepada kuasa hukum yang ditunjuk. Dalam acara pengadilan Indonesia modern, kuasa hukum ini hampir selalu merupakan advokat yang mempunyai gelar sarjana hukum, meskipun tidak ada ketentuan HIR maupun RBg yang mensyaratkan seorang kuasa hukum untuk memilikinya. Namun begitu, tidak ada kewajiban bagi pihak yang berperkara untuk melakukan hal ini. Sebaliknya, RV mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepentingannya kepada orang lain (procureur) di muka pengadilan.[10]

Apabila kuasa diberikan kepada pihak tertentu untuk mewakili kepentingan pihak-pihak yang berperkara di pengadilan, maka diperlukan surat kuasa yang diberikan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa (pasal 1792 KUH Perdata).[11] Kuasa untuk menghadap di pengadilan diatur oleh pasal 123 ayat (2) HIR dan pasal 147 ayat (2) RBg.[12]

Kuasa dapat berakhir apabila pemberi kuasa meninggal dunia; pemberi kuasa mencabut kembali secara sepihak (pasal 1814 dan 1816 KUH Perdata)[13]; atau pemberi kuasa melepas kuasa (pasal 1817 KUH Perdata)[13].

Mendengar kedua belah pihak[sunting | sunting sumber]

Dalam proses persidangan, hakim harus memperlakukan pihak-pihak yang berperkara secara sama dan tidak dibeda-bedakan. Kedua belah pihak memiliki hak untuk didengar (audi et alteram partem). Hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak apabila pihak lawannya tidak diberikan kesempatan untuk didengar atau mengeluarkan pendapatnya.[1]

Lembaga[sunting | sunting sumber]

Perkara acara perdata dapat diajukan dan diperiksa pada dua jenis badan peradilan, yaitu badan peradilan umum (general jurisdiction) dan peradilan khusus (limited jurisdiction). Dalam UU 48/2009, ditentukan bahwa lembaga-lembaga peradilan khusus berada di bawah Mahkamah Agung, yang juga menjadi pengadilan banding tingkat kasasi untuk pengadilan-pengadilan umum.

Badan peradilan memiliki dua macam kekuasaan, yaitu:

  1. Kekuasaan mutlak, yaitu kekuasaan memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan lain baik dalam lingkungan peradilan yang sama maupun dalam lingkungan peradilan lain;
  2. Kekuasaan relatif, yaitu kekuasaan memeriksa jenis perkara yang berkaitan dengan wilayah suatu pengadilan. Dalam kata lain, wewenang hakim yang memeriksa suatu perkara dapat diperiksa oleh pengadilan di tempat lain.

Pasal 118 HIR dan 142 RBg [14] mengatur bahwa suatu gugatan perdata harus diajukan pada Pengadilan Negeri di mana tergugat bertempat tinggal, sejalan dengan asas actor sequitur forum rei, dengan perkecualian umum sebagai berikut:

  1. Apabila tergugat tidak bertempat tinggal, tidak dikenal, atau bertempat tinggal di luar negeri dan tidak mempunyai tempat tinggal di Indonesia, gugatan diajukan ke pengadilan negeri tempat penggugat bertempat tinggal;
  2. Apabila tergugat lebih dari satu orang, gugatan dapat diajukan ke pengadilan negeri tempat tinggal salah satu dari tergugat;
  3. Apabila tergugat pindah tanpa meninggalkan alamat dan tempat tinggal barunya tidak diketahui, gugatan diajukan kepada pengadilan negeri tempat tergugat diketahui tinggal terakhir.

Perkecualian khusus pada asas actor sequitur adalah sebagai berikut:

  1. Apabila tergugat adalah Pegawai Negeri Sipil, maka gugatan diajukan ke pengadilan negeri tempat tergugat bekerja (pasal 20 KUH Perdata)[15];
  2. Apabila tergugat tidak cakap untuk menghadap di muka pengadilan, gugatan diajukan kepada pengadilan negeri tempat tinggal orang tua, wali, atau pengampunya (pasal 21 KUH Perdata)[15];
  3. Apabila tergugat adalah buruh yang menginap di tempat tinggal majikannya, maka gugatan diajukan ke pengadilan negeri tempat tinggal majikannya (pasal 22 KUH Perdata)[15];
  4. Apabila gugatan berbentuk perceraian, gugatan diajukan pada pengadilan negeri tempat perkawinan dilaksanakan atau tempat tinggal salah satu dari suami/istri (atau keduanya) yang melaksanakan gugatan (pasal 21 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan)[16];
  5. Apabila gugatan berbentuk pembatalan perkawinan, gugatan diajukan ke pengadilan negeri tempat penggugat bertempat tinggal (pasal 38 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan)[17].

Gugatan[sunting | sunting sumber]

Gugatan adalah tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting).[18]

Pihak-pihak yang mengajukan atau menjawab gugatan perdata haruslah pihak yang dianggap mampu melakukan perbuatan hukum (subjek hukum). Pihak yang berperkara dibedakan menjadi dua, yaitu pihak material, yang langsung berkepentingan dengan pokok perkara; dan pihak formal, yang maju di muka pengadilan untuk kepentingan penggugat dan/atau tergugat.

Gugatan dapat diajukan secara tertulis maupun lisan. Apabila pihak yang berperkara mewakilkan kepentingannya kepada kuasa hukum, maka gugatan tidak boleh diajukan secara lisan.[19]

Sebuah gugatan hanya akan diperiksa pengadilan apabila memenuhi syarat-syarat berikut:

  1. Syarat material:
    1. Gugatan tersebut memiliki isi gugatan (point of interest dan point of action)
  2. Syarat formal:
    1. Gugatan berbentuk surat;
    2. Gugatan diajukan kepada pengadilan negeri yang berwenang;
    3. Gugatan mengandung identitas penggugat, fundamentum petendi, dan petitum;
  3. Gugatan telah dibubuhi materai;
  4. Biaya perkara telah dibayar.

HIR maupun RBg tidak mengatur syarat isi gugatan. Pasal 8 RV mengatur bahwa identitas penggugat harus meliputi nama, tempat tinggal, dan pekerjaan. Fundamentum petendi (juga acap disebut posita atau "duduk perkara") adalah dalil-dalil konkret yang menunjukkan wujudnya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan daripada tuntutan. Petitum adalah tuntutan yang dituntut oleh penggugat, dan dibedakan menjadi tuntutan primer (utama) dan subsider (sampingan).[20]

Perubahan[sunting | sunting sumber]

HIR maupun RBg tidak mengatur tentang perubahan gugatan. Pasal 127 RV memperbolehkan gugatan diubah asal tidak mengubah petitum (onderwerp van den eis). Setelah kemerdekaan Indonesia, yurisprudensi Mahkamah Agung juga memperbolehkan perubahan tuntutan dan menyatakannya tidak bertentangan dengan asas-asas hukum acara perdata.[21]

Penggabungan[sunting | sunting sumber]

Gugatan dapat digabungkan atau dilebur. Sebuah gugatan biasanya digabungkan dengan gugatan lain apabila adanya hubungan yang bersifat perbarengan (concursus) maupun penggabungan (comulatie, subjek maupun objek) dengan gugatan lain.

Gugatan digabungkan agar perkara tersebut diperiksa oleh hakim yang sama dan menghindari kemungkinan adanya keputusan yang berlainan; atau untuk kepentingan acara pengadilan yang lebih sederhana, cepat, dan berbiaya ringan.

Gugatan tidak dapat digabungkan jika:

  1. Salah satu dari gugatan memerlukan suatu acara khusus (seperti gugatan cerai), sedangkan gugatan lainnya diperiksa melalui acara biasa;
  2. Hakim secara relatif tidak wenang untuk memeriksa salah satu tuntutan yang bersama-sama diajukan dalam satu gugatan;
  3. Tuntutan tentang bezit digabungkan dengan tuntutan tentang eigendom.[22]

Penambahan dan pengurangan[sunting | sunting sumber]

Gugatan dapat ditambahkan, misalnya dalam hal ahli waris yang belum semua diikutsertakan, atau apabila lupa dimohonkan dalam petitum. Gugatan dapat pula ditambah jika dimohjonkan agar putusan dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoerbaar bij voorraad).[23]

Gugatan dapat pula dikurangi, misalnya dalam hal penggugat merasa keliru dalam hal yang digugat atau pihak yang digugat.[24]

Pencabutan dan pengguguran[sunting | sunting sumber]

Pasal 271 RV mengatur bahwa gugatan boleh dicabut oleh penggugat sebelum tergugat memberi jawaban. Jika tergugat sudah menjawab, maka gugatan tidak dapat dicabut lagi kecuali disetujui oleh tergugat.[25]

Pasal 124 HIR mengatur bahwa apabila penggugat tidak hadir pada hari persidangan yang telah ditentukan oleh hakim dan tidak ada kuasa hukum yang memiliki surat kuasa untuk mewakilinya padahal ia telah dipanggil dengan patut, maka gugatannya digugurkan.[26] Apabila terdapat banyak penggugat atau banyak tergugat, maka gugatannya dinyatakan gugur apabila semua penggugat atau semua tergugat tidak hadir.[25] Penggugat yang gugatannya digugurkan dapat mengajukan gugatan sekali lagi setelah membayar terlebih dahulu biaya gugatan sebelumnya.[26]

Penolakan[sunting | sunting sumber]

Sebuah gugatan disebut melawan hukum apabila tidak berdasarkan pada peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar hukum, sehingga tidak dapat membenarkan petitum. Ia juga dapat dikatakan melawan hukum apabila kedudukan penguggat tidak dibenarkan mengajukan gugatan; misalnya, gugatan diajukan oleh anak di bawah umur.[27]

Sebuah gugatan disebut tidak beralasan apabila peristiwa-peristiwa yang diajukan sebagai dasar gugatan tidak ada hubungannya dengan petitum.[28]

Apabila sebuah gugatan ditolak (onzegr), maka putusan tersebut keluar setelah mempertimbangkan mengenai pokok perkara. Namun, apabila gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard), putusan tersebut dikeluarkan di luar pokok perkara. Jika sebuah gugatan ditolak, maka penggugat tidak dapat lagi mengajukan gugatan yang serupa ke pengadilan negeri (sesuai asas ne bis in idem) dan hanya dapat mengajukan permohonan pemeriksaan tingkat banding ke Pengadilan Tinggi. Jika sebuah gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, maka penggugat masih berhak untuk mengajukan gugatan sekali lagi.[29][30]

Gugatan perwakilan kelompok[sunting | sunting sumber]

Gugatan perwakilan kelompok (class action lawsuit) adalah salah satu cara pengajuan gugatan oleh seorang individu atau sekaligus untuk mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak dan memiliki kepentingan hukum yang sama. Kelompok yang mengajukan gugatan kelompok terdiri atas wakil dan anggota kelompok. Hakim berwenang untuk menyetujui atau tidak sebuah gugatan kelompok.

b. Wakil kelompok adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya;

c. Anggota kelompok adalah sekelompok orang dalam jumlah banyak yang menderita kerugian yang kepentingannya diwakili oleh wakil kelompok di pengadilan.

— Pasal 1 huruf b dan c Peraturan MA No. 1 Tahun 2002.

Untuk dapat diterima oleh pengadilan, gugatan kelompok harus memenuhi syarat-syarat berikut:

a. Identitas lengkap dan jelas wakil kelompok;

b. Defenisi kelompok secara rinci dan spesifik, walaupun tanpa menyebutkan nama anggota kelompok satu persatu;

c. Keterangan tentang anggota kelompok yang diperlukan dalam kaitan dengan kewajiban melakukan pemberitahuan;

d. Posita dari seluruh kelompok baik wakil kelompok maupun anggota kelompok, yang teridentifikasi maupun tidak teridentifikasi yang dikemukakan secara jelas dan terinci;

e. Dalam satu gugatan perwakilan, dapat dikelompokkan beberapa bagian kelompok atau subkelompok, jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda;

f. Tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus dikemukakan secara jelas dan rinci, memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti kerugian kepada keseluruhan anggota kelompok termasuk usulan tentang pembentukan tim atau panel yang membantu memperlancar pendistribusian ganti kerugian.

— Pasal 3 ayat (1) huruf a, b, c, d, e, dan f Peraturan MA No. 1 Tahun 2002.

Penyitaan[sunting | sunting sumber]

Penyitaan (beslag) adalah suatu tindakan persiapan untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata, dimana barang-barang yang disita untuk kepentingan penggugat dibekukan atau disimpan (conserveer) sebagai jaminan yang tidak boleh dialihkan atau dijual. Penyitaan diadakan agar gugatan tidak "hampa" dan memastikan objek yang akan dieksekusi oleh putusan pengadilan. Harta kekayaan tergugat yang telah disita tidak dipindahkan kepada orang lain melalui jual beli atau hibah, dan tidak dibebani dengan sewa-menyewa atau diagunkan kepada pihak ketiga.

Penyitaan diadakan terhadap barang milik penggugat; atau barang milik tergugat yang dapat berupa benda bergerak, benda tetap, atau benda bergerak milik penggugat yang ada dalam penguasaan pihak ketiga.

Terdapat tiga macam bentuk beslag yang utama, yaitu:

  1. Sita revindikasi (revindicatoir beslag);
  2. Sita jamin (conservatoir beslag);
  3. Sita eksekutorial (executorial beslag).

RV mengatur beberapa macam sita lainnya, seperti:

  1. Sita jamin terhadap harta penggugat (pasal 750);
  2. Sita terhadap tergugat yang tidak diketahui tempat tinggalnya di Indonesia (pasal 757);
  3. Sita gadai (pasal 751);
  4. Sita pesawat terbang (pasal 763).

Persidangan[sunting | sunting sumber]

Setelah seluruh persyaratan administratif terpenuhi, ketua majelis hakim (yang telah ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri) menentukan hari persidangan pertama (121 HIR/145 RBg).[31] Hakim memerintahkan juru sita pengadilan untuk memanggil pihak-pihak yang berperkara setidaknya 3 hari kerja sebelum hari sidang dengan terlebih dahulu membuat berita acara pemanggilan.

Pada tahun 1992, Mahkamah Agung mengatur bahwa perkara pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi diharapkan untuk diselesaikan dalam waktu 6 bulan.[32]

Secara umum, persidangan perdata dapat dibagi menjadi delapan tahap sidang, yaitu:

  1. Persidangan pertama, dengan agenda pemeriksaan pendahuluan dan pembacaan surat gugatan;
  2. Persidangan kedua, dengan agenda jawaban gugatan;
  3. Persidangan ketiga, dengan agenda replik;
  4. Persidangan keempat, dengan agenda duplik;
  5. Persidangan kelima, dengan agenda pembuktian penggugat;
  6. Persidangan keenam, dengan agenda pembuktian tergugat;
  7. Persidangan ketujuh, dengan agenda menemukan kesimpulan;
  8. Persidangan kedelapan, dengan agenda membacakan putusan.

Persidangan pertama[sunting | sunting sumber]

Persidangan pertama berlangsung dengan dua skenario: jika kedua pihak yang berperkara hadir atau tidak hadir.

Apabila kedua pihak yang berperkara hadir, sidang dibuka dan terbuka untuk umum. Majelis hakim kemudian menanyakan dan memerika identitas pihak-pihak. Hakim kemudian melakukan usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak.[33] Pengusahaan perdamaian dianggap sangat penting karena dapat menyelesaikan sengketa dengan cepat dan tanpa ongkos.

(1) Apabila pada hari sidang yang telah ditentukan kedua belah pihak hadir, maa pengadilan dengan perantaraan ketua sidang berusaha mendamaikan mereka.

(2) Jika perdamaian tercapai pada waktu persidangan, dibuat suatu akta perdamaian yang mana kedua belah pihak dihukum untuk melaksanakan perjanjian itu; akta perdamaian tersebut berkekuatan dan dapat dijalankan sebagaimana putusan biasa.

(3) Terhadap putusan yang sedemikian itu tidak dapat dimohonkan banding.[34]

— Pasal 130 ayat (1), (2), dan (3) HIR dan pasal 154 ayat (1), (2), dan (3) RBg.

Jika perdamaian tidak dapat tercapai, sidang dilanjutkan dengan pembacaan surat gugatan. Setelah surat gugatan dibacakan, hakim harus menanyakan kepada penggugat apakah gugatan tetap sebagaimana yang dibacakan atau akan ada perubahan.

Apabila salah satu dari penggugat atau tergugat tidak hadir, maka dapat terjadi dua hal, yaitu pengguguran gugatan atau putusan verstek.

Jika penggugat tidak hadir pada persidangan ini dan tidak pula menunjuk kuasa untuk mewakilinya setelah dipanggil dengan patut, sedangkan tergugat atau kuasa yang ditunjuk mewakilinya hadir, maka gugatan dinyatakan tidak hadir.

Jika tergugat tidak hadir dan tidak pula menunjuk kuasa untuk mewakilinya padahal ia telah dipanggil secara patut, kecuali kalau ternyata bagi pengadilan gugatan tersebut melawan hak/tidak beralasan, maka dijatuhkan putusan verstek (di luar hadir tergugat). Putusan macam ini diatur oleh Pasal 125 HIR dan 149 RBg.[35]. Putusan verstek tidak boleh dijalankan sebelum lewat 15 hari dari pemberitahuan kepada tergugat.

Tergugat yang kalah pada putusan verstek dapat menerima atau tidak menerima putusan tersebut. Apabila ia tidak menerima, maka ia berhak mengajukan perlawanan (verzet), yang dapat diterima 14 hari sesudah pemberitahuan jika pemberitahuan putusan diberikan langsung kepada tergugat; atau 14 hari sesudah (pada luar Jawa dan Madura) atau 8 hari sesudah (pada Jawa dan Madura) jika pemberitahuan putusan tidak diberikan lansgung kepada tergugat. Hal ini diatur oleh pasal 129 HIR dan 153 RBg.[36]

Persidangan kedua[sunting | sunting sumber]

Pada persidangan kedua, tergugat diberikan kesempatan untuk mengajukan jawaban atas gugatan yang diajukan oleh tergugat. Jawaban gugatan ini dapat disampaikan secara tertulis maupun tidak tertulis/lisan, meskipun Subekti mencatat bahwa HIR pada dasarnya menghendaki jawaban tergugat dilakukan secara lisan.[37]

Jawaban tergugat dapat terdiri atas tiga macam, yaitu:

  1. Jawaban yang mengenai pokok perkara (verweer ten principale)
  2. Eksepsi, yaitu jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara;
  3. Rekonvensi, yaitu gugat balas.

Apabila memilih macam pertama, tergugat memberikan pengakuan atau penyangkalan dari isi gugatan yang diajukan oleh penggugat. Jika tergugat mengaku, maka isi gugatan dari penggugat dianggap benar dan si tergugat dianggap terikat dengan pengakuan tersebut sampai ke tingkat banding.[38] Namun, jika tergugat memberikan penyangkalan atau bantahan, maka bantahan tersebut menyatakan bahwa isi gugatan tersebut sama sekali tidak benar dan/atau tidak beralasan dengan melampirkan bukti-bukti yang jelas dan mendukung.[39]

Tergugat dapat mengajukan eksepsi perihal kewenangan hakim, yaitu yang mempermasalahkan mengenai kekuasaan relatif hakim pada pengadilan tersebut dalam mengadili perkara terkait. Eksepsi ini disebut eksepsi prosesual.[37]. Apabila eksepsi dianggap tidak mempunyai alasan, Pengadilan Negeri dapat menolaknya dengan menjatuhkan sebuah putusan sela yang memungkinkan perkara terkait untuk dilanjutkan.[38]

Pasal 132 (a) ayat 1 HIR mengatur bahwa tergugat dapat mengajukan rekonvensi atau gugatan balasan. Gugatan jenis ini adalah hak istimewa yang diberikan hanya kepada tergugat.[40] Gugatan balasan hanya dapat diajukan pada tingkat pertama; apabila pada tingkat pertama tidak diajukan, maka gugatan balasan tidak boleh diajukan pada tingkat banding. Pada tingkat pertama, gugatan balasan dapat diajukan dalam tiap perkara, dengan pengecualian:

  1. Jika penggugat balasan posisinya dalam perkara tersebut adalah bukan sebagai dirinya sendiri, sedangkan gugatan ditujukan kepada dirinya sendiri dan sebaliknya;
  2. Jika Pengadilan Negeri tempat gugatan balasan didaftarkan ternyata tidak berwenang secara mutlak untuk memeriksa pokok perselisihan (lack of absolute jurisdiction);
  3. Jika yang diperselisihkan adalah kompetensi/kewenangan relatif hakim.

Pengadilan Negeri dapat memutus gugatan balasan dalam satu surat putusan.[41]

Persidangan ketiga dan keempat[sunting | sunting sumber]

Pada persidangan ketiga, penggugat mengajukan jawaban atas jawaban tergugat pada persidangan sebelumnya, baik secara tertulis maupun lisan. Jawaban ini disebut duplik, dan bertujuan untuk meneguhkan isi gugatan penggugat.[42]

Pada persidangan keempat, tergugat mengajukan jawaban atas duplik yang diajukan oleh penggugat pada persidangan sebelumnya, baik secara tertulis maupun lisan. Jawaban ini disebut replik, dan bertujuan untuk meneguhkan jawaban tergugat pada persidangan kedua dan membantah isi duplik dari penggugat.[42]

Intervensi pihak ketiga[sunting | sunting sumber]

Pihak ketiga dapat mengintervensi sengketa antara dua pihak, melalu tiga macam jalan: penyertaan, penengahan, dan penjaminan. Intervensi pihak ketiga ini tidak diatur oleh HIR maupun RBg, namun dapat dijumpai pada RV (pasal 279).[43]

  1. Penyertaan (voeging) adalah tindakan seseorang menempatkan diri/ikut serta dengan cara menggabungkan diri dengan salah satu pihak untuk membela kepentingannya.
  2. Penengahan (tussenkomst) adalah tindakan seseorang, atas kemauan sendiri, ikut dalam proses sengketa sebagai pihak ketiga yang tidak memihak baik pada penggugat maupun tergugat, melainkan hanya memperjuangkan kepentingannya sendiri.
  3. Penjaminan (vrijwaring) adalah tindakan penggugat atau tergugat untuk menarik pihak ketiga sebagai penjamin atau penanggung dari perbuatan mereka. Penjaminan ini sesuai dengan tata cara yang diatur oleh pasal 1558 KUH Perdata.[44]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ https://perpustakaan.mahkamahagung.go.id/slims/pusat/index.php?p=show_detail&id=741
  2. ^ Lev, Daniel S. (1985). "Colonial Law and the Genesis of the Indonesian State". Indonesia (40). doi:10.2307/3350875. 
  3. ^ a b Makarao, hlm. 12.
  4. ^ Mertokoesoemo, Sudikno. 1993. "Hukum Acara Perdata Indonesia". Yogyakarta: Liberty. Hal. 6—7.
  5. ^ a b Makarao, hlm. 6.
  6. ^ Makarao, hlm. 8.
  7. ^ Makarao, hlm. 9.
  8. ^ Soeroso, hlm. 63-64.
  9. ^ Makarao, hlm. 7.
  10. ^ Makarao, hlm. 10.
  11. ^ BW, hlm. 362.
  12. ^ Soeroso, hlm. 40-41.
  13. ^ a b BW, hlm. 366.
  14. ^ Soeroso, hlm. 2.
  15. ^ a b c BW, hlm. 5.
  16. ^ BW, hlm. 438.
  17. ^ BW, hlm. 442.
  18. ^ Sudikno, hlm. 38.
  19. ^ Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 1975 tentang Pemeriksaan Perkara oleh Majelis Hakim.
  20. ^ Makarao, hlm. 30.
  21. ^ Putusan Mahkamah Agung No. 209K/Sip/1970 tgl 6 Maret 1971
  22. ^ Sudikno, hlm. 56.
  23. ^ Soebekti, hlm. 43.
  24. ^ Soebekti, hlm. 67.
  25. ^ a b Makarao, hlm. 55.
  26. ^ a b Soeroso, hlm. 43.
  27. ^ Makarao, hlm. 57.
  28. ^ Makarao, hlm. 57-58.
  29. ^ Makarao, hlm. 58.
  30. ^ Syahrani, hlm. 47.
  31. ^ Soeroso, hlm. 37.
  32. ^ Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1992 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.
  33. ^ Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
  34. ^ Soeroso, hlm. 61-62.
  35. ^ Soeroso, hlm. 56-57.
  36. ^ Soeroso, hlm. 60-61.
  37. ^ a b Makarao, hlm. 63.
  38. ^ a b Makarao, hlm. 65.
  39. ^ Makarao, hlm. 66.
  40. ^ Makarao, hlm. 67.
  41. ^ Makarao, hlm. 67-68.
  42. ^ a b Makarao, hlm. 68-69.
  43. ^ Makarao, hlm. 83-86.
  44. ^ BW, hlm. 304.

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

  • Mertokusumo, Sudikno (1993). Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty. 
  • Makarao, Mohammad Taufik (2009). Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata. Jakarta: Rineka Cipta. ISBN 978-979-518-890-2. 
  • Harahap, M. Yahya (2007). Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika. 
  • Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Disertai Penjelasannya. Sinarsindo Utama. 2014. ISBN 978-602-14382-0-6. 
  • Soeroso, R. (2016). Hukum Acara Perdata Lengkap dan Praktis: HIR, RBg, dan Yurisprudensi. Jakarta: Sinar Grafika. ISBN 978-979-007-347-0. 
  • Soebekti, R. (1982). Hukum Acara Perdata. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional. 
  • Syahrani, Riduan (1988). Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum. Jakarta: Pustaka Kartini.