Lompat ke isi

Diskriminasi terhadap Tionghoa-Indonesia: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Jonoo27 (bicara | kontrib)
Jonoo27 (bicara | kontrib)
Baris 56: Baris 56:
Selama [[Perang Jawa]], ribuan Tionghoa-Indonesia dibunuh oleh pasukan Pangeran [[Diponegoro]] selama penggerebekan di pantai selatan Jawa. Para penyintas melarikan diri ke pantai utara atau ke pemukiman Belanda untuk mencari perlindungan. Setiono merujuk pada status orang Tionghoa sebagai pemungut pajak dan pemberi pinjaman sebagai penyebabnya, serta keyakinan Diponegoro bahwa orang Tionghoa membawa sial pada kampanyenya.{{sfn|Setiono|2008|pp=173–181}}
Selama [[Perang Jawa]], ribuan Tionghoa-Indonesia dibunuh oleh pasukan Pangeran [[Diponegoro]] selama penggerebekan di pantai selatan Jawa. Para penyintas melarikan diri ke pantai utara atau ke pemukiman Belanda untuk mencari perlindungan. Setiono merujuk pada status orang Tionghoa sebagai pemungut pajak dan pemberi pinjaman sebagai penyebabnya, serta keyakinan Diponegoro bahwa orang Tionghoa membawa sial pada kampanyenya.{{sfn|Setiono|2008|pp=173–181}}


In 1848, the Dutch colonial government enacted the legislation sorting all inhabitants of the archipelago into two groups, based on whether or not they practised Christianity. This was later amended in 1855, combining Native Indonesian, Chinese, [[Arab Indonesian|Arab]], and [[Indian Indonesian|Indian]] Christians with non-Christians. However, in practice the "foreign Orientals", were subject to separate regulations.{{sfn|Tan|2008|p=15}}
Pada tahun 1848, pemerintah kolonial Belanda memberlakukan peraturan yang mengelompokkan seluruh penduduk nusantara ke dalam dua kelompok, berdasarkan apakah mereka memeluk agama Kristen atau tidak. Peraturan ini kemudian di amandemen pada tahun 1855, menggabungkan orang Kristen Pribumi Indonesia, Tionghoa, [[Arab Indonesia|Arab]], dan [[India Indonesia|India]] dengan non-Kristen. Namun, dalam praktiknya "orang Timur asing", dikenai peraturan yang terpisah.{{sfn|Tan|2008|p=15}}


{{quote box
{{quote box
| quote = "The establishment of Sarekat Islam ... marked a watershed for ethnic Chinese in Indonesia."
| quote = "Pendirian Sarekat Islam ... menandai titik balik bagi etnis Tionghoa di Indonesia."
| width = 25%
| width = 25%
| align = left
| align = left

Revisi per 28 Juni 2024 03.26

Diskriminasi terhadap orang-orang keturunan Tionghoa di Indonesia telah telah dilakukan sejak zaman Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC). Kekerasan serius terhadap orang Tionghoa telah terjadi secara berkala sejak tahun 1740, ketika tentara VOC membunuh sampai dengan 10.000 orang keturunan Tionghoa selama peristiwa Geger Pacinan. Sejak saat itu, diskriminasi dan kekerasan telah dicatat baik oleh pemerintah asing maupun Indonesia. Kejadian terburuk terjadi pada tahun 1998, ketika ratusan orang Tionghoa tewas dan puluhan lainnya diperkosa selama kerusuhan Mei 1998.

Bentuk

Kekerasan

Kekerasan terhadap Tionghoa-Indonesia umumnya terbatas pada properti, termasuk pabrik dan toko-toko.[1] Namun, pembunuhan dan penyerangan terjadi, termasuk di Batavia pada 1740, Tangerang pada 1946, selama periode setelah Gerakan 30 September, dan selama kerusuhan Mei 1998.[2]

Tionghoa-Indonesia telah menjadi "tipikal kambing hitam" dalam situasi di mana ketidakpuasan yang meluas dan kerusuhan sosial menjadi kekerasan. Pengkambinghitaman telah menjadi lebih jelas selama periode sejak Indonesia merdeka.[3]

Bahasa

Istilah-istilah yang dinilai merendahkan Tionghoa-Indonesia telah memasuki penggunaan umum dalam bahasa Indonesia, baik pada tingkatan regional maupun nasional. Istilah Cina, yang penggunaannya dimandatkan pada tahun 1967 alih-alih istilah Tionghoa yang pada saat itu lebih umum digunakan, dianggap memiliki konotasi negatif yang serupa dengan Inlander bagi Pribumi Indonesia.[4] Istilah Tionghoa mulai digunakan lagi setelah permulaan Reformasi, tetapi pada saat itu Cina sudah tidak dianggap negatif oleh generasi Tionghoa-Indonesia yang lebih muda.[5]

Di berbagai wilayah, berbagai istilah yang digunakan menunjukkan stereotip umum. Contoh berikut adalah dari Surakarta.[6]

Istilah Arti
Porsi Cina Porsi makanan yang terbesar
Mambu Cina Barang-barang yang baru dibeli
Tangisan Cina Tangisan berkabung

Peraturan

Pada akhir pemerintahan Kompeni dan permulaan pemerintahan kolonial metropolitan pada tahun 1815, diperkenalkan peraturan yang secara khusus diberlakukan terhadap orang Tionghoa-Indonesia. Salah satunya adalah peraturan pada tahun 1816 yang mewajibkan etnis Tionghoa untuk membawa kartu pass jalan setiap saat.[7]

Selama rezim Sukarno pada tahun 1958, semua Tionghoa-Indonesia diwajibkan untuk menyatakan niat mereka untuk tetap menjadi warga negara Indonesia[a] dan pada tahun 1959 orang-orang Tionghoa yang bukan warga negara dilarang melakukan perdagangan di luar wilayah perkotaan.[b][8] Diskriminasi ini terus berlanjut pada masa Orde Baru. Tionghoa-Indonesia didesak untuk memilih nama Indonesia,[c][9] dilarang untuk mempraktikkan tradisi mereka secara publik,[d][10] dan diwajibkan untuk mendapatkan bukti kewarganegaraan tambahan.[11] Secara keseluruhan, empat puluh lima peraturan yang diskriminatif secara langsung maupun tidak langsung disahkan selama Orde Baru.[12] Meskipun sebagian besar dari peraturan-peraturan ini dicabut selama kepresidenan Abdurrahman Wahid dan Megawati Sukarnoputri,[13] kasus-kasus penegakan peraturan tersebut tetap berlanjut.[14]

Sejarah

Latar belakang

Kapal jung Tionghoa Sin Tong Heng dan Tek Hwa Seng di Selat Singapura, ca 1936

Berdasarkan artefak-artefak Tiongkok yang ditemukan di Indonesia, Tiongkok diperkirakan telah memiliki hubungan dagang dengan kepulauan Nusantara sejak abad pertama SM.[15] Namun, pergerakan orang dari Tiongkok ke Asia Tenggara Maritim pertama yang tercatat adalah kedatangan pasukan Mongol di bawah Kublai Khan yang berpuncak pada invasi Mongol ke Jawa pada tahun 1293. Pasukan Mongol memperkenalkan teknologi Tiongkok ke Pulau Jawa, khususnya pembuatan kapal dan koin Tiongkok kuno. Intervensi mereka juga mempercepat runtuhnya kerajaan-kerajaan klasik dan menyebabkan bangkitnya kemaharajaan Majapahit.[16]

Kemudian, pedagang Tionghoa Muslim dari pesisir timur Tiongkok tiba di kota-kota pesisir Indonesia dan Malaysia pada awal abad ke-15. Mereka dipimpin oleh marinir Zheng He, yang memimpin beberapa ekspedisi ke Asia tenggara antara tahun 1405 dan 1430.[17] Para pedagang ini menetap di pesisir utara Jawa, tetapi tidak ada dokumentasi lebih lanjut mengenai pemukiman mereka setelah abad ke-16. Para sarjana meyakini bahwa orang-orang Tionghoa Muslim ini diserap ke dalam populasi Muslim mayoritas,[18] hingga tidak ada komunitas Tionghoa tersisa ketika Belanda tiba.[19] Perdagangan dari Tiongkok ditetapkan kebali ketika Tiongkok mengesahkan perdagangan swasta pada tahun 1567 dan mulai memberi izin 50 kapal jung dalam satu tahun. Koloni-koloni Tionghoa yang berbeda muncul di pelabuhan-pelabuhan di seluruh Nusantara, termasuk pelabuhan lada di Banten.[20]

Era kolonial

Rumah-rumah milik etnis Tionghoa dibakar, dan jasad dibuang ke sungai dan kanal

Hingga tahun 1740, telah ada lebih dari 2.500 rumah yang dimiliki orang Tionghoa di dalam tembok kota Batavia, dengan 15,000 individu lainnya tinggal di luar batas kota.[21] Pemerintah kolonial Belanda mewajibkan mereka untuk membawa surat-surat registrasi, dan mereka yang tidak mematuhinya akan dideportasi ke Tiongkok. Setelah wabah malaria menewaskan ribuan orang pada tahun 1730-an, termasuk Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Dirk van Cloon, kebijakan deportasi diperketat.[22] Menurut sejarawan Indonesia Benny G. Setiono, wabah tersebut disusul oleh meningkatnya kecurigaan dan kebencian di kalangan pribumi Indonesia dan Belanda terhadap etnis Tionghoa, yang jumlahnya terus bertambah dan kekayaannya semakin terlihat.[22] Akibatnya, Komisaris Urusan Pribumi Roy Ferdinand, di bawah perintah Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier, mendekritkan pada tanggal 25 Juli 1740 bahwa orang-orang Tionghoa yang dianggap mencurigakan akan dideportasi ke Ceylon (Sri Lanka modern) untuk memanen kayu manis.[22] Orang-orang Tionghoa yang kaya diperas oleh pejabat Belanda yang korup yang mengancam mereka dengan deportasi.[22] Terdapat juga rumor-rumor bahwa orang-orang yang dideportasi tidak dibawa ke tujuan mereka, tetapi dilemparkan ke laut setelah tidak terlihat dari Jawa, dan dalam beberapa laporan, mereka tewas ketika saat melakukan kerusuhan di atas kapal.[23]

Saat situasi menjadi semakin tegang, Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier mengadakan rapat pleno darurat dan memperkuat penjagaan. Pada tanggal 7 Oktober 1740, sekelompok yang berisi ratusan Tionghoa-Indonesia menyerang sebuah benteng pertahanan Belanda di Tanah Abang, menewaskan 50 orang. Sebagai tanggapan, pasukan yang terdiri dari 1.800 prajurit Kompeni dipimpin oleh Gustaaf Willem van Imhoff, bersama dengan milisi (bahasa Belanda: schutterij) dan wajib militer (bahasa Belanda: pennist), datang untuk memadamkan pemberontakan.[24] Keesokan harinya, Belanda menangkis serangan oleh hingga 10.000 etnis Tionghoa, yang dipimpin oleh kelompok-kelompok dari Tangerang dan Bekasi, di tembok luar kota.[25] 1.789 orang Tionghoa dilaporkan tewas dalam serangan ini.[23] Sementara itu, desas-desus menyebar di antara kelompok etnis lain di Batavia, termasuk budak-budak dari Bali dan pasukan Sulawesi, Bugis, dan Bali, bahwa orang Tionghoa berkomplot untuk membunuh, memperkosa, atau memperbudak mereka.[26] Kelompok-kelompok ini terlebih dahulu membakar rumah-rumah milik etnis Tionghoa di sepanjang Kali Besar. Belanda kemudian melakukan penyerangan terhadap pemukiman Tionghoa di tempat lain di Batavia, di mana mereka membakar rumah-rumah dan membunuh orang-orang.[25] Selama dua minggu, pasukan membakar rumah-rumah dan toko-toko milik etnis Tionghoa, membunuh etnis Tionghoa dan membuang jasad mereka ke Sungai Ciliwung.[27] Pada akhirnya, diperkirakan 10.000 orang terbunuh dalam pembantaian Batavia tahun 1740, termasuk 500 tahanan dan pasien rumah sakit.[28] Orang-orang Tionghoa-Indonesia yang masih hidup di Batavia dipindahkan ke daerah di luar tembok, di daerah yang sekarang dikenal sebagai Glodok.[29] Ini kemudian diterapkan di kota-kota lain, di mana Pecinan dibangun untuk memisahkan antara orang Tionghoa dengan kelompok etnis lainnya.[30] Peristiwa ini memicu perang dua tahun, di mana tentara Tionghoa dan Jawa bertempur berdampingan.[28]

Ketika VOC dinasionalisasikan pada tanggal 31 Desember 1799, kebebasan yang dimiliki orang Tionghoa di bawah perusahaan tersebut dirampas oleh pemerintah Belanda.[31] Sebuah peraturan tahun 1816 mewajibkan bagi warga pribumi dan orang Tionghoa yang bepergian di dalam wilayah tersebut untuk mendapatkan izin perjalanan. Mereka yang tidak membawa izin berisiko ditangkap oleh petugas keamanan. Gubernur Jenderal juga memberlakukan sebuah resolusi pada tahun 1825 yang melarang "orang Asia asing" dari tinggal dalam lingkungan yang sama dengan pribumi.[7]

Selama Perang Jawa, ribuan Tionghoa-Indonesia dibunuh oleh pasukan Pangeran Diponegoro selama penggerebekan di pantai selatan Jawa. Para penyintas melarikan diri ke pantai utara atau ke pemukiman Belanda untuk mencari perlindungan. Setiono merujuk pada status orang Tionghoa sebagai pemungut pajak dan pemberi pinjaman sebagai penyebabnya, serta keyakinan Diponegoro bahwa orang Tionghoa membawa sial pada kampanyenya.[32]

Pada tahun 1848, pemerintah kolonial Belanda memberlakukan peraturan yang mengelompokkan seluruh penduduk nusantara ke dalam dua kelompok, berdasarkan apakah mereka memeluk agama Kristen atau tidak. Peraturan ini kemudian di amandemen pada tahun 1855, menggabungkan orang Kristen Pribumi Indonesia, Tionghoa, Arab, dan India dengan non-Kristen. Namun, dalam praktiknya "orang Timur asing", dikenai peraturan yang terpisah.[33]

"Pendirian Sarekat Islam ... menandai titik balik bagi etnis Tionghoa di Indonesia."

 —Jemma Purdey[34]

By 1912, the Dutch government had abandoned the policy of segregation. During the same period, the Xinhai Revolution awakened Chinese nationalism in the ethnic Chinese, while Sarekat Islam worked to awaken Indonesian nationalism in the Native Indonesian populace.[34] Tensions between Sarekat Islam and the ethnic Chinese led to racially charged riots in Surakarta (1912), Tangerang (1913), and Kudus (31 October 1918). Of these, the largest was the Kudus riot, where a group of rioters burned and looted forty houses and numerous Chinese temples. At least 16 were killed in the riots.[35]

Sebab

Penggunaan Tionghoa-Indonesia sebagai kambing hitam sebagian disebabkan karena kurangnya kekuatan politik dan perlindungan pemerintah.[36] Kebijakan asimilasi Orde Baru juga telah dilihat sebagai faktor. Kebutuhan untuk mengasimilasi etnis Tionhoa "mengindikasikan bahwa elemen-elemen kebudayaan Tionghoa tidak dapat diterima".[37]

Diskriminasi, ketidakpercayaan, dan kekerasan terhadap Tionghoa-Indonesia disebabkan sebagian karena persepsi bahwa mereka masih setia kepada Tiongkok, dan hanya melihat Indonesia sebagai tempat untuk tinggal dan bekerja. Mereka juga dianggap bersikap "eksklusif", tidak mau berbaur dengan kelompok etnis lainnya, serta mendiskriminasi terhadap pribumi Indonesia dalam hubungan dagang mereka.[38] Tionghoa-Indonesia yang agama dominannya adalah Kekristenan juga mengalami Kristofobia dan persekusi.[39]

Akibat

Selama Orde Lama dan Orde Baru, Tionghoa-Indonesia pada umumnya memenuhi pembatasan hukum sebaik yang mereka bisa. Namun, kerusuhan Mei 1998 menyebabkan perubahan dalam sikap, termasuk kegiatan politik yang lebih besar dan ketegasan.[40] Selain itu, diskriminasi menyebabkan krisis identitas etnis, dengan Tionghoa-Indonesia yang memiliki ikatan yang kuat dengan Tiongkok merasa tidak diterima oleh rakyat Indonesia, dan mereka dengan ikatan yang kuat Indonesia menginginkan persamaan hak.[41]

Lihat pula

Catatan

  1. ^ Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 1958.
  2. ^ Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1959, yang mewajibkan semua usaha milik warga negara asing bertempat di wilayah perkotaan. Karena ketidakpastian mengenai status Tionghoa-Indonesia, mereka dimasukkan sebagai warga negara asing juga. Lihat Setiono 2008, hlm. 811–815.
  3. ^ Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127 Tahun 1966.
  4. ^ Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1967.

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ Tan 2008, hlm. 241.
  2. ^ Tan 2008, hlm. 239–248.
  3. ^ Tan 2008, hlm. 239.
  4. ^ Setiono 2008, hlm. 986–987.
  5. ^ Tan 2008, hlm. 2.
  6. ^ Kinasih 2007, hlm. 111.
  7. ^ a b Phoa 1992, hlm. 12.
  8. ^ Setiono 2008, hlm. 811–815.
  9. ^ Setiono 2008, hlm. 987.
  10. ^ Tan 2008, hlm. 230.
  11. ^ Setiono 2008, hlm. 1028.
  12. ^ Tan 2008, hlm. 247.
  13. ^ Setiono 2008, hlm. 1090–1091.
  14. ^ Purdey 2006, hlm. 179.
  15. ^ Setiono 2008, hlm. 20.
  16. ^ Reid 2001, hlm. 17.
  17. ^ Ma 2005, hlm. 115.
  18. ^ Tan 2005, hlm. 795.
  19. ^ Reid 2001, hlm. 33.
  20. ^ Reid 1999, hlm. 52.
  21. ^ Setiono 2008, hlm. 109.
  22. ^ a b c d Setiono 2008, hlm. 111–113.
  23. ^ a b Raffles, Thomas Stamford (1830) [1817]. The History of Java. 2. London: Black. OCLC 312809187. 
  24. ^ Setiono 2008, hlm. 113.
  25. ^ a b Setiono 2008, hlm. 114.
  26. ^ Setiono 2008, hlm. 114–116.
  27. ^ Setiono 2008, hlm. 117–118.
  28. ^ a b Setiono 2008, hlm. 119.
  29. ^ Setiono 2008, hlm. 121.
  30. ^ Tan 2008, hlm. 14.
  31. ^ Phoa 1992, hlm. 11.
  32. ^ Setiono 2008, hlm. 173–181.
  33. ^ Tan 2008, hlm. 15.
  34. ^ a b Purdey 2006, hlm. 6.
  35. ^ Setiono 2008, hlm. 383–387.
  36. ^ Setiono 2008, hlm. 977.
  37. ^ Tan 2008, hlm. 24.
  38. ^ Tan 2008, hlm. 217.
  39. ^ "Indonesia - Open Doors USA - Open Doors USA". www.opendoorsusa.org. Diakses tanggal 2020-09-04. 
  40. ^ Tan 2008, hlm. 218.
  41. ^ Tan 2008, hlm. 29.

Bibliografi

Sumber daring

  • "Ethnic Chinese tell of mass rapes". BBC. 23 June 1998. Diakses tanggal 15 May 2009. 
  • Daihani, Dadan Umar; Purnomo, Agus Budi (2001). "The May 1998 Riot in Jakarta, Indonesia, Analyzed with GIS". Diakses tanggal 15 May 2009. 
  • "Kota Solo Penuh Asap". Kompas (dalam bahasa Indonesian). Jakarta. 15 May 1998. hlm. 11. 
  • "Amuk Massa Landa Boyolali". Kompas (dalam bahasa Indonesian). Jakarta. 16 May 1998. hlm. 7. 
  • Wijayanta, Hanibal W.Y. (1 June 1998). "Percik Bara Seantero Nusantara" (dalam bahasa Indonesian). Jakarta: Forum Keadilan: 18–22.