Lompat ke isi

Suku Tolaki: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
kerjaan tertua di indonesia
Wikipageant (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(65 revisi perantara oleh 35 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{ethnic group|
| group = Suku Tolaki
| image = [[berkas:Pakaian adat suku Tolaki png.jpg|250px]]
| image_caption = Pakaian adat [[Suku Tolaki]]
| poptime = '''900.000 jiwa''' <small>''di [[Indonesia]]''</small> (2015)
| popplace =
|region1 = {{nbsp|7}}[[Sulawesi Tenggara]]
|pop1 = 900.000
|region2 = {{nbsp|7}}[[DKI Jakarta]]
|pop2 = 100.200
|region3 = {{nbsp|7}}[[Jawa Barat]]
|pop3 = 40.700
|region4 = {{nbsp|7}}[[Sulawesi Tengah]]
|pop4 = 30.900
|langs=[[bahasa Tolaki|Tolaki]], [[bahasa Indonesia|Indonesia]], [[bahasa Melayu|Melayu]] <small>(dituturkan oleh komunitas yang berdomisili di [[Malaysia]] dan [[Singapura]])</small>, [[bahasa Belanda|Belanda]] <small>(hanya digunakan oleh yang tinggal di [[Belanda]] dan [[Amerika Serikat]])</small>
|rels=Mayoritas <br>[[Berkas:Allah-green.svg|15px]] [[Islam Sunni]]<br>Minoritas<br>[[Berkas:Christian cross.svg|12px]] [[Kristen]] ([[Protestan]], [[Katolik]])<br>[[File:Kejawen png.png|17px|]] [[Kejawen]]<br>[[Berkas:Om.svg|15px]] [[Hindu]]<br>[[Berkas:Dharma Wheel (2).svg|18px]] [[Buddha]]<br>[[File:Yin yang.svg|18px|]] [[Konghucu]]
|related=[[suku Moronene|Moronene]], [[Suku Muna|Muna]], [[Suku Buton|Buton]], [[suku Bungku|Bungku]], [[suku Kaili|Kaili]], [[suku Wawonii|Wawonii]],
[[suku Toraja|Toraja]], [[suku Mori|Mori]] dan [[suku Kabaena|Kabaena]]
}}


[[Berkas:Bungku-tolaki-languages.png|jmpl|ka|250px|Peta sebaran bahasa Bungku-Tolaki menurut Mead (1998).]]
MENELUSURI JEJAK KERAJAAN PADANGGUNI


'''Suku Tolaki''' adalah etnis terbesar yang berada di provinsi [[Sulawesi Tenggara]]. Suku Tolaki merupakan etnis yang berdiam di jazirah tenggara pulau [[Sulawesi]]. Suku Tolaki merupakan suku asli daerah di daratan tenggara pulau Sulawesi .<ref>{{Cite book|title=Sistem Kepemimpinan Dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Sulawesi Tenggara|last=Manan|first=Fajria Novart|publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan|year=1986|isbn=|location=Jakarta|pages=5}}</ref> Suku Tolaki tersebar di 7 kabupaten/kota di provinsi Sulawesi Tenggara yang meliputi [[Kota Kendari]], [[Kabupaten Konawe]], [[Konawe Selatan]], [[Konawe Utara]], [[Kolaka]], [[Kolaka Utara]] dan [[Kolaka Timur]].<ref>{{Cite book|title=Adat Istiadat Daerah Sulawesi Tenggara|last=|first=|publisher=Balai Pustaka|year=1977/1978|isbn=|location=Jakarta|pages=54}}</ref>
Berdasarkan tarikh masehi berdirinya kerjaaan ini, maka tidak heran jika banyak kalangan meyakini bahwa Padangguni adalah Kerajaan Prasejarah Tertua di Indonesia, lebih dahulu ada dibandingkan Kerajaan Kutai yang muncul pada abad ke-4.


==Sejarah==
Pewarta-Indonesia, Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Itulah salah satu topik pidato Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno yang amat popoler dan masih menjadi acuan politik pemerintah maupun rakyat hingga saat ini, Jasmerah! Sejarah memang selalu jadi legenda nyata yang akan mempengaruhi kehidupan manusia, juga perjalanan hidup suatu bangsa. Tidak ada satupun bangsa atau negara di dunia ini yang steril dari kisah sejarah masa lampau bangsa atau negara itu. Heroisme yang dipertontonkan generasi masa lalu akan terefleksi dalam setiap gerak hidup generasi penerusnya. “Nenek moyangku orang pelaut…” sebuah ungkapan nyanyian anak-anak yang menjadi cerminan kebesaran dan kedigdayaan bangsa Indonesia di masa lampau, yang terwariskan mempengaruhi sejarah kehidupan mayoritas masyarakat sepanjang pantai di kepulauan Indonesia saat ini. Bangsa besar lahir dari sejarah kebangsaan yang besar pula.
Masyarakat Tolaki sejak zaman prasejarah telah memiliki jejak peradaban, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya peninggalan arkeologi di beberapa gua atau kumapo di Konawe bagian utara maupun beberapa gua yang ada di daerah ini. Lokasi situs gua-gua di daerah ini umumnya terletak di Konawe bagian Utara seperti Asera, Lasolo, Wiwirano, Langgikima, Lamonae, diantaranya gua Tanggalasi, gua Tengkorak I, gua Tengkorak II, gua Anawai Ngguluri, gua Wawosabano, gua Tenggere dan gua Kelelawar serta masih banyak situs gua prasejarah yang belum teridentifikasi.


Dari hasil penelitian tim Balai Arkeologi Makassar dari tinggalan materi uji artefak di Wiwirano berupa sampel dengan menggunakan metode uji karbon 14 di laboratorium Arkeologi Miami University Amerika Serikat, menyimpulkan bahwa daripada artefak di Wiwirano Konawe Utara berumur sekitar 7000 tahun yang lalu atau dengan evidensi ini maka peradaban Tolaki di Konawe telah berlangsung sejak 5000 tahun Sebelum Masehi. Di dalam gua-gua tersebut menyimpan banyak artefak baik tengkorak manusia, alat kerja seperti alat-alat berburu, benda pemujaan, guci, tempayan, gerabah, porselin baik itu buatan China, Thailand, VOC, Hindia Belanda, batu pemujaan, terdapat beberapa gambar atau adegan misalnya binatang, tapak tangan, gambar berburu, gambar sampan atau perahu, gambar manusia, gambar perahu atau sampan, patung, terakota, dan sebagainya. Secara linguistik bahasa Tolaki merupakan atau masuk kedalam rumpun bahasa Austronesia, secara Antropologi manusia Tolaki merupakan Ras Mongoloid, yang datang ditempat ini melalui jalur migrasi dari Asia Timur, masuk daerah Sulawesi, hingga masuk daratan Sulawesi Tenggara.
Betapa pentingnya mengetahui dan memahami sejarah bangsa. Maka mencari, meneliti, dan menelurusi jejak hidup nenek-moyang kita dengan segala bentuk dan struktur kehidupan masyarakatnya adalah tugas sejarah yang mesti dilaksanakan oleh generasi masa kini dan mendatang. Kepedulian kita tentang sejarah dan budaya nenek moyang bangsa akan memperkaya khasana kebudayaan di tanah air yang pada gilirannya dapat berpotensi menjadi salah satu tujuan wisata sejarah. Dengan mengetahui sejarah bangsa, kita boleh menyadari bahwa di Indonesia ini pernah lahir lebih dari 1000 buah kerajaan, sebuah angka fantastis yang tidak akan pernah kita jumpai di belahan dunia lainnya. Dari penelitian kesejarahaan masyarakat tradisional di nusantara, kita juga dapat mengetahui bahwa tata pemerintahan tradisional yang menjunjung tinggi keberadaan aturan hukum selayaknya undang-undang di jaman kini, sudah eksis sejak dahulu kala. Salah satunya adalah Kalo Sara Hukum Adat di kerajaan kuno, Kerajaan Padangguni.


Kerajaan Tertua di Indonesia
===Kerajaan pertama di Sulawesi Tenggara===
Sebelum kerajaan Konawe muncul, telah ada beberapa kerajaan kecil yaitu: Padangguni berkedudukan di Abuki pada saat itu yang menjadi rajanya adalah mokole Bunduwula. Kerajaan Besulutu di Besulutu dengan rajanya bernama Mombeeti, dan kerajaan Wawolesea di Toreo dengan rajanya Wasangga. Berdasarkan oral tradition atau tradisi lisan masyarakat Tolaki jauh sebelum kerajaan Konawe terbentuk. Di daerah ini telah berdiri beberapa kerajaan kecil. Kemudian berintegrasi menjadi satu konfederasi yaitu kerajaan Konawe. Gejala terintegrasinya kerajaan kecil membentuk satu konfederasi kerajaan terjadi juga di beberapa kerajaan di daerah ini seperti halnya kerajaan Wolio terbentuk merupakan gabungan dari beberapa kerajaan kecil seperti Kamaru, Tobe-Tobe, dan beberapa kerajaan kecil lainnya. Adapun beberapa kerajaan kecil tersebut adalah sebagai berikut:


'''1. Kerajaan Padangguni'''
Kerajaan Padangguni merupakan kerajaan kecil di wilayah Kendari, Sulawesi Tenggara. Rakyat kerajaan ini berasal dari suku Tolaki kuno yang hingga hari ini masih eksis dengan tetap mempertahankan tradisi kuno yang diwarisi secara turun-temurun dari nenek-moyang mereka. Komunitas suku Tolaki kuno di jaman prasejarah masa lampau itu berkembang menjadi sebuah kerajaan yang didirikan oleh Raja Larumbesi Tanggolowuta I pada abad ke-2 Masehi. Dalam kitab Bunduwula disebutkan bahwa Kerajaan Padangguni dahulu disebut Owuta Puasa yang berarti Tanah Pusaka atau Tanah Leluhur. Berdasarkan tarikh masehi berdirinya kerjaaan ini, maka tidak heran jika banyak kalangan meyakini bahwa Padangguni adalah Kerajaan Prasejarah Tertua di Indonesia, lebih dahulu dibandingkan Kerajaan Kutai yang muncul pada abad ke-4.
Kerajaan Padangguni ini mulai berkembang dan memperluas wilayahnya dan kerajaan ini eksis dan berkuasa selama 12 generasi. Adapun pimpinan atau Raja pertama Padangguni bernama Tolahianga dengan gelar Bundu Wula atau Tanggolowuta juga biasa digelar Sangia Ndudu Ipadangguni.


'''2. Kerajaan Wawolesea::'
Masyarakat suku Tolaki kuno di Kerajaan Padangguni pada saat sebelum datangnya agama Hindu-Budha menganut kepercayaan Animisme, Dinamisme, dan Totenisme. Kemudian pada awal abad XIV mereka beralih kepercayaan menganut agama Hindu. Oleh karena itulah Lambang Dewa Shiwa dipergunakan sebagai Lambang Kalo Sara hukum adat setempat untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang timbul dalam masyarakat. Bagi yang tidak tunduk dan tidak mematuhi Kalo Sara hukum adat ini dipercaya akan mendapatkan kutukan.
Kerajaan Wawolesea terletak dipinggir atau pesisir pantai timur jazirah Tenggara pulau Sulawesi di daerah Lasolo. Menurut Burhanudin bahwa kerajaan Wawolesea merupakan keturunan dari raja Kediri di Jawa. Kerajaan ini tidak berkembang dan maju disebabkan terjadinya peperangan antara Kerajaan Banggai di Sulawesi Tengah. Penyebab lainnya menurut kepercayaan adalah terkena kutukan (molowu), akibat Raja Wawolesea menikahi putrinya sendiri. Begitu terkena musibah tersebut maka penduduk kerajaan Wawolesea ada yang mengadakan pelayaran menuju ke daerah lain dan mereka terdampar disemenanjung utara pulau Buton dan pulau Wawonii. Kerajaan Wawolesea ini dipimpin oleh seorang raja yang bernama Rundu Langi, dan tidak mempunyai pewaris kerajaan sehingga kerajaan Wawolesea berintegrasi dengan kerajaan Konawe.


'''3. Kerajaan Besulutu.'''
Agama Hindu-Budha yang dianut masyarakat pada saat itu tidak sama persis dengan agama Hindu yang berkembang di India. Hal ini karena disesuaikan dengan kepercayaan masyarakat sehingga terjadi akulturasi dalam wujud agama Hindu-Budha. Perkembangan kepercayaan masyarakat kerajaan Padangguni nampak dari struktur pemerintahan sejak jaman Hindu s/d abad XIX. Corak pemerintahan dipengaruhi oleh akulturasi Hindu-Buddha yang selanjutnya berakulturasi lagi dengan kebudayaan Islam yang masuk dari kerajaan Goa-Tallo di Sulawesi Selatan. Fenomena terakhir, pengangkatan raja Kerajaan Padangguni yakni Raja Bunduwula XII yang diberi gelar Sultan dilakukan dengan pertimbangan penyesuaian kebudayaan Islam. Dalam bahasa Tolaki, kerajaan dipimpin oleh seorang Raja atau Mokole dan keturunannya yang disebut Anakia (laki-laki) dan Anawai (perempuan), sedangkan kesultanan menurut terminologi bahasa Arab adalah sama dengan kerajaan yang dipimpin oleh seorang Sultan.
Kerajaan Besulutu ini berlangsung singkat hal ini disebabkan oleh karena Raja Besulutu yang bernama Mokole Mombeeno mempunyai suatu kegemaran berperang (momuho) dengan beberapa kerajaan disekitarnya. Sehingga rakyatnya banyak berkurang, bahkan Rajanya terbunuh dalam peperangan. Sehingga tidak ada penerus kerajaan tersebut.


'''4. Kerajaan Watu Mendonga'''
Beberapa catatan sejarah dan bukti yang masih tersisa berupa budaya dan peninggalan tertulis, diantaranya kitab-kitab yang berisikan tentang perjalanan suku Tolaki, silsilah raja-raja, dan peristiwa-peristiwa lainnya. Kitab Ilagaligo adalah kitab yang berasal dari kerajaan Goa-Tallo yang menjelaskan tentang asal-usul Raja Bunduwula I. Kitab Taenango suku Tolaki kuno yang memuat asal-usul kejadian manusia dan berisi nasehat-nasehat kehidupan, dan riwayat perjalanan hidup suku Tolaki yang diceritakan dalam bentuk syair. Kitab ini biasanya dibaca dengan cara dinyanyikan pada saat upacara keagamaan dan upacara perkawinan. Kitab Bunduwula Sangia Wonua Sorume menjelaskan asal-usul terbentuknya kerajaan Padangguni.
Kerajaan Watumendonga terletak di hulu sungai Konawe Eha yang terletak di Tonga Una dan kerajaan ini pada saat itu masih dibawah kerajaan Konawe. Pada periode selanjutnya kerajaan Watumendonga ini bergabung dengan kerajaan Mekongga. Pada saat itu daerah Konawe bagian Utara seperti Kondeeha, Tawanga, Sanggona diberikan kepada kerajaan Mekongga sebagai warisan kepada Wunggabae anak Buburanda Sabandara Latoma bernama Buburanda atas pernikahannya dengan Bokeo Teporambe anak dari Bokeo Lombo-Lombo. Sebagai pimpinan terakhir bernama Mokole Lapanggili.


==Peninggalan==
Kalo Sara Hukum Adat
Menurut para penutur silsilah (kukua) raja-raja, hingga kini masih terdapat sisa-sisa peninggalan dari kerajaan-kerajaan kecil tersebut, baik peninggalan berbentuk arkeologi maupun etnografi, misalnya reruntuhan istana Raja Wawolesea di Toreo.


Menurut sumber sejarah kerajaan-kerajaan ini runtuh disebabkan terjadinya perang saudara antara satu sama lainnya misalnya peperangan antara Padangguni dengan Besulutu, atau adanya ekspansi dari kerajaan lain di luar wilayah Konawe seperti Bungku dan Ternate, yang menyebabkan munculnya power baru di daerah ini yaitu kerajaan Konawe yang merupakan hasil konfederasi ketiga kerajaan tersebut, serta perang antara kerajaan Wawolesea dan dengan kerajaan Banggai. Pada zaman Hindia Belanda di Kolaka terdapat distrik Watumendonga yang berkedudukan di Tongauna.
Di bidang kebudayaan, terdapat budaya Kalo Sara Hukum Adat yang menjadi pedoman bertingkah-laku anggota masyarakat Tolaki kuno hingga generasinya saat ini. Barangsiapa yang tidak mematuhi hukum adat tersebut dipercaya akan mendapatkan kutukan. Juga, dapat disaksikan pementasan sakral budaya Tarian Ulo. Tarian ini bisanya digunakan untuk penyembahan pada dewa dan leluhur dan orang tua atau raja yang sudah meninggal. Selain itu, masyarakat Tolaki di kerajaan Padangguni yang masih tradisional itu menguasai ilmu meteorologi dan geofisika (Matanggawe), perhitungan waktu (Bilangari), dan seni bangunan.


Kemudian dari keturunan Mokole Padangguni inilah muncul seorang pemimpin yang berusaha untuk mengintegrasikankan seluruh kelompok-kelompok masyarakat Tolaki yang sudah menetap dan berkembang, penduduknya serta menyebar di seluruh wilayah kerajaan Padangguni. Adapun nama Mokole Padangguni tersebut adalah Toramandalangi yang bergelar Totongano Wonua. Selanjutnya Totongano Wonua memindahkan pusat kerajaannya dari Padangguni ke Unaaha, disebabkan sewaktu Totongano Wonua mengadakan perjalanan dalam rangka menyatukan negeri-negeri di sekitarnya. Ia mendapatkan daerah Unaaha telah bermukim orang-orang yang datang dari Tulambantu. Mereka meninggalkan wilayah karena wabah penyakit yang epidemis hampir memusnahkan mereka. Dan pemimpin mereka bernama Puteo. Totongano Wonua ini menemukan seorang wanita yang berada di Lalobalongga yang bernama Nanggalamaha. Selang berapa saat setelah Toramandalangi memindahkan pusat pemerintahannya di Inolobu Nggadue Unaaha. Tiba-tiba munculah seorang putri di Unaaha dengan 40 orang pengawalnya lengkap dengan persenjataannya dan berbaju sirat.
Dalam kitab Bunduwula dan kitab Taenango menjelaskan struktur organisasi pemerintahan kerajaan Padangguni sebagai pusat kerajaan. Kerajaan Padangguni membawahi daerah-daerah yang diperintah oleh seorang Mokole atau Raja, Inowa, Inowa Owa, Wonua, Napo dan Kambo. Daerah-daerah tersebut menjadi anggota persekutuan pemerintahan kerajaan Padangguni yang umumnya masih kerabat atau keluarga dekat Raja Bunduwula yang memerintah dalam wilayah/daerah secara otonom. Raja Bunduwula memerintah atas nama daerah-daerah itu dengan Mokole-mokole/Raja, Inowa, Inowa owa. Apabila Raja Padangguni bertindak keluar, ia merupakan wakil rakyat yang berkuasa penuh, sedangkan jika bertindak kedalam ia merupakan lambang nenek-moyang yang didewakan.


Menurut dua orang bersaudara Albert Cristian Kruyt, dan J. Kruyt, serta F. Treferrs bahwa hal yang sama terjadi di Kerajaan Mekongga Kolaka dimana Wekoila dan Larumbalangi, yang diceritakan tentang dua orang bersaudara kandung wanita-pria. Jadi sebagai kakak adalah Wekoila sedangkan Larumbalangi merupakan adik. Mereka inilah yang menurunkan raja-raja Konawe, dan Mekongga di Kolaka.
Pewaris Mokole Bunduwula


Melihat kedatangan putri tersebut segeralah tersiar kabar di kalangan orang-orang Unaaha. Mereka segera menyambut putri tersebut dan oleh orang-orang Unaaha menyebut putri tersebut dengan nama Sangia Ndudu artinya Dewa yang turun, karena masyarakat Tolaki tidak mengenalnya atau mengetahuinya siapa ayah dan ibu putri tersebut. Kemudian mereka menemui mokole Toramalangi, mendengar laporan masyarakat tersebut maka mokole Toramalangi datang menemui Putri itu. Putri itu ditumbuhi penyakit kulit berupa panu Opano yang putih sehingga oleh Totongano Wonua memberikan nama Wekoila.
Sumber informasi sejarah kerajaan Padangguni menurut catatan dalam kitab Ilagaligo, Kitab filsafat Taenago dan Kitab Bunduwula, ternyata tidak ada catatan peralihan Dinasti Raja Larumbesi Tanggolowuta I di abad ke-2 Masehi ke Dinasti Mokole Bunduwula I abad ke-16, Sangia Wonua Sorume Mokole Padangguni Inea Sinumo Wuta Mbinosito (Daerah Istimewa) Totongano Wonua (Raja Pusat Negeri) Lembui Lenggobaho (Sulawesi Tenggara) tahun 1574-1649. Pemerintahannya dilanjutkan oleh Raja Bunduwula II yang bernama Welimondi (1649-1715) dengan Gelar Anawai Ndo Padangguni II (ratu). Berturut-turut selanjutnya adalah Raja Padangguni III bernama Maranai (1715-1745) dengan Gelar Mokole Bunduwula III Inea Sinumo Wutoa Mbinotiso. Raja Padangguni IV bernama Wesande dengan Gelar Anawai Ndo Padangguni IV Inea Sinumo Wuta Mbinotiso Bunduwula IV (1745-1775). Raja Padangguni V bernama Dahoro dengan Gelar Bunduwula V Inea Sinumo Wuta Mbinotiso (1775-1815). Kemudian Raja Padangguni VI bernama LAO dengan Gelar Mokole Bunduwula VI Inea Sinumo Wuta Mbinotiso (1815-1845). Raja Padangguni VII bernama Danda yang diberi Gelar Mokole Bunduwula VII Inea Sinumo Wuta Mbinotiso (1845-1875). Raja Padangguni VIII bernama Labandonga dengan Gelar Mokole Bunduwula VIII Inea Sinumo Wuta Mbinotiso (1845-1905), Raja Padangguni IX bernama Sandima dengan Gelar Mokole Bunduwula IX Inea Sinumo Wuta Mbinotiso (1905-1935). Raja Padangguni X bernama Beangga dengan Gelar Mokole Bunduwula X Inea Sinumo Wuta Mbinotiso (1935-1959). Selanjutnya Raja Padangguni XI bernama Tariambo anak dari Raja Sandima dengan Gelar Mokole Bunduwula XI Inea Sinumo Wuta Mbinotiso (1959-1978).


Wekoila ini adalah saudara dengan Larumbalangi dengan gelar Sangia Aha. Wekoila ini dinamakan Wetendriabeng, atau dalam bahasa Tolaki dikenal dengan nama Walandiate atau Watandiabe, karena lidah orang Tolaki dan orang Bugis tidak sama pengucapan, kalau orang Tolaki sangat susah untuk menyebut Wetendriabe sehingga berubah Watandiyate.
Kekacauan yang terjadi akibat pemberotakan DI/Permesta beberapa dekade silam telah mempengaruhi proses peralihan kepemimpinan di Kerajaan Padangguni. Bahkan, istana kerajaan telah musnah dibakar oleh gerombolan pengacau keamanan karena pihak kerajaan teguh berpihak kepada Pemerintahan RI. Namun, sejarah belum usai. Pemegang tampuk kepemimpinan terakhir Kerajaan Padangguni, Raja Padangguni XI, Mokole Tariambo kemudian menitipkan Mahkota Kerajaan Padangguni kepada keponakannya Bunduwula Yusuf dengan amanat agar kelak diserahkan kepada Putra Mahkota Kerajaan Padangguni yaitu Abdul Aziz Riambo. Penobatan Abdul Azis Riambo dengan Gelar Sultan Anakia Mokole Bunduwula XII Inea Sinumo Wuta Mbinotiso telah dilangsungkan di hadapan masyarakat adat Tolaki Kerajaan Padangguni pada tanggal 20 Juni 2001. Raja Bunduwula XII, tugas sejarah telah diletakkan di pundak Paduka. Masyarakat adat di Kerajaan Padangguni menanti sabda dan titah Baginda Raja. (WL

Kata Wekoila memiliki makna gadis cantik, terdiri dari dua kata We adalah nama depan bangsawan perempuan, koila artinya mengkilat. Kemudian Wekoila atau Watandiyate dikawinkan dengan putra Toramalangi Ndotonganowonua yang bernama Ramandalangi yang bergelar Langgai Moriana. Toramalangi ini di dalam kitab sastra Lagaligo disebut Remangrilangi. Setelah mereka kawin kemudian Wekoila dilantik (Pinorehu) oleh orang-orang Tolaki menjadi raja mereka. Dan kemudian Wekoila setelah menjadi raja maka kerajaan Padangguni diganti menjadi kerajaan Konawe. Dan berakhirlah kerajaan Padangguni dan muncullah kerajaan Konawe, kejadian ini berlangsung pada awal abad ke-10 Masehi. Pusat kerajaan Konawe pada awalnya berlokasi di napo Olo-Oloho di pinggir sungai Konaweeha, kemudian pindah ke daerah Unaaha di Inolobu Nggadue.

== Referensi ==
<references />{{Suku bangsa di Indonesia}}

# {{Cinta Tanah Air}}

[[Kategori:Suku bangsa di Sulawesi Tenggara]]
[[Kategori:Kelompok etnik di Indonesia|Tolaki]]

Revisi terkini sejak 21 Juli 2024 06.32

Suku Tolaki
Pakaian adat Suku Tolaki
Daerah dengan populasi signifikan
       Sulawesi Tenggara900.000
       DKI Jakarta100.200
       Jawa Barat40.700
       Sulawesi Tengah30.900
Bahasa
Tolaki, Indonesia, Melayu (dituturkan oleh komunitas yang berdomisili di Malaysia dan Singapura), Belanda (hanya digunakan oleh yang tinggal di Belanda dan Amerika Serikat)
Agama
Mayoritas
Islam Sunni
Minoritas
Kristen (Protestan, Katolik)
Kejawen
Hindu
Buddha
Konghucu
Kelompok etnik terkait
Moronene, Muna, Buton, Bungku, Kaili, Wawonii, Toraja, Mori dan Kabaena
Peta sebaran bahasa Bungku-Tolaki menurut Mead (1998).

Suku Tolaki adalah etnis terbesar yang berada di provinsi Sulawesi Tenggara. Suku Tolaki merupakan etnis yang berdiam di jazirah tenggara pulau Sulawesi. Suku Tolaki merupakan suku asli daerah di daratan tenggara pulau Sulawesi .[1] Suku Tolaki tersebar di 7 kabupaten/kota di provinsi Sulawesi Tenggara yang meliputi Kota Kendari, Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Konawe Utara, Kolaka, Kolaka Utara dan Kolaka Timur.[2]

Sejarah

Masyarakat Tolaki sejak zaman prasejarah telah memiliki jejak peradaban, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya peninggalan arkeologi di beberapa gua atau kumapo di Konawe bagian utara maupun beberapa gua yang ada di daerah ini. Lokasi situs gua-gua di daerah ini umumnya terletak di Konawe bagian Utara seperti Asera, Lasolo, Wiwirano, Langgikima, Lamonae, diantaranya gua Tanggalasi, gua Tengkorak I, gua Tengkorak II, gua Anawai Ngguluri, gua Wawosabano, gua Tenggere dan gua Kelelawar serta masih banyak situs gua prasejarah yang belum teridentifikasi.

Dari hasil penelitian tim Balai Arkeologi Makassar dari tinggalan materi uji artefak di Wiwirano berupa sampel dengan menggunakan metode uji karbon 14 di laboratorium Arkeologi Miami University Amerika Serikat, menyimpulkan bahwa daripada artefak di Wiwirano Konawe Utara berumur sekitar 7000 tahun yang lalu atau dengan evidensi ini maka peradaban Tolaki di Konawe telah berlangsung sejak 5000 tahun Sebelum Masehi. Di dalam gua-gua tersebut menyimpan banyak artefak baik tengkorak manusia, alat kerja seperti alat-alat berburu, benda pemujaan, guci, tempayan, gerabah, porselin baik itu buatan China, Thailand, VOC, Hindia Belanda, batu pemujaan, terdapat beberapa gambar atau adegan misalnya binatang, tapak tangan, gambar berburu, gambar sampan atau perahu, gambar manusia, gambar perahu atau sampan, patung, terakota, dan sebagainya. Secara linguistik bahasa Tolaki merupakan atau masuk kedalam rumpun bahasa Austronesia, secara Antropologi manusia Tolaki merupakan Ras Mongoloid, yang datang ditempat ini melalui jalur migrasi dari Asia Timur, masuk daerah Sulawesi, hingga masuk daratan Sulawesi Tenggara.

Kerajaan pertama di Sulawesi Tenggara

Sebelum kerajaan Konawe muncul, telah ada beberapa kerajaan kecil yaitu: Padangguni berkedudukan di Abuki pada saat itu yang menjadi rajanya adalah mokole Bunduwula. Kerajaan Besulutu di Besulutu dengan rajanya bernama Mombeeti, dan kerajaan Wawolesea di Toreo dengan rajanya Wasangga. Berdasarkan oral tradition atau tradisi lisan masyarakat Tolaki jauh sebelum kerajaan Konawe terbentuk. Di daerah ini telah berdiri beberapa kerajaan kecil. Kemudian berintegrasi menjadi satu konfederasi yaitu kerajaan Konawe. Gejala terintegrasinya kerajaan kecil membentuk satu konfederasi kerajaan terjadi juga di beberapa kerajaan di daerah ini seperti halnya kerajaan Wolio terbentuk merupakan gabungan dari beberapa kerajaan kecil seperti Kamaru, Tobe-Tobe, dan beberapa kerajaan kecil lainnya. Adapun beberapa kerajaan kecil tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kerajaan Padangguni Kerajaan Padangguni ini mulai berkembang dan memperluas wilayahnya dan kerajaan ini eksis dan berkuasa selama 12 generasi. Adapun pimpinan atau Raja pertama Padangguni bernama Tolahianga dengan gelar Bundu Wula atau Tanggolowuta juga biasa digelar Sangia Ndudu Ipadangguni.

2. Kerajaan Wawolesea::' Kerajaan Wawolesea terletak dipinggir atau pesisir pantai timur jazirah Tenggara pulau Sulawesi di daerah Lasolo. Menurut Burhanudin bahwa kerajaan Wawolesea merupakan keturunan dari raja Kediri di Jawa. Kerajaan ini tidak berkembang dan maju disebabkan terjadinya peperangan antara Kerajaan Banggai di Sulawesi Tengah. Penyebab lainnya menurut kepercayaan adalah terkena kutukan (molowu), akibat Raja Wawolesea menikahi putrinya sendiri. Begitu terkena musibah tersebut maka penduduk kerajaan Wawolesea ada yang mengadakan pelayaran menuju ke daerah lain dan mereka terdampar disemenanjung utara pulau Buton dan pulau Wawonii. Kerajaan Wawolesea ini dipimpin oleh seorang raja yang bernama Rundu Langi, dan tidak mempunyai pewaris kerajaan sehingga kerajaan Wawolesea berintegrasi dengan kerajaan Konawe.

3. Kerajaan Besulutu. Kerajaan Besulutu ini berlangsung singkat hal ini disebabkan oleh karena Raja Besulutu yang bernama Mokole Mombeeno mempunyai suatu kegemaran berperang (momuho) dengan beberapa kerajaan disekitarnya. Sehingga rakyatnya banyak berkurang, bahkan Rajanya terbunuh dalam peperangan. Sehingga tidak ada penerus kerajaan tersebut.

4. Kerajaan Watu Mendonga Kerajaan Watumendonga terletak di hulu sungai Konawe Eha yang terletak di Tonga Una dan kerajaan ini pada saat itu masih dibawah kerajaan Konawe. Pada periode selanjutnya kerajaan Watumendonga ini bergabung dengan kerajaan Mekongga. Pada saat itu daerah Konawe bagian Utara seperti Kondeeha, Tawanga, Sanggona diberikan kepada kerajaan Mekongga sebagai warisan kepada Wunggabae anak Buburanda Sabandara Latoma bernama Buburanda atas pernikahannya dengan Bokeo Teporambe anak dari Bokeo Lombo-Lombo. Sebagai pimpinan terakhir bernama Mokole Lapanggili.

Peninggalan

Menurut para penutur silsilah (kukua) raja-raja, hingga kini masih terdapat sisa-sisa peninggalan dari kerajaan-kerajaan kecil tersebut, baik peninggalan berbentuk arkeologi maupun etnografi, misalnya reruntuhan istana Raja Wawolesea di Toreo.

Menurut sumber sejarah kerajaan-kerajaan ini runtuh disebabkan terjadinya perang saudara antara satu sama lainnya misalnya peperangan antara Padangguni dengan Besulutu, atau adanya ekspansi dari kerajaan lain di luar wilayah Konawe seperti Bungku dan Ternate, yang menyebabkan munculnya power baru di daerah ini yaitu kerajaan Konawe yang merupakan hasil konfederasi ketiga kerajaan tersebut, serta perang antara kerajaan Wawolesea dan dengan kerajaan Banggai. Pada zaman Hindia Belanda di Kolaka terdapat distrik Watumendonga yang berkedudukan di Tongauna.

Kemudian dari keturunan Mokole Padangguni inilah muncul seorang pemimpin yang berusaha untuk mengintegrasikankan seluruh kelompok-kelompok masyarakat Tolaki yang sudah menetap dan berkembang, penduduknya serta menyebar di seluruh wilayah kerajaan Padangguni. Adapun nama Mokole Padangguni tersebut adalah Toramandalangi yang bergelar Totongano Wonua. Selanjutnya Totongano Wonua memindahkan pusat kerajaannya dari Padangguni ke Unaaha, disebabkan sewaktu Totongano Wonua mengadakan perjalanan dalam rangka menyatukan negeri-negeri di sekitarnya. Ia mendapatkan daerah Unaaha telah bermukim orang-orang yang datang dari Tulambantu. Mereka meninggalkan wilayah karena wabah penyakit yang epidemis hampir memusnahkan mereka. Dan pemimpin mereka bernama Puteo. Totongano Wonua ini menemukan seorang wanita yang berada di Lalobalongga yang bernama Nanggalamaha. Selang berapa saat setelah Toramandalangi memindahkan pusat pemerintahannya di Inolobu Nggadue Unaaha. Tiba-tiba munculah seorang putri di Unaaha dengan 40 orang pengawalnya lengkap dengan persenjataannya dan berbaju sirat.

Menurut dua orang bersaudara Albert Cristian Kruyt, dan J. Kruyt, serta F. Treferrs bahwa hal yang sama terjadi di Kerajaan Mekongga Kolaka dimana Wekoila dan Larumbalangi, yang diceritakan tentang dua orang bersaudara kandung wanita-pria. Jadi sebagai kakak adalah Wekoila sedangkan Larumbalangi merupakan adik. Mereka inilah yang menurunkan raja-raja Konawe, dan Mekongga di Kolaka.

Melihat kedatangan putri tersebut segeralah tersiar kabar di kalangan orang-orang Unaaha. Mereka segera menyambut putri tersebut dan oleh orang-orang Unaaha menyebut putri tersebut dengan nama Sangia Ndudu artinya Dewa yang turun, karena masyarakat Tolaki tidak mengenalnya atau mengetahuinya siapa ayah dan ibu putri tersebut. Kemudian mereka menemui mokole Toramalangi, mendengar laporan masyarakat tersebut maka mokole Toramalangi datang menemui Putri itu. Putri itu ditumbuhi penyakit kulit berupa panu Opano yang putih sehingga oleh Totongano Wonua memberikan nama Wekoila.

Wekoila ini adalah saudara dengan Larumbalangi dengan gelar Sangia Aha. Wekoila ini dinamakan Wetendriabeng, atau dalam bahasa Tolaki dikenal dengan nama Walandiate atau Watandiabe, karena lidah orang Tolaki dan orang Bugis tidak sama pengucapan, kalau orang Tolaki sangat susah untuk menyebut Wetendriabe sehingga berubah Watandiyate.

Kata Wekoila memiliki makna gadis cantik, terdiri dari dua kata We adalah nama depan bangsawan perempuan, koila artinya mengkilat. Kemudian Wekoila atau Watandiyate dikawinkan dengan putra Toramalangi Ndotonganowonua yang bernama Ramandalangi yang bergelar Langgai Moriana. Toramalangi ini di dalam kitab sastra Lagaligo disebut Remangrilangi. Setelah mereka kawin kemudian Wekoila dilantik (Pinorehu) oleh orang-orang Tolaki menjadi raja mereka. Dan kemudian Wekoila setelah menjadi raja maka kerajaan Padangguni diganti menjadi kerajaan Konawe. Dan berakhirlah kerajaan Padangguni dan muncullah kerajaan Konawe, kejadian ini berlangsung pada awal abad ke-10 Masehi. Pusat kerajaan Konawe pada awalnya berlokasi di napo Olo-Oloho di pinggir sungai Konaweeha, kemudian pindah ke daerah Unaaha di Inolobu Nggadue.

Referensi

  1. ^ Manan, Fajria Novart (1986). Sistem Kepemimpinan Dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 5. 
  2. ^ Adat Istiadat Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta: Balai Pustaka. 1977/1978. hlm. 54. 


  1. Templat:Cinta Tanah Air