Khalifah: Perbedaan antara revisi
Perubahan referensi (DOI:10.2307/1523262). |
|||
(100 revisi perantara oleh 40 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1: | Baris 1: | ||
{{Ensiklopedia Islam|Muhammad}} |
|||
{{Tak netral}} |
|||
'''Khalifah''' ({{lang-ar|خَليفة}}; ''khalīfah'') merupakan suatu istilah yang memiliki dua pengertian, yaitu pengertian pertama berarti gelar makhluk yang akan diciptakan Allah di bumi, yaitu Manusia, untuk menggantikan makhluk yang ada sebelumnya. Pengertian kedua adalah gelar yang diberikan untuk penerus Muhammad dalam kepemimpinan umat Islam. Wilayah kewenangan khalifah disebut '''kekhalifahan''' atau '''[[Khilafah]]''' ({{lang-ar|خِلافة}}; ''khilāfah''). Gelar lain yang juga melekat dengan khalifah adalah ''amīr al-mu'minīn'' (أمير المؤمنين) [[Amirul Mukminin]] atau "pemimpin orang-orang yang beriman yang telah di[[baiat]] dengan hukum Kitabillah wa Sunnah", meski pada keberjalanannya, gelar ini juga disandang oleh pemimpin Muslim selain khalifah. |
|||
{{Islam}} |
|||
'''Khalifah''' ({{lang-ar|خَليفة}}; ''Khalīfah'') adalah gelar yang diberikan untuk penerus Nabi Muhammad dalam kepemimpinan umat Islam. Wilayah kewenangan khalifah disebut kekhalifahan atau khilafah ({{lang-ar|خِلافة}}). Gelar lain yang juga melekat dengan khalifah adalah ''amīr al-mu'minīn'' (أمير المؤمنين) atau "pemimpin orang yang beriman", meski pada keberjalanannya, gelar ini juga disandang oleh pemimpin Muslim selain khalifah. |
|||
Sepanjang sejarahnya, peran khalifah dan bentuk kekhalifahan memiliki beragam corak yang sangat dipengaruhi keadaan politik dan keagamaan |
Sepanjang sejarahnya, peran khalifah dan bentuk kekhalifahan memiliki beragam corak yang sangat dipengaruhi keadaan politik dan keagamaan pada masa tersebut. Dilihat dari latar belakang khalifah, kekhalifahan dibagi ke dalam empat periode: [[Kekhalifahan Rasyidin]] (632–661), [[Kekhalifahan Umayyah]] (661–750), [[Kekhalifahan Abbasiyah]] (750–1258 dan 1261–1517), dan [[Kekhalifahan Utsmaniyah]] (1517–1924). |
||
Kekhalifahan dimulai seiring |
Kekhalifahan dimulai seiring di[[baiat]]nya [[Abu Bakar Ash-Shiddiq|Abu Bakar]] sebagai pemimpin umat Islam tepat setelah meninggalnya Muhammad pada tahun 632. Abu Bakar dan tiga penerusnya, semuanya sahabat Nabi dan memiliki hubungan kekerabatan dengan Muhammad, dikelompokkan sebagai ''Khulafaur Rasyidin'' atau Kekhalifahan Rasyidin. Pemilihan keempat khalifah pertama ini didasarkan melalui musyawarah dan kepantasan pribadi calon sehingga Kekhalifahan Rasyidin kerap dipandang sebagai bentuk awal [[demokrasi Islam]]. |
||
Setelah [[Perang saudara Islam pertama|perang saudara pertama]] di penghujung masa Kekhalifahan Rasyidin, Hasan bin 'Ali menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Mu'awiyah yang kemudian mengubah bentuk kekhalifahan menjadi monarki-dinasti, menandai dimulainya masa Kekhalifahan Umayyah. Berpusat di Damaskus, Bani Umayyah memegang tampuk kekhalifahan selama hampir seabad sebelum akhirnya digulingkan kelompok Abbasiyah yang mendirikan kekhalifahan-dinasti mereka sendiri mulai tahun 750. Berbeda dengan masa Khulafaur Rasyidin atau Umayyah, khalifah pada masa Abbasiyah tidak lagi memimpin secara langsung seluruh wilayah dunia Islam dan wilayah kekuasaannya hanya berkisar di kawasan [[Mesopotamia]]. Beberapa kepala negara Muslim (bergelar amir atau sultan) memimpin wilayah kekuasaan mereka secara mandiri tanpa campur tangan khalifah. Meski begitu, khalifah tetap dipandang sebagai pemimpin dunia Islam secara keseluruhan dan kepala negara Muslim yang lain memberikan ketundukkan mereka secara simbolis kepada khalifah. Berbeda dengan Umayyah yang sangat bercorak Arab, Abbasiyah yang berpusat di kawasan Mesopotamia memberikan corak Persia yang kental pada kekhalifahan. |
Setelah [[Perang saudara Islam pertama|perang saudara pertama]] di penghujung masa Kekhalifahan Rasyidin, Hasan bin 'Ali menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Mu'awiyah yang kemudian mengubah bentuk kekhalifahan menjadi monarki-dinasti, menandai dimulainya masa Kekhalifahan Umayyah. Berpusat di Damaskus, Bani Umayyah memegang tampuk kekhalifahan selama hampir seabad sebelum akhirnya digulingkan kelompok Abbasiyah yang mendirikan kekhalifahan-dinasti mereka sendiri mulai tahun 750. Berbeda dengan masa Khulafaur Rasyidin atau Umayyah, khalifah pada masa Abbasiyah tidak lagi memimpin secara langsung seluruh wilayah dunia Islam dan wilayah kekuasaannya hanya berkisar di kawasan [[Mesopotamia]]. Beberapa kepala negara Muslim (bergelar amir atau sultan) memimpin wilayah kekuasaan mereka secara mandiri tanpa campur tangan khalifah. Meski begitu, khalifah tetap dipandang sebagai pemimpin dunia Islam secara keseluruhan dan kepala negara Muslim yang lain memberikan ketundukkan mereka secara simbolis kepada khalifah. Berbeda dengan Umayyah yang sangat bercorak Arab, Abbasiyah yang berpusat di kawasan Mesopotamia memberikan corak Persia yang kental pada kekhalifahan. |
||
Baris 11: | Baris 10: | ||
Fungsi khalifah sebagai kepala negara lenyap seiring jatuhnya Baghdad oleh Mongol pada 1258. Keturunan Abbasiyah yang tersisa melanjutkan tampuk kekhalifahan di Mesir yang saat itu di bawah kekuasaan [[Kesultanan Mamluk (Kairo)|Kesultanan Mamluk]]. Tanpa wilayah kekuasaan dan kekuatan politik yang memadai, khalifah hanya berperan sebagai pemersatu umat Islam secara simbolis sehingga khalifah pada periode ini dikenal sebagai "khalifah bayangan." |
Fungsi khalifah sebagai kepala negara lenyap seiring jatuhnya Baghdad oleh Mongol pada 1258. Keturunan Abbasiyah yang tersisa melanjutkan tampuk kekhalifahan di Mesir yang saat itu di bawah kekuasaan [[Kesultanan Mamluk (Kairo)|Kesultanan Mamluk]]. Tanpa wilayah kekuasaan dan kekuatan politik yang memadai, khalifah hanya berperan sebagai pemersatu umat Islam secara simbolis sehingga khalifah pada periode ini dikenal sebagai "khalifah bayangan." |
||
Setelah Kesultanan Mamluk ditaklukkan oleh Kesultanan Utsmani pada 1517, pemimpin Utsmani mengambil gelar khalifah untuk mereka sendiri. Gelar khalifah terbatas hanya sebagai pemimpin simbolis dunia Islam setelah 1258 dan hal itu tetap tidak berubah pada masa Utsmani. Para penguasa Utsmani memiliki kekuasaan karena kedudukan mereka sebagai sultan dan ''padisyah'' (kaisar), bukan karena status mereka sebagai khalifah. Pada praktiknya, para penguasa Utsmani terbilang sangat jarang menggunakan gelar khalifah (pemimpin umat Islam) mereka dalam perpolitikan dalam dan luar negeri dan lebih sering menggunakan status mereka sebagai sultan dan ''padisyah'' (kepala negara Utsmani). Gelar khalifah mulai digunakan penguasa Utsmani pada saat [[Perjanjian Küçük Kaynarca]], untuk menegaskan kedudukannya sebagai pelindung umat Islam di Rusia. Sultan |
Setelah Kesultanan Mamluk ditaklukkan oleh Kesultanan Utsmani pada 1517, pemimpin Utsmani mengambil gelar khalifah untuk mereka sendiri. Gelar khalifah terbatas hanya sebagai pemimpin simbolis dunia Islam setelah 1258 dan hal itu tetap tidak berubah pada masa Utsmani. Para penguasa Utsmani memiliki kekuasaan karena kedudukan mereka sebagai sultan dan ''padisyah'' (kaisar), bukan karena status mereka sebagai khalifah. Pada praktiknya, para penguasa Utsmani terbilang sangat jarang menggunakan gelar khalifah (pemimpin umat Islam) mereka dalam perpolitikan dalam dan luar negeri dan lebih sering menggunakan status mereka sebagai sultan dan ''padisyah'' (kepala negara Utsmani). Gelar khalifah mulai digunakan penguasa Utsmani pada saat [[Perjanjian Küçük Kaynarca]], untuk menegaskan kedudukannya sebagai pelindung umat Islam di Rusia. Sultan Abdul Hamid II merupakan penguasa Utsmani yang paling sering menggunakan gelar khalifah dalam upayanya menggalang persatuan di dunia Islam untuk menghadapi imperialisme Barat. |
||
Pada November 1922, Majelis Agung Nasional Turki membubarkan Kesultanan Utsmani dan sultan terakhirnya, Mehmed VI, diasingkan ke Malta. Meski begitu, [[Mustafa Kemal Atatürk|Mustafa Kemal]] belum berani membubarkan kekhalifahan demi menjaga dukungan masyarakat, juga karena kekhalifahan adalah lambang pemersatu umat Islam Sunni seluruh dunia, berbeda dengan Kesultanan Utsmani yang merupakan sebatas negara. [[Majelis Agung Nasional Turki]] kemudian mengangkat sepupu Mehmed VI sebagai Khalifah |
Pada November 1922, Majelis Agung Nasional Turki membubarkan Kesultanan Utsmani dan sultan terakhirnya, Mehmed VI, diasingkan ke Malta. Meski begitu, [[Mustafa Kemal Atatürk|Mustafa Kemal (Atatürk)]] belum berani membubarkan kekhalifahan demi menjaga dukungan masyarakat, juga karena kekhalifahan adalah lambang pemersatu umat Islam Sunni seluruh dunia, berbeda dengan Kesultanan Utsmani yang merupakan sebatas negara. [[Majelis Agung Nasional Turki]] kemudian mengangkat sepupu Mehmed VI sebagai Khalifah Abdul Mejid II pada 19 November 1922. Abdul Mejid II merupakan satu-satunya khalifah dari Wangsa Utsmani yang tidak merangkap sebagai sultan. Namun karena khawatir Abdul Mejid II akan menggunakan statusnya sebagai khalifah untuk campur tangan dalam urusan dalam dan luar negeri Turki sebagaimana yang dilakukan para Sultan Utsmani terdahulu, Majelis Agung Nasional Turki akhirnya membubarkan kekhalifahan pada 3 Maret 1924, menjadikan Abdul Mejid II sebagai khalifah terakhir. Negara-negara Muslim mempertanyakan keabsahan pembubaran kekhalifahan oleh pihak Turki dan terdapat beberapa pertemuan para tokoh Muslim terkait keberlangsungan kekhalifahan, tetapi tidak ada kesepakatan bersama yang dapat dicapai. |
||
Khalifah berbeda dengan [[sultan]]. Bila khalifah merupakan pemimpin seluruh umat Islam (baik secara hierarkis atau hanya sekadar simbolis), sultan merupakan kepala dari suatu negara Muslim tertentu dan bukan pemimpin umat Muslim secara keseluruhan. Kedua gelar ini kerap disamakan pada masa-masa sekarang, sangat mungkin lantaran penguasa Utsmani (negara adidaya Muslim terakhir pada milenium kedua) memegang kedua gelar ini secara bersamaan. Penguasa Utsmani merupakan seorang sultan dalam kapasitasnya sebagai kepala negara Utsmaniyah dan sebagai khalifah dalam artian pemimpin simbolis seluruh umat Islam. |
|||
== Etimologi == |
== Etimologi == |
||
Kata "khalifah" ({{lang-ar|خَليفة}}; ''khalīfah'') bermakna "penerus" atau "perwakilan." Dalam Al-Qur'an disebutkan, |
|||
Kata "Khalifah" sendiri dapat diterjemahkan sebagai "pengganti" atau "perwakilan". Dalam Al-Qur'an, manusia secara umum merupakan khalifah Allah di muka bumi untuk merawat dan memberdayakan bumi beserta isinya. Sedangkan khalifah secara khusus maksudnya adalah pengganti Nabi Muhammad sebagai Imam umatnya, dan secara kondisional juga menggantikannya sebagai penguasa sebuah entitas kedaulatan Islam (negara). Sebagaimana diketahui bahwa Muhammad selain sebagai Nabi dan Rasul juga sebagai Imam, Penguasa, Panglima Perang, dan lain sebagainya. |
|||
== Kelahiran Kekhalifahan Islam == |
|||
[[Berkas:Age of Caliphs.png|225px|jmpl|ka|Kekhalifahan Islam, 622-750]] |
|||
Kebanyakan akademisi menyetujui bahwa Nabi Muhammad tidak secara langsung menyarankan atau memerintahkan pembentukan kekhalifahan Islam setelah kematiannya. Permasalahan yang dihadapi ketika itu adalah: siapa yang akan menggantikan Nabi Muhammad, dan sebesar apa kekuasaan yang akan didapatkannya? |
|||
=== Pengganti Nabi Muhammad === |
|||
[[Fred M. Donner]], dalam bukunya ''The Early Islamic Conquests'' (1981), berpendapat bahwa kebiasaan [[bangsa Arab]] ketika itu adalah untuk mengumpulkan para tokoh masyarakat dari suatu keluarga (''bani'' dalam bahasa arab), atau suku, untuk bermusyawarah dan memilih pemimpin dari salah satu di antara mereka. Tidak ada prosedur spesifik dalam [[syuro]] atau musyawarah ini. Para kandidat biasanya memiliki garis keturunan dari pemimpin sebelumnya, walaupun hanya merupakan keluarga jauh. |
|||
Hingga pada tiba saatnya Nabi Muhammad meninggal, kaum Muslim berdebat tentang siapa yang berhak untuk menjadi penerus kepemimpinan Islam setelah wafatnya rasul, hingga saat ini apa yang dibicarakan di dalam masa tenggang itu masih menjadi kontroversi di kalangan kaum Muslim, namun dapat dipastikan bahwa mayoritas kaum muslim yang hadir dalam musyawarah saat itu meyakini bahwa [[Abu Bakar Ash-Shiddiq]] adalah penerus kepemimpinan Islam yang akan menggantikan rasul karena sebelum Nabi Muhammad meninggal, ia dipercaya untuk menggantikan posisi Nabi Muhammad sebagai imam shalat, dan akhirnya Abu Bakar pun terpilih menjadi Khalifah pertama dalam sejarah Islam pasca wafatnya Nabi Muhammad. |
|||
Namun beberapa kalangan dari kaum Muslim Mekkah dan Madinah saat itu meyakini bahwa Nabi Muhammad telah memberikan banyak indikasi yang menunjukan bahwa [[Ali bin Abi Thalib]], sepupu sekaligus menantunya, sebagai pengganti dirinya. Mereka mengatakan bahwa Abū Bakar merebut kekuasaan dengan kekuatan dan kelicikan{{citation needed}}. Semua Khalifah sebelum Ali juga dianggap melakukan hal yang sama oleh kalangan ini, hal inilah yang memicu munculnya kaum [[Syiah]] belakangan pada masa kekhalifahan [[Muawiyah]], lebih tepatnya setelah masa kekuasaan Ali bin Abi Thalib berakhir. |
|||
{{quote|"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, 'Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi.'"|{{Cite quran|002|030}}||}} |
|||
=== Kekuasaan khalifah === |
|||
{{quote|"Wahai [[Dawud]], sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah di bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah."|{{Cite quran|038|026}}||}} |
|||
"Siapa yang akan menggantikan [[Nabi Muhammad]]" bukanlah satu-satunya masalah yang dihadapi umat [[Islam]] saat itu; mereka juga perlu mengklarifikasi seberapa besar kekuasaan pengganti sang nabi. Muhammad, selama masa hidupnya, tidak hanya berperan sebagai pemimpin umat islam, tetapi sebagai nabi dan pemberi keputusan untuk umat Islam. Semua hukum dan praktik spiritual ditentukan sesuai dengan yang disampaikan Nabi Muhammad. Musyawarah dilakukan pada persoalan ini untuk menentukan seberapa besar kekuasaan seorang Khalifah. |
|||
Dalam konteks khusus, khalifah adalah pengganti atau penerus Muhammad sebagai pemimpin umat Islam. Kepemimpinan umat ini memiliki dimensi duniawi dan agama, sehingga pada dasarnya, khalifah adalah pemimpin dan pembimbing umat Islam dalam urusan administratif kenegaraan ataupun moral dan agama. Secara tradisi, khalifah sendiri merupakan kependekan dari ''Khalīfat Rasūl Allāh'' (penerus utusan Allah). |
|||
Tidak satu pun dari para khalifah yang mendapatkan wahyu dari [[Allah]], karena Nabi Muhammad adalah nabi dan penyampai wahyu terakhir di muka bumi, tidak satu pun di antara mereka yang menyebut diri mereka sendiri sebagai ''[[nabi|nabī]]'' atau ''[[rasul]]''. Untuk mengatasinya, wahyu Allah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad kemudian ditulis dan dikumpulkan menjadi [[Al-quran]], dijadikan patokan dan sumber utama hukum Islam, dan menjadi batas kekuasaan khalifah Islam. Artinya, Khalifah adalah seseorang pemimpin yang tunduk pada Al-Qur'an dan Hadis, dan kekuasaannya pun dibatasi oleh Al-Qur'an dan Hadis. |
|||
Khalifah juga dapat dimaknai sebagai kewenangan yang diberikan oleh Allah kepada manusia untuk mengelola alam untuk keperluan hidupnya. Kewenangan ini diberikan dengan adanya batasan atas tanggung-jawab yang baik dan tidak berlebihan. Bekal yang diberikan oleh Allah kepada manusia untuk memenuhi peran ini adalah akal. Keberadaan akal membuat manusia dapat melakukan pengamatan terhadap alam semesta. Dengan perannya ini, manusia diberi tanggung jawab untuk memakmurkan alam sehingga tercipta keseimbangan antara alam dan kehidupan manusia. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur'an pada [[Surah Luqman]] ayat 20. Ayat ini menjelaskan bahwa Allah telah mengatur langit dan Bumi agar sesuai dengan kebutuhan hidup manusia secara sempurna. Ini dijadikan olehNya sebagai tanda-tanda kekuasaanNya. Sedangkan peran manusia sebagai pemakmur Bumi ditetapkan oleh Allah pada [[Surah Hud]] ayat 61. Ayat ini juga mengaitkan peran manusia sebagai pemakmur Bumi dan penciptaan manusia dari tanah.<ref>{{Cite book|last=Hambali|first=Muhammad|date=2017|url=https://www.google.co.id/books/edition/Panduan_Muslim_Kaffah_Sehari_hari_dari_K/b1FHEAAAQBAJ?hl=id&gbpv=1&dq=panduan+muslim+kaffah&pg=PA31&printsec=frontcover|title=Panduan Muslim Kaffah Sehari-Hari: Dari Kandungan hingga Kematian|location=Yogyakarta|publisher=Laksana|isbn=978-602-407-185-1|editor-last=Rusdianto|pages=23|url-status=live}}</ref> |
|||
Bagaimanapun, ada beberapa bukti yang menunjukan bahwa khalifah mempercayai bahwa mereka mempunyai otoritas untuk memutuskan beberapa hal yang tidak tercantum dalam [[al-Quran]]. Mereka juga mempercayai bahwa mereka adalah pempimpin spiritual umat islam, dan mengharapkan "kepatuhan kepada khalifah" sebagai ciri seorang muslim sejati. Sarjana modern [[Patricia Crone]] dan [[Martin Hinds]], dalam bukunya ''God's Caliph'', menggarisbawahi bahwa fakta tersebut membuat khalifah menjadi begitu penting dalam pandangan dunia Islam ketika itu. Mereka berpendapat bahwa pandangan tersebut kemudian hilang secara perlahan-lahan seiring dengan bertambah kuatnya pengaruh [[ulama]] di kalangan umat [[Islam]]. Kaum Muslim beranggapan bahwa ulama sama berhaknya menentukan apa yang dianggap legal dan baik di kalangan umat, sesuai dengan hadis yang menyebutkan bahwa suatu kaum akan ditinggalkan oleh Allah ketika mereka meninggalkan para ulama. Pemimpin umat Islam yang paling tepat, menurut pendapat para ulama, adalah pemimpin yang menjalankan saran-saran spiritual dari para ulama, sementara para khilafah hanya mengurusi hal-hal yang bersifat [[dunia]]wi sehingga mengakibatkan perdebatan di antara keduanya. Perselisihan pendapat antara Khalifah dan para ulama tersebut menjadi konflik yang berlarut-larut dalam beberapa bagian sejarah kekhalifahan Islam. Namun akhirnya, konflik ini berakhir dengan kemenangan para ulama.{{citation needed}} Kekuasaan Khalifah selanjutnya menjadi terbatas pada hal yang bersifat keduniawian. Khalifah hanya dapat dianggap menjadi "Khalifah yang benar" apabila ia menjalankan saran [[spiritual]] para ulama.{{citation needed}} Patricia Crone dan Martin Hinds juga berpendapat bahwa [[Syiah|muslim Syiah]], dengan pandangan yang berlebihan kepada para [[imam]], tetap menjaga kepercayaan murni umat islam, namun tidak semua [[ilmuwan]] setuju akan hal ini. |
|||
== Khalifah utama == |
|||
Kebanyakan [[Sunni|Muslim Sunni]] saat ini mempercayai bahwa para khalifah tidak selamanya hanya menjadi pemimpin masalah duniawi, dan ulama sepenuhnya bertanggung jawab atas arah spiritual umat islam dan hukum syariah umat islam. Mereka menyebut empat Khalifah pertama sebagai [[Khulafaur Rasyidin]], Khalifah yang diberi petunjuk, karena mereka menjalankan dan berpegang pada hukum yang terdapat pada [[Al-Quran]] dan [[sunnah]] Nabi Muhammad dalam segala hal. Mereka juga mempercayai bahwa sekali khalifah dipilih untuk memimpin, maka sepanjang hidupnya ia akan memerintah kecuali jika ia keluar dari aturan [[syariat]]. |
|||
== Karakter kepemimpinan Kekhalifahan Islam == |
|||
Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa karakter pemimpin Islam ialah menganggap bahwa otoritas dan kekuasaan yang dimilikinya adalah sebuah kepercayaan (''amanah'') dari [[Islam|umat Islam]] dan bukan kekuasaan yang mutlak dan absolut. Hal ini didasarkan pada hadis yang berbunyi: |
|||
<blockquote>"''It (sovereignty) is a trust, and on the Day of Judgment it will be a thing of sorrow and humiliation except for those who were deserving of it and did well.''"</blockquote> |
|||
Hal ini sangat kontras dengan keadaan [[Eropa]] saat itu di mana kekuasaan raja sangat absolut dan mutlak.<ref>[[Omar Hossino]]. ''Classical Islamic Views on Human Nature, Political Authority, and International Relations'', 2006.</ref> |
|||
Peranan seorang kalifah telah ditulis dalam banyak sekali literatur oleh teolog islam. Imam Najm al-Din al-Nasafi menggambarkan khalifah sebagai berikut: |
|||
<blockquote>"Umat Islam tidak berdaya tanpa seorang pemimpin (''imam'', dalam hal ini khalifah) yang dapat memimpin mereka untuk menentukan keputusan, memelihara dan menjaga daerah perbatasan, memperkuat [[angkatan bersenjata]] (untuk pertahanan negara), menerima [[zakat]] mereka (untuk kemudian dibagikan), menurunkan tingkat [[rampok|perampokan]] dan pencurian, menjaga ibadah pada hari [[jumat]] ([[salat jumat]]) dan [[hari raya]], menghilangkan perselisihan di antara [[Manusia|sesama]], menghakimi dengan adil, [[pernikahan|menikahkan wanita]] yang tak memiliki [[wali]]. Sebuah keharusan bagi pemimpin untuk terbuka dan berbicara di depan orang yang dipimpinnya, tidak bersembunyi dan jauh dari [[rakyat]]nya.{{br}}Ia sebaiknya berasal dari kaum [[Quraish]] dan bukan kaum lainnya, tetapi tidak harus dikhususkan untuk [[Bani Hasyim]] atau anak-anak [[Ali bin Abi Thalib|Ali]]. Pemimpin bukanlah seseorang yang suci dari [[dosa]], dan bukan pula seorang yang paling jenius pada masanya, tetapi ia adalah seorang yang memiliki kemampuan [[administratif]] dan memerintah, mampu dan tegas dalam mengeluarkan keputusan dan mampu menjaga [[hukum Islam|hukum-hukum Islam]] untuk melindungi orang-orang yang terzalimi. Dan mampu memimpin dengan arif dan [[demokrasi|demokratif]].</blockquote> |
|||
[[Ibnu Khaldun]] kemudian menegaskan hal ini dan menjelaskan lebih jauh tentang kepemimpinan kekhahalifah secara lebih singkat:{{br}} |
|||
<blockquote>''"Kekhalifahan harus mampu menggerakan umat untuk bertindak sesuai dengan ajaran Islam dan menyeimbangkan kewajiban di dunia dan [[akhirat]]. (Kewajiban di dunia) harus seimbang (dengan kewajiban untuk akhirat), seperti yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad, semua kepentingan dunia harus mempertimbangkan keuntungan untuk kepentingan akhirat. Singkatnya, (Kekhalifahan) pada kenyataannya menggantikan [[Nabi Muhammad]], beserta sebagian tugasnya, untuk melindungi [[Islam|agama]] dan menjalankan kekuasaan politik di [[dunia]]."''</blockquote> |
|||
== Pencabutan gelar Khalifah == |
|||
Kebanyakan ulama menolak pencabutan gelar Khalifah apabila sudah terpilih. Tetapi fakta yang terjadi adalah sebaliknya, banyak pemberontakan pada masa kekhalifahan, seperti Imam Husain yang melakukan revolusi di [[Karbala]] melawan tirani Yazid atau pengkhianatan Ibnu al-Zubayr kepada Yazid, untuk kebanyakan bagian telah terbatas keberadaannya.<ref>{{cite web | title = Classical Islamic Views on Human Nature, Political Authority, and International Relations |
|||
| publisher = [[Unpublished]] | date = [[2006]] | author = [[Omar Hossino]]| accessdate = 2006-19-06 }}</ref> |
|||
Dr. Abdul Aziz Islahi berpendapat dalam masalah ini: |
|||
<blockquote>Mengikuti para filsuf Yunani, St. Thomas Aquinas juga menggunakan sudut pandang ini, [[William Archibald Dunning]] berkomentar: "Berhubungan dengan aksi-aksi individual dalam menjatuhkan pemerintahan tirani, dia (Aquinas) menemukan bahwa lebih sering orang jahat melakukan pemberontakan dibandingkan orang baik. Karena orang-orang jahat berpendapat bahwa pemerintahan raja-raja tidak kurang beratnya daripada para tiran (raja lalim, penindas), pengakuan hak-hak pribadi warga untuk membunuh para tiran lebih menyangkut lebih besarnya peluang untuk kehilangan seorang raja daripada membebaskan diri dari seorang tiran."</blockquote> |
|||
== Sejarah == |
|||
=== Khulafaur Rasyidin === |
=== Khulafaur Rasyidin === |
||
{{artikel|Kekhalifahan Rasyidin}} |
{{artikel|Kekhalifahan Rasyidin}} |
||
[[Berkas:Rashidun Caliph Abu Bakr as-Șiddīq (Abdullah ibn Abi Quhafa) - أبو بكر الصديق عبد الله بن عثمان التيمي القرشي أول الخلفاء الراشدين.svg|jmpl|150px|Kaligrafi [[Abu Bakar Ash-Shiddiq]] ''radhiallahu 'anhu'', khalifah pertama]] |
|||
Segera setelah Nabi Muhammad mangkat pada 632, Abu Bakar diangkat sebagai pemimpin umat Islam di [[Masjid Nabawi]]. Dikenal dengan sebutan ''Ash-Shiddiq'' ({{lang-ar|اَلـصِّـدِّيْـق}}, "Terpercaya"), Abu Bakar termasuk salah satu pemeluk Islam awal dan melalui putrinya, [[Aisyah|'Aisyah]], dia juga merupakan mertua Nabi. Masa kekuasaannya yang singkat dikerahkan untuk menumpas pemberontakan dari berbagai suku Arab yang merasa tidak punya tanggung jawab kesetiaan lagi pada pihak [[Madinah]] sepeninggal Nabi Muhammad.<ref name="Parolin52">Gianluca Paolo Parolin, ''Citizenship in the Arab World: Kin, Religion and Nation-state'' (Amsterdam University Press, 2009), 52.</ref> Abu Bakar sangat menjaga agar kebijakan yang dia ambil tidak berbeda dengan Nabi Muhammad. |
|||
Segera setelah kematian Muhammad pada 632, Abu Bakar di[[baiat]] sebagai pemimpin umat Islam di [[Masjid Nabawi]]. Dikenal dengan sebutan ''Ash-Shiddiq'' ({{lang-ar|اَلـصِّـدِّيْـق}}, "Tepercaya"), Abu Bakar termasuk salah satu pemeluk Islam awal dan melalui putrinya, '[[Aisyah]]. Masa kekuasaannya yang singkat dikerahkan untuk menumpas pemberontakan dari berbagai suku Arab yang merasa tidak punya tanggung jawab kesetiaan lagi pada pihak [[Madinah]] sepeninggal Muhammad.<ref name="Parolin52">Gianluca Paolo Parolin, ''Citizenship in the Arab World: Kin, Religion and Nation-state'' (Amsterdam University Press, 2009), 52.</ref> Abu Bakar sangat menjaga agar kebijakan yang dia ambil tidak berbeda dengan Muhammad. |
|||
Setelah Abu Bakar |
Setelah Abu Bakar meninggal dunia pada 634 dengan meninggalkan keadaan kekhalifahan yang mulai stabil, '[[Umar bin Khattab]] di[[baiat]] sebagai khalifah kedua. Sebagaimana Abu Bakar, 'Umar juga merupakan mertua Muhammad melalui [[Hafshah binti Umar|Hafshah]]. Di masanya, 'Umar melakukan berbagai pembaharuan dan perluasan. Tapal batas kekhalifahan meluas keluar dari semenanjung Arabia, mengakhiri riwayat [[Kekaisaran Sasaniyah]] dan mengambil alih dua pertiga wilayah [[Kekaisaran Romawi Timur]].<ref>Hourani, p. 23.</ref> Segala capaiannya menjadikan 'Umar sebagai salah satu khalifah paling berpengaruh sepanjang sejarah.<ref>Ahmed, Nazeer, ''Islam in Global History: From the Death of Prophet Muhammad to the First World War'', American Institute of Islamic History and Cul, 2001, p. 34. {{ISBN|0-7388-5963-X}}.</ref> |
||
[[Berkas:Mohammad adil-Rashidun-empire-at-its-peak-close.PNG|jmpl|kiri|Wilayah Kekhalifahan Rasyidin pada masa kekuasaan 'Utsman bin 'Affan]] |
[[Berkas:Mohammad adil-Rashidun-empire-at-its-peak-close.PNG|jmpl|kiri|Wilayah Kekhalifahan Rasyidin pada masa kekuasaan 'Utsman bin 'Affan]] |
||
[[ |
'[[Utsman bin 'Affan]] meneruskan tampuk kekhalifahan sepeninggal 'Umar dan berbeda dengan pendahulunya, 'Utsman lebih memberikan kekuasaan [[otonomi]] yang lebih longgar pada bawahannya. Hal ini menjadikan perluasan wilayah kekhalifahan dapat dilangsungkan secara lebih mandiri, sehingga dapat mencapai wilayah yang lebih jauh. Pada masanya, kekhalifahan sudah mencapai sebagian wilayah [[Khorasan Raya]] (kawasan Asia Tengah) di batas timur.<ref name="middle east">{{cite book|last1=Ochsenweld|first1=William|last2=Fisher|first2=Sydney Nettleton |authorlink2=Sydney Nettleton Fisher|title=The Middle East: A History|url=https://archive.org/details/middleeasthistor0000fish_u9b8|edition=6th |year=2004 |publisher=McGraw Hill|location=New York|isbn=978-0-07-244233-5}}</ref> Di masanya, masyarakat menjadi lebih makmur dalam masalah ekonomi dan menikmati kebebasan yang lebih besar di bidang politik. Namun 'Utsman juga dikritik dengan dalih [[Nepotisme]], karena lebih mendahulukan [[Bani Umayyah|keluarga besarnya]] untuk mengisi berbagai kedudukan penting, menjadikan munculnya gelombang demonstrasi besar-besaran yang berujung pada pengepungan rumahnya pada tahun 656. 'Utsman yang tidak ingin menjadi penyebab perang saudara menolak bantuan militer dari kerabat dan pihak lain, menjadikannya terbunuh di akhir pengepungan.<ref name="CHI">''The Cambridge History of Islam'', ed. P.M. Holt, Ann K.S. Lambton, and [[Bernard Lewis]], Cambridge, 1970</ref> |
||
'Ali mewarisi kedudukan khalifah setelahnya. Masa kekuasaannya merupakan salah satu masa-masa tersulit dalam sejarah Islam lantaran pada |
'Ali mewarisi kedudukan khalifah setelahnya. Masa kekuasaannya merupakan salah satu masa-masa tersulit dalam sejarah Islam lantaran pada masa kekuasaannya terjadi perang saudara Islam pertama yang berawal dari terbunuhnya 'Utsman. 'Ali dibunuh kelompok Khawarij<ref>{{Harvnb|Lapidus|2002|p=47}}.</ref><ref>{{Harvnb|Holt|Lambton|Lewis|1970|pp=70–72}}.</ref><ref>{{Harvnb|Tabatabaei|1979|pp=50–75 and 192}}.</ref> dan putranya, [[Hasan bin Ali|Hasan]], diangkat menjadi khalifah oleh sekelompok Muslim pada 661. Namun beberapa bulan setelahnya, Hasan menyerahkan tampuk kekhalifahan kepada Mu'awiyah<ref name="Donaldson">{{cite book|last=Donaldson|first=Dwight M.|title=The Shi'ite Religion: A History of Islam in Persia and Irak|year=1933|pp=66–78|publisher=Burleigh Press| url=https://ia800403.us.archive.org/34/items/DonaldsonDwightM.1933TheShiiteReligion/Donaldson%2C%20Dwight%20M.%201933%20-%20The%20Shi%27ite%20Religion.pdf}}</ref><ref name="Jafri">{{cite book|last1=Jafri|first1=Syed Husain Mohammad|title=The Origins and Early Development of Shi’a Islam; Chapter 6|date=2002|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0195793871}}</ref> demi menghindari perang saudara lebih lanjut.<ref>{{cite web |last1=Ayati |first1=Dr. Ibrahim |title=A Probe into the History of Ashura' |url=https://www.al-islam.org/probe-history-ashura-dr-ibrahim-ayati |website=Al-Islam.org |publisher=Ahlul Bayt Digital Islamic Library Project}}</ref> |
||
Di wilayah yang dulu dikuasai Kekaisaran Sasaniyah dan Romawi, khalifah menurunkan pajak dan memberikan kelonggaran otonomi melalui gubernur pilihan mereka. Berkebalikan dengan Romawi, khalifah memberikan kebebasan beragama yang lebih luas dan memberikan masyarakat non-Muslim hak otonomi untuk mengatur urusan mereka sendiri. Segala kebijakan ini mengangkat moral dan kepercayaan masyarakat yang selama ini terbebani dengan pajak tinggi dan segala kekacauan yang diakibatkan [[Perang Romawi-Persia]] yang berturut-turut.<ref>[[John Esposito]] (1992)</ref> |
Di wilayah yang dulu dikuasai Kekaisaran Sasaniyah dan Romawi, khalifah menurunkan pajak dan memberikan kelonggaran otonomi melalui gubernur pilihan mereka. Berkebalikan dengan Romawi, khalifah memberikan kebebasan beragama yang lebih luas dan memberikan masyarakat non-Muslim hak otonomi untuk mengatur urusan mereka sendiri. Segala kebijakan ini mengangkat moral dan kepercayaan masyarakat yang selama ini terbebani dengan pajak tinggi dan segala kekacauan yang diakibatkan [[Perang Romawi-Persia]] yang berturut-turut.<ref>[[John Esposito]] (1992)</ref> |
||
Kerap dipandang sebagai bentuk ideal kekhalifahan oleh banyak umat Islam, khalifah pada masa ini memegang peran sebagai pemimpin umat Islam dalam urusan dunia dan agama. Tidak hanya dalam urusan kenegaraan, para khalifah juga merupakan pengambil keputusan dalam berbagai urusan yang berkaitan dengan ibadah. Kekhalifahan sendiri cenderung berwujud negara kesatuan pada masa ini dan para gubernur secara hierarkis berada di bawah khalifah. |
|||
=== Bani Umayyah === |
|||
=== Wangsa Umayyah === |
|||
{{artikel|Bani Umayyah}} |
{{artikel|Bani Umayyah}} |
||
Setelah Hasan bin 'Ali turun takhta pada 661, [[Mu'awiyah bin Abu Sufyan|Mu'awiyah]] berkuasa sebagai khalifah. Penetapan [[Yazid bin Muawiyah|putranya]] |
Setelah Hasan bin 'Ali turun takhta pada 661, [[Mu'awiyah bin Abu Sufyan|Mu'awiyah]] berkuasa sebagai khalifah. Penetapan [[Yazid bin Muawiyah|putranya]] sebagai putra mahkota membuat bentuk kekhalifahan berubah menjadi monarki dinasti yang kedudukan kepala negaranya diwariskan hanya di antara keluarga besar penguasa sebelumnya, dan dari sinilah Wangsa Umayyah lahir.<ref>{{cite book | url=https://books.google.com/books?id=H_m14NlQQMYC&pg=PA129| last=Cavendish | first=Marshall |title=Islamic Beliefs, Practices, and Cultures| chapter=6| page=129|year=2010 | isbn=978-0-7614-7926-0 }}</ref> Secara silsilah, khalifah dari Wangsa Umayyah terbagi menjadi dua: |
||
* Kelompok Sufyani, yakni yang merupakan keturunan dari [[Abu Sufyan bin Harb]]. Ada tiga orang khalifah yang berasal dari garis Sufyani. |
* Kelompok Sufyani, yakni yang merupakan keturunan dari [[Abu Sufyan bin Harb]]. Ada tiga orang khalifah yang berasal dari garis Sufyani. |
||
Baris 81: | Baris 54: | ||
[[Berkas:Umayyad750ADloc.png|jmpl|kiri|Wilayah kekhalifahan pada masa Bani Umayyah, 750]] |
[[Berkas:Umayyad750ADloc.png|jmpl|kiri|Wilayah kekhalifahan pada masa Bani Umayyah, 750]] |
||
Wangsa Umayyah melanjutkan perluasan wilayah kekhalifahan, meliputi kawasan [[Transoxiana]], [[Sindh]], [[Arab Maghrib]], dan [[Al-Andalus]]ia, menjadikan kekhalifahan saat itu sebagai salah satu [[Daftar imperium terbesar|kekaisaran terbesar di dunia yang pernah ada]], baik dari segi luas wilayah maupun populasi, dengan luas mencakup 11,100,000 |
Wangsa Umayyah melanjutkan perluasan wilayah kekhalifahan, meliputi kawasan [[Transoxiana]], [[Sindh]], [[Arab Maghrib]], dan [[Al-Andalus]]ia, menjadikan kekhalifahan saat itu sebagai salah satu [[Daftar imperium terbesar|kekaisaran terbesar di dunia yang pernah ada]], baik dari segi luas wilayah maupun populasi, dengan luas mencakup 11,100,000 km<sup>2</sup> dengan penduduk sekitar 33 juta jiwa.<ref name=Blankinship>{{citation|title=The End of the Jihad State, the Reign of Hisham Ibn 'Abd-al Malik and the collapse of the Umayyads|first=Khalid Yahya|last=Blankinship|publisher=[[State University of New York Press]]|year=1994|isbn=0-7914-1827-8|page=37}}</ref> |
||
Pada masa Umayyah, bahasa Arab ditetapkan sebagai bahasa resmi dari kekhalifahan yang terdiri dari penduduk multi-etnis tersebut. Perpindahan agama besar-besaran menjadi mualaf juga terjadi pada masa Umayyah. Pembangunan banyak bangunan Muslim bersejarah juga dibangun pada masa ini, seperti [[Kubah Shakhrah]] di kompleks [[Masjid Al-Aqsha|Masjid Al Aqsha]] dan [[Masjid Agung Umayyah |
Pada masa Umayyah, bahasa Arab ditetapkan sebagai bahasa resmi dari kekhalifahan yang terdiri dari penduduk multi-etnis tersebut. Perpindahan agama besar-besaran menjadi mualaf juga terjadi pada masa Umayyah. Pembangunan banyak bangunan Muslim bersejarah juga dibangun pada masa ini, seperti [[Kubah Shakhrah]] di kompleks [[Masjid Al-Aqsha|Masjid Al Aqsha]] dan [[Masjid Agung Umayyah]].<ref name=Previte-Orton236>Previté-Orton (1971), pg 236</ref> Umayyah juga memberikan kebebasan beragama pada umat non-Muslim dan meskipun mereka tidak bisa menempati hierarki teratas lembaga-lembaga penting, banyak yang menjadi pejabat tinggi di pemerintahan, menjadikan sebagian kalangan Muslim menilai bahwa Wangsa Umayyah terlalu sekuler.<ref>{{Cite news|url=https://www.britannica.com/topic/Umayyad-dynasty-Islamic-history|title=Umayyad dynasty {{!}} Islamic history|work=Encyclopedia Britannica|access-date=2017-03-26|language=en}}</ref> Umayyah juga mampu menyerap dan menghidupkan berbagai kebudayaan asli dari bangsa-bangsa yang telah tergabung dalam naungan kekhalifahan, salah satunya tercermin dari arsitektur.<ref>{{harvnb|Menocal|2015|p=19}}</ref> [[Masjid Agung Umayyah]] sebelumnya merupakan [[katedral]] Kristen yang dipersembahkan untuk [[Yohanes Pembaptis]] ([[Yahya]] dalam Islam) yang awalnya merupakan kuil Romawi untuk pemujaan [[Yupiter (mitologi)|Dewa Yupiter]].<ref>Burns, 2005, p.88.</ref><ref>Grafman and Rosen-Ayalon, 1999, p.7.</ref> |
||
Terlepas dari segala capaiannya, Umayyah dikritik karena sangat menganakemaskan Muslim Arab dibandingkan Muslim dari etnis lain yang jumlahnya semakin besar. Pembunuhan [[Husain bin Ali|Husain]] dalam [[Pertempuran Karbala]] pada 680 oleh pihak Umayyah menjadikan perpecahan antara Sunni dan Syiah semakin nyata.<ref name=econ1>{{cite news| url=https://www.economist.com/blogs/economist-explains/2013/05/economist-explains-19 | work=The Economist | title=What is the difference between Sunni and Shia Muslims? | date=28 May 2013}}</ref> [[Perang saudara Islam ketiga|Perang saudara]] juga melanda kekhalifahan mulai tahun 744, menjadikan kendali Wangsa Umayyah atas negara melemah. Gelombang non-Arab yang menjadi mualaf juga mengubah keadaan dalam negeri kekhalifahan karena banyak dari mereka yang lebih terdidik dari bangsa Arab sendiri, sehingga mengubah keadaan politik dalam kekhalifahan.<ref>Previté-Orton (1971), vol. 1, pg. 239</ref> Pada akhirnya, pendukung [[Banu Hasyim|Bani Hasyim]] dan garis keturunan 'Ali berhasil meruntuhkan kekuasaan Umayyah pada 750. Banyak anggota Wangsa Umayyah yang dibunuh setelahnya, di antaranya adalah [[Marwan bin Muhammad]] yang merupakan khalifah terakhir dari Wangsa Umayyah di Syam. Di antara anggota Wangsa Umayyah yang selamat adalah [[Abdurrahman Ad Dakhil|'Abdurrahman |
Terlepas dari segala capaiannya, Umayyah dikritik karena sangat menganakemaskan Muslim Arab dibandingkan Muslim dari etnis lain yang jumlahnya semakin besar. Pembunuhan [[Husain bin Ali|Husain]] dalam [[Pertempuran Karbala]] pada 680 oleh pihak Umayyah menjadikan perpecahan antara Sunni dan Syiah semakin nyata.<ref name=econ1>{{cite news| url=https://www.economist.com/blogs/economist-explains/2013/05/economist-explains-19 | work=The Economist | title=What is the difference between Sunni and Shia Muslims? | date=28 May 2013}}</ref> [[Perang saudara Islam ketiga|Perang saudara]] juga melanda kekhalifahan mulai tahun 744, menjadikan kendali Wangsa Umayyah atas negara melemah. Gelombang non-Arab yang menjadi mualaf juga mengubah keadaan dalam negeri kekhalifahan karena banyak dari mereka yang lebih terdidik dari bangsa Arab sendiri, sehingga mengubah keadaan politik dalam kekhalifahan.<ref>Previté-Orton (1971), vol. 1, pg. 239</ref> Pada akhirnya, pendukung [[Banu Hasyim|Bani Hasyim]] dan garis keturunan 'Ali berhasil meruntuhkan kekuasaan Umayyah pada 750. Banyak anggota Wangsa Umayyah yang dibunuh setelahnya, di antaranya adalah [[Marwan bin Muhammad]] yang merupakan khalifah terakhir dari Wangsa Umayyah di Syam. Di antara anggota Wangsa Umayyah yang selamat adalah [[Abdurrahman Ad Dakhil|'Abdurrahman ad-Dakhil]] yang mengungsi ke Al-Andalus dan berkuasa di sana. |
||
Pada masa Umayyah, dimensi keagamaan dalam gelar khalifah memudar seiring menurunnya akhlak dan keagamaan dari sebagian khalifah. Ibnu Katsir menyebutkan kepribadian Khalifah Yazid yang suka mabuk-mabukan.<ref>{{cite book |last1=Ibn Kathir |title=Al-Bidāya wa-n-Nihāya, Volume 8 |pages=235-236}}</ref> Dari semua khalifah dari Wangsa Umayyah, [[Umar bin Abdul-Aziz|'Umar bin 'Abdul 'Aziz]] dikenal yang paling saleh dan kerap dipandang sebagai ''khulafaur rasyidin'' kelima. Meski begitu, peran khalifah sebagai kepala negara dari seluruh dunia Islam masih terjaga. |
|||
=== Bani Abbasyiah === |
|||
=== Wangsa Abbasyiah === |
|||
{{artikel|Bani Abbasiyah}} |
{{artikel|Bani Abbasiyah}} |
||
[[Berkas:Abbasid Caliphate 891-892.png|jmpl|kiri|Wilayah kekhalifahan pada masa Bani Abbasiyah, sekitar 892. Warna hijau gelap merupakan wilayah yang secara langsung dikuasai khalifah.]] |
[[Berkas:Abbasid Caliphate 891-892.png|jmpl|kiri|Wilayah kekhalifahan pada masa Bani Abbasiyah, sekitar 892. Warna hijau gelap merupakan wilayah yang secara langsung dikuasai khalifah.]] |
||
Wangsa Abbasiyah memegang tampuk kekhalifahan setelah kekuasaan Umayyah di [[Syam]] runtuh pada 750. Keluarga besar ini merupakan keturunan dari [[Abbas bin |
Wangsa Abbasiyah memegang tampuk kekhalifahan setelah kekuasaan Umayyah di [[Syam]] runtuh pada 750. Keluarga besar ini merupakan keturunan dari [[Abbas bin Abdul Muthalib]], paman Nabi Muhammad. Berpusat di kawasan [[Mesopotamia]], Abbasiyah mengadopsi secara besar-besaran kebudayaan Persia ke dalam tubuh kekhalifahan.<ref>{{cite book|last1=Canfield|first1=Robert L.|title=Turko-Persia in Historical Perspective|date=2002|publisher=Cambridge University Press|isbn=9780521522915|page=5}}</ref> |
||
Pada keberjalanannya, wilayah kekuasaan khalifah pada masa Abbasiyah perlahan semakin menyusut hingga hanya di sekitar Mesopotamia. Banyak pihak mendirikan dinasti mereka sendiri dan menguasai suatu bagian dari dunia Islam seperti [[Idrisiyyah|Wangsa Idrisiyyah]] yang menguasai [[Maroko]], [[Aghlabiyyah]] yang memerintah di [[Ifriqiya]], [[Dinasti Thuluniyah]] di Mesir dan Palestina, [[Dinasti Buwayhiyah|Bani Buwaih]] di Iran, [[Dinasti Samaniyah]] di Transoxiana, dan [[Kesultanan Seljuk Raya|Seljuk]] yang menguasai wilayah yang sangat luas di kawasan Timur Tengah, Kaukasus, dan Asia Tengah. Sebagian dari penguasa dinasti ini menggunakan gelar [[amir]] atau bahkan ''[[Syah (gelar)|syahansyah]]'' (raja diraja), gelar penguasa Persia pra-Islam. Pada masa ini mulai muncul gelar sultan yang mulai digunakan untuk kepala negara Muslim dan mulai menggeser penggunaan gelar amir. Meski banyak dari dinasti baru ini menguasai wilayah yang jauh lebih luas dari khalifah sendiri dan memerintah secara mandiri tanpa campur tangan khalifah, tetapi para amir dan sultan ini tetap mengakui kedaulatan khalifah atas mereka secara simbolis dan khalifah tetap dipandang sebagai pemimpin dunia Islam secara keseluruhan. |
Pada keberjalanannya, wilayah kekuasaan khalifah pada masa Abbasiyah perlahan semakin menyusut hingga hanya di sekitar Mesopotamia. Banyak pihak mendirikan dinasti mereka sendiri dan menguasai suatu bagian dari dunia Islam seperti [[Idrisiyyah|Wangsa Idrisiyyah]] yang menguasai [[Maroko]], [[Aghlabiyyah]] yang memerintah di [[Ifriqiya]], [[Dinasti Thuluniyah]] di Mesir dan Palestina, [[Dinasti Buwayhiyah|Bani Buwaih]] di Iran, [[Dinasti Samaniyah]] di Transoxiana, dan [[Kesultanan Seljuk Raya|Seljuk]] yang menguasai wilayah yang sangat luas di kawasan Timur Tengah, Kaukasus, dan Asia Tengah. Sebagian dari penguasa dinasti ini menggunakan gelar [[amir]] atau bahkan ''[[Syah (gelar)|syahansyah]]'' (raja diraja), gelar penguasa Persia pra-Islam. Pada masa ini mulai muncul gelar sultan yang mulai digunakan untuk kepala negara Muslim dan mulai menggeser penggunaan gelar amir. Meski banyak dari dinasti baru ini menguasai wilayah yang jauh lebih luas dari khalifah sendiri dan memerintah secara mandiri tanpa campur tangan khalifah, tetapi para amir dan sultan ini tetap mengakui kedaulatan khalifah atas mereka secara simbolis dan khalifah tetap dipandang sebagai pemimpin dunia Islam secara keseluruhan. |
||
Baris 99: | Baris 74: | ||
Sastra dan literatur juga menjadi salah satu perhatian pada masa ini. Salah satu fiksi dari dunia Islam yang terkenal hingga saat ini, [[Seribu Satu Malam]], yang merupakan kumpulan hikayat dan legenda, utamanya dikumpulkan pada masa Abbasiyah. Epik ini diyakini mulai terbentuk pada abad kesepuluh dan mencapai bentuk akhirnya pada abad keempat belas, jumlah dan jenis ceritanya berbeda-beda antara satu manuskrip dengan yang lain.<ref name="arabianNights">{{Harvnb | Grant | Clute | 1999 | p = 51}}.</ref> Syair Arab juga mencapai puncaknya pada masa ini. Salah satu syair terkenal dalam masalah percintaan adalah Layla dan Majnun.<ref>{{harvnb|Clinton|2000|pp=15–16}}</ref> Berbeda pada masa kekhalifahan sebelumnya, peran perempuan dalam ranah publik memudar di zaman Abbasiyah.{{sfn|Ahmed|1992|pp=112–15}} Budaya Persia pra-Islam, utamanya di kalangan atas, sangat ketat dalam melakukan pemisahan dunia laki-laki dan perempuan. Perempuan kalangan atas hidup dipingit dalam [[harem]] sebagai lambang kesucian dan tingginya status sosial keluarga yang bersangkutan.<ref name=seclusion-patel>{{cite encyclopedia|author=Youshaa Patel|title=Seclusion|encyclopedia=The Oxford Encyclopedia of Islam and Women|publisher=Oxford University Press|location=Oxford|year=2013|url=http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t355/e0184|subscription=yes}}</ref><ref name=seclusion-doumato>{{cite encyclopedia|author=Eleanor Abdella Doumato|title=Seclusion|encyclopedia=The Oxford Encyclopedia of the Islamic World|editor=John L. Esposito|publisher=Oxford University Press|location=Oxford|year=2009|url=http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t236/e0713|subscription=yes}}</ref> Norma tersebut kemudian diadopsi Abbasiyah dan diikuti banyak umat Muslim pada masa-masa berikutnya.<ref name=seclusion-doumato/> |
Sastra dan literatur juga menjadi salah satu perhatian pada masa ini. Salah satu fiksi dari dunia Islam yang terkenal hingga saat ini, [[Seribu Satu Malam]], yang merupakan kumpulan hikayat dan legenda, utamanya dikumpulkan pada masa Abbasiyah. Epik ini diyakini mulai terbentuk pada abad kesepuluh dan mencapai bentuk akhirnya pada abad keempat belas, jumlah dan jenis ceritanya berbeda-beda antara satu manuskrip dengan yang lain.<ref name="arabianNights">{{Harvnb | Grant | Clute | 1999 | p = 51}}.</ref> Syair Arab juga mencapai puncaknya pada masa ini. Salah satu syair terkenal dalam masalah percintaan adalah Layla dan Majnun.<ref>{{harvnb|Clinton|2000|pp=15–16}}</ref> Berbeda pada masa kekhalifahan sebelumnya, peran perempuan dalam ranah publik memudar di zaman Abbasiyah.{{sfn|Ahmed|1992|pp=112–15}} Budaya Persia pra-Islam, utamanya di kalangan atas, sangat ketat dalam melakukan pemisahan dunia laki-laki dan perempuan. Perempuan kalangan atas hidup dipingit dalam [[harem]] sebagai lambang kesucian dan tingginya status sosial keluarga yang bersangkutan.<ref name=seclusion-patel>{{cite encyclopedia|author=Youshaa Patel|title=Seclusion|encyclopedia=The Oxford Encyclopedia of Islam and Women|publisher=Oxford University Press|location=Oxford|year=2013|url=http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t355/e0184|subscription=yes}}</ref><ref name=seclusion-doumato>{{cite encyclopedia|author=Eleanor Abdella Doumato|title=Seclusion|encyclopedia=The Oxford Encyclopedia of the Islamic World|editor=John L. Esposito|publisher=Oxford University Press|location=Oxford|year=2009|url=http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t236/e0713|subscription=yes}}</ref> Norma tersebut kemudian diadopsi Abbasiyah dan diikuti banyak umat Muslim pada masa-masa berikutnya.<ref name=seclusion-doumato/> |
||
Berbeda pada masa sebelumnya, kekhalifahan sudah tidak bisa dikatakan sebagai negara kesatuan lagi. Banyak dinasti baru bermunculan dan pemimpin mereka berkuasa secara berdaulat tanpa campur tangan khalifah. Meski begitu, mereka masih memberikan ketundukkan mereka kepada khalifah meski hanya sebatas formalitas. Khalifah sendiri masih memiliki peran sebagai kepala negara sebagai penguasa di kawasan Mesopotamia. Peran khalifah sebagai kepala negara baru benar-benar lenyap setelah [[Hulagu Khan]] menduduki Baghdad pada 1258 dan membunuh Khalifah [[Al-Musta'shim|'Abdullah Al-Musta'shim]]. Setelah peristiwa tersebut, dunia Islam mengalami kekosongan dari kepemimpinan khalifah selama sekitar tiga tahun. Dari naiknya Wangsa Abbasiyah setelah penggulingan Umayyah sampai jatuhnya Baghdad, terdapat 37 khalifah. |
|||
==== Bani Abbasiyah di Kairo ==== |
==== Bani Abbasiyah di Kairo ==== |
||
Setelah jatuhnya Baghdad, anggota Wangsa Abbasiyah yang selamat melarikan diri ke Mesir yang saat itu dikuasai [[Kesultanan Mamluk (Kairo)|Kesultanan Mamluk]] dan melanjutkan tampuk kekhalifahan di sana mulai tahun 1261. Namun berbeda saat masih di Baghdad, khalifah pada masa ini sama sekali tidak memiliki wilayah kekuasaan. Khalifah hanya mengurus permasalahan upacara dan keagamaan, sementara kekuatan politiknya sangat terbatas. Hal ini mejadikan khalifah sering terombang-ambing saat terjadi guncangan di pemerintahan Mesir. Tidak hanya mampu menunjuk khalifah baru yang dikehendaki, Sultan Mamluk bahkan mampu menggulingkan khalifah yang masih bertakhta saat terjadi perselisihan. Keadaan tersebut membuat khalifah pada periode ini sering disebut sebagai "khalifah bayangan". |
Setelah jatuhnya Baghdad, anggota Wangsa Abbasiyah yang selamat melarikan diri ke Mesir yang saat itu dikuasai [[Kesultanan Mamluk (Kairo)|Kesultanan Mamluk]] dan melanjutkan tampuk kekhalifahan di sana mulai tahun 1261. Namun berbeda saat masih di Baghdad, khalifah pada masa ini sama sekali tidak memiliki wilayah kekuasaan. Khalifah hanya mengurus permasalahan upacara dan keagamaan, sementara kekuatan politiknya sangat terbatas. Peran khalifah sebagai pemimpin umat Islam yang tadinya memiliki kekuatan politik sebagai kepala negara bergeser menjadi sepenuhnya hanya sekadar simbol. Hal ini mejadikan khalifah sering terombang-ambing saat terjadi guncangan di pemerintahan Mesir. Tidak hanya mampu menunjuk khalifah baru yang dikehendaki, Sultan Mamluk bahkan mampu menggulingkan khalifah yang masih bertakhta saat terjadi perselisihan. Keadaan tersebut membuat khalifah pada periode ini sering disebut sebagai "khalifah bayangan". |
||
Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1517 saat [[Kesultanan Utsmaniyah|Kesultanan Utsmani]] yang berpusat di Konstantinopel menduduki Mesir, mengakhiri riwayat Mamluk. Khalifah saat itu, Muhammad Al-Mutawakkil, kemudian menyerahkan gelar khalifah kepada Sultan Utsmani, [[Selim I]], menandai berakhirnya peran Wangsa Abbasiyah dan [[Suku Quraisy|Quraisy]] sebagai khalifah. Dari tahun 1261 sampai penaklukkan Mesir oleh Utsmani, terdapat 17 khalifah. Di antara mereka, tiga khalifah menjabat sebanyak dua kali dan seorang khalifah menjabat sebanyak tiga kali. Secara keseluruhan, Wangsa Abbasiyah menyandang gelar khalifah selama hampir tujuh setengah abad, menjadikannya sebagai dinasti terlama yang memegang peran sebagai pemimpin dunia Islam ini sepanjang sejarah kekhalifahan. |
Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1517 saat [[Kesultanan Utsmaniyah|Kesultanan Utsmani]] yang berpusat di Konstantinopel menduduki Mesir, mengakhiri riwayat Mamluk. Khalifah saat itu, Muhammad Al-Mutawakkil, kemudian menyerahkan gelar khalifah kepada Sultan Utsmani, [[Selim I]], menandai berakhirnya peran Wangsa Abbasiyah dan [[Suku Quraisy|Quraisy]] sebagai khalifah. Dari tahun 1261 sampai penaklukkan Mesir oleh Utsmani, terdapat 17 khalifah. Di antara mereka, tiga khalifah menjabat sebanyak dua kali dan seorang khalifah menjabat sebanyak tiga kali. Secara keseluruhan, Wangsa Abbasiyah menyandang gelar khalifah selama hampir tujuh setengah abad, menjadikannya sebagai dinasti terlama yang memegang peran sebagai pemimpin dunia Islam ini sepanjang sejarah kekhalifahan. |
||
=== |
=== Wangsa Utsmaniyah === |
||
{{artikel| |
{{artikel|Kekhalifahan Utsmaniyah}} |
||
Sebelum menjadi sebuah kekaisaran lintas benua, Utsmani awalnya adalah sebuah kadipaten kecil di kawasan [[Anatolia]] yang merupakan bawahan Kesultanan Seljuk. Saat Seljuk di ambang keruntuhan, kadipaten-kadipaten di Anatolia memerdekakan diri, termasuk kadipaten yang berada di bawah pimpinan [[Osman I|Osman]]. Perlahan kadipaten yang dipimpin Osman dan keturunannya meluaskan wilayah dan menyatukan kadipaten yang lain, juga mulai meluaskan wilayahnya ke kawasan Balkan. Anak keturunannya menggunakan nama Osman untuk nama dinasti dan negara mereka yang semakin berkembang ini, yang kemudian dieja menjadi Utsman atau Utsmaniyah di Indonesia dan Ottoman di Barat. |
|||
Bersamaan dengan bertambah kuatnya [[Kesultanan Usmaniyah]], para pemimpinnya mulai mengklaim diri mereka sebagai Khalifah. Klaim mereka ini kemudian bertambah kuat ketika mereka berhasil mengalahkan [[Kesultanan Mamluk]] pada tahun [[1517]] dan menguasai sebagian besar tanah [[Jazirah Arab|Arab]]. Khalifah Abbasyiah terakhir di [[Kairo]], [[Al-Mutawakkil III]], dipenjara dan dikirim ke [[Istambul]]. Kemudian, dia dipaksa menyerahkan kekuasaannya ke [[Selim I]]. |
|||
Seiring menguatnya Kesultanan Utsmaniyah, para pemimpin mereka mulai mengklaim gelar khalifah untuk diri mereka sendiri, meski saat itu Wangsa Abbasiyah yang berada di Mesir masih memegang gelar ini dari generasi ke generasi. Klaim Utsmani atas kepemimpinan dunia Islam semakin menguat saat di bawah kepemimpinan Selim I, mereka menaklukkan Kesultanan Mamluk yang menguasai [[Mesir pada Abad Pertengahan|Mesir]], [[Syam]], dan [[Hijaz]] pada 1517. Wangsa Abbasiyah yang sejak tahun 1261 hidup dalam perlindungan Mamluk kemudian menyerahkan kedudukan mereka sebagai khalifah kepada pihak Utsmani, menjadikan Selim secara resmi sebagai khalifah pertama dari Wangsa Utsmani dan non-Arab. |
|||
Walaupun begitu, banyak Kekaisaran Usmaniyah yang memilih untuk menyebut diri mereka sebagai [[Sultan]], daripada sebagai Khalifah. Hanya [[Mehmed II]] dan cucunya, [[Selim]], yang menggunakan gelar khalifah sebagai pengakuan bahwa mereka adalah pemimpin negara [[Islam]].[[Berkas:OttomanEmpireIn1683.png|200px|jmpl|Kekaisaran Usmaniyah (1683)]] |
|||
[[Berkas:Yavuz Mısır Seferi.jpg|jmpl|kiri|Lukisan Sultan [[Selim I]] di Mesir. Selim I secara resmi menjadi khalifah setelah penaklukkan Mesir.]] |
|||
Menurut Barthold, saat di mana gelar Khalifah digunakan untuk kepentingan [[politik]] daripada sekadar simbol [[agama]] untuk pertama kalinya adalah ketika Kekaisaran Usmaniyah membuat perjanjian damai dengan [[Rusia]] pada tahun [[1774]]. Sebelum perjanjian ini dibuat, Kekaisaran Usmaniyah berperang dengan [[Kekaisaran Rusia|Kekaisaran Kristen Rusia]], mengakibatkan kekaisaran kehilangan sebagian besar wilayahnya, termasuk juga memiliki populasi tinggi seperti misalnya daerah [[Crimea]]. Dalam surat perjanjian damai dengan Rusia, kekaisaran Usmaniyah, di bawah kepemimpinan [[Abdulhamid I]], menyatakan bahwa mereka akan tetap melindungi umat Islam yang berada di wilayah yang kini menjadi wilayah Rusia. Ini adalah pertama kalinya Kekhalifahan Usmaniyah diakui secara [[politik]] oleh kekuatan Eropa. |
|||
Semenjak jatuhnya Baghdad, khalifah kehilangan fungsinya sebagai kepala negara dan hanya berperan sebagai pemimpin dunia Islam secara simbolis. Keadaan itu sebenarnya tetap tidak berubah pada masa Utsmani. Para penguasa Utsmani memiliki kekuatan politik atas kedudukan mereka sebagai sultan dan ''padisyah'', bukan karena status mereka sebagai khalifah. Pada praktiknya, penguasa Utsmani sangat jarang menggunakan gelar khalifah pada percaturan politik di dalam dan luar negeri. |
|||
Di masa-masa selanjutnya, status penguasa Utsmani sebagai sultan melemah seiring bergesernya kendali pemerintahan di tangan wazir agung (perdana menteri) dan tokoh-tokoh terkemuka lain, tetapi fungsi khalifah justru makin berkembang. Gelar khalifah mulai digunakan saat [[Perjanjian Küçük Kaynarca]] (1774) yang dilakukan antara pihak Kesultanan Utsmani yang saat itu dipimpin [[Abdul Hamid I|Sultan Abdul Hamid I]] (berkuasa 1773 – 1789) dan [[Kekaisaran Rusia]] yang dipimpin [[Yekaterina II dari Rusia|Maharani Yekaterina II]]. Atas kemenangan Rusia atas Utsmani pada Perang Kozludzha, Utsmani dipaksa mengakui kedaulatan [[Kekhanan Krimea]] yang awalnya merupakan bawahan Utsmani dalam Perjanjian Küçük Kaynarca. Meski secara politik kehilangan Krimea, Abdul Hamid I menggunakan statusnya sebagai khalifah untuk menegaskan kepemimpinan keagamaannya atas Muslim Krimea. Yekaterina sendiri juga mengklaim sebagai pelindung umat Kristen Ortodoks di wilayah Utsmani pada perjanjian ini.<ref name="Cambridge">{{cite book |title=The Cambridge History of Islam I: The Central Islamic Lands |year=1970 |publisher=Cambridge University Press |language=tr}}</ref> Dari perjanjian ini, status khalifah yang merupakan pemimpin dunia Islam mulai berkembang dari yang hanya sekadar simbol menjadi sebuah gelar yang memiliki kekuatan politik. |
|||
Sebagai hasilnya, meskipun wilayah kekuasaan Usmaniyah menjadi sempit namun kekuatan diplomatik dan militer Usmaniyah semakin meningkat. Sekitar tahun 1880 Sultan Abdulhamid II menegaskan kembali status kekhalifahannya sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme [[Eropa]] yang semakin menjadi-jadi. Klaimnya ini didukung sepenuhnya oleh Muslim di [[India]], yang ketika itu dalam cengkraman penjajahan [[Inggris]]. Pada [[Perang Dunia I]], Kekhalifahan Usmaniyah, dengan mengesampingkan betapa lemahnya mereka dihadapan kekuatan Eropa, menjadi negara Islam yang paling besar dan paling kuat di dunia. |
|||
Di antara semua penguasa Utsmani, [[Sultan Abdul Hamid II]] (berkuasa 1876 – 1909) adalah yang paling sering menggunakan kedudukannya sebagai khalifah. Melalui statusnya sebagai khalifah, Abdul Hamid II berusaha menyatukan masyarakatnya yang multi-etnis atas dasar agama sebagai reaksi atas keadaan Utsmani yang semakin melemah dan terpecah,<ref>M.Sükrü Hanioglu, A Brief History of the Late Ottoman Empire, 130.</ref> juga menghimpun kekuatan dari seluruh dunia Islam untuk bersatu dalam melawan imperialisme Barat. Upayanya ini mengancam negara-negara Eropa, yakni Austria melalui Muslim Albania, Rusia melalui Tatar dan Kurdi, Prancis melalui Muslim Maroko, dan Britania Raya melalui Muslim India.<ref name="Takkush, Mohammed Suhail pp.489,490">Takkush, Mohammed Suhail, "The Ottoman's History" pp.489,490</ref> Upaya ini membuahkan hasil dalam beberapa hal. Setelah kemenangan Utsmani pada [[Perang Yunani-Turki (1897)|Perang Yunani-Turki]], banyak umat Muslim memandang ini sebagai kemenangan Muslim. Pemberontakan dan penolakan penjajahan bangsa Eropa dilaporkan di surat kabar di berbagai wilayah Muslim.<ref name="Takkush, Mohammed Suhail pp.489,490"/><ref>Lewis.B, "The Emergence of Modern Turkey" Oxford, 1962, p.337</ref> |
|||
Meski berupaya menyatukan dunia Islam, atas permintaan duta Amerika untuk Utsmani Oscar Straus, Abdul Hamid II sepakat untuk menulis surat kepada [[Suku Suluk]] di [[Kesultanan Sulu]] agar mereka tidak melakukan perlawanan kepada Amerika. Hal ini menjadikan Muslim Sulu mengakui kedaulatan Amerika atas mereka.<ref name="Karpat2001">{{cite book|author=Kemal H. Karpat|title=The Politicization of Islam: Reconstructing Identity, State, Faith, and Community in the Late Ottoman State|url=https://books.google.com/books?id=PvVlS3ljx20C&pg=PA235|year=2001|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0-19-513618-0|page=235}}</ref><ref name="Karpat2001"/><ref name="Yegar2002">{{cite book|author=Moshe Yegar|title=Between Integration and Secession: The Muslim Communities of the Southern Philippines, Southern Thailand, and Western Burma/Myanmar|url=https://books.google.com/books?id=S5q7qxi5LBgC&pg=PA397|date=1 January 2002|publisher=Lexington Books|isbn=978-0-7391-0356-2|page=397}}</ref> |
|||
Terlepas dari segala hasil yang dicapai, upaya Abdul Hamid II dalam menyatukan masyarakat dengan identitas Islam tidak sepenuhnya berhasil. Hal ini karena besarnya jumlah populasi non-Muslim dan pengaruh Eropa atas Utsmani.<ref name="ReferenceC">Dr. Bayram Kodaman, The Hamidiye Light Cavalry Regiments (Abdullmacid II and Eastern Anatolian Tribes)</ref> Setelah Abdul Hamid II digulingkan pada 1909, baik status Sultan Utsmani maupun khalifah kehilangan kekuatan politiknya. |
|||
== Khalifah lain == |
|||
Sebagai posisi pemimpin dunia Islam, idealnya hanya ada satu khalifah dalam satu masa. Namun sejarah menyaksikan bahwa dalam beberapa kurun waktu, terdapat beberapa pihak yang mengklaim gelar khalifah selain khalifah utama. Beberapa alasan yang mendasarinya adalah reaksi penolakan atas kebijakan tertentu dari khalifah, kekuatan khalifah utama yang semakin memudar, atau pihak-pihak terkait merasa telah memiliki pengaruh yang cukup besar sehingga dipandang sebagai pemimpin dunia Islam. Mereka ini tidak dimasukkan ke dalam daftar khalifah utama atas dasar mereka klaim mereka sebagai khalifah tidak tersambung dengan khalifah sebelumnya. |
|||
Pernyataan pihak-pihak lain ini sebagai khalifah tidak berarti bahwa mereka menyatakan diri sejajar dengan khalifah utama. Khalifah adalah posisi untuk pemimpin dunia Islam dan harusnya hanya ada satu khalifah pada satu masa. Saat pihak ini menyatakan dirinya sebagai khalifah, mereka menyatakan kepemimpinan atas seluruh umat Islam (terlepas wilayah kekuasaan mereka secara ''[[de facto]]'') dan sekaligus memandang pihak lain sebagai khalifah yang tidak sah.<ref name="Wasserstein">{{cite book |last=Wasserstein |first=David |title=The Caliphate in the West: An Islamic Political Institution in the Iberian Peninsula |url=https://books.google.com/books?id=N2SKAAAAMAAJ&q=text+letter |format=snippet view |accessdate=5 September 2010 |year=1993 |publisher=Clarendon Press |location=Oxford |isbn=978-0-19-820301-8 |page=11}}</ref> |
|||
=== 'Abdullah bin Zubair === |
|||
'[[Abdullah bin Zubair]] adalah salah satu pihak awal yang melakukan pernyataan diri sebagai khalifah dan menjadi khalifah paralel saat Wangsa Umayyah di Damaskus juga masih menyandang gelar ini. Ayahnya adalah [[Zubair bin Awwam]], keponakan [[Khadijah binti Khuwailid]] dari jalur ayah dan sepupu [[Muhammad]] dari jalur ibu. Ibunya adalah [[Asma' binti Abu Bakar|Asma']], putri [[Abu Bakar Ash-Shiddiq|Khalifah Abu Bakar]] dan kakak ipar Muhammad. |
|||
'Abdullah bin Zubair pada awalnya menolak kesetiaan kepada khalifah setelah Mu'awiyah bin Abu Sufyan melantik putranya sendiri, Yazid, sebagai putra mahkota. Setelah Yazid mangkat setelah tiga tahun berkuasa dan kekuasaan diwariskan kepada putranya, Mu'awiyah II, 'Abdullah bin Zubair menyatakan dirinya sebagai ''amirul-mu'minin'', salah satu gelar lain untuk khalifah.<ref name="Gibb55">Gibb 1960, p. 55.</ref><ref name="Hawting47">Hawting 1986, p. 47.</ref> Kedudukannya sebagai khalifah diakui oleh masyarakat Hijaz, Yaman, Mesir, dan Iraq. Kekuasaan 'Abdullah bin Zubair berakhir saat Khalifah '[[Abdul Malik bin Marwan]] mengutus [[Al-Hajjaj bin Yusuf]] untuk menundukkannya. Al-Hajjaj mengepung Makkah selama sekitar enam bulan dan banyak dari para pengikut 'Abdullah bin Zubair menyerah pada masa ini. 'Abdullah bin Zubair tetap menolak untuk menyerah dan melanjutkan perlawanan sampai dia terbunuh pada Oktober atau November 692.<ref name="Gibb55"/><ref name="Gibb54">Gibb 1960, p. 54.</ref> |
|||
=== Wangsa Fatimiyah === |
|||
[[Berkas:Fatimid Caliphate.PNG|jmpl|kiri|Wilayah kekuasaan Fatimiyah]] |
|||
Wangsa Fatimiyah adalah dinasti beraliran [[Ismailiyah|Syi'ah Ismailiyah]] yang menyatakan diri sebagai keturunan putri bungsu Muhammad, [[Fatimah az-Zahra]]. Mereka mengklaim gelar khalifah mulai tahun 909 dan menjadi khalifah pesaing dari Wangsa Abbasiyah yang bertakhta di Mesopotamia. Pada masa puncaknya, Fatimiyah menguasai kawasan [[Afrika Utara]], [[Sisilia]], [[Syam]], dan [[Hijaz]]. Fatimiyah awalnya berkuasa di kawasan Tunisia dan kemudian memindahkan ibu kotanya di Kairo setelah Mesir ditaklukkan pada 969.<ref name="AshtianyJohnstone1990">''[https://books.google.com/books?id=4sFzGGqA6uoC&pg=PA13 Abbasid Belles Lettres]''. Cambridge University Press; 30 March 1990. {{ISBN|978-0-521-24016-1}}. p. 13.</ref> |
|||
Fatimiyah membentuk tentara berlandas etnis yang terbukti membawa keberhasilan di medan perang, tetapi tidak dalam ranah politik dalam negeri. Perselisihan antar kelompok militer menjadikan kekuasaan dinasti ini merosot dengan cepat pada akhir abad kesebelas dan abad kedua belas. [[Shalahuddin Al-Ayyubi|Shalahuddin]] mengakhiri kekuasaan dinasti ini pada 1171, mendirikan dinasti Al-Ayyubi yang menyatakan kesetiaan pada Wangsa Abbasiyah.<ref>{{cite book|last=Baer|first=Eva|title=Metalwork in Medieval Islamic Art|year=1983|publisher=[[SUNY Press]]|isbn=9780791495575|page=xxiii|url=https://books.google.com/books?id=s__yi4pD-VEC}}</ref> Terdapat empat belas khalifah dari Wangsa Fatimiyah dan mereka berkuasa dalam rentang waktu lebih dari dua setengah abad. |
|||
=== Khalifah di Kordoba === |
|||
[[Berkas:Califato de Córdoba - 1000-en.svg|jmpl|kiri|Wilayah kekuasaan Umayyah di Kordoba, sekitar tahun 1000]] |
|||
[[Semenanjung Iberia]], juga dikenal dengan [[Al-Andalus]]ia, telah menjadi bagian dari kekhalifahan pada masa Umayyah. Setelah kekuasaan Umayyah di Syam runtuh pada 750, '[[Abdurrahman Ad Dakhil|Abdurrahman ad-Dakhil]] pergi ke semenanjung Iberia dan menjadi penguasa di sana setelah menggulingkan penguasa sebelumnya, memerintah kawasan Iberia dari kota Kordoba. Meski moyangnya telah menyandang gelar khalifah selama hampir seabad saat berkuasa di Syam, anggota Wangsa Umayyah yang berkuasa di Iberia awalnya hanya menyandang gelar "amir" (setara dengan 'adipati') dan mengakui klaim pihak Abbasiyah sebagai pemimpin seluruh umat Islam,<ref name=":0">{{Cite book|title=A History of Medieval Spain|url=https://archive.org/details/historyofmedieva0000ocal|last=O'Callaghan|first=J. F.|publisher=Cornell University Press|year=1983|isbn=|location=Ithaca|pages=[https://archive.org/details/historyofmedieva0000ocal/page/119 119]}}</ref> meski perselisihan di antara kedua belah pihak masih berlanjut. |
|||
Namun setelah Fatimiyah yang mengklaim gelar khalifah mulai mengancam kekuasaan Umayyah di Al-Andalus, keturunan 'Abdurrahman ad-Dakhil, '[[Abdurrahman III]], menyatakan dirinya sebagai khalifah pada 16 Januari 929.<ref>Barton, 38.</ref> Hal ini menjadikan terdapat tiga pihak yang mengklaim gelar khalifah: Abbasiyah di Baghdad, Fatimiyah yang berpusat di Mesir, dan penguasa di Kordoba. Tak hanya dalam masalah kekuasaan, Kordoba juga menjadi pesaing Baghdad terkait perannya sebagai pusat perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya.<ref name=b40>Barton, 40–41.</ref><ref>Barton, 42.</ref> Pada masa Al-Hakam II, perpustakaan istana memiliki 500.000 volume buku. Sebagai perbandingan, Biara Santo Gallen di Swiss hanya memiliki 100 volume.<ref name=":2">Catlos, Brain A. (2014). ''Infidel Kings and Unholy Wars: Faith, Power, and Violence in the Age of Crusades and Jihad''. New York: Farrar, Straus, and Giroux. p. 30.</ref> Universitas di Kordoba juga menjadi yang paling terkenal di dunia kala itu, didatangi murid Muslim ataupun Kristen dari segala penjuru Eropa Barat. Universitas ini melahirkan seratus lima puluh penulis. Universitas dan perpustakaan lain juga tersebar di kawasan Iberia pada masa ini.<ref>Francis Preston Venable, ''A Short History of Chemistry'' (1894) [https://books.google.com/books?id=fN9YAAAAYAAJ&pg=PA21 p. 21.]</ref> |
|||
Pada keberjalanannya, kekuasaan Wangsa Umayyah di Andalusia semakin melemah, menjadikan Wangsa Hammud, sebuah dinasti Muslim Arab-[[Orang Berber|Berber]], mampu merebut tampuk kekhalifahan selama beberapa waktu.<ref name=":2" /> Umayyah dapat mengambil kembali status khalifah, tetapi negara tersebut sudah sangat melemah dengan beberapa wilayah telah lepas dari kendali khalifah. Penggulingan [[Hisyam III dari Kordoba|Hisyam III]] pada 1031 menjadi akhir dari riwayat khalifah di Kordoba. Setelahnya, wilayah yang dulu dikuasai khalifah terpecah menjadi negara-negara kecil yang disebut ''[[taifa]]''.<ref>{{cite book |first=Anwar G. |last=Chejne |title=Muslim Spain: Its History and Culture |url=https://archive.org/details/muslimspainitshi0000chej |location=Minneapolis |publisher=The University of Minnesota Press |year=1974 |pages=[https://archive.org/details/muslimspainitshi0000chej/page/43 43]–49 |isbn=0816606889 }}</ref> Meski khalifah di Kordoba hanya bertahan selama sekitar satu abad, kekuasaan umat Muslim di Andalusia masih berlanjut sampai Wangsa Nasrid penguasa Granada dikalahkan pihak Katolik Spanyol pada 1492. |
|||
== Keruntuhan kekhalifahan == |
== Keruntuhan kekhalifahan == |
||
Setelah [[Abdul Hamid II]] digulingkan pada 1909, dua sultan penerusnya hampir kehilangan kekuatan politik sepenuhnya dan hanya berperan sebagai lambang kepala negara semata tanpa kekuasaan yang nyata. [[Kesultanan Utsmaniyah]] kehilangan sebagian besar wilayahnya setelah kalah dalam [[Perang Dunia I]], menjadikan hanya menguasai kawasan Anatolia dan ujung tenggara Balkan. [[Istanbul]] (Konstantinopel) dikuasai [[Britania Raya]] setelahnya, menciptakan sebuah kevakuman politik dengan menawan banyak pejabat negara dan menutup kantor-kantor pemerintahan dengan paksa. |
|||
Tepatnya pada tanggal 3 Maret 1924, keruntuhan kekhalifahanan terakhir, Kekhalifahan Turki Usmaniyah, terjadi akibat adanya perseteruan di antara kaum [[nasionalis]] dan agamais dalam masalah kemunduran ekonomi Turki. |
|||
Kekalahan Utsmani menimbulkan reaksi yang disebut [[Gerakan Khilafat]] sebagai bentuk kekhawatiran akan kesatuan umat Islam. Meski gerakan ini didengungkan di berbagai belahan dunia Islam, kegiatannya paling banyak dilangsungkan di India sehingga juga disebut Gerakan Muslim India. Sebagai pemenang perang, pihak Eropa menjanjikan untuk melindungi status penguasa Utsmani sebagai khalifah, tetapi [[Perjanjian Sèvres]] yang ditandatangani pada 1920 menjadikan kawasan Iraq, [[Syam]], dan Mesir diserahkan pada negara-negara Eropa. |
|||
Setelah menguasai [[Istambul]] pasca-Perang Dunia I, [[Inggris]] menciptakan sebuah kevakuman politik dengan menawan banyak pejabat negara dan menutup kantor-kantor dengan paksa sehingga bantuan khalifah dan pemerintahannya tersendat. Kekacauan terjadi di dalam negeri, sementara opini umum mulai menyudutkan pemerintahan khalifah yang semakin lemah dan memihak kaum nasionalis. Situasi ini dimanfaatkan [[Mustafa Kemal Atatürk|Mustafa Kemal Pasha (Atatürk)]] untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional - dan ia menobatkan diri sebagai ketuanya - sehingga ada dua pemerintahan saat itu; pemerintahan khilafah di [[Istambul]] dan pemerintahan Dewan Perwakilan Nasional di [[Ankara]]. Walau kedudukannya tambah kuat, Mustafa Kemal Pasha belum berani membubarkan khilafah. Dewan Perwakilan Nasional hanya mengusulkan konsep yang memisahkan khilafah dengan pemerintahan. Namun, setelah perdebatan panjang di Dewan Perwakilan Nasional, konsep ini ditolak. Pengusulnya pun mencari alasan membubarkan Dewan Perwakilan Nasional dengan melibatkannya dalam berbagai kasus pertumpahan darah. Setelah memuncaknya krisis, Dewan Perwakilan Nasional ini diusulkan agar mengangkat Mustafa Kemal Pasha sebagai ketua [[parlemen]], yang diharap bisa menyelesaikan kondisi kritis ini. |
|||
Pada 1 November 1922, [[Majelis Agung Nasional Turki]] secara resmi membubarkan Kesultanan Utsmani. Sultan terakhirnya, [[Mehmed VI]], diasingkan ke Malta. Setelah pembubaran Utsmani, [[Republik Turki]] yang berasaskan sekuler didirikan dengan Mustafa Kemal sebagai presiden pertamanya. |
|||
Setelah resmi dipilih jadi ketua [[parlemen]], Mustafa Kemal Pasha mengumumkan kebijakannya, yaitu mengubah sistem khilafah dengan [[republik]] yang dipimpin seorang [[presiden]] yang dipilih lewat [[Pemilu]]. Tanggal [[29 November]] [[1923]], ia dipilih parlemen sebagai presiden pertama [[Turki]]. Namun ambisinya untuk membubarkan khilafah saat itu, yang telah lemah dan digerogoti korupsi, terintangi; Ia dianggap [[murtad]], dan beberapa kelompok pendukung [[Abdul Mejid II]] terus berusaha mendukung pemerintahannya. Ancaman ini tak menyurutkan langkah Mustafa Kemal Pasha. Malahan, ia menyerang balik dengan taktik politik dan pemikirannya yang menyebut bahwa penentang sistem [[republik]] ialah pengkhianat bangsa dan ia kemudian melakukan beberapa langkah kontroversial untuk mempertahankan sistem pemerintahannya. Misalnya, Khalifah digambarkan sebagai sekutu asing yang harus dienyahkan. |
|||
[[Berkas:Abdulmecid efendi.jpg|jmpl|[[Abdul Mejid II]], khalifah terakhir]] |
|||
Setelah suasana negara kondusif, Mustafa Kemal Pasha mengadakan sidang Dewan Perwakilan Nasional (yang kemudian disebut dengan "Kepresidenan Urusan Agama" atau sering disebut dengan "Diyaniah"). Pada tanggal [[3 Maret]] [[1924]], ia memecat khalifah sekaligus membubarkan sistem kekhalifahan dan menghapuskan hukum Islam dari negara. Hal inilah yang kemudian dianggap sebagai keruntuhan kekhalifahan Islam. |
|||
Meski demikian, Mustafa Kemal tidak berani membubarkan kekhalifahan demi menjaga dukungan rakyat. Meski sudah kehilangan peran politiknya sejak lama, khalifah tetap dipandang sebagai lambang pemersatu umat Islam Sunni seluruh dunia. Pembubaran kesultanan juga lebih mudah lantaran keberlangsungan kekhalifahan saat itu menyenangkan para pendukung kesultanan. Pada 17 November 1922, Majelis Agung Nasional Turki mengangkat sepupu Mehmed VI sebagai [[Abdul Mejid II|Khalifah Abdul Mejid II]]. Hal ini menjadikan Abdul Mejid II sebagai satu-satunya khalifah dari Wangsa Utsmani yang tidak merangkap sebagai sultan. |
|||
Saat ini, Diyaniah berfungsi sebagai entitas dari lembaga Shaikh al-Islam/Kekhalifahan [http://www.diyanet.gov.tr/english/tanitim.asp?id=4]. Mereka bertugas untuk: "memberikan pelayanan religius kepada orang Turki dan Muslim di dalam dan di luar negara Turki". Diyainah memiliki kantor pusat di [[Ankara|Ankara, Turki]]. |
|||
Hal tersebut menjadikan keadaan di Turki terbelah dengan pemerintahan republik yang baru di satu sisi dan pemerintahan Islam yang dikepalai khalifah di sisi lain. Khalifah memiliki perbendaharaan pribadi dan pelayanan pribadi, termasuk personel militer. Abdul Mejid II juga menerima duta asing, juga turut serta dalam upacara dan perayaan resmi.<ref name="Mango, Atatürk, 401">Mango, ''Atatürk'', 401</ref> Mustafa Kemal mengkhawatirkan bahwa Abdul Mejid II nantinya akan memegang kendali urusan negara selayaknya seorang sultan.<ref>Mango, ''Atatürk'', 403</ref> |
|||
Diyaniah adalah sebuah lembaga yang mewarisi semua sumber-sumber yang berhubungan dengan hal-hal religius dari Kekaisaran Ottoman, termasuk semua arsip kekhalifahan yang telah runtuh tersebut. Saat ini, Diyainah merupakan otoritas tertinggi Muslim Sunni. Diyainah juga memiliki kantor cabang di [[Eropa]] ([[Jerman]]). |
|||
Dalam keadaan seperti ini, Maulana Mohammad Ali dan Maulana Syaukat Ali yang merupakan pemimpin Gerakan Khilafat menyebarkan pamflet yang menyerukan rakyat Turki untuk mendukung kekhalifahan demi kepentingan Islam. Oleh pihak republik, hal ini dipandang sebagai campur tangan pihak asing yang dapat membahayakan keamanan negara. Hal ini menjadi pembenaran Mustafa Kemal untuk mengakhiri kekhalifahan. Pada 3 Maret 1924, Majelis Agung Nasional Turki membubarkan kekhalifahan dan mengasingkan Abdul Mejid II beserta para pangeran dan putri Wangsa Utsmaniyah dari Republik Turki.<ref>{{cite web|url= https://books.google.com/books?id=9cTHyUQoTyUC&pg=PA546&lpg=PA642&focus=viewpor&output=html_text|title= Osman's Dream: The History of the Ottoman Empire|first= Caroline|last= Finkel|authorlink= Caroline Finkel|publisher= [[Basic Books]]|year= 2007|isbn= 9780465008506|page= 546}}</ref><ref>{{Cite book|url=https://books.google.tn/books?id=cAhcJj-ij28C&pg=PA6&dq=Abdul+Medjid+II+last+caliph&hl=fr&sa=X&ved=0ahUKEwjSuOqH2bHXAhXHXBoKHQH8CpAQ6AEIIzAA#v=onepage&q=Abdul%20Medjid%20II%20last%20caliph&f=false|title=From Caliphate to Secular State: Power Struggle in the Early Turkish Republic|last=Özoğlu|first=Hakan|date=2011|publisher=ABC-CLIO|isbn=9780313379567|language=en}}</ref> |
|||
Perbedaan utama antara kekhalifahan dengan Diyainah adalah Dinaiyah, tidak seperti kekhalifahan yang mengurusi masalah negara, hanya berfungsi sebagai lembaga keagamaan. Hal ini sesuai dengan prinsip sekularisme [[Turki]] yang memisahkan urusan Agama dengan urusan negara. |
|||
=== Pasca pembubaran kekhalifahan === |
|||
Sempat muncul keinginan dan gerakan untuk mengendirikan kembali kekhalifahan setelah runtuhnya [[Kekaisaran Ottoman]], tetapi tak ada satupun yang berhasil. [[Hussein bin Ali]], seorang gubernur [[Hejaz]] pada masa Kekaisaran Ottoman yang pernah membantu [[Britania raya]] pada masa [[Perang Dunia I]] serta melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Istambul, mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah dua hari setelah keruntuhan Ottoman. Tetapi klaimnya tersebut ditolak, dan tak lama kemudian ia di usir dari tanah Arab. Sultan Ottoman terakhir [[Mehmed VI]] juga melakukan hal yang sama untuk mengangkat kembali dirinya sebagai Khalifah di Hejaz, tetapi lagi-lagi usaha tersebut gagal. Sebuah pertemuan diadakan di [[Kairo]] pada tahun [[1926]] untuk mendiskusikan pendirian kembali kekhalifahan. Tetapi, hanya sedikit negara Muslim yang berpartisipasi dan mengimplentasikan hasil dari pertemuan tersebut. |
|||
Banyak pihak mempertanyakan keabsahan pembubaran kekhalifahan oleh pihak Turki secara sepihak.<ref name="Calipinternational">Majid Khadduri (2006) War and peace in the law of Islam, The Lawbook Exchange, Ltd., {{ISBN|1-58477-695-1}}-page 290-291</ref> Syarif Makkah, [[Husain bin Ali]], mengklaim gelar khalifah untuk dirinya sendiri. Mantan Sultan Mehmed VI memberi dukungan melalui telegram kepada Husain,<ref name="Teitelbaum">{{cite book|last1=Teitelbaum|first1=Joshua|title=The Rise and Fall of the Hashimite Kingdom of Arabia|date=2001|publisher=C. Hurst & Co. Publishers|isbn=9781850654605|url=https://books.google.com/books/about/The_Rise_and_Fall_of_the_Hashimite_Kingd.html?id=Y1A48DWZ2gIC}}</ref> tetapi pengakuannya tidak diterima oleh semua umat Muslim. Setelah Husain turun takhta, putranya tidak melanjutkan klaim ayahnya sebagai khalifah.<ref>[[#Bos04|Bosworth 2004]], [https://books.google.com/books?id=mKpz_2CkoWEC&pg=PA118 p. 118]</ref> |
|||
Pada Mei 1926, diselenggarakan pertemuan di Kairo terkait upaya untuk kembali menegakkan kekhalifahan, tetapi banyak negara Muslim yang tidak hadir dan tidak ada tindakan nyata setelah pertemuan tersebut.<ref name="Calipinternational"/> Dua konferensi Islam juga diselenggarakan di Makkah (1926) dan Yerusalem (1927), tetapi tidak mencapai kesepakatan.<ref name="Calipinternational"/> |
|||
=== Gerakan Khilafat === |
|||
Pada tahun 1920-an "gerakan Khilafat", sebuah gerakan yang bertujuan untuk mendirikan kembali kekhalifahan, menyebar diseluruh daerah jajahan [[Inggris]] di [[Asia]]. Gerakan ini sangat kuat di [[India]], yang saat itu menjadi pusat komunitas Islam. Sebuah pertemuan kemudian diadakan di [[Kairo]] pada tahun [[1926]] untuk mendiskusikan pendirian Kekhalifahan. Tapi sayang, sebagian besar negara mayoritas Muslim tidak berpartisipasi dan mengambil langkah untuk mengimplentasikan hasil dari pertemuan ini. Meskipun gelar ''Amir al-Mukmin'' dipakai oleh [[Raja Maroko]] dan [[Mullah Mohammed Omar]], pemimpin rezim [[Taliban]] di [[Afganistan]], kebanyakan Muslim di luar daerah kekuasaan mereka menolak untuk mengakuinya. Saat ini banyak pecahan negara-negara muslim yang membentuk [[Organisasi Konferensi Islam]] atau [[OKI]], sebuah organisasi internasional dengan pengaruh yang terbatas yang didirikan pada tahun 1969 beranggotakan negara-negara mayoritas Muslim. |
|||
Pada perkembangan selanjutnya, gelar ''Amir al-Mukmin'' disandang oleh [[Raja Maroko]] dan [[Mohammed Omar|Mullah Mohammed Omar]], pemimpin rezim [[Taliban]] di [[Afganistan]], tetapi kebanyakan Muslim di luar daerah kekuasaan mereka menolak untuk mengakuinya. Saat ini banyak pecahan negara-negara muslim yang membentuk [[Organisasi Konferensi Islam]] atau [[OKI]], sebuah organisasi internasional dengan pengaruh yang terbatas yang didirikan pada tahun 1969 beranggotakan negara-negara mayoritas Muslim. |
|||
== Argumentasi Relevansi Khalifah == |
|||
== Peran dan kedudukan khalifah == |
|||
=== Dalil al-Qur'an === |
|||
[[Berkas:Age of Caliphs.png|225px|jmpl|ka|Kekhalifahan Islam, 622-750]] |
|||
Di dalam [[al-Quran]] memang tidak terdapat istilah [[Daulah]] yang berarti negara. Tetapi di[[al-Quran]] terdapat ayat yang menunjukkan wajibnya umat memiliki pemerintahan/negara (''ulil amri''). Allah berfirman: |
|||
Kebanyakan akademisi menyetujui bahwa Muhammad tidak secara langsung menyarankan atau memerintahkan pembentukan kekhalifahan Islam setelah kematiannya. Permasalahan yang dihadapi ketika itu adalah mengenai pihak yang paling berhak menggantikan Muhammad sebagai pemimpin umat Islam dan batasan kekuasaan yang dimilikinya. |
|||
:''Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian.'' (Qs. [[Surah An-Nisa’|An-Nisaa`]] [4]: 59). |
|||
=== Pengganti Muhammad === |
|||
Ayat di atas telah memerintahkan kita untuk menaati ''Ulil amri. Yang dalam hal ini dimaksudkan adalah pemerintahan yang sah. |
|||
Fred M. Donner dalam bukunya ''The Early Islamic Conquests'' (1981) berpendapat bahwa kebiasaan [[bangsa Arab]] ketika itu adalah untuk mengumpulkan para tokoh masyarakat dari suatu keluarga (''bani'' dalam bahasa arab), atau suku, untuk bermusyawarah dan memilih pemimpin dari salah satu di antara mereka. Tidak ada prosedur spesifik dalam [[syuro]] atau musyawarah ini. Para kandidat biasanya memiliki keterkaitan silsilah dari pemimpin sebelumnya, walaupun hanya merupakan keluarga jauh. |
|||
Hingga pada tiba saatnya Muhammad meninggal, kaum Muslim berdebat tentang siapa yang berhak untuk menjadi penerus kepemimpinan umat Islam hingga saat ini apa yang dibicarakan di dalam masa tenggang itu masih menjadi kontroversi di kalangan kaum Muslim. Namun dapat dipastikan bahwa mayoritas kaum Muslim yang hadir dalam musyawarah saat itu meyakini bahwa [[Abu Bakar Ash-Shiddiq]] adalah penerus kepemimpinan umat Islam karena sebelum Muhammad meninggal, ia dipercaya untuk menggantikan posisi sebagai imam shalat. Pada akhirnya, Abu Bakar pun terpilih menjadi khalifah pertama dalam sejarah Islam. |
|||
Maka menjadi jelas bahwa mentaati ulil amri adalah suatu perkara yang wajib. |
|||
Namun beberapa kalangan dari kaum Muslim Makkah dan Madinah saat itu meyakini bahwa Muhammad telah memberikan banyak tanda yang menunjukan bahwa [[Ali bin Abi Thalib]], sepupu sekaligus menantunya, sebagai pengganti dirinya dan semua khalifah yang diangkat sebelum 'Ali dipandang sebagai khalifah yang tidak sah. Hal inilah yang memicu munculnya kaum [[Syiah]] belakangan pada masa kekhalifahan [[Muawiyah]], lebih tepatnya setelah masa kekuasaan Ali bin Abi Thalib berakhir. |
|||
=== Dalil as-Sunnah tentang Khalifah === |
|||
# [[Abdullah bin Umar]] meriwayatkan, "Aku mendengar Rasulullah mengatakan, ‘''Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya dia akan menemui Allah pada Hari Kiamat dengan tanpa alasan. Dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak ada bai’at (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah''." [HR. Muslim]. |
|||
# Muhammad mewajibkan adanya bai’at pada leher setiap muslim dan menyifati orang yang mati dalam keadaan tidak berbai’at seperti matinya orang-orang jahiliyyah. Padahal bai’at hanya dapat diberikan kepada Khalifah, bukan kepada yang lain. Jadi hadis ini menunjukkan kewajiban mengangkat seorang Khalifah, yang dengannya dapat terwujud bai’at di leher setiap muslim. Sebab bai’at baru ada di leher kaum muslimin kalau ada Khalifah/Imam yang memimpin Khilafah. |
|||
# Muhammad bersabda: "Bahwasanya Imam itu bagaikan perisai, dari belakangnya umat berperang dan dengannya umat berlindung." [HR. Muslim] |
|||
# Muhammad bersabda: "Dahulu para nabi yang mengurus Bani Israil. Bila wafat seorang nabi diutuslah nabi berikutnya, tetapi tidak ada lagi nabi setelahku. Akan ada para Khalifah dan jumlahnya akan banyak. Para Sahabat bertanya,’Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi menjawab,’Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja. Penuhilah hak-hak mereka. Allah akan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang menjadi kewajiban mereka." [HR. Muslim]. |
|||
# Muhammad bersabda: "Bila seseorang melihat sesuatu yang tidak disukai dari amirnya (pemimpinnya), maka bersabarlah. Sebab barangsiapa memisahkan diri dari penguasa (pemerintahan Islam) walau sejengkal saja lalu ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah." [HR. Muslim]. |
|||
=== Kekuasaan === |
|||
Hadis pertama dan kedua merupakan pemberitahuan (''ikhbar'') dari Muhammad bahawa seorang Khalifah adalah laksana perisai, dan bahawa akan ada penguasa-penguasa yang memerintah kaum muslimin. Pernyataan Muhammad bahawa seorang Imam itu laksana perisai menunjukkan pemberitahuan tentang adanya faedah-faedah keberadaan seorang Imam, dan ini merupakan suatu tuntutan (''thalab''). Sebab, setiap pemberitahuan yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya, apabila mengandung celaan (''adz dzamm'') maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk meninggalkan (''thalab at tarki''), atau merupakan larangan (''an nahy''); dan apabila mengandung pujian (''al mad-hu'') maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk melakukan perbuatan (''thalab al fi’li''). Dan kalau pelaksanaan perbuatan yang dituntut itu menyebabkan tegaknya hukum syara’ atau jika ditinggalkan mengakibatkan terabaikannya hukum syara’, maka tuntutan untuk melaksanakan perbuatan itu bererti bersifat pasti (fardlu). Jadi hadis pertama dan kedua ini menunjukkan wajibnya Khilafah, sebab tanpa Khilafah banyak hukum syara’ akan terabaikan. |
|||
"Siapa yang akan menggantikan [[Muhammad]]" bukanlah satu-satunya masalah yang dihadapi umat [[Islam]] saat itu; tetapi juga menetapkan seberapa besar kekuasaan pengganti sang nabi. Berbeda dengan Muhammad, tidak satu pun dari para khalifah yang mendapatkan wahyu dari [[Allah]]. Untuk mengatasinya, wahyu Allah yang disampaikan oleh Muhammad kemudian ditulis dan dikumpulkan menjadi [[Al-quran|Al-Quran]], dijadikan patokan dan sumber utama hukum Islam, dan menjadi batas kekuasaan khalifah Islam. Artinya, Khalifah adalah seseorang pemimpin yang tunduk pada Al-Qur'an dan Hadits dan kekuasaannya pun dibatasi keduanya. |
|||
Hadis ketiga menjelaskan keharaman kaum muslimin keluar (memberontak, membangkang) dari penguasa (as sulthan). Berarti keberadaan Khilafah adalah wajib, sebab kalau tidak wajib tidak mungkin Muhammad sampai begitu tegas menyatakan bahwa orang yang memisahkan diri dari Khilafah akan mati jahiliyah. Jelas ini menegaskan bahawa mendirikan pemerintahan bagi kaum muslimin statusnya adalah wajib. |
|||
Bagaimanapun, ada beberapa bukti yang menunjukan bahwa khalifah mempercayai bahwa mereka mempunyai otoritas untuk memutuskan beberapa hal yang tidak tercantum dalam [[Al-Quran]]. Mereka juga mempercayai bahwa mereka adalah pempimpin spiritual umat islam, dan mengharapkan "kepatuhan kepada khalifah" sebagai ciri seorang muslim sejati. Sarjana modern Patricia Crone dan Martin Hinds, dalam bukunya ''God's Caliph'', menggarisbawahi bahwa fakta tersebut membuat khalifah menjadi begitu penting dalam pandangan dunia Islam ketika itu. Mereka berpendapat bahwa pandangan tersebut kemudian hilang secara perlahan-lahan seiring dengan bertambah kuatnya pengaruh [[ulama]] di kalangan umat [[Islam]]. Kaum Muslim beranggapan bahwa ulama sama berhaknya menentukan apa yang dianggap legal dan baik di kalangan umat, sesuai dengan hadis yang menyebutkan bahwa suatu kaum akan ditinggalkan oleh Allah ketika mereka meninggalkan para ulama. Pemimpin umat Islam yang paling tepat, menurut pendapat para ulama, adalah pemimpin yang menjalankan saran-saran spiritual dari para ulama, sementara para khilafah hanya mengurusi hal-hal yang bersifat [[dunia]]wi sehingga mengakibatkan perdebatan di antara keduanya. Perselisihan pendapat antara Khalifah dan para ulama tersebut menjadi konflik yang berlarut-larut dalam beberapa bagian sejarah kekhalifahan Islam. Namun akhirnya, konflik ini berakhir dengan kemenangan para ulama.{{citation needed}} Kekuasaan Khalifah selanjutnya menjadi terbatas pada hal yang bersifat keduniawian. Khalifah hanya dapat dianggap menjadi "Khalifah yang benar" apabila ia menjalankan saran [[spiritual]] para ulama.{{citation needed}} Patricia Crone dan Martin Hinds juga berpendapat bahwa [[Syiah|muslim Syiah]], dengan pandangan yang berlebihan kepada para [[imam]], tetap menjaga kepercayaan murni umat islam, namun tidak semua [[ilmuwan]] setuju akan hal ini. |
|||
Muhammad bersabda pula : "Barangsiapa membai’at seorang Imam (Khalifah), lalu memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia mentaatinya semaksimal mungkin. Dan jika datang orang lain hendak mencabut kekuasaannya, penggallah leher orang itu." [HR. Muslim]. |
|||
Kebanyakan [[Sunni|Muslim Sunni]] saat ini mempercayai bahwa para khalifah tidak selamanya hanya menjadi pemimpin masalah duniawi, dan ulama sepenuhnya bertanggung jawab atas arah spiritual umat islam dan hukum syariah umat islam. Mereka menyebut empat khalifah pertama sebagai [[Khulafaur Rasyidin]], Khalifah yang diberi petunjuk, karena mereka menjalankan dan berpegang pada hukum yang terdapat pada [[Al-Quran]] dan [[sunnah]] Muhammad dalam segala hal. Mereka juga mempercayai bahwa sekali khalifah dipilih untuk memimpin, maka sepanjang hidupnya ia akan memerintah kecuali jika ia keluar dari aturan [[syariat]]. |
|||
Dalam hadis ini Muhammad telah memerintahkan kaum muslimin untuk menaati para Khalifah dan memerangi orang-orang yang merebut kekuasaan mereka. Perintah Rasulullah ini berarti perintah untuk mengangkat seorang Khalifah dan memelihara kekhilafahannya dengan cara memerangi orang-orang yang merebut kekuasaannya. Semua ini merupakan penjelasan tentang wajibnya keberadaan penguasa kaum muslimin, iaitu Imam atau Khalifah. Sebab kalau tidak wajib, nescaya tidak mungkin Muhammad memberikan perintah yang begitu tegas untuk memelihara eksistensinya, iaitu perintah untuk memerangi orang yang akan merebut kekuasaan Khalifah. |
|||
=== Karakter kepemimpinan === |
|||
Dengan demikian jelaslah, dalil-dalil As Sunnah ini telah menunjukkan wajibnya Khalifah bagi kaum muslimin. |
|||
Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa karakter pemimpin Islam ialah menganggap bahwa otoritas dan kekuasaan yang dimilikinya adalah sebuah kepercayaan (''amanah'') dari [[Islam|umat Islam]] dan bukan kekuasaan yang mutlak dan absolut. Hal ini didasarkan pada hadis yang berbunyi: |
|||
<blockquote>"''It (sovereignty) is a trust, and on the Day of Judgment it will be a thing of sorrow and humiliation except for those who were deserving of it and did well.''"</blockquote> |
|||
Hal ini sangat kontras dengan keadaan [[Eropa]] saat itu di mana kekuasaan raja sangat absolut dan mutlak.<ref>Omar Hossino. ''Classical Islamic Views on Human Nature, Political Authority, and International Relations'', 2006.</ref> |
|||
Peranan seorang kalifah telah ditulis dalam banyak sekali literatur oleh teolog islam. Imam Najm al-Din al-Nasafi menggambarkan khalifah sebagai berikut: |
|||
=== Dalil Ijma’ Sahabat === |
|||
<blockquote>"Umat Islam tidak berdaya tanpa seorang pemimpin (''imam'', dalam hal ini khalifah) yang dapat memimpin mereka untuk menentukan keputusan, memelihara dan menjaga daerah perbatasan, memperkuat [[angkatan bersenjata]] (untuk pertahanan negara), menerima [[zakat]] mereka (untuk kemudian dibagikan), menurunkan tingkat [[rampok|perampokan]] dan pencurian, menjaga ibadah pada hari [[jumat]] ([[salat jumat]]) dan [[hari raya]], menghilangkan perselisihan di antara [[Manusia|sesama]], menghakimi dengan adil, [[pernikahan|menikahkan wanita]] yang tak memiliki [[wali]]. Sebuah keharusan bagi pemimpin untuk terbuka dan berbicara di depan orang yang dipimpinnya, tidak bersembunyi dan jauh dari [[rakyat]]nya.{{br}}Ia sebaiknya berasal dari kaum [[Quraish]] dan bukan kaum lainnya, tetapi tidak harus dikhususkan untuk [[Bani Hasyim]] atau anak-anak [[Ali bin Abi Thalib|Ali]]. Pemimpin bukanlah seseorang yang suci dari [[dosa]], dan bukan pula seorang yang paling jenius pada masanya, tetapi ia adalah seorang yang memiliki kemampuan [[administratif]] dan memerintah, mampu dan tegas dalam mengeluarkan keputusan dan mampu menjaga [[hukum Islam|hukum-hukum Islam]] untuk melindungi orang-orang yang terzalimi. Dan mampu memimpin dengan arif dan [[demokrasi|demokratif]].</blockquote> |
|||
Sebagai sumber hukum Islam ketiga, Ijma’ Sahabat menunjukkan bahwa mengangkat seorang Khalifah sebagai pemimpin pengganti Muhammad hukumnya wajib. Mereka telah sepakat mengangkat Khalifah [[Abu Bakar]], [[Umar bin Khathtab]], [[Utsman bin Affan]], dan [[Ali bin Abi Thalib]]. |
|||
[[Ibnu Khaldun]] kemudian menegaskan hal ini dan menjelaskan lebih jauh tentang kepemimpinan kekhahalifah secara lebih singkat:{{br}} |
|||
Ijma’ Sahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan Khalifah, tampak jelas dalam kejadian bahawa mereka menunda kewajiban menguburkan jenazah Muhammad dan mendahulukan pengangkatan seorang Khalifah pengganti dia. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah suatu kewajiban dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah untuk melakukan kesibukan lain sebelum jenazah dikebumikan. Namun, para Sahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Muhammad ternyata sebagian di antaranya justru lebih mendahulukan usaha-usaha untuk mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah Rasulullah. Sedangkan sebagian Sahabat lain mendiamkan kesibukan mengangkat Khalifah tersebut, dan ikut pula bersama-sama menunda kewajiban menguburkan jenazah Muhammad sampai dua malam, padahal mereka mampu mengingkari hal ini dan mampu mengebumikan jenazah Nabi secepatnya. Fakta ini menunjukkan adanya kesepakatan (ijma’) mereka untuk segera melaksanakan kewajiban mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah. Hal itu tak mungkin terjadi kecuali jika status hukum mengangkat seorang Khalifah adalah lebih wajib daripada menguburkan jenazah. |
|||
<blockquote>''"Kekhalifahan harus mampu menggerakan umat untuk bertindak sesuai dengan ajaran Islam dan menyeimbangkan kewajiban di dunia dan [[akhirat]]. (Kewajiban di dunia) harus seimbang (dengan kewajiban untuk akhirat), seperti yang diperintahkan oleh Muhammad, semua kepentingan dunia harus mempertimbangkan keuntungan untuk kepentingan akhirat. Singkatnya, (Kekhalifahan) pada kenyataannya menggantikan [[Muhammad]], beserta sebagian tugasnya, untuk melindungi [[Islam|agama]] dan menjalankan kekuasaan politik di [[dunia]]."''</blockquote> |
|||
== Landasan agama == |
|||
Demikian pula bahawa seluruh Sahabat selama hidup mereka telah bersepakat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah. Walaupun sering muncul perbedaan pendapat mengenai siapa yang tepat untuk dipilih dan diangkat menjadi Khalifah, namun mereka tidak pernah berselisih pendapat sedikit pun mengenai wajibnya mengangkat seorang Khalifah, baik ketika wafatnya Muhammad maupun ketika pergantian masing-masing Khalifah yang empat. Oleh karena itu Ijma’ Sahabat merupakan dalil yang jelas dan kuat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah. |
|||
=== |
=== Al-Qur'an === |
||
Ditilik dari analisis usul fiqh, mengangkat Khalifah juga wajib. Dalam usul fikih dikenal kaidah syar’iyah yang disepakati para ulama: |
|||
{{quote|"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik."|{{Cite quran|024|055}}||}} |
|||
"''Sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula keberadaannya.''"{{fact}} Menerapkan hukum-hukum yang berasal dari Allah dalam segala aspeknya adalah wajib. Sementara hal ini tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa adanya kekuasaan Islam yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Maka dari itu, berdasarkan kaidah syar’iyah tadi, eksistensi Khilafah hukumnya menjadi wajib. |
|||
{{quote|"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pengatur perkara agama) di antara kamu (orang-orang yang beriman). Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."|{{Cite quran|004|059}}||}} |
|||
Jelaslah, berbagai sumber hukum Islam tadi menunjukkan bahwa menegakkan Daulah Khilafah merupakan kewajipan dari Allah atas seluruh kaum muslimin. |
|||
=== |
=== Hadits === |
||
Muhammad bersabda,<blockquote>"[[Bani Israil]], kehidupan mereka selalu didampingi oleh para Nabi, bila satu Nabi meninggal dunia, akan dibangkitkan Nabi setelahnya. Dan sungguh tidak ada Nabi sepeninggal aku. Yang ada adalah para khalifah yang banyak jumlahnya". Para sahabat bertanya; "Apa yang Anda perintahkan kepada kami?". Muhammad menjawab: "Penuihilah [[baiat]] kepada khalifah yang pertama (lebih dahulu diangkat), berikanlah hak mereka karena Allah akan bertanya kepada mereka tentang kepemimpinan mereka". (H.R. Bukhari) <ref>{{Cite web|last=|first=|date=|title=Hadits Bukhari tentang Para khalifah di Bani Israil|url=https://www.hadits.id/hadits/bukhari/3196|website=|access-date=}}</ref></blockquote><blockquote>"Apabila ada dua khalifah yang di[[baiat]], maka bunuhlah yang paling terakhir dari keduanya ." (H.R. Muslim) <ref>{{Cite web|last=|first=|date=|title=Hadits tentang dua khalifah dalam satu waktu|url=https://www.hadits.id/hadits/muslim/3444|website=|access-date=}}</ref></blockquote><blockquote>"Kekhalifahan di ummatku selama tiga puluh tahun kemudian setelah itu kerajaan." (H.R. Tirmidzi) <ref>{{Cite web|last=|first=|date=|title=Teks arab hadits 30 tahun khalifah Muhammad saw|url=https://dorar.net/h/9937f896dcbab9521c05fa85de90c2cb|website=|access-date=}}</ref><ref>{{Cite web|last=|first=|date=|title=Terjemah Hadits 30 tahun masa kekhalifahan Muhammad saw|url=https://khalifah.cinta-islam.web.id/p/hadits-02.html|website=|access-date=|archive-date=2021-05-13|archive-url=https://web.archive.org/web/20210513112201/https://khalifah.cinta-islam.web.id/p/hadits-02.html|dead-url=yes}}</ref></blockquote><blockquote>“Akan ada masa kenabian pada kalian selama yg Allah kehendaki Allah mengangkat atau menghilangkan kalau Allah menghendaki. Lalu akan ada masa khilafah di atas manhaj nubuwwah selama Allah kehendaki kemudian Allah mengangkat jika Allah menghendaki. Lalu ada masa kerajaan yg sangat kuat selama yg Allah kehendaki kemudian Allah mengangkat bila Allah menghendaki. Lalu akan ada masa kerajaan [kejam] selama yg Allah kehendaki kemudian Allah mengangkat bila Allah menghendaki. Lalu akan ada lagi masa kekhilafahan di atas manhaj nubuwwah.“ Kemudian beliau diam.” (H.R. Ahmad) <ref>{{Cite web|last=|first=|date=|title=Teks Arab Hadits tentang Masa-masa Kekhalifahan|url=https://dorar.net/h/dd93934dfbd2b40e6b7bf5be0df13039|website=|access-date=}}</ref><ref>{{Cite web|last=|first=|date=|title=Terjemah Hadits tentang masa-masa Kekhalifahan|url=https://khalifah.cinta-islam.web.id/p/hadits-01.html|website=|access-date=|archive-date=2021-05-13|archive-url=https://web.archive.org/web/20210513125133/https://khalifah.cinta-islam.web.id/p/hadits-01.html|dead-url=yes}}</ref></blockquote> |
|||
Seluruh imam mazhab dan para mujtahid besar tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan wajibnya Khilafah (atau Imamah) ini. Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan hal ini dalam kitabnya ''Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah'', jilid V, hal. 416: |
|||
=== Ijma’ Sahabat === |
|||
:"Para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) --rahimahumullah-- telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan bahawa ummat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah,) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya..." |
|||
Ijma’ Sahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan dan pem[[baiat]]an pemimpin tampak jelas dalam kejadian bahwa mereka menunda kewajiban menguburkan jenazah Muhammad dan mendahulukan pengangkatan dan pem[[baiat]]an seorang pemimpin. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah suatu kewajiban dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah untuk melakukan kesibukan lain sebelum jenazah dikebumikan. Namun, para Sahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Muhammad ternyata sebagian di antaranya justru lebih mendahulukan usaha-usaha untuk mengangkat dan mem[[baiat]] Khalifah daripada menguburkan jenazah Muhammad. Sedangkan sebagian Sahabat lain mendiamkan kesibukan mengangkat dan pem[[baiat]]an Khalifah tersebut, dan ikut pula bersama-sama menunda kewajiban menguburkan jenazah Muhammad sampai dua malam, padahal mereka mampu mengingkari hal ini dan mampu mengebumikan jenazah Nabi secepatnya. Fakta ini menunjukkan adanya kesepakatan (ijma’) mereka untuk segera melaksanakan kewajiban mengangkat dan mem[[baiat]] pemimpin daripada menguburkan jenazah. |
|||
[[Abu Bakar Ash-Shiddiq]] pernah menyampaikan bahwa dia tidak mau dipanggil sebagai ''khalifatullah'' dan lebih memilih jika dipanggil sebagai ''khalifatur-rasul''.<ref>{{Cite web|title=حديث عبدالله بن أبي مليكة - مجمع الزوائد|url=https://dorar.net/h/bcdd8f06108e1c7443f5b842ab05a36b|website=dorar.net|language=ar|access-date=2021-01-28}}</ref><ref name=":1">{{Cite web|last=link|first=Dapatkan|last2=Facebook|title=Memahami Arti Khalifah|url=https://khalifah.cinta-islam.web.id/2021/01/konsep-khalifah.html|language=id|access-date=2021-01-28|last3=Twitter|last4=Pinterest|last5=Email|last6=Lainnya|first6=Aplikasi|archive-date=2021-02-07|archive-url=https://web.archive.org/web/20210207132143/https://khalifah.cinta-islam.web.id/2021/01/konsep-khalifah.html|dead-url=yes}}</ref> |
|||
Ada satu riwayat dari [[Umar bin Khattab]] pernah menanyakan kepada Salman, “Saya ini seorang Raja atau Khalifah?” Salman manjawab, “Jika engkau mengambil (hasil) dari bumi kaum Muslimin satu dirham atau lebih, lalu engkau pergunakan tidak pada tempatnya (berbuat zalim), maka sesungguhnya engkau adalah raja bukan Khalifah”. Mendengar jawaban itu Umar bin Khattab menangis.<ref name=":1" /> |
|||
=== Dalil Dari Kaidah Syar’iyah === |
|||
Dalam usul fikih dikenal kaidah syar’iyah yang disepakati para ulama: |
|||
"''Sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula keberadaannya.''"<ref>{{Cite web|title=Tanggapan Atas Artikel: Khilafah Ala Minhājin Nubuwah dan Khilafah Ala Minhāji Dāisy|url=https://news.visimuslim.org/2014/07/tanggapan-atas-artikel-khilafah-ala-minhajin-nubuwah-dan-khilafah-ala-minhaji-daisy.html|language=id|access-date=2022-06-05}}</ref> Menerapkan hukum-hukum yang berasal dari Allah dalam segala aspeknya adalah wajib. Sementara hal ini tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa adanya kekuasaan Islam. |
|||
=== Pendapat Para Ulama === |
|||
Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menyatakan, {{quote |"Para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) --''rahimahumullah''-- telah sepakat bahwa Imamah yang di[[baiat]] (Khilafah) itu wajib adanya, dan bahwa umat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah,) dalam [[jamaah]] yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya."<ref>Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hlm 416</ref>}} |
|||
Imam [[Asy-Syaukani]] menuliskan, {{quote |"Menurut golongan Syiah, minoritas Mu’tazilah, dan Asy A’riyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara’."<ref>[[Nailul Authar]], jilid VIII, hlm 265</ref>}} |
|||
Tidak hanya kalangan Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah, bahkan seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah (termasuk Khawarij dan Mu’tazilah) tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang Khalifah. Kalau pun ada segelintir orang yang tidak mewajibkan Khilafah, maka pendapatnya itu tidak perlu dianggap, karena bertentangan dengan nas-nas syara’ yang telah jelas. |
|||
[[Ibnu Hazm]] mengatakan, {{quote |"Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji`ah, seluruh Syi’ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya Imamah (Khilafah)."<ref>Al Fashl fil Milal Wal Ahwa’ Wan Nihal, jilid IV, hlm 87</ref>}} |
|||
Beberapa tulisan ulama yang menilai wajibnya keberadaan khilafah di antaranya Imam Al Mawardi dalam ''Al Ahkamush Shulthaniyah'', hlm. 5; Abu Ya’la Al Farraa’ dalam ''Al Ahkamush Shulthaniyah'', hlm.19; Ibnu Taimiyah dalam ''As Siyasah Asy Syar’iyah'', hlm.161; Ibnu Taimiyah dalam ''Majmu’ul Fatawa'', jilid 28, hlm. 62; Imam Al Ghazali dalam ''Al Iqtishaad fil I’tiqad'', hlm. 97; Ibnu Khaldun dalam ''Al Muqaddimah'', hlm. 167; Imam Al Qurthubi dalam ''Tafsir Al Qurthubi'', juz 1, hlm.264; Ibnu Hajar Al Haitsami dalam ''Ash Shawa’iqul Muhriqah'', hlm. 17; Ibnu Hajar A1 Asqallany dalam ''Fathul Bari'', juz 13, hlm. 176; Imam An Nawawi dalam ''Syarah Muslim'', juz 12, hlm. 205; Dr. Dhiya’uddin Ar Rais dalam ''Al Islam Wal Khilafah'', hlm.99; Abdurrahman Abdul Khaliq dalam ''Asy Syura'', hlm.26; Abdul Qadir Audah dalam ''Al Islam Wa Audla’una As Siyasiyah'', hlm. 124; Dr. Mahmud Al Khalidi dalam ''Qawaid Nizham Al Hukum fil Islam'', hlm. 248; dan Sulaiman Ad Diji dalam ''Al Imamah Al ‘Uzhma'', hlm. 75; Muhammad Abduh dalam ''Al Islam Wan Nashraniyah'', hlm. 61. |
|||
Sedangkan beberapa karya ulama dan tokoh Islam yang menyatakan ketidakwajiban khalifah di antaranya adalah ''Al Islam Wa Usululul Hukm'' oleh Ali Abdur Raziq, ''Mabadi` Nizham Al Hukmi fil Islam'' oleh Abdul Hamid Mutawalli, dan ''Tidak Ada Negara Islam'' oleh [[Nurcholish Madjid]]. |
|||
== Daftar Khalifah == |
== Daftar Khalifah == |
||
Baris 194: | Baris 212: | ||
== Lihat pula == |
== Lihat pula == |
||
* [[ |
* [[Negara Islam Irak dan Syam]] |
||
* [[Kekhalifahan dunia]] |
|||
* [[Kekhanan]] |
|||
* [[Keamiran]] |
|||
* [[Syah (gelar)|Syah]] |
|||
* [[Padisyah]] |
|||
* [[Shaykh al-Islām]] |
|||
== Rujukan == |
== Rujukan == |
||
Baris 200: | Baris 224: | ||
=== Daftar pustaka === |
=== Daftar pustaka === |
||
* {{cite book|last=Ahmed |first=Leila |title=Women and Gender in Islam: Historical Roots of a Modern Debate |url=https://books.google.com/books?id=U0Grq2BzaUgC |year=1992 |publisher=Yale University Press |isbn=978-0-300-05583-2 |ref=harv}} |
|||
* {{cite book|last=Arnold|first=T. W.|editor-last=Houtsma|editor-first=M. Th|title=[[Encyclopaedia of Islam|E.J. Brill's First Encyclopaedia of Islam, 1913–1936]]|accessdate=2010-07-23|volume=Volume IV|year=1993|publisher=BRILL|location=Leiden|isbn=978-90-04-09790-2|pages=881–885|chapter=Khalīfa|chapterurl=http://books.google.com/books?id=7CP7fYghBFQC&pg=PA881}} |
* {{cite book|last=Arnold|first=T. W.|editor-last=Houtsma|editor-first=M. Th|title=[[Encyclopaedia of Islam|E.J. Brill's First Encyclopaedia of Islam, 1913–1936]]|accessdate=2010-07-23|volume=Volume IV|year=1993|publisher=BRILL|location=Leiden|isbn=978-90-04-09790-2|pages=881–885|chapter=Khalīfa|chapterurl=http://books.google.com/books?id=7CP7fYghBFQC&pg=PA881}} |
||
* Barton, Simon (2004). A History of Spain. New York: Palgrave MacMillan. {{ISBN|0333632575}}. |
|||
* {{Citation|title=Damascus: A History|first1=Ross|last1=Burns|publisher=Routledge|year=2005|url=https://books.google.com/?id=1_bQTrpf62cC&dq=damascus|isbn=0-415-27105-3|location=London}}. |
|||
* {{cite book | last = Clinton | first = Jerome W. | editor-last1 = Talattof | editor-first1 = Kamran | editor-last2 = Clinton | editor-first2 = Jerome W. | title = The Poetry of Nizami Ganjavi: Knowledge, Love, and Rhetoric | url = https://archive.org/details/poetryofnizamiga0000unse | publisher = Palgrave Macmillan | year = 2000 | lccn = 99056710 | location = Houndmills, UK | isbn = 0-3122-2810-4 | ref = harv }} |
|||
* Crone, Patricia, and Martin Hinds. ''God's Caliph: Religious Authority in the First Centuries of Islam''. Cambridge: Cambridge University Press, 1986. ISBN 0-521-32185-9. |
* Crone, Patricia, and Martin Hinds. ''God's Caliph: Religious Authority in the First Centuries of Islam''. Cambridge: Cambridge University Press, 1986. ISBN 0-521-32185-9. |
||
* Donner, Fred. ''The Early Islamic Conquests''. Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1981. ISBN 0-691-05327-8. |
* Donner, Fred. ''The Early Islamic Conquests''. Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1981. ISBN 0-691-05327-8. |
||
* {{EI2|article=ʿAbd Allāh ibn al-Zubayr|last=Gibb|first=H. A. R.|volume=1|pages=54–55}} |
|||
* {{cite journal|last1=Grafman|first1=Rafi |first2=Myriam|last2=Rosen-Ayalon|year=1999|title=The Two Great Syrian Umayyad Mosques: Jerusalem and Damascus|journal=Muqarnas|publisher=BRILL|volume=16|pages=1–15|location=Boston|doi=10.2307/1523262 | issn = 0732-2992 }} |
|||
* {{cite book | last1 = Grant | first1 = John | last2 = Clute | first2 = John | chapter = The Encyclopedia of Fantasy | title = Arabian fantasy | year = 1999 | isbn = 0-312-19869-8 | lccn = 96037472 | publisher = St. Martin's Press | location = New York, NY | ref = harv }} |
|||
* {{cite book | last = Gregorian | first = Vartan | title = Islam: A Mosaic, Not a Monolith | url = https://archive.org/details/islam00vart | publisher = Brookings Institution Press | year = 2003 | pages = [https://archive.org/details/islam00vart/page/26 26]–38 | isbn = 0-8157-3282-1 | lccn = 2003006189 | location = Washington, DC | ref = harv }} |
|||
* {{cite book |last1=Hawting |first1=G. R. |title=The First Dynasty of Islam: The Umayyad Caliphate AD 661-750 |date=2000 |origyear=1986 |publisher=Routledge |location=London and New York |isbn=0-415-24073-5 |edition=2nd |url=https://books.google.com/books?id=9J2CAgAAQBAJ&printsec=frontcover&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false}} |
|||
* {{cite book|editor1-last = Holt |editor1-first = P.M. |editor2-last = Lambton |editor2-first = Ann K.S. |editor3-last = Lewis |editor3-first = Bernard |editor3-link = Bernard Lewis |title = Cambridge History of Islam |year = 1970 |publisher = Cambridge University Press |isbn = 978-0-521-29135-4|ref = harv}} |
* {{cite book|editor1-last = Holt |editor1-first = P.M. |editor2-last = Lambton |editor2-first = Ann K.S. |editor3-last = Lewis |editor3-first = Bernard |editor3-link = Bernard Lewis |title = Cambridge History of Islam |year = 1970 |publisher = Cambridge University Press |isbn = 978-0-521-29135-4|ref = harv}} |
||
* Hourani, Albert. '' |
* Hourani, Albert. ''A History of the Arab Peoples'', Faber and Faber, 1991. |
||
* {{cite book| last = |
* {{cite book | last = Huff | first = Toby E. | title = The Rise of Early Modern Science: Islam, China, and the West | publisher = Cambridge University Press | location = Cambridge, UK | isbn = 0-5218-2302-1 | lccn = 2002035017 | year = 2003 | edition = 2nd | ref = harv }} |
||
* {{cite book| last = Lapidus| first = Ira| title = A History of Islamic Societies| url = https://archive.org/details/historyofislamic0000lapi_t2d2| publisher = Cambridge University Press| year = 2002| edition = 2nd|isbn = 978-0-521-77933-3|ref = harv}} |
|||
* *[[Charles William Previté-Orton|Previté-Orton, C. W]] (1971). ''The Shorter Cambridge Medieval History''. Cambridge: Cambridge University Press. |
|||
* {{cite book| last = |
* {{cite book| last = Menocal| first = Maria Rosa| title = Surga di Andalusia: Ketika Muslim, Yahudi, dan Nasrani Hidup dalam Harmoni| publisher = Penerbit Noura Books (PT Mizan Publika)| year = 2015| edition = 1st|isbn = 978-602-0989-82-2|ref = harv}} |
||
* Previté-Orton, C. W (1971). ''The Shorter Cambridge Medieval History''. Cambridge: Cambridge University Press. |
|||
* {{Cite book |last = Mango |first = Andrew |title = Atatürk: The Biography of the Founder of Modern Turkey |url = https://archive.org/details/ataturk00andr |origyear = 1999 |edition = Paperback |year = 2002 |publisher = Overlook Press, Peter Mayer Publishers, Inc |location = Woodstock, NY |isbn = 978-1-58567-334-6 }} |
|||
* {{cite book| last = Tabatabaei | first = Sayyid Mohammad Hosayn | title = Shi'ite Islam | url = https://archive.org/details/shiiteislam0000taba | publisher=Suny press | year = 1979 |isbn = 978-0-87395-272-9|ref = harv}}| Diterjemahkan oleh Seyyed Hossein Nasr. |
|||
{{Authority control}} |
|||
[[Kategori:Khalifah| ]] |
[[Kategori:Khalifah| ]] |
Revisi terkini sejak 2 Agustus 2024 14.24
Bagian dari seri |
Islam |
---|
Khalifah (bahasa Arab: خَليفة; khalīfah) merupakan suatu istilah yang memiliki dua pengertian, yaitu pengertian pertama berarti gelar makhluk yang akan diciptakan Allah di bumi, yaitu Manusia, untuk menggantikan makhluk yang ada sebelumnya. Pengertian kedua adalah gelar yang diberikan untuk penerus Muhammad dalam kepemimpinan umat Islam. Wilayah kewenangan khalifah disebut kekhalifahan atau Khilafah (bahasa Arab: خِلافة; khilāfah). Gelar lain yang juga melekat dengan khalifah adalah amīr al-mu'minīn (أمير المؤمنين) Amirul Mukminin atau "pemimpin orang-orang yang beriman yang telah dibaiat dengan hukum Kitabillah wa Sunnah", meski pada keberjalanannya, gelar ini juga disandang oleh pemimpin Muslim selain khalifah.
Sepanjang sejarahnya, peran khalifah dan bentuk kekhalifahan memiliki beragam corak yang sangat dipengaruhi keadaan politik dan keagamaan pada masa tersebut. Dilihat dari latar belakang khalifah, kekhalifahan dibagi ke dalam empat periode: Kekhalifahan Rasyidin (632–661), Kekhalifahan Umayyah (661–750), Kekhalifahan Abbasiyah (750–1258 dan 1261–1517), dan Kekhalifahan Utsmaniyah (1517–1924).
Kekhalifahan dimulai seiring dibaiatnya Abu Bakar sebagai pemimpin umat Islam tepat setelah meninggalnya Muhammad pada tahun 632. Abu Bakar dan tiga penerusnya, semuanya sahabat Nabi dan memiliki hubungan kekerabatan dengan Muhammad, dikelompokkan sebagai Khulafaur Rasyidin atau Kekhalifahan Rasyidin. Pemilihan keempat khalifah pertama ini didasarkan melalui musyawarah dan kepantasan pribadi calon sehingga Kekhalifahan Rasyidin kerap dipandang sebagai bentuk awal demokrasi Islam.
Setelah perang saudara pertama di penghujung masa Kekhalifahan Rasyidin, Hasan bin 'Ali menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Mu'awiyah yang kemudian mengubah bentuk kekhalifahan menjadi monarki-dinasti, menandai dimulainya masa Kekhalifahan Umayyah. Berpusat di Damaskus, Bani Umayyah memegang tampuk kekhalifahan selama hampir seabad sebelum akhirnya digulingkan kelompok Abbasiyah yang mendirikan kekhalifahan-dinasti mereka sendiri mulai tahun 750. Berbeda dengan masa Khulafaur Rasyidin atau Umayyah, khalifah pada masa Abbasiyah tidak lagi memimpin secara langsung seluruh wilayah dunia Islam dan wilayah kekuasaannya hanya berkisar di kawasan Mesopotamia. Beberapa kepala negara Muslim (bergelar amir atau sultan) memimpin wilayah kekuasaan mereka secara mandiri tanpa campur tangan khalifah. Meski begitu, khalifah tetap dipandang sebagai pemimpin dunia Islam secara keseluruhan dan kepala negara Muslim yang lain memberikan ketundukkan mereka secara simbolis kepada khalifah. Berbeda dengan Umayyah yang sangat bercorak Arab, Abbasiyah yang berpusat di kawasan Mesopotamia memberikan corak Persia yang kental pada kekhalifahan.
Fungsi khalifah sebagai kepala negara lenyap seiring jatuhnya Baghdad oleh Mongol pada 1258. Keturunan Abbasiyah yang tersisa melanjutkan tampuk kekhalifahan di Mesir yang saat itu di bawah kekuasaan Kesultanan Mamluk. Tanpa wilayah kekuasaan dan kekuatan politik yang memadai, khalifah hanya berperan sebagai pemersatu umat Islam secara simbolis sehingga khalifah pada periode ini dikenal sebagai "khalifah bayangan."
Setelah Kesultanan Mamluk ditaklukkan oleh Kesultanan Utsmani pada 1517, pemimpin Utsmani mengambil gelar khalifah untuk mereka sendiri. Gelar khalifah terbatas hanya sebagai pemimpin simbolis dunia Islam setelah 1258 dan hal itu tetap tidak berubah pada masa Utsmani. Para penguasa Utsmani memiliki kekuasaan karena kedudukan mereka sebagai sultan dan padisyah (kaisar), bukan karena status mereka sebagai khalifah. Pada praktiknya, para penguasa Utsmani terbilang sangat jarang menggunakan gelar khalifah (pemimpin umat Islam) mereka dalam perpolitikan dalam dan luar negeri dan lebih sering menggunakan status mereka sebagai sultan dan padisyah (kepala negara Utsmani). Gelar khalifah mulai digunakan penguasa Utsmani pada saat Perjanjian Küçük Kaynarca, untuk menegaskan kedudukannya sebagai pelindung umat Islam di Rusia. Sultan Abdul Hamid II merupakan penguasa Utsmani yang paling sering menggunakan gelar khalifah dalam upayanya menggalang persatuan di dunia Islam untuk menghadapi imperialisme Barat.
Pada November 1922, Majelis Agung Nasional Turki membubarkan Kesultanan Utsmani dan sultan terakhirnya, Mehmed VI, diasingkan ke Malta. Meski begitu, Mustafa Kemal (Atatürk) belum berani membubarkan kekhalifahan demi menjaga dukungan masyarakat, juga karena kekhalifahan adalah lambang pemersatu umat Islam Sunni seluruh dunia, berbeda dengan Kesultanan Utsmani yang merupakan sebatas negara. Majelis Agung Nasional Turki kemudian mengangkat sepupu Mehmed VI sebagai Khalifah Abdul Mejid II pada 19 November 1922. Abdul Mejid II merupakan satu-satunya khalifah dari Wangsa Utsmani yang tidak merangkap sebagai sultan. Namun karena khawatir Abdul Mejid II akan menggunakan statusnya sebagai khalifah untuk campur tangan dalam urusan dalam dan luar negeri Turki sebagaimana yang dilakukan para Sultan Utsmani terdahulu, Majelis Agung Nasional Turki akhirnya membubarkan kekhalifahan pada 3 Maret 1924, menjadikan Abdul Mejid II sebagai khalifah terakhir. Negara-negara Muslim mempertanyakan keabsahan pembubaran kekhalifahan oleh pihak Turki dan terdapat beberapa pertemuan para tokoh Muslim terkait keberlangsungan kekhalifahan, tetapi tidak ada kesepakatan bersama yang dapat dicapai.
Khalifah berbeda dengan sultan. Bila khalifah merupakan pemimpin seluruh umat Islam (baik secara hierarkis atau hanya sekadar simbolis), sultan merupakan kepala dari suatu negara Muslim tertentu dan bukan pemimpin umat Muslim secara keseluruhan. Kedua gelar ini kerap disamakan pada masa-masa sekarang, sangat mungkin lantaran penguasa Utsmani (negara adidaya Muslim terakhir pada milenium kedua) memegang kedua gelar ini secara bersamaan. Penguasa Utsmani merupakan seorang sultan dalam kapasitasnya sebagai kepala negara Utsmaniyah dan sebagai khalifah dalam artian pemimpin simbolis seluruh umat Islam.
Etimologi
[sunting | sunting sumber]Kata "khalifah" (bahasa Arab: خَليفة; khalīfah) bermakna "penerus" atau "perwakilan." Dalam Al-Qur'an disebutkan,
"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, 'Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi.'"
— [Qur'an Al-Baqarah:030]
"Wahai Dawud, sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah di bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah."
Dalam konteks khusus, khalifah adalah pengganti atau penerus Muhammad sebagai pemimpin umat Islam. Kepemimpinan umat ini memiliki dimensi duniawi dan agama, sehingga pada dasarnya, khalifah adalah pemimpin dan pembimbing umat Islam dalam urusan administratif kenegaraan ataupun moral dan agama. Secara tradisi, khalifah sendiri merupakan kependekan dari Khalīfat Rasūl Allāh (penerus utusan Allah).
Khalifah juga dapat dimaknai sebagai kewenangan yang diberikan oleh Allah kepada manusia untuk mengelola alam untuk keperluan hidupnya. Kewenangan ini diberikan dengan adanya batasan atas tanggung-jawab yang baik dan tidak berlebihan. Bekal yang diberikan oleh Allah kepada manusia untuk memenuhi peran ini adalah akal. Keberadaan akal membuat manusia dapat melakukan pengamatan terhadap alam semesta. Dengan perannya ini, manusia diberi tanggung jawab untuk memakmurkan alam sehingga tercipta keseimbangan antara alam dan kehidupan manusia. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur'an pada Surah Luqman ayat 20. Ayat ini menjelaskan bahwa Allah telah mengatur langit dan Bumi agar sesuai dengan kebutuhan hidup manusia secara sempurna. Ini dijadikan olehNya sebagai tanda-tanda kekuasaanNya. Sedangkan peran manusia sebagai pemakmur Bumi ditetapkan oleh Allah pada Surah Hud ayat 61. Ayat ini juga mengaitkan peran manusia sebagai pemakmur Bumi dan penciptaan manusia dari tanah.[1]
Khalifah utama
[sunting | sunting sumber]Khulafaur Rasyidin
[sunting | sunting sumber]Segera setelah kematian Muhammad pada 632, Abu Bakar dibaiat sebagai pemimpin umat Islam di Masjid Nabawi. Dikenal dengan sebutan Ash-Shiddiq (bahasa Arab: اَلـصِّـدِّيْـق, "Tepercaya"), Abu Bakar termasuk salah satu pemeluk Islam awal dan melalui putrinya, 'Aisyah. Masa kekuasaannya yang singkat dikerahkan untuk menumpas pemberontakan dari berbagai suku Arab yang merasa tidak punya tanggung jawab kesetiaan lagi pada pihak Madinah sepeninggal Muhammad.[2] Abu Bakar sangat menjaga agar kebijakan yang dia ambil tidak berbeda dengan Muhammad.
Setelah Abu Bakar meninggal dunia pada 634 dengan meninggalkan keadaan kekhalifahan yang mulai stabil, 'Umar bin Khattab dibaiat sebagai khalifah kedua. Sebagaimana Abu Bakar, 'Umar juga merupakan mertua Muhammad melalui Hafshah. Di masanya, 'Umar melakukan berbagai pembaharuan dan perluasan. Tapal batas kekhalifahan meluas keluar dari semenanjung Arabia, mengakhiri riwayat Kekaisaran Sasaniyah dan mengambil alih dua pertiga wilayah Kekaisaran Romawi Timur.[3] Segala capaiannya menjadikan 'Umar sebagai salah satu khalifah paling berpengaruh sepanjang sejarah.[4]
'Utsman bin 'Affan meneruskan tampuk kekhalifahan sepeninggal 'Umar dan berbeda dengan pendahulunya, 'Utsman lebih memberikan kekuasaan otonomi yang lebih longgar pada bawahannya. Hal ini menjadikan perluasan wilayah kekhalifahan dapat dilangsungkan secara lebih mandiri, sehingga dapat mencapai wilayah yang lebih jauh. Pada masanya, kekhalifahan sudah mencapai sebagian wilayah Khorasan Raya (kawasan Asia Tengah) di batas timur.[5] Di masanya, masyarakat menjadi lebih makmur dalam masalah ekonomi dan menikmati kebebasan yang lebih besar di bidang politik. Namun 'Utsman juga dikritik dengan dalih Nepotisme, karena lebih mendahulukan keluarga besarnya untuk mengisi berbagai kedudukan penting, menjadikan munculnya gelombang demonstrasi besar-besaran yang berujung pada pengepungan rumahnya pada tahun 656. 'Utsman yang tidak ingin menjadi penyebab perang saudara menolak bantuan militer dari kerabat dan pihak lain, menjadikannya terbunuh di akhir pengepungan.[6]
'Ali mewarisi kedudukan khalifah setelahnya. Masa kekuasaannya merupakan salah satu masa-masa tersulit dalam sejarah Islam lantaran pada masa kekuasaannya terjadi perang saudara Islam pertama yang berawal dari terbunuhnya 'Utsman. 'Ali dibunuh kelompok Khawarij[7][8][9] dan putranya, Hasan, diangkat menjadi khalifah oleh sekelompok Muslim pada 661. Namun beberapa bulan setelahnya, Hasan menyerahkan tampuk kekhalifahan kepada Mu'awiyah[10][11] demi menghindari perang saudara lebih lanjut.[12]
Di wilayah yang dulu dikuasai Kekaisaran Sasaniyah dan Romawi, khalifah menurunkan pajak dan memberikan kelonggaran otonomi melalui gubernur pilihan mereka. Berkebalikan dengan Romawi, khalifah memberikan kebebasan beragama yang lebih luas dan memberikan masyarakat non-Muslim hak otonomi untuk mengatur urusan mereka sendiri. Segala kebijakan ini mengangkat moral dan kepercayaan masyarakat yang selama ini terbebani dengan pajak tinggi dan segala kekacauan yang diakibatkan Perang Romawi-Persia yang berturut-turut.[13]
Kerap dipandang sebagai bentuk ideal kekhalifahan oleh banyak umat Islam, khalifah pada masa ini memegang peran sebagai pemimpin umat Islam dalam urusan dunia dan agama. Tidak hanya dalam urusan kenegaraan, para khalifah juga merupakan pengambil keputusan dalam berbagai urusan yang berkaitan dengan ibadah. Kekhalifahan sendiri cenderung berwujud negara kesatuan pada masa ini dan para gubernur secara hierarkis berada di bawah khalifah.
Wangsa Umayyah
[sunting | sunting sumber]Setelah Hasan bin 'Ali turun takhta pada 661, Mu'awiyah berkuasa sebagai khalifah. Penetapan putranya sebagai putra mahkota membuat bentuk kekhalifahan berubah menjadi monarki dinasti yang kedudukan kepala negaranya diwariskan hanya di antara keluarga besar penguasa sebelumnya, dan dari sinilah Wangsa Umayyah lahir.[14] Secara silsilah, khalifah dari Wangsa Umayyah terbagi menjadi dua:
- Kelompok Sufyani, yakni yang merupakan keturunan dari Abu Sufyan bin Harb. Ada tiga orang khalifah yang berasal dari garis Sufyani.
- Kelompok Marwani, merujuk kepada Marwan bin al-Hakam dan keturunannya. Ada sebelas orang khalifah yang berasal dari garis Marwani.
Abu Sufyan dan Al-Hakam (ayah Marwan) adalah cucu dari Umayyah bin 'Abd asy-Syams dan dari sini nama Bani Umayyah ditetapkan.
Wangsa Umayyah melanjutkan perluasan wilayah kekhalifahan, meliputi kawasan Transoxiana, Sindh, Arab Maghrib, dan Al-Andalusia, menjadikan kekhalifahan saat itu sebagai salah satu kekaisaran terbesar di dunia yang pernah ada, baik dari segi luas wilayah maupun populasi, dengan luas mencakup 11,100,000 km2 dengan penduduk sekitar 33 juta jiwa.[15]
Pada masa Umayyah, bahasa Arab ditetapkan sebagai bahasa resmi dari kekhalifahan yang terdiri dari penduduk multi-etnis tersebut. Perpindahan agama besar-besaran menjadi mualaf juga terjadi pada masa Umayyah. Pembangunan banyak bangunan Muslim bersejarah juga dibangun pada masa ini, seperti Kubah Shakhrah di kompleks Masjid Al Aqsha dan Masjid Agung Umayyah.[16] Umayyah juga memberikan kebebasan beragama pada umat non-Muslim dan meskipun mereka tidak bisa menempati hierarki teratas lembaga-lembaga penting, banyak yang menjadi pejabat tinggi di pemerintahan, menjadikan sebagian kalangan Muslim menilai bahwa Wangsa Umayyah terlalu sekuler.[17] Umayyah juga mampu menyerap dan menghidupkan berbagai kebudayaan asli dari bangsa-bangsa yang telah tergabung dalam naungan kekhalifahan, salah satunya tercermin dari arsitektur.[18] Masjid Agung Umayyah sebelumnya merupakan katedral Kristen yang dipersembahkan untuk Yohanes Pembaptis (Yahya dalam Islam) yang awalnya merupakan kuil Romawi untuk pemujaan Dewa Yupiter.[19][20]
Terlepas dari segala capaiannya, Umayyah dikritik karena sangat menganakemaskan Muslim Arab dibandingkan Muslim dari etnis lain yang jumlahnya semakin besar. Pembunuhan Husain dalam Pertempuran Karbala pada 680 oleh pihak Umayyah menjadikan perpecahan antara Sunni dan Syiah semakin nyata.[21] Perang saudara juga melanda kekhalifahan mulai tahun 744, menjadikan kendali Wangsa Umayyah atas negara melemah. Gelombang non-Arab yang menjadi mualaf juga mengubah keadaan dalam negeri kekhalifahan karena banyak dari mereka yang lebih terdidik dari bangsa Arab sendiri, sehingga mengubah keadaan politik dalam kekhalifahan.[22] Pada akhirnya, pendukung Bani Hasyim dan garis keturunan 'Ali berhasil meruntuhkan kekuasaan Umayyah pada 750. Banyak anggota Wangsa Umayyah yang dibunuh setelahnya, di antaranya adalah Marwan bin Muhammad yang merupakan khalifah terakhir dari Wangsa Umayyah di Syam. Di antara anggota Wangsa Umayyah yang selamat adalah 'Abdurrahman ad-Dakhil yang mengungsi ke Al-Andalus dan berkuasa di sana.
Pada masa Umayyah, dimensi keagamaan dalam gelar khalifah memudar seiring menurunnya akhlak dan keagamaan dari sebagian khalifah. Ibnu Katsir menyebutkan kepribadian Khalifah Yazid yang suka mabuk-mabukan.[23] Dari semua khalifah dari Wangsa Umayyah, 'Umar bin 'Abdul 'Aziz dikenal yang paling saleh dan kerap dipandang sebagai khulafaur rasyidin kelima. Meski begitu, peran khalifah sebagai kepala negara dari seluruh dunia Islam masih terjaga.
Wangsa Abbasyiah
[sunting | sunting sumber]Wangsa Abbasiyah memegang tampuk kekhalifahan setelah kekuasaan Umayyah di Syam runtuh pada 750. Keluarga besar ini merupakan keturunan dari Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad. Berpusat di kawasan Mesopotamia, Abbasiyah mengadopsi secara besar-besaran kebudayaan Persia ke dalam tubuh kekhalifahan.[24]
Pada keberjalanannya, wilayah kekuasaan khalifah pada masa Abbasiyah perlahan semakin menyusut hingga hanya di sekitar Mesopotamia. Banyak pihak mendirikan dinasti mereka sendiri dan menguasai suatu bagian dari dunia Islam seperti Wangsa Idrisiyyah yang menguasai Maroko, Aghlabiyyah yang memerintah di Ifriqiya, Dinasti Thuluniyah di Mesir dan Palestina, Bani Buwaih di Iran, Dinasti Samaniyah di Transoxiana, dan Seljuk yang menguasai wilayah yang sangat luas di kawasan Timur Tengah, Kaukasus, dan Asia Tengah. Sebagian dari penguasa dinasti ini menggunakan gelar amir atau bahkan syahansyah (raja diraja), gelar penguasa Persia pra-Islam. Pada masa ini mulai muncul gelar sultan yang mulai digunakan untuk kepala negara Muslim dan mulai menggeser penggunaan gelar amir. Meski banyak dari dinasti baru ini menguasai wilayah yang jauh lebih luas dari khalifah sendiri dan memerintah secara mandiri tanpa campur tangan khalifah, tetapi para amir dan sultan ini tetap mengakui kedaulatan khalifah atas mereka secara simbolis dan khalifah tetap dipandang sebagai pemimpin dunia Islam secara keseluruhan.
Salah satu hal paling menonjol pada masa kekuasaan Abbasiyah adalah dukungan besar mereka pada ilmu pengetahuan, salah satunya adalah pembangunan Baitul Hikmah, tempat penerjemahan, pengumpulan, penggabungan, dan pengembangan ilmu dari kebudayaan Romawi kuno, Tiongkok, Persia, India, Mesir, Afrika Utara, Yunani, dan Romawi Timur. Tidak hanya menjadi jantung kekuasaan dan pemerintahan, Baghdad, dan dunia Islam secara umum, juga menjelma menjadi pusat ilmu pengetahuan, filsafat, pendidikan, dan kesehatan pada masa yang dikenal dengan zaman keemasan Islam.[25] Pada berbagai bidang - matematika, astronomi, alkimia, kedokteran, optik, dan sebagainya - ilmuwan kekhalifahan berada pada garda terdepan dalam kemajuan ilmu pengetahuan pada masa itu.[26] Tidak hanya Muslim, ilmuwan dari kalangan non-Muslim juga turut memberi sumbangsih besar pada perkembangan ini.
Sastra dan literatur juga menjadi salah satu perhatian pada masa ini. Salah satu fiksi dari dunia Islam yang terkenal hingga saat ini, Seribu Satu Malam, yang merupakan kumpulan hikayat dan legenda, utamanya dikumpulkan pada masa Abbasiyah. Epik ini diyakini mulai terbentuk pada abad kesepuluh dan mencapai bentuk akhirnya pada abad keempat belas, jumlah dan jenis ceritanya berbeda-beda antara satu manuskrip dengan yang lain.[27] Syair Arab juga mencapai puncaknya pada masa ini. Salah satu syair terkenal dalam masalah percintaan adalah Layla dan Majnun.[28] Berbeda pada masa kekhalifahan sebelumnya, peran perempuan dalam ranah publik memudar di zaman Abbasiyah.[29] Budaya Persia pra-Islam, utamanya di kalangan atas, sangat ketat dalam melakukan pemisahan dunia laki-laki dan perempuan. Perempuan kalangan atas hidup dipingit dalam harem sebagai lambang kesucian dan tingginya status sosial keluarga yang bersangkutan.[30][31] Norma tersebut kemudian diadopsi Abbasiyah dan diikuti banyak umat Muslim pada masa-masa berikutnya.[31]
Berbeda pada masa sebelumnya, kekhalifahan sudah tidak bisa dikatakan sebagai negara kesatuan lagi. Banyak dinasti baru bermunculan dan pemimpin mereka berkuasa secara berdaulat tanpa campur tangan khalifah. Meski begitu, mereka masih memberikan ketundukkan mereka kepada khalifah meski hanya sebatas formalitas. Khalifah sendiri masih memiliki peran sebagai kepala negara sebagai penguasa di kawasan Mesopotamia. Peran khalifah sebagai kepala negara baru benar-benar lenyap setelah Hulagu Khan menduduki Baghdad pada 1258 dan membunuh Khalifah 'Abdullah Al-Musta'shim. Setelah peristiwa tersebut, dunia Islam mengalami kekosongan dari kepemimpinan khalifah selama sekitar tiga tahun. Dari naiknya Wangsa Abbasiyah setelah penggulingan Umayyah sampai jatuhnya Baghdad, terdapat 37 khalifah.
Bani Abbasiyah di Kairo
[sunting | sunting sumber]Setelah jatuhnya Baghdad, anggota Wangsa Abbasiyah yang selamat melarikan diri ke Mesir yang saat itu dikuasai Kesultanan Mamluk dan melanjutkan tampuk kekhalifahan di sana mulai tahun 1261. Namun berbeda saat masih di Baghdad, khalifah pada masa ini sama sekali tidak memiliki wilayah kekuasaan. Khalifah hanya mengurus permasalahan upacara dan keagamaan, sementara kekuatan politiknya sangat terbatas. Peran khalifah sebagai pemimpin umat Islam yang tadinya memiliki kekuatan politik sebagai kepala negara bergeser menjadi sepenuhnya hanya sekadar simbol. Hal ini mejadikan khalifah sering terombang-ambing saat terjadi guncangan di pemerintahan Mesir. Tidak hanya mampu menunjuk khalifah baru yang dikehendaki, Sultan Mamluk bahkan mampu menggulingkan khalifah yang masih bertakhta saat terjadi perselisihan. Keadaan tersebut membuat khalifah pada periode ini sering disebut sebagai "khalifah bayangan".
Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1517 saat Kesultanan Utsmani yang berpusat di Konstantinopel menduduki Mesir, mengakhiri riwayat Mamluk. Khalifah saat itu, Muhammad Al-Mutawakkil, kemudian menyerahkan gelar khalifah kepada Sultan Utsmani, Selim I, menandai berakhirnya peran Wangsa Abbasiyah dan Quraisy sebagai khalifah. Dari tahun 1261 sampai penaklukkan Mesir oleh Utsmani, terdapat 17 khalifah. Di antara mereka, tiga khalifah menjabat sebanyak dua kali dan seorang khalifah menjabat sebanyak tiga kali. Secara keseluruhan, Wangsa Abbasiyah menyandang gelar khalifah selama hampir tujuh setengah abad, menjadikannya sebagai dinasti terlama yang memegang peran sebagai pemimpin dunia Islam ini sepanjang sejarah kekhalifahan.
Wangsa Utsmaniyah
[sunting | sunting sumber]Sebelum menjadi sebuah kekaisaran lintas benua, Utsmani awalnya adalah sebuah kadipaten kecil di kawasan Anatolia yang merupakan bawahan Kesultanan Seljuk. Saat Seljuk di ambang keruntuhan, kadipaten-kadipaten di Anatolia memerdekakan diri, termasuk kadipaten yang berada di bawah pimpinan Osman. Perlahan kadipaten yang dipimpin Osman dan keturunannya meluaskan wilayah dan menyatukan kadipaten yang lain, juga mulai meluaskan wilayahnya ke kawasan Balkan. Anak keturunannya menggunakan nama Osman untuk nama dinasti dan negara mereka yang semakin berkembang ini, yang kemudian dieja menjadi Utsman atau Utsmaniyah di Indonesia dan Ottoman di Barat.
Seiring menguatnya Kesultanan Utsmaniyah, para pemimpin mereka mulai mengklaim gelar khalifah untuk diri mereka sendiri, meski saat itu Wangsa Abbasiyah yang berada di Mesir masih memegang gelar ini dari generasi ke generasi. Klaim Utsmani atas kepemimpinan dunia Islam semakin menguat saat di bawah kepemimpinan Selim I, mereka menaklukkan Kesultanan Mamluk yang menguasai Mesir, Syam, dan Hijaz pada 1517. Wangsa Abbasiyah yang sejak tahun 1261 hidup dalam perlindungan Mamluk kemudian menyerahkan kedudukan mereka sebagai khalifah kepada pihak Utsmani, menjadikan Selim secara resmi sebagai khalifah pertama dari Wangsa Utsmani dan non-Arab.
Semenjak jatuhnya Baghdad, khalifah kehilangan fungsinya sebagai kepala negara dan hanya berperan sebagai pemimpin dunia Islam secara simbolis. Keadaan itu sebenarnya tetap tidak berubah pada masa Utsmani. Para penguasa Utsmani memiliki kekuatan politik atas kedudukan mereka sebagai sultan dan padisyah, bukan karena status mereka sebagai khalifah. Pada praktiknya, penguasa Utsmani sangat jarang menggunakan gelar khalifah pada percaturan politik di dalam dan luar negeri.
Di masa-masa selanjutnya, status penguasa Utsmani sebagai sultan melemah seiring bergesernya kendali pemerintahan di tangan wazir agung (perdana menteri) dan tokoh-tokoh terkemuka lain, tetapi fungsi khalifah justru makin berkembang. Gelar khalifah mulai digunakan saat Perjanjian Küçük Kaynarca (1774) yang dilakukan antara pihak Kesultanan Utsmani yang saat itu dipimpin Sultan Abdul Hamid I (berkuasa 1773 – 1789) dan Kekaisaran Rusia yang dipimpin Maharani Yekaterina II. Atas kemenangan Rusia atas Utsmani pada Perang Kozludzha, Utsmani dipaksa mengakui kedaulatan Kekhanan Krimea yang awalnya merupakan bawahan Utsmani dalam Perjanjian Küçük Kaynarca. Meski secara politik kehilangan Krimea, Abdul Hamid I menggunakan statusnya sebagai khalifah untuk menegaskan kepemimpinan keagamaannya atas Muslim Krimea. Yekaterina sendiri juga mengklaim sebagai pelindung umat Kristen Ortodoks di wilayah Utsmani pada perjanjian ini.[32] Dari perjanjian ini, status khalifah yang merupakan pemimpin dunia Islam mulai berkembang dari yang hanya sekadar simbol menjadi sebuah gelar yang memiliki kekuatan politik.
Di antara semua penguasa Utsmani, Sultan Abdul Hamid II (berkuasa 1876 – 1909) adalah yang paling sering menggunakan kedudukannya sebagai khalifah. Melalui statusnya sebagai khalifah, Abdul Hamid II berusaha menyatukan masyarakatnya yang multi-etnis atas dasar agama sebagai reaksi atas keadaan Utsmani yang semakin melemah dan terpecah,[33] juga menghimpun kekuatan dari seluruh dunia Islam untuk bersatu dalam melawan imperialisme Barat. Upayanya ini mengancam negara-negara Eropa, yakni Austria melalui Muslim Albania, Rusia melalui Tatar dan Kurdi, Prancis melalui Muslim Maroko, dan Britania Raya melalui Muslim India.[34] Upaya ini membuahkan hasil dalam beberapa hal. Setelah kemenangan Utsmani pada Perang Yunani-Turki, banyak umat Muslim memandang ini sebagai kemenangan Muslim. Pemberontakan dan penolakan penjajahan bangsa Eropa dilaporkan di surat kabar di berbagai wilayah Muslim.[34][35]
Meski berupaya menyatukan dunia Islam, atas permintaan duta Amerika untuk Utsmani Oscar Straus, Abdul Hamid II sepakat untuk menulis surat kepada Suku Suluk di Kesultanan Sulu agar mereka tidak melakukan perlawanan kepada Amerika. Hal ini menjadikan Muslim Sulu mengakui kedaulatan Amerika atas mereka.[36][36][37]
Terlepas dari segala hasil yang dicapai, upaya Abdul Hamid II dalam menyatukan masyarakat dengan identitas Islam tidak sepenuhnya berhasil. Hal ini karena besarnya jumlah populasi non-Muslim dan pengaruh Eropa atas Utsmani.[38] Setelah Abdul Hamid II digulingkan pada 1909, baik status Sultan Utsmani maupun khalifah kehilangan kekuatan politiknya.
Khalifah lain
[sunting | sunting sumber]Sebagai posisi pemimpin dunia Islam, idealnya hanya ada satu khalifah dalam satu masa. Namun sejarah menyaksikan bahwa dalam beberapa kurun waktu, terdapat beberapa pihak yang mengklaim gelar khalifah selain khalifah utama. Beberapa alasan yang mendasarinya adalah reaksi penolakan atas kebijakan tertentu dari khalifah, kekuatan khalifah utama yang semakin memudar, atau pihak-pihak terkait merasa telah memiliki pengaruh yang cukup besar sehingga dipandang sebagai pemimpin dunia Islam. Mereka ini tidak dimasukkan ke dalam daftar khalifah utama atas dasar mereka klaim mereka sebagai khalifah tidak tersambung dengan khalifah sebelumnya.
Pernyataan pihak-pihak lain ini sebagai khalifah tidak berarti bahwa mereka menyatakan diri sejajar dengan khalifah utama. Khalifah adalah posisi untuk pemimpin dunia Islam dan harusnya hanya ada satu khalifah pada satu masa. Saat pihak ini menyatakan dirinya sebagai khalifah, mereka menyatakan kepemimpinan atas seluruh umat Islam (terlepas wilayah kekuasaan mereka secara de facto) dan sekaligus memandang pihak lain sebagai khalifah yang tidak sah.[39]
'Abdullah bin Zubair
[sunting | sunting sumber]'Abdullah bin Zubair adalah salah satu pihak awal yang melakukan pernyataan diri sebagai khalifah dan menjadi khalifah paralel saat Wangsa Umayyah di Damaskus juga masih menyandang gelar ini. Ayahnya adalah Zubair bin Awwam, keponakan Khadijah binti Khuwailid dari jalur ayah dan sepupu Muhammad dari jalur ibu. Ibunya adalah Asma', putri Khalifah Abu Bakar dan kakak ipar Muhammad.
'Abdullah bin Zubair pada awalnya menolak kesetiaan kepada khalifah setelah Mu'awiyah bin Abu Sufyan melantik putranya sendiri, Yazid, sebagai putra mahkota. Setelah Yazid mangkat setelah tiga tahun berkuasa dan kekuasaan diwariskan kepada putranya, Mu'awiyah II, 'Abdullah bin Zubair menyatakan dirinya sebagai amirul-mu'minin, salah satu gelar lain untuk khalifah.[40][41] Kedudukannya sebagai khalifah diakui oleh masyarakat Hijaz, Yaman, Mesir, dan Iraq. Kekuasaan 'Abdullah bin Zubair berakhir saat Khalifah 'Abdul Malik bin Marwan mengutus Al-Hajjaj bin Yusuf untuk menundukkannya. Al-Hajjaj mengepung Makkah selama sekitar enam bulan dan banyak dari para pengikut 'Abdullah bin Zubair menyerah pada masa ini. 'Abdullah bin Zubair tetap menolak untuk menyerah dan melanjutkan perlawanan sampai dia terbunuh pada Oktober atau November 692.[40][42]
Wangsa Fatimiyah
[sunting | sunting sumber]Wangsa Fatimiyah adalah dinasti beraliran Syi'ah Ismailiyah yang menyatakan diri sebagai keturunan putri bungsu Muhammad, Fatimah az-Zahra. Mereka mengklaim gelar khalifah mulai tahun 909 dan menjadi khalifah pesaing dari Wangsa Abbasiyah yang bertakhta di Mesopotamia. Pada masa puncaknya, Fatimiyah menguasai kawasan Afrika Utara, Sisilia, Syam, dan Hijaz. Fatimiyah awalnya berkuasa di kawasan Tunisia dan kemudian memindahkan ibu kotanya di Kairo setelah Mesir ditaklukkan pada 969.[43]
Fatimiyah membentuk tentara berlandas etnis yang terbukti membawa keberhasilan di medan perang, tetapi tidak dalam ranah politik dalam negeri. Perselisihan antar kelompok militer menjadikan kekuasaan dinasti ini merosot dengan cepat pada akhir abad kesebelas dan abad kedua belas. Shalahuddin mengakhiri kekuasaan dinasti ini pada 1171, mendirikan dinasti Al-Ayyubi yang menyatakan kesetiaan pada Wangsa Abbasiyah.[44] Terdapat empat belas khalifah dari Wangsa Fatimiyah dan mereka berkuasa dalam rentang waktu lebih dari dua setengah abad.
Khalifah di Kordoba
[sunting | sunting sumber]Semenanjung Iberia, juga dikenal dengan Al-Andalusia, telah menjadi bagian dari kekhalifahan pada masa Umayyah. Setelah kekuasaan Umayyah di Syam runtuh pada 750, 'Abdurrahman ad-Dakhil pergi ke semenanjung Iberia dan menjadi penguasa di sana setelah menggulingkan penguasa sebelumnya, memerintah kawasan Iberia dari kota Kordoba. Meski moyangnya telah menyandang gelar khalifah selama hampir seabad saat berkuasa di Syam, anggota Wangsa Umayyah yang berkuasa di Iberia awalnya hanya menyandang gelar "amir" (setara dengan 'adipati') dan mengakui klaim pihak Abbasiyah sebagai pemimpin seluruh umat Islam,[45] meski perselisihan di antara kedua belah pihak masih berlanjut.
Namun setelah Fatimiyah yang mengklaim gelar khalifah mulai mengancam kekuasaan Umayyah di Al-Andalus, keturunan 'Abdurrahman ad-Dakhil, 'Abdurrahman III, menyatakan dirinya sebagai khalifah pada 16 Januari 929.[46] Hal ini menjadikan terdapat tiga pihak yang mengklaim gelar khalifah: Abbasiyah di Baghdad, Fatimiyah yang berpusat di Mesir, dan penguasa di Kordoba. Tak hanya dalam masalah kekuasaan, Kordoba juga menjadi pesaing Baghdad terkait perannya sebagai pusat perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya.[47][48] Pada masa Al-Hakam II, perpustakaan istana memiliki 500.000 volume buku. Sebagai perbandingan, Biara Santo Gallen di Swiss hanya memiliki 100 volume.[49] Universitas di Kordoba juga menjadi yang paling terkenal di dunia kala itu, didatangi murid Muslim ataupun Kristen dari segala penjuru Eropa Barat. Universitas ini melahirkan seratus lima puluh penulis. Universitas dan perpustakaan lain juga tersebar di kawasan Iberia pada masa ini.[50]
Pada keberjalanannya, kekuasaan Wangsa Umayyah di Andalusia semakin melemah, menjadikan Wangsa Hammud, sebuah dinasti Muslim Arab-Berber, mampu merebut tampuk kekhalifahan selama beberapa waktu.[49] Umayyah dapat mengambil kembali status khalifah, tetapi negara tersebut sudah sangat melemah dengan beberapa wilayah telah lepas dari kendali khalifah. Penggulingan Hisyam III pada 1031 menjadi akhir dari riwayat khalifah di Kordoba. Setelahnya, wilayah yang dulu dikuasai khalifah terpecah menjadi negara-negara kecil yang disebut taifa.[51] Meski khalifah di Kordoba hanya bertahan selama sekitar satu abad, kekuasaan umat Muslim di Andalusia masih berlanjut sampai Wangsa Nasrid penguasa Granada dikalahkan pihak Katolik Spanyol pada 1492.
Keruntuhan kekhalifahan
[sunting | sunting sumber]Setelah Abdul Hamid II digulingkan pada 1909, dua sultan penerusnya hampir kehilangan kekuatan politik sepenuhnya dan hanya berperan sebagai lambang kepala negara semata tanpa kekuasaan yang nyata. Kesultanan Utsmaniyah kehilangan sebagian besar wilayahnya setelah kalah dalam Perang Dunia I, menjadikan hanya menguasai kawasan Anatolia dan ujung tenggara Balkan. Istanbul (Konstantinopel) dikuasai Britania Raya setelahnya, menciptakan sebuah kevakuman politik dengan menawan banyak pejabat negara dan menutup kantor-kantor pemerintahan dengan paksa.
Kekalahan Utsmani menimbulkan reaksi yang disebut Gerakan Khilafat sebagai bentuk kekhawatiran akan kesatuan umat Islam. Meski gerakan ini didengungkan di berbagai belahan dunia Islam, kegiatannya paling banyak dilangsungkan di India sehingga juga disebut Gerakan Muslim India. Sebagai pemenang perang, pihak Eropa menjanjikan untuk melindungi status penguasa Utsmani sebagai khalifah, tetapi Perjanjian Sèvres yang ditandatangani pada 1920 menjadikan kawasan Iraq, Syam, dan Mesir diserahkan pada negara-negara Eropa.
Pada 1 November 1922, Majelis Agung Nasional Turki secara resmi membubarkan Kesultanan Utsmani. Sultan terakhirnya, Mehmed VI, diasingkan ke Malta. Setelah pembubaran Utsmani, Republik Turki yang berasaskan sekuler didirikan dengan Mustafa Kemal sebagai presiden pertamanya.
Meski demikian, Mustafa Kemal tidak berani membubarkan kekhalifahan demi menjaga dukungan rakyat. Meski sudah kehilangan peran politiknya sejak lama, khalifah tetap dipandang sebagai lambang pemersatu umat Islam Sunni seluruh dunia. Pembubaran kesultanan juga lebih mudah lantaran keberlangsungan kekhalifahan saat itu menyenangkan para pendukung kesultanan. Pada 17 November 1922, Majelis Agung Nasional Turki mengangkat sepupu Mehmed VI sebagai Khalifah Abdul Mejid II. Hal ini menjadikan Abdul Mejid II sebagai satu-satunya khalifah dari Wangsa Utsmani yang tidak merangkap sebagai sultan.
Hal tersebut menjadikan keadaan di Turki terbelah dengan pemerintahan republik yang baru di satu sisi dan pemerintahan Islam yang dikepalai khalifah di sisi lain. Khalifah memiliki perbendaharaan pribadi dan pelayanan pribadi, termasuk personel militer. Abdul Mejid II juga menerima duta asing, juga turut serta dalam upacara dan perayaan resmi.[52] Mustafa Kemal mengkhawatirkan bahwa Abdul Mejid II nantinya akan memegang kendali urusan negara selayaknya seorang sultan.[53]
Dalam keadaan seperti ini, Maulana Mohammad Ali dan Maulana Syaukat Ali yang merupakan pemimpin Gerakan Khilafat menyebarkan pamflet yang menyerukan rakyat Turki untuk mendukung kekhalifahan demi kepentingan Islam. Oleh pihak republik, hal ini dipandang sebagai campur tangan pihak asing yang dapat membahayakan keamanan negara. Hal ini menjadi pembenaran Mustafa Kemal untuk mengakhiri kekhalifahan. Pada 3 Maret 1924, Majelis Agung Nasional Turki membubarkan kekhalifahan dan mengasingkan Abdul Mejid II beserta para pangeran dan putri Wangsa Utsmaniyah dari Republik Turki.[54][55]
Pasca pembubaran kekhalifahan
[sunting | sunting sumber]Banyak pihak mempertanyakan keabsahan pembubaran kekhalifahan oleh pihak Turki secara sepihak.[56] Syarif Makkah, Husain bin Ali, mengklaim gelar khalifah untuk dirinya sendiri. Mantan Sultan Mehmed VI memberi dukungan melalui telegram kepada Husain,[57] tetapi pengakuannya tidak diterima oleh semua umat Muslim. Setelah Husain turun takhta, putranya tidak melanjutkan klaim ayahnya sebagai khalifah.[58]
Pada Mei 1926, diselenggarakan pertemuan di Kairo terkait upaya untuk kembali menegakkan kekhalifahan, tetapi banyak negara Muslim yang tidak hadir dan tidak ada tindakan nyata setelah pertemuan tersebut.[56] Dua konferensi Islam juga diselenggarakan di Makkah (1926) dan Yerusalem (1927), tetapi tidak mencapai kesepakatan.[56]
Pada perkembangan selanjutnya, gelar Amir al-Mukmin disandang oleh Raja Maroko dan Mullah Mohammed Omar, pemimpin rezim Taliban di Afganistan, tetapi kebanyakan Muslim di luar daerah kekuasaan mereka menolak untuk mengakuinya. Saat ini banyak pecahan negara-negara muslim yang membentuk Organisasi Konferensi Islam atau OKI, sebuah organisasi internasional dengan pengaruh yang terbatas yang didirikan pada tahun 1969 beranggotakan negara-negara mayoritas Muslim.
Peran dan kedudukan khalifah
[sunting | sunting sumber]Kebanyakan akademisi menyetujui bahwa Muhammad tidak secara langsung menyarankan atau memerintahkan pembentukan kekhalifahan Islam setelah kematiannya. Permasalahan yang dihadapi ketika itu adalah mengenai pihak yang paling berhak menggantikan Muhammad sebagai pemimpin umat Islam dan batasan kekuasaan yang dimilikinya.
Pengganti Muhammad
[sunting | sunting sumber]Fred M. Donner dalam bukunya The Early Islamic Conquests (1981) berpendapat bahwa kebiasaan bangsa Arab ketika itu adalah untuk mengumpulkan para tokoh masyarakat dari suatu keluarga (bani dalam bahasa arab), atau suku, untuk bermusyawarah dan memilih pemimpin dari salah satu di antara mereka. Tidak ada prosedur spesifik dalam syuro atau musyawarah ini. Para kandidat biasanya memiliki keterkaitan silsilah dari pemimpin sebelumnya, walaupun hanya merupakan keluarga jauh.
Hingga pada tiba saatnya Muhammad meninggal, kaum Muslim berdebat tentang siapa yang berhak untuk menjadi penerus kepemimpinan umat Islam hingga saat ini apa yang dibicarakan di dalam masa tenggang itu masih menjadi kontroversi di kalangan kaum Muslim. Namun dapat dipastikan bahwa mayoritas kaum Muslim yang hadir dalam musyawarah saat itu meyakini bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah penerus kepemimpinan umat Islam karena sebelum Muhammad meninggal, ia dipercaya untuk menggantikan posisi sebagai imam shalat. Pada akhirnya, Abu Bakar pun terpilih menjadi khalifah pertama dalam sejarah Islam.
Namun beberapa kalangan dari kaum Muslim Makkah dan Madinah saat itu meyakini bahwa Muhammad telah memberikan banyak tanda yang menunjukan bahwa Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantunya, sebagai pengganti dirinya dan semua khalifah yang diangkat sebelum 'Ali dipandang sebagai khalifah yang tidak sah. Hal inilah yang memicu munculnya kaum Syiah belakangan pada masa kekhalifahan Muawiyah, lebih tepatnya setelah masa kekuasaan Ali bin Abi Thalib berakhir.
Kekuasaan
[sunting | sunting sumber]"Siapa yang akan menggantikan Muhammad" bukanlah satu-satunya masalah yang dihadapi umat Islam saat itu; tetapi juga menetapkan seberapa besar kekuasaan pengganti sang nabi. Berbeda dengan Muhammad, tidak satu pun dari para khalifah yang mendapatkan wahyu dari Allah. Untuk mengatasinya, wahyu Allah yang disampaikan oleh Muhammad kemudian ditulis dan dikumpulkan menjadi Al-Quran, dijadikan patokan dan sumber utama hukum Islam, dan menjadi batas kekuasaan khalifah Islam. Artinya, Khalifah adalah seseorang pemimpin yang tunduk pada Al-Qur'an dan Hadits dan kekuasaannya pun dibatasi keduanya.
Bagaimanapun, ada beberapa bukti yang menunjukan bahwa khalifah mempercayai bahwa mereka mempunyai otoritas untuk memutuskan beberapa hal yang tidak tercantum dalam Al-Quran. Mereka juga mempercayai bahwa mereka adalah pempimpin spiritual umat islam, dan mengharapkan "kepatuhan kepada khalifah" sebagai ciri seorang muslim sejati. Sarjana modern Patricia Crone dan Martin Hinds, dalam bukunya God's Caliph, menggarisbawahi bahwa fakta tersebut membuat khalifah menjadi begitu penting dalam pandangan dunia Islam ketika itu. Mereka berpendapat bahwa pandangan tersebut kemudian hilang secara perlahan-lahan seiring dengan bertambah kuatnya pengaruh ulama di kalangan umat Islam. Kaum Muslim beranggapan bahwa ulama sama berhaknya menentukan apa yang dianggap legal dan baik di kalangan umat, sesuai dengan hadis yang menyebutkan bahwa suatu kaum akan ditinggalkan oleh Allah ketika mereka meninggalkan para ulama. Pemimpin umat Islam yang paling tepat, menurut pendapat para ulama, adalah pemimpin yang menjalankan saran-saran spiritual dari para ulama, sementara para khilafah hanya mengurusi hal-hal yang bersifat duniawi sehingga mengakibatkan perdebatan di antara keduanya. Perselisihan pendapat antara Khalifah dan para ulama tersebut menjadi konflik yang berlarut-larut dalam beberapa bagian sejarah kekhalifahan Islam. Namun akhirnya, konflik ini berakhir dengan kemenangan para ulama.[butuh rujukan] Kekuasaan Khalifah selanjutnya menjadi terbatas pada hal yang bersifat keduniawian. Khalifah hanya dapat dianggap menjadi "Khalifah yang benar" apabila ia menjalankan saran spiritual para ulama.[butuh rujukan] Patricia Crone dan Martin Hinds juga berpendapat bahwa muslim Syiah, dengan pandangan yang berlebihan kepada para imam, tetap menjaga kepercayaan murni umat islam, namun tidak semua ilmuwan setuju akan hal ini.
Kebanyakan Muslim Sunni saat ini mempercayai bahwa para khalifah tidak selamanya hanya menjadi pemimpin masalah duniawi, dan ulama sepenuhnya bertanggung jawab atas arah spiritual umat islam dan hukum syariah umat islam. Mereka menyebut empat khalifah pertama sebagai Khulafaur Rasyidin, Khalifah yang diberi petunjuk, karena mereka menjalankan dan berpegang pada hukum yang terdapat pada Al-Quran dan sunnah Muhammad dalam segala hal. Mereka juga mempercayai bahwa sekali khalifah dipilih untuk memimpin, maka sepanjang hidupnya ia akan memerintah kecuali jika ia keluar dari aturan syariat.
Karakter kepemimpinan
[sunting | sunting sumber]Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa karakter pemimpin Islam ialah menganggap bahwa otoritas dan kekuasaan yang dimilikinya adalah sebuah kepercayaan (amanah) dari umat Islam dan bukan kekuasaan yang mutlak dan absolut. Hal ini didasarkan pada hadis yang berbunyi:
"It (sovereignty) is a trust, and on the Day of Judgment it will be a thing of sorrow and humiliation except for those who were deserving of it and did well."
Hal ini sangat kontras dengan keadaan Eropa saat itu di mana kekuasaan raja sangat absolut dan mutlak.[59]
Peranan seorang kalifah telah ditulis dalam banyak sekali literatur oleh teolog islam. Imam Najm al-Din al-Nasafi menggambarkan khalifah sebagai berikut:
"Umat Islam tidak berdaya tanpa seorang pemimpin (imam, dalam hal ini khalifah) yang dapat memimpin mereka untuk menentukan keputusan, memelihara dan menjaga daerah perbatasan, memperkuat angkatan bersenjata (untuk pertahanan negara), menerima zakat mereka (untuk kemudian dibagikan), menurunkan tingkat perampokan dan pencurian, menjaga ibadah pada hari jumat (salat jumat) dan hari raya, menghilangkan perselisihan di antara sesama, menghakimi dengan adil, menikahkan wanita yang tak memiliki wali. Sebuah keharusan bagi pemimpin untuk terbuka dan berbicara di depan orang yang dipimpinnya, tidak bersembunyi dan jauh dari rakyatnya.
Ia sebaiknya berasal dari kaum Quraish dan bukan kaum lainnya, tetapi tidak harus dikhususkan untuk Bani Hasyim atau anak-anak Ali. Pemimpin bukanlah seseorang yang suci dari dosa, dan bukan pula seorang yang paling jenius pada masanya, tetapi ia adalah seorang yang memiliki kemampuan administratif dan memerintah, mampu dan tegas dalam mengeluarkan keputusan dan mampu menjaga hukum-hukum Islam untuk melindungi orang-orang yang terzalimi. Dan mampu memimpin dengan arif dan demokratif.
Ibnu Khaldun kemudian menegaskan hal ini dan menjelaskan lebih jauh tentang kepemimpinan kekhahalifah secara lebih singkat:
"Kekhalifahan harus mampu menggerakan umat untuk bertindak sesuai dengan ajaran Islam dan menyeimbangkan kewajiban di dunia dan akhirat. (Kewajiban di dunia) harus seimbang (dengan kewajiban untuk akhirat), seperti yang diperintahkan oleh Muhammad, semua kepentingan dunia harus mempertimbangkan keuntungan untuk kepentingan akhirat. Singkatnya, (Kekhalifahan) pada kenyataannya menggantikan Muhammad, beserta sebagian tugasnya, untuk melindungi agama dan menjalankan kekuasaan politik di dunia."
Landasan agama
[sunting | sunting sumber]Al-Qur'an
[sunting | sunting sumber]"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik."
— [Qur'an An-Nur:055]
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pengatur perkara agama) di antara kamu (orang-orang yang beriman). Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
— [Qur'an An-Nisa’:059]
Hadits
[sunting | sunting sumber]Muhammad bersabda,
"Bani Israil, kehidupan mereka selalu didampingi oleh para Nabi, bila satu Nabi meninggal dunia, akan dibangkitkan Nabi setelahnya. Dan sungguh tidak ada Nabi sepeninggal aku. Yang ada adalah para khalifah yang banyak jumlahnya". Para sahabat bertanya; "Apa yang Anda perintahkan kepada kami?". Muhammad menjawab: "Penuihilah baiat kepada khalifah yang pertama (lebih dahulu diangkat), berikanlah hak mereka karena Allah akan bertanya kepada mereka tentang kepemimpinan mereka". (H.R. Bukhari) [60]
"Apabila ada dua khalifah yang dibaiat, maka bunuhlah yang paling terakhir dari keduanya ." (H.R. Muslim) [61]
"Kekhalifahan di ummatku selama tiga puluh tahun kemudian setelah itu kerajaan." (H.R. Tirmidzi) [62][63]
“Akan ada masa kenabian pada kalian selama yg Allah kehendaki Allah mengangkat atau menghilangkan kalau Allah menghendaki. Lalu akan ada masa khilafah di atas manhaj nubuwwah selama Allah kehendaki kemudian Allah mengangkat jika Allah menghendaki. Lalu ada masa kerajaan yg sangat kuat selama yg Allah kehendaki kemudian Allah mengangkat bila Allah menghendaki. Lalu akan ada masa kerajaan [kejam] selama yg Allah kehendaki kemudian Allah mengangkat bila Allah menghendaki. Lalu akan ada lagi masa kekhilafahan di atas manhaj nubuwwah.“ Kemudian beliau diam.” (H.R. Ahmad) [64][65]
Ijma’ Sahabat
[sunting | sunting sumber]Ijma’ Sahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan dan pembaiatan pemimpin tampak jelas dalam kejadian bahwa mereka menunda kewajiban menguburkan jenazah Muhammad dan mendahulukan pengangkatan dan pembaiatan seorang pemimpin. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah suatu kewajiban dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah untuk melakukan kesibukan lain sebelum jenazah dikebumikan. Namun, para Sahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Muhammad ternyata sebagian di antaranya justru lebih mendahulukan usaha-usaha untuk mengangkat dan membaiat Khalifah daripada menguburkan jenazah Muhammad. Sedangkan sebagian Sahabat lain mendiamkan kesibukan mengangkat dan pembaiatan Khalifah tersebut, dan ikut pula bersama-sama menunda kewajiban menguburkan jenazah Muhammad sampai dua malam, padahal mereka mampu mengingkari hal ini dan mampu mengebumikan jenazah Nabi secepatnya. Fakta ini menunjukkan adanya kesepakatan (ijma’) mereka untuk segera melaksanakan kewajiban mengangkat dan membaiat pemimpin daripada menguburkan jenazah.
Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah menyampaikan bahwa dia tidak mau dipanggil sebagai khalifatullah dan lebih memilih jika dipanggil sebagai khalifatur-rasul.[66][67]
Ada satu riwayat dari Umar bin Khattab pernah menanyakan kepada Salman, “Saya ini seorang Raja atau Khalifah?” Salman manjawab, “Jika engkau mengambil (hasil) dari bumi kaum Muslimin satu dirham atau lebih, lalu engkau pergunakan tidak pada tempatnya (berbuat zalim), maka sesungguhnya engkau adalah raja bukan Khalifah”. Mendengar jawaban itu Umar bin Khattab menangis.[67]
Dalil Dari Kaidah Syar’iyah
[sunting | sunting sumber]Dalam usul fikih dikenal kaidah syar’iyah yang disepakati para ulama:
"Sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula keberadaannya."[68] Menerapkan hukum-hukum yang berasal dari Allah dalam segala aspeknya adalah wajib. Sementara hal ini tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa adanya kekuasaan Islam.
Pendapat Para Ulama
[sunting | sunting sumber]Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menyatakan,
"Para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) --rahimahumullah-- telah sepakat bahwa Imamah yang dibaiat (Khilafah) itu wajib adanya, dan bahwa umat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah,) dalam jamaah yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya."[69]
Imam Asy-Syaukani menuliskan,
"Menurut golongan Syiah, minoritas Mu’tazilah, dan Asy A’riyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara’."[70]
Ibnu Hazm mengatakan,
"Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji`ah, seluruh Syi’ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya Imamah (Khilafah)."[71]
Beberapa tulisan ulama yang menilai wajibnya keberadaan khilafah di antaranya Imam Al Mawardi dalam Al Ahkamush Shulthaniyah, hlm. 5; Abu Ya’la Al Farraa’ dalam Al Ahkamush Shulthaniyah, hlm.19; Ibnu Taimiyah dalam As Siyasah Asy Syar’iyah, hlm.161; Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ul Fatawa, jilid 28, hlm. 62; Imam Al Ghazali dalam Al Iqtishaad fil I’tiqad, hlm. 97; Ibnu Khaldun dalam Al Muqaddimah, hlm. 167; Imam Al Qurthubi dalam Tafsir Al Qurthubi, juz 1, hlm.264; Ibnu Hajar Al Haitsami dalam Ash Shawa’iqul Muhriqah, hlm. 17; Ibnu Hajar A1 Asqallany dalam Fathul Bari, juz 13, hlm. 176; Imam An Nawawi dalam Syarah Muslim, juz 12, hlm. 205; Dr. Dhiya’uddin Ar Rais dalam Al Islam Wal Khilafah, hlm.99; Abdurrahman Abdul Khaliq dalam Asy Syura, hlm.26; Abdul Qadir Audah dalam Al Islam Wa Audla’una As Siyasiyah, hlm. 124; Dr. Mahmud Al Khalidi dalam Qawaid Nizham Al Hukum fil Islam, hlm. 248; dan Sulaiman Ad Diji dalam Al Imamah Al ‘Uzhma, hlm. 75; Muhammad Abduh dalam Al Islam Wan Nashraniyah, hlm. 61.
Sedangkan beberapa karya ulama dan tokoh Islam yang menyatakan ketidakwajiban khalifah di antaranya adalah Al Islam Wa Usululul Hukm oleh Ali Abdur Raziq, Mabadi` Nizham Al Hukmi fil Islam oleh Abdul Hamid Mutawalli, dan Tidak Ada Negara Islam oleh Nurcholish Madjid.
Daftar Khalifah
[sunting | sunting sumber]Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Rujukan
[sunting | sunting sumber]- ^ Hambali, Muhammad (2017). Rusdianto, ed. Panduan Muslim Kaffah Sehari-Hari: Dari Kandungan hingga Kematian. Yogyakarta: Laksana. hlm. 23. ISBN 978-602-407-185-1.
- ^ Gianluca Paolo Parolin, Citizenship in the Arab World: Kin, Religion and Nation-state (Amsterdam University Press, 2009), 52.
- ^ Hourani, p. 23.
- ^ Ahmed, Nazeer, Islam in Global History: From the Death of Prophet Muhammad to the First World War, American Institute of Islamic History and Cul, 2001, p. 34. ISBN 0-7388-5963-X.
- ^ Ochsenweld, William; Fisher, Sydney Nettleton (2004). The Middle East: A History (edisi ke-6th). New York: McGraw Hill. ISBN 978-0-07-244233-5.
- ^ The Cambridge History of Islam, ed. P.M. Holt, Ann K.S. Lambton, and Bernard Lewis, Cambridge, 1970
- ^ Lapidus 2002, hlm. 47.
- ^ Holt, Lambton & Lewis 1970, hlm. 70–72.
- ^ Tabatabaei 1979, hlm. 50–75 and 192.
- ^ Donaldson, Dwight M. (1933). The Shi'ite Religion: A History of Islam in Persia and Irak (PDF). Burleigh Press. hlm. 66–78.
- ^ Jafri, Syed Husain Mohammad (2002). The Origins and Early Development of Shi’a Islam; Chapter 6. Oxford University Press. ISBN 978-0195793871.
- ^ Ayati, Dr. Ibrahim. "A Probe into the History of Ashura'". Al-Islam.org. Ahlul Bayt Digital Islamic Library Project.
- ^ John Esposito (1992)
- ^ Cavendish, Marshall (2010). "6". Islamic Beliefs, Practices, and Cultures. hlm. 129. ISBN 978-0-7614-7926-0.
- ^ Blankinship, Khalid Yahya (1994), The End of the Jihad State, the Reign of Hisham Ibn 'Abd-al Malik and the collapse of the Umayyads, State University of New York Press, hlm. 37, ISBN 0-7914-1827-8
- ^ Previté-Orton (1971), pg 236
- ^ "Umayyad dynasty | Islamic history". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-03-26.
- ^ Menocal 2015, hlm. 19
- ^ Burns, 2005, p.88.
- ^ Grafman and Rosen-Ayalon, 1999, p.7.
- ^ "What is the difference between Sunni and Shia Muslims?". The Economist. 28 May 2013.
- ^ Previté-Orton (1971), vol. 1, pg. 239
- ^ Ibn Kathir. Al-Bidāya wa-n-Nihāya, Volume 8. hlm. 235–236.
- ^ Canfield, Robert L. (2002). Turko-Persia in Historical Perspective. Cambridge University Press. hlm. 5. ISBN 9780521522915.
- ^ Gregorian 2003
- ^ Huff 2003, hlm. 48
- ^ Grant & Clute 1999, hlm. 51.
- ^ Clinton 2000, hlm. 15–16
- ^ Ahmed 1992, hlm. 112–15.
- ^ Youshaa Patel (2013). "Seclusion". The Oxford Encyclopedia of Islam and Women. Oxford: Oxford University Press. ((Perlu berlangganan (help)).
- ^ a b Eleanor Abdella Doumato (2009). "Seclusion". Dalam John L. Esposito. The Oxford Encyclopedia of the Islamic World. Oxford: Oxford University Press. ((Perlu berlangganan (help)).
- ^ The Cambridge History of Islam I: The Central Islamic Lands (dalam bahasa Turki). Cambridge University Press. 1970.
- ^ M.Sükrü Hanioglu, A Brief History of the Late Ottoman Empire, 130.
- ^ a b Takkush, Mohammed Suhail, "The Ottoman's History" pp.489,490
- ^ Lewis.B, "The Emergence of Modern Turkey" Oxford, 1962, p.337
- ^ a b Kemal H. Karpat (2001). The Politicization of Islam: Reconstructing Identity, State, Faith, and Community in the Late Ottoman State. Oxford University Press. hlm. 235. ISBN 978-0-19-513618-0.
- ^ Moshe Yegar (1 January 2002). Between Integration and Secession: The Muslim Communities of the Southern Philippines, Southern Thailand, and Western Burma/Myanmar. Lexington Books. hlm. 397. ISBN 978-0-7391-0356-2.
- ^ Dr. Bayram Kodaman, The Hamidiye Light Cavalry Regiments (Abdullmacid II and Eastern Anatolian Tribes)
- ^ Wasserstein, David (1993). The Caliphate in the West: An Islamic Political Institution in the Iberian Peninsula (snippet view). Oxford: Clarendon Press. hlm. 11. ISBN 978-0-19-820301-8. Diakses tanggal 5 September 2010.
- ^ a b Gibb 1960, p. 55.
- ^ Hawting 1986, p. 47.
- ^ Gibb 1960, p. 54.
- ^ Abbasid Belles Lettres. Cambridge University Press; 30 March 1990. ISBN 978-0-521-24016-1. p. 13.
- ^ Baer, Eva (1983). Metalwork in Medieval Islamic Art. SUNY Press. hlm. xxiii. ISBN 9780791495575.
- ^ O'Callaghan, J. F. (1983). A History of Medieval Spain. Ithaca: Cornell University Press. hlm. 119.
- ^ Barton, 38.
- ^ Barton, 40–41.
- ^ Barton, 42.
- ^ a b Catlos, Brain A. (2014). Infidel Kings and Unholy Wars: Faith, Power, and Violence in the Age of Crusades and Jihad. New York: Farrar, Straus, and Giroux. p. 30.
- ^ Francis Preston Venable, A Short History of Chemistry (1894) p. 21.
- ^ Chejne, Anwar G. (1974). Muslim Spain: Its History and Culture. Minneapolis: The University of Minnesota Press. hlm. 43–49. ISBN 0816606889.
- ^ Mango, Atatürk, 401
- ^ Mango, Atatürk, 403
- ^ Finkel, Caroline (2007). "Osman's Dream: The History of the Ottoman Empire". Basic Books. hlm. 546. ISBN 9780465008506.
- ^ Özoğlu, Hakan (2011). From Caliphate to Secular State: Power Struggle in the Early Turkish Republic (dalam bahasa Inggris). ABC-CLIO. ISBN 9780313379567.
- ^ a b c Majid Khadduri (2006) War and peace in the law of Islam, The Lawbook Exchange, Ltd., ISBN 1-58477-695-1-page 290-291
- ^ Teitelbaum, Joshua (2001). The Rise and Fall of the Hashimite Kingdom of Arabia. C. Hurst & Co. Publishers. ISBN 9781850654605.
- ^ Bosworth 2004, p. 118
- ^ Omar Hossino. Classical Islamic Views on Human Nature, Political Authority, and International Relations, 2006.
- ^ "Hadits Bukhari tentang Para khalifah di Bani Israil".
- ^ "Hadits tentang dua khalifah dalam satu waktu".
- ^ "Teks arab hadits 30 tahun khalifah Muhammad saw".
- ^ "Terjemah Hadits 30 tahun masa kekhalifahan Muhammad saw". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-05-13.
- ^ "Teks Arab Hadits tentang Masa-masa Kekhalifahan".
- ^ "Terjemah Hadits tentang masa-masa Kekhalifahan". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-05-13.
- ^ "حديث عبدالله بن أبي مليكة - مجمع الزوائد". dorar.net (dalam bahasa Arab). Diakses tanggal 2021-01-28.
- ^ a b link, Dapatkan; Facebook; Twitter; Pinterest; Email; Lainnya, Aplikasi. "Memahami Arti Khalifah". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-02-07. Diakses tanggal 2021-01-28.
- ^ "Tanggapan Atas Artikel: Khilafah Ala Minhājin Nubuwah dan Khilafah Ala Minhāji Dāisy". Diakses tanggal 2022-06-05.
- ^ Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hlm 416
- ^ Nailul Authar, jilid VIII, hlm 265
- ^ Al Fashl fil Milal Wal Ahwa’ Wan Nihal, jilid IV, hlm 87
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]- Ahmed, Leila (1992). Women and Gender in Islam: Historical Roots of a Modern Debate. Yale University Press. ISBN 978-0-300-05583-2.
- Arnold, T. W. (1993). "Khalīfa". Dalam Houtsma, M. Th. E.J. Brill's First Encyclopaedia of Islam, 1913–1936. Volume IV. Leiden: BRILL. hlm. 881–885. ISBN 978-90-04-09790-2. Diakses tanggal 2010-07-23.
- Barton, Simon (2004). A History of Spain. New York: Palgrave MacMillan. ISBN 0333632575.
- Burns, Ross (2005), Damascus: A History, London: Routledge, ISBN 0-415-27105-3.
- Clinton, Jerome W. (2000). Talattof, Kamran; Clinton, Jerome W., ed. The Poetry of Nizami Ganjavi: Knowledge, Love, and Rhetoric. Houndmills, UK: Palgrave Macmillan. ISBN 0-3122-2810-4. LCCN 99056710.
- Crone, Patricia, and Martin Hinds. God's Caliph: Religious Authority in the First Centuries of Islam. Cambridge: Cambridge University Press, 1986. ISBN 0-521-32185-9.
- Donner, Fred. The Early Islamic Conquests. Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1981. ISBN 0-691-05327-8.
- Gibb, H. A. R. (1960). "ʿAbd Allāh ibn al-Zubayr". Dalam Gibb, H. A. R.; Kramers, J. H.; Lévi-Provençal, E.; Schacht, J.; Lewis, B.; Pellat, Ch. Encyclopaedia of Islam. Volume I: A–B (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 54–55. OCLC 495469456.
- Grafman, Rafi; Rosen-Ayalon, Myriam (1999). "The Two Great Syrian Umayyad Mosques: Jerusalem and Damascus". Muqarnas. Boston: BRILL. 16: 1–15. doi:10.2307/1523262. ISSN 0732-2992.
- Grant, John; Clute, John (1999). "The Encyclopedia of Fantasy". Arabian fantasy. New York, NY: St. Martin's Press. ISBN 0-312-19869-8. LCCN 96037472.
- Gregorian, Vartan (2003). Islam: A Mosaic, Not a Monolith. Washington, DC: Brookings Institution Press. hlm. 26–38. ISBN 0-8157-3282-1. LCCN 2003006189.
- Hawting, G. R. (2000) [1986]. The First Dynasty of Islam: The Umayyad Caliphate AD 661-750 (edisi ke-2nd). London and New York: Routledge. ISBN 0-415-24073-5.
- Holt, P.M.; Lambton, Ann K.S.; Lewis, Bernard, ed. (1970). Cambridge History of Islam. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-29135-4.
- Hourani, Albert. A History of the Arab Peoples, Faber and Faber, 1991.
- Huff, Toby E. (2003). The Rise of Early Modern Science: Islam, China, and the West (edisi ke-2nd). Cambridge, UK: Cambridge University Press. ISBN 0-5218-2302-1. LCCN 2002035017.
- Lapidus, Ira (2002). A History of Islamic Societies (edisi ke-2nd). Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-77933-3.
- Menocal, Maria Rosa (2015). Surga di Andalusia: Ketika Muslim, Yahudi, dan Nasrani Hidup dalam Harmoni (edisi ke-1st). Penerbit Noura Books (PT Mizan Publika). ISBN 978-602-0989-82-2.
- Previté-Orton, C. W (1971). The Shorter Cambridge Medieval History. Cambridge: Cambridge University Press.
- Mango, Andrew (2002) [1999]. Atatürk: The Biography of the Founder of Modern Turkey (edisi ke-Paperback). Woodstock, NY: Overlook Press, Peter Mayer Publishers, Inc. ISBN 978-1-58567-334-6.
- Tabatabaei, Sayyid Mohammad Hosayn (1979). Shi'ite Islam. Suny press. ISBN 978-0-87395-272-9.| Diterjemahkan oleh Seyyed Hossein Nasr.