Lompat ke isi

Peristiwa Tanjung Priok: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Heavenlyjump (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
 
(3 revisi perantara oleh 2 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 5: Baris 5:
| image = [[Berkas:Tragedi_Tanjung_Priok.jpeg|300px]]
| image = [[Berkas:Tragedi_Tanjung_Priok.jpeg|300px]]
| caption =
| caption =
| date = 13 September 1984
| date = {{date and age|1984|9|12|df=yes}}
| place = [[Tanjung Priok (disambiguasi)|Tanjung Priok]], [[Jakarta Utara]], Indonesia
| place = [[Tanjung Priok, Jakarta Utara|Tanjung Priok]], [[Kota Administrasi Jakarta Utara|Jakarta Utara]], Indonesia
| coordinates =
| coordinates =
| causes =
| causes =
Baris 13: Baris 13:
| result = lihat [[#Akibat|Akibat]]
| result = lihat [[#Akibat|Akibat]]
| methods = Penembakan
| methods = Penembakan
| side1 = [[Tentara Nasional Indonesia]]
| side1 = {{Flagicon image|Flag of the Indonesian National Armed Forces (until 1999).png}} [[Tentara Nasional Indonesia]]
| side2 = Warga muslim Tanjung Priok
| side2 = Warga muslim Tanjung Priok
| side3 =
| side3 =
| leadfigures1 = [[Try Sutrisno]]<br/>[[Leonardus Benyamin Moerdani]]
| leadfigures1 = {{flagicon|IDN}} [[Try Sutrisno]]<br/>{{flagicon|IDN}} [[Leonardus Benyamin Moerdani]]
| leadfigures2 = [[Amir Biki]]
| leadfigures2 = Amir Biki
| leadfigures3 =
| leadfigures3 =
| howmany1 = Tidak diketahui
| howmany1 = Tidak diketahui
Baris 29: Baris 29:
}}
}}


'''Peristiwa Tanjung Priok''' adalah peristiwa [[kerusuhan]] yang terjadi pada [[12 September]] [[1984]] di [[Tanjung Priok (disambiguasi)|Tanjung Priok]], [[Jakarta]], [[Indonesia]] yang mengakibatkan sejumlah korban tewas dan luka-luka serta sejumlah gedung rusak terbakar. Sekelompok massa melakukan defile sambil merusak sejumlah gedung dan akhirnya bentrok dengan aparat yang kemudian menembaki mereka.<ref name="BourchierHadiz2003">{{cite book|author1=David Bourchier|author2=Vedi R. Hadiz|title=Indonesian Politics and Society: A Reader|url=http://books.google.com/books?id=wgOOTMKCGRYC&pg=PA140|year=2003|publisher=RoutledgeCurzon|isbn=978-0-415-23750-5|page=140}}</ref><ref>{{cite book|title=Sejarah nasional Indonesia: Zaman Jepang dan zaman Republik Indonesia, ±1942-1998|url=http://books.google.com/books?id=AgwfAR3uTVcC&pg=PA642|year=2008|publisher=PT Balai Pustaka|isbn=978-979-407-412-1|page=642}}{{Pranala mati|date=Juni 2023 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}</ref> Sedikitnya, 9 orang tewas terbakar dalam kerusuhan tersebut dan 24 orang tewas oleh tindakan aparat.<ref>{{Citation | last = Linton | first = S | title = Accounting for Atrocities in Indonesia | journal = The Singapore Year Book of International Law | year = 2006 | volume = 10 | page = 199–231 | url = http://law.nus.edu.sg/sybil/downloads/articles/SYBIL-2006/SYBIL-2006-199.pdf | accessdate = 12 September 2011 | language = Inggris}}</ref>
'''Peristiwa Tanjung Priok''' adalah peristiwa [[kerusuhan]] yang terjadi pada 12 September 1984 di [[Tanjung Priok, Jakarta Utara|Tanjung Priok]], [[Kota Administrasi Jakarta Utara|Jakarta Utara]], Indonesia yang mengakibatkan sejumlah korban tewas dan luka-luka serta sejumlah gedung rusak terbakar. Sekelompok massa melakukan defile sambil merusak sejumlah gedung dan akhirnya bentrok dengan aparat yang kemudian menembaki mereka.<ref name="BourchierHadiz2003">{{cite book|author1=David Bourchier|author2=Vedi R. Hadiz|title=Indonesian Politics and Society: A Reader|url=http://books.google.com/books?id=wgOOTMKCGRYC&pg=PA140|year=2003|publisher=RoutledgeCurzon|isbn=978-0-415-23750-5|page=140}}</ref><ref>{{cite book|title=Sejarah nasional Indonesia: Zaman Jepang dan zaman Republik Indonesia, ±1942-1998|url=http://books.google.com/books?id=AgwfAR3uTVcC&pg=PA642|year=2008|publisher=PT Balai Pustaka|isbn=978-979-407-412-1|page=642}}{{Pranala mati|date=Juni 2023 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}</ref> Sedikitnya, 9 orang tewas terbakar dalam kerusuhan tersebut dan 24 orang tewas oleh tindakan aparat.<ref>{{Citation | last = Linton | first = S | title = Accounting for Atrocities in Indonesia | journal = The Singapore Year Book of International Law | year = 2006 | volume = 10 | page = 199–231 | url = http://law.nus.edu.sg/sybil/downloads/articles/SYBIL-2006/SYBIL-2006-199.pdf | accessdate = 12 September 2011 | language = Inggris}}</ref>


==Latar Belakang==
==Latar Belakang==


Pada tanggal 10 September 1984, SZszsersan Hermanu,<ref>{{Cite news|url=http://print.kompas.com/baca/2015/06/26/Sudah-Saling-Memaafkan|title=Sudah Saling Memaafkan|last=Kompas|first=PT Kompas Media Nusantara,|access-date=2017-09-12}}</ref> seorang anggota Bintara Pembina Desa tiba di Masjid As Saadah di Tanjung Priok, Jakarta Utara, dan mengatakan kepada pengurusnya, Amir Biki, untuk menghapus brosur dan spanduk yang mengkritik pemerintah.{{sfn|Junge|2008|p=17}} Biki menolak permintaan ini, lantas Hermanu memindahkannya sendiri; Saat melakukannya, dia dilaporkan memasuki area sholat masjid tanpa melepas sepatunya (sebuah pelanggaran serius terhadap etiket masjid).{{sfn|Junge|2008|p=17}}{{sfn|Haryanto 2010, Death Toll From 1984 Massacre}}
Pada tanggal 10 September 1984, Sersan Hermanu,<ref>{{Cite news|url=http://print.kompas.com/baca/2015/06/26/Sudah-Saling-Memaafkan|title=Sudah Saling Memaafkan|last=Kompas|first=PT Kompas Media Nusantara,|access-date=2017-09-12}}</ref> seorang anggota Bintara Pembina Desa tiba di Masjid As Saadah di Tanjung Priok, Jakarta Utara, dan mengatakan kepada pengurusnya, Amir Biki, untuk menghapus brosur dan spanduk yang mengkritik pemerintah.{{sfn|Junge|2008|p=17}} Biki menolak permintaan ini, lantas Hermanu memindahkannya sendiri; Saat melakukannya, dia dilaporkan memasuki area sholat masjid tanpa melepas sepatunya (sebuah pelanggaran serius terhadap etiket masjid).{{sfn|Junge|2008|p=17}}{{sfn|Haryanto 2010, Death Toll From 1984 Massacre}}


Sebagai tanggapan, warga setempat, yang dipimpin oleh pengurus masjid Syarifuddin Rambe dan Sofwan Sulaeman, membakar sepeda motornya dan menyerang Hermanu saat dia sedang berbicara dengan petugas lain.{{sfn|Junge|2008|p=17}}{{sfn|Haryanto 2010, Death Toll From 1984 Massacre}} Keduanya kemudian menangkap Rambe dan Sulaeman, serta pengurus lain, Achmad Sahi, dan seorang pria pengangguran bernama Muhamad Noor.{{sfn|Junge|2008|p=17}}{{sfn|Haryanto 2010, Death Toll From 1984 Massacre}}{{sfn|The Jakarta Post 2009, Victims 'may not}}
Sebagai tanggapan, warga setempat, yang dipimpin oleh pengurus masjid Syarifuddin Rambe dan Sofwan Sulaeman, membakar sepeda motornya dan menyerang Hermanu saat dia sedang berbicara dengan petugas lain.{{sfn|Junge|2008|p=17}}{{sfn|Haryanto 2010, Death Toll From 1984 Massacre}} Keduanya kemudian menangkap Rambe dan Sulaeman, serta pengurus lain, Achmad Sahi, dan seorang pria pengangguran bernama Muhamad Noor.{{sfn|Junge|2008|p=17}}{{sfn|Haryanto 2010, Death Toll From 1984 Massacre}}{{sfn|The Jakarta Post 2009, Victims 'may not}}
Baris 56: Baris 56:
Pada bulan Oktober 2000, Komnas HAM mengeluarkan laporan lain yang menunjukkan bahwa 23 orang, termasuk Sutrisno dan Moerdani, harus diselidiki atas keterlibatan mereka; Ia meminta pengadilan ''[[ad hoc]]'' untuk menyelidiki masalah ini lebih lanjut.{{sfn|Junge|2008|hlm=21}} Presiden [[Abdurrahman Wahid]] juga meminta penyelidikan lebih lanjut pada pengadilan yang akan datang. Beberapa pejabat militer membuat surat pengampunan (islah) dengan keluarga korban; meski islah tidak mengandung pengakuan bersalah, korban menerima kompensasi sejumlah Rp. 1,5-2 juta.{{sfn|Junge|2008|hlm=22}} Islah pertama meliputi 86 keluarga, seperti yang diwakilkan oleh Rambe, sedangkan untuk keluarga Biki terjadi pada islah kedua. Pada tanggal 1 Maret 2001 sejumlah islah telah dibuat.{{sfn|Junge|2008|hlm=22}} Hasil islah tersebut, beberapa korban atau keluarga mereka menyarankan kepada penyidik [[M.A. Rachman]] bahwa tuntutan harus dijatuhkan.{{sfn|Junge|2008|hlm=23}} Investigasi baru berlanjut pada bulan Juli 2003.{{sfn|KontraS, Massacre of Tanjung Priok}}
Pada bulan Oktober 2000, Komnas HAM mengeluarkan laporan lain yang menunjukkan bahwa 23 orang, termasuk Sutrisno dan Moerdani, harus diselidiki atas keterlibatan mereka; Ia meminta pengadilan ''[[ad hoc]]'' untuk menyelidiki masalah ini lebih lanjut.{{sfn|Junge|2008|hlm=21}} Presiden [[Abdurrahman Wahid]] juga meminta penyelidikan lebih lanjut pada pengadilan yang akan datang. Beberapa pejabat militer membuat surat pengampunan (islah) dengan keluarga korban; meski islah tidak mengandung pengakuan bersalah, korban menerima kompensasi sejumlah Rp. 1,5-2 juta.{{sfn|Junge|2008|hlm=22}} Islah pertama meliputi 86 keluarga, seperti yang diwakilkan oleh Rambe, sedangkan untuk keluarga Biki terjadi pada islah kedua. Pada tanggal 1 Maret 2001 sejumlah islah telah dibuat.{{sfn|Junge|2008|hlm=22}} Hasil islah tersebut, beberapa korban atau keluarga mereka menyarankan kepada penyidik [[M.A. Rachman]] bahwa tuntutan harus dijatuhkan.{{sfn|Junge|2008|hlm=23}} Investigasi baru berlanjut pada bulan Juli 2003.{{sfn|KontraS, Massacre of Tanjung Priok}}


Di bawah tekanan internasional, pada tahun 2003 DPR menyetujui penggunaan undang-undang hak asasi manusia tahun 2000 untuk membawa pelaku pembantai ke pengadilan atas kejahatan terhadap kemanusiaan;{{sfn|Khalik 2008, Govt slammed for human}}{{sfn|Saraswati 2003, Tanjung Priok rights}} persidangan dimulai pada bulan September tahun itu.{{sfn|KontraS, Massacre of Tanjung Priok}} Mereka yang dibawa ke pengadilan termasuk Kolonel [[Sutrisno Mascung]], pemimpin Peleton II Batalyon Artileri Pertahanan Udara saat itu, dan 13 bawahannya.{{sfn|Saraswati 2003, Tanjung Priok rights}} Pejabat berpangkat tinggi saat itu, termasuk komandan militer Jakarta Try Sutrisno dan Kepala Angkatan Bersenjata L. B. Moerdani, dibebaskan dari tuntutan, seperti mantan Presiden [[Soeharto]] dan mantan Menteri Kehakiman [[Ismail Saleh]].{{sfn|Saraswati 2003, Tanjung Priok rights}}{{sfn|The Jakarta Post 2003, Soeharto blamed}} Penuntutan dipimpin oleh [[Widodo Supriyadi]], dan Wakil Ketua DPR [[A.M. Fatwa]] bertugas sebagai saksi penuntutan.{{sfn|Taufiqurrahman 2004, I was tortured}}{{sfn|The Jakarta Post 2003, Court urged to pursue}} Beberapa petugas yang diadili divonis bersalah, sementara Sriyanto dan Pranowo dibebaskan.{{sfn|Haryanto 2010, Death Toll From 1984 Massacre}} Pada tahun 2004 kantor Kejaksaan mengajukan banding atas pembebasan Sriyanto dan Pranowo, namun ditolak.{{sfn|Khalik 2008, Govt slammed for human}} Keputusan tersebut kemudian dibatalkan oleh [[Mahkamah Agung]] RI.{{sfn|Haryanto 2010, Death Toll From 1984 Massacre}}
Di bawah tekanan internasional, pada tahun 2003 DPR menyetujui penggunaan undang-undang hak asasi manusia tahun 2000 untuk membawa pelaku pembantai ke pengadilan atas kejahatan terhadap kemanusiaan;{{sfn|Khalik 2008, Govt slammed for human}}{{sfn|Saraswati 2003, Tanjung Priok rights}} persidangan dimulai pada bulan September tahun itu.{{sfn|KontraS, Massacre of Tanjung Priok}} Mereka yang dibawa ke pengadilan termasuk Kolonel [[Sutrisno Mascung]], pemimpin Peleton II Batalyon Artileri Pertahanan Udara saat itu, dan 13 bawahannya.{{sfn|Saraswati 2003, Tanjung Priok rights}} Pejabat berpangkat tinggi saat itu, termasuk komandan militer Jakarta Try Sutrisno dan Kepala Angkatan Bersenjata L. B. Moerdani, dibebaskan dari tuntutan, seperti mantan Presiden [[Soeharto]] dan mantan Menteri Kehakiman [[Ismail Saleh]].{{sfn|Saraswati 2003, Tanjung Priok rights}}{{sfn|The Jakarta Post 2003, Soeharto blamed}} Penuntutan dipimpin oleh [[Widodo Supriyadi]], dan Wakil Ketua DPR [[A.M. Fatwa]] bertugas sebagai saksi penuntutan.{{sfn|Taufiqurrahman 2004, I was tortured}}{{sfn|The Jakarta Post 2003, Court urged to pursue}} Beberapa petugas yang diadili divonis bersalah, sementara Sriyanto dan Pranowo dibebaskan.{{sfn|Haryanto 2010, Death Toll From 1984 Massacre}} Pada tahun 2004 kantor Kejaksaan mengajukan banding atas pembebasan Sriyanto dan Pranowo, namun ditolak.{{sfn|Khalik 2008, Govt slammed for human}} Keputusan tersebut kemudian dibatalkan oleh [[Mahkamah Agung Republik Indonesia]].{{sfn|Haryanto 2010, Death Toll From 1984 Massacre}}

<!--
Pada tahun 1985, sejumlah orang yang terlibat dalam defile tersebut diadili dengan tuduhan melakukan tindakan [[subversif]], lalu pada tahun 2004 sejumlah aparat militer diadili dengan tuduhan pelanggaran [[hak asasi manusia]] pada peristiwa tersebut.<ref name="Foundation2007">{{cite book|author=LONTAR Foundation|title=Indonesia in the Soeharto Years: Issues, Incidents and Images|url=http://books.google.com/books?id=SBUlQq7sz9cC&pg=PA202|year=2007|publisher=Lontar Foundation|isbn=978-9971-69-358-9|page=202}}</ref>

Peristiwa ini berlangsung dengan latar belakang dorongan pemerintah [[Sejarah Indonesia (1966-1998)|Orde Baru]] waktu itu agar semua organisasi masyarakat menggunakan asas tunggal [[Pancasila]]. Penyebab dari peristiwa ini adalah tindakan penangkapan seorang dari kelompok massa yang mengkritik pemerintah di salah satu mesjid di kawasan Tanjung Priok dan penyerangan oleh massa kepada aparat.

Komandan yang paling bertanggung jawab atas hal ini adalah mantan wakil presiden Tri Sutrisno yang pada saat itu menjabat sebagai [[Try Sutrisno#KODAM V.2FJaya dan Insiden Tanjung Priok|Panglima KODAM V/Jaya]]
== Latar Belakang ==
Peristiwa ini diawali oleh tindakan oknum [[ABRI]], bernama Sersan Satu Hermanu yang mendatangi mushala As-Sa'adah untuk menyita pamflet berbau '[[SARA]]'. Namun Ia masuk ke dalam masjid tanpa melepas sepatu, lalu menyiram dinding mushala dengan air got, bahkan lebih dari itu ia menginjak-injak [[Al-Qur'an]]. Warga pun terpacing emosi dan Marah dan motor Sersan Hermanu pun dibakar Massa. Buntutnya, empat orang pengurus mushala ditangkap [[Kodim]]. Upaya persuasif yang dilakukan ulama tidak mendapat respon dari aparat. Malah mereka memprovokasi dengan mempertontonkan salah seorang pengurus yang ditahan itu, dengan tubuh penuh luka akibat siksaan.

Pada Tanggal 12 September 1984. Mubaligh Abdul Qodir Djaelani membuat pernyataan yang menentang azas tunggal [[Pancasila]] lalu Malam harinya, di Jalan Sindang, Tanjung Priok, diadakan tabligh. Ribuan orang berkumpul dengan semangat membara, disemangati khotbah dari Amir Biki, Syarifin Maloko, Yayan Hendrayana, dan lainnya. Menuntut Aparat agar aparat melepas empat orang yang ditahan terdengar semakin keras. Amir Biki dalam khotbahnya berkata dengan suara bergetar, "Saya beritahu Kodim, bebaskan keempat orang yang ditahan itu sebelum jam sebelas malam. Jika tidak, saya takut akan terjadi banjir darah di Priok ini". Mubaligh lain, Ustdaz Yayan, bertanya pada jamaah, "Man anshori ilallah? Siapa sanggup menolong agama Allah ?" Dijawab oleh massa, "Nahnu Anshorullah ! Kami siap menolong agama Allah !" Sampai jam sebelas malam tidak ada jawaban dari Kodim, malah tank dan pasukan didatangkan ke kawasan Priok. Akhirnya, lepas jam sebelas malam, massa mulai bergerak menuju markas Kodim. Ada yang membawa senjata tajam dan bahan bakar. Tetapi sebagian besar hanyalah berbekal asma' Allah dan Al-Qur'an. Amir Biki berpesan, "Yang merusak bukan teman kita !"

== Peristiwa ==
Di Jalan Yos Sudarso massa dan tentara berhadapan. Tidak terlihat polisi satupun, padahal seharusnya mereka yang terlebih dahulu menangani (dikemudian hari diketahui, para polisi ternyata dilarang keluar dari markasnya oleh tentara).sebenarnya Massa sama sekali tidak beringas. Sebagian besar malah hanya duduk di jalan dan bertakbir. Tiba-tiba terdengar aba-aba mundur dari komandan tentara. Mereka mundur dua langkah, lalu tanpa peringatan terlebih dahulu, tentara mulai menembaki jamaah dan bergerak maju. Gelegar senapan terdengar bersahut-sahutan memecah kesunyian malam. Aliran listrik yang sudah dipadamkan sebelumnya membuat kilatan api dari moncong-moncong senjata terlihat mengerikan. Satu demi satu para Jamaah jatuh tersungkur dengan berlumuran darah. Kemudian, datang konvoi truk militer dari arah pelabuhan, menerjang dan melindas massa yang tiarap di jalan. Dari atas truk, orang-orang berseragam hijau,gencar menembaki. Tentara bahkan masuk ke perkampungan dan menembak dengan membabi-buta. Tanjung Priok banjir darah.

Pemerintah dalam laporan resminya yang diwakili Panglima ABRI, Jenderal L. B. Moerdani, menyebutkan bahwa korban tewas 'hanya' 18 orang dan luka-luka 53 orang. Namun dari hasil investigasi tim pencari fakta, SONTAK (SOlidaritas Nasional untuk peristiwa TAnjung Priok), diperkirakan sekitar 400 orang tewas, belum terhirung yang luka-luka dan cacat. Sampai dua tahun setelah peristiwa pembantaian itu, suasana Tanjung Priok begitu mencekam. Siapapun yang menanyakan peristiwa 12 September, menanyakan anak atau kerabatnya yang hilang, akan berurusan dengan aparat.
Sebenarnya sejak beberapa bulan sebelum tragedi, suasana Tanjung Priok memang terasa panas. Tokoh-tokoh Islam menduga keras bahwa suasana panas itu memang sengaja direkayasa oleh oknum-oknum tertentu dipemerintahan yang memusuhi Islam. Suasana rekayasa ini terutama sekali dirasakan oleh ulama-ulama di luar tanjung Priok. Sebab, di kawasan lain kota Jakarta sensor bagi para mubaligh sangat ketat. Namun entah kenapa, di Tanjung Priok yang merupakan basis Islam itu para mubaligh dapat bebas berbicara bahkan mengkritik pemerintah, sampai menolak azas tunggal Pancasila. Adanya rekayasa dan provokasi untuk memancing ummat Islam dapat diketahui dari beberapa peristiwa lain sebelum itu, misalnya dari pembangunan bioskop Tugu yang banyak memutar film maksiat diseberang Masjid Al-Hidayah. Tokoh senior seperti M. Natsir dan Syafrudin Prawiranegara sebenarnya telah melarang ulama untuk datang ke Tanjung Priok agar tidak masuk ke dalam perangkap. Namun seruan ini rupanya tidak sampai kepada para mubaligh Priok. Dari cerita Syarifin Maloko, ketua SONTAK dan mubaligh yang terlibat langsung peristiwa 12 September, ia baru mendengar adanya larangan tersebut setelah berada di dalam penjara. Rekayasa dan pancingan ini tujuannya tak lain untuk memojokkan Islam dan ummatnya di Indonesia.

== Sumber ==
* Majalah Sabili
* TabloiD hikmah
* {{id}} [http://danilkasputrasejarah.blogspot.com/2011/07/peristiwa-tanjung-priok.html wwww.DanilKasputraSejarah.blogspot.com]-->

== Referensi ==
== Referensi ==
;Catatan kaki
;Catatan kaki

Revisi terkini sejak 10 Juli 2024 11.17

Peristiwa Tanjung Priok
Tanggal12 September 1984; 39 tahun lalu (1984-09-12)
LokasiTanjung Priok, Jakarta Utara, Indonesia
MetodePenembakan
Hasillihat Akibat
Pihak terlibat
Warga muslim Tanjung Priok
Tokoh utama
Amir Biki
Jumlah
Tidak diketahui
>1,000
Jumlah korban
Tidak ada
24 tewas dan 54 terluka (resmi)
>100 tewas atau terluka (estimasi)

Peristiwa Tanjung Priok adalah peristiwa kerusuhan yang terjadi pada 12 September 1984 di Tanjung Priok, Jakarta Utara, Indonesia yang mengakibatkan sejumlah korban tewas dan luka-luka serta sejumlah gedung rusak terbakar. Sekelompok massa melakukan defile sambil merusak sejumlah gedung dan akhirnya bentrok dengan aparat yang kemudian menembaki mereka.[1][2] Sedikitnya, 9 orang tewas terbakar dalam kerusuhan tersebut dan 24 orang tewas oleh tindakan aparat.[3]

Latar Belakang

[sunting | sunting sumber]

Pada tanggal 10 September 1984, Sersan Hermanu,[4] seorang anggota Bintara Pembina Desa tiba di Masjid As Saadah di Tanjung Priok, Jakarta Utara, dan mengatakan kepada pengurusnya, Amir Biki, untuk menghapus brosur dan spanduk yang mengkritik pemerintah.[5] Biki menolak permintaan ini, lantas Hermanu memindahkannya sendiri; Saat melakukannya, dia dilaporkan memasuki area sholat masjid tanpa melepas sepatunya (sebuah pelanggaran serius terhadap etiket masjid).[5][6]

Sebagai tanggapan, warga setempat, yang dipimpin oleh pengurus masjid Syarifuddin Rambe dan Sofwan Sulaeman, membakar sepeda motornya dan menyerang Hermanu saat dia sedang berbicara dengan petugas lain.[5][6] Keduanya kemudian menangkap Rambe dan Sulaeman, serta pengurus lain, Achmad Sahi, dan seorang pria pengangguran bernama Muhamad Noor.[5][6][7]

Dua hari pasca penangkapan, ulama Islam Abdul Qodir Jaelani memberikan sebuah ceramah menentang asas tunggal Pancasila di masjid As Saadah.[6] Setelah itu, Biki memimpin sebuah demonstrasi ke kantor Kodim Jakarta Utara, di mana keempat tahanan tersebut ditahan.[8][6] Seiring waktu, massa kelompok tersebut meningkat, dengan perkiraan berkisar antara 1.500 sampai beberapa ribu orang.[8][6]

Protes dan kerusuhan tidak berhasil menuntut pembebasan tahanan tersebut.[8] Sekitar pukul 11 malam waktu setempat, para pemrotes mengepung komando militer.[6] Personel militer dari Batalyon Artileri Pertahanan Udara ke-6 menembaki para pemrotes.[8][9] Sekitar tengah malam, saksi mata melihat komandan militer Jakarta Try Sutrisno dan Kepala Angkatan Bersenjata L. B. Moerdani yang mengawasi pemindahan korban; mayat-mayat itu dimasukkan ke dalam truk militer dan dikuburkan di kuburan yang tidak bertanda, sementara yang terluka dikirim ke Rumah Sakit Militer Gatot Soebroto.[8]

Setelah kerusuhan tersebut, militer melaporkan bahwa mereka dipicu oleh seorang pria berpakaian militer palsu yang membagikan selebaran anti-pemerintah bersama dengan 12 komplotannya; dilaporkan dari orang yang ditahan.[10] Jenderal Hartono Rekso Dharsono ditangkap karena diduga menghasut kerusuhan tersebut.[11] Setelah menjalani persidangan empat bulan, dia divonis bersalah; dia akhirnya dibebaskan pada bulan September 1990, setelah menjalani hukuman penjara lima tahun.[11]

Setelah kerusuhan tersebut, setidaknya 169 warga sipil ditahan tanpa surat perintah dan beberapa dilaporkan disiksa.[12] Para pemimpin ditangkap dan diadili karena tuduhan subversif, kemudian diberi hukuman panjang.[6] Yang lainnya, termasuk Amir Biki, termasuk di antara mereka yang terbunuh.[8]

Laporan awal menyebutkan 20 orang tewas.[10] Catatan resmi saat ini memberikan total 24 korban tewas dan 54 terluka (termasuk militer), sementara korban selamat melaporkan lebih dari seratus orang tewas.[13] Masyarakat Tanjung Priok memperkirakan total 400 orang terbunuh atau hilang, sementara laporan lainnya menyarankan hingga 700 korban.[8][9]

Investigasi

[sunting | sunting sumber]

Gencarnya gerakan hak asasi manusia pasca lengsernya Suharto pada tahun 1998, beberapa kelompok dibentuk untuk mengadvokasi hak-hak korban, termasuk Yayasan 12 September 1984, Solidaritas Nasional untuk Peristiwa Tanjung Priok 1984, dan Keluarga Besar untuk Korban Insiden Tanjung Priok (didirikan oleh janda Biki Dewi Wardah dan putra Beni).[8] Kelompok-kelompok ini mendorong Dewan Perwakilan Rakyat dan Komnas HAM untuk menyelidiki lebih lanjut tragedi tersebut; di DPR, perwakilan A.M. Fatwa dan Abdul Qodir Jaelani, yang pernah ditangkap setelah tragedi tersebut, mendesak penyelidikan lebih lanjut.[8] Pada tahun 1999, Komnas HAM sepakat untuk menyelidiki insiden tersebut, membentuk Komisi Investigasi dan Pemeriksaan Pelanggaran HAM di Tanjung Priok (KP3T).[8]

KP3T terutama terdiri dari tokoh politik dari rezim sebelumnya, termasuk mantan jaksa agung Djoko Sugianto.[8] Laporan yang dihasilkan, yang dirilis pada awal Juni 2000, menemukan bahwa tidak ada pembantaian sistematis dalam insiden tersebut.[8] Ini tidak diterima dengan baik oleh masyarakat umum. Pada tanggal 23 Juni 2000, sekitar 300 anggota Front Pembela Islam (FPI) menyerang markas Komnas HAM saat mengenakan pakaian Islami dan syal hijau.[14] Mereka memecahkan jendela dengan batu dan batang rotan, melebihi jumlah dan banyak pasukan keamanan.[14] FPI marah atas laporan tersebut dan beranggapan telah terjadi praktik kolusi dengan militer, dengan alasan bahwa tindakan tersebut diabaikan oleh militer; dan bersikeras agar Komnas HAM dihapuskan.[14] Sementara itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra menulis bahwa Komnas HAM telah menerapkan standar ganda saat menyelidiki masalah tersebut; dia mengatakan bahwa mereka tampak lebih enggan untuk menyelidiki insiden Tanjung Priok dan lebih memilih menyelidiki krisis Timor Leste tahun 1999.[8] Pemimpin Partai Bulan Bintang Ahmad Sumargono menyebut keputusan tersebut mengecewakan kaum Muslim di mana-mana. [8]

Pada bulan Oktober 2000, Komnas HAM mengeluarkan laporan lain yang menunjukkan bahwa 23 orang, termasuk Sutrisno dan Moerdani, harus diselidiki atas keterlibatan mereka; Ia meminta pengadilan ad hoc untuk menyelidiki masalah ini lebih lanjut.[8] Presiden Abdurrahman Wahid juga meminta penyelidikan lebih lanjut pada pengadilan yang akan datang. Beberapa pejabat militer membuat surat pengampunan (islah) dengan keluarga korban; meski islah tidak mengandung pengakuan bersalah, korban menerima kompensasi sejumlah Rp. 1,5-2 juta.[8] Islah pertama meliputi 86 keluarga, seperti yang diwakilkan oleh Rambe, sedangkan untuk keluarga Biki terjadi pada islah kedua. Pada tanggal 1 Maret 2001 sejumlah islah telah dibuat.[8] Hasil islah tersebut, beberapa korban atau keluarga mereka menyarankan kepada penyidik M.A. Rachman bahwa tuntutan harus dijatuhkan.[8] Investigasi baru berlanjut pada bulan Juli 2003.[15]

Di bawah tekanan internasional, pada tahun 2003 DPR menyetujui penggunaan undang-undang hak asasi manusia tahun 2000 untuk membawa pelaku pembantai ke pengadilan atas kejahatan terhadap kemanusiaan;[13][16] persidangan dimulai pada bulan September tahun itu.[15] Mereka yang dibawa ke pengadilan termasuk Kolonel Sutrisno Mascung, pemimpin Peleton II Batalyon Artileri Pertahanan Udara saat itu, dan 13 bawahannya.[16] Pejabat berpangkat tinggi saat itu, termasuk komandan militer Jakarta Try Sutrisno dan Kepala Angkatan Bersenjata L. B. Moerdani, dibebaskan dari tuntutan, seperti mantan Presiden Soeharto dan mantan Menteri Kehakiman Ismail Saleh.[16][17] Penuntutan dipimpin oleh Widodo Supriyadi, dan Wakil Ketua DPR A.M. Fatwa bertugas sebagai saksi penuntutan.[12][18] Beberapa petugas yang diadili divonis bersalah, sementara Sriyanto dan Pranowo dibebaskan.[6] Pada tahun 2004 kantor Kejaksaan mengajukan banding atas pembebasan Sriyanto dan Pranowo, namun ditolak.[13] Keputusan tersebut kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia.[6]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
Catatan kaki
Bibliografi
  • Junge, J. Fabian (2008). Kesempatan yang Hilang, Janji yang tak Terpenuhi. Pengadilan HAM Ad Hoc untuk Kejahatan di Tanjung Priok 1984 (dalam bahasa Indonesian). Jakarta: KontraS / Watch Indonesia!. 
  • Setiono, Benny G. (2008). Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: TransMedia Pustaka. ISBN 979-799-052-4. 
Referensi daring