Lompat ke isi

Bahasa Jawa: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Swarabakti (bicara | kontrib)
k Numeralia: per sumber yang dikutip
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
Jossisad (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(32 revisi perantara oleh 16 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 7: Baris 7:
| imagecaption =
| imagecaption =
| pronunciation = [basa d͡ʒawa] <small>(dialek barat)</small><br>
| pronunciation = [basa d͡ʒawa] <small>(dialek barat)</small><br>
[bɔsɔ d͡ʒɔwɔ] <small>(dialek tengah & timur)</small>
[bɔsɔ d͡ʒɔwɔ] <small>(dialek tengah & timur)</small><br> [basə d͡ʒawə] <small>(dialek Serang)</small>
| states = {{plainlist|
| states = {{plainlist|
*{{flag|Indonesia}}
*{{flag|Indonesia}}
Baris 15: Baris 15:
*{{flag|Kaledonia Baru}}
*{{flag|Kaledonia Baru}}
}} dan negara-negara lainnya
}} dan negara-negara lainnya
| region = [[Jawa Tengah]], [[Jawa Timur]]; [[Lampung]] dan wilayah transmigrasi lainnya di [[Indonesia]]; daerah dengan diaspora Jawa yang signifikan di [[Belanda]], [[Suriname]], [[Malaysia]], dan [[Kaledonia Baru]]
| region = {{flagicon image|Flag of Province of Central Java.svg}} [[Jawa Tengah]]<br>{{flagicon image|Flag of Yogyakarta.svg}} [[Daerah Istimewa Yogyakarta]]<br>{{flagicon image|Flag of East Java.svg}} [[Jawa Timur]]<br>{{flagicon image|Flag of Lampung.svg}} [[Lampung]]<br>dan wilayah transmigrasi lainnya di [[Indonesia]]; daerah dengan diaspora Jawa yang signifikan di [[Belanda]], [[Suriname]], [[Malaysia]], dan [[Kaledonia Baru]]
| ethnicity = {{plainlist|
| ethnicity = {{plainlist|
*[[Suku Jawa|Jawa]]
*[[Suku Jawa|Jawa]]
Baris 24: Baris 24:
| speakers = {{sigfig|58,4|3}} juta [[bahasa ibu|penutur jati]]
| speakers = {{sigfig|58,4|3}} juta [[bahasa ibu|penutur jati]]
| date = 2023
| date = 2023
| ref = <ref>{{Cite web|last=Wulandari|first=Trisna|title=Badan Bahasa: Ada Kemunduran Penutur Bahasa Jawa, Bagaimana agar Tak Punah?|url=https://www.detik.com/edu/edutainment/d-6625656/badan-bahasa-ada-kemunduran-penutur-bahasa-jawa-bagaimana-agar-tak-punah|website=detikedu|language=id-ID|access-date=2023-11-25}}</ref>
| ref = <ref name=":2">{{Cite web|last=Wulandari|first=Trisna|title=Badan Bahasa: Ada Kemunduran Penutur Bahasa Jawa, Bagaimana agar Tak Punah?|url=https://www.detik.com/edu/edutainment/d-6625656/badan-bahasa-ada-kemunduran-penutur-bahasa-jawa-bagaimana-agar-tak-punah|website=detikedu|language=id-ID|access-date=2023-11-25}}</ref>
| familycolor = Austronesia
| familycolor = Austronesia
| fam2 = [[bahasa Melayu-Polinesia|Melayu-Polinesia]]
| fam2 = <!-- PARAMETER USANG -->
| ancestor = [[Bahasa Jawa Kuno]]
| ancestor = [[Bahasa Jawa Kuno]]
| ancestor2 = [[Sastra Jawa Pertengahan|Bahasa Jawa Pertengahan]]
| ancestor2 = [[Sastra Jawa Pertengahan|Bahasa Jawa Pertengahan]]
Baris 35: Baris 35:
|datastyle= text-align:left
|datastyle= text-align:left
|header1= [[#Dialek|''Lihat bagian dialek]]
|header1= [[#Dialek|''Lihat bagian dialek]]
|data2={{Tree list}}{{Dialek bahasa Jawa}}{{Tree list/end}}}}
|data2={{Tree list}}{{silsilah bahasa/skema/JAV}}{{Tree list/end}}}}
| script = [[Alfabet Latin]]<br/>[[Aksara Jawa]]<br/>[[Abjad Pegon]]
| script = [[Alfabet Latin]]<br/>[[Aksara Jawa]]<br/>[[Abjad Pegon]]
| nation = [[Daerah Istimewa Yogyakarta]]<ref name="perda-no-2-tahun-2021" />
| nation = [[Daerah Istimewa Yogyakarta]]<ref name="perda-no-2-tahun-2021" />
Baris 62: Baris 62:
| HAM = ya
| HAM = ya
| contoh_cat = (Ditulis dalam [[aksara Jawa]] dan [[Pegon]])&nbsp;
| contoh_cat = (Ditulis dalam [[aksara Jawa]] dan [[Pegon]])&nbsp;
|contoh_teks={{PWB norm text|Aksara Jawa|https://unicode.org/udhr/d/udhr_jav_java.html}}<div style="line-height:1.7;">{{Lang|jv|꧋ꦱꦧꦼꦤ꧀ꦲꦸꦮꦺꦴꦁ ꦏꦭꦲꦶꦂꦫꦏꦺ ꦏꦤ꧀ꦛꦶ ꦩꦂꦢꦶꦏ ꦭꦤ꧀ꦢꦂꦧꦺ ꦩꦂꦠꦧꦠ꧀ꦭꦤ꧀ꦲꦏ꧀ꦲꦏ꧀ꦏꦁ ꦥꦝ꧉ ꦏꦧꦺꦃ ꦥꦶꦤꦫꦶꦁꦔꦤ꧀ꦲꦏꦭ꧀ꦭꦤ꧀ꦏꦭ꧀ꦧꦸ ꦱꦂꦠ ꦏꦲꦗꦧ꧀ꦥꦱꦿꦮꦸꦁꦔꦤ꧀ꦲꦁꦒꦺꦴꦤ꧀ꦤꦺ ꦩꦼꦩꦶꦠꦿꦤ꧀ꦱꦶꦗꦶ ꦭꦤ꧀ꦱꦶꦗꦶꦤꦺ ꦏꦤ꧀ꦛꦶ ꦗꦶꦮ ꦱꦸꦩ ꦢꦸꦭꦸꦂ꧉​}}</div>
|contoh_teks={{PWB norm text|Aksara Jawa|https://unicode.org/udhr/d/udhr_jav_java.html|mati}}<div style="line-height:1.7;">{{Lang|jv|꧋ꦱꦧꦼꦤ꧀ꦲꦸꦮꦺꦴꦁ ꦏꦭꦲꦶꦂꦫꦏꦺ ꦏꦤ꧀ꦛꦶ ꦩꦂꦢꦶꦏ ꦭꦤ꧀ꦢꦂꦧꦺ ꦩꦂꦠꦧꦠ꧀ꦭꦤ꧀ꦲꦏ꧀ꦲꦏ꧀ꦏꦁ ꦥꦝ꧉ ꦏꦧꦺꦃ ꦥꦶꦤꦫꦶꦁꦔꦤ꧀ꦲꦏꦭ꧀ꦭꦤ꧀ꦏꦭ꧀ꦧꦸ ꦱꦂꦠ ꦏꦲꦗꦧ꧀ꦥꦱꦿꦮꦸꦁꦔꦤ꧀ꦲꦁꦒꦺꦴꦤ꧀ꦤꦺ ꦩꦼꦩꦶꦠꦿꦤ꧀ꦱꦶꦗꦶ ꦭꦤ꧀ꦱꦶꦗꦶꦤꦺ ꦏꦤ꧀ꦛꦶ ꦗꦶꦮ ꦱꦸꦩ ꦢꦸꦭꦸꦂ꧉}}</div>
{{PWB norm text|Pegon}}
{{PWB norm text|Pegon}}
{{rtl-para|سابَين أووَوڠ كالائيراكَي كانڟي مرديكا لان داربَي مرتبة لان حق كاڠ ڤاڎا. كابَيه ڤيناريڠان أكال لان كالبو سارتا كاأجاب ڤاسراوُونڠان أڠڮَونَي مَيميتران سيجي لان كانڟي جيوا سومادولور.}}
{{rtl-para|سابَين أووَوڠ كالائيراكَي كانڟي مرديكا لان داربَي مرتبة لان حق كاڠ ڤاڎا. كابَيه ڤيناريڠان أكال لان كالبو سارتا كاأجاب ڤاسراوُونڠان أڠڮَونَي مَيميتران سيجي لان كانڟي جيوا سومادولور.}}
Baris 70: Baris 70:
| notice = IPA
| notice = IPA
| notice2 = Jawa
| notice2 = Jawa
| catatan =<references group="ib"/>
}}
}}


'''Bahasa Jawa''' adalah bahasa [[rumpun bahasa Austronesia|Austronesia]] yang utamanya dituturkan oleh penduduk bersuku [[suku Jawa|Jawa]] di wilayah bagian tengah dan timur [[pulau Jawa]]. Bahasa Jawa juga dituturkan oleh diaspora Jawa di wilayah lain di Indonesia, seperti di [[Sumatra]] dan [[Kalimantan]]; serta di luar Indonesia seperti di [[Suriname]], [[Belanda]], dan [[Malaysia]]. Jumlah total penutur bahasa Jawa diperkirakan mencapai sekitar 80 juta pada tahun 2023.<ref name=":2">{{Cite web|last=Wulandari|first=Trisna|title=Badan Bahasa: Ada Kemunduran Penutur Bahasa Jawa, Bagaimana agar Tak Punah?|url=https://www.detik.com/edu/edutainment/d-6625656/badan-bahasa-ada-kemunduran-penutur-bahasa-jawa-bagaimana-agar-tak-punah|website=detikedu|language=id-ID|access-date=2023-11-25}}</ref> Sebagai bahasa Austronesia dari subkelompok [[rumpun bahasa Melayu-Polinesia|Melayu-Polinesia]], bahasa Jawa juga berkerabat dengan bahasa [[bahasa Melayu|Melayu]], [[bahasa Sunda|Sunda]], [[bahasa Bali|Bali]] dan banyak bahasa lainnya di Indonesia, meskipun para ahli masih memperdebatkan mengenai posisi pastinya dalam rumpun Melayu-Polinesia. Bahasa Jawa berstatus [[bahasa resmi]] di [[Daerah Istimewa Yogyakarta]] di samping [[bahasa Indonesia]].
'''Bahasa Jawa''' adalah bahasa [[rumpun bahasa Austronesia|Austronesia]] yang utamanya dituturkan oleh penduduk bersuku [[suku Jawa|Jawa]] di wilayah bagian tengah dan timur [[pulau Jawa]]. Bahasa Jawa juga dituturkan oleh diaspora Jawa di wilayah lain di Indonesia, seperti di [[Sumatra]] dan [[Kalimantan]]; serta di luar Indonesia seperti di [[Suriname]], [[Belanda]], dan [[Malaysia]]. Jumlah total penutur bahasa Jawa diperkirakan mencapai sekitar 80 juta pada tahun 2023.<ref name=":2" /> Sebagai bahasa Austronesia dari subkelompok [[rumpun bahasa Melayu-Polinesia|Melayu-Polinesia]], bahasa Jawa juga berkerabat dengan bahasa [[bahasa Melayu|Melayu]], [[bahasa Sunda|Sunda]], [[bahasa Bali|Bali]] dan banyak bahasa lainnya di Indonesia, meskipun para ahli masih memperdebatkan mengenai posisi pastinya dalam rumpun Melayu-Polinesia. Bahasa Jawa berstatus [[bahasa resmi]] di [[Daerah Istimewa Yogyakarta]] di samping [[bahasa Indonesia]].


Sejarah tulisan bahasa Jawa bermula sejak abad ke-9 dalam bentuk bahasa [[bahasa Jawa Kuno|Jawa Kuno]], yang kemudian berevolusi hingga menjadi bahasa [[#Bahasa Jawa Baru|Jawa Baru]] sekitar abad ke-15. Bahasa Jawa awalnya ditulis dengan [[aksara Brahmik|sistem aksara dari India]] yang kemudian diadaptasi menjadi [[aksara Jawa]], walaupun bahasa Jawa masa kini lebih sering ditulis dengan [[alfabet Latin]]. Bahasa Jawa memiliki tradisi sastra kedua tertua di antara bahasa-bahasa Austronesia setelah [[bahasa Melayu]].
Sejarah tulisan bahasa Jawa bermula sejak abad ke-9 dalam bentuk bahasa [[bahasa Jawa Kuno|Jawa Kuno]], yang kemudian berevolusi hingga menjadi bahasa [[#Bahasa Jawa Baru|Jawa Baru]] sekitar abad ke-15. Bahasa Jawa awalnya ditulis dengan [[aksara Brahmik|sistem aksara dari India]] yang kemudian diadaptasi menjadi [[aksara Jawa]], walaupun bahasa Jawa masa kini lebih sering ditulis dengan [[alfabet Latin]]. Bahasa Jawa memiliki tradisi sastra kedua tertua di antara bahasa-bahasa Austronesia setelah [[bahasa Melayu]].
Baris 80: Baris 81:
== Klasifikasi ==
== Klasifikasi ==
[[Berkas:Klasifikasi bahasa Jawa.png|jmpl|ka|300px|Posisi bahasa Jawa (ditebalkan) dalam rumpun bahasa [[rumpun bahasa Austronesia|Austronesia]] menurut beberapa skema klasifikasi ahli bahasa dari masa ke masa.]]
[[Berkas:Klasifikasi bahasa Jawa.png|jmpl|ka|300px|Posisi bahasa Jawa (ditebalkan) dalam rumpun bahasa [[rumpun bahasa Austronesia|Austronesia]] menurut beberapa skema klasifikasi ahli bahasa dari masa ke masa.]]
Bahasa Jawa merupakan bagian dari subkelompok Melayu-Polinesia dalam rumpun bahasa Austronesia.{{sfn|Dyen|1965|p=26}}{{sfn|Nothofer|2009|p=560}} Namun, tingkat kekerabatan bahasa Jawa dengan bahasa-bahasa Melayu-Polinesia yang lain sulit ditentukan. Menggunakan metode [[leksikostatistik]], pada tahun 1965 ahli bahasa Isidore Dyen menggolongkan bahasa Jawa ke dalam kelompok yang ia sebut "Javo-Sumatra Hesion", yang juga mencakup bahasa [[bahasa Sunda|Sunda]] dan bahasa-bahasa "Melayik".{{efn|Definisi "Melayik" Dyen berbeda dengan definisi yang diterima para ahli secara luas sejak 1990-an; Melayik versi Dyen memiliki cakupan yang lebih luas, termasuk di antaranya bahasa [[bahasa Madura|Madura]] dan bahasa [[bahasa Aceh|Aceh]].}}{{sfn|Dyen|1965|p=26}}{{sfn|Nothofer|2009|p=560}} Kelompok ini juga disebut "Melayu-Jawanik" oleh ahli bahasa Berndt Nothofer yang pertama kali berusaha merekonstuksi leluhur dari bahasa-bahasa dalam kelompok hipotetis ini dengan data yang saat itu hanya terbatas pada empat bahasa saja (bahasa Jawa, Sunda, [[bahasa Madura|Madura]], dan [[bahasa Melayu|Melayu]]).{{sfn|Nothofer|1975|p=1}}
Bahasa Jawa merupakan bagian dari subkelompok Melayu-Polinesia dalam rumpun bahasa Austronesia.{{sfnp|Dyen|1965|p=26}}{{sfnp|Nothofer|2009|p=560}} Namun, tingkat kekerabatan bahasa Jawa dengan bahasa-bahasa Melayu-Polinesia yang lain sulit ditentukan. Menggunakan metode [[leksikostatistik]], pada tahun 1965 ahli bahasa Isidore Dyen menggolongkan bahasa Jawa ke dalam kelompok yang ia sebut "Javo-Sumatra Hesion", yang juga mencakup bahasa [[bahasa Sunda|Sunda]] dan bahasa-bahasa "Melayik".{{efn|Definisi "Melayik" Dyen berbeda dengan definisi yang diterima para ahli secara luas sejak 1990-an; Melayik versi Dyen memiliki cakupan yang lebih luas, termasuk di antaranya bahasa [[bahasa Madura|Madura]] dan bahasa [[bahasa Aceh|Aceh]].}}{{sfnp|Dyen|1965|p=26}}{{sfnp|Nothofer|2009|p=560}} Kelompok ini juga disebut "Melayu-Jawanik" oleh ahli bahasa Berndt Nothofer yang pertama kali berusaha merekonstuksi leluhur dari bahasa-bahasa dalam kelompok hipotetis ini dengan data yang saat itu hanya terbatas pada empat bahasa saja (bahasa Jawa, Sunda, [[bahasa Madura|Madura]], dan [[bahasa Melayu|Melayu]]).{{sfnp|Nothofer|1975|p=1}}


Pengelompokan Melayu-Jawanik telah dikritik dan ditolak oleh berbagai ahli bahasa.{{sfn|Blust|1981}}{{sfn|Adelaar|2005|pp=357, 385}} Ahli [[linguistik sejarah]] Austronesia [[K. Alexander Adelaar]] tidak memasukkan bahasa Jawa dalam subkelompok [[rumpun bahasa Melayu-Sumbawa|Melayu-Sumbawa]] (yang mencakup bahasa-bahasa [[rumpun bahasa Melayik|Melayik]], Sunda, dan Madura) yang diusulkannya pada tahun 2005.{{sfn|Adelaar|2005|pp=357, 385}}{{sfn|Ogloblin|2005|p=590}} Ahli linguistik sejarah Austronesia yang lain, [[Robert Blust]], juga tidak memasukkan bahasa Jawa dalam subkelompok [[rumpun bahasa Borneo Utara Raya|Borneo Utara Raya]] yang ia usulkan sebagai alternatif dari hipotesis Melayu-Sumbawa pada tahun 2010. Meski begitu, Blust juga mengemukakan kemungkinan bahwa subkelompok Borneo Utara Raya berkerabat dekat dengan bahasa-bahasa Indonesia Barat lainnya, termasuk bahasa Jawa.{{sfn|Blust|2010|p=97}} Usulan Blust ini telah dikembangkan secara lebih terperinci oleh ahli bahasa Alexander Smith yang memasukkan bahasa Jawa ke dalam subkelompok [[Rumpun bahasa Indonesia Barat|Indonesia Barat]] (yang juga mencakup bahasa-bahasa Borneo Utara Raya) berdasarkan bukti leksikal dan fonologis.{{sfn|Smith|2017|pp=443, 453–454}}
Pengelompokan Melayu-Jawanik telah dikritik dan ditolak oleh berbagai ahli bahasa.{{sfnp|Blust|1981}}{{sfnp|Adelaar|2005|pp=357, 385}} Ahli [[linguistik sejarah]] Austronesia [[K. Alexander Adelaar]] tidak memasukkan bahasa Jawa dalam subkelompok [[rumpun bahasa Melayu-Sumbawa|Melayu-Sumbawa]] (yang mencakup bahasa-bahasa [[rumpun bahasa Melayik|Melayik]], Sunda, dan Madura) yang diusulkannya pada tahun 2005.{{sfnp|Adelaar|2005|pp=357, 385}}{{sfnp|Ogloblin|2005|p=590}} Ahli linguistik sejarah Austronesia yang lain, [[Robert Blust]], juga tidak memasukkan bahasa Jawa dalam subkelompok [[rumpun bahasa Borneo Utara Raya|Borneo Utara Raya]] yang ia usulkan sebagai alternatif dari hipotesis Melayu-Sumbawa pada tahun 2010. Meski begitu, Blust juga mengemukakan kemungkinan bahwa subkelompok Borneo Utara Raya berkerabat dekat dengan bahasa-bahasa Indonesia Barat lainnya, termasuk bahasa Jawa.{{sfnp|Blust|2010|p=97}} Usulan Blust ini telah dikembangkan secara lebih terperinci oleh ahli bahasa Alexander Smith yang memasukkan bahasa Jawa ke dalam subkelompok [[Rumpun bahasa Indonesia Barat|Indonesia Barat]] (yang juga mencakup bahasa-bahasa Borneo Utara Raya) berdasarkan bukti leksikal dan fonologis.{{sfnp|Smith|2017|pp=443, 453–454}}


== Sejarah ==
== Sejarah ==
Secara garis besar, perkembangan bahasa Jawa dapat dibagi ke dalam dua fase bahasa yang berbeda, yaitu 1) bahasa Jawa Kuno dan 2) bahasa Jawa Baru.{{sfn|Ogloblin|2005|p=590}}{{sfn|Wedhawati, dkk|2006|p=1}}
Secara garis besar, perkembangan bahasa Jawa dapat dibagi ke dalam dua fase bahasa yang berbeda, yaitu 1) bahasa Jawa Kuno dan 2) bahasa Jawa Baru.{{sfnp|Ogloblin|2005|p=590}}{{sfnp|Wedhawati dkk.|2006|p=1}}


=== Bahasa Jawa Kuno ===
=== Bahasa Jawa Kuno ===
{{utama|Bahasa Jawa Kuno}}
{{utama|Bahasa Jawa Kuno}}
Bentuk terawal bahasa Jawa Kuno yang terlestarikan dalam tulisan, yaitu [[Prasasti Sukabumi]], berasal dari tahun 804 Masehi.{{sfn|Wedhawati, dkk|2006|p=2}} Sejak abad ke-9 hingga abad ke-15, ragam bahasa ini umum digunakan di pulau Jawa. Bahasa Jawa Kuno lazimnya dituliskan dalam bentuk puisi yang berbait. Ragam ini terkadang disebut juga dengan istilah ''kawi'' 'bahasa kesusastraan', walaupun istilah ini juga merujuk pada unsur-unsur arkais dalam ragam tulisan bahasa Jawa Baru.{{sfn|Ogloblin|2005|p=590}} Sistem tulisan yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa Kuno merupakan adaptasi dari aksara [[aksara Pallawa|Pallawa]] yang berasal dari India.{{sfn|Wedhawati, dkk|2006|p=2}} Sebanyak hampir 50% dari keseluruhan kosakata dalam tulisan-tulisan berbahasa Jawa Kuno berakar dari bahasa [[bahasa Sanskerta|Sanskerta]], walaupun bahasa Jawa Kuno juga memiliki kata serapan dari bahasa-bahasa lain di Nusantara.{{sfn|Ogloblin|2005|p=590}}{{sfn|Wedhawati, dkk|2006|p=2}}
Bentuk terawal bahasa Jawa Kuno yang terlestarikan dalam tulisan, yaitu [[Prasasti Sukabumi]], berasal dari tahun 804 Masehi.{{sfnp|Wedhawati dkk.|2006|p=2}} Sejak abad ke-9 hingga abad ke-15, ragam bahasa ini umum digunakan di pulau Jawa. Bahasa Jawa Kuno lazimnya dituliskan dalam bentuk puisi yang berbait. Ragam ini terkadang disebut juga dengan istilah ''kawi'' 'bahasa kesusastraan', walaupun istilah ini juga merujuk pada unsur-unsur arkais dalam ragam tulisan bahasa Jawa Baru.{{sfnp|Ogloblin|2005|p=590}} Sistem tulisan yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa Kuno merupakan adaptasi dari aksara [[aksara Pallawa|Pallawa]] yang berasal dari India.{{sfnp|Wedhawati dkk.|2006|p=2}} Sebanyak hampir 50% dari keseluruhan kosakata dalam tulisan-tulisan berbahasa Jawa Kuno berakar dari bahasa [[bahasa Sanskerta|Sanskerta]], walaupun bahasa Jawa Kuno juga memiliki kata serapan dari bahasa-bahasa lain di Nusantara.{{sfnp|Ogloblin|2005|p=590}}{{sfnp|Wedhawati dkk.|2006|p=2}}


Ragam bahasa Jawa Kuno yang digunakan pada beberapa naskah dari abad ke-14 dan seterusnya terkadang disebut juga "bahasa Jawa Pertengahan". Walaupun ragam bahasa Jawa Kuno dan Jawa Pertengahan tidak lagi digunakan secara luas di Jawa setelah abad ke-15, kedua ragam tersebut masih lazim digunakan di Bali untuk keperluan ritual keagamaan.{{sfn|Ogloblin|2005|p=590}}{{sfn|Wedhawati, dkk|2006|p=8}}
Ragam bahasa Jawa Kuno yang digunakan pada beberapa naskah dari abad ke-14 dan seterusnya terkadang disebut juga "bahasa Jawa Pertengahan". Walaupun ragam bahasa Jawa Kuno dan Jawa Pertengahan tidak lagi digunakan secara luas di Jawa setelah abad ke-15, kedua ragam tersebut masih lazim digunakan di Bali untuk keperluan ritual keagamaan.{{sfnp|Ogloblin|2005|p=590}}{{sfnp|Wedhawati dkk.|2006|p=8}}


=== Bahasa Jawa Baru ===
=== Bahasa Jawa Baru ===
Bahasa Jawa Baru tumbuh menjadi ragam literer utama bahasa Jawa sejak abad ke-16. Peralihan bahasa ini terjadi secara bersamaan dengan datangnya pengaruh Islam.{{sfn|Wedhawati, dkk|2006|p=1}} Pada awalnya, ragam baku bahasa Jawa Baru didasarkan pada ragam bahasa wilayah [[pasisir|pantai utara Jawa]] yang masyarakatnya pada saat itu sudah beralih menjadi Islam. Karya tulis dalam ragam bahasa ini banyak yang bernuansa keislaman, dan sebagiannya merupakan terjemahan dari bahasa Melayu.{{sfn|Ogloblin|2005|p=591}} Bahasa Jawa Baru juga mengadopsi [[Abjad Arab|huruf Arab]] dan menyesuaikannya menjadi [[Abjad Pegon|huruf Pegon]].{{sfn|Wedhawati, dkk|2006|p=1}}{{sfn|Ogloblin|2005|p=591}}
Bahasa Jawa Baru tumbuh menjadi ragam literer utama bahasa Jawa sejak abad ke-16. Peralihan bahasa ini terjadi secara bersamaan dengan datangnya pengaruh Islam.{{sfnp|Wedhawati dkk.|2006|p=1}} Pada awalnya, ragam baku bahasa Jawa Baru didasarkan pada ragam bahasa wilayah [[pasisir|pantai utara Jawa]] yang masyarakatnya pada saat itu sudah beralih menjadi Islam. Karya tulis dalam ragam bahasa ini banyak yang bernuansa keislaman, dan sebagiannya merupakan terjemahan dari bahasa Melayu.{{sfnp|Ogloblin|2005|p=591}} Bahasa Jawa Baru juga mengadopsi [[Abjad Arab|huruf Arab]] dan menyesuaikannya menjadi [[Abjad Pegon|huruf Pegon]].{{sfnp|Wedhawati dkk.|2006|p=1}}{{sfnp|Ogloblin|2005|p=591}}


Kebangkitan [[Kesultanan Mataram|Mataram]] menyebabkan ragam tulisan baku bahasa Jawa beralih dari wilayah pesisir ke pedalaman. Ragam tulisan inilah yang kemudian dilestarikan oleh penulis-penulis Surakarta dan Yogyakarta, dan menjadi dasar bagi ragam baku bahasa Jawa masa kini.{{sfn|Ogloblin|2005|p=591}}{{sfn|Poedjosoedarmo|1968|p=57}} Perkembangan bahasa lainnya yang diasosiasikan dengan kebangkitan Mataram pada abad ke-17 adalah pembedaan antara tingkat tutur ''[[ngoko]]'' dan ''[[krama]]''.{{sfn|Wedhawati, dkk|2006|p=11}} Pembedaan tingkat tutur ini tidak dikenal dalam bahasa Jawa Kuno.{{sfn|Ogloblin|2005|p=591}}{{sfn|Wedhawati, dkk|2006|p=11}}
Kebangkitan [[Kesultanan Mataram|Mataram]] menyebabkan ragam tulisan baku bahasa Jawa beralih dari wilayah pesisir ke pedalaman. Ragam tulisan inilah yang kemudian dilestarikan oleh penulis-penulis Surakarta dan Yogyakarta, dan menjadi dasar bagi ragam baku bahasa Jawa masa kini.{{sfnp|Ogloblin|2005|p=591}}{{sfnp|Poedjosoedarmo|1968|p=57}} Perkembangan bahasa lainnya yang diasosiasikan dengan kebangkitan Mataram pada abad ke-17 adalah pembedaan antara tingkat tutur ''[[ngoko]]'' dan ''[[krama]]''.{{sfnp|Wedhawati dkk.|2006|p=11}} Pembedaan tingkat tutur ini tidak dikenal dalam bahasa Jawa Kuno.{{sfnp|Ogloblin|2005|p=591}}{{sfnp|Wedhawati dkk.|2006|p=11}}


Buku-buku cetak dalam bahasa Jawa mulai muncul sejak tahun 1830-an, awalnya dalam [[aksara Jawa]], walaupun kemudian [[alfabet Latin]] juga mulai digunakan. Sejak pertengahan abad ke-19, bahasa Jawa mulai digunakan dalam novel, cerita pendek, dan puisi bebas. Kini, bahasa Jawa digunakan dalam berbagai media, mulai dari buku hingga acara televisi. Ragam bahasa Jawa Baru yang digunakan sejak abad ke-20 hingga sekarang terkadang disebut pula "bahasa Jawa Modern".{{sfn|Ogloblin|2005|p=591}}
Buku-buku cetak dalam bahasa Jawa mulai muncul sejak tahun 1830-an, awalnya dalam [[aksara Jawa]], walaupun kemudian [[alfabet Latin]] juga mulai digunakan. Sejak pertengahan abad ke-19, bahasa Jawa mulai digunakan dalam novel, cerita pendek, dan puisi bebas. Kini, bahasa Jawa digunakan dalam berbagai media, mulai dari buku hingga acara televisi. Ragam bahasa Jawa Baru yang digunakan sejak abad ke-20 hingga sekarang terkadang disebut pula "bahasa Jawa Modern".{{sfnp|Ogloblin|2005|p=591}}


== Demografi dan persebaran ==
== Demografi dan persebaran ==
[[Berkas:Numbers of Javanese speakers by province (dec point).svg|jmpl|500px|Jumlah penduduk setiap provinsi di Indonesia yang menggunakan bahasa Jawa sebagai [[bahasa ibu]], berdasarkan [[Sensus Penduduk Indonesia 2010|sensus 2010]].]]
[[Berkas:Numbers of Javanese speakers by province (dec point).svg|jmpl|500px|Jumlah penduduk setiap provinsi di Indonesia yang menggunakan bahasa Jawa sebagai [[bahasa ibu]], berdasarkan [[Sensus Penduduk Indonesia 2010|sensus 2010]].]]


Di antara bahasa-bahasa Austronesia, bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa dengan komunitas [[bahasa ibu|penutur jati]] yang besar.{{sfn|Ogloblin|2005|p=590}} Jumlah total penutur bahasa Jawa diperkirakan mencapai sekitar 80 juta pada tahun 2023.<ref name=":2" /> Sayangnya, 27% orang Jawa tidak lagi menuturkan bahasa ini di lingkup keluarga. Hal ini mendorong bahasa Jawa ke jurang kemunduran bahasa.<ref name=":2" />
Di antara bahasa-bahasa Austronesia, bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa dengan komunitas [[bahasa ibu|penutur jati]] yang besar.{{sfnp|Ogloblin|2005|p=590}} Jumlah total penutur bahasa Jawa diperkirakan mencapai sekitar 80 juta pada tahun 2023.<ref name=":2" /> Sayangnya, 27% orang Jawa tidak lagi menuturkan bahasa ini di lingkup keluarga. Hal ini mendorong bahasa Jawa ke jurang kemunduran bahasa.<ref name=":2" />


Sebagian besar penutur bahasa Jawa mendiami wilayah tengah dan timur Pulau Jawa.{{sfn|Ogloblin|2005|p=590}} Jumlah penutur jati bahasa Jawa yang berasal dari provinsi [[Jawa Tengah]], [[Daerah Istimewa Yogyakarta]], dan [[Jawa Timur]] mencakup 83% dari total jumlah penutur jati bahasa Jawa di Indonesia.{{sfn|Naim|Syaputra|2011|p=53}} Selain di pulau Jawa, bahasa Jawa juga dituturkan sebagai bahasa ibu di daerah-daerah transmigrasi seperti di [[Lampung]], sebagian wilayah [[Riau]], [[Jambi]], [[Kalimantan Tengah]], dan di tempat lainnya di Indonesia. Di luar Indonesia, penutur bahasa Jawa terpusat di beberapa negara, seperti di [[Suriname]], [[Hong Kong]], [[Belanda]], [[Kaledonia Baru]], dan [[Malaysia]] (terutama di pesisir barat [[Johor]]).{{sfn|Ogloblin|2005|p=590}}{{sfn|Wedhawati, dkk|p=1}}
Sebagian besar penutur bahasa Jawa mendiami wilayah tengah dan timur Pulau Jawa.{{sfnp|Ogloblin|2005|p=590}} Jumlah penutur jati bahasa Jawa yang berasal dari provinsi [[Jawa Tengah]], [[Daerah Istimewa Yogyakarta]], dan [[Jawa Timur]] mencakup 83% dari total jumlah penutur jati bahasa Jawa di Indonesia.{{sfnp|Naim|Syaputra|2011|p=53}} Selain di pulau Jawa, bahasa Jawa juga dituturkan sebagai bahasa ibu di daerah-daerah transmigrasi seperti di [[Lampung]], sebagian wilayah [[Riau]], [[Jambi]], [[Kalimantan Tengah]], dan di tempat lainnya di Indonesia. Di luar Indonesia, penutur bahasa Jawa terpusat di beberapa negara, seperti di [[Suriname]], [[Hong Kong]], [[Belanda]], [[Kaledonia Baru]], dan [[Malaysia]] (terutama di pesisir barat [[Johor]]).{{sfnp|Ogloblin|2005|p=590}}{{sfnp|Wedhawati dkk.|p=1}}


=== Status hukum ===
=== Status hukum ===
Bahasa Jawa ditetapkan sebagai [[bahasa resmi]] [[Daerah Istimewa Yogyakarta]] berdasarkan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2021.<ref name="perda-no-2-tahun-2021">{{cite web|title=Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pemeliharaan dan Pengembangan Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa|url=https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/162614/perda-no-2-tahun-2021|via=Database Peraturan JDIH BPK RI|access-date=2021-03-19|archive-date=2021-04-13|archive-url=https://web.archive.org/web/20210413122928/https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/162614/perda-no-2-tahun-2021|dead-url=no}}</ref> Sebelumnya, [[Jawa Tengah]] menetapkan peraturan serupa—Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2012—tetapi tidak menyiratkan status resmi.<ref>{{Cite web|title=Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. 9 Tahun 2012|url=https://data.go.id/dataset/peraturan-daerah-provinsi-jawa-tengah-no-9-tahun-2012|via=data.go.id|access-date=2021-03-20|archive-date=2021-05-02|archive-url=https://web.archive.org/web/20210502093916/https://data.go.id/dataset/peraturan-daerah-provinsi-jawa-tengah-no-9-tahun-2012|dead-url=no}}</ref><ref>{{Cite web|date=2015-09-03|title=Pertahankan Bahasa Lokal Sebagai Identitas|url=https://republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/09/03/nu3wsy284-pertahankan-bahasa-lokal-sebagai-identitas|website=Republika Online|last=Putra|first=Yudha Manggala P.|language=id|access-date=2021-03-20|archive-date=2021-05-02|archive-url=https://web.archive.org/web/20210502093715/https://republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/09/03/nu3wsy284-pertahankan-bahasa-lokal-sebagai-identitas|dead-url=no}}</ref>
Bahasa Jawa ditetapkan sebagai [[bahasa resmi]] [[Daerah Istimewa Yogyakarta]] berdasarkan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2021.<ref name="perda-no-2-tahun-2021">{{cite web|title=Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pemeliharaan dan Pengembangan Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa|url=https://peraturan.go.id/id/perda-provinsi-di-yogyakarta-no-2-tahun-2021|archive-url=|archive-date=|dead-url=no|access-date=2021-03-19|via=}}</ref> Sebelumnya, [[Jawa Tengah]] menetapkan peraturan serupa—Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2012—tetapi tidak menyiratkan status resmi.<ref>{{Cite web|title=Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. 9 Tahun 2012|url=https://data.go.id/dataset/peraturan-daerah-provinsi-jawa-tengah-no-9-tahun-2012|via=data.go.id|access-date=2021-03-20|archive-date=2021-05-02|archive-url=https://web.archive.org/web/20210502093916/https://data.go.id/dataset/peraturan-daerah-provinsi-jawa-tengah-no-9-tahun-2012|dead-url=no}}</ref><ref>{{Cite web|date=2015-09-03|title=Pertahankan Bahasa Lokal Sebagai Identitas|url=https://republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/09/03/nu3wsy284-pertahankan-bahasa-lokal-sebagai-identitas|website=Republika Online|last=Putra|first=Yudha Manggala P.|language=id|access-date=2021-03-20|archive-date=2021-05-02|archive-url=https://web.archive.org/web/20210502093715/https://republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/09/03/nu3wsy284-pertahankan-bahasa-lokal-sebagai-identitas|dead-url=no}}</ref>


== Fonologi ==
== Fonologi ==
Bahasa Jawa memiliki 23–25 fonem konsonan dan 6–8 fonem vokal.{{sfn|Wedhawati, dkk|2006|pp=14}}{{sfn|Subroto|Soenardji|Sugiri|1991|pp=13–15}}{{sfn|Ogloblin|2005|p=592–593}} Dialek-dialek bahasa Jawa memiliki kekhasan masing-masing dalam hal fonologi.{{sfn|Wedhawati, dkk|2006|pp=14–15, 17–18, 21–22}}
Bahasa Jawa memiliki 23–25 fonem konsonan dan 6–8 fonem vokal.{{sfnp|Wedhawati dkk.|2006|pp=14}}{{sfnp|Subroto|Soenardji|Sugiri|1991|pp=13–15}}{{sfnp|Ogloblin|2005|p=592–593}} Dialek-dialek bahasa Jawa memiliki kekhasan masing-masing dalam hal fonologi.{{sfnp|Wedhawati dkk.|2006|pp=14–15, 17–18, 21–22}}
=== Vokal ===
=== Vokal ===
Terdapat perbedaan pendapat mengenai jumlah [[fonem]] vokal dalam bahasa Jawa. Menurut ahli bahasa Jawa [[E. M. Uhlenbeck]], bahasa Jawa memiliki enam fonem vokal yang masing-masingnya memiliki dua variasi pengucapan ([[alofon]]), kecuali fonem pepet {{IPA|/ə/}}.{{sfn|Uhlenbeck|1982|p=27}} Pendapat ini disetujui oleh beberapa ahli bahasa Jawa lainnya. Namun, analisis alternatif dari beberapa ahli bahasa menyimpulkan bahwa bahasa Jawa memiliki dua fonem tambahan, yaitu {{IPA|/ɛ/}} dan {{IPA|/ɔ/}} yang dianggap sebagai fonem mandiri, terpisah dari {{IPA|/e/}} dan {{IPA|/o/}}.{{sfn|Subroto|Soenardji|Sugiri|1991|pp=13–15}}{{sfn|Ogloblin|2005|p=593}}
Terdapat perbedaan pendapat mengenai jumlah [[fonem]] vokal dalam bahasa Jawa. Menurut ahli bahasa Jawa [[E. M. Uhlenbeck]], bahasa Jawa memiliki enam fonem vokal yang masing-masingnya memiliki dua variasi pengucapan ([[alofon]]), kecuali fonem pepet {{IPA|/ə/}}.{{sfnp|Uhlenbeck|1982|p=27}} Pendapat ini disetujui oleh beberapa ahli bahasa Jawa lainnya. Namun, analisis alternatif dari beberapa ahli bahasa menyimpulkan bahwa bahasa Jawa memiliki dua fonem tambahan, yaitu {{IPA|/ɛ/}} dan {{IPA|/ɔ/}} yang dianggap sebagai fonem mandiri, terpisah dari {{IPA|/e/}} dan {{IPA|/o/}}.{{sfnp|Subroto|Soenardji|Sugiri|1991|pp=13–15}}{{sfnp|Ogloblin|2005|p=593}}


{| class="wikitable" style="text-align: center;"
{| class="wikitable" style="text-align: center;"
|+ 1. Vokal{{sfn|Wedhawati, dkk|2006|p=66}}{{sfn|Ogloblin|2005|p=593}}
|+ 1. Vokal{{sfnp|Wedhawati dkk.|2006|p=66}}{{sfnp|Ogloblin|2005|p=593}}
|-
|-
!
!
Baris 145: Baris 146:


Mengikuti analisis enam vokal, fonem-fonem di atas memiliki [[alofon]] sebagai berikut:
Mengikuti analisis enam vokal, fonem-fonem di atas memiliki [[alofon]] sebagai berikut:
* Fonem {{IPA|/i/}} memiliki dua alofon, yaitu {{IPA|[i]}} yang umumnya muncul dalam suku kata terbuka, dan {{IPA|[ɪ]}} dalam suku kata tertutup.{{sfn|Wedhawati, dkk|2006|p=67}}
* Fonem {{IPA|/i/}} memiliki dua alofon, yaitu {{IPA|[i]}} yang umumnya muncul dalam suku kata terbuka, dan {{IPA|[ɪ]}} dalam suku kata tertutup.{{sfnp|Wedhawati dkk.|2006|p=67}}
:{|
:{|
| ||''mari''||{{IPA|[mari]}}||'sembuh'
| ||''mari''||{{IPA|[mari]}}||'sembuh'
Baris 151: Baris 152:
| ||''wit''||{{IPA|[wɪt]}}||'bibit'
| ||''wit''||{{IPA|[wɪt]}}||'bibit'
|}
|}
* Fonem {{IPA|/u/}} memiliki dua alofon, yaitu {{IPA|[u]}} yang umumnya muncul dalam suku kata terbuka, dan {{IPA|[ʊ]}} dalam suku kata tertutup.{{sfn|Wedhawati, dkk|2006|pp=68–69}}
* Fonem {{IPA|/u/}} memiliki dua alofon, yaitu {{IPA|[u]}} yang umumnya muncul dalam suku kata terbuka, dan {{IPA|[ʊ]}} dalam suku kata tertutup.{{sfnp|Wedhawati dkk.|2006|pp=68–69}}
:{|
:{|
| ||''kuru''||{{IPA|[kuru]}}||'kurus'
| ||''kuru''||{{IPA|[kuru]}}||'kurus'
Baris 157: Baris 158:
| ||''mung''||{{IPA|[mʊŋ]}}||'hanya'
| ||''mung''||{{IPA|[mʊŋ]}}||'hanya'
|}
|}
* Fonem {{IPA|/e/}} memiliki dua alofon, yaitu {{IPA|[e]}} dan {{IPA|[ɛ]}} yang dapat muncul baik dalam suku kata terbuka maupun tertutup.{{sfn|Wedhawati, dkk|2006|pp=69–70}} Dalam suku kata terbuka, {{IPA|/e/}} direalisasikan sebagai {{IPA|[ɛ]}} jika suku kata tersebut diikuti oleh 1) suku kata terbuka dengan vokal {{IPA|[i]}} atau {{IPA|[u]}}, 2) suku kata dengan vokal identik, atau 3) suku kata yang memiliki vokal {{IPA|[ə]}}.{{sfn|Nothofer|2009|p=560}}
* Fonem {{IPA|/e/}} memiliki dua alofon, yaitu {{IPA|[e]}} dan {{IPA|[ɛ]}} yang dapat muncul baik dalam suku kata terbuka maupun tertutup.{{sfnp|Wedhawati dkk.|2006|pp=69–70}} Dalam suku kata terbuka, {{IPA|/e/}} direalisasikan sebagai {{IPA|[ɛ]}} jika suku kata tersebut diikuti oleh 1) suku kata terbuka dengan vokal {{IPA|[i]}} atau {{IPA|[u]}}, 2) suku kata dengan vokal identik, atau 3) suku kata yang memiliki vokal {{IPA|[ə]}}.{{sfnp|Nothofer|2009|p=560}}
:{|
:{|
| ||''saté''||{{IPA|[sate]}}||'satai'
| ||''saté''||{{IPA|[sate]}}||'satai'
Baris 165: Baris 166:
| ||''kalèn''||{{IPA|[kalɛn]}}||'selokan'
| ||''kalèn''||{{IPA|[kalɛn]}}||'selokan'
|}
|}
* Fonem {{IPA|/o/}} memiliki dua alofon, yaitu {{IPA|[o]}} yang umumnya muncul dalam suku kata terbuka, dan {{IPA|[ɔ]}} yang dapat muncul baik dalam suku kata terbuka maupun tertutup.{{sfn|Wedhawati, dkk|2006|pp=70–71}} Dalam suku kata terbuka, {{IPA|/o/}} direalisasikan sebagai {{IPA|[ɔ]}} jika suku kata tersebut diikuti oleh 1) suku kata terbuka dengan vokal {{IPA|[i]}} atau {{IPA|[u]}}, 2) suku kata dengan vokal identik, atau 3) suku kata yang memiliki vokal {{IPA|[ə]}}.{{sfn|Nothofer|2009|p=560}}
* Fonem {{IPA|/o/}} memiliki dua alofon, yaitu {{IPA|[o]}} yang umumnya muncul dalam suku kata terbuka, dan {{IPA|[ɔ]}} yang dapat muncul baik dalam suku kata terbuka maupun tertutup.{{sfnp|Wedhawati dkk.|2006|pp=70–71}} Dalam suku kata terbuka, {{IPA|/o/}} direalisasikan sebagai {{IPA|[ɔ]}} jika suku kata tersebut diikuti oleh 1) suku kata terbuka dengan vokal {{IPA|[i]}} atau {{IPA|[u]}}, 2) suku kata dengan vokal identik, atau 3) suku kata yang memiliki vokal {{IPA|[ə]}}.{{sfnp|Nothofer|2009|p=560}}
:{|
:{|
| ||''loro''||{{IPA|[loro]}}||'dua'
| ||''loro''||{{IPA|[loro]}}||'dua'
Baris 173: Baris 174:
| ||''sorot''||{{IPA|[sorɔt]}}||'cahaya'
| ||''sorot''||{{IPA|[sorɔt]}}||'cahaya'
|}
|}
* Fonem {{IPA|/a/}} memiliki dua alofon, yaitu alofon {{IPA|[a]}} yang umumnya muncul dalam suku kata [[penultima]] (kedua terakhir) dan antepenultima (ketiga dari akhir),{{efn|[[Ultima]] merujuk pada suku kata terakhir sebuah kata. Penultima merupakan suku kata kedua dari belakang, dan antepenultima merupakan suku kata ketiga dari belakang.}} baik yang terbuka maupun yang tertutup, serta alofon {{IPA|[ɔ]}} yang dapat muncul dalam suku kata terbuka.{{sfn|Wedhawati, dkk|2006|pp=71–72}} Dalam suku kata terbuka, {{IPA|/a/}} hanya dapat direalisasikan sebagai {{IPA|[ɔ]}} jika suku kata tersebut berada di akhir kata, atau jika suku kata tersebut merupakan suku kata penultima dari kata yang berakhir dengan {{IPA|/a/}}.{{sfn|Nothofer|2009|p=560}}
* Fonem {{IPA|/a/}} memiliki dua alofon, yaitu alofon {{IPA|[a]}} yang umumnya muncul dalam suku kata [[penultima]] (kedua terakhir) dan antepenultima (ketiga dari akhir),{{efn|[[Ultima]] merujuk pada suku kata terakhir sebuah kata. Penultima merupakan suku kata kedua dari belakang, dan antepenultima merupakan suku kata ketiga dari belakang.}} baik yang terbuka maupun yang tertutup, serta alofon {{IPA|[ɔ]}} yang dapat muncul dalam suku kata terbuka.{{sfnp|Wedhawati dkk.|2006|pp=71–72}} Dalam suku kata terbuka, {{IPA|/a/}} hanya dapat direalisasikan sebagai {{IPA|[ɔ]}} jika suku kata tersebut berada di akhir kata, atau jika suku kata tersebut merupakan suku kata penultima dari kata yang berakhir dengan {{IPA|/a/}}.{{sfnp|Nothofer|2009|p=560}}
:{|
:{|
| ||''bali''||{{IPA|[bʰali]}}||'pulang'
| ||''bali''||{{IPA|[bʰali]}}||'pulang'
Baris 181: Baris 182:
| ||''kaya''||{{IPA|[kɔyɔ]}}||'seperti'
| ||''kaya''||{{IPA|[kɔyɔ]}}||'seperti'
|}
|}
* Fonem {{IPA|/ə/}} selalu diucapkan sebagai {{IPA|[ə]}}.{{sfn|Wedhawati, dkk|2006|pp=70}}
* Fonem {{IPA|/ə/}} selalu diucapkan sebagai {{IPA|[ə]}}.{{sfnp|Wedhawati dkk.|2006|pp=70}}
:{|
:{|
| ||''metu''||{{IPA|[mətu]}}||'keluar'
| ||''metu''||{{IPA|[mətu]}}||'keluar'
Baris 189: Baris 190:


=== Konsonan ===
=== Konsonan ===
Bahasa Jawa memiliki 21 fonem konsonan jika hanya menghitung kosakata "asli". Sekitar 2–4 fonem konsonan tambahan dapat ditemui dalam kata-kata pinjaman. Dalam tabel di bawah ini, fonem dalam tanda kurung menandakan fonem pinjaman.{{sfn|Wedhawati, dkk|2006|pp=73–74}}{{sfn|Ogloblin|2005|p=592}}
Bahasa Jawa memiliki 21 fonem konsonan jika hanya menghitung kosakata "asli". Sekitar 2–4 fonem konsonan tambahan dapat ditemui dalam kata-kata pinjaman. Dalam tabel di bawah ini, fonem dalam tanda kurung menandakan fonem pinjaman.{{sfnp|Wedhawati dkk.|2006|pp=73–74}}{{sfnp|Ogloblin|2005|p=592}}
{| class="wikitable" style="text-align: center" |
{| class="wikitable" style="text-align: center" |
|+ 2. Konsonan{{sfn|Wedhawati, dkk|2006|pp=73–74}}{{sfn|Ogloblin|2005|p=592}}{{sfn|Nothofer|2009|p=560}}
|+ 2. Konsonan{{sfnp|Wedhawati dkk.|2006|pp=73–74}}{{sfnp|Ogloblin|2005|p=592}}{{sfnp|Nothofer|2009|p=560}}
|-
|-
!
!
! [[Konsonan bibir|Labial]]
! [[Konsonan bibir|Labial]]
! [[Konsonan dental|Dental]]/[[Konsonan alveolar|alveolar]]{{efn|Fonem {{IPA|/n/}}, {{IPA|/l/}}, {{IPA|/r/}}, dan {{IPA|/s/}} (serta {{IPA|/z/}}) ditandai sebagai fonem dental dalam analisis {{harvcoltxt|Ogloblin|2005}}, alveolar dalam analisis {{harvcoltxt|Wedhawati, dkk|2006}}, dan retrofleks dalam analisis {{harvcoltxt|Nothofer|2009}}. Fonem {{IPA|/t/}} dan {{IPA|/d/}} secara konsisten selalu ditandai sebagai konsonan dental; {{harvcoltxt|Wedhawati, dkk|2006}} secara spesifik menyebut keduanya sebagai konsonan "apiko-dental", yaitu konsonan yang diucapkan dengan menempelkan ujung lidah ke gigi atas.{{sfn|Wedhawati, dkk|2006|p=80}}}}
! [[Konsonan dental|Dental]]/[[Konsonan alveolar|alveolar]]{{efn|Fonem {{IPA|/n/}}, {{IPA|/l/}}, {{IPA|/r/}}, dan {{IPA|/s/}} (serta {{IPA|/z/}}) ditandai sebagai fonem dental dalam analisis {{harvcoltxt|Ogloblin|2005}}, alveolar dalam analisis {{harvcoltxt|Wedhawati dkk.|2006}}, dan retrofleks dalam analisis {{harvcoltxt|Nothofer|2009}}. Fonem {{IPA|/t/}} dan {{IPA|/d/}} secara konsisten selalu ditandai sebagai konsonan dental; {{harvcoltxt|Wedhawati dkk.|2006}} secara spesifik menyebut keduanya sebagai konsonan "apiko-dental", yaitu konsonan yang diucapkan dengan menempelkan ujung lidah ke gigi atas.{{sfnp|Wedhawati dkk.|2006|p=80}}}}
! [[Retrofleks]]
! [[Retrofleks]]
! [[Palatal]]
! [[Palatal]]
Baris 212: Baris 213:
| {{IPA|p}}&nbsp;{{IPA|b}}
| {{IPA|p}}&nbsp;{{IPA|b}}
| {{IPA|t}}&nbsp;{{IPA|d}}
| {{IPA|t}}&nbsp;{{IPA|d}}
| {{IPA|ʈ}}&nbsp;{{IPA|ɖ}}{{efn|Kedua konsonan ini ditandai sebagai "apiko-palatal" oleh {{harvcoltxt|Wedhawati, dkk|2006}}.}}
| {{IPA|ʈ}}&nbsp;{{IPA|ɖ}}{{efn|Kedua konsonan ini ditandai sebagai "apiko-palatal" oleh {{harvcoltxt|Wedhawati dkk.|2006}}.}}
| {{IPA|tʃ}}&nbsp;{{IPA|dʒ}}
| {{IPA|tʃ}}&nbsp;{{IPA|dʒ}}
| {{IPA|k}}&nbsp;{{IPA|ɡ}}
| {{IPA|k}}&nbsp;{{IPA|ɡ}}
| {{IPA|ʔ}}
| {{IPA|ʔ}}
|-
|-
! [[Frikatif]]{{efn|{{harvcoltxt|Wedhawati, dkk|2006}} tidak memasukkan {{IPA|/ʃ/}} dan {{IPA|/x/}} sebagai fonem pinjaman dalam bahasa Jawa.}}
! [[Frikatif]]{{efn|{{harvcoltxt|Wedhawati dkk.|2006}} tidak memasukkan {{IPA|/ʃ/}} dan {{IPA|/x/}} sebagai fonem pinjaman dalam bahasa Jawa.}}
| {{IPA|(f)}}
| {{IPA|(f)}}
| {{IPA|s}}&nbsp;{{IPA|(z)}}
| {{IPA|s}}&nbsp;{{IPA|(z)}}
Baris 241: Baris 242:
|
|
|}
|}
Kecuali dalam kluster sengau homorganik{{efn|Kluster homorganik adalah gabungan konsonan yang diucapkan pada satu tempat artikulasi yang sama, seperti {{IPA|/mb/}} dan {{IPA|/nd/}}.}}, fonem {{IPA|/b/}}, {{IPA|/d/}}, {{IPA|/ɖ/}}, {{IPA|/dʒ/}}, dan {{IPA|/ɡ/}} dalam posisi awal suku kata cenderung diucapkan dengan [[Aspirasi (linguistik)|aliran udara]] yang lebih besar daripada biasanya dan hampir tanpa [[Suara (fonetik)|menggetarkan pita suara]], sehingga mendekati bunyi {{IPA|[pʰ]}}, {{IPA|[tʰ]}}, {{IPA|[ʈʰ]}}, {{IPA|[tʃʰ]}}, dan {{IPA|[kʰ]}}.{{sfn|Ogloblin|2005|p=593}} Ahli [[ilmu fonetik]] [[Peter Ladefoged]] dan Ian Maddieson mengistilahkan seri fonem ini sebagai konsonan hambat "bersuara kendur" (''slack voiced''), kontras dengan seri fonem {{IPA|/p/}}, {{IPA|/t/}}, {{IPA|/ʈ/}}, {{IPA|/tʃ/}}, dan {{IPA|/k/}} yang "bersuara kencang" (''stiff voiced''). Walaupun keduanya sama-sama diucapkan tanpa menggetarkan pita suara dalam beberapa kondisi, seri konsonan kendur memiliki bukaan [[pita suara]] yang lebih lebar daripada seri konsonan kencang.{{sfn|Ladefoged|Maddieson|1996|pp=63–64}} Selain itu, bunyi vokal yang mengikuti seri konsonan kendur juga diucapkan dengan aliran udara yang lebih besar (''breathy voice'').{{sfn|Ogloblin|2005|p=593}}{{sfn|Ladefoged|Maddieson|1996|pp=63–64}} Bunyi hambat pada akhir suku kata umumnya diucapkan tanpa letupan ({{IPA|/p/}} diucapkan {{IPA|[p̚]}}, {{IPA|/t/}} diucapkan {{IPA|[t̚]}}, {{IPA|/k/}} diucapkan {{IPA|[k̚]}}, dan seterusnya).{{sfn|Ogloblin|2005|p=593}}{{sfn|Wedhawati, dkk|2006|pp=75, 81, 91–92}}
Kecuali dalam kluster sengau homorganik{{efn|Kluster homorganik adalah gabungan konsonan yang diucapkan pada satu tempat artikulasi yang sama, seperti {{IPA|/mb/}} dan {{IPA|/nd/}}.}}, fonem {{IPA|/b/}}, {{IPA|/d/}}, {{IPA|/ɖ/}}, {{IPA|/dʒ/}}, dan {{IPA|/ɡ/}} dalam posisi awal suku kata cenderung diucapkan dengan [[Aspirasi (linguistik)|aliran udara]] yang lebih besar daripada biasanya dan hampir tanpa [[Suara (fonetik)|menggetarkan pita suara]], sehingga mendekati bunyi {{IPA|[pʰ]}}, {{IPA|[tʰ]}}, {{IPA|[ʈʰ]}}, {{IPA|[tʃʰ]}}, dan {{IPA|[kʰ]}}.{{sfnp|Ogloblin|2005|p=593}} Ahli [[ilmu fonetik]] [[Peter Ladefoged]] dan Ian Maddieson mengistilahkan seri fonem ini sebagai konsonan hambat "bersuara kendur" (''slack voiced''), kontras dengan seri fonem {{IPA|/p/}}, {{IPA|/t/}}, {{IPA|/ʈ/}}, {{IPA|/tʃ/}}, dan {{IPA|/k/}} yang "bersuara kencang" (''stiff voiced''). Walaupun keduanya sama-sama diucapkan tanpa menggetarkan pita suara dalam beberapa kondisi, seri konsonan kendur memiliki bukaan [[pita suara]] yang lebih lebar daripada seri konsonan kencang.{{sfnp|Ladefoged|Maddieson|1996|pp=63–64}} Selain itu, bunyi vokal yang mengikuti seri konsonan kendur juga diucapkan dengan aliran udara yang lebih besar (''breathy voice'').{{sfnp|Ogloblin|2005|p=593}}{{sfnp|Ladefoged|Maddieson|1996|pp=63–64}} Bunyi hambat pada akhir suku kata umumnya diucapkan tanpa letupan ({{IPA|/p/}} diucapkan {{IPA|[p̚]}}, {{IPA|/t/}} diucapkan {{IPA|[t̚]}}, {{IPA|/k/}} diucapkan {{IPA|[k̚]}}, dan seterusnya).{{sfnp|Ogloblin|2005|p=593}}{{sfnp|Wedhawati dkk.|2006|pp=75, 81, 91–92}}


=== Fonotaktik ===
=== Fonotaktik ===
Struktur suku kata paling umum dalam bahasa Jawa adalah {{abbr|V|vokal}}, {{abbr|K|konsonan}}V, VK, dan KVK. Suku kata dapat pula diawali dengan gabungan konsonan, yang umumnya terbagi menjadi tiga jenis: 1) gabungan konsonan homorganik yang terdiri dari bunyi sengau ditambah bunyi letup bersuara ({{abbr|N|konsonan nasal/sengau}}KV, NKVK), 2) gabungan konsonan yang terdiri dari bunyi letup ditambah bunyi likuida atau semivokal (KKV, KKVK), dan 3) gabungan konsonan sengau homorganik yang diikuti dengan bunyi [[likuida]] dan [[semivokal]] (NKKV, NKKVK).{{sfn|Ogloblin|2005|p=593}}{{sfn|Wedhawati, dkk|2006|p=97}}
Struktur suku kata paling umum dalam bahasa Jawa adalah {{abbr|V|vokal}}, {{abbr|K|konsonan}}V, VK, dan KVK. Suku kata dapat pula diawali dengan gabungan konsonan, yang umumnya terbagi menjadi tiga jenis: 1) gabungan konsonan homorganik yang terdiri dari bunyi sengau ditambah bunyi letup bersuara ({{abbr|N|konsonan nasal/sengau}}KV, NKVK), 2) gabungan konsonan yang terdiri dari bunyi letup ditambah bunyi likuida atau semivokal (KKV, KKVK), dan 3) gabungan konsonan sengau homorganik yang diikuti dengan bunyi [[likuida]] dan [[semivokal]] (NKKV, NKKVK).{{sfnp|Ogloblin|2005|p=593}}{{sfnp|Wedhawati dkk.|2006|p=97}}
:{|
:{|
| ||V||: ''ka-'''é''''' 'itu'
| ||V||: ''ka-'''é''''' 'itu'
Baris 260: Baris 261:
| ||NKKVK||: '''''ngglam'''-byar'' 'tidak fokus'
| ||NKKVK||: '''''ngglam'''-byar'' 'tidak fokus'
|}
|}
Deret konsonan antarvokal umumnya terdiri dari konsonan sengau + letup homorganik (seperti [mp], [mb], [ɲtʃ], dan seterusnya), atau [ŋs]. Bunyi /l/, /r/, dan /j/ dapat pula ditambahkan di akhir deret konsonan semacam ini. Contoh deret konsonan semacam ini adalah ''wo'''nt'''en'' 'ada', ''ba'''ngs'''a'' 'bangsa', dan ''sa'''ntr'''i'' 'santri, Muslim yang taat'. Dalam bahasa Jawa, suku kata sebelum deret konsonan semacam ini secara konvensional dianggap sebagai suku kata terbuka, sebab bunyi /a/ dalam suku kata seperti ini akan mengalami [[Kebulatan vokal|pembulatan]] menjadi {{IPA|[ɔ]}}. Kata ''tampa'' 'terima', misalnya, diucapkan sebagai [tɔmpɔ]. Bandingkan dengan kata ''tanpa'' 'tanpa' yang diucapkan sebagai [tanpɔ].{{sfn|Ogloblin|2005|pp=593–594}}
Deret konsonan antarvokal umumnya terdiri dari konsonan sengau + letup homorganik (seperti [mp], [mb], [ɲtʃ], dan seterusnya), atau [ŋs]. Bunyi /l/, /r/, dan /j/ dapat pula ditambahkan di akhir deret konsonan semacam ini. Contoh deret konsonan semacam ini adalah ''wo'''nt'''en'' 'ada', ''ba'''ngs'''a'' 'bangsa', dan ''sa'''ntr'''i'' 'santri, Muslim yang taat'. Dalam bahasa Jawa, suku kata sebelum deret konsonan semacam ini secara konvensional dianggap sebagai suku kata terbuka, sebab bunyi /a/ dalam suku kata seperti ini akan mengalami [[Kebulatan vokal|pembulatan]] menjadi {{IPA|[ɔ]}}. Kata ''tampa'' 'terima', misalnya, diucapkan sebagai [tɔmpɔ]. Bandingkan dengan kata ''tanpa'' 'tanpa' yang diucapkan sebagai [tanpɔ].{{sfnp|Ogloblin|2005|pp=593–594}}


Sebagian besar (85%) morfem dalam bahasa Jawa terdiri dari 2 suku kata; morfem sisanya memiliki satu, tiga, atau empat suku kata. Penutur bahasa Jawa memiliki kecenderungan yang kuat untuk mengubah morfem dengan satu suku kata menjadi morfem dengan dua suku kata. Morfem dengan empat suku kata kadang pula dianalisis sebagai gabungan dua morfem yang masing-masingnya memiliki dua suku kata.{{sfn|Ogloblin|2005|p=593}}
Sebagian besar (85%) morfem dalam bahasa Jawa terdiri dari 2 suku kata; morfem sisanya memiliki satu, tiga, atau empat suku kata. Penutur bahasa Jawa memiliki kecenderungan yang kuat untuk mengubah morfem dengan satu suku kata menjadi morfem dengan dua suku kata. Morfem dengan empat suku kata kadang pula dianalisis sebagai gabungan dua morfem yang masing-masingnya memiliki dua suku kata.{{sfnp|Ogloblin|2005|p=593}}


== Tata bahasa ==
== Tata bahasa ==
{{main|Tata bahasa Jawa}}
{{main|Tata bahasa Jawa}}
=== Pronomina persona ===
=== Pronomina persona ===
Bahasa Jawa tidak memiliki [[pronomina]] persona khusus untuk menyatakan jamak kecuali kata ''kita'' dan ''kami.'' Penjamakan kata ganti dapat diabaikan atau dinyatakan dengan menggunakan frasa semisal ''aku kabèh'' 'kami', ''awaké dhéwé'' 'kita', ''dhèwèké kabèh'' 'mereka' dan semacamnya.{{sfn|Ogloblin|2005|p=598}}
Bahasa Jawa tidak memiliki [[pronomina]] persona khusus untuk menyatakan jamak kecuali kata ''kita'' dan ''kami.'' Penjamakan kata ganti dapat diabaikan atau dinyatakan dengan menggunakan frasa semisal ''aku kabèh'' 'kami', ''awaké dhéwé'' 'kita', ''dhèwèké kabèh'' 'mereka' dan semacamnya.{{sfnp|Ogloblin|2005|p=598}}


{| class="wikitable" style="text-align: left;"
{| class="wikitable" style="text-align: left;"
|+ 3. Pronomina persona{{sfn|Ogloblin|2005|p=598}}{{sfn|Uhlenbeck|1982|p=242}}{{sfn|Robson|2014|p=1}}
|+ 3. Pronomina persona{{sfnp|Ogloblin|2005|p=598}}{{sfnp|Uhlenbeck|1982|p=242}}{{sfnp|Robson|2014|p=1}}
|-
|-
! rowspan="2" | Glos
! rowspan="2" | Glos
Baris 315: Baris 316:
|-
|-
| {{gcl|3SG}}, {{gcl|3PL}}<br />'dia, ia, ia, mereka'
| {{gcl|3SG}}, {{gcl|3PL}}<br />'dia, ia, ia, mereka'
| ''dhèwèké''{{efn|Varian ''dhèwèkné'', ''dhèkné'', dan ''dhèknéné'' juga umum ditemui.{{sfn|Uhlenbeck|1982|p=242}}}}
| ''dhèwèké''{{efn|Varian ''dhèwèkné'', ''dhèkné'', dan ''dhèknéné'' juga umum ditemui.{{sfnp|Uhlenbeck|1982|p=242}}}}
| –
| –
| ''piyambakipun''
| ''piyambakipun''
| ''panjenengané'',<br />''panjenenganipun''{{efn|''Panjenengané'' dipakai dalam konteks ''ngoko'', sementara ''panjenenganipun'' dipakai dalam konteks ''krama''.{{sfn|Robson|2014|p=1}}}}
| ''panjenengané'',<br />''panjenenganipun''{{efn|''Panjenengané'' dipakai dalam konteks ''ngoko'', sementara ''panjenenganipun'' dipakai dalam konteks ''krama''.{{sfnp|Robson|2014|p=1}}}}
| ''di''-, ''dipun-''
| ''di''-, ''dipun-''
| -''(n)é'', -''(n)ipun''
| -''(n)é'', -''(n)ipun''
|}
|}


Pronomina persona dalam bahasa Jawa, terutama untuk persona kedua dan ketiga, lebih sering digantikan dengan nomina atau gelar tertentu.{{sfn|Robson|2014|p=1}}{{sfn|Uhlenbeck|1982|p=239}} Selain pronomina yang dijabarkan di dalam tabel di atas, bahasa Jawa masih memiliki beragam pronomina lain yang penggunaannya bervariasi tergantung dialek atau tingkat tutur.{{sfn|Wedhawati, dkk|2006|p=268–269}}
Pronomina persona dalam bahasa Jawa, terutama untuk persona kedua dan ketiga, lebih sering digantikan dengan nomina atau gelar tertentu.{{sfnp|Robson|2014|p=1}}{{sfnp|Uhlenbeck|1982|p=239}} Selain pronomina yang dijabarkan di dalam tabel di atas, bahasa Jawa masih memiliki beragam pronomina lain yang penggunaannya bervariasi tergantung dialek atau tingkat tutur.{{sfnp|Wedhawati dkk.|2006|p=268–269}}


=== Demonstrativa ===
=== Demonstrativa ===
[[Demonstrativa]] atau kata tunjuk dalam bahasa Jawa adalah sebagai berikut:{{sfn|Uhlenbeck|1982|pp=236, 248, 264, 268, 276, 279, 283}}{{sfn|Wedhawati, dkk|2006|pp=270–275}}
[[Demonstrativa]] atau kata tunjuk dalam bahasa Jawa adalah sebagai berikut:{{sfnp|Uhlenbeck|1982|pp=236, 248, 264, 268, 276, 279, 283}}{{sfnp|Wedhawati dkk.|2006|pp=270–275}}
{| class="wikitable" style="text-align: left;"
{| class="wikitable" style="text-align: left;"
|+ 4. Demonstrativa{{sfn|Uhlenbeck|1982|pp=236, 248, 264, 268, 276, 279, 283}}{{sfn|Wedhawati, dkk|2006|pp=270–275}}
|+ 4. Demonstrativa{{sfnp|Uhlenbeck|1982|pp=236, 248, 264, 268, 276, 279, 283}}{{sfnp|Wedhawati dkk.|2006|pp=270–275}}
|-
|-
!
!
Baris 366: Baris 367:
|}
|}


Kata ''iki'' dan ''iku'' dapat digunakan baik dalam tulisan maupun percakapan. Bentuk ''kiyi'', ''kiyé'', ''kuwi'', dan ''kuwé'' utamanya digunakan dalam percakapan sehari-hari. Bentuk ''ika'' hanya dipakai dalam tembang. Bentuk ''madya'' dari ''iki/kiyi/kiyé'', ''iku/kuwi/kuwé'' dan ''kaé'' adalah ''niki'', ''niku'', dan ''nika''. Ketiga jenis demonstrativa ini memiliki bentuk krama yang sama, yaitu ''punika'' atau ''menika'', walaupun dalam beberapa kasus, kata ''mekaten'' atau ''ngaten'' juga digunakan sebagai padanan ''krama'' dari ''kaé''.{{sfn|Uhlenbeck|1982|pp=248–249}}{{sfn|Wedhawati, dkk|2006|p=270}}
Kata ''iki'' dan ''iku'' dapat digunakan baik dalam tulisan maupun percakapan. Bentuk ''kiyi'', ''kiyé'', ''kuwi'', dan ''kuwé'' utamanya digunakan dalam percakapan sehari-hari. Bentuk ''ika'' hanya dipakai dalam tembang. Bentuk ''madya'' dari ''iki/kiyi/kiyé'', ''iku/kuwi/kuwé'' dan ''kaé'' adalah ''niki'', ''niku'', dan ''nika''. Ketiga jenis demonstrativa ini memiliki bentuk krama yang sama, yaitu ''punika'' atau ''menika'', walaupun dalam beberapa kasus, kata ''mekaten'' atau ''ngaten'' juga digunakan sebagai padanan ''krama'' dari ''kaé''.{{sfnp|Uhlenbeck|1982|pp=248–249}}{{sfnp|Wedhawati dkk.|2006|p=270}}


=== Nomina ===
=== Nomina ===
Dalam bahasa Jawa, atribut pewatas (''modifier'') nomina inti diletakkan setelah nomina.{{sfn|Wedhawati, dkk|2006|p=243}} Nomina inti tidak diberi imbuhan jika diikuti dengan atribut [[adjektiva]] atau verba non-pasif (penanda tujuan atau kegunaan) yang membatasi makna nomina tersebut. Kepemilikan dapat dinyatakan secara implisit tanpa imbuhan, atau secara eksplisit dengan akhiran ''-(n)é'' atau ''-(n)ipun'' pada nomina inti.{{sfn|Ogloblin|2005|p=608}}{{sfn|Wedhawati, dkk|2006|p=252}}
Dalam bahasa Jawa, atribut pewatas (''modifier'') nomina inti diletakkan setelah nomina.{{sfnp|Wedhawati dkk.|2006|p=243}} Nomina inti tidak diberi imbuhan jika diikuti dengan atribut [[adjektiva]] atau verba non-pasif (penanda tujuan atau kegunaan) yang membatasi makna nomina tersebut. Kepemilikan dapat dinyatakan secara implisit tanpa imbuhan, atau secara eksplisit dengan akhiran ''-(n)é'' atau ''-(n)ipun'' pada nomina inti.{{sfnp|Ogloblin|2005|p=608}}{{sfnp|Wedhawati dkk.|2006|p=252}}
:{|
:{|
| ||''wit kinah''||'pohon kina'
| ||''wit kinah''||'pohon kina'
Baris 381: Baris 382:
| ||''omahé Marsam''||'rumahnya Marsam'
| ||''omahé Marsam''||'rumahnya Marsam'
|}
|}
Imbuhan ''-(n)ing'', yang utamanya digunakan dalam ragam tulisan, memiliki beberapa makna berbeda yang menyatakan hubungan antara inti dan atribut.{{sfn|Ogloblin|2005|p=608}}
Imbuhan ''-(n)ing'', yang utamanya digunakan dalam ragam tulisan, memiliki beberapa makna berbeda yang menyatakan hubungan antara inti dan atribut.{{sfnp|Ogloblin|2005|p=608}}
:{|
:{|
| ||''ratuning buta''||'rajanya para raksasa'
| ||''ratuning buta''||'rajanya para raksasa'
Baris 391: Baris 392:


=== Numeralia ===
=== Numeralia ===
[[Numeralia]] atau angka umumnya diletakkan setelah nomina.{{sfn|Wedhawati, dkk|2006|p=305}}{{sfn|Ogloblin|2005|p=608–609}}
[[Numeralia]] atau angka umumnya diletakkan setelah nomina.{{sfnp|Wedhawati dkk.|2006|p=305}}{{sfnp|Ogloblin|2005|p=608–609}}
:{|
:{|
| ||''wong siji''||'satu orang'
| ||''wong siji''||'satu orang'
Baris 400: Baris 401:
|}
|}


Numeralia diletakkan sebelum nomina jika nomina tersebut merupakan penunjuk satuan ukuran atau satuan bilangan. Numeralia dalam posisi ini akan mendapatkan pengikat nasal ''-ng'' jika berakhir dengan bunyi vokal, atau ''-ang'' jika berakhir dengan konsonan non-sengau. Satu-satunya pengecualian adalah numeralia ''siji'' 'satu' yang diganti dengan imbuhan ''sa-/se-/s-'' dalam konteks ini.{{sfn|Wedhawati, dkk|2006|p=305}}{{sfn|Ogloblin|2005|p=608–609}}
Numeralia diletakkan sebelum nomina jika nomina tersebut merupakan penunjuk satuan ukuran atau satuan bilangan. Numeralia dalam posisi ini akan mendapatkan pengikat nasal ''-ng'' jika berakhir dengan bunyi vokal, atau ''-ang'' jika berakhir dengan konsonan non-sengau. Satu-satunya pengecualian adalah numeralia ''siji'' 'satu' yang diganti dengan imbuhan ''sa-/se-/s-'' dalam konteks ini.{{sfnp|Wedhawati dkk.|2006|p=305}}{{sfnp|Ogloblin|2005|p=608–609}}
:{|
:{|
| ||''telung puluh''||'tiga puluh'
| ||''telu-ng puluh''||'tiga puluh'
|-
|-
| ||''patang pethi''||'empat peti'
| ||''pat-ang pethi''||'empat peti'
|-
|-
| ||''sa-genthong''||'satu tempayan'
| ||''sa-genthong''||'satu tempayan'
Baris 420: Baris 421:
TR2:transitif II, kausatif
TR2:transitif II, kausatif
</div><section end="list-of-glossing-abbreviations"/>
</div><section end="list-of-glossing-abbreviations"/>
Paradigma verba bahasa Jawa baku dapat diringkaskan sebagai berikut:{{sfn|Conners|2008|p=235}}{{sfn|Uhlenbeck|1982|p=133}}
Paradigma verba bahasa Jawa baku dapat diringkaskan sebagai berikut:{{sfnp|Conners|2008|p=235}}{{sfnp|Uhlenbeck|1982|p=133}}
{| class="wikitable" style="text-align: left"
{| class="wikitable" style="text-align: left"
|+ 5. Paradigma verba{{sfn|Conners|2008|p=235}}{{sfn|Uhlenbeck|1982|p=133}}
|+ 5. Paradigma verba{{sfnp|Conners|2008|p=235}}{{sfnp|Uhlenbeck|1982|p=133}}
|-
|-
! rowspan="2" |modus
! rowspan="2" |modus
Baris 485: Baris 486:
|}
|}


Tidak semua imbuhan verba dalam paradigma yang dijabarkan di atas lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari. Selain itu, dialek bahasa Jawa lainnya umumnya memiliki paradigma verba yang lebih sederhana, seperti misalnya dialek Tengger yang tidak menggunakan imbuhan berbeda bagi verba dengan modus [[modus subjungtif|subjungtif]] dan [[modus imperatif|imperatif]] (walaupun dialek baku juga tidak membedakan keduanya dalam bentuk aktif, sama-sama ditandai dengan imbuhan ''N-'' dan ''-a'').{{sfn|Conners|2008|pp=200, 237–238}}
Tidak semua imbuhan verba dalam paradigma yang dijabarkan di atas lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari. Selain itu, dialek bahasa Jawa lainnya umumnya memiliki paradigma verba yang lebih sederhana, seperti misalnya dialek Tengger yang tidak menggunakan imbuhan berbeda bagi verba dengan modus [[modus subjungtif|subjungtif]] dan [[modus imperatif|imperatif]] (walaupun dialek baku juga tidak membedakan keduanya dalam bentuk aktif, sama-sama ditandai dengan imbuhan ''N-'' dan ''-a'').{{sfnp|Conners|2008|pp=200, 237–238}}


Verba [[transitif]] dalam bahasa Jawa dapat dibentuk dengan merangkaikan awalan sengau ''N-'' pada kata dasar untuk bentuk aktif atau awalan pronominal seperti ''di-'', ''tak-'', dan ''kok-'' untuk bentuk pasif.{{sfn|Ogloblin|2005|p=600}}
Verba [[transitif]] dalam bahasa Jawa dapat dibentuk dengan merangkaikan awalan sengau ''N-'' pada kata dasar untuk bentuk aktif atau awalan pronominal seperti ''di-'', ''tak-'', dan ''kok-'' untuk bentuk pasif.{{sfnp|Ogloblin|2005|p=600}}
:{{interlinear |lang=jv |number=(1) |indent=2
:{{interlinear |lang=jv |number=(1) |indent=2
|Wis '''nemu''' akal aku
|Wis '''nemu''' akal aku
Baris 499: Baris 500:
}}
}}


Penambahan akhiran ''-i'' dan ''-aké'' umumnya menandakan [[Valensi (linguistik)|valensi]] yang lebih tinggi.{{efn|Valensi adalah konsep tata bahasa mengenai hubungan antara verba dengan jumlah [[Argumen (linguistik)|argumen]] yang dirujuk olehnya. Semakin tinggi valensi sebuah verba, semakin banyak argumen yang bisa dirujuk olehnya. Verba intransitif, misalnya, memiliki valensi terkecil, karena hanya dapat merujuk pada satu argumen saja.}}{{sfn|Ogloblin|2005|p=600}} Akhiran ''-i'' biasanya bersifat aplikatif, seperti dalam kata ''tanduri'' 'tanami (dengan sesuatu)' dari kata dasar ''tandur'' 'tanam'. Akhiran ''-aké'' (bentuk ''krama'': ''-aken'') dapat membentuk verba kausatif dari verba transitif, contohnya kata ''lebokaké'' 'masukkan (ke dalam sesuatu)' dari kata ''mlebu''. Jika dipasangkan pada verba intransitif, verba yang terbentuk dapat bersifat benefaktif, contohnya seperti kata ''jupukaké'' 'ambilkan (untuk seseorang)' dari bentuk dasar ''jupuk'' 'ambil'.{{sfn|Ogloblin|2005|p=610–611}}
Penambahan akhiran ''-i'' dan ''-aké'' umumnya menandakan [[Valensi (linguistik)|valensi]] yang lebih tinggi.{{efn|Valensi adalah konsep tata bahasa mengenai hubungan antara verba dengan jumlah [[Argumen (linguistik)|argumen]] yang dirujuk olehnya. Semakin tinggi valensi sebuah verba, semakin banyak argumen yang bisa dirujuk olehnya. Verba intransitif, misalnya, memiliki valensi terkecil, karena hanya dapat merujuk pada satu argumen saja.}}{{sfnp|Ogloblin|2005|p=600}} Akhiran ''-i'' biasanya bersifat aplikatif, seperti dalam kata ''tanduri'' 'tanami (dengan sesuatu)' dari kata dasar ''tandur'' 'tanam'. Akhiran ''-aké'' (bentuk ''krama'': ''-aken'') dapat membentuk verba kausatif dari verba transitif, contohnya kata ''lebokaké'' 'masukkan (ke dalam sesuatu)' dari kata ''mlebu''. Jika dipasangkan pada verba intransitif, verba yang terbentuk dapat bersifat benefaktif, contohnya seperti kata ''jupukaké'' 'ambilkan (untuk seseorang)' dari bentuk dasar ''jupuk'' 'ambil'.{{sfnp|Ogloblin|2005|p=610–611}}
:{{interlinear |lang=jv |number=(3) |indent=2
:{{interlinear |lang=jv |number=(3) |indent=2
|Kuwi '''mangan-i''' godhong tèh
|Kuwi '''mangan-i''' godhong tèh
Baris 511: Baris 512:
}}
}}


Baik verba transitif maupun intransitif memiliki beberapa bentuk tergantung [[modus|modus gramatikanya]]. Selain bentuk dasar atau bentuk [[Modus indikatif|indikatif]], ada pula bentuk [[Modus irealis|irealis]]/subjungtif, imperatif, dan propositif.{{sfn|Ogloblin|2005|p=600}} Modus irealis dalam bahasa Jawa diekspresikan dengan imbuhan ''-a'', yang dapat memiliki beberapa makna, yaitu:{{sfn|Ogloblin|2005|p=605}}
Baik verba transitif maupun intransitif memiliki beberapa bentuk tergantung [[modus|modus gramatikanya]]. Selain bentuk dasar atau bentuk [[Modus indikatif|indikatif]], ada pula bentuk [[Modus irealis|irealis]]/subjungtif, imperatif, dan propositif.{{sfnp|Ogloblin|2005|p=600}} Modus irealis dalam bahasa Jawa diekspresikan dengan imbuhan ''-a'', yang dapat memiliki beberapa makna, yaitu:{{sfnp|Ogloblin|2005|p=605}}
* Menyatakan kemungkinan (''potential'').
* Menyatakan kemungkinan (''potential'').
:{{interlinear |lang=jv |number=(5) |indent=2
:{{interlinear |lang=jv |number=(5) |indent=2
Baris 537: Baris 538:
}}
}}


Verba dengan modus imperatif tidak dapat diawali dengan [[pelengkap]] yang berupa pelaku, dan ditandai dengan imbuhan ''-en'' atau ''-a''. Verba intransitif tidak memiliki bentuk imperatif khusus.{{sfn|Ogloblin|2005|pp=600, 603}}
Verba dengan modus imperatif tidak dapat diawali dengan [[pelengkap]] yang berupa pelaku, dan ditandai dengan imbuhan ''-en'' atau ''-a''. Verba intransitif tidak memiliki bentuk imperatif khusus.{{sfnp|Ogloblin|2005|pp=600, 603}}
:{{interlinear |lang=jv |number=(9) |indent=2
:{{interlinear |lang=jv |number=(9) |indent=2
|Mripat{{=}}mu '''tutup-an-a'''
|Mripat{{=}}mu '''tutup-an-a'''
Baris 544: Baris 545:
}}
}}


Bentuk propositif merupakan bentuk imperatif yang digunakan untuk memerintahkan diri sendiri atau mengekspresikan keinginan untuk melakukan sesuatu.{{sfn|Ogloblin|2005|pp=600, 603}} Morfem ''tak'' atau ''dak'' digunakan sebelum verba untuk memarkahi modus propositif aktif. Tidak seperti awalan pronominal ''tak-'' atau ''dak-'' yang tidak dapat didahului oleh subjek persona pertama, konstruksi propositif aktif dengan ''tak/dak'' dapat didahului oleh subjek ({{abbr|mis.|misal}} '''''aku''' tak nggorèng iwak'' 'aku bermaksud menggoreng ikan'). Pemarkah propositif aktif ini juga bisa dipisahkan dari verba yang mengikutinya, seperti yang bisa dilihat dari contoh (10–11).{{sfn|Ogloblin|2005|p=605}}{{sfn|Uhlenbeck|1982|p=135}}
Bentuk propositif merupakan bentuk imperatif yang digunakan untuk memerintahkan diri sendiri atau mengekspresikan keinginan untuk melakukan sesuatu.{{sfnp|Ogloblin|2005|pp=600, 603}} Morfem ''tak'' atau ''dak'' digunakan sebelum verba untuk memarkahi modus propositif aktif. Tidak seperti awalan pronominal ''tak-'' atau ''dak-'' yang tidak dapat didahului oleh subjek persona pertama, konstruksi propositif aktif dengan ''tak/dak'' dapat didahului oleh subjek ({{abbr|mis.|misal}} '''''aku''' tak nggorèng iwak'' 'aku bermaksud menggoreng ikan'). Pemarkah propositif aktif ini juga bisa dipisahkan dari verba yang mengikutinya, seperti yang bisa dilihat dari contoh (10–11).{{sfnp|Ogloblin|2005|p=605}}{{sfnp|Uhlenbeck|1982|p=135}}
:{{interlinear |lang=jv |number=(10) |indent=2
:{{interlinear |lang=jv |number=(10) |indent=2
|Aku '''tak''' '''nusul''' Bapak dhéwéan
|Aku '''tak''' '''nusul''' Bapak dhéwéan
Baris 556: Baris 557:
}}
}}


Imbuhan ''-é'' atau ''-ipun'' digunakan untuk menandakan bentuk propositif pasif.{{sfn|Ogloblin|2005|p=600}} Di sini morfem ''tak-'' berfungsi serupa dengan awalan pronomina ''tak-'' yang digunakan dalam bentuk pasif pada modus indikatif dan irealis.{{sfn|Ogloblin|2005|p=606}}
Imbuhan ''-é'' atau ''-ipun'' digunakan untuk menandakan bentuk propositif pasif.{{sfnp|Ogloblin|2005|p=600}} Di sini morfem ''tak-'' berfungsi serupa dengan awalan pronomina ''tak-'' yang digunakan dalam bentuk pasif pada modus indikatif dan irealis.{{sfnp|Ogloblin|2005|p=606}}
:{{interlinear |lang=jv |number=(12) |indent=2
:{{interlinear |lang=jv |number=(12) |indent=2
|'''Tak{{=}}Ø-plathok-an-é''' kayu{{=}}mu
|'''Tak{{=}}Ø-plathok-an-é''' kayu{{=}}mu
Baris 563: Baris 564:
}}
}}


Dalam bentuk-bentuk non-indikatif (irealis/subjungtif, imperatif, dan propositif), imbuhan ''-i'' dan ''-aké'' bersinonim dengan imbuhan ''-an'' dan ''-n'' seperti dalam rangkaian imbuhan ''-an-a'', ''-an-é'', ''-n-a'', dan ''-n-é''. Imbuhan-imbuhan ini sering dianggap sebagai bentuk yang padu (''-ana'', ''-ané'', ''-na'', dan ''-né''), walaupun beberapa linguis menganggap bahwa imbuhan-imbuhan ini sejatinya terdiri dari dua komponen yang berbeda, yaitu ''-an'' dan ''-n'' yang merupakan imbuhan derivatif, serta ''-a'' dan ''-é'' yang merupakan pemarkah modus.{{sfn|Conners|2008|p=235}}{{sfn|Ogloblin|2005|p=600}}{{sfn|Subroto|Soenardji|Sugiri|1991|p=111}}
Dalam bentuk-bentuk non-indikatif (irealis/subjungtif, imperatif, dan propositif), imbuhan ''-i'' dan ''-aké'' bersinonim dengan imbuhan ''-an'' dan ''-n'' seperti dalam rangkaian imbuhan ''-an-a'', ''-an-é'', ''-n-a'', dan ''-n-é''. Imbuhan-imbuhan ini sering dianggap sebagai bentuk yang padu (''-ana'', ''-ané'', ''-na'', dan ''-né''), walaupun beberapa linguis menganggap bahwa imbuhan-imbuhan ini sejatinya terdiri dari dua komponen yang berbeda, yaitu ''-an'' dan ''-n'' yang merupakan imbuhan derivatif, serta ''-a'' dan ''-é'' yang merupakan pemarkah modus.{{sfnp|Conners|2008|p=235}}{{sfnp|Ogloblin|2005|p=600}}{{sfnp|Subroto|Soenardji|Sugiri|1991|p=111}}


== Sistem penulisan ==
== Sistem penulisan ==
Baris 570: Baris 571:
=== Aksara Jawa ===
=== Aksara Jawa ===
{{utama|Aksara Jawa}}
{{utama|Aksara Jawa}}
Aksara Jawa merupakan [[Rumpun aksara Brahmi|aksara berumpun Brahmi]] yang diturunkan dari [[aksara Pallawa]] lewat [[aksara Kawi]]. Aksara tersebut muncul pada abad ke-16 tepatnya pada era keemasan hingga akhir Majapahit.<ref name=":1">{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/953823997|title=Gaul aksara Jawa|others=Javaholic Genk Kobra Community,, LKiS Pelangi Aksara,|isbn=978-602-0809-08-3|edition=Cetakan I|location=Yogyakarta|oclc=953823997}}</ref><ref>{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/46390839|title=Warisan leluhur : sastra lama dan aksara Batak|last=Kozok, Uli.|date=1999|publisher=Ecole française d'Extrême-Orient|others=École française d'Extrême-Orient., Kepustakaan Populer Gramedia.|isbn=979-9023-33-5|location=Jakarta [Indonesia]|oclc=46390839|access-date=2019-12-25|archive-date=2023-04-12|archive-url=https://web.archive.org/web/20230412225703/https://www.worldcat.org/title/46390839|dead-url=no}}</ref>
Aksara Jawa merupakan [[Rumpun aksara Brahmi|aksara berumpun Brahmi]] yang diturunkan dari [[aksara Pallawa]] lewat [[aksara Kawi]]. Aksara tersebut muncul pada abad ke-16 tepatnya pada era keemasan hingga akhir Majapahit.<ref name=":1">{{Cite book|first=Javaholic Genk Kobra Community|url=https://www.worldcat.org/oclc/953823997|title=Gaul aksara Jawa|location=Yogyakarta|publisher=LKiS Pelangi Aksara|isbn=978-602-0809-08-3|edition=1|others=|oclc=953823997|url-status=live}}</ref><ref>{{Cite book|last=Kozok|first=Uli|date=1999|url=https://www.worldcat.org/oclc/46390839|title=Warisan leluhur : sastra lama dan aksara Batak|location=Jakarta [Indonesia]|publisher=Ecole française d'Extrême-Orient|isbn=979-9023-33-5|others=École française d'Extrême-Orient., Kepustakaan Populer Gramedia.|oclc=46390839|access-date=2019-12-25|archive-url=https://web.archive.org/web/20230412225703/https://www.worldcat.org/title/46390839|archive-date=2023-04-12|url-status=live|dead-url=no}}</ref>


Pengurutan aksara Jawa secara tradisional menggunakan pengurutan Hanacaraka. Pengurutan aksara ini diciptakan menurut legenda [[Aji Saka]] untuk mengenang dua orang pembantunya, Dora dan Sembada, yang berselisih paham tentang pusaka Aji Saka. Sembada ingat bahwa hanya Aji Sakalah yang boleh mengambil pusaka tersebut, sedangkan Dora diminta Aji Saka untuk membawakan pusaka Aji Saka ke Tanah Jawa. Perselisihan ini berujung pada pertarungan sengit; mereka memiliki kesaktian yang setara dan kedua-duanya pun mati.<ref>{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/320349826|title=Kraton Yogyakarta : sejarah, nasionalisme & teladan perjuangan|last=Djoko Dwiyanto, 1953-|date=2009|publisher=Paradigma Indonesia|isbn=978-979-17834-0-8|edition=Cet. 1|location=Yogyakarta|oclc=320349826}}</ref>
Pengurutan aksara Jawa secara tradisional menggunakan pengurutan Hanacaraka. Pengurutan aksara ini diciptakan menurut legenda [[Aji Saka]] untuk mengenang dua orang pembantunya, Dora dan Sembada, yang berselisih paham tentang pusaka Aji Saka. Sembada ingat bahwa hanya Aji Sakalah yang boleh mengambil pusaka tersebut, sedangkan Dora diminta Aji Saka untuk membawakan pusaka Aji Saka ke Tanah Jawa. Perselisihan ini berujung pada pertarungan sengit; mereka memiliki kesaktian yang setara dan kedua-duanya pun mati.<ref>{{Cite book|last=Dwiyanto|first=Djoko|date=2009|url=https://www.worldcat.org/oclc/320349826|title=Kraton Yogyakarta : sejarah, nasionalisme & teladan perjuangan|location=Yogyakarta|publisher=Paradigma Indonesia|isbn=978-979-17834-0-8|edition=1|oclc=320349826|url-status=live}}</ref>


Aksara Jawa saat ini digunakan secara luas di ruang publik, terutama di wilayah Surakarta dan Yogyakarta. Aksara Jawa dipasang mendampingi alfabet Latin pada papan nama jalan, papan nama instansi, maupun di tempat umum.<ref>{{Cite news|url=https://news.okezone.com/read/2008/02/04/1/80815/solo-wajibkan-aksara-jawa-di-papan-nama|title=Solo Wajibkan Aksara Jawa di Papan Nama|last=Sumarno|date=2008-02-04|work=[[Okezone.com]]|language=id-ID|access-date=2019-12-25|archive-date=2019-12-25|archive-url=https://web.archive.org/web/20191225043647/https://news.okezone.com/read/2008/02/04/1/80815/solo-wajibkan-aksara-jawa-di-papan-nama|dead-url=no}}</ref><ref>{{Cite news|url=https://travel.tempo.co/read/874712/papan-nama-jalan-di-yogyakarta-akan-tampil-antik-dan-khas|title=Papan Nama Jalan di Yogyakarta Akan Tampil Antik dan Khas|last=widjanarko|first=Tulus|date=2017-05-12|work=[[Tempo.co]]|language=id|access-date=2019-12-25|editor-last=widjanarko|editor-first=Tulus|archive-date=2019-12-25|archive-url=https://web.archive.org/web/20191225043648/https://travel.tempo.co/read/874712/papan-nama-jalan-di-yogyakarta-akan-tampil-antik-dan-khas|dead-url=no}}</ref>
Aksara Jawa saat ini digunakan secara luas di ruang publik, terutama di wilayah Surakarta dan Yogyakarta. Aksara Jawa dipasang mendampingi alfabet Latin pada papan nama jalan, papan nama instansi, maupun di tempat umum.<ref>{{Cite news|url=https://news.okezone.com/read/2008/02/04/1/80815/solo-wajibkan-aksara-jawa-di-papan-nama|title=Solo Wajibkan Aksara Jawa di Papan Nama|last=Sumarno|date=2008-02-04|work=[[Okezone.com]]|language=id-ID|access-date=2019-12-25|archive-date=2019-12-25|archive-url=https://web.archive.org/web/20191225043647/https://news.okezone.com/read/2008/02/04/1/80815/solo-wajibkan-aksara-jawa-di-papan-nama|dead-url=no}}</ref><ref>{{Cite news|url=https://travel.tempo.co/read/874712/papan-nama-jalan-di-yogyakarta-akan-tampil-antik-dan-khas|title=Papan Nama Jalan di Yogyakarta Akan Tampil Antik dan Khas|last=Widjanarko|first=Tulus|date=2017-05-12|work=[[Tempo.co]]|language=id|access-date=2019-12-25|editor-last=Widjanarko|editor-first=Tulus|archive-date=2019-12-25|archive-url=https://web.archive.org/web/20191225043648/https://travel.tempo.co/read/874712/papan-nama-jalan-di-yogyakarta-akan-tampil-antik-dan-khas|dead-url=no}}</ref>


Aksara yang berkerabat dengan aksara Jawa adalah [[aksara Bali]] yang diturunkan dari versi awal dari aksara Jawa pada abad ke-16.
Aksara yang berkerabat dengan aksara Jawa adalah [[aksara Bali]] yang diturunkan dari versi awal dari aksara Jawa pada abad ke-16.
Baris 581: Baris 582:
{{utama|Abjad Pegon}}
{{utama|Abjad Pegon}}
[[Berkas:Javanese John 3 16.png|jmpl|Sampel teks Pegon untuk Alkitab terjemahan bahasa Jawa ([[Yohanes 3:16|Yoh 3:16]])]]
[[Berkas:Javanese John 3 16.png|jmpl|Sampel teks Pegon untuk Alkitab terjemahan bahasa Jawa ([[Yohanes 3:16|Yoh 3:16]])]]
Muncul bersama masuknya Islam di Jawa serta berkembang selama masa-masa keemasan Kerajaan Demak hingga Pajang, [[abjad Pegon]] yang bersaudara dengan [[abjad Jawi]] (Arab-Melayu) mengadopsi huruf-huruf Arab standar dengan ditambahkan huruf-huruf baru yang sama sekali tidak ada dalam abjad Arab maupun bahasa Arab asli. Kecuali jika orang Arab memahami dan menguasai bahasa Jawa, huruf-huruf pegon tidak bisa dipahami oleh orang Arab. Jika abjad Jawi selalu tanpa [[harakat]] (penanda vokal), abjad Pegon ada yang berharakat dan ada yang tidak. Pegon yang tidak berharakat disebut Gundhil. Abjad Pegon menjadi materi wajib yang diajarkan di banyak pesantren Jawa. Kata ''pegon'' berarti "menyimpang", maksudnya adalah bahwa "bahasa Jawa yang ditulis menggunakan abjad Arab merupakan sesuatu yang tidak lazim."<ref name=":0">{{Cite web|url=https://islamindonesia.id/budaya/budaya-mengenal-aksara-arab-pegon-simbol-perlawanan-dan-pemersatu-ulama-nusantara.htm|title=BUDAYA–Mengenal Aksara Arab Pegon: Simbol Perlawanan dan Pemersatu Ulama Nusantara|access-date=2019-09-05|archive-date=2019-09-05|archive-url=https://web.archive.org/web/20190905152326/https://islamindonesia.id/budaya/budaya-mengenal-aksara-arab-pegon-simbol-perlawanan-dan-pemersatu-ulama-nusantara.htm|dead-url=no}}</ref><ref>{{Cite web|url=http://poskotanews.com/2016/07/01/huruf-pegon-sarana-kreativitas-umat-islam-di-jawa-masa-lalu/|title=Huruf Pegon, Sarana Kreativitas Umat Islam di Jawa Masa Lalu|date=2016-07-01|website=Poskota News|language=en|access-date=2019-09-05|archive-date=2019-09-05|archive-url=https://web.archive.org/web/20190905152327/http://poskotanews.com/2016/07/01/huruf-pegon-sarana-kreativitas-umat-islam-di-jawa-masa-lalu/|dead-url=yes}}</ref><ref>{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/48399092|title=Sastra Jawa : suatu tinjauan umum|date=2001|publisher=Pusat Bahasa|others=Sedyawati, Edi, 1938-|isbn=979-666-652-9|edition=Cet. 1|location=Jakarta|oclc=48399092|access-date=2019-12-25|archive-date=2023-04-12|archive-url=https://web.archive.org/web/20230412225707/https://www.worldcat.org/title/48399092|dead-url=no}}</ref>
Muncul bersama masuknya Islam di Jawa serta berkembang selama masa-masa keemasan Kerajaan Demak hingga Pajang, [[abjad Pegon]] yang bersaudara dengan [[abjad Jawi]] (Arab-Melayu) mengadopsi huruf-huruf Arab standar dengan ditambahkan huruf-huruf baru yang sama sekali tidak ada dalam abjad Arab maupun bahasa Arab asli. Kecuali jika orang Arab memahami dan menguasai bahasa Jawa, huruf-huruf pegon tidak bisa dipahami oleh orang Arab. Jika abjad Jawi selalu tanpa [[harakat]] (penanda vokal), abjad Pegon ada yang berharakat dan ada yang tidak. Pegon yang tidak berharakat disebut Gundhil. Abjad Pegon menjadi materi wajib yang diajarkan di banyak pesantren Jawa. Kata ''pegon'' berarti "menyimpang", maksudnya adalah bahwa "bahasa Jawa yang ditulis menggunakan abjad Arab merupakan sesuatu yang tidak lazim."<ref name=":0">{{Cite web|url=https://islamindonesia.id/budaya/budaya-mengenal-aksara-arab-pegon-simbol-perlawanan-dan-pemersatu-ulama-nusantara.htm|title=BUDAYA–Mengenal Aksara Arab Pegon: Simbol Perlawanan dan Pemersatu Ulama Nusantara|access-date=2019-09-05|archive-date=2019-09-05|archive-url=https://web.archive.org/web/20190905152326/https://islamindonesia.id/budaya/budaya-mengenal-aksara-arab-pegon-simbol-perlawanan-dan-pemersatu-ulama-nusantara.htm|dead-url=no}}</ref><ref>{{Cite web|date=2016-07-01|title=Huruf Pegon, Sarana Kreativitas Umat Islam di Jawa Masa Lalu|url=http://poskotanews.com/2016/07/01/huruf-pegon-sarana-kreativitas-umat-islam-di-jawa-masa-lalu/|website=Poskota News|language=|archive-url=https://web.archive.org/web/20190905152327/http://poskotanews.com/2016/07/01/huruf-pegon-sarana-kreativitas-umat-islam-di-jawa-masa-lalu/|archive-date=2019-09-05|dead-url=yes|access-date=2019-09-05}}</ref><ref>{{Cite book|last=Sedyawati|first=Edi|date=2001|url=https://www.worldcat.org/oclc/48399092|title=Sastra Jawa : suatu tinjauan umum|location=Jakarta|publisher=Pusat Bahasa|isbn=979-666-652-9|edition=1|others=|oclc=48399092|access-date=2019-12-25|archive-url=https://web.archive.org/web/20230412225707/https://www.worldcat.org/title/48399092|archive-date=2023-04-12|url-status=live|dead-url=no}}</ref>


=== Alfabet Latin ===
=== Alfabet Latin ===
Baris 587: Baris 588:


=== Aksara lain ===
=== Aksara lain ===
Pada masa lampau, bahasa Jawa kuno ditulis menggunakan [[aksara Kawi]] dan [[Aksara Nāgarī|aksara Nagari]]. Banyak dijumpai di prasasti-prasasti dari abad ke-8 hingga abad ke-16, aksara ini terus mengalami perubahan baik dari segi bentuk dan tipografinya.<ref>{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/170909278|title=Aksara Bali dalam Usada|last=Nala, Ngurah, 1936-2010.|date=2006|publisher=Pāramita|isbn=979-722-238-1|edition=Cet. 1|location=Surabaya|oclc=170909278}}</ref><ref>{{Cite book|title=Pelestarian dan Modernisasi Aksara Daerah: Perkembangan Metode dan Teknis Menulis Aksara Jawa|last=Rochkyatmo|first=A.|publisher=Direktorat Jenderal Kebudayaan|year=1996|isbn=|location=Jakarta|pages=|url-status=live}}</ref>
Pada masa lampau, bahasa Jawa kuno ditulis menggunakan [[aksara Kawi]] dan [[Aksara Nāgarī|aksara Nagari]]. Banyak dijumpai di prasasti-prasasti dari abad ke-8 hingga abad ke-16, aksara ini terus mengalami perubahan baik dari segi bentuk dan tipografinya.<ref>{{Cite book|last=Nala|first=Ngurah|date=2006|url=https://www.worldcat.org/oclc/170909278|title=Aksara Bali dalam Usada|location=Surabaya|publisher=Pāramita|isbn=979-722-238-1|edition=1|oclc=170909278|url-status=live}}</ref><ref>{{Cite book|last=Rochkyatmo|first=Amir|year=1996|url=https://repositori.kemdikbud.go.id/7638/1/PELESTARIAN%20DAN%20MODERNISASI%20AKSARA%20DAERAH.pdf|title=Pelestarian dan Modernisasi Aksara Daerah: Perkembangan Metode dan Teknis Menulis Aksara Jawa|location=Jakarta|publisher=Direktorat Jenderal Kebudayaan|isbn=|editor-last=Guritno|editor-first=Sri|pages=|url-status=live}}</ref>


== Sastra ==
== Sastra ==
{{utama|Sastra Jawa}}
{{utama|Sastra Jawa}}
Di antara bahasa-bahasa Austronesia, bahasa Jawa merupakan bahasa dengan budaya kesusastraan paling tua. Bahasa Melayu Kuno, walaupun lebih dulu muncul secara kronologis dalam prasasti-prasasti dari abad ke-7, tidak merepresentasikan sebuah budaya kesusastraan yang stabil.{{sfn|Conners|2008|p=19}} Sastra Jawa Kuno mayoritasnya berbentuk ''[[kakawin]]'', sementara sastra Jawa Pertengahan banyak yang menggunakan bentuk ''[[kidung]]''.{{sfn|Conners|2008|p=20}} Ratusan karya sastra berbahasa Jawa Kuno disusun antara abad ke-9 dan ke-15. Banyak di antara karya ini yang didasarkan pada karya sastra yang berasal dari India, seperti [[Ramayana]] dan [[Mahabharata]].{{sfn|Conners|2008|pp=20–21}}
Di antara bahasa-bahasa Austronesia, bahasa Jawa merupakan bahasa dengan budaya kesusastraan paling tua. Bahasa Melayu Kuno, walaupun lebih dulu muncul secara kronologis dalam prasasti-prasasti dari abad ke-7, tidak merepresentasikan sebuah budaya kesusastraan yang stabil.{{sfnp|Conners|2008|p=19}} Sastra Jawa Kuno mayoritasnya berbentuk ''[[kakawin]]'', sementara sastra Jawa Pertengahan banyak yang menggunakan bentuk ''[[kidung]]''.{{sfnp|Conners|2008|p=20}} Ratusan karya sastra berbahasa Jawa Kuno disusun antara abad ke-9 dan ke-15. Banyak di antara karya ini yang didasarkan pada karya sastra yang berasal dari India, seperti [[Ramayana]] dan [[Mahabharata]].{{sfnp|Conners|2008|pp=20–21}}


Sejak setidaknya awal abad ke-20, pertumbuhan pesat dalam populasi serta tingkat literasi telah menjadikan karya sastra tulisan sebagai sesuatu yang tidak lagi eksklusif ditemui pada kalangan aristokrat semata. Karya-karya sastra pun bermunculan dalam genre yang lebih beragam.{{sfn|Ras|1979|pp=1–2}}
Sejak setidaknya awal abad ke-20, pertumbuhan pesat dalam populasi serta tingkat literasi telah menjadikan karya sastra tulisan sebagai sesuatu yang tidak lagi eksklusif ditemui pada kalangan aristokrat semata. Karya-karya sastra pun bermunculan dalam genre yang lebih beragam.{{sfnp|Ras|1979|pp=1–2}}
<!--sastra lisan-->
<!--sastra lisan-->


Baris 599: Baris 600:
{{utama|Daftar dialek bahasa Jawa}}
{{utama|Daftar dialek bahasa Jawa}}
<!--ringkasan klasifikasi dialek Poerwadarminta, Wurm/Hattori, dan Ras; penjabaran variasi fonologi utama (pengucapan /a/ di posisi ultima, realisasi fonem hambat, dst)-->
<!--ringkasan klasifikasi dialek Poerwadarminta, Wurm/Hattori, dan Ras; penjabaran variasi fonologi utama (pengucapan /a/ di posisi ultima, realisasi fonem hambat, dst)-->
Bahasa Jawa dapat dibagi ke dalam dua kelompok dialek utama, yaitu kelompok barat yang masih mempertahankan pengucapan /a/ sebagai {{IPA|[a]}} di posisi terbuka, serta kelompok tengah dan timur yang mengganti {{IPA|[a]}} dengan {{IPA|[ɔ]}}. Konsonan hambat dalam kelompok dialek barat umumnya juga masih diucapkan dengan [[Suara (fonetik)|menggetarkan pita suara]].{{sfn|Ogloblin|2005|p=591}}
Bahasa Jawa dapat dibagi ke dalam dua kelompok dialek utama, yaitu kelompok barat yang masih mempertahankan pengucapan /a/ sebagai {{IPA|[a]}} di posisi terbuka, serta kelompok tengah dan timur yang mengganti {{IPA|[a]}} dengan {{IPA|[ɔ]}}. Konsonan hambat dalam kelompok dialek barat umumnya juga masih diucapkan dengan [[Suara (fonetik)|menggetarkan pita suara]].{{sfnp|Ogloblin|2005|p=591}}


Menurut [[J. J. Ras]], profesor emeritus bahasa dan sastra Jawa di [[Universitas Leiden]], dialek-dialek bahasa Jawa dapat digolongkan berdasarkan persebarannya menjadi tiga, yaitu 1) dialek-dialek barat, 2) dialek-dialek tengah, dan 3) dialek-dialek timur. Penjabarannya adalah sebagai berikut:{{sfn|Ras|1985|pp=304–306}}
Menurut [[J. J. Ras]], profesor emeritus bahasa dan sastra Jawa di [[Universitas Leiden]], dialek-dialek bahasa Jawa dapat digolongkan berdasarkan persebarannya menjadi tiga, yaitu 1) dialek-dialek barat, 2) dialek-dialek tengah, dan 3) dialek-dialek timur. Penjabarannya adalah sebagai berikut:{{sfnp|Ras|1985|pp=304–306}}
# Dialek-dialek yang dipertuturkan di wilayah barat/Banyumasan (Kulon)
# Dialek-dialek yang dipertuturkan di wilayah barat (Kulon)
## Banyumas–Wonosobo–Kebumen Barat ([[Bahasa Jawa Banyumasan|Banyumasan]])
## Banyumas–Wonosobo–Kebumen Barat ([[Bahasa Jawa Banyumasan|Banyumasan]])
## Indramayu–Cirebon ([[Bahasa Jawa Indramayu]])
## [[Bahasa Jawa Indramayu|Indramayu]]–[[Bahasa Cirebon|Cirebon]]
## Tegal–Brebes–Pemalang–Pekalongan ([[Bahasa Jawa Tegal|Tegalan]]–[[Bahasa Jawa Pekalongan|Kalonganan]])
## [[Bahasa Jawa Tegal|Tegal]]–Brebes–[[Bahasa Jawa Pemalang|Pemalang]]–[[Bahasa Jawa Pekalongan|Pekalongan]]
## Banten ([[Bahasa Jawa Serang|Jawa Serang]])
## Banten ([[Bahasa Jawa Serang|Serang]])
# Dialek-dialek yang dipertuturkan di wilayah tengah (Tengah)
# Dialek-dialek yang dipertuturkan di wilayah tengah (Tengah)
## Kebumen–Bagelen–Magelang–Temanggung ([[Bahasa Jawa Kedu|Jawa Kedu]])
## Kebumen–Bagelen–Magelang–Temanggung ([[Bahasa Jawa Kedu|Kedu]])
## Surakarta–Yogyakarta ([[Bahasa Jawa Surakarta|Mataram]])
## Surakarta–Yogyakarta ([[Bahasa Jawa Surakarta|Mataram]])
## Madiun–Kediri–Blitar ([[Bahasa Jawa Mataraman|Mataraman]])
## Madiun–Kediri–Blitar ([[Bahasa Jawa Mataraman|Mataraman]])
## Semarang–Demak–Kudus–Jepara ([[Bahasa Jawa Semarang|Jawa Semarang]])
## Semarang–Demak–Kudus–Jepara ([[Bahasa Jawa Semarang|Semarangan]])
## Blora–Rembang–Pati–Bojonegoro–Tuban ([[Bahasa Jawa Muria|Muria/Aneman]])
## Blora–Rembang–Pati–Bojonegoro–Tuban ([[Bahasa Jawa Muria|Muria/Aneman]])
# Dialek-dialek yang dipertuturkan di wilayah timur (Wetanan)
# Dialek-dialek yang dipertuturkan di wilayah timur (Wetanan)
## Surabaya–Malang–Pasuruan ([[Rumpun dialek Arekan|Arekan]])
## Surabaya–Malang–Pasuruan ([[Rumpun dialek Arekan|Arekan]])
## Banyuwangi ([[Bahasa Osing]])
## Banyuwangi ([[Bahasa Osing|Osing]])


== Tingkat tutur ==
== Tingkat tutur ==
Baris 621: Baris 622:
{{dab|Informasi lebih lanjut mengenai kosakata: [[Kata ngoko]], [[Kata krama]], dan [[Kata krama inggil]]/[[Kata krama andhap|andhap]]}}
{{dab|Informasi lebih lanjut mengenai kosakata: [[Kata ngoko]], [[Kata krama]], dan [[Kata krama inggil]]/[[Kata krama andhap|andhap]]}}
[[Berkas:WIKITONGUES- Disa and Niken speaking Javanese.webm|jmpl|320px|Percakapan bahasa Jawa yang menggunakan tingkat tutur ''krama'']]
[[Berkas:WIKITONGUES- Disa and Niken speaking Javanese.webm|jmpl|320px|Percakapan bahasa Jawa yang menggunakan tingkat tutur ''krama'']]
Bahasa Jawa memiliki beberapa tingkat tutur, atau ragam bahasa yang berhubungan dengan etika pembicara pada lawan bicara atau orang yang dibicarakan. Penggunaannya bergantung pada hal-hal seperti derajat tingkat sosial, umur, jarak kekerabatan dan keakraban.{{sfn|Wedhawati, dkk|2006|p=10}}{{sfn|Poedjosoedarmo|1968|pp=56–57}} Perbedaan antara tingkat tutur dalam bahasa Jawa utamanya adalah pada kosakata serta imbuhan yang digunakan.{{sfn|Poedjosoedarmo|1968|pp=57}} Berdasarkan derajat formalitasnya, kosakata dalam bahasa Jawa dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu 1) ''ngoko'', 2) ''madya'', dan 3) ''krama''.{{sfn|Wedhawati, dkk|2006|p=10}} Bentuk ''ngoko'' digunakan untuk berbicara kepada orang yang akrab dengan pembicara. Bentuk ''krama'', yang jumlahnya ada sekitar 850 kata, digunakan untuk berbicara secara formal kepada orang yang belum akrab atau derajat sosialnya lebih tinggi. Beberapa imbuhan juga memiliki padanan ''krama''. Sementara itu, bentuk ''madya'' jumlahnya amat terbatas, hanya sekitar 35 kosakata khusus, dan digunakan untuk mengekspresikan derajat formalitas yang sedang.{{sfn|Ogloblin|2005|p=591}}{{sfn|Wedhawati, dkk|2006|p=10–11}}{{sfn|Poedjosoedarmo|1968|pp=57–58}}
Bahasa Jawa memiliki beberapa tingkat tutur, atau ragam bahasa yang berhubungan dengan etika pembicara pada lawan bicara atau orang yang dibicarakan. Penggunaannya bergantung pada hal-hal seperti derajat tingkat sosial, umur, jarak kekerabatan dan keakraban.{{sfnp|Wedhawati dkk.|2006|p=10}}{{sfnp|Poedjosoedarmo|1968|pp=56–57}} Perbedaan antara tingkat tutur dalam bahasa Jawa utamanya adalah pada kosakata serta imbuhan yang digunakan.{{sfnp|Poedjosoedarmo|1968|pp=57}} Berdasarkan derajat formalitasnya, kosakata dalam bahasa Jawa dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu 1) ''ngoko'', 2) ''madya'', dan 3) ''krama''.{{sfnp|Wedhawati dkk.|2006|p=10}} Bentuk ''ngoko'' digunakan untuk berbicara kepada orang yang akrab dengan pembicara. Bentuk ''krama'', yang jumlahnya ada sekitar 850 kata, digunakan untuk berbicara secara formal kepada orang yang belum akrab atau derajat sosialnya lebih tinggi. Beberapa imbuhan juga memiliki padanan ''krama''. Sementara itu, bentuk ''madya'' jumlahnya amat terbatas, hanya sekitar 35 kosakata khusus, dan digunakan untuk mengekspresikan derajat formalitas yang sedang.{{sfnp|Ogloblin|2005|p=591}}{{sfnp|Wedhawati dkk.|2006|p=10–11}}{{sfnp|Poedjosoedarmo|1968|pp=57–58}}


Selain tiga ragam kosakata yang didasarkan pada derajat formalitas, ada pula jenis kosakata yang digunakan untuk menandakan penghormatan (''honorific'') atau perendahan diri (''humilific''), yaitu ''krama inggil'' dan ''krama andhap''.{{sfn|Poedjosoedarmo|1968|pp=57–58}}{{sfn|Robson|2014|p=xvii}} Bentuk ''krama inggil'' digunakan untuk merujuk pada seseorang yang dihormati oleh pembicara, kepemilikannya, serta perbuatannya. Bentuk ''krama andhap'' digunakan untuk merujuk pada hal-hal yang ditujukan pembicara atau orang lain kepada orang yang dihormati tersebut. Beberapa pronomina persona juga memilki padanan ''krama andhap''.{{sfn|Poedjosoedarmo|1968|pp=57–58}} Karena bentuk ''krama inggil'' dan ''krama andhap'' bukan penanda derajat formalitas, kosakata jenis ini dapat digunakan dalam semua tingkat tutur.{{sfn|Poedjosoedarmo|1968|pp=57–58}}{{sfn|Robson|2014|p=xvii}} Jumlah seluruh kosakata dalam kategori ini adalah sekitar 280 buah.{{sfn|Ogloblin|2005|p=591}}
Selain tiga ragam kosakata yang didasarkan pada derajat formalitas, ada pula jenis kosakata yang digunakan untuk menandakan penghormatan (''honorific'') atau perendahan diri (''humilific''), yaitu ''krama inggil'' dan ''krama andhap''.{{sfnp|Poedjosoedarmo|1968|pp=57–58}}{{sfnp|Robson|2014|p=xvii}} Bentuk ''krama inggil'' digunakan untuk merujuk pada seseorang yang dihormati oleh pembicara, kepemilikannya, serta perbuatannya. Bentuk ''krama andhap'' digunakan untuk merujuk pada hal-hal yang ditujukan pembicara atau orang lain kepada orang yang dihormati tersebut. Beberapa pronomina persona juga memilki padanan ''krama andhap''.{{sfnp|Poedjosoedarmo|1968|pp=57–58}} Karena bentuk ''krama inggil'' dan ''krama andhap'' bukan penanda derajat formalitas, kosakata jenis ini dapat digunakan dalam semua tingkat tutur.{{sfnp|Poedjosoedarmo|1968|pp=57–58}}{{sfnp|Robson|2014|p=xvii}} Jumlah seluruh kosakata dalam kategori ini adalah sekitar 280 buah.{{sfnp|Ogloblin|2005|p=591}}


Padu-padan kosakata dari kategori-kategori ini membentuk tiga tingkat tutur kalimat, sesuai nama leksikon utama yang digunakan, yaitu ''ngoko'', ''madya'', dan ''krama'', yang masing-masingnya juga memiliki beberapa subtingkat. Pilihan penggunaan tingkat tutur ini bergantung pada keakraban atau kedekatan hubungan antara pembicara dengan lawan bicaranya. Perbedaan antara subtingkat dalam setiap tingkat tutur biasanya tergantung pada penggunaan leksikon ''krama inggil'' dan ''krama andhap'' yang menandakan penghormatan pembicara kepada lawan bicara yang memiliki status sosial yang lebih tinggi.{{sfn|Poedjosoedarmo|1968|pp=58–59}}
Padu-padan kosakata dari kategori-kategori ini membentuk tiga tingkat tutur kalimat, sesuai nama leksikon utama yang digunakan, yaitu ''ngoko'', ''madya'', dan ''krama'', yang masing-masingnya juga memiliki beberapa subtingkat. Pilihan penggunaan tingkat tutur ini bergantung pada keakraban atau kedekatan hubungan antara pembicara dengan lawan bicaranya. Perbedaan antara subtingkat dalam setiap tingkat tutur biasanya tergantung pada penggunaan leksikon ''krama inggil'' dan ''krama andhap'' yang menandakan penghormatan pembicara kepada lawan bicara yang memiliki status sosial yang lebih tinggi.{{sfnp|Poedjosoedarmo|1968|pp=58–59}}

=== Perubahan Pronomina Persona ===
{| class="wikitable"
|+Perubahan Pronomina Persona<ref name=":3">{{Cite book|last=Yulianti|first=Fitri Eva|date=2023|url=https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/220432|title=Analisis Kontrastif Verba dalam Ragam Keigo Bahasa Jepang dan Ragam Krama Bahasa Jawa|location=Yogyakarta|publisher=Universitas Gadjah Mada|url-status=live}}</ref>
!Bahasa Jawa Ngoko
!Bahasa Indonesia
!Bahasa Jawa Krama
!Bahasa Indonesia
|-
|''aku''
|aku
|''kula''
|Saya
|-
|''kowé''
|kamu
|''panjenengan''
|Anda
|}

=== Perubahan Affiks ===
{| class="wikitable"
|+Perubahan Affiks<ref name=":3" />
!Bahasa Jawa Ngoko
!Bahasa Indonesia
!Bahasa Jawa Krama
!Bahasa Indonesia
|-
|''di-''
|
|''dipun-''
|
|-
|''kok-''
|
|''panjenengan-''
|
|-
|''tak-''
''dak-''
|
|''kula-''
|
|-
|''-é''
|
|''-ipun''
''-nipun''
|
|-
| -''ku''
|
| -''kula''
|
|-
| -''mu''
|
| -''panjenengan''
|
|}


== Keterangan ==
== Keterangan ==
Baris 651: Baris 712:
* {{cite book |last1=Subroto |first1=Daliman Edi |last2=Soenardji |last3=Sugiri |year=1991 |title=Tata bahasa deskriptif bahasa Jawa |url=https://books.google.com/books?id=V6ZkAAAAMAAJ |location=Jakarta |publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan |ref=harv}}
* {{cite book |last1=Subroto |first1=Daliman Edi |last2=Soenardji |last3=Sugiri |year=1991 |title=Tata bahasa deskriptif bahasa Jawa |url=https://books.google.com/books?id=V6ZkAAAAMAAJ |location=Jakarta |publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan |ref=harv}}
* {{cite book |last=Uhlenbeck |first=Eugenius Marius |authorlink=Eugenius Marius Uhlenbeck |year=1982 |title=Kajian morfologi bahasa Jawa |url=https://books.google.com/books?id=lW9JSQAACAAJ |series=Indonesian Linguistics Development Project |volume=4 |location=Jakarta |publisher=Penerbit Djambatan |ref=harv}}
* {{cite book |last=Uhlenbeck |first=Eugenius Marius |authorlink=Eugenius Marius Uhlenbeck |year=1982 |title=Kajian morfologi bahasa Jawa |url=https://books.google.com/books?id=lW9JSQAACAAJ |series=Indonesian Linguistics Development Project |volume=4 |location=Jakarta |publisher=Penerbit Djambatan |ref=harv}}
* {{cite book |author=Kawruh Basa Jawa, dkk |year=2023 |title=Tata bahasa Jawa mutakhir |url=https://kawruhbasa.com/ejaan-bahasa-jawa/?id=GgUSxxXw0JIC |location=Yogyakarta |publisher=[[Kanisius]] |isbn=9789792110371 |ref=harv}}
* {{cite book |editor-last1=Wedhawati |editor-last2=Nurlina |editor-first2=Wiwin Erni Siti |editor-last3=Setiyanto |editor-first3=Edi |year=2006 |title=Tata bahasa Jawa mutakhir |location=Yogyakarta |publisher=[[Kanisius]] |isbn=9789792110371 |ref={{harvid|Wedhawati dkk.|2006}}}}


== Bacaan lanjutan ==
== Bacaan lanjutan ==
Baris 702: Baris 763:
[[Kategori:Bahasa aglutinatif]]
[[Kategori:Bahasa aglutinatif]]
[[Kategori:Bahasa di Malaysia]]
[[Kategori:Bahasa di Malaysia]]
[[Kategori:Bahasa berpola subjek–predikat–objek]]
[[Kategori:Bahasa subjek-verba-objek]]

Revisi terkini sejak 18 Oktober 2024 01.58

Simbol artikel bagus
Artikel ini telah dinilai sebagai artikel bagus pada 1 Januari 2020 (Pembicaraan artikel)
Bahasa Jawa
BPS: 0088 3
Basa Jawa
ꦧꦱꦗꦮ • باسا جاوا
Pengucapan[basa d͡ʒawa] (dialek barat)
[bɔsɔ d͡ʒɔwɔ] (dialek tengah & timur)
[basə d͡ʒawə] (dialek Serang)
Dituturkan di dan negara-negara lainnya
Wilayah Jawa Tengah
Daerah Istimewa Yogyakarta
Jawa Timur
Lampung
dan wilayah transmigrasi lainnya di Indonesia; daerah dengan diaspora Jawa yang signifikan di Belanda, Suriname, Malaysia, dan Kaledonia Baru
Etnis
Penutur
58,4 juta penutur jati (2023)[1]
Perincian data penutur

Jumlah penutur beserta (jika ada) metode pengambilan, jenis, tanggal, dan tempat.[2]

Lihat sumber templat}}
Bentuk awal
Bentuk baku
Bahasa Jawa Surakarta
Dialek
Lihat bagian dialek
Alfabet Latin
Aksara Jawa
Abjad Pegon
Status resmi
Bahasa resmi di
Daerah Istimewa Yogyakarta[3]
Diatur olehBalai Bahasa Provinsi Jawa Tengah
Balai Bahasa DI Yogyakarta
Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur
Kode bahasa
ISO 639-1jv
ISO 639-2jav
ISO 639-3javkode inklusifMencakup:
jav – bahasa Jawa
jvn – bahasa Jawa Suriname
jas – bahasa Jawa Kaledonia Baru
osi – bahasa Osing
tes – bahasa Tengger
kaw – bahasa Jawa Kuno
Glottologjava1253[4]
IETFjv, jw
BPS (2010)0088 3
Status pemertahanan
Terancam

CRSingkatan dari Critically endangered (Terancam Kritis)
SESingkatan dari Severely endangered (Terancam berat)
DESingkatan dari Devinitely endangered (Terancam)
VUSingkatan dari Vulnerable (Rentan)
Aman

NESingkatan dari Not Endangered (Tidak terancam)
ICHEL Red Book: Not Endangered

Bahasa Jawa diklasifikasikan sebagai bahasa aman ataupun tidak terancam (NE) pada Atlas Bahasa-Bahasa di Dunia yang Terancam Kepunahan

C10
Kategori 10
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa telah punah (Extinct)
C9
Kategori 9
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa sudah ditinggalkan dan hanya segelintir yang menuturkannya (Dormant)
C8b
Kategori 8b
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa hampir punah (Nearly extinct)
C8a
Kategori 8a
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa sangat sedikit dituturkan dan terancam berat untuk punah (Moribund)
C7
Kategori 7
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa mulai mengalami penurunan ataupun penutur mulai berpindah menggunakan bahasa lain (Shifting)
C6b
Kategori 6b
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa mulai terancam (Threatened)
C6a
Kategori 6a
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa masih cukup banyak dituturkan (Vigorous)
C5
Kategori 5
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa mengalami pertumbuhan populasi penutur (Developing)
C4
Kategori 4
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa digunakan dalam institusi pendidikan (Educational)
C3
Kategori 3
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa digunakan cukup luas (Wider Communication)
C2
Kategori 2
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan di berbagai wilayah (Provincial)
C1
Kategori 1
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa nasional maupun bahasa resmi dari suatu negara (National)
C0
Kategori 0
Kategori ini menunjukkan bahwa bahasa merupakan bahasa pengantar internasional ataupun bahasa yang digunakan pada kancah antar bangsa (International)
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
EGIDS SIL EthnologueC4 Educational
Bahasa Jawa dikategorikan sebagai C4 Educational menurut SIL Ethnologue, artinya bahasa ini digunakan di institusi pendidikan, baik dalam bahasa ajar-mengajar maupun sebagai kurikulum ajaran
Referensi: [5][6][7]

Lokasi penuturan
Wilayah tempat bahasa Jawa sebagai bahasa mayoritas
Wilayah tempat bahasa Jawa sebagai bahasa minoritas
PetaPerkiraan persebaran penuturan bahasa ini.
Koordinat jamak Sunting ini di Wikidata
Catatan
Artikel ini mengandung simbol fonetik IPA. Tanpa bantuan render yang baik, Anda akan melihat tanda tanya, kotak, atau simbol lain, bukan karakter Unicode. Untuk pengenalan mengenai simbol IPA, lihat Bantuan:IPA.
Artikel ini mengandung karakter aksara Jawa. Tanpa bantuan render yang baik, Anda akan melihat tanda tanya, kotak, atau simbol lain, bukan karakter Unicode.
 Portal Bahasa
L • B • PW   
Sunting kotak info  Lihat butir Wikidata  Info templat

Bahasa Jawa adalah bahasa Austronesia yang utamanya dituturkan oleh penduduk bersuku Jawa di wilayah bagian tengah dan timur pulau Jawa. Bahasa Jawa juga dituturkan oleh diaspora Jawa di wilayah lain di Indonesia, seperti di Sumatra dan Kalimantan; serta di luar Indonesia seperti di Suriname, Belanda, dan Malaysia. Jumlah total penutur bahasa Jawa diperkirakan mencapai sekitar 80 juta pada tahun 2023.[1] Sebagai bahasa Austronesia dari subkelompok Melayu-Polinesia, bahasa Jawa juga berkerabat dengan bahasa Melayu, Sunda, Bali dan banyak bahasa lainnya di Indonesia, meskipun para ahli masih memperdebatkan mengenai posisi pastinya dalam rumpun Melayu-Polinesia. Bahasa Jawa berstatus bahasa resmi di Daerah Istimewa Yogyakarta di samping bahasa Indonesia.

Sejarah tulisan bahasa Jawa bermula sejak abad ke-9 dalam bentuk bahasa Jawa Kuno, yang kemudian berevolusi hingga menjadi bahasa Jawa Baru sekitar abad ke-15. Bahasa Jawa awalnya ditulis dengan sistem aksara dari India yang kemudian diadaptasi menjadi aksara Jawa, walaupun bahasa Jawa masa kini lebih sering ditulis dengan alfabet Latin. Bahasa Jawa memiliki tradisi sastra kedua tertua di antara bahasa-bahasa Austronesia setelah bahasa Melayu.

Nomina dalam bahasa Jawa umumnya diletakkan sebelum atribut yang memodifikasinya. Verba dapat dibedakan menjadi bentuk transitif dan intransitif, bentuk aktif dan pasif, atau dibedakan berdasarkan modusnya (indikatif, irealis/subjungtif, imperatif, dan propositif). Bahasa Jawa mengenal pembedaan antara beberapa tingkat tutur yang penggunaannya ditentukan oleh derajat kedekatan hubungan atau perbedaan status sosial antara pembicara dan lawan bicara atau orang yang dibicarakan.

Klasifikasi

Posisi bahasa Jawa (ditebalkan) dalam rumpun bahasa Austronesia menurut beberapa skema klasifikasi ahli bahasa dari masa ke masa.

Bahasa Jawa merupakan bagian dari subkelompok Melayu-Polinesia dalam rumpun bahasa Austronesia.[8][9] Namun, tingkat kekerabatan bahasa Jawa dengan bahasa-bahasa Melayu-Polinesia yang lain sulit ditentukan. Menggunakan metode leksikostatistik, pada tahun 1965 ahli bahasa Isidore Dyen menggolongkan bahasa Jawa ke dalam kelompok yang ia sebut "Javo-Sumatra Hesion", yang juga mencakup bahasa Sunda dan bahasa-bahasa "Melayik".[a][8][9] Kelompok ini juga disebut "Melayu-Jawanik" oleh ahli bahasa Berndt Nothofer yang pertama kali berusaha merekonstuksi leluhur dari bahasa-bahasa dalam kelompok hipotetis ini dengan data yang saat itu hanya terbatas pada empat bahasa saja (bahasa Jawa, Sunda, Madura, dan Melayu).[10]

Pengelompokan Melayu-Jawanik telah dikritik dan ditolak oleh berbagai ahli bahasa.[11][12] Ahli linguistik sejarah Austronesia K. Alexander Adelaar tidak memasukkan bahasa Jawa dalam subkelompok Melayu-Sumbawa (yang mencakup bahasa-bahasa Melayik, Sunda, dan Madura) yang diusulkannya pada tahun 2005.[12][13] Ahli linguistik sejarah Austronesia yang lain, Robert Blust, juga tidak memasukkan bahasa Jawa dalam subkelompok Borneo Utara Raya yang ia usulkan sebagai alternatif dari hipotesis Melayu-Sumbawa pada tahun 2010. Meski begitu, Blust juga mengemukakan kemungkinan bahwa subkelompok Borneo Utara Raya berkerabat dekat dengan bahasa-bahasa Indonesia Barat lainnya, termasuk bahasa Jawa.[14] Usulan Blust ini telah dikembangkan secara lebih terperinci oleh ahli bahasa Alexander Smith yang memasukkan bahasa Jawa ke dalam subkelompok Indonesia Barat (yang juga mencakup bahasa-bahasa Borneo Utara Raya) berdasarkan bukti leksikal dan fonologis.[15]

Sejarah

Secara garis besar, perkembangan bahasa Jawa dapat dibagi ke dalam dua fase bahasa yang berbeda, yaitu 1) bahasa Jawa Kuno dan 2) bahasa Jawa Baru.[13][16]

Bahasa Jawa Kuno

Bentuk terawal bahasa Jawa Kuno yang terlestarikan dalam tulisan, yaitu Prasasti Sukabumi, berasal dari tahun 804 Masehi.[17] Sejak abad ke-9 hingga abad ke-15, ragam bahasa ini umum digunakan di pulau Jawa. Bahasa Jawa Kuno lazimnya dituliskan dalam bentuk puisi yang berbait. Ragam ini terkadang disebut juga dengan istilah kawi 'bahasa kesusastraan', walaupun istilah ini juga merujuk pada unsur-unsur arkais dalam ragam tulisan bahasa Jawa Baru.[13] Sistem tulisan yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa Kuno merupakan adaptasi dari aksara Pallawa yang berasal dari India.[17] Sebanyak hampir 50% dari keseluruhan kosakata dalam tulisan-tulisan berbahasa Jawa Kuno berakar dari bahasa Sanskerta, walaupun bahasa Jawa Kuno juga memiliki kata serapan dari bahasa-bahasa lain di Nusantara.[13][17]

Ragam bahasa Jawa Kuno yang digunakan pada beberapa naskah dari abad ke-14 dan seterusnya terkadang disebut juga "bahasa Jawa Pertengahan". Walaupun ragam bahasa Jawa Kuno dan Jawa Pertengahan tidak lagi digunakan secara luas di Jawa setelah abad ke-15, kedua ragam tersebut masih lazim digunakan di Bali untuk keperluan ritual keagamaan.[13][18]

Bahasa Jawa Baru

Bahasa Jawa Baru tumbuh menjadi ragam literer utama bahasa Jawa sejak abad ke-16. Peralihan bahasa ini terjadi secara bersamaan dengan datangnya pengaruh Islam.[16] Pada awalnya, ragam baku bahasa Jawa Baru didasarkan pada ragam bahasa wilayah pantai utara Jawa yang masyarakatnya pada saat itu sudah beralih menjadi Islam. Karya tulis dalam ragam bahasa ini banyak yang bernuansa keislaman, dan sebagiannya merupakan terjemahan dari bahasa Melayu.[19] Bahasa Jawa Baru juga mengadopsi huruf Arab dan menyesuaikannya menjadi huruf Pegon.[16][19]

Kebangkitan Mataram menyebabkan ragam tulisan baku bahasa Jawa beralih dari wilayah pesisir ke pedalaman. Ragam tulisan inilah yang kemudian dilestarikan oleh penulis-penulis Surakarta dan Yogyakarta, dan menjadi dasar bagi ragam baku bahasa Jawa masa kini.[19][20] Perkembangan bahasa lainnya yang diasosiasikan dengan kebangkitan Mataram pada abad ke-17 adalah pembedaan antara tingkat tutur ngoko dan krama.[21] Pembedaan tingkat tutur ini tidak dikenal dalam bahasa Jawa Kuno.[19][21]

Buku-buku cetak dalam bahasa Jawa mulai muncul sejak tahun 1830-an, awalnya dalam aksara Jawa, walaupun kemudian alfabet Latin juga mulai digunakan. Sejak pertengahan abad ke-19, bahasa Jawa mulai digunakan dalam novel, cerita pendek, dan puisi bebas. Kini, bahasa Jawa digunakan dalam berbagai media, mulai dari buku hingga acara televisi. Ragam bahasa Jawa Baru yang digunakan sejak abad ke-20 hingga sekarang terkadang disebut pula "bahasa Jawa Modern".[19]

Demografi dan persebaran

Jumlah penduduk setiap provinsi di Indonesia yang menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu, berdasarkan sensus 2010.

Di antara bahasa-bahasa Austronesia, bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa dengan komunitas penutur jati yang besar.[13] Jumlah total penutur bahasa Jawa diperkirakan mencapai sekitar 80 juta pada tahun 2023.[1] Sayangnya, 27% orang Jawa tidak lagi menuturkan bahasa ini di lingkup keluarga. Hal ini mendorong bahasa Jawa ke jurang kemunduran bahasa.[1]

Sebagian besar penutur bahasa Jawa mendiami wilayah tengah dan timur Pulau Jawa.[13] Jumlah penutur jati bahasa Jawa yang berasal dari provinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur mencakup 83% dari total jumlah penutur jati bahasa Jawa di Indonesia.[22] Selain di pulau Jawa, bahasa Jawa juga dituturkan sebagai bahasa ibu di daerah-daerah transmigrasi seperti di Lampung, sebagian wilayah Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, dan di tempat lainnya di Indonesia. Di luar Indonesia, penutur bahasa Jawa terpusat di beberapa negara, seperti di Suriname, Hong Kong, Belanda, Kaledonia Baru, dan Malaysia (terutama di pesisir barat Johor).[13][23]

Status hukum

Bahasa Jawa ditetapkan sebagai bahasa resmi Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2021.[3] Sebelumnya, Jawa Tengah menetapkan peraturan serupa—Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2012—tetapi tidak menyiratkan status resmi.[24][25]

Fonologi

Bahasa Jawa memiliki 23–25 fonem konsonan dan 6–8 fonem vokal.[26][27][28] Dialek-dialek bahasa Jawa memiliki kekhasan masing-masing dalam hal fonologi.[29]

Vokal

Terdapat perbedaan pendapat mengenai jumlah fonem vokal dalam bahasa Jawa. Menurut ahli bahasa Jawa E. M. Uhlenbeck, bahasa Jawa memiliki enam fonem vokal yang masing-masingnya memiliki dua variasi pengucapan (alofon), kecuali fonem pepet /ə/.[30] Pendapat ini disetujui oleh beberapa ahli bahasa Jawa lainnya. Namun, analisis alternatif dari beberapa ahli bahasa menyimpulkan bahwa bahasa Jawa memiliki dua fonem tambahan, yaitu /ɛ/ dan /ɔ/ yang dianggap sebagai fonem mandiri, terpisah dari /e/ dan /o/.[27][31]

1. Vokal[32][31]
Depan Madya Belakang
Tertutup i u
Semitertutup e o
Semiterbuka (ɛ) ə (ɔ)
Terbuka a

Mengikuti analisis enam vokal, fonem-fonem di atas memiliki alofon sebagai berikut:

  • Fonem /i/ memiliki dua alofon, yaitu [i] yang umumnya muncul dalam suku kata terbuka, dan [ɪ] dalam suku kata tertutup.[33]
mari [mari] 'sembuh'
wit [wɪt] 'bibit'
  • Fonem /u/ memiliki dua alofon, yaitu [u] yang umumnya muncul dalam suku kata terbuka, dan [ʊ] dalam suku kata tertutup.[34]
kuru [kuru] 'kurus'
mung [mʊŋ] 'hanya'
  • Fonem /e/ memiliki dua alofon, yaitu [e] dan [ɛ] yang dapat muncul baik dalam suku kata terbuka maupun tertutup.[35] Dalam suku kata terbuka, /e/ direalisasikan sebagai [ɛ] jika suku kata tersebut diikuti oleh 1) suku kata terbuka dengan vokal [i] atau [u], 2) suku kata dengan vokal identik, atau 3) suku kata yang memiliki vokal [ə].[9]
saté [sate] 'satai'
mèri [mɛri] 'iri'
kalèn [kalɛn] 'selokan'
  • Fonem /o/ memiliki dua alofon, yaitu [o] yang umumnya muncul dalam suku kata terbuka, dan [ɔ] yang dapat muncul baik dalam suku kata terbuka maupun tertutup.[36] Dalam suku kata terbuka, /o/ direalisasikan sebagai [ɔ] jika suku kata tersebut diikuti oleh 1) suku kata terbuka dengan vokal [i] atau [u], 2) suku kata dengan vokal identik, atau 3) suku kata yang memiliki vokal [ə].[9]
loro [loro] 'dua'
kori [kɔri] 'pintu gerbang'
sorot [sorɔt] 'cahaya'
  • Fonem /a/ memiliki dua alofon, yaitu alofon [a] yang umumnya muncul dalam suku kata penultima (kedua terakhir) dan antepenultima (ketiga dari akhir),[b] baik yang terbuka maupun yang tertutup, serta alofon [ɔ] yang dapat muncul dalam suku kata terbuka.[37] Dalam suku kata terbuka, /a/ hanya dapat direalisasikan sebagai [ɔ] jika suku kata tersebut berada di akhir kata, atau jika suku kata tersebut merupakan suku kata penultima dari kata yang berakhir dengan /a/.[9]
bali [bʰali] 'pulang'
kaloka [kalokɔ] 'termasyhur'
kaya [kɔyɔ] 'seperti'
  • Fonem /ə/ selalu diucapkan sebagai [ə].[38]
metu [mətu] 'keluar'
pelem [pələm] 'mangga'

Konsonan

Bahasa Jawa memiliki 21 fonem konsonan jika hanya menghitung kosakata "asli". Sekitar 2–4 fonem konsonan tambahan dapat ditemui dalam kata-kata pinjaman. Dalam tabel di bawah ini, fonem dalam tanda kurung menandakan fonem pinjaman.[39][40]

2. Konsonan[39][40][9]
Labial Dental/alveolar[c] Retrofleks Palatal Velar Glotal
Sengau m n ɲ ŋ
Hambat letup/afrikat p b t d ʈ ɖ[d]   k ɡ ʔ
Frikatif[e] (f) s (z) (ʃ) (x) h
Likuida l r
Semivokal w j

Kecuali dalam kluster sengau homorganik[f], fonem /b/, /d/, /ɖ/, /dʒ/, dan /ɡ/ dalam posisi awal suku kata cenderung diucapkan dengan aliran udara yang lebih besar daripada biasanya dan hampir tanpa menggetarkan pita suara, sehingga mendekati bunyi [pʰ], [tʰ], [ʈʰ], [tʃʰ], dan [kʰ].[31] Ahli ilmu fonetik Peter Ladefoged dan Ian Maddieson mengistilahkan seri fonem ini sebagai konsonan hambat "bersuara kendur" (slack voiced), kontras dengan seri fonem /p/, /t/, /ʈ/, /tʃ/, dan /k/ yang "bersuara kencang" (stiff voiced). Walaupun keduanya sama-sama diucapkan tanpa menggetarkan pita suara dalam beberapa kondisi, seri konsonan kendur memiliki bukaan pita suara yang lebih lebar daripada seri konsonan kencang.[42] Selain itu, bunyi vokal yang mengikuti seri konsonan kendur juga diucapkan dengan aliran udara yang lebih besar (breathy voice).[31][42] Bunyi hambat pada akhir suku kata umumnya diucapkan tanpa letupan (/p/ diucapkan [p̚], /t/ diucapkan [t̚], /k/ diucapkan [k̚], dan seterusnya).[31][43]

Fonotaktik

Struktur suku kata paling umum dalam bahasa Jawa adalah V, KV, VK, dan KVK. Suku kata dapat pula diawali dengan gabungan konsonan, yang umumnya terbagi menjadi tiga jenis: 1) gabungan konsonan homorganik yang terdiri dari bunyi sengau ditambah bunyi letup bersuara (NKV, NKVK), 2) gabungan konsonan yang terdiri dari bunyi letup ditambah bunyi likuida atau semivokal (KKV, KKVK), dan 3) gabungan konsonan sengau homorganik yang diikuti dengan bunyi likuida dan semivokal (NKKV, NKKVK).[31][44]

V : ka-é 'itu'
KV : gu-la 'gula'
VK : pa-it 'pahit'
KVK : ku-lon 'barat'
KKV (termasuk NKV) : bla-bag 'papan', kre-teg 'jembatan'
KKVK (termasuk NKVK) : prap-ta 'datang'
NKKVK : ngglam-byar 'tidak fokus'

Deret konsonan antarvokal umumnya terdiri dari konsonan sengau + letup homorganik (seperti [mp], [mb], [ɲtʃ], dan seterusnya), atau [ŋs]. Bunyi /l/, /r/, dan /j/ dapat pula ditambahkan di akhir deret konsonan semacam ini. Contoh deret konsonan semacam ini adalah wonten 'ada', bangsa 'bangsa', dan santri 'santri, Muslim yang taat'. Dalam bahasa Jawa, suku kata sebelum deret konsonan semacam ini secara konvensional dianggap sebagai suku kata terbuka, sebab bunyi /a/ dalam suku kata seperti ini akan mengalami pembulatan menjadi [ɔ]. Kata tampa 'terima', misalnya, diucapkan sebagai [tɔmpɔ]. Bandingkan dengan kata tanpa 'tanpa' yang diucapkan sebagai [tanpɔ].[45]

Sebagian besar (85%) morfem dalam bahasa Jawa terdiri dari 2 suku kata; morfem sisanya memiliki satu, tiga, atau empat suku kata. Penutur bahasa Jawa memiliki kecenderungan yang kuat untuk mengubah morfem dengan satu suku kata menjadi morfem dengan dua suku kata. Morfem dengan empat suku kata kadang pula dianalisis sebagai gabungan dua morfem yang masing-masingnya memiliki dua suku kata.[31]

Tata bahasa

Pronomina persona

Bahasa Jawa tidak memiliki pronomina persona khusus untuk menyatakan jamak kecuali kata kita dan kami. Penjamakan kata ganti dapat diabaikan atau dinyatakan dengan menggunakan frasa semisal aku kabèh 'kami', awaké dhéwé 'kita', dhèwèké kabèh 'mereka' dan semacamnya.[46]

3. Pronomina persona[46][47][48]
Glos Bentuk bebas Awalan Akhiran
Ngoko Madya Krama Krama inggil/
andhap
1SG
'aku, saya'
aku kula dalem tak-, dak- -ku
1PL.EXCL 'kami' kami
1PL.INCL 'kita' kita
2SG, 2PL
'kamu, Anda, kalian'
kowé samang sampéyan panjenengan ko-, kok- -mu
3SG, 3PL
'dia, ia, ia, mereka'
dhèwèké[g] piyambakipun panjenengané,
panjenenganipun[h]
di-, dipun- -(n)é, -(n)ipun

Pronomina persona dalam bahasa Jawa, terutama untuk persona kedua dan ketiga, lebih sering digantikan dengan nomina atau gelar tertentu.[48][49] Selain pronomina yang dijabarkan di dalam tabel di atas, bahasa Jawa masih memiliki beragam pronomina lain yang penggunaannya bervariasi tergantung dialek atau tingkat tutur.[50]

Demonstrativa

Demonstrativa atau kata tunjuk dalam bahasa Jawa adalah sebagai berikut:[51][52]

4. Demonstrativa[51][52]
dekat agak jauh jauh
netral iki, kiyi, kiyé 'ini' iku, kuwi, kuwé 'itu' (ika), kaé 'itu'
lokal kéné 'sini' kono 'situ' kana 'sana'
arah mréné, réné 'ke sini' mrono, rono 'ke situ' mrana, rana 'ke sana'
modal mengkéné, ngéné 'begini' mengkono, ngono 'begitu' mengkana, ngana 'begitu'
kuantitatif seméné, méné 'sekian ini' semono, mono 'sekian itu' semana, mana 'sekian itu'
temporal sepréné 'hingga saat ini' seprana 'hingga saat itu'

Kata iki dan iku dapat digunakan baik dalam tulisan maupun percakapan. Bentuk kiyi, kiyé, kuwi, dan kuwé utamanya digunakan dalam percakapan sehari-hari. Bentuk ika hanya dipakai dalam tembang. Bentuk madya dari iki/kiyi/kiyé, iku/kuwi/kuwé dan kaé adalah niki, niku, dan nika. Ketiga jenis demonstrativa ini memiliki bentuk krama yang sama, yaitu punika atau menika, walaupun dalam beberapa kasus, kata mekaten atau ngaten juga digunakan sebagai padanan krama dari kaé.[53][54]

Nomina

Dalam bahasa Jawa, atribut pewatas (modifier) nomina inti diletakkan setelah nomina.[55] Nomina inti tidak diberi imbuhan jika diikuti dengan atribut adjektiva atau verba non-pasif (penanda tujuan atau kegunaan) yang membatasi makna nomina tersebut. Kepemilikan dapat dinyatakan secara implisit tanpa imbuhan, atau secara eksplisit dengan akhiran -(n)é atau -(n)ipun pada nomina inti.[56][57]

wit kinah 'pohon kina'
sumur jero 'sumur dalam'
peranti nenun 'peralatan menenun'
idham-idhaman kita 'cita-cita kita'
omahé Marsam 'rumahnya Marsam'

Imbuhan -(n)ing, yang utamanya digunakan dalam ragam tulisan, memiliki beberapa makna berbeda yang menyatakan hubungan antara inti dan atribut.[56]

ratuning buta 'rajanya para raksasa'
rerengganing griya 'hiasan untuk rumah'
dèwining kaéndahan 'dewi kecantikan'

Numeralia

Numeralia atau angka umumnya diletakkan setelah nomina.[58][59]

wong siji 'satu orang'
gelas pitu 'tujuh gelas'
candhi sèwu 'seribu candi'

Numeralia diletakkan sebelum nomina jika nomina tersebut merupakan penunjuk satuan ukuran atau satuan bilangan. Numeralia dalam posisi ini akan mendapatkan pengikat nasal -ng jika berakhir dengan bunyi vokal, atau -ang jika berakhir dengan konsonan non-sengau. Satu-satunya pengecualian adalah numeralia siji 'satu' yang diganti dengan imbuhan sa-/se-/s- dalam konteks ini.[58][59]

telu-ng puluh 'tiga puluh'
pat-ang pethi 'empat peti'
sa-genthong 'satu tempayan'
se-gelas 'segelas'
s-atus rupiyah 'seratus rupiah'

Verba

GEN:genitif LOC:penanda lokasi TR1:transitif I, aplikatif TR2:transitif II, kausatif

Paradigma verba bahasa Jawa baku dapat diringkaskan sebagai berikut:[60][61]

5. Paradigma verba[60][61]
modus diatesis awalan akhiran
netral aplikatif I aplikatif II
indikatif aktif N- -i -aké
pasif I tak-/kok-/di-
pasif II ke- -an
imperatif aktif N- -a -ana -na
pasif I Ø- -en
propositif aktif (aku) tak N- -i -aké
pasif I tak- -ané -né
subjungtif aktif N- -a -ana -na
pasif I tak-/kok-/di- -en -na

Tidak semua imbuhan verba dalam paradigma yang dijabarkan di atas lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari. Selain itu, dialek bahasa Jawa lainnya umumnya memiliki paradigma verba yang lebih sederhana, seperti misalnya dialek Tengger yang tidak menggunakan imbuhan berbeda bagi verba dengan modus subjungtif dan imperatif (walaupun dialek baku juga tidak membedakan keduanya dalam bentuk aktif, sama-sama ditandai dengan imbuhan N- dan -a).[62]

Verba transitif dalam bahasa Jawa dapat dibentuk dengan merangkaikan awalan sengau N- pada kata dasar untuk bentuk aktif atau awalan pronominal seperti di-, tak-, dan kok- untuk bentuk pasif.[63]

(1)

Wis

sudah

nemu

AV:temu

akal

akal

aku

aku

Wis nemu akal aku

sudah AV:temu akal aku

'Aku sudah menemukan solusinya.' (Ogloblin 2005, hlm. 601)

(2)

Kandha=ku

perkataan=1.GEN

di-gugu

PASS:3-percaya

wong

orang

akèh

banyak

Kandha=ku di-gugu wong akèh

perkataan=1.GEN PASS:3-percaya orang banyak

'Perkataanku dipercaya oleh orang-orang.' (Ogloblin 2005, hlm. 601)

Penambahan akhiran -i dan -aké umumnya menandakan valensi yang lebih tinggi.[i][63] Akhiran -i biasanya bersifat aplikatif, seperti dalam kata tanduri 'tanami (dengan sesuatu)' dari kata dasar tandur 'tanam'. Akhiran -aké (bentuk krama: -aken) dapat membentuk verba kausatif dari verba transitif, contohnya kata lebokaké 'masukkan (ke dalam sesuatu)' dari kata mlebu. Jika dipasangkan pada verba intransitif, verba yang terbentuk dapat bersifat benefaktif, contohnya seperti kata jupukaké 'ambilkan (untuk seseorang)' dari bentuk dasar jupuk 'ambil'.[64]

(3)

Kuwi

itu

mangan-i

AV:makan-TR1

godhong

daun

tèh

teh

Kuwi mangan-i godhong tèh

itu AV:makan-TR1 daun teh

'[Serangga] itu memakani daun-daun teh.' (Ogloblin 2005, hlm. 611)

(4)

Para

PL

utusan

utusan

mau

ANAPH

uga

juga

ng-islam-aké

AV-Islam-TR2

wong-wong

orang-orang

ing

LOC

Pejajaran

Pejajaran

Para utusan mau uga ng-islam-aké wong-wong ing Pejajaran

PL utusan ANAPH juga AV-Islam-TR2 orang-orang LOC Pejajaran

'Para utusan ini juga mengislamkan orang-orang di Pejajaran.' (Ogloblin 2005, hlm. 611)

Baik verba transitif maupun intransitif memiliki beberapa bentuk tergantung modus gramatikanya. Selain bentuk dasar atau bentuk indikatif, ada pula bentuk irealis/subjungtif, imperatif, dan propositif.[63] Modus irealis dalam bahasa Jawa diekspresikan dengan imbuhan -a, yang dapat memiliki beberapa makna, yaitu:[65]

  • Menyatakan kemungkinan (potential).
(5)

Daya-daya

secepatnya

tekan-a

sampai-IRR

ing

LOC

omah

rumah

Daya-daya tekan-a ing omah

secepatnya sampai-IRR LOC rumah

'Secepatnya [ia] sampailah ke rumah.' (Ogloblin 2005, hlm. 605)

  • Menyatakan pengandaian (conditional).
(6)

Aja-a

NEG.IMP-IRR

ana

EXIST

lawa,

kelelawar,

lemud

nyamuk

kuwi

itu

rak

PTCL

ndadi

menjadi

Aja-a ana lawa, lemud kuwi rak ndadi

NEG.IMP-IRR EXIST kelelawar, nyamuk itu PTCL menjadi

'Seandainya tidak ada kelelawar, nyamuk-nyamuk itu akan semakin menjadi-jadi.' (Ogloblin 2005, hlm. 605)

  • Menyatakan harapan (optative).
(7)

Lelakon

Kejadian

iku

itu

di-gawé-a

PASS:3-buat-IRR

kaca

cermin

Lelakon iku di-gawé-a kaca

Kejadian itu PASS:3-buat-IRR cermin

'Jadikanlah kejadian itu pelajaran.' (Ogloblin 2005, hlm. 605)

  • Menyatakan permintaan (hortative).
(8)

Ngombé-a

minum-IRR

banyu

air

godhogan

rebusan

Ngombé-a banyu godhogan

minum-IRR air rebusan

'Minumlah air rebusan.' (Ogloblin 2005, hlm. 605)

Verba dengan modus imperatif tidak dapat diawali dengan pelengkap yang berupa pelaku, dan ditandai dengan imbuhan -en atau -a. Verba intransitif tidak memiliki bentuk imperatif khusus.[66]

(9)

Mripat=mu

mata=2.GEN

tutup-an-a

tutup-TR1-IMP

Mripat=mu tutup-an-a

mata=2.GEN tutup-TR1-IMP

'Pejamkan matamu.' (Ogloblin 2005, hlm. 603)

Bentuk propositif merupakan bentuk imperatif yang digunakan untuk memerintahkan diri sendiri atau mengekspresikan keinginan untuk melakukan sesuatu.[66] Morfem tak atau dak digunakan sebelum verba untuk memarkahi modus propositif aktif. Tidak seperti awalan pronominal tak- atau dak- yang tidak dapat didahului oleh subjek persona pertama, konstruksi propositif aktif dengan tak/dak dapat didahului oleh subjek (mis. aku tak nggorèng iwak 'aku bermaksud menggoreng ikan'). Pemarkah propositif aktif ini juga bisa dipisahkan dari verba yang mengikutinya, seperti yang bisa dilihat dari contoh (10–11).[65][67]

(10)

Aku

1

tak

1.PRPV

nusul

AV:susul

Bapak

Bapak

dhéwéan

sendirian

Aku tak nusul Bapak dhéwéan

1 1.PRPV AV:susul Bapak sendirian

'Biarkan aku menyusul Bapak sendirian.' (Ogloblin 2005, hlm. 606)

(11)

Aku

1

tak

1.PRPV

dhéwéan

sendirian

waé

PTCL

nusul

AV:susul

Bapak

Bapak

Aku tak dhéwéan waé nusul Bapak

1 1.PRPV sendirian PTCL AV:susul Bapak

'Biarkan aku sendiri saja menyusul Bapak.' (Ogloblin 2005, hlm. 606)

Imbuhan atau -ipun digunakan untuk menandakan bentuk propositif pasif.[63] Di sini morfem tak- berfungsi serupa dengan awalan pronomina tak- yang digunakan dalam bentuk pasif pada modus indikatif dan irealis.[68]

(12)

Tak=Ø-plathok-an-é

1=PASS:1/2-belah-TR1-PRPV

kayu=mu

kayu=2.GEN

Tak=Ø-plathok-an-é kayu=mu

1=PASS:1/2-belah-TR1-PRPV kayu=2.GEN

'Biarkan kubelah kayumu.' (Ogloblin 2005, hlm. 606)

Dalam bentuk-bentuk non-indikatif (irealis/subjungtif, imperatif, dan propositif), imbuhan -i dan -aké bersinonim dengan imbuhan -an dan -n seperti dalam rangkaian imbuhan -an-a, -an-é, -n-a, dan -n-é. Imbuhan-imbuhan ini sering dianggap sebagai bentuk yang padu (-ana, -ané, -na, dan -né), walaupun beberapa linguis menganggap bahwa imbuhan-imbuhan ini sejatinya terdiri dari dua komponen yang berbeda, yaitu -an dan -n yang merupakan imbuhan derivatif, serta -a dan yang merupakan pemarkah modus.[60][63][69]

Sistem penulisan

Saat ini bahasa Jawa modern ditulis menggunakan tiga jenis aksara, yaitu aksara Jawa, abjad Pegon, dan alfabet Latin.

Aksara Jawa

Aksara Jawa merupakan aksara berumpun Brahmi yang diturunkan dari aksara Pallawa lewat aksara Kawi. Aksara tersebut muncul pada abad ke-16 tepatnya pada era keemasan hingga akhir Majapahit.[70][71]

Pengurutan aksara Jawa secara tradisional menggunakan pengurutan Hanacaraka. Pengurutan aksara ini diciptakan menurut legenda Aji Saka untuk mengenang dua orang pembantunya, Dora dan Sembada, yang berselisih paham tentang pusaka Aji Saka. Sembada ingat bahwa hanya Aji Sakalah yang boleh mengambil pusaka tersebut, sedangkan Dora diminta Aji Saka untuk membawakan pusaka Aji Saka ke Tanah Jawa. Perselisihan ini berujung pada pertarungan sengit; mereka memiliki kesaktian yang setara dan kedua-duanya pun mati.[72]

Aksara Jawa saat ini digunakan secara luas di ruang publik, terutama di wilayah Surakarta dan Yogyakarta. Aksara Jawa dipasang mendampingi alfabet Latin pada papan nama jalan, papan nama instansi, maupun di tempat umum.[73][74]

Aksara yang berkerabat dengan aksara Jawa adalah aksara Bali yang diturunkan dari versi awal dari aksara Jawa pada abad ke-16.

Abjad Pegon

Sampel teks Pegon untuk Alkitab terjemahan bahasa Jawa (Yoh 3:16)

Muncul bersama masuknya Islam di Jawa serta berkembang selama masa-masa keemasan Kerajaan Demak hingga Pajang, abjad Pegon yang bersaudara dengan abjad Jawi (Arab-Melayu) mengadopsi huruf-huruf Arab standar dengan ditambahkan huruf-huruf baru yang sama sekali tidak ada dalam abjad Arab maupun bahasa Arab asli. Kecuali jika orang Arab memahami dan menguasai bahasa Jawa, huruf-huruf pegon tidak bisa dipahami oleh orang Arab. Jika abjad Jawi selalu tanpa harakat (penanda vokal), abjad Pegon ada yang berharakat dan ada yang tidak. Pegon yang tidak berharakat disebut Gundhil. Abjad Pegon menjadi materi wajib yang diajarkan di banyak pesantren Jawa. Kata pegon berarti "menyimpang", maksudnya adalah bahwa "bahasa Jawa yang ditulis menggunakan abjad Arab merupakan sesuatu yang tidak lazim."[75][76][77]

Alfabet Latin

Latinisasi bahasa-bahasa Nusantara telah dilakukan sejak zaman kolonial Belanda. Pada abad ke-17, teknologi percetakan sudah mulai diperkenalkan di Hindia Belanda dan hal ini menyulitkan sejumlah pihak Belanda untuk menuliskan bahasa Jawa menggunakan alfabet Latin. Alfabet Latin sendiri mulai diintensifkan untuk mentranskripsi karya-karya yang ditulis menggunakan aksara Jawa dan Pegon pada abad ke-19. Dengan kompleksnya penulisan aksara Jawa, transkripsi itu membutuhkan sebuah standar. Standar yang pertama kali dibuat untuk transkripsi Jawa-Latin adalah Paugeran Sriwedari, diciptakan di Solo pada tahun 1926.[70] Karena paugeran tersebut sangat kompleks dan sulit menyesuaikan perkembangan zaman—terutama banyaknya kosakata serapan bahasa Inggris dan Indonesia ke dalam bahasa Jawa—pada tahun 1993 diterbitkanlah buku berjudul Pedoman Penulisan Aksara Jawa, di Yogyakarta.[78]

Aksara lain

Pada masa lampau, bahasa Jawa kuno ditulis menggunakan aksara Kawi dan aksara Nagari. Banyak dijumpai di prasasti-prasasti dari abad ke-8 hingga abad ke-16, aksara ini terus mengalami perubahan baik dari segi bentuk dan tipografinya.[79][80]

Sastra

Di antara bahasa-bahasa Austronesia, bahasa Jawa merupakan bahasa dengan budaya kesusastraan paling tua. Bahasa Melayu Kuno, walaupun lebih dulu muncul secara kronologis dalam prasasti-prasasti dari abad ke-7, tidak merepresentasikan sebuah budaya kesusastraan yang stabil.[81] Sastra Jawa Kuno mayoritasnya berbentuk kakawin, sementara sastra Jawa Pertengahan banyak yang menggunakan bentuk kidung.[82] Ratusan karya sastra berbahasa Jawa Kuno disusun antara abad ke-9 dan ke-15. Banyak di antara karya ini yang didasarkan pada karya sastra yang berasal dari India, seperti Ramayana dan Mahabharata.[83]

Sejak setidaknya awal abad ke-20, pertumbuhan pesat dalam populasi serta tingkat literasi telah menjadikan karya sastra tulisan sebagai sesuatu yang tidak lagi eksklusif ditemui pada kalangan aristokrat semata. Karya-karya sastra pun bermunculan dalam genre yang lebih beragam.[84]

Dialek

Bahasa Jawa dapat dibagi ke dalam dua kelompok dialek utama, yaitu kelompok barat yang masih mempertahankan pengucapan /a/ sebagai [a] di posisi terbuka, serta kelompok tengah dan timur yang mengganti [a] dengan [ɔ]. Konsonan hambat dalam kelompok dialek barat umumnya juga masih diucapkan dengan menggetarkan pita suara.[19]

Menurut J. J. Ras, profesor emeritus bahasa dan sastra Jawa di Universitas Leiden, dialek-dialek bahasa Jawa dapat digolongkan berdasarkan persebarannya menjadi tiga, yaitu 1) dialek-dialek barat, 2) dialek-dialek tengah, dan 3) dialek-dialek timur. Penjabarannya adalah sebagai berikut:[85]

  1. Dialek-dialek yang dipertuturkan di wilayah barat (Kulon)
    1. Banyumas–Wonosobo–Kebumen Barat (Banyumasan)
    2. IndramayuCirebon
    3. Tegal–Brebes–PemalangPekalongan
    4. Banten (Serang)
  2. Dialek-dialek yang dipertuturkan di wilayah tengah (Tengah)
    1. Kebumen–Bagelen–Magelang–Temanggung (Kedu)
    2. Surakarta–Yogyakarta (Mataram)
    3. Madiun–Kediri–Blitar (Mataraman)
    4. Semarang–Demak–Kudus–Jepara (Semarangan)
    5. Blora–Rembang–Pati–Bojonegoro–Tuban (Muria/Aneman)
  3. Dialek-dialek yang dipertuturkan di wilayah timur (Wetanan)
    1. Surabaya–Malang–Pasuruan (Arekan)
    2. Banyuwangi (Osing)

Tingkat tutur

Percakapan bahasa Jawa yang menggunakan tingkat tutur krama

Bahasa Jawa memiliki beberapa tingkat tutur, atau ragam bahasa yang berhubungan dengan etika pembicara pada lawan bicara atau orang yang dibicarakan. Penggunaannya bergantung pada hal-hal seperti derajat tingkat sosial, umur, jarak kekerabatan dan keakraban.[86][87] Perbedaan antara tingkat tutur dalam bahasa Jawa utamanya adalah pada kosakata serta imbuhan yang digunakan.[20] Berdasarkan derajat formalitasnya, kosakata dalam bahasa Jawa dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu 1) ngoko, 2) madya, dan 3) krama.[86] Bentuk ngoko digunakan untuk berbicara kepada orang yang akrab dengan pembicara. Bentuk krama, yang jumlahnya ada sekitar 850 kata, digunakan untuk berbicara secara formal kepada orang yang belum akrab atau derajat sosialnya lebih tinggi. Beberapa imbuhan juga memiliki padanan krama. Sementara itu, bentuk madya jumlahnya amat terbatas, hanya sekitar 35 kosakata khusus, dan digunakan untuk mengekspresikan derajat formalitas yang sedang.[19][88][89]

Selain tiga ragam kosakata yang didasarkan pada derajat formalitas, ada pula jenis kosakata yang digunakan untuk menandakan penghormatan (honorific) atau perendahan diri (humilific), yaitu krama inggil dan krama andhap.[89][90] Bentuk krama inggil digunakan untuk merujuk pada seseorang yang dihormati oleh pembicara, kepemilikannya, serta perbuatannya. Bentuk krama andhap digunakan untuk merujuk pada hal-hal yang ditujukan pembicara atau orang lain kepada orang yang dihormati tersebut. Beberapa pronomina persona juga memilki padanan krama andhap.[89] Karena bentuk krama inggil dan krama andhap bukan penanda derajat formalitas, kosakata jenis ini dapat digunakan dalam semua tingkat tutur.[89][90] Jumlah seluruh kosakata dalam kategori ini adalah sekitar 280 buah.[19]

Padu-padan kosakata dari kategori-kategori ini membentuk tiga tingkat tutur kalimat, sesuai nama leksikon utama yang digunakan, yaitu ngoko, madya, dan krama, yang masing-masingnya juga memiliki beberapa subtingkat. Pilihan penggunaan tingkat tutur ini bergantung pada keakraban atau kedekatan hubungan antara pembicara dengan lawan bicaranya. Perbedaan antara subtingkat dalam setiap tingkat tutur biasanya tergantung pada penggunaan leksikon krama inggil dan krama andhap yang menandakan penghormatan pembicara kepada lawan bicara yang memiliki status sosial yang lebih tinggi.[91]

Perubahan Pronomina Persona

Perubahan Pronomina Persona[92]
Bahasa Jawa Ngoko Bahasa Indonesia Bahasa Jawa Krama Bahasa Indonesia
aku aku kula Saya
kowé kamu panjenengan Anda

Perubahan Affiks

Perubahan Affiks[92]
Bahasa Jawa Ngoko Bahasa Indonesia Bahasa Jawa Krama Bahasa Indonesia
di- dipun-
kok- panjenengan-
tak-

dak-

kula-
-ipun

-nipun

-ku -kula
-mu -panjenengan

Keterangan

  1. ^ Definisi "Melayik" Dyen berbeda dengan definisi yang diterima para ahli secara luas sejak 1990-an; Melayik versi Dyen memiliki cakupan yang lebih luas, termasuk di antaranya bahasa Madura dan bahasa Aceh.
  2. ^ Ultima merujuk pada suku kata terakhir sebuah kata. Penultima merupakan suku kata kedua dari belakang, dan antepenultima merupakan suku kata ketiga dari belakang.
  3. ^ Fonem /n/, /l/, /r/, dan /s/ (serta /z/) ditandai sebagai fonem dental dalam analisis Ogloblin (2005), alveolar dalam analisis Wedhawati dkk. (2006), dan retrofleks dalam analisis Nothofer (2009). Fonem /t/ dan /d/ secara konsisten selalu ditandai sebagai konsonan dental; Wedhawati dkk. (2006) secara spesifik menyebut keduanya sebagai konsonan "apiko-dental", yaitu konsonan yang diucapkan dengan menempelkan ujung lidah ke gigi atas.[41]
  4. ^ Kedua konsonan ini ditandai sebagai "apiko-palatal" oleh Wedhawati dkk. (2006).
  5. ^ Wedhawati dkk. (2006) tidak memasukkan /ʃ/ dan /x/ sebagai fonem pinjaman dalam bahasa Jawa.
  6. ^ Kluster homorganik adalah gabungan konsonan yang diucapkan pada satu tempat artikulasi yang sama, seperti /mb/ dan /nd/.
  7. ^ Varian dhèwèkné, dhèkné, dan dhèknéné juga umum ditemui.[47]
  8. ^ Panjenengané dipakai dalam konteks ngoko, sementara panjenenganipun dipakai dalam konteks krama.[48]
  9. ^ Valensi adalah konsep tata bahasa mengenai hubungan antara verba dengan jumlah argumen yang dirujuk olehnya. Semakin tinggi valensi sebuah verba, semakin banyak argumen yang bisa dirujuk olehnya. Verba intransitif, misalnya, memiliki valensi terkecil, karena hanya dapat merujuk pada satu argumen saja.

Rujukan

Catatan kaki

  1. ^ a b c d Wulandari, Trisna. "Badan Bahasa: Ada Kemunduran Penutur Bahasa Jawa, Bagaimana agar Tak Punah?". detikedu. Diakses tanggal 2023-11-25. 
  2. ^ Ethnologue (dalam bahasa Inggris) (edisi ke-25, 19), Dallas: SIL International, ISSN 1946-9675, OCLC 43349556, Wikidata Q14790, diakses tanggal 23 April 2022 
  3. ^ a b "Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pemeliharaan dan Pengembangan Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa". Diakses tanggal 2021-03-19. 
  4. ^ Hammarström, Harald; Forkel, Robert; Haspelmath, Martin, ed. (2023). "Javanesic". Glottolog 4.8. Jena, Jerman: Max Planck Institute for the Science of Human History. 
  5. ^ "UNESCO Interactive Atlas of the World's Languages in Danger" (dalam bahasa bahasa Inggris, Prancis, Spanyol, Rusia, and Tionghoa). UNESCO. 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 April 2022. Diakses tanggal 26 Juni 2011. 
  6. ^ "UNESCO Atlas of the World's Languages in Danger" (PDF) (dalam bahasa Inggris). UNESCO. 2010. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 31 Mei 2022. Diakses tanggal 31 Mei 2022. 
  7. ^ "Bahasa Jawa". www.ethnologue.com (dalam bahasa Inggris). SIL Ethnologue. 
  8. ^ a b Dyen (1965), hlm. 26.
  9. ^ a b c d e f Nothofer (2009), hlm. 560.
  10. ^ Nothofer (1975), hlm. 1.
  11. ^ Blust (1981).
  12. ^ a b Adelaar (2005), hlm. 357, 385.
  13. ^ a b c d e f g h Ogloblin (2005), hlm. 590.
  14. ^ Blust (2010), hlm. 97.
  15. ^ Smith (2017), hlm. 443, 453–454.
  16. ^ a b c Wedhawati dkk. (2006), hlm. 1.
  17. ^ a b c Wedhawati dkk. (2006), hlm. 2.
  18. ^ Wedhawati dkk. (2006), hlm. 8.
  19. ^ a b c d e f g h Ogloblin (2005), hlm. 591.
  20. ^ a b Poedjosoedarmo (1968), hlm. 57.
  21. ^ a b Wedhawati dkk. (2006), hlm. 11.
  22. ^ Naim & Syaputra (2011), hlm. 53.
  23. ^ Wedhawati dkk. (), hlm. 1.
  24. ^ "Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. 9 Tahun 2012". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-05-02. Diakses tanggal 2021-03-20 – via data.go.id. 
  25. ^ Putra, Yudha Manggala P. (2015-09-03). "Pertahankan Bahasa Lokal Sebagai Identitas". Republika Online. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-05-02. Diakses tanggal 2021-03-20. 
  26. ^ Wedhawati dkk. (2006), hlm. 14.
  27. ^ a b Subroto, Soenardji & Sugiri (1991), hlm. 13–15.
  28. ^ Ogloblin (2005), hlm. 592–593.
  29. ^ Wedhawati dkk. (2006), hlm. 14–15, 17–18, 21–22.
  30. ^ Uhlenbeck (1982), hlm. 27.
  31. ^ a b c d e f g Ogloblin (2005), hlm. 593.
  32. ^ Wedhawati dkk. (2006), hlm. 66.
  33. ^ Wedhawati dkk. (2006), hlm. 67.
  34. ^ Wedhawati dkk. (2006), hlm. 68–69.
  35. ^ Wedhawati dkk. (2006), hlm. 69–70.
  36. ^ Wedhawati dkk. (2006), hlm. 70–71.
  37. ^ Wedhawati dkk. (2006), hlm. 71–72.
  38. ^ Wedhawati dkk. (2006), hlm. 70.
  39. ^ a b Wedhawati dkk. (2006), hlm. 73–74.
  40. ^ a b Ogloblin (2005), hlm. 592.
  41. ^ Wedhawati dkk. (2006), hlm. 80.
  42. ^ a b Ladefoged & Maddieson (1996), hlm. 63–64.
  43. ^ Wedhawati dkk. (2006), hlm. 75, 81, 91–92.
  44. ^ Wedhawati dkk. (2006), hlm. 97.
  45. ^ Ogloblin (2005), hlm. 593–594.
  46. ^ a b Ogloblin (2005), hlm. 598.
  47. ^ a b Uhlenbeck (1982), hlm. 242.
  48. ^ a b c Robson (2014), hlm. 1.
  49. ^ Uhlenbeck (1982), hlm. 239.
  50. ^ Wedhawati dkk. (2006), hlm. 268–269.
  51. ^ a b Uhlenbeck (1982), hlm. 236, 248, 264, 268, 276, 279, 283.
  52. ^ a b Wedhawati dkk. (2006), hlm. 270–275.
  53. ^ Uhlenbeck (1982), hlm. 248–249.
  54. ^ Wedhawati dkk. (2006), hlm. 270.
  55. ^ Wedhawati dkk. (2006), hlm. 243.
  56. ^ a b Ogloblin (2005), hlm. 608.
  57. ^ Wedhawati dkk. (2006), hlm. 252.
  58. ^ a b Wedhawati dkk. (2006), hlm. 305.
  59. ^ a b Ogloblin (2005), hlm. 608–609.
  60. ^ a b c Conners (2008), hlm. 235.
  61. ^ a b Uhlenbeck (1982), hlm. 133.
  62. ^ Conners (2008), hlm. 200, 237–238.
  63. ^ a b c d e Ogloblin (2005), hlm. 600.
  64. ^ Ogloblin (2005), hlm. 610–611.
  65. ^ a b Ogloblin (2005), hlm. 605.
  66. ^ a b Ogloblin (2005), hlm. 600, 603.
  67. ^ Uhlenbeck (1982), hlm. 135.
  68. ^ Ogloblin (2005), hlm. 606.
  69. ^ Subroto, Soenardji & Sugiri (1991), hlm. 111.
  70. ^ a b Gaul aksara Jawa (edisi ke-1). Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-602-0809-08-3. OCLC 953823997. 
  71. ^ Kozok, Uli (1999). Warisan leluhur : sastra lama dan aksara Batak. École française d'Extrême-Orient., Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta [Indonesia]: Ecole française d'Extrême-Orient. ISBN 979-9023-33-5. OCLC 46390839. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-12. Diakses tanggal 2019-12-25. 
  72. ^ Dwiyanto, Djoko (2009). Kraton Yogyakarta : sejarah, nasionalisme & teladan perjuangan (edisi ke-1). Yogyakarta: Paradigma Indonesia. ISBN 978-979-17834-0-8. OCLC 320349826. 
  73. ^ Sumarno (2008-02-04). "Solo Wajibkan Aksara Jawa di Papan Nama". Okezone.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-12-25. Diakses tanggal 2019-12-25. 
  74. ^ Widjanarko, Tulus (2017-05-12). Widjanarko, Tulus, ed. "Papan Nama Jalan di Yogyakarta Akan Tampil Antik dan Khas". Tempo.co. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-12-25. Diakses tanggal 2019-12-25. 
  75. ^ "BUDAYA–Mengenal Aksara Arab Pegon: Simbol Perlawanan dan Pemersatu Ulama Nusantara". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-09-05. Diakses tanggal 2019-09-05. 
  76. ^ "Huruf Pegon, Sarana Kreativitas Umat Islam di Jawa Masa Lalu". Poskota News. 2016-07-01. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-09-05. Diakses tanggal 2019-09-05. 
  77. ^ Sedyawati, Edi (2001). Sastra Jawa : suatu tinjauan umum (edisi ke-1). Jakarta: Pusat Bahasa. ISBN 979-666-652-9. OCLC 48399092. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-12. Diakses tanggal 2019-12-25. 
  78. ^ Dipodjojo, Asdi S. (1996). Memperkirakan titimangsa suatu naskah. Yogyakarta: Lukman Ofset Yogyakarta. ISBN 979-8515-06-4. OCLC 38048239. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-12. Diakses tanggal 2019-12-25. 
  79. ^ Nala, Ngurah (2006). Aksara Bali dalam Usada (edisi ke-1). Surabaya: Pāramita. ISBN 979-722-238-1. OCLC 170909278. 
  80. ^ Rochkyatmo, Amir (1996). Guritno, Sri, ed. Pelestarian dan Modernisasi Aksara Daerah: Perkembangan Metode dan Teknis Menulis Aksara Jawa (PDF). Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan. 
  81. ^ Conners (2008), hlm. 19.
  82. ^ Conners (2008), hlm. 20.
  83. ^ Conners (2008), hlm. 20–21.
  84. ^ Ras (1979), hlm. 1–2.
  85. ^ Ras (1985), hlm. 304–306.
  86. ^ a b Wedhawati dkk. (2006), hlm. 10.
  87. ^ Poedjosoedarmo (1968), hlm. 56–57.
  88. ^ Wedhawati dkk. (2006), hlm. 10–11.
  89. ^ a b c d Poedjosoedarmo (1968), hlm. 57–58.
  90. ^ a b Robson (2014), hlm. xvii.
  91. ^ Poedjosoedarmo (1968), hlm. 58–59.
  92. ^ a b Yulianti, Fitri Eva (2023). Analisis Kontrastif Verba dalam Ragam Keigo Bahasa Jepang dan Ragam Krama Bahasa Jawa. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. 

Daftar pustaka

Bacaan lanjutan

Pranala luar