Islam di Sumatera Barat: Perbedaan antara revisi
Mike herlin (bicara | kontrib) k →Arsitektur: arsitektur islam |
Rahmatdenas (bicara | kontrib) rv, rujukan dan pembahasan sungai yg disebut tidak sesuai konteks Tag: Pembatalan |
||
Baris 4: | Baris 4: | ||
== Sejarah == |
== Sejarah == |
||
=== Masuknya Islam === |
=== Masuknya Islam === |
||
Agama Islam pertama kali memasuki Sumatra Barat pada [[abad ke-7]], dimana pada tahun [[674]] telah didapati masyarakat [[Arab]] di pesisir timur [[pulau Sumatra]]. Selain berdagang, secara perlahan mereka membawa masuk agama Islam ke dataran tinggi Minangkabau |
Agama Islam pertama kali memasuki Sumatra Barat pada [[abad ke-7]], dimana pada tahun [[674]] telah didapati masyarakat [[Arab]] di pesisir timur [[pulau Sumatra]]. Selain berdagang, secara perlahan mereka membawa masuk agama Islam ke dataran tinggi Minangkabau atau [[Sumatra Barat]] sekarang melalui aliran [[sungai]] yang bermuara di timur pulau Sumatra, seperti [[Batang Hari]]. |
||
=== Perkembangan === |
=== Perkembangan === |
||
Baris 106: | Baris 106: | ||
== Pendidikan == |
== Pendidikan == |
||
{{sect-stub}} |
|||
Artikel Utama: "[[Islam]]" |
|||
=== Tokoh Islam === |
=== Tokoh Islam === |
||
{{sect-stub}} |
|||
Artikel Utama: [[Daftar tokoh Islam Indonesia]] |
|||
== Arsitektur == |
== Arsitektur == |
||
{{sect-stub}} |
|||
Artikel Utama: "[[Arsitektur Islam]]" |
|||
== Referensi == |
== Referensi == |
Revisi per 28 Agustus 2021 04.10
Islam di Sumatra Barat adalah agama yang dipeluk oleh sekitar 98% penduduk Sumatra Barat.[1]
Sejarah
Masuknya Islam
Agama Islam pertama kali memasuki Sumatra Barat pada abad ke-7, dimana pada tahun 674 telah didapati masyarakat Arab di pesisir timur pulau Sumatra. Selain berdagang, secara perlahan mereka membawa masuk agama Islam ke dataran tinggi Minangkabau atau Sumatra Barat sekarang melalui aliran sungai yang bermuara di timur pulau Sumatra, seperti Batang Hari.
Perkembangan
Perkembangan agama Islam di Sumatra Barat menjadi sangat pesat setelah kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar, yang berhasil meluaskan wilayahnya hampir ke seluruh pantai barat Sumatra. Sehingga pada abad ke-13, Islam mulai memasuki Tiku, Pariaman, Air Bangis, dan daerah pesisir Sumatra Barat lainnya. Islam kemudian juga masuk ke daerah pedalaman atau dataran tinggi Minangkabau yang disebut "darek". Di kawasan darek pada saat itu berdiri kerajaan Pagaruyung, dimana kerajaan tersebut mulai mendapat pengaruh Islam sekitar abad ke-14. Sebelum Islam diterima secara luas, masyarakat yang ada di sekitar pusat kerajaan dari beberapa bukti arkeologis menunjukan pernah memeluk agama Buddha dan Hindu terutama sebelum memasuki abad ke-7.
Perang Padri
Sejak abad ke-16, agama Islam telah dianut oleh seluruh masyarakat Minangkabau baik yang menetap di Sumatra Barat maupun di luar Sumatra Barat. Jika ada masyarakatnya keluar dari agama Islam atau murtad, secara langsung yang bersangkutan juga dianggap keluar dari masyarakat Minangkabau. Namun hingga akhir abad ke-17, sebagian dari mereka terutama yang ada di lingkungan kerajaan, belum sepenuhnya menjalankan syariat Islam dengan sempurna dan bahkan masih melakukan perbuatan yang dilarang dalam Islam. Mengetahui hal tersebut, ulama-ulama Minangkabau yang saat itu disebut Kaum Padri dalam suatu perundingan mengajak masyarakat di sekitar kerajaan Pagaruyung terutama Raja Pagaruyung untuk kembali ke ajaran Islam. Namun perundingan tersebut pada tahun 1803 berujung kepada konflik yang dikenal sebagai Perang Padri.
Perang Padri melibatkan sesama masyarakat Minang, yaitu antara Kaum Padri dan Kaum Adat. Setelah 20 tahun konflik belangsung, pada tahun 1833 terjadi penyesalan di Kaum Adat[2] karena telah mengundang Belanda 12 tahun sebelumnya,[3] yang selain mengakibatkan kerugian harta dan mengorbankan jiwa raga, juga meruntuhkan kekuasaan Pagaruyung. Saat itu, Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol mulai merangkul Kaum Adat, dan terjadilah suatu kesepakatan di antara kedua pihak untuk bersatu melawan Belanda. Tidak hanya itu, Kaum Adat dan Kaum Padri juga mewujudkan konsesus bersama, yaitu "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah" (Adat berlandaskan ajaran Islam, ajaran Islam berlandaskan Al-Qur'an).[4]
Demografi
Berikut merupakan sebaran umat Islam per kota/kabupaten di Provinsi Sumatra Barat.
Kota/Kabupaten | Muslim[5] | % |
---|---|---|
Kepulauan Mentawai | 14.897 | 19.56% |
Pesisir Selatan | 428.250 | 99.77% |
Solok | 347.526 | 99.70% |
Sijunjung | 200.553 | 99.37% |
Tanah Datar | 336.353 | 99.37% |
Padang Pariaman | 389.090 | 99.50% |
Agam | 450.981 | 99.15% |
Lima Puluh Kota | 347.539 | 99.71% |
Pasaman | 252.055 | 99.51% |
Solok Selatan | 143.443 | 99.42% |
Dharmasraya | 188.691 | 98.57% |
Pesaman Barat | 356.664 | 97.68% |
Kota Padang | 803.706 | 96.42% |
Kota Solok | 58.621 | 98.70% |
Kota Sawah Lunto | 56.508 | 99.37% |
Kota Padang Panjang | 45.076 | 95.89% |
Kota Bukittinggi | 108.367 | 97.35% |
Kota Payakumbuh | 115.142 | 98.56% |
Kota Pariaman | 78.462 | 99.26% |
TOTAL | 4.721.924 | 97.42% |
Pendidikan
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Tokoh Islam
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Arsitektur
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Referensi
- ^ "Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Agama yang Dianut: Provinsi Sumatra Barat". Badan Pusat Statistik. Diakses tanggal 2012-05-03.
- ^ Abdullah, Taufik (1966). "Adat and Islam: An Examination of Conflict in Minangkabau". 2 (2): 1–24. doi:10.2307/3350753.
- ^ Amran, Rusli (1981). Sumatra Barat hingga Plakat Panjang. Penerbit Sinar Harapan.
- ^ Jones, Gavin W.; Chee, Heng Leng; Mohamad, Maznah (2009). "Not Muslim, Not Minangkabau, Interreligious Marriage and its Culture Impact in Minangkabau Society by Mina Elvira". Muslim-Non-Muslim Marriage: Political and Cultural Contestations in Southeast Asia. Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 51. ISBN 978-981-230-874-0.
- ^ [1]