Lompat ke isi

Kesultanan Jambi: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 46: Baris 46:


== Sejarah ==
== Sejarah ==
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM De woning van de Sultan van Djambi te Doesoen Tengah Sumatra TMnr 60002826.jpg|jmpl|250px|Kediaman [[Sultan]] [[Jambi]] di Dusun Tengah (sekarang di desa Rambutan Masam, Kecamatan Muara Tembesi) pada tahun 1877-1879]]
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM De woning van de Sultan van Djambi te Doesoen Tengah Sumatra TMnr 60002826.jpg|jmpl|250px|Kediaman [[Sultan]] [[Jambi]] di Dusun Tengah (sekarang di [[desa Rambutan Masam]], [[Kecamatan Muara Tembesi]]) pada tahun 1877-1879]]


Wilayah [[Jambi]] dulunya merupakan wilayah [[Kerajaan Melayu]], dan kemudian menjadi bagian dari pendudukan wilayah [[Sriwijaya]] yang berpusat di [[Palembang]]. Pada akhir abad ke-14 Jambi merupakan vasal [[Majapahit]], dan pengaruh [[Jawa]] masih terus mewarnai kesultanan Jambi selama abad ke-17 dan ke-18.
Wilayah [[Jambi]] dulunya merupakan wilayah [[Kerajaan Melayu]], dan kemudian menjadi bagian dari pendudukan wilayah [[Sriwijaya]] yang berpusat di [[Palembang]]. Pada akhir abad ke-14 Jambi merupakan vasal [[Majapahit]], dan pengaruh [[Jawa]] masih terus mewarnai kesultanan Jambi selama abad ke-17 dan ke-18.


Berdirinya kesultanan Jambi bersamaan dengan bangkitnya [[Islam]] di wilayah [[Jambi]]. Pada 1616 Jambi merupakan pelabuhan terkaya kedua di [[Sumatra]] setelah [[Kesultanan Aceh|Aceh]],{{fact}} dan pada 1670 kerajaan ini sebanding dengan tetangga-tetangganya seperti [[Kesultanan Johor|Johor]] dan [[Kesultanan Palembang|Palembang]].{{fact}} Namun kejayaan Jambi tidak berumur panjang. Tahun 1680-an Jambi kehilangan kedudukan sebagai pelabuhan [[lada]] utama, setelah perang dengan Johor dan konflik internal.
Berdirinya kesultanan Jambi bersamaan dengan bangkitnya [[Islam]] di wilayah [[Jambi]]. Pada 1616 Jambi merupakan pelabuhan terkaya kedua di [[Sumatra]] setelah [[Kesultanan Aceh|Aceh]],{{fact}} dan pada 1670 kerajaan ini sebanding dengan tetangga-tetangganya seperti [[Kesultanan Johor|Johor]] dan [[Kesultanan Palembang|Palembang]].{{fact}} Namun kejayaan Jambi tidak berumur panjang. Tahun 1680-an Jambi kehilangan kedudukan sebagai pelabuhan [[lada]] utama, setelah perang dengan [[Johor]] dan konflik internal.


[[Berkas:De beschieting van de Kraton van de Sultan van Djambi door de gouvernementsmarineschepen Celebes, Admiraal van Kinsbergen en Onrust op 8 september 1858 Rijksmuseum Amsterdam SK-A-4105.jpg|jmpl|250px|Lukisan penyerangan kapal Belanda dikeraton Sultan Jambi pada tahun 1858 - 1865.]]
[[Berkas:De beschieting van de Kraton van de Sultan van Djambi door de gouvernementsmarineschepen Celebes, Admiraal van Kinsbergen en Onrust op 8 september 1858 Rijksmuseum Amsterdam SK-A-4105.jpg|jmpl|250px|Lukisan penyerangan kapal Belanda di[[keraton Sultan Jambi]] pada tahun 1858 - 1865.]]


Setelah Istana Tanah Pilih Kota Jambi di hancurkan Belanda, dan [[Thaha Syaifuddin dari Jambi|Sultan Thaha]] mundur ke pedalaman Jambi. Oleh kerabat orang kerajaan Jambi dipilih lah Pangeran Singkat Lengan menjadi Sultan menggantikan Thaha dengan gelar Sultan Ahmad Nazaruddin. Masa itu kesultanan Jambi masih mengendalikan Ibukota ([[Kota Jambi]]) namun Sultan Ahmad Nazaruddin tinggal di Dusun Tengah, tiga atau empat hari perjalanan dari Ibukota, di sebuah rumah sederhana dari papan.
Setelah [[Istana Tanah Pilih]] Kota Jambi di hancurkan Belanda, dan [[Thaha Syaifuddin dari Jambi|Sultan Thaha]] mundur ke pedalaman Jambi. Oleh kerabat orang kerajaan Jambi dipilih lah Pangeran Singkat Lengan menjadi Sultan menggantikan Thaha dengan gelar Sultan Ahmad Nazaruddin. Masa itu kesultanan Jambi masih mengendalikan Ibukota ([[Kota Jambi]]) namun Sultan Ahmad Nazaruddin tinggal di Dusun Tengah, tiga atau empat hari perjalanan dari Ibukota, di sebuah rumah sederhana dari papan.


[[Berkas:KapitulationJambi MartaNingrat-OLHelfrich 19040326.jpeg|jmpl|250px|Pangeran Ratu Martaningrat menyerah ke Belanda tahun 1904.]]
[[Berkas:KapitulationJambi MartaNingrat-OLHelfrich 19040326.jpeg|jmpl|250px|[[Pangeran Ratu Martaningrat]] menyerah ke [[Belanda]] tahun 1904.]]


Pada tahun 1903 Pangeran Ratu Martaningrat, keturunan Sultan Thaha, sultan yang terakhir, menyerah Belanda. Jambi digabungkan dengan keresidenan Palembang. Kesultanan Jambi resmi dibubarkan oleh pemerintah [[Hindia Belanda]] pada tahun 1906.
Pada tahun 1903 Pangeran Ratu Martaningrat, keturunan Sultan Thaha, sultan yang terakhir, menyerah Belanda. Jambi digabungkan dengan keresidenan Palembang. Kesultanan Jambi resmi dibubarkan oleh pemerintah [[Hindia Belanda]] pada tahun 1906.

Revisi per 11 Mei 2022 01.46

Kesultanan Jambi

1615–1904
{{{coat_alt}}}
Lambang
Ibu kotaTanah Pilih (sekarang Kota Jambi)
Bahasa yang umum digunakanMelayu, Melayu Jambi
Agama
Islam
PemerintahanMonarki Kesultanan
Sultan 
• 1615–1643
Pangeran Kedah gelar Sultan Abdul Kahar
• 1900–1904
Sultan Thaha Syaifuddin
Sejarah 
• Didirikan
1615
• dibubarkan Belanda
1904
Didahului oleh
Digantikan oleh
kslKesultanan
Melaka
kslKesultanan
Demak
Hindia Belanda
Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Kesultanan Jambi adalah sebuah kerajaan Melayu Islam yang pernah berdiri di provinsi Jambi, Indonesia.[1][2][3] Kesultanan ini sebelumnya bernama kerajaan Melayu Jambi yang didirikan oleh Datuk Paduko Berhalo bersama istrinya, Putri Selaras Pinang Masak di Kota Jambi pada tahun 1460.[4][5] Dalam perkembangannya, kerajaan ini pada tahun 1615 berubah menjadi Kesultanan Jambi dengan sultan pertamanya Pangeran Kedah bergelar Sultan Abdul Kahar. Kesultanan Jambi resmi dibubarkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1906 dengan sultan terakhirnya Sultan Thaha Syaifuddin.[6][7]

Sejarah

Kediaman Sultan Jambi di Dusun Tengah (sekarang di desa Rambutan Masam, Kecamatan Muara Tembesi) pada tahun 1877-1879

Wilayah Jambi dulunya merupakan wilayah Kerajaan Melayu, dan kemudian menjadi bagian dari pendudukan wilayah Sriwijaya yang berpusat di Palembang. Pada akhir abad ke-14 Jambi merupakan vasal Majapahit, dan pengaruh Jawa masih terus mewarnai kesultanan Jambi selama abad ke-17 dan ke-18.

Berdirinya kesultanan Jambi bersamaan dengan bangkitnya Islam di wilayah Jambi. Pada 1616 Jambi merupakan pelabuhan terkaya kedua di Sumatra setelah Aceh,[butuh rujukan] dan pada 1670 kerajaan ini sebanding dengan tetangga-tetangganya seperti Johor dan Palembang.[butuh rujukan] Namun kejayaan Jambi tidak berumur panjang. Tahun 1680-an Jambi kehilangan kedudukan sebagai pelabuhan lada utama, setelah perang dengan Johor dan konflik internal.

Lukisan penyerangan kapal Belanda dikeraton Sultan Jambi pada tahun 1858 - 1865.

Setelah Istana Tanah Pilih Kota Jambi di hancurkan Belanda, dan Sultan Thaha mundur ke pedalaman Jambi. Oleh kerabat orang kerajaan Jambi dipilih lah Pangeran Singkat Lengan menjadi Sultan menggantikan Thaha dengan gelar Sultan Ahmad Nazaruddin. Masa itu kesultanan Jambi masih mengendalikan Ibukota (Kota Jambi) namun Sultan Ahmad Nazaruddin tinggal di Dusun Tengah, tiga atau empat hari perjalanan dari Ibukota, di sebuah rumah sederhana dari papan.

Pangeran Ratu Martaningrat menyerah ke Belanda tahun 1904.

Pada tahun 1903 Pangeran Ratu Martaningrat, keturunan Sultan Thaha, sultan yang terakhir, menyerah Belanda. Jambi digabungkan dengan keresidenan Palembang. Kesultanan Jambi resmi dibubarkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1906.

Geografi

Jambi berkembang di wilayah cekungan Batang Hari, sungai terpanjang di Sumatra. Sungai ini, dan anak-anak sungainya, seperti Batang Tembesi, Batang Tabir dan Batang Merangin, merupakan tulang punggung wilayah tersebut. Sungai Tungkal yang berbatasan dengan Indragiri memiliki cekungan tangkapan air sendiri. Sungai-sungai itu merupakan andalan transportasi utama Jambi.

Kependudukan

Penduduk Jambi relatif jarang. Pada 1852 jumlah penduduk diperkirakan hanya sebanyak 60.000 jiwa, dan Jambi Timur nyaris tidak berpenghuni. Etnis Melayu Jambi berdiam dipinggiran sungai Batang Hari dan Batang Tembesi. Orang Kubu menghuni hutan-hutan, sedangkan orang Batin mendiami wilayah Jambi Hulu. Pendatang dari Minangkabau disebut sebagi orang Penghulu, yang menyatakan tunduk pada orang-orang Batin.[butuh rujukan]

Pemerintahan

Sultan Jambi, Achmad Nazaruddin pada tahun 1877-1879
Berkas:Groepsportret met Sultan Thaha Syaifuddin van Djambi en zijn gevolg (1904).jpeg
Sultan Thaha Syaifuddin beserta rombongannya (1904)

Kesultanan Jambi dipimpin oleh raja yang bergelar sultan. Raja ini dipilih dari perwakilan empat keluarga bangsawan (suku): suku Kraton, Kedipan, Perban dan Raja Empat Puluh. Selain memilih raja keempat suku tersebut juga memilih pangeran ratu, yang mengendalikan jalan pemerintahan sehari-hari.[butuh rujukan] Dalam menjalankan pemerintahan pangeran ratu dibantu oleh para menteri dan dewan penasihat yang anggotanya berasal dari keluarga bangsawan. Sultan berfungsi sebagai pemersatu dan mewakili negara bagi dunia luar.

Bagian luar istana Sultan Jambi sekitar tahun 1941 - 1953.
Potret Pintu Gerbang Istana Sultan Jambi, diambil pada tahun 1985

Menurut R. Sahabuddin (1954) dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi (1978/1979), pemerintahan di pusat Kesultanan Jambi dipimpin oleh seorang sultan yang dibantu oleh pangeran ratu (putra mahkota) yang memimpin Rapat Dua Belas. Rapat Dua Belas terdiri atas dua bagian:

  • Kerapatan Patih Dalam (Dewan Menteri Dalam)
  • Kerapatan Patih Luar (Dewan Menteri Luar)

Masing-masing kerapatan terdiri dari 6 orang, 1 orang ketua dan 5 orang anggota.

Kerapatan Patih Dalam diketuai oleh Putra Mahkota yang bergelar Pangeran Ratu dengan para anggota yang diberi gelar :

  • Pangeran Adipati
  • Pangeran Suryo Notokusumo
  • Pangeran Jayadiningrat
  • Pangeran Aryo Jayakusumo
  • Pangeran Notomenggolo atau Pangeran Werokusumo

Kerapatan Patih Dalam pada hakekatnya merupakan Majelis Kerajaan (Rijksraad) yang berfungsi sebagai lembaga legislatif (DPR) pada masa sekarang.

Daftar penguasa

No Periode Foto Nama Penguasa
Sebagai Kerajaan Jambi
1 1460 – 1480 Datuk Paduko Berhalo/ Putri Selaras Pinang Masak
2 1480 – 1490 Orang Kayo Pingai (Sayyid Ibrahim)
3 1490 – 1500 Orang Kayo Kedataran (Sayyid Abdul Rahman)
4 1500 – 1515 Orang Kayo Hitam (Sayyid Ahmad Kamil)[8][9]
5 1515 – 1540 Pangeran Hilang diair (Panembahan Rantau Kapas)
6 1540 – 1565 Panembahan Rengas Pandak
7 1565 – 1590 Panembahan Bawah Sawo
8 1590 – 1615 Panembahan Kota Baru
Sebagai Kesultanan Jambi
9 1615 – 1643 Pangeran Kedah gelar Sultan Abdul Kahar
10 1643 – 1665 Pangeran Depati Anom gelar Sultan Abdul Djafri (Sultan Agung)
11 1665 – 1690 Raden Penulis gelar Sultan Abdul Mahji (Sultan Ingologo)
12 1690 – 1696 Raden Tjakra Negara (Pangeran Depati) gelar Sultan Kiyai Gede
13 1696 – 1740 Sultan Mochamad Syah
14 1740 – 1770 Sultan Sri Ingologo
15 1770 – 1790 Sultan Zainuddin gelar Sultan Anom Sri Ingologo
16 1790 – 1812 Mas’ud Badaruddin gelar Sultan Ratu Sri Ingologo
17 1812 – 1833 Sultan Mahmud Muhieddin gelar Sultan Agung Sri Ingologo
18 1833 – 1841 Sultan Muhammad Fakhruddin bin Mahmud
19 1841 – 1855 Sultan Abdul Rahman Nazaruddin bin Mahmud
20 1855 – 1858 Sultan Thaha Syaifuddin bin Muhammad Fakhruddin[10] (pertama kali)
21 1858 – 1881 Sultan Ahmad Nazaruddin bin Mahmud
22 1881 – 1885 Sultan Muhammad Muhieddin bin Abdul Rahman
23 1885 – 1899 Sultan Ahmad Zainul Abidin bin Muhammad
(20) 1900 – 1904 Sultan Thaha Syaifuddin bin Muhammad Fakhruddin[11] (kedua kali)
1906 Dibubarkan Belanda
Sekarang (Sebagai Simbol Adat)
24 2012 – 2021[12] Sultan Abdurrachman Thaha Syaifuddin (Dinobatkan pada Tanggal 18 Maret 2012)[13]

Galeri

Referensi

Pranala luar

Rujukan

  • Elsbeth Locher-Schoten. Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda
  • (Inggris) Locher-Scholten, Elsbeth (2018). Sumatran Sultanate and Colonial State: Jambi and the Rise of Dutch Imperialism, 1830–1907. Cornell University Press. hlm. 38. ISBN 9781501719387. 
  • (Inggris) Gentle Janus, Merchant Prince pada Google Books
  • (Inggris) Brown, Iem (2009). The Territories of Indonesia. London: Routledge. hlm. 268. ISBN 9781857432152. 
  • (Inggris) Janowski, Monica; Kerlogue, Fiona (2007). Kinship and Food in South East Asia. Copenhagen: NIAS Press. hlm. 68. ISBN 9788791114939.