Lompat ke isi

Orang Ocu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 26 April 2021 17.26 oleh Tamaraveronika (bicara | kontrib) (Penambahan pranala)

Orang Kampar (dalam bahasa Kampar disebut Ughang Kampar) adalah suku yang terdapat di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Mereka biasa menyebut kelompoknya dengan sebutan Orang Ocu (dalam bahasa Kampar disebut Ughang Ocu).[1] Penduduk aslinya bertutur dalam Bahasa Kampar (lebih dikenal dengan Bahasa Ocu) yang merupakan salah satu dialek dalam bahasa Minangkabau yang mirip dengan bahasa digunakan di Luhak Limopuluah.[2] . Secara etnis, sejarah, adat, dan budaya, mereka sangat dekat dengan Minangkabau,[3] khususnya dengan masyarakat di Kabupaten Lima Puluh Kota.

Sebagaimana halnya Minangkabau, masyarakat Kampar menganut sistem adat yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal,[4] dengan budayanya yang sangat kuat diwarnai ajaran agama Islam yakni Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al-Qur'an) yang berarti adat berlandaskan ajaran Islam.

Di Riau, orang Kampar dikenal sebagai suku pedagang dan perantau. Mereka bisa ditemukan di sebagian besar daerah Riau, seperti Siak, Bengkalis, Ujung Batu, Pelalawan, Selat Panjang dll. Selain itu orang Kampar banyak bermukim di Malaysia seperti Kuantan (Pahang), Sabak Bernam, Teluk Intan. Bahkan menjadi nama daerah dan sungai di Malaysia yang konon karena banyak warga Kampar yang dulu berdagang di sepanjang sungai tersebut.


Tokoh

Etimologi

Ocu, istilah yang biasa digunakan untuk menyebut orang Kampar, berasal dari kata Ongsu berarti bungsu atau anak yang terakhir. Dalam bahasa setempat, tiap urutan anak memiliki sebutannya sendiri. Anak pertama oleh saudara-saudaranya dipanggil dengan sebutan Uwo (berasal dari kata Tuo artinya Tua, yang paling tua).

Anak kedua dipanggil oleh adik-adiknya dengan kata Ongah, yang berasal dari kata Tongah, artinya anak yang paling tengah. Sedangkan anak yang ketiga dipanggil oleh adik-adiknya dengan nama Udo, yang berasal dari kata Mudo artinya yang paling muda.

Anak yang keempat baik laki-laki maupun perempuan, juga dipanggil dengan Ocu. Anak ke lima dan seterusnya juga berhak untuk disapa dengan Ocu.

Selain dalam struktur kekeluargaan, kata Ocu ini digunakan sebagai sapaan bagi anak-anak yang lebih muda kepada teman, kerabat dan sanak keluarga. Seperti anak muda kepada laki-laki yang lebih tua daripada dirinya.

Adat dan Budaya

Matrilineal

Masyarakat Kampar, sama halnya dengan masyarakat Minang, menggunakan sistem Matrilineal sebagai salah satu aspek utama dalam mendefinisikan identitasnya. Adat dan budaya mereka menempatkan pihak perempuan bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan. Garis keturunan dirujuk kepada ibu, sedangkan ayah mereka disebut oleh masyarakat dengan nama Sumondo (ipar) dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga.

Dalam masyarakat Kampar dikenal sistem persukuan atau suku. Suku, sama halnya dengan marga dalam sistem Patrilineal, terdiri dari orang-orang yang jika diurut dari garis keturunan ibunya memiliki nenek moyang yang sama. Persukuan yang ada dalam masyarakat Kampar beberapa di antaranya Domo, Malayu, Piliong/Piliang, Mandailiong, Putopang, Caniago, Kampai, dan Bendang.

Bahasa

Bahasa yang digunakan orang Kampar yaitu Bahasa Ocu atau Bahasa Melayu Kampar. Bahasa Ocu merupakan salah satu dialek dalam Bahasa Minang dan bisa juga menjadi salah satu dialek Melayu/Melayu Daratan[5], yang memiliki banyak persamaan dengan dialek Limapuluh Kota - Payakumbuh. Bahasa ini berlainan aksen dengan dialek Bahasa Minang yang dipakai oleh masyarakat Luhak Agam, Luhak Tanah Datar maupun kawasan pesisir Minangkabau lainnya. Bahasa Ocu juga memiliki kemiripan dengan dialek Kuantan dan Rokan yang bersebelahan wilayah dengan Kampar.[6]

Bahasa Ocu merupakan akulturasi bahasa antara Bahasa Minangkabau dengan Bahasa Melayu.

Kesenian

Alat musik yang biasa dimainkan orang Kampar yaitu Caklempong dan Oguong.

Salah satu lagu daerah orang Kampar yang terkenal berjudul Kutang Barendo. Lagu ini berisi tentang nasihat dari seorang ibu kepada anak yang sedang ditimangnya. Lagu ini juga populer bagi orang Minang dengan lirik yang telah disesuaikan dialeknya.

Rumah Adat

Rumah Lontiok di Kompleks MTQ, Pekanbaru.

Rumah Pelancangan atau rumah Lontiok adalah rumah adat suku Kampar. Lontiok atau Lontik dalam bahasa Indonesia berarti Lentik. Hal ini dikarenakan bentuk atap yang melengkung lentik. Rumah Lontiok merupakan rumah panggung dan berfungsi sebagai rumah adat dan tempat tinggal. Dibangun dalam satu prosesi panjang yang melibatkan masyarakat luas.

Bentuk rumah Lontiok dikatakan berasal dari bentuk perahu, hal ini tercermin dari sebutan pada bagian-bagian rumah tersebut seperti: bawah, tengah, ujung, pangkal, serta turun, naik. Dinding depan dan belakang dibuat miring keluar dan kaki dinding serta tutup didinding dibuat melengkung sehingga bentuknya menyerupai sebuah perahu yang diletakkan di atas tiang-tiang.

Konstruksi panggung pada rumah Lontiok dipilih untuk menghindari bahaya binatang buas dan banjir. Kolong rumah, biasanya digunakan untuk kandang ternak, wadah penyimpanan perahu, tempat bertukang atau tempat bermain anak-anak, dan gudang kayu untuk persiapan bulan puasa. Pemakaian tangga pada rumah Lontiok memiliki kententuan adat. Jumlah anak tangga ganjil dan menyediakan tempayan air didekatnya untuk mencuci kaki di pangkal tangga. Ketentuan adat juga menyatakan bahwa penghuni perempuan cukup berpakaian sedada tanpa baju (kemban) di dalam rumah atau tidur-tidur dirumah tanpa adanya penyekat/pelindung ruang. Kalau rumah dibangun rendah atau “melekat” di atas tanah, maka keadaan di dalam rumah akan kelihatan dari luar rumah.

Dinding luar rumah Lontik seluruhnya miring keluar, berbeda dengan dinding dalam yang tegak lurus. Balok tumpuan dinding luar depan melengkung keatas, dan kalau disambung dengan ukiran sudut-sudut dinding, kelihatan seperti bentuk perahu. Balok tutup atas dinding juga melengkung meskipun tidak semelengjung balok tumpuan. Lengkungannya mengikuti lengkung sisi bawah bidang atap. Kedua ujung perabung diberi hiasan yang disebut Sulo Bayung. Sedangkan Sayok Lalangan merupakan ornamen pada ke 4 sudut cucuran atap. Bentuk hiasan beragam, ada yang menyerupai bulan sabit, tanduk kerbau, taji dan sebagainya

Kontroversi

Hingga kini masih terdapat kontroversi mengenai pengelompokkan orang Kampar sebagaisuku bangsa Minangkabau atau Melayu Riau.[7]

Pendapat pertama yang menyatakan bahwa orang Kampar merupakan orang Minangkabau umumnya berasal dari masyarakat luar Kampar, khususnya Minangkabau. Pendapat ini muncul karena kemiripan etnis, sejarah, adat, bahasa, dan budaya dengan masyarakat Minang, khususnya yang berada di Luhak Limopuluah. Alasan lain karena pada zaman Kerajaan Pagaruyung, Kampar menjadi kawasan rantau dari Luhak Limopuluah yang bernama Rantau Limo Koto yang terdiri dari Kuok, Bangkinang, Salo, Air Tiris, dan Rumbio.[8]

Tetapi sebagian masyarakat Kampar lebih menyukai pendapat kedua yaitu orang Ocu adalah bagian dari Melayu Riau atau sebagian/segelintir orang menganggap sebagai suku bangsa sendiri. Pendapat sebagai suku bangsa sendiri / bukan bagian dari Minangkabau didasarkan karena peradaban Kampar yang terlebih dahulu ada sebelum peradaban Minang atau Pagaruyung. Orang Kampar menganggap istilah Minangkabau tidak mewakili mereka dan merupakan nama tempat yang berada di dataran tinggi hulu Sungai Kampar seperti istilah Kampar yang juga nama tempat.[9] Pendapat sebagai suku tersendiri tidak dapat dibuktikan karena, suku Kampar merupakan suku Melayu sama seperti Melayu pada Umumnya mereka disebut sebagai orang Melayu Daratan dari segi kebudayaan, bahasa, adat dan lain2 walaupun beradat matrilineal serta memiliki klan/suku seperti Minangkabau dan ada beberapa klan dari Minangkabau. Sekarang lembaga adat Kampar berada dalam naungan Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR).

Lihat pula

Referensi

  1. ^ http://pustaka-arsip.kamparkab.go.id/berita-budaya-kampar-riau.html
  2. ^ Said, C., (1986), Struktur bahasa Minangkabau di Kabupaten Kampar, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  3. ^ Purna, I. M., Sumarsono, Astuti, R., Sunjata, I. W. P., (1997), Sistem pemerintahan tradisional di Riau, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
  4. ^ Coral Reefs Information and Training Center, (2002), Pengembangan kelembagaan masyarakat pesisir dan kepulauan: perspektif budaya lokal pesisir dan kepulauan, Coral Reefs Information and Training Center.
  5. ^ Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI. Bahasa Minangkabau di Provinsi Riau. Pada: Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia. 2017 [1] Diarsipkan 2018-08-12 di Wayback Machine.
  6. ^ Witrianto dan Arfinal, 2011. Bahasa Ocu: Akulturasi antara Bahasa Minangkabau dengan Bahasa Melayu Riau di Kabupaten Kampar. Seminar Internasional Forum Ilmiah VII FPBS UPI “Pemikiran-pemikiran Inovatif dalam Kajian Bahasa, Sastra, Seni, dan Pembelajarannya” Bandung. 30 November 2011: 1-18. [2]
  7. ^ http://kampungrison.wordpress.com/2008/07/30/ocu-sebuah-perkenalan/
  8. ^ "Sejarah Berdirinya Kabupaten Kampar ,Ocu dan Minangkabau". riauterbit.com. Diakses tanggal 2018-07-03. 
  9. ^ "Kampar, antara Melayu dan Minangkabau - WACANA". www.wacana.co (dalam bahasa Indonesia). Diakses tanggal 2018-07-03. [pranala nonaktif permanen]