Sejarah Mesir Kuno
Bagian dari seri mengenai |
||||||||||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Sejarah Mesir | ||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||
Portal Mesir | ||||||||||||||||||||
Sejarah Mesir Kuno meliputi kurun waktu yang bermula dengan pendirian permukiman-permukiman prawangsa di kawasan utara Lembah Sungai Nil dan berakhir dengan peristiwa penaklukan Mesir oleh Bangsa Romawi pada tahun 30 SM. Zaman pemerintahan para firaun diperkirakan bermula sekitar tahun 3200 SM, yakni sejak penggabungan Mesir Hulu dan Mesir Hilir menjadi satu negara sampai ditaklukkan oleh bangsa Makedonia pada tahun 332 SM.
Kronologi
Sejarah Mesir Kuno dibagi-bagi menjadi beberapa kurun waktu berdasarkan zaman wangsa-wangsa firaun. Penetapan tarikh peristiwa-peristiwa penting masih terus diteliti. Penetapan tarikh yang konservatif untuk kurun waktu tiga milenia tidak didukung satu pun tarikh mutlak yang andal. Berikut ini adalah pembagian kurun waktu sejarah Mesir Kuno menurut kronologi konvensional.
- Zaman Prawangsa (sebelum tahun 3100 SM)
- Zaman Protowangsa (kira-kira tahun 3100 sampai tahun 3000 SM)
- Zaman Awal (zaman wangsa pertama sampai zaman wangsa ke–2)
- Zaman Kerajaan Lama (zaman wangsa ke-3 sampai zaman wangsa ke-6)
- Zaman Antara Pertama (zaman wangsa ke-7 sampai zaman wangsa ke-11)
- Zaman Kerajaan Pertengahan (zaman wangsa ke-12 sampai zaman wangsa ke-13)
- Zaman Antara Kedua (zaman wangsa ke-14 sampai zaman wangsa ke-17)
- Zaman Kerajaan Baru (zaman wangsa ke-18 sampai zaman wangsa ke-20)
- Zaman Antara Ketiga (zaman wangsa ke-21 sampai zaman wangsa ke-25, disebut pula Zaman Libya)
- Zaman Akhir (zaman wangsa ke-26 sampai zaman wangsa ke–31)
Zaman Batu Muda di Mesir
Zaman Batu Muda
Sungai Nil telah menjadi urat nadi peradaban Mesir semenjak masyarakat pemburu-peramu yang hidup berpindah-pindah mulai menempati tepiannya pada zaman Pleistosen. Peradaban bangsa Mesir perdana ini meninggalkan jejak-jejak berupa artefak-artefak dan ukiran-ukiran pada batu yang ditemukan di sepanjang teras Sungai Nil dan di oasis-oasis Mesir. Bagi bangsa Mesir, Sungai Nil berarti kehidupan dan gurun berarti kematian, kendati justru gurunlah yang membentengi mereka dari invasi.
Di sepanjang tepian Sungai Nil pada milenium ke-12 SM, muncul suatu kebudayaan masyarakat yang hidup dari mengirik biji-bijian dan telah memanfaatkan peralatan berupa bilah arit jenis terawal. Kebudayaan ini menggantikan kebudayaan masyarakat pengguna peralatan batu, yang mencari nafkah dengan berburu, menangkap ikan, dan meramu. Ada pula bukti-bukti keberadaan permukiman manusia serta kegiatan penggembalaan ternak sebelum tahun 8000 SM di penjuru barat daya Mesir, dekat dari tapal batas Sudan. Meskipun demikian, menurut Barbara Barich, teori yang menyatakan bahwa penjinakan satwa jenis bovinae berlangsung di Afrika sudah harus ditinggalkan karena bukti-bukti lebih lanjut untuk kurun waktu sepanjang tiga puluh tahun yang terkumpul telah gagal mendukung teori itu.[1] Sehubungan dengan pendapat Barbara Barich ini, bekas-bekas penjinakan bovinae tertua di Afrika yang telah diketahui adalah bukti-bukti yang ditemukan di Al Fayyum dan diperkirakan berasal dari sekitar tahun 4400 SM.[2] Bukti-bukti geologi dan studi percontohan iklim berbasis komputer menunjukkan bahwa perubahan iklim sekitar 8000 SM mengakibatkan kekeringan mulai melanda lahan penggembalaan ternak yang terbentang luas di kawasan utara Afrika dan pada akhirnya menciptakan Gurun Sahara (sekitar 2500 SM).
Kemarau panjang memaksa leluhur-leluhur bangsa Mesir perdana untuk berpindah dan tinggal lebih lama di sekitar Sungai Nil. Kemarau panjang juga memaksa mereka untuk mengadopsi gaya hidup yang lebih menetap.
Zaman Prawangsa
Lembah Sungai Nil di Mesir pada hakikatnya tidak dapat didiami sebelum dimulainya kegiatan penerabasan dan pengairan lahan di sepanjang tepian sungai.[3] Namun tampaknya sebagian besar dari kegiatan penerabasan dan pengairan lahan ini sudah rampung sekitar 6000 SM. Sekitar waktu ini, masyarakat Lembah Sungai Nil sudah terbiasa bertani secara teratur dan mendirikan bangunan-bangunan besar di Lembah Sungai Nil.[4] Pada waktu itu, bangsa Mesir di penjuru tenggara Mesir hidup dari menggembalakan ternak dan mendirikan pula bangunan-bangunan besar. Mortar dipergunakan sekitar 4000 SM. Penduduk kawasan lembah dan muara Sungai Nil adalah masyarakat swasembada. Mereka telah membudidayakan jelai dan gandum emmer (sejenis gandum awal) serta menyimpannya dalam ceruk-ceruk beralaskan tikar gelagah.[5] Mereka beternak lembu, kambing, dan babi, menenun lenan, dan menganyam keranjang.[5] Zaman Prawangsa, yang oleh berbagai pihak diyakini bermula dengan peradaban Naqada, berlangsung pada masa ini.
Antara 5500 sampai 3100 SM, pada Zaman Prawangsa Mesir, permukiman-permukiman kecil tumbuh subur di sepanjang tepian Sungai Nil yang bermuara ke Laut Tengah. Sekitar 3300 SM, menjelang berkuasanya Wangsa Mesir yang pertama, negeri Mesir terbagi atas dua kerajaan yang dikenal sebagai Mesir Hulu atau Ta Syemau di selatan, dan Mesir Hilir atau Ta Mehu di utara.[6] Garis perbatasan antara dua kerajaan ini terletak kira-kira di wilayah Kairo sekarang ini.
Peradaban Tasa adalah bentuk peradaban berikutnya yang muncul di Mesir Hulu. Peradaban ini dinamakan menurut nama situs Deir Tasa, tempat ditemukannya sekumpulan makam kuno. Deir Tasa terletak di tepi timur Sungai Nil, di antara Asyut dan Akhmim. Peradaban Tasa dikenal dengan tembikar bermulut hitam terawal yang dihasilkannya, yakni jenis gerabah merah dan cokelat yang bagian mulut dan dalam wadahnya diwarnai hitam[7]
Peradaban Badari yang dinamakan menurut nama situs Badari, tidak jauh dari Deir Tasa, muncul setelah Peradaban Tasa. Kemiripan antara Peradaban Tasa dan Peradaban Badari membuat banyak pihak enggan membeda-bedakan keduanya. Peradaban Badari meneruskan pembuatan tembikar bermulut hitam (dengan mutu yang jauh lebih baik dibanding jenis sebelumnya), dan diberi nomor penanggalan sekuensi antara 21 dan 29.[8] Meskipun demikian, ada perbedaan penting antara Peradaban Tasa dan Peradaban Badari yang mencegah para cendekiawan untuk menggabungkan saja keduanya, yaitu bahwasanya situs-situs Badari telah mempergunakan alat-alat tembaga selain alat-alat batu, dan oleh karena itu merupakan pemukiman-pemukiman Zaman Tembaga, sementara situs-situs Tasa masih bercorak neolitikum, dan secara teknis dianggap masih tergolong Zaman Batu.[8]
Peradaban Amra dinamakan menurut nama situs el-Amra, sekitar 120 km di selatan Badari. El-Amra adalah situs pertama tempat peradaban ini didapati tidak bercampur dengan Peradaban Gerza yang muncul sesudahnya. Meskipun demikian, karena peradaban ini lebih banyak didukung oleh temuan-temuan dari situs Naqada, maka disebut pula dengan nama Peradaban Naqada I.[9] Pembuatan tembikar bermulut hitam masih diteruskan, tetapi Peradaban ini mulai pula menghasilkan tembikar garis silang, yakni sejenis gerabah yang dihiasi barisan garis-garis putih, rapat dan paralel, yang kemudian disilangi barisan garis-garis putih, rapat dan paralel lainnya. Kurun waktu Peradaban Amra ditempatkan antara 30 dan 39 dalam sistem penanggalan sekuensi yang disusun Sir William Matthew Flinders Petrie.[10] Perniagaan antara Mesir Hulu dan Mesir Hilir berlangsung pada kurun waktu peradaban ini, sebagaimana disiratkan oleh temuan-temuan dari hasil penggalian. Sebuah jambangan batu dari daerah utara ditemukan di el-Amra, dan tembaga, yang tidak terdapat di Mesir, tampaknya didatangkan dari Sinai atau mungkin pula dari Nubia. Obsidian[11] dan emas dalam jumlah yang sangat sedikit[10] sudah pasti didatangkan dari Nubia pada zaman ini. Perniagaan dengan oasis-oasis pun demikian.[11]
Peradaban Gerza yang dinamakan menurut nama situs Gerza adalah babak berikutnya dalam perkembangan peradaban bangsa Mesir. Pada kurun waktu inilah terbentuk landasan bagi zaman kekuasaan wangsa-wangsa Mesir. Peradaban Gerza, yang lebih merupakan perkembangan tak terputus dari Peradaban Amra ini, bermula di daerah muara dan bergerak ke wilayah selatan melewati Mesir Hulu; Meskipun demikian, kedatangan peradaban ini tidak berhasil menyingkirkan Peradaban Amra di Nubia.[12] Zaman Peradaban Gerza bertepatan dengan zaman menurunnya tingkat curah hujan secara drastis,[12] yang menyebabkan pertanian diandalkan sebagai sumber utama bahan pangan.[12] Seiring meningkatnya ketersediaan pangan, masyarakat pun mengadopsi gaya hidup yang lebih menetap, dan pemukiman-pemukiman besar bertumbuh menjadi kota-kota yang berpenghuni sekitar 5.000 jiwa.[12] Pada kurun waktu inilah warga kota mulai mempergunakan bata lumpur dalam pembangunan kota-kota mereka.[12] Tembaga semakin menggeser pemanfaatan batu sebagai bahan baku pembuatan peralatan[12] dan persenjataan.[13] Perak, emas, lapis lazuli, juga tembikar glasir bening digunakan sebagai hiasan,[14] dan penggilasan untuk membuat celak mata mulai dihiasi ukiran-ukiran timbul sejak kurun waktu Peradaban Badari.[13]
Zaman Wangsa
Zaman Awal
Catatan-catatan sejarah Mesir Kuno diawali dengan menyebut Mesir sebagai suatu negara kesatuan yang terwujud sekitar 3150 SM. Menurut tradisi Mesir, Menes, yang diyakini sebagai tokoh pemersatu Mesir Hulu dan Mesir Hilir, adalah raja Mesir yang pertama. Budaya, adat-istiadat, seni rupa, rancang bangun, dan susunan kemasyarakatan Mesir berkaitan erat dengan agama, luar biasa stabilnya, dan sedikit demi sedikit mengalami perubahan dalam kurun waktu hampir 3000 tahun.
Kronologi Mesir, yang memuat tahun-tahun pemerintahan raja-raja, berawal pada kurun waktu ini. Kronologi Mesir konvensional adalah kronologi yang diterima pada abad ke-20, namun kronologi ini tidak memuat satu pun usulan-usulan perbaikan penting yang juga telah diajukan dalam abad itu. Dalam satu karya ilmiah saja, arkeolog kerap menetapkan lebih dari satu tanggal atau bahkan mengajukan lebih dari satu kronologi utuh yang mungkin digunakan. Oleh karena itu, dapat saja penetapan waktu yang digunakan dalam artikel ini berbeda dari penetapan waktu dalam artikel lain yang bertopik terkait Mesir Kuno. Mungkin pula terdapat lebih dari satu cara eja nama-nama tokoh sejarah. Lazimnya para egiptolog membagi kurun waktu pemerintahan para firaun mengikuti urut-urutan yang disusun pertama kali oleh Manetho dalam Aegyptiaca (Sejarah Mesir) yang ditulis semasa Wangsa Ptolemaios berkuasa pada abad ke-3 SM.
Sebelum penyatuan Mesir, wilayah negeri ini terbagi-bagi atas desa-desa mandiri. Sejak kemunculan wangsa-wangsa perdana, dan untuk sebagian besar dari sejarah Mesir selanjutnya, negeri ini dikenal sebagai Dua Negeri. Para pemimpin membentuk administrasi nasional dan melantik gubernur-gubernur kerajaan.
Menurut Manetho, raja Mesir yang pertama adalah Menes, namun temuan-temuan arkeologi mendukung pandangan bahwa firaun pertama yang menyatakan telah mempersatukan Dua Negeri adalah Narmer, (raja terakhir dari Zaman Protowangsa). Namanya terutama dikenal karena prasasti Lempengan Narmer yang termasyhur itu. Gambar-gambar yang ditatah pada Lempengan Narmer ditafsirkan sebagai tindak penyatuan Mesir Hulu dan Mesir Hilir.
Tata-cara pemakaman golongan elit menghasilkan pembangunan makam-makam mastaba, yang kelak menjadi contoh bagi karya-karya bangunan pada Zaman Kerajaan Lama, misalnya Piramida Berundak.
Zaman Kerajaan Lama
Zaman Kerajaan Lama lazimnya dianggap sebagai kurun waktu semenjak Mesir diperintah oleh Wangsa Ketiga sampai Wangsa Keenam (2686–2181 SM). Ibukota Kerajaan Mesir pada Zaman Kerajaan Lama adalah Memphis, yang ditetapkan Djoser sebagai pusat pemerintahannya. Akan tetapi Zaman Kerajaan Lama mungkin lebih dikenal karena banyaknya piramida yang dibangun pada zaman ini sebagai makam firaun. Inilah sebabnya Zaman Kerajaan Lama kerap dijuluki "Zaman Piramida." Firaun pertama yang menonjol pada kurun waktu ini adalah Djoser (2630–2611 SM) dari Wangsa Ketiga, yang memerintahkan pembangunan sebuah Piramida Berundak di Saqqara, nekropolis Kota Memphis.
Pada zaman inilah negara-negara kecil Mesir Kuno yang sebelumnya merdeka berubah menjadi satuan-satuan administratif yang disebut Nome dan yang diperintah oleh firaun semata. Para pemimpin sebelumnya dipaksa menduduki jabatan kepala daerah atau jabatan pemungut cukai. Bangsa Mesir pada zaman ini menyembah firaun sebagai dewa yang mereka yakini sebagai penjamin keberlangsungan banjir tahunan yang diperlukan tanaman-tanaman mereka.
Zaman Kerajaan Lama dan kekuasaan raja-rajanya berpuncak pada Wangsa Keempat. Sneferu, pendiri Wangsa Keempat, diyakini telah memerintahkan pembangunan sekurang-kurangnya tiga piramida; dan jika putera sekaligus penggantinya, Khufu, termasyhur sebagai pendiri Piramida Agung Giza, maka Sneferu termasyhur sebagai firaun yang memerintahkan pengangkutan batu dan bata terbanyak dibanding firaun-firaun lainnya. Baik Khufu (Bahasa Yunani Keops) maupun puteranya Khafra (Bahasa Yunani Kefren), serta cucu lelakinya Menkaura (Bahasa Yunani Mikerinus) menjadi masyhur berabad-abad lamanya karena pembangunan piramida-piramida mereka. Untuk mengatur dan memberi makan tenaga kerja yang dipekerjakan dalam pembangunan piramida-piramida ini, diperlukan suatu pemerintahan yang terpusat dengan kekuasaan yang sangat luas, oleh karena itu para egiptolog yakin bahwa Kerajaan Lama pada masa itu telah memperlihatkan taraf pencapaian tersebut. Penggalian-penggalian terkini di dekat piramida-piramida yang dikepalai Mark Lehner telah menyingkap keberadaan sebuah kota besar yang tampaknya pernah menampung dan menghidupi para pekerja piramida. Sekalipun pernah dipercaya bahwa budak-budaklah yang membangun monumen-monumen itu, suatu teori yang didasarkan pada riwayat eksodus Bangsa Israel dalam Alkitab, penelitian atas makam-makam para tenaga kerja ahli yang mengawasi pembangunan piramida-piramida menunjukkan bahwa monumen-monumen itu dihasilkan oleh kerja bakti rakyat jelata yang dihimpun dari segenap penjuru Mesir. Tampaknya mereka bekerja ketika luapan banjir tahunan Sungai Nil sedang menutupi ladang-ladang mereka. Mereka juga tampaknya merupakan sekumpulan besar tukang dan pandai yang meliputi juru ukir, juru gambar, matematikawan dan rohaniwan.
Wangsa Kelima bermula dengan pemerintahan Userkaf sekitar 2495 SM, dan ditandai dengan makin berkembangnya pemujaan terhdap Dewa Matahari Ra. Dampaknya adalah berkurangnya pengerahan daya upaya untuk membangun kompleks-kompleks piramida selama masa pemerintahan wangsa ini dibandingkan dengan yang berlaku pada masa kekuasaan Wangsa Keempat, dan lebih besar daya upaya yang dikerahkan untuk mendirikan kuil-kuil pemujaan matahari di Abusir. Hiasan pada kompleks-kompleks piramida bertambah rumit pada masa kekuasaan wangsa ini. Raja terakhir wangsa ini, Unas, adalah raja pertama yang memerintahkan agar ayat-ayat piramida ditatahkan pada piramidanya. Makin besarnya minat bangsa Mesir akan barang-barang dagangan semisal kayu hitam, wewangian seperti mur dan kemenyan, emas, tembaga dan bermacam-macam logam berguna, telah mendorong orang-orang Mesir Kuno untuk mengarungi laut lepas. Bukti dari Piramida Sahure, raja kedua dari Wangsa Kelima, menunjukkan adanya perniagaan secara teratur dengan daerah pesisir Suriah untuk mendapatkan kayu Aras. Para firaun juga melepas ekspedisi-ekspedisi ke Negeri Punt yang termasyhur itu, yang kemungkinan besar terletak di Ethiopia dan Somalia sekarang ini, untuk mendapatkan kayu hitam, gading, dan damar wangi.
Pada masa kekuasaan Wangsa Keenam (2345–2181 SM), kekuasaan para firaun sedikit demi sedikit melemah seiring peningkatan kekuasaan para nomark (kepala-kepala daerah). Jabatan-jabatan ini tidak lagi dipegang oleh keluarga kerajaan dan mulai diwariskan turun-temurun, sehingga menciptakan wangsa-wangsa daerah yang agak merdeka dari kewenangan pusat yang dipegang firaun. Kekacauan internal mulai timbul pada masa pemerintahan Pepi II (2278–2184 SM) yang memerintah cukup lama itu sampai pada akhir kekuasaan Wangsa Keenam. Pepi II mangkat sesudah orang-orang yang dipersiapkan menjadi penggantinya meninggal dunia. Keadaan ini agaknya memicu perselisihan seputar suksesi yang menjerumuskan Mesir ke dalam kancah perang saudara hanya beberapa dasawarsa setelah berakhirnya pemerintahan Pepi II. Pukulan terakhir tiba tatkala Mesir dilanda kemarau panjang pada abad ke-22 SM yang menyebabkan tingkat ketinggian banjir Sungai Nil rendah secara konsisten.[15] Akibatnya adalah keruntuhan Kerajaan Lama disusul bencana kelaparan dan pertikaian selama beberapa dasawarsa.
Zaman Antara Pertama
Setelah keruntuhan Kerajaan Lama, tibalah kurun waktu sekitar 200 tahun yang dikenal sebagai Zaman Antara Pertama, yang lazimnya diperkirakan meliputi tahun-tahun pemerintahan serentet firaun tak dikenal semenjak akhir masa kekuasaan Wangsa Keenam sampai dengan Wangsa Kesepuluh, serta sebagian besar masa kekuasaan Wangsa Kesebelas. Sebagian besar firaun-firaun ini adalah raja-raja daerah yang berkuasa sebatas luas nome mereka. Ada beberapa naskah fiksi, yang dikenal sebagai Ratapan, berasal dari permulaan Zaman Kerajaan Pertengahan yang memberi sedikit gambaran mengenai apa saja yang berlangsung pada Periode Menengah Pertama. Beberapa naskah memuat renungan akan hancurnya tata pemerintahan, sementara naskah-naskah lain menyiratkan invasi "para pemanah dari Asia". Pada umumnya isi naskah-naskah tersebut menyoroti suatu masyarakat yang mengalami hilangnya tata-tertib kemasyarakatan maupun keseimbangan alam.
Sangat mungkin pula pada zaman ini terjadi perampokan atas semua piramida dan gugus-gugus makam. Naskah-naskah Ratapan selanjutnya menyiratkan kenyataan ini, dan menjelang permulaan Zaman Kerajaan Pertengahan mumi-mumi mulai dihias dengan mantera-mantera sihir yang sebelumnya dikhususkan bagi piramida raja-raja Wangsa Keenam.
Menjelang 2160 SM sebuah rentetan baru para firaun dari (Wangsa Kesembilan dan Wangsa Kesepuluh) mempersatukan dan memerintah atas Mesir Hilir dari ibukota mereka di Herakleopolis Agung. Sebuah wangsa tandingan (Wangsa Kesebelas) yang berpangkalan di Thebes mempersatukan kembali Mesir Hulu, dan tanpa dapat dicegah lagi timbullah pertentangan di antara dua wangsa yang saling bersaing itu. Sekitar 2055 SM bala tentara Thebes mengalahkan para firaun Herakleopolis dan mempersatukan kembali Dua Negeri. Pemerintahan firaun pertamanya, Mentuhotep II, menandai permulaan Zaman Kerajaan Pertengahan.
Zaman Kerajaan Pertengahan
Zaman Kerajaan Pertengahan adalah kurun waktu dalam sejarah Mesir Kuno yang merentang sejak tahun ke-39 pemerintahan Mentuhotep II dari Wangsa Kesebelas sampai pada akhir masa kekuasaan Wangsa Ketiga Belas, kira-kira antara 2030 SM dan 1650 SM.
Zaman ini terdiri atas dua tahap. Yang pertama adalah masa kekuasaan Wangsa Kesebelas yang memerintah di Thebes dan yang kedua adalah masa kekuasaan Wangsa Kedua Belas yang beribukota di el-Lisht. Masa kekuasaan dua wangsa ini mula-mula dianggap sebagai keseluruhan dari rentang waktu zaman kerajaan persatuan ini, namun beberapa sejarawan kini[16] beranggapan bahwa paruh pertama dari Wangsa Ketiga Belas tergolong pula dalam Zaman Kerajaan Pertengahan.
Firaun-firaun terawal dari Zaman Kerajaan Pertengahan menisbatkan asal-usulnya pada dua nomark dari Thebes, yakni Intef Agung, putera Iku yang mengabdi pada seorang firaun Herakleopolis dari Wangsa Kesepuluh, dan penggantinya Mentuhotep I. Firaun yang menggantikan Mentuhotep I, Intef I adalah penguasa Thebes pertama yang menggelari dirinya dengan Nama Horus, dan oleh karena itu menyatakan diri berhak atas tahta Mesir. Ia dianggap sebagai firaun pertama dari Wangsa Kesebelas. Pernyataan diri itu mengakibatkan rakyat Thebes bertikai dengan para penguasa dari Dinasti Kesepuluh. Intef I dan saudaranya, Intef II, beberapa kali melancarkan peperangan ke wilayah utara dan pada akhirnya merebut nome penting, Abydos.
Peperangan berlanjut antara Wangsa Thebes dan Wangsa Herakleopolis sampai pada tahun ke-39 pemerintahan Nebhetepra Mentuhotep II, pengganti kedua dari Intef II. Pada titik inilah kubu Herakleopolis ditaklukkan dan Wangsa Thebes membentangkan jangkauan kekuasaannya ke segenap penjuru Mesir. Mentuhotep II diketahui telah memerintahkan bala tentaranya menyerbu Nubia di wilayah selatan yang telah memerdekakan diri pada Zaman Antara Pertama. Terdapat pula bukti-bukti pengerahan bala tentara untuk memerangi Palestina. Raja ini menata kembali negeri Mesir dan melantik seorang wazir untuk mengepalai administrasi sipil negeri itu.
Mentuhotep II digantikan oleh puteranya, Mentuhotep III, yang mengatur sebuah ekspedisi ke negeri Punt. Pada masa pemerintahannya dihasilkan beberapa karya ukir Mesir yang paling halus. Mentuhotep III digantikan oleh Mentuhotep IV, firaun terakhir wangsa ini. Meskipun namanya tidak tercantum dalam banyak daftar firaun, keberadaan masa pemerintahannya dapat dibuktikan melalui sejumlah prasasti di Wadi Hammamat yang berisi riwayat ekspedisi ke pesisir Laut Merah dan ekspedisi penambangan batu untuk pembuatan monumen-monumen kerajaan. Pemimpin ekspedisi ini adalah wazirnya, Amenemhet, yang oleh banyak pihak diduga kelak menjadi Firaun Amenemhet I, raja pertama Wangsa Kedua Belas. Oleh karena itu beberapa egiptolog menduga Amenemhet merebut tahta ataupun mengambil alih kekuasaan setelah Mentuhotep IV mangkat tanpa keturunan.
Amenemhet I mendirikan sebuah ibukota baru bagi Mesir dengan nama Itjtawy yang diduga tak jauh letaknya dari el-Lisht sekarang ini, walaupun Manetho mencatat bahwa Thebes tetap menjadi ibukota Mesir. Amenemhet meredakan kekacauan internal dengan ketegasan, membatasi hak-hak para nomark, dan diketahui pernah melancarkan peperangan setidaknya satu kali ke Nubia. Puteranya Senusret I melanjutkan kebijakan ayahnya untuk menguasai kembali Nubia serta wilayah-wilayah yang memerdekakan diri dari Mesir pada Zaman Antara Pertama. Bangsa Libya ditaklukan pada tahun ke-45 masa pemerintahannya, dan kemakmuran serta keamanan Mesir kembali pulih seperti sediakala.
Senusret III (1878–1839 SM) adalah seorang raja yang gemar berperang. Ia memimpin bala tentara Mesir menerobos ke pelosok Nubia, dan mendirikan benteng-benteng besar di seluruh wilayah Mesir sebagai penanda garis-garis perbatasan resmi yang memisahkan wilayah Mesir dari wilayah yang belum ditaklukkan. Amenemhat III (1860–1815 SM) dianggap sebagai firaun besar terakhir dari Zaman Kerajaan Pertengahan.
Populasi Mesir mulai melebihi tingkat produksi pangan pada masa pemerintahan Amenemhat III, yang oleh karena itu memerintahkan eksploitasi atas Fayyum dan peningkatan kegiatan penambangan di gurun Sinai. Ia mengundang pula orang-orang Asia untuk bermukim di Mesir agar dapat dipekerjakan pada pembangunan monumen-monumen. Menjelang akhir masa pemerintahannya, banjir tahunan Sungai Nil mulai terhenti yang berdampak pada penyusutan sumber daya yang dimiliki pemerintah. Pada masa kekuasaan Wangsa Ketiga Belas dan Wangsa Keempat Belas Mesir perlahan-lahan mengalami kemerosotan, sehingga pada Zaman Antara Kedua beberapa pemukim Asia yang didatangkan Amenemhet III pun mampu menguasai Mesir seperti bangsa Hyksos.
Zaman Antara Kedua dan Kekuasaan Bangsa Hyksos
Periode Antara Kedua merupakan kurun waktu dalam sejarah Mesir Kuno di antara akhir Zaman Kerajaan Pertengahan dan awal Zaman Kerajaan Baru tatkala negeri itu sekali lagi tercerai-berai. Zaman ini dikenal sebagai zaman ketika bangsa Hyksos (salah satu suku di Asia) menunjukkan keberadaannya di Mesir. Tahun-tahun pemerintahan raja-raja bangsa Hyksos inilah yang merupakan masa kekuasaan Wangsa Kelima Belas.
Wangsa Ketiga Belas terbukti tidak mampu mempertahankan keutuhan wilayah Mesir yang begitu luas, sehingga sebuah keluarga penguasa provinsi berkebangsaan Kanaan yang berlokasi di kawasan rawa-rawa di sebelah timur muara di Avaris melepaskan diri dari pemerintah pusat serta membentuk Wangsa Keempat Belas. Besar kemungkinan perpecahan wilayah Mesir terjadi tak lama sesudah berkuasanya raja-raja perkasa dari Wangsa Ketiga Belas, Neferhotep I dan Sobekhotep IV sekitar 1720 SM.[17][18] Jika Wangsa Keempat Belas berkebangsaan Kanaan, maka bangsa Hyksos pertama kali muncul dalam sejarah Mesir sekitar 1650 SM tatkala mereka mengambil alih kendali atas kota Avaris dan bergegas ke selatan menuju Memphis, dan dengan demikian mengakhiri masa kekuasaan Wangsa Ketiga Belas dan Wangsa Keempat Belas. Rangkuman riwayat-riwayat tradisional mengenai "invasi" bangsa Hyksos atas Mesir terdapat dalam Aegyptiaca karya Manetho, yang menulis bahwa pada masa itu bangsa Hyksos menguasai Mesir di bawah pimpinan Salitis, pendiri Wangsa Kelima Belas. Meskipun demikian, sekarang ini telah muncul teori baru yang mendapat banyak dukungan bahwa sesungguhnya yang terjadi hanyalah migrasi sederhana yang melibatkan sedikit atau tanpa kekerasan sama sekali.[19] Menurut teori ini, para penguasa Mesir dari Wangsa Ketiga Belas dan Wangsa Keempat Belas tidak sanggup membendung masuknya para pendatang dari kawasan Levant setelah meninggalkan kerajaan-kerajaan mereka yang tengah dibelit berbagai permasalahan internal yang kemungkinan besar juga meliputi bencana kelaparan dan wabah penyakit.[20] Baik dengan kekuatan senjata maupun secara damai, melemahnya kerajaan-kerajaan yang dikuasai Wangsa Ketiga Belas dan Wangsa Keempat Belas sudah cukup untuk menjelaskan mengapa kedua wangsa itu lekas jatuh seiring bangkitnya kekuasaan bangsa Hyksos.
Para penguasa dan petinggi yang berkebangsaan Hyksos berkuasa di daerah muara timur Sungai Nil bersama-sama dengan para bawahan mereka yang berkebangsaan Mesir. Para penguasa Hyksos dari Wangsa Kelima Belas menetapkan Memphis sebagai ibukota dan pusat pemerintahan mereka, serta menjadikan Avaris sebagai tempat tinggal mereka selama musim panas. Kerajaan bangsa Hyksos ini berpusat di bagian timur Delta Nil dan di Mesir tengah tetapi dengan gigih mereka menerobos ke selatan untuk merebut kendali atas wilayah tengah dan wilayah hulu negeri Mesir. Kira-kira bersamaan waktunya dengan kejatuhan Memphis ke tangan bangsa Hyksos, keluarga Mesir yang menguasai Thebes menyatakan kemerdekaannya dan menjadikan dirinya sebagai Wangsa Keenam Belas. Ada pula keluarga penguasa lain di Mesir tengah yang melakukan hal yang sama, yakni memanfaatkan kekosongan pemerintahan akibat keruntuhan Wangsa Ketiga Belas untuk membentuk wangsa baru. Wangsa yang berumur pendek ini dikenal sebagai Wangsa Abydos.[21]
Sekitar 1600 SM bangsa Hyksos sudah berhasil bergerak ke selatan memasuki Mesir tengah, menyingkirkan Wangsa Abydos, dan secara langsung menentang Wangsa Keenam Belas. Wangsa ini terbukti tidak mampu bertahan dan Thebes pun jatuh ke tangan bangsa Hyksos untuk suatu masa yang singkat sekitar 1580 SM.[21] Bangsa Hyksos bergegas mundur ke utara sehingga Thebes kembali menikmati sedikit kemerdekaan di bawah kepemimpinan Wangsa Ketujuh Belas. Semenjak itu, tampaknya hubungan-hubungan bangsa Hyksos dengan kawasan selatan sebagian besar bersifat komersial, meskipun tampaknya para penguasa Thebes mengakui kekuasaan raja-raja Hyksos dan sangat mungkin pula mempersembahkan upeti kepada mereka selama beberapa waktu.
Wangsa Ketujuh Belas memperjuangkan kemerdekaan Mesir dan kelak memimpin perang pembebasan yang menghalau bangsa Hyksos kembali ke Asia. Dua raja terakhir dari wangsa ini adalah Tao II, Sang Pemberani dan Kamose. Ahmose I merampungkan penaklukan serta pengusiran bangsa Hyksos dari daerah muara Sungai Nil, memulihkan kekuasaan Thebes atas seluruh tanah Mesir, dan berhasil menegakkan kembali kekuasaan Mesir atas wilayah-wilayah bekas jajahannya di Nubia dan Kanaan.[22] Masa pemerintahannya menandai permulaan masa kekuasaan Wangsa Kedelapan Belas dan permulaan Zaman Kerajaan Baru.
Zaman Kerajaan Baru
Besar kemungkinan sebagai akibat dari penjajahan bangsa Hyksos selama Periode Menengah Kedua, pada Zaman Kerajaan Baru bangsa Mesir berupaya membangun penghalang di antara Levant dan Mesir, serta berhasil memperluas wilayah kekuasaannya ke selatan sampai jauh ke Nubia dan menguasai wilayah-wilayah luas di Timur Dekat. Bala tentara Mesir bertempur melawan bala tentara Het untuk merebut kendali atas wilayah Suriah sekarang ini.
Wangsa Kedelapan Belas
Pada zaman inilah Mesir mengalami kemakmuran dan kekuasaaan yang besar. Beberapa firaun yang paling penting dan ternama memerintah pada zaman ini. Hatshepsut adalah salah seorang di antara firaun-firaun tersebut. Hatshepsut sendiri merupakan suatu keluarbiasaan karena ia adalah seorang firaun perempuan, suatu peristiwa langka dalam sejarah Mesir. Ia adalah seorang pemimpin yang penuh ambisi dan cakap, yang menambah jangkauan perniagaan Mesir sampai ke Somalia di selatan dan Mediterania di utara. Ia memerintah selama dua puluh tahun dengan jalan memadukan propaganda luas tersebar dan kepiawaian dalam berpolitik. Firaun sepemerintahan sekaligus penggantinya Thutmose III (" Napoleon dari Mesir") memperbesar angkatan perang Mesir dan memanfaatkannya dengan hasil yang besar. Menjelang akhir masa pemerintahannya ia memerintahkan penghapusan nama Hatshepsut dari monumen-monumen yang dibangun firaun perempuan itu. Ia berperang melawan orang-orang Asia dan merupakan Firaun Mesir yang paling sukses. Amenhotep III mendirikan kuil Karnak secara besar-besaran, termasuk Kuil Luxor, yang terdiri atas dua Pilon, sebuah selasar bertiang dua baris di belakang pintu masuk kuil baru itu, dan sebuah kuil baru untuk Dewi Maat.
Wangsa Kesembilan Belas
Ramesses I memerintah selama dua tahun dan digantikan oleh puteranya, Seti I. Seti I melanjutkan upaya Horemheb untuk memulihkan kekuatan, kekuasaan, dan kehormatan Mesir. Ia pula yang berjasa atas pendirian kumpulan kuil di Abydos. Boleh dikata kekuatan Mesir Kuno sebagai sebuah negara-bangsa mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Ramesses II ("yang Agung") dari Wangsa Kesembilan Belas. Ia memerintah selama 67 tahun sejak berusia 18 tahun, melanjutkan usaha pendahulunya, dan mendirikan lebih banyak lagi kuil megah, seperti kuil Abu Simbel di perbatasan dengan Nubia. Ia mencoba merebut kembali wilayah-wilayah di Levant yang pernah dikuasai Wangsa Kedelapan Belas. Perang-perang penaklukan kembali yang dilancarkannya mencapai puncaknya dalam Pertempuran Kadesh pada 1274 SM, tatkala ia memimpin bala tentara Mesir menghadapi pasukan Raja Het Muwatalli II. Catatan riwayat pertempuran ini kelak terkenal sebagai catatan pertama dalam sejarah mengenai serangan militer. Ramesses II termasyhur karena menjadi ayah dari banyak anak yang dilahirkan isteri-isteri dan selir-selirnya; makam yang ia bangun bagi putera-puteranya (banyak dari anak-anaknya yang meninggal dunia mendahuluinya) di Lembah Raja-Raja merupakan kompleks pemakaman terbesar di Mesir.
Para penggantinya meneruskan serangan-serangan militer, meskipun kalangan istana yang semakin resah membuat segala macam urusan bertambah rumit. Ramesses II digantikan oleh puteranya Merneptah yang kemudian digantikan putera Merneptah, Seti II. Kedudukan Seti II tampaknya dipermasalahkan oleh saudara tirinya Amenmesse, yang mungkin saja pernah memerintah untuk sementara waktu dari Thebes. Begitu Seti II mangkat, puteranya Siptah, yang mungkin pernah dijangkiti polio semasa hidupnya, ditetapkan sebagai pewaris tahta oleh Mangkubumi Bay, wazir dari kalangan rakyat jelata berkebangsaan Asia yang memegang kendali di balik layar. Setelah Siptah yang berumur pendek itu mangkat, tahta diduduki oleh Ibu Suri Twosret, janda Seti II (dan besar kemungkinan adalah saudari Amenmesse). Pada zaman anarki di akhir masa pemerintahan Twosret yang singkat itu, pribumi Mesir bangkit menentang kendali bangsa asing yang berakibat mangkubumi dihukum mati dan Setnakhte didudukkan pada tahta sebagai pendiri Wangsa Kedua Puluh.
Wangsa Kedua Puluh
Menurut anggapan banyak pihak, firaun "agung" terakhir dari zaman Kerajaan Baru adalah Ramesses III, putera Setnakhte, yang memerintah tiga dasawarsa sesudah masa pemerintahan Ramesses II. Pada tahun ke-8 masa pemerintahannya, Orang Laut menginvasi Mesir melalui jalan darat dan laut. Ramesses III mengalahkan mereka dalam dua pertempuran besar di darat dan laut. Ia menyatakan telah menjadikan mereka bangsa taklukan serta menempatkan mereka di Kanaan Selatan, meskipun ada bukti bahwa mereka memasuki Kanaan dengan kekuatan senjata. Kehadiran mereka di Kanaan boleh jadi turut berkontribusi atas pembentukan negara-negara baru di kawasan ini seperti Filistia seusai runtuhnya Kekaisaran Mesir. Ramesses III harus pula melawan invasi suku-suku Libya dalam dua kali peperangan di kawasan barat muara Sungai Nil, yakni pada tahun ke-6 dan tahun ke-11 masa pemerintahannya.[23]
Besarnya pembiayaan pertempuran-pertempuran ini terus menguras perbendaharaan Mesir dan ikut menjadi penyebab kemerosotan perlahan Kekaisaran Mesir di Asia. Gentingnya situasi terbuktikan oleh kenyataan bahwa peristiwa pemogokan buruh yang pertama kali tercatat dalam sejarah terjadi pada tahun ke-29 masa pemerintahan Ramesses III, di saat-saat makanan harus dijatah dan keperluan pokok para undagi elit pembangun makam kerajaan beserta para tukang dan pandai di desa Deir el Medina tidak dapat dipasok.[24] Udara dipenuhi sesuatu yang menghalangi sinar matahari mencapai permukaan tanah sekaligus membatasi pertumbuhan pohon secara global selama hampir dua dasawarsa penuh sampai 1140 SM.[25] Diduga penyebabnya adalah erupsi kali ketiga dari gunung api Hekla di Islandia, namun penetapan waktu ini masih diperdebatkan.
Segera setelah Ramesses III mangkat, timbul pertikaian berlarut-larut di antara para ahli warisnya. Tiga dari putera-puteranya kelak berturut-turut menduduki tahta, yakni Ramesses IV, Ramesses VI, dan Ramesses VIII. Akan tetapi, pada zaman ini pula Mesir mulai mengalami serangkaian bencana kemarau, tingkat ketinggian banjir Sungai Nil yang di bawah normal, bencana kelaparan, kerusuhan, dan korupsi pejabat negara. Kekuasaan firaun terakhir, Ramesses XI, sedemikian melemahnya sampai-sampai di daerah selatan para Imam Besar Dewa Amun di Thebes bertindak selaku pemimpin de facto Mesir Hulu, sementara Smendes sudah memegang kendali penuh atas Mesir Hilir bahkan sebelum Ramesses XI mangkat. Smendes kelak mendirikan Wangsa Kedua Puluh Satu di Tanis.
Zaman Antara Ketiga
Setelah Ramesses XI mangkat, penggantinya Smendes memerintah dari kota Tanis di utara, sementara Imam Besar Dewa Amun di Thebes secara efektif berkuasa di selatan meskipun masih mengakui Smendes sebagai Raja.[26] Pada kenyataannya, terbelahnya kekuasaan ini tidaklah seberapa penting karena baik imam besar maupun firaun berasal dari satu keluarga yang sama. Piankh, memegang kendali atas Mesir Hulu, memerintah dari Thebes, dengan batas utara daerah kekuasaan yang berakhir di Al-Hibah. (Imam Besar Herihor meninggal dunia mendahului Ramesses XI, namun semasa hidupnya ia adalah seorang pemimpin yang berkuasa penuh dalam segala hal kecuali dalam hal kemandirian, menjelang akhir masa pemerintahan raja.) Negeri Mesir sekali lagi terbagi dua dengan para imam yang memerintah dari Thebes dan para firaun yang memerintah dari Tanis. Tidak ada yang luar biasa dari masa pemerintahan mereka, dan mereka pun dilengserkan tanpa banyak gejolak oleh para raja berkebangsaan Libya dari Wangsa Kedua Puluh Dua.
Hubungan Mesir dengan Libya sudah lama terjalin, dan raja pertama wangsa baru ini, Shoshenq I, adalah orang Libya dari puak Meshwesh, yang mengabdi sebagai panglima bala tentara Mesir pada masa pemerintahan pemimpin terakhir dari Wangsa Kedua Puluh Satu, Psusennes II. Ia mempersatukan Mesir, mengendalikan para rohaniwan Dewa Amun dengan cara menjadikan puteranya sendiri sebagai pemangku jabatan Imam Besar Dewa Amun yang sebelumnya diwariskan turun-temurun. Sedikit dan tidak lengkapnya keterangan yang terdapat dalam peninggalan-peninggalan tertulis dari zaman ini menimbulkan dugaan bahwa zaman ini dipenuhi pergolakan. Tampaknya ada banyak kelompok pembangkang yang akhirnya menciptakan Wangsa Kedua Puluh Tiga. Wangsa baru ini memerintah pada waktu yang bersamaan dengan masa pemerintahan raja-raja terakhir Wangsa Kedua Puluh Dua. Mesir dipersatukan kembali oleh Wangsa Kedua Puluh Dua yang didirikan oleh Shoshenq I pada 945 SM (atau 943 SM), keturunan pendatang Meshwesh dari Libya Kuno. Penyatuan kembali Mesir menjadikan negeri ini tenteram selama satu abad. Setelah berakhirnya masa pemerintahan Osorkon II, Mesir kembali terbagi dua dengan Shoshenq III dari Wangsa Kedua Puluh Dua memegang kendali atas Mesir Hilir sekitar 818 SM sementara Takelot II dan puteranya (kelak menjadi Osorkon III) memerintah kawasan tengah Mesir dan Mesir Hulu.
Setelah Mesir undur dari Nubia pada akhir Zaman Kerajaan Baru, sebuah wangsa pribumi mengambil alih kendali atas Nubia. Di bawah kekuasaan Raja Piye, orang Nubia pendiri Wangsa Kedua Puluh Lima, bangsa Nubia menyerbu ke utara dengan maksud menghancurkan lawan-lawan Libya mereka yang memerintah di daerah muara. Piye berhasil merebut kekuasaan sejauh Memphis. Lawannya Tefnakht akhirnya bertekuk lutut namun diizinkan tetap berkuasa di Mesir Hilir dan mendirikan Wangsa Kedua Puluh Empat yang berumur pendek di Sais. Kerajaan bangsa Kusy di selatan memanfaatkan keterpecahan Mesir dan kekacauan politik dan mengalahkan gabungan kekuatan beberapa pemimpin Mesir seperti Peftjaubast, Osorkon IV dari Tanis, dan Tefnakht dari Sais. Piye mendirikan Wangsa Kedua Puluh Lima yang berkebangsaan Libya dan menjadikan para pemimpin taklukan sebagai kepala-kepala pemerintahan daerah. Ia pertama-tama digantikan oleh saudaranya, Shabaka, dan kemudian oleh kedua puteranya Shebitku dan Taharqa. Taharqa mempersatukan kembali "Dua Negeri " di utara dan selatan Mesir serta menciptakan suatu kekaisaran yang sama besarnya dengan keadaannya dulu pada zaman Kerajaan Baru. Wangsa Kedua Puluh Lima menghadirkan suatu zaman pencerahan bagi Mesir Kuno.[27] Agama, seni rupa, dan rancang bangun dipulihkan kembali kejayaannya seperti sediakala yakni sebagaimana adanya pada zaman Kerajaan Lama, Kerajaan Pertengahan, dan Kerajaan Baru. Para firaun, seperti Taharqa, membangun atau memugar kuil-kuil dan monumen-monumen di seantero lembah Sungai Nil, termasuk di Memphis, Karnak, Kawa, Jebel Barkal, dan lain-lain.[28] Pada masa kekuasaan Wangsa Kedua Puluh Lima inilah, untuk pertama kalinya sejak zaman Kerajaan Pertengahan, Mesir menyaksikan pembangunan piramida-piramida (sebagian besar terdapat di wilayah Sudan sekarang ini) secara besar-besaran.[29][30][31]
Wibawa Mesir di mata bangsa-bangsa lain merosot tajam pada zaman ini. Sekutu-sekutu asing Mesir telah jatuh ke dalam lingkup pengaruh Asyur dan sejak sekitar 700 SM pertanyaannya bukan lagi “bagaimana jika”, melainkan “bilamana” kedua negeri itu saling berperang. Masa pemerintahan Taharqa dan penggantinya, Tantamani, dipenuhi pententangan terus-menerus dengan bangsa Asyur yang banyak kali dimenangi pihak Mesir, namun pada akhirnya Thebes diduduki dan Memphis dijarah rayah oleh bangsa Asyur.
Zaman Akhir
Sejak 671 SM sampai seterusnya, Memphis dan kawasan muara menjadi sasaran penyerbuan-penyerbuan bangsa Asyur yang akhirnya menghalau bangsa Nubia dan menyerahkan kekuasaan kepada raja-raja sekutu mereka dari Wangsa Kedua Puluh Enam. Psamtik I adalah orang pertama yang diakui sebagai raja atas seluruh tanah Mesir, dan ia berhasil menjadikan Mesir semakin kokoh selama 54 tahun memerintah dari ibukota baru di Sais. Empat raja Sais berturut-turut berhasil menuntun Mesir dalam damai mulai 610–526 SM, dengan memanfaatkan tenaga prajurit-prajurit upahan dari Yunani untuk menghalangi bangsa Babilonia memasuki wilayah Mesir.
Menjelang penghujung zaman ini tumbuh suatu kekuatan baru di Timur Dekat yaktu Persia. Firaun Psamtik III harus menghadapi kekuatan Persia di Pelusium; ia dikalahkan, dan meskipun sempat melarikan diri ke Memphis, dalam waktu yang singkat ia tertangkap dan kemudian dihukum mati.
Ketuanan Persia
Mesir di bawah kekuasaan Akhemeniyah dapat dibagi menjadi tiga zaman. Yang pertama adalah zaman pendudukan Persia kali pertama, tatkala Mesir dijadikan salah satu daerah pemerintahan dalam Kekaisaran Persia. Yang kedua adalah masa jeda ketika Mesir menikmati kemerdekaan untuk sementara waktu. Yang ketiga adalah zaman pendudukan Persia kali kedua sekaligus yang terakhir.
Raja Persia Kambisus menggelari dirinya dengan gelar resmi firaun, Mesuti-Re ("Re telah melahirkan"), dan mempersembahkan kurban kepada dewa-dewa Mesir. Ia mendirikan Wangsa Kedua Puluh Tujuh. Mesir kemudian digabungkan dengan Siprus dan Fenisia menjadi daerah pemerintahan keenam dalam Kekaisaran Akhemeniyah.
Pengganti Kambisus, Darius I Agung dan Ahasyweros menerapkan kebijakan yang sama, berkunjung ke Mesir, dan menghalau sebuah serangan dari orang-orang Athena. Ada kemungkinan bahwa Artahsasta I dan Darius II juga berkunjung ke Mesir, walaupun tidak disebut dalam sumber-sumber yang digunakan dalam artikel ini, dan tidak pula mampu mencegah merebaknya rasa tidak senang di kalangan rakyat Mesir.
Selama perang suksesi seusai masa pemerintahan Darius II, yang pecah pada 404 SM, bangsa Mesir memberontak di bawah pimpinan Amyrtaeus dan berhasil merebut kembali kemerdekaannya. Satu-satunya pemimpin dari Wangsa Kedua Puluh Delapan ini mangkat pada 399 SM, dan kekuasaan pun beralih ke tangan Wangsa Kedua Puluh Sembilan. Wangsa Ketiga Puluh didirikan pada 380 SM dan bertahan sampai 343 SM. Nektanebo II adalah raja pribumi terakhir yang memerintah atas tanah Mesir.
Artahsasta III (358–338 SM) menaklukkan kembali lembah Sungai Nil untuk jangka waktu yang singkat (343–332 SM). Pada 332 SM Mazakes menyerahkan Mesir kepada Aleksander Agung tanpa perang. Kekaisaran Akhemenia telah berakhir, dan untuk sementara waktu Mesir menjadi daerah pemerintahan yang dikepalai seorang satrap dalam kekaisaran Aleksander. Kelak lembah Sungai Nil diperintah oleh Wangsa Ptolemaios dan kemudian oleh bangsa Romawi.
Wangsa Ptolemaios
Pada 332 SM Aleksander III dari Makedonia menaklukkan Mesir tanpa perlawanan berarti dari pihak Persia. Ia disambut rakyat Mesir sebagai Tokoh Pembebas. Ia mengunjungi Memphis, dan berziarah ke kediaman juru tenung Amun di Oasis Siwa. Juru tenung itu menyatakan bahwa Aleksander adalah putera Amun. Ia mampu mengambil hati rakyat Mesir karena sikap hormat yang ditunjukkannya pada agama mereka, tetapi ia menempatkan orang-orang Yunani pada semua jabatan tinggi di negeri itu, dan mendirikan sebuah kota baru yang bercorak Yunani, Aleksandria, untuk dijadikan ibukota Mesir yang baru. Kemakmuran Mesir dimanfaatkan untuk mendanai rencana penaklukan Aleksander atas seluruh Kekaisaran Persia. Pada permulaan 331 SM ia siap untuk bertolak, dan kemudian memimpin bala tentaranya menuju Fenisia. Ia meninggalkan Kleomenes sebagai nomark yang berkuasa selama ia berada di luar Mesir. Aleksander tidak pernah kembali lagi ke Mesir.
Setelah Aleksander mangkat di Babilon pada 323 SM, timbul krisis suksesi di antara para panglimanya. Mula-mula Perdikkas memerintah Kekaisaran Makedonia selaku wali dari saudara tiri Aleksander Arridaios, yang kelak menjadi Filipus III dari Makedonia, dan kemudian selaku wali dari Philip III dan putera Aleksander yang masih bayi Aleksander IV dari Makedonia, yang belum lahir tatkala ayahnya mangkat. Perdikkas menunjuk Ptolemaios, salah seorang pengiring terdekat Aleksander, menjadi satrap di Mesir. Ptolemaios memerintah Mesir sejak 323 SM atas nama raja-bersama Filipus III dan Aleksander IV. Akan tetapi begitu kekaisaran yang dibangun Aleksander Agung mulai terpecah-belah, Ptolemaios segera menjadikan dirinya sebagai penguasa mesir yang mandiri. Ptolemaios berhasil mempertahankan Mesir dari invasi Perdikkas pada 321 SM, dan memperkokoh kedudukannya di Mesir dan sekitarnya selama Perang Diadokhoi (322–301 SM). Pada 305 SM, Ptolemaios mulai mempergunakan gelar raja-raja. Sebagai Ptolemaios I Soter ("Sang Juru Selamat"), ia mendirikan Wangsa Ptolemaios yang berkuasa atas Mesir selama hampir 300 tahun.
Anak-cucu Ptolemaios di kemudian hari mengikuti tradisi Mesir dengan menikahi saudara kandung mereka, memerintahkan gambar diri mereka ditatahkan pada monumen-monumen umum dalam gaya seni dan busana Mesir, serta menganut keyakinan bangsa Mesir.[32][33] Peradaban hellenistik terus tumbuh subur di Mesir bahkan sesudah ditaklukkan oleh kaum Muslim. Wangsa Ptolemaios harus menghadapi pemberontakan-pemberontakan pribumi Mesir dan terlibat dalam peperangan melawan bangsa asing maupun perang saudara yang mengakibatkan kemerosotan dan aneksasi kerajaan itu oleh bangsa Romawi.
Referensi
- ^ Barich, B. E. (1998) People, Water and Grain: The Beginnings of Domestication in the Sahara and the Nile Valley. Roma: L' Erma di Bretschneider (Studia archaeologica 98).
- ^ Barich et al. (1984) Ecological and Cultural Relevance of the Recent New Radiocabon dates from Libyan Sahara. In: L. Krzyzaniak and M. Kobusiewicz [eds.], Origin and Early Development of Food-Producing Cultures in Northeastern Africa, Poznan, Poznan Archaeological Museum, pp. 411–17.
- ^ Carl Roebuck, The World of Ancient Times (Charles Schribner's Sons Publishing: New York, 1966) p. 51.
- ^ Redford, Donald B. Egypt, Canaan, and Israel in Ancient Times. (Princeton: University Press, 1992), p. 6.
- ^ a b Carl Roebuck, The World of Ancient Times, p. 52.
- ^ Adkins, L. and Adkins, R. (2001) The Little Book of Egyptian Hieroglyphics, p155. London: Hodder and Stoughton. ISBN .
- ^ Gardiner (1964), p.388
- ^ a b Gardiner (1964), p.389
- ^ Grimal (1988) p.24
- ^ a b Gardiner (1964), 390.
- ^ a b Grimal (1988) p.28
- ^ a b c d e f Redford, Donald B. Egypt, Canaan, and Israel in Ancient Times. (Princeton: University Press, 1992), p. 16.
- ^ a b Gardiner (1694), p.391
- ^ Redford, Donald B. Egypt, Canaan, and Israel in Ancient Times. (Princeton: University Press, 1992), p. 17.
- ^ The Fall of the Old Kingdom by Fekri Hassan
- ^ Callender, Gae. The Middle Kingdom Renasissance from The Oxford History of Ancient Egypt, Oxford, 2000
- ^ Janine Bourriau, The Second Intermediate Period (c. 1650–1550 BC) in "The Oxford History of Ancient Egypt," ed: Ian Shaw, (Oxford University Press: 2002), paperback, pp.178–179 & 181
- ^ Bulletin of the American Schools of Oriental Research (BASOR) 315, 1999, pp.47–73.
- ^ Booth, Charlotte. The Hyksos Period in Egypt. p.10. Shire Egyptology. 2005. ISBN 0-7478-0638-1
- ^ Manfred Bietak: Egypt and Canaan During the Middle Bronze Age, BASOR 281 (1991), pp. 21–72 see in particular p. 38
- ^ a b Kim Ryholt: The Political Situation in Egypt during the Second Intermediate Period, Museum Tusculanum Press, (1997)
- ^ Grimal, Nicolas. A History of Ancient Egypt p. 194. Librairie Arthéme Fayard, 1988.
- ^ Nicolas Grimal, A History of Ancient Egypt, Blackwell Books, 1992. p.271
- ^ William F. abbey , The Strikes in Ramses III's Twenty-Ninth Year, JNES 10, No. 3 (July 1951), pp. 137–145
- ^ Frank J. Yurco, "End of the Late Bronze Age and Other Crisis Periods: A Volcanic Cause" in Gold of Praise: Studies on Ancient Egypt in Honor of Edward F. Wente, ed: Emily Teeter & John Larson, (SAOC 58) 1999, pp.456–458
- ^ Cerny, p.645
- ^ Diop, Cheikh Anta (1974). The African Origin of Civilization. Chicago, Illinois: Lawrence Hill Books. hlm. 219–221. ISBN 1-55652-072-7.
- ^ Bonnet, Charles (2006). The Nubian Pharaohs. New York: The American University in Cairo Press. hlm. 142–154. ISBN 978-977-416-010-3.
- ^ Mokhtar, G. (1990). General History of Africa. California, USA: University of California Press. hlm. 161–163. ISBN 0-520-06697-9.
- ^ Emberling, Geoff (2011). Nubia: Ancient Kingdoms of Africa. New York: Institute for the Study of the Ancient World. hlm. 9–11. ISBN 978-0-615-48102-9.
- ^ Silverman, David (1997). Ancient Egypt. New York: Oxford University Press. hlm. 36–37. ISBN 0-19-521270-3.
- ^ Bowman (1996) pp25-26
- ^ Stanwick (2003)