Burhanuddin Ulakan
Syekh Burhanuddin Ulakan | |
---|---|
Nama | Burhanuddin |
Nisbah | Ulakan Pariaman |
Keturunan | Syekh Abdullah Faqih |
Burhanuddin Ulakan Pariaman atau dikenal dengan sebutan Syekh Burhanuddin Ulakan (lahir tahun 1646 di Sintuk, Sintuk Toboh Gadang, Kabupaten Padang Pariaman - meninggal 20 Juni 1704 pada umur 58 tahun) adalah ulama yang berpengaruh di daerah Minangkabau.[1][2] Ia merupakan ulama sufi (mursyid) pengamal Tarekat Shatariyah di daerah Minangkabau.[1][3]
Meski banyak indikasi yang menunjukan bahwa Syekh Burhanuddin bukan ulama yang pertama yang memperkenalkan Islam di Minangkabau, tetapi ia nampaknya merupakan ulama penting pertama yang mendirikan surau sebagai pusat keagamaan.[4]
Kehidupan awal dan pendidikan
Syeikh Burhanuddin lahir dengan nama Pono.[1] Ia lahir di Ulakan (Pariaman), sebuah kecamatan di Kabupaten Padang Pariaman.[3] Masa kecilnya belum banyak mengenal ajaran Islam, dikarenakan orang tua serta lingkungan masyarakatnya belum banyak mengenal ajaran tersebut.[1] Ketika kecil, ia dan ayahnya masih memeluk agama Budha.[3] Namun kemudian, atas ajakan dan dakwah seorang pedagang Gujarat yang saat itu menyebarkan agama Islam di Pekan Batang Bengkawas (sekarang Pekan Tuo), Syeikh Burhanuddin dan ayahnya kemudian meninggalkan agama Budha dan masuk agama Islam.[3]
Menginjak usia dewasa, Syeikh Burhanuddin mulai merantau dan meninggalkan tempat orang tuanya.[1] Syekh Burhanuddin pernah belajar di Aceh dan berguru kepada Syekh Abdur Rauf as-Singkili, seorang Mufti Kerajaan Aceh yang berpegaruh, yang pernah menjadi murid dan penganut setia ajaran Syekh Ahmad al-Qusyasyi dari Madinah.[1][5] Oleh Syekh Ahmad keduanya diberi wewenang untuk menyebarkan agama Islam di daerahnya masing-masing.[5]
Selama sepuluh tahun, Syeikh Burhanuddin banyak belajar ilmu-ilmu keislaman maupun tarekat dari gurunya, Syekh Abdur Rauf as-Singkili.[1] Ia mempelajari ilmu-ilmu Bahasa Arab, tafsir, hadis, fikih, tauhid, akhlak, tasawuf, aqidah, syari'ah dan masalah-masalah yang menyangkut tarekat, hakikat dan makrifat.[1]
Mendirikan pesantren dan mengembangkan tarekat Shatariyah
Setelah beberapa tahun menuntut ilmu di Aceh, Syeikh Burhanuddin kembali ke tempat asalnya, Minangkabau, untuk menyebarkan ajaran Islam di sana.[3] Pada tahun 1680, ia kembali ke Ulakan dan mendirikan surau di Tanjung Medan yang terletak di kompleks seluas sekitar lima hektare.[1][3] Di sana, ia menyebarkan ajaran Islam sekaligus mengembangkan Tarekat Sathariyah.[3] Di surau inilah beberapa aktivitas keagamaan dan sosial dilakukan, seperti shalat lima waktu, belajar ilmu agama, musyawarah, berdakwah, termasuk berkesenian dan mempelajari ilmu bela diri.[6] Surau ini kemudian berkembang pesat dan menjadi sebuah Pondok Pesantren.[1] Syeikh Burhanuddin memperoleh penghormatan yang luar biasa oleh masyarakat, sehingga ajaran yang ia bawa mudah diterima di sana.[3] Selain itu, mulai banyak murid dan santri yang berdatangan untuk berguru kepadanya, baik dari wilayah Minangkabau sendiri, Riau, Jambi, Malaka, maupun dari daerah-daerah lain.[1]
Melalui pesantren asuhannya, Syeikh Burhanuddin mengajarkan berbagai disiplin ilmu keislaman kepada para santrinya, seperti ilmu tafsir, hadis, fikih, akidah, dan lain-lain.[1] Selain itu, ia juga mendakwahkan Islam melalui pengajian kepada warga masyarakat.[1] Atas usaha Syeikh Burhanuddin tersebut, ajaran Islam cepat menyebar di wilayah Minangkabau.[1]
Kematian
Syeikh Burhanuddin memimpin pesantren tidak begitu lama, setelah sepuluh tahun memimpin ia meninggal.[1] Kemudian, pesantren tersebut dilanjutkan di bawah kepemimpinan Syeikh Abdullah Faqih.[1]
Atas jasa dan perjuangan Syeikh Burhanuddin menyebarkan Islam di Sumatera Barat, hingga saat ini makam Syeikh Burhanuddin mendapat perhatian besar dari para peziarah, terutama oleh para jama'ah Tarekat Shatariyah.[3][7] Menurut tradisi setempat, ziarah tersebut disebut Basapa atau "bersafar serempak bersama puluhan ribu orang", karena dilakukan setiap hari Rabu, tanggal 10 Shafar.[3][7]
Keturunan
Berdasarkan catatan Burhanuddin Daya, Syekh Burhanuddin sempat berkeluarga, tetapi seluk beluk keluarganya tidak diketahui, kecuali bahwa ia memiliki putra bernama Tuangku Bakarando. Cucu Burhanuddin dari Tuangku Bakarando adalah Muhammad Saleh yang ikut terlibat dalam Perang Padri dan tewas di Bonjol.[8] Anak Muhammad Saleh bernama Tuangku Kali Nan Mudo, berdasarkan kesaksian PH.S. van Ronkel, masih hidup sebelum Perang Dunia I meletus dalam usia sangat lanjut.[9][10]
Referensi
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p H.M. Bibit Suprapto (2009). Ensiklopedi Ulama Nusantara. Gelegar Media Indonesia. ISBN 979-980-6611-14-5. Halaman 286-289.
- ^ www.relasidata.com: Burhanuddin Ulakan, Kematian 1704 Diarsipkan 2016-03-10 di Wayback Machine.. Diakses 29 April 2014
- ^ a b c d e f g h i j Samsul Munir Amin (2008). Karomah Para Kiai. PT LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8452-49-9. Halaman 304-307.
- ^ Sefriyono (2018-08-29). Kearifan Lokal Bagi Pencegahan Radikalisme di Luhak dan Rantau Minangkabau. Sakata Cendekia. ISBN 978-602-5809-02-6.
- ^ a b "Chaerul Umam: Islam Dalam Karya Visual Masih Minim", Kompas, 1 April 2004
- ^ www.lektur.kemenag.go.id: Penelitian Rumah Ibadah Bersejarah: Surau Gadang Syekh Burhanuddin Ulakan Padang Pariaman Sumate[pranala nonaktif permanen]. Diakses 29 April 2014
- ^ a b www.nu.or.id: Gus Dur “Basapa” di Makam Syeikh Burhanuddin Ulakan Diarsipkan 2014-04-29 di Wayback Machine.. Diakses 29 April 2014
- ^ Daya, Burhanuddin (1990). Gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Tiara Wacana Yogya. hlm. 180. ISBN 978-979-8120-13-8.
- ^ Amran, Rusli (1981). Sumatera Barat hingga Plakat Panjang. Penerbit Sinar Harapan. hlm. 242.
- ^ Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde (dalam bahasa Belanda). Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. 1914.