Bahasa Makassar
Halaman ini sedang dipersiapkan dan dikembangkan sehingga mungkin terjadi perubahan besar. Anda dapat membantu dalam penyuntingan halaman ini. Halaman ini terakhir disunting oleh Nusakambangan666 (Kontrib • Log) 1671 hari 348 menit lalu. Jika Anda melihat halaman ini tidak disunting dalam beberapa hari, mohon hapus templat ini. |
Bahasa Makassar (basa Mangkasaraʼ, Lontara: ᨅᨔ ᨆᨀᨔᨑ, Jangang-Jangang: 𑻤𑻰 𑻥𑻠𑻰𑻭) adalah sebuah bahasa Austronesia yang lazim dituturkan di Sulawesi Selatan, Indonesia.
Klasifikasi
Hubungan eksternal
Bahasa Makassar merupakan bahasa Austronesia dari subrumpun Melayu-Polinesia cabang Sulawesi Selatan,[4] khususnya kelompok Makassar atau Makassarik yang juga mencakup bahasa Konjo (baik ragam Pegunungan maupun Pesisir) serta bahasa Selayar.[5] Ragam bahasa Konjo dan Selayar terkadang juga dianggap sebagai dialek bahasa Makassar. Sebagai bagian dari rumpun bahasa Sulawesi Selatan, bahasa Makassar juga berkerabat dekat dengan bahasa Bugis, Mandar, dan Sa'dan (Toraja).[6]
Menurut linguis Roger F. Mills, penutur bahasa-bahasa Makassar atau Makassarik kemungkinan merupakan kelompok pertama yang memisahkan diri dari penutur bahasa-bahasa Sulawesi Selatan lainnya.[7] Dalam hal kosa kata, rumpun bahasa Makassar merupakan yang paling berbeda di antara bahasa-bahasa Sulawesi Selatan. Rerata persentase kesamaan kosa kata antara rumpun Makassar dengan bahasa-bahasa Sulawesi Selatan lainnya adalah sebesar 43%.[8] Secara spesifik, dialek Gowa atau Lakiung adalah yang paling divergen; tingkat kesamaan kosakata dialek ini dengan bahasa-bahasa Sulawesi Selatan lainnya sekitar 5–10 poin persentase lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kesamaan kosakata bahasa Konjo serta Selayar dengan bahasa-bahasa Sulawesi Selatan lainnya.[6][8]
Dialek
Ragam bahasa dalam rumpun Makassar membentuk sebuah kesinambungan dialek, sehingga batas antara bahasa dan dialek sulit ditentukan.[9] Survei bahasa di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh pasangan linguis dan antropolog Charles dan Barbara Grimes memisahkan bahasa Konjo dan Selayar dari bahasa Makassar,[10] sementara survei lanjutan yang dilakukan oleh linguis Timothy Friberg dan Thomas Laskowske memecah bahasa Konjo menjadi tiga (Konjo Pesisir, Konjo Pegunungan, dan Bentong/Dentong).[11] Walaupun begitu, dalam buku mengenai tata bahasa Makassar terbitan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, linguis lokal Abdul Kadir Manyambeang dan tim memasukkan ragam bahasa Konjo dan Selayar sebagai dialek bahasa Makassar.[12]
Tidak termasuk ragam-ragam bahasa Konjo dan Selayar, bahasa Makassar dapat dibagi ke dalam setidaknya tiga dialek, yaitu 1) dialek Gowa atau Lakiung, 2) dialek Jeneponto atau Turatea, dan 3) dialek Bantaeng.[a] Perbedaan utama antara ragam-ragam dialek dan bahasa dalam rumpun Makassar adalah dalam tataran kosakata; tata bahasa ragam-ragam ini secara umum tidak jauh berbeda.[12][13][10] Penutur dialek Gowa cenderung bertukar menggunakan bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan penutur dialek Bantaeng atau penutur bahasa Konjo dan Selayar, begitu pula sebaliknya. Dialek Gowa umumnya dianggap sebagai "ragam tinggi" (prestige variety) bahasa Makassar. Sebagai ragam yang dituturkan di wilayah pusat daerah, dialek Gowa juga lazim digunakan oleh penutur dialek atau ragam bahasa lainnya dalam rumpun Makassar.[9]
Demografi dan status
Menurut sebuah studi demografi yang didasarkan pada data sensus tahun 2010, sekitar 1,87 juta penduduk Indonesia yang berusia di atas lima tahun menggunakan bahasa Makassar sebagai bahasa ibu. Secara nasional, bahasa Makassar termasuk ke dalam 20 bahasa dengan jumlah penutur terbanyak, tepatnya di posisi ke-16.[14] Bahasa Makassar juga merupakan bahasa dengan penutur terbanyak kedua di Sulawesi setelah bahasa Bugis yang memiliki lebih dari 3,5 juta penutur.[1][15]
Bahasa Makassar utamanya dituturkan oleh etnis Makassar,[16] walaupun sebagian kecil (1,89%) etnis Bugis juga menggunakan bahasa ini sebagai bahasa ibu.[17] Penutur bahasa Makassar terpusat di wilayah barat daya semenanjung Sulawesi Selatan, terutama di wilayah pesisir yang subur di sekitar Kota Makassar, Kabupaten Gowa, dan Kabupaten Takalar.[18] Bahasa Makassar juga dituturkan oleh sebagian penduduk kabupaten Maros serta Pangkajene dan Kepulauan di utara, berdampingan dengan bahasa Bugis.[19][11] Penduduk kabupaten Jeneponto serta Bantaeng umumnya juga mengidentifikasi diri sebagai bagian dari komunitas penutur bahasa Makassar, walaupun ragam yang mereka tuturkan (dialek Jeneponto atau Turatea serta dialek Bantaeng) lumayan berbeda dari dialek yang digunakan di Gowa dan Takalar.[18][19] Bahasa Konjo yang berkerabat dekat dengan bahasa Makassar dituturkan di wilayah pegunungan Gowa serta di pesisir Kabupaten Bulukumba,[20] sementara bahasa Selayar dituturkan di Pulau Selayar di selatan semenanjung.[18]
Bahasa Makassar termasuk salah satu bahasa daerah Indonesia yang cukup berkembang.[15] Bahasa ini masih digunakan secara luas di daerah pedesaan serta di sebagian wilayah Kota Makassar.[21] Akan tetapi, pada masyarakat urban, pembauran antara bahasa Makassar dan bahasa Indonesia melalui alih kode atau campur kode lazim ditemui.[22] Sebagian dari masyarakat urban Makassar, terutama yang berasal dari kelas menengah ataupun berlatar belakang multietnis, menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama dalam rumah tangga. Terlepas dari hal ini, bahasa Makassar masih dianggap penting sebagai penanda identitas kesukuan.[21]
Fonologi
Vokal
Bahasa Makassar memiliki lima fonem vokal, yaitu /a e i o u/.[23] Tidak ada diftong dalam bahasa Makassar, walaupun deret vokal monoftong dapat ditemukan, seperti dalam kata tau 'orang', jai 'banyak', rua 'dua', dan sebagainya.[24][25]
Depan | Tengah | Belakang | |
---|---|---|---|
Tertutup | i | u | |
Sedang | e | o | |
Terbuka | a |
Setiap fonem vokal dapat mengisi posisi awal, tengah, atau akhir suku kata. Bunyi vokal dalam suku kata terbuka atau dengan tekanan diucapkan dengan durasi lebih panjang daripada vokal dalam suku kata tertutup atau tanpa tekanan.[23] Vokal /a/ memiliki durasi yang sangat pendek jika dibandingkan dengan vokal yang lain. Linguis Marija Tabain dan Anthony Jukes berpendapat bahwa pendeknya durasi pengucapan /a/ dalam bahasa Makassar merupakan akibat dari merger historis antara fonem *a dan *ə dari bahasa hipotetis Proto-Sulawesi Selatan,[26] kontras dengan bahasa Bugis yang masih mempertahankan perbedaan antara kedua vokal ini.[27][28] Akibat merger ini pula, vokal /a/ digunakan tiga hingga lima kali lebih sering daripada fonem vokal lainnya.[27]
Fonem vokal /e/ cenderung direalisasikan sebagai vokal semiterbuka [ɛ] jika berada di posisi akhir kata atau sebelum suku kata dengan bunyi [ɛ] lainnya. Bandingkan, misalnya, antara pengucapan /e/ dalam kata leʼbaʼ [ˈleʔ.baʔ] 'sudah' dan mange [ˈma.ŋɛ] 'pergi ke'.[23] Fonem /o/ juga memiliki alofon semiterbuka [ɔ] jika berada di posisi akhir kata atau jika mendahului suku kata dengan bunyi [ɔ], seperti yang bisa ditemukan pada kata lompo [ˈlɔ̃m.pɔ] 'besar' (bandingkan dengan órasaʼ [ˈo.ra.saʔ] 'lebat').[29] Terlepas dari letaknya dalam sebuah kata, sebagian penutur cenderung mengucapkan kedua vokal ini dengan posisi lidah yang lebih tinggi (tertutup) sehingga mendekati pengucapan fonem /i/ dan /u/.[30]
Vokal dapat diucapkan secara sengau jika berada di sekitar konsonan sengau dalam suku kata yang sama. Terdapat dua tingkat intensitas penyengauan vokal, yaitu penyengauan kuat dan penyengauan lemah. Penyengauan lemah dapat ditemukan pada vokal sebelum konsonan sengau yang tidak berada pada akhir ucapan. Penyengauan kuat dapat ditemukan pada vokal sebelum konsonan sengau akhir ucapan atau setelah konsonan sengau secara umum. Penyengauan dapat menyebar ke vokal dalam suku kata setelah vokal sengau jika tidak ada konsonan yang menghalangi. Walaupun begitu, intensitas sengau dalam vokal seperti ini tidak sebesar vokal yang mendahuluinya, semisal dalam pengucapan kata niaʼ [ni͌.ãʔ] 'ada'.[31][b]
Konsonan
Terdapat 17 konsonan dalam bahasa Makassar,[32] seperti yang dijabarkan dalam tabel berikut.[33]
Labial | Alveolar | Palatal | Velar | Glotal | ||
---|---|---|---|---|---|---|
Sengau | m | n | ɲ ⟨ny⟩ | ŋ ⟨ng⟩ | ||
Hambat | nirsuara | p | t | c | k | ʔ ⟨'⟩ |
bersuara | b | d | ɟ ⟨j⟩ | ɡ | ||
Desis | s | h | ||||
Lateral | l | |||||
Getar | r | |||||
Semivokal[c] | (w) | j ⟨y⟩ | w |
Fonem /t/ merupakan satu-satunya konsonan dengan pengucapan dental, tidak seperti fonem /d n l s r/ yang merupakan konsonan alveolar. Fonem hambat nirsuara /p t k/ umumnya diucapkan dengan sedikit aspirasi (aliran udara), seperti dalam kata katte [ˈkat̪.t̪ʰɛ] 'kitaʼ, lampa [ˈlam.pʰa] 'pergi', dan kana [ˈkʰa.nã] 'kata'. Fonem /b/ dan /d/ memiliki alofon implosif [ɓ] dan [ɗ], terutama pada posisi awal kata semisal balu [ˈɓa.lu] 'janda' dan setelah bunyi [ʔ] seperti dalam kata aʼdoleng [aʔ.ˈɗo.lẽŋ] 'menggelepai'.[34] Kedua konsonan ini, terutama /b/ pada posisi awal, terkadang juga direalisasikan sebagai konsonan nirsuara tanpa aspirasi.[35] Fonem palatal /c/ dapat direalisasikan sebagai afrikat (bunyi hambat dengan pelepasan desis) [cç] atau bahkan [tʃ]. Fonem /ɟ/ juga dapat diucapkan sebagai afrikat [ɟʝ]. Jukes menganalisis kedua konsonan ini sebagai konsonan hambat karena keduanya memiliki padanan sengau palatal /ɲ/, sebagaimana konsonan hambat oral lainnya juga memiliki padanan sengau masing-masing.[36]
Fonotaktik
Struktur dasar suku kata dalam bahasa Makassar adalah (K1)V(K2). Posisi K1 dapat diisi oleh hampir seluruh konsonan, sementara posisi K2 memiliki beberapa batasan. Jika berada di akhir kata, posisi K2 hanya dapat diisi oleh bunyi [ʔ] dan [ŋ]. Sementara, jika berada di tengah kata, posisi ini dapat diisi oleh bunyi sengau yang homorgan (diucapkan pada tempat artikulasi yang sama) dengan konsonan yang mengikutinya, bunyi yang merupakan bagian dari deret konsonan geminasi, atau bunyi [ʔ] sebelum konsonan bersuara dan [h].[32][33] Jukes menyimpulkan bahwa secara umum hanya ada dua jenis bunyi yang berkontras di posisi K2, yaitu konsonan hambat (K) dan konsonan sengau (N). Bunyi K akan mengalami asimilasi jika diikuti oleh konsonan nirsuara selain [h], dan diucapkan sebagai [ʔ] pada konteks lainnya. Bunyi N diucapkan secara homorgan dengan konsonan yang mengikutinya, dan mengalami asimilasi jika diikuti oleh bunyi [l]. Pada konteks lainnya, bunyi N diucapkan sebagai [ŋ].[32]
Bunyi /s l r/ dapat dikategorikan sebagai kelompok kontinuan (bunyi yang diucapkan tanpa menghalangi secara penuh aliran udara yang keluar melalui mulut) non-sengau, dan ketiga-tiganya tidak dapat mengisi posisi akhir suku kata kecuali sebagai bagian dari deret konsonan geminasi.[37] Kata dasar yang sejatinya berakhir dengan konsonan-konsonan ini akan diimbuhi vokal epentetis yang sama dengan vokal di suku kata sebelumnya, serta ditutup dengan konsonan hambat glotal [ʔ],[38] seperti pada kata ótereʼ /oter/ 'tali', bótoloʼ /botol/ 'botol', dan rántasaʼ /rantas/ 'kotor'.[39] Elemen tambahan ini juga disebut sebagai deret "VK-gema" (echo-VC), dan dapat memengaruhi posisi tekanan pada sebuah kata (lihat bagian #Tekanan).[25][40]
Umumnya, kata dasar dalam bahasa Makassar memiliki panjang dua atau tiga suku kata. Meski begitu, kata-kata yang lebih panjang dapat dibentuk karena sifat bahasa Makassar yang aglutinatif serta adanya proses reduplikasi (perulangan) yang masih sangat produktif.[41] Menurut Jukes, kata dengan panjang enam atau tujuh suku kata lazim ditemukan dalam bahasa Makassar, sementara kata dasar dengan satu suku kata (yang bukan merupakan pinjaman dari bahasa lain) sangatlah jarang, walaupun ada beberapa kata seru dan partikel yang terdiri dari satu suku kata saja.[42] Daftar berikut menunjukkan beberapa contoh kata dalam bahasa Makassar menurut pola suku katanya:[43]
V o 'oh' (kata seru) KV ri PREP (partikel) VK uʼ 'rambut' KVK piʼ 'getah pulut' VV io 'ya' VVK aeng 'ayah' KVV tau 'orang' KVVK taung 'tahun' VKVK uluʼ 'kepala' KVKV sala 'salah' KVKVK sabaʼ 'sebab' KVKKVK leʼbaʼ 'sudah' KVKVKV binánga 'sungai' KVKVKVK pásaraʼ 'pasar' KVKVKKV kalúppa 'lupa' KVKKVKVK kaʼlúrung 'kayu pohon palem' KVKVKVKVK balakeboʼ 'ikan tamban' KVKVKVKKVK kalumanynyang 'kaya'
Tekanan
Tekanan umumnya diberikan pada suku kata penultima (kedua dari akhir) dari sebuah kata dasar. Dalam kata dengan reduplikasi, tekanan sekunder akan diberikan pada unsur pertama, contohnya pada kata ammèkang-mékang /amˌmekaŋˈmekaŋ/ 'memancing'.[44][41] Sufiks umumnya dihitung sebagai bagian dari unsur fonologis yang diberikan tekanan, sementara enklitika tidak dihitung (ekstrametrikal).[41][45] Kata gássing 'kuat', misalnya, jika ditambah sufiks benefaktif -ang akan menjadi gassíngang 'lebih kuat dari' dengan tekanan pada suku kata penultima, tetapi jika diberi enklitika pemarkah persona pertama =aʼ akan menjadi gássingaʼ 'saya kuat', dengan tekanan pada suku kata antepenultima (ketiga dari akhir).[46]
Morfem lainnya yang dihitung sebagai bagian dari unsur yang diberi tekanan adalah klitika afiksal[d] pemarkah kepunyaan, seperti pada kata tedóng≡ku (kerbau≡1.POSS) 'kerbau saya'.[45] Khusus untuk pemarkah takrif (definite marker) ≡a, morfem ini dihitung sebagai bagian dari unsur yang diberi tekanan hanya jika kata dasar yang diimbuhinya berakhiran vokal seperti pada kata batúa 'batu (itu)'—bandingkan dengan pola tekanan pada kóngkonga 'anjing (itu)' yang kata dasarnya berakhiran konsonan.[47][48] Sebuah kata dapat memiliki tekanan pada suku kata keempat terakhir jika kata tersebut diimbuhi kombinasi enklitika dwisilabis seperti =mako (=ma PFV =ko 2), contoh: náiʼmako 'naik!'.[45] Posisi tekanan juga dapat dipengaruhi proses degeminasi vokal, yaitu peleburan vokal identik lintas morfem menjadi satu. Misalnya, kata jappa 'jalan' jika ditambah imbuhan -ang akan menjadi jappáng 'berjalan dengan', dengan tekanan pada suku kata ultima (akhir).[49]
Tekanan pada kata-kata dasar dengan VK-gema selalu terletak pada suku kata antepenultima, contohnya lápisiʼ 'lapis', bótoloʼ 'botol', pásaraʼ, dan Mangkásaraʼ 'Makassar', karena suku kata dengan VK-gema bersifat ekstrametrikal.[25][40][39] Akan tetapi, pengimbuhan sufiks -ang dan -i akan menghapus suku kata epentetis ini dan memindahkan tekanannya ke posisi penultima, seperti pada kata lapísi 'lapisi'.[50] Penambahan klitika afiksal pemarkah kepunyaan juga memindahkan tekanan ke posisi penultima, tetapi tidak menghapus suku kata epentetis ini, seperti pada kata botolóʼna 'botolnya'. Sementara, penambahan pemarkah takrif dan enklitika tidak menghapus suku kata ini maupun mengubah posisi tekanan, seperti pada kata pásaraka 'pasar (itu)' dan appásarakaʼ 'saya pergi ke pasar'.[37][51]
Tata bahasa
Pronomina persona
Pronomina atau kata ganti persona dalam bahasa Makassar memiliki tiga bentuk, yaitu 1) bentuk bebas, 2) proklitika yang merujuk-silang (cross-reference) argumen S dan P ('absolutif'), serta 3) enklitika yang merujuk-silang argumen A ('ergatif').[52][e] Tabel berikut menunjukkan ketiga bentuk pronomina ini beserta pemarkah kepunyaan bagi masing-masing serinya.[53]
Glos | Pronomina bebas (PRO) |
Proklitika (ERG) |
Enklitika (ABS) |
Pemarkah kepunyaan (POSS) |
---|---|---|---|---|
1 | (i)nakke | ku= | =aʼ | ≡ku |
1PL.INCL/2POL | (i)katte | ki= | =kiʼ | ≡ta |
1PL.EXCL | †(i)kambe | – | *=kang | †≡mang |
2FAM | (i)kau | =nu | =ko | ≡nu |
3 | ia | na= | =i | ≡na |
Pronomina persona pertama jamak inklusif juga digunakan untuk merujuk kepada persona kedua jamak sekaligus berfungsi sebagai bentuk hormat bagi persona kedua tunggal. Seri pronomina persona pertama ku= lazimnya juga digunakan untuk merujuk pada persona pertama jamak dalam bahasa Makassar modern; pronomina kambe dan pemarkah kepunyaan ≡mang bersifat arkais, sementara enklitika =kang hanya dapat muncul dalam bentuk kombinasi dengan klitika pemarkah modalitas dan aspek, seperti =pakang (=pa IPF =kang 1PL.EXCL).[54] Penjamakan dapat dilakukan dengan menambahkan kata ngaseng 'semua' setelah bentuk bebas, semisal ia–ngaseng 'mereka semua' dan ikau–ngaseng 'kalian semua',[55] atau sebelum enklitika, misalnya ngaseng=i 'mereka semua'. Walaupun begitu, ngaseng tidak dapat dipasangkan dengan proklitika.[54]
Bentuk proklitika dan enklitika merupakan bentuk pronomina yang paling umum digunakan untuk merujuk pada persona atau benda yang dituju (lihat bagian #Kalimat untuk contoh penggunaannya). Bentuk bebas lebih jarang digunakan; pemakaiannya biasanya terbatas pada kalimat presentatif (kalimat yang menyatakan atau mengenalkan sesuatu, lihat contoh 1), sebagai penekanan (2), dalam frasa preposisional yang berfungsi sebagai argumen maupun adjung (3), dan sebagai predikat (4).[56][f]
- (1)Iaminjo allo makaruayya
ia
3PRO
=mo
=PFV
=i
=3
(a)njo
itu
allo
hari
maka-
ORD-
rua
dua
≡a
≡DEF
'Itulah hari kedua(nya).' (Jukes 2020, hlm. 169)
- (2)… lompo-lompoi anaʼna, na inakke, tenapa kutianang
lompo-lompo
RDP-besar
=i
=3
anaʼ
anak
≡na
≡3.POSS
na
dan
i-
PERS-
nakke
1PRO
tena
NEG
=pa
=IPF
ku=
1=
tianang
hamil
'… anaknya besar-besar, sedangkan saya, belum lagi hamil.' (Jukes 2020, hlm. 170)
- (3)Amminawangaʼ ri katte
aN(N)-
BV-
pinawang
ikut
=a'
=1
ri
PREP
katte
2FAMPRO
'Aku mengikutimu.' (Jukes 2020, hlm. 170)
Nomina dan frasa nomina
Nomina atau kata benda dalam bahasa Makassar merupakan kelas kata yang dapat menjadi argumen bagi sebuah predikat, sehingga bisa dirujuk-silang oleh klitika pronomina.[57] Nomina juga dapat menjadi inti dari sebuah frasa nomina (termasuk klausa relatif). Nomina dapat berperan sebagai pemilik maupun yang dimiliki dalam konstruksi kepemilikan; klitika afiksal akan diimbuhkan pada frasa nomina yang dimiliki. Ketakrifan nomina dapat dimarkahi dengan klitika afiksal ≡a. Nomina tanpa imbuhan juga dapat menjadi predikat dalam sebuah kalimat. Keseluruhan poin-poin utama ini digambarkan dalam contoh berikut:[58]
- Anaʼnai karaenga
anaʼ
anak
≡na
≡3.POSS
=i
=3
karaeng
raja
≡a
≡DEF
'Ia (merupakan) anak sang karaeng.' (Jukes 2020, hlm. 147)
Selain itu, nomina juga dapat diwatasi oleh demonstrativa, dijelaskan oleh adjektiva, dikirakan dengan numeralia, menjadi pelengkap dalam frasa preposisional, serta menjadi verba yang bermakna 'pakai/gunakan NOMINA' jika diimbuhi dengan prefiks aK-.[58]
Verba
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Numeralia
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Kalimat
Kalimat intransitif
Dalam klausa atau kalimat intransitif bahasa Makassar, enklitika 'absolutif' (=ABS) digunakan untuk merujuk-silang satu-satunya argumen dalam kalimat tersebut (S) jika argumen tersebut bersifat takrif (definite) atau kentara (salient) menurut konteks percakapannya. Enklitika ini selalu dipasangkan pada konstituen pertama dari sebuah kalimat—dengan kata lain, enklitika ini merupakan enklitika Wackernagel, atau enklitika yang selalu berada di posisi kedua. Prefiks (imbuhan awalan) aK- umumnya digunakan untuk membentuk verba intransitif, walaupun beberapa verba seperti tinro 'tidur' tidak memerlukan prefiks ini.[59]
- (11)Aʼjappai Balandayya
aK-
MV-
jappa
jalan
=i
=3
Balanda
Belanda
≡a
≡DEF
'Si orang Belanda berjalan.' (Jukes 2013a, hlm. 68)
Kalimat intransitif juga dapat dibentuk dengan inti (head) predikat nomina (13) dan pronomina (contoh 4 di atas), adjektiva (14) atau frasa preposisional (15).[60]
- (14)Bambangi alloa
bambang
panas
=i
=3
allo
hari
≡a
≡DEF
'Siang hari (ini/itu) panas.' (Jukes 2013a, hlm. 69)
Kalimat transitif
Verba dalam kalimat transitif tidak diimbuhi afiks, tetapi diberi proklitika pronomina yang menandakan A atau pelaku (actor) serta enklitika pronomina yang menandakan P atau penanggap (undergoer).[60]
- (16)Nakokkokaʼ miongku
na=
3=
kokkoʼ
gigit
=aʼ
=1
miong
kucing
≡ku
≡1.POSS
'Kucingku menggigitku.' (Jukes 2013a, hlm. 69)
Jika kedua argumen yang melengkapi predikat verba sama-sama merupakan persona ketiga, dapat terjadi ketaksaan mengenai argumen mana yang dirujuk-silang oleh masing-masing klitika. Dalam kasus ini, konteks pragmatis diperlukan untuk menentukan makna yang tepat bagi kalimat tersebut.[60]
- (17)Naciniki tedongku i Ali
na=
3=
ciniʼ
lihat
=i
=3
tedong
kerbau
≡ku
≡1.POSS
i
PERS
Ali
Ali
'Si Ali melihat kerbauku.'/'Kerbauku melihat si Ali.' (Jukes 2013a, hlm. 69)
Agar dapat dirujuk-silang dengan klitika, penanggap dalam kalimat transitif harus bersifat takrif. Contoh penanggap yang bersifat takrif adalah nama dan gelar, kata yang rujukannya kentara secara pragmatis seperti pronomina persona pertama dan kedua, atau kata yang dipasangkan dengan pemarkah kepunyaan (10) dan takrif (12).[61]
- (18)Kukanrei untia
ku=
1=
kanre
makan
=i
=3
unti
pisang
≡a
≡DEF
'Saya memakan pisang(nya).' (Jukes 2013a, hlm. 70)
Pengecualian terhadap pola umum pembentukan kalimat transitif terjadi jika 1) argumen A atau P menjadi fokus dalam sebuah kalimat; 2) klitika dipasangkan pada kata lainnya karena ada unsur sebelum verba (mengikuti aturan bahwa klitika harus selalu berada pada posisi kedua); atau 3) jika kalimat tersebut memiliki penanggap yang taktakrif (indefinite). Pola ketiga dianalisis oleh Jukes sebagai bentuk kalimat semitransitif.[62]
Kalimat semitransitif
Kalimat semitransitif merupakan kalimat yang memiliki dua partisipan, tetapi hanya satu partisipan saja yaitu pelaku yang dirujuk-silang oleh klitika pronomina. Klitika yang dipakai adalah seri enklitika pronomina 'absolutif' (yang umumnya digunakan untuk merujuk-silang S dan P). Dengan kata lain, verba dalam kalimat semitransitif umumnya bersifat bivalen atau dwivalen (memerlukan dua argumen atau pelengkap verba) seperti dalam kalimat transitif, tetapi penanggap dalam kalimat sejenis ini berbeda dari P dalam kalimat transitif pada umumnya karena tidak dirujuk-silang oleh klitika pronomina. Prefiks aN(N)- umumnya diimbuhkan pada verba semi-transitif. Penanggap dalam kalimat sejenis ini bersifat taktakrif, seperti yang bisa dilihat dari contoh (19); bandingkan dengan contoh (18) yang memiliki penanggap takrif.[63]
Frasa nomina penanggap (seperti unti 'pisang' dalam contoh 18) umumnya diperlukan untuk melengkapi kalimat semi-transitif. Walaupun begitu, frasa nomina ini dapat dibuang dalam kalimat dengan verba ambitransitif (verba yang dapat dimaknai sebagai verba transitif maupun intransitif) seperti kanre 'makan' dan inung 'minum'. Kalimat seperti ini dapat dianggap memiliki makna intransitif.[61]
Kalimat tanya
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Kalimat perintah
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Kalimat sangkalan
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Kalimat eksistensial dan presentatif
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Fokus dan topik
Fokus
Argumen dalam sebuah kalimat dapat muncul sebelum verba dan tidak dirujung-silang dengan klitika. Argumen yang berada pada posisi ini dianggap sebagai argumen yang difokuskan, dengan fungsi pragmatis seperti disambiguasi, penekanan, atau pemastian.[64]
Jika dibandingkan dengan contoh (12) yang sekadar merupakan pernyataan fakta ('si Ali tidur'), contoh (21) dapat menyatakan makna 'kuberitahu padamu, si Ali sedang tidur', 'kudengar si Ali sedang tidur', atau makna interogatif 'benarkah si Ali yang tidur?'. Contoh ini juga merupakan jawaban bagi pertanyaan inai tinro? 'siapa yang tidur?'.[64]
Dalam kalimat transitif, salah satu argumen (tetapi tidak keduanya) dapat difokuskan.[65] Imbuhan aN- (bedakan dari imbuhan semi-transitif aN(N)- yang menukar konsonan awal kata dasar dengan bunyi sengau) biasanya akan ditambahkan pada kalimat dengan fokus pada argumen pelaku, sementara kalimat dengan fokus pada argumen penanggap tidak memilki imbuhan apapun dan hanya ditandai dengan ketiadaan klitika yang merujuk-silang argumen tersebut.[66] Contoh kalimat (22) memfokuskan argumen A atau pelaku, sementara contoh (23) memfokuskan argumen P atau penanggap.[65]
- (22)Kongkonga ambunoi mionga
kongkong
anjing
≡a
≡DEF
aN-
AF-
buno
bunuh
=i
=3
miong
kucing
≡a
≡DEF
'Si anjing membunuh si kucing.' (Jukes 2005, hlm. 667)
- (23)Mionga nabuno kongkonga
miong
kucing
≡a
≡DEF
na=
3=
buno
bunuh
kongkong
anjing
≡a
≡DEF
'Si anjing membunuh si kucing.' (Jukes 2005, hlm. 667)
Topikalisasi
Topikalisasi merupakan proses pelepasan ke kiri (left dislocation), atau pengedepanan unsur kalimat yang disertai jeda prosodik antara unsur tersebut dan unsur kalimat lainnya. Topikalisasi berbeda dari fokus karena argumen inti yang dijadikan topik tetap harus dirujuk-silang. Secara fungsi, topikalisasi biasanya digunakan untuk menetapkan topik baru dalam sebuah naskah atau percakapan.[67] Perbedaan antara topik dan fokus dapat dilihat dalam contoh (24–25). Dalam kedua contoh tersebut, argumen A berada pada posisi topik dan dirujuk-silang oleh klitika na=, tetapi dalam contoh (25), argumen P yang berada pada posisi fokus tidak dirujuk-silang oleh klitika apapun.[68]
- (24)Kongkonga, nabunoi mionga
kongkong
anjing
≡a
≡DEF
na=
3=
buno
bunuh
=i
=3
miong
kucing
≡a
≡DEF
'Mengenai si anjing, ia membunuh si kucing.' (Jukes 2005, hlm. 668)
- (25)Kongkonga, mionga nabuno
kongkong
anjing
≡a
≡DEF
miong
kucing
≡a
≡DEF
na=
3=
buno
bunuh
'Mengenai si anjing, si kucinglah yang ia bunuh.' (Jukes 2005, hlm. 668)
Kala, aspek, dan modalitas
Selain klitika persona yang dipakai untuk merujuk-silang argumen dalam sebuah kalimat, bahasa Makassar juga memiliki serangkaian klitika yang digunakan untuk memarkahi makna gramatikal seperti kala (tense), aspek, modalitas, dan polaritas (pembenaran atau penyangkalan). Klitika yang termasuk golongan ini adalah proklitika la= FUT dan ta= NEG, serta enklitika =mo PFV, =pa IPF, =ja LIM, dan =ka OR.[69] Klitika jenis ini secara umum diletakkan sebelum klitika pronomina (jika ada), baik dalam posisi awal atau akhir kata dasar yang diimbuhinya.[70] Bunyi vokal dalam enklitika aspek/modalitas akan dibuang jika diikuti oleh enklitika pronomina =aʼ dan =i, dengan pengecualian enklitika =ka yang menjadi =kai jika dipasangkan dengan =i.[71] Tabel berikut menunjukkan kombinasi antara enklitika aspek/modalitas dan pronomina:[72]
=aʼ 1 | =kiʼ 1PL.INCL/2POL | =kang 1PL.EXCL | =ko 2FAM | =i 3 | |
---|---|---|---|---|---|
=mo PFV | =maʼ | =makiʼ | =makang | =mako | =mi |
=pa IPF | =paʼ | =pakiʼ | =pakang | =pako | =pi |
=ja LIM | =jaʼ | =jakiʼ | =jakang | =jako | =ji |
=ka OR | =kaʼ | =kakiʼ | =kakang | =kako | =kai |
Proklitika ta=, walaupun merupakan morfem penyangkal yang paling dasar dalam bahasa Makassar, bukan merupakan penyangkal yang paling umum digunakan. Konstruksi sangkalan pada umumnya menggunakan gabungan kata yang sudah mengalami gramatikalisasi seperti taena 'tidak'.[72] Proklitika la= dapat digunakan untuk menyatakan kala mendatang (future tense) atau makna 'akan', seperti dalam contoh berikut:[73]
- Lamangeaʼ ri pasaraka ammuko
la=
FUT=
mange
pergi
=aʼ
=1
ri
PREP
pasar
pasar
=aʼ
=EC
≡a
≡DEF
ammuko
besok
'Saya akan pergi ke pasar besok.' (Jukes 2013b, hlm. 127)
Proklitika la= juga dapat ditemui dalam pertanyaan, seperti dalam contoh yang merupakan sapaan umum di Makassar (walaupun bentuk singkat lakeko mae? lebih lazim).[73]
- Lakereko mae?
la=
FUT=
kere
di mana
=ko
=2FAM
mae
ada
'Kamu mau ke mana?' (arti harfiah: 'di mana kamu akan berada?') (Jukes 2013b, hlm. 127)
Penggunaan klitika perfektif =mo bersamaan dengan la= menandakan bahwa hal yang dirujuk oleh kedua klitika tersebut akan segera terjadi.[73]
- Lakusaremako paʼarengang
la=
FUT=
ku=
1=
sare
beri
=mo
=PFV
=ko
=2FAM
pa>
NR>
aK-
MV-
areng
nama
<ang
<NR
'Akan kuberikan engkau penamaan (sekarang juga).' (Jukes 2013b, hlm. 127)
Enklitika =mo sendiri pada dasarnya merupakan pemarkah aspek perfektif atau makna 'sudah/telah'.[74]
- Pirambulammi battanta? Sibulammaʼ tacciniʼ ceraʼ
piraN-
berapa
bulang
bulan
=mo
=PFV
=i
=3
battang
perut
≡ta
≡2POL.POSS
si-
se-
bulang
bulan
=mo
=PFV
=aʼ
=1
ta=
NEG=
aK-
MV-
ciniʼ
lihat
ceraʼ
darah
'Sudah berapa bulan Ibu hamil? Sudah sebulan saya lihat tidak ada darah.' (Jukes 2013b, hlm. 128)
Enklitika ini juga memiliki makna deontik (menandakan keharusan atau kepastian) dan dapat digunakan dalam konstruksi imperatif seperti dalam contoh (9). Dalam konstruksi interogatif, penambahan enklitika =mo menandakan bahwa penanya menginginkan jawaban yang pasti.[75]
- Keremi mae pammantangannu?
kere
di mana
=mo
=PFV
=i
=3
mae
ada
pa>
NR>
amm-
MV-
antang
tinggal
<ang
<NR
≡nu
≡2FAM.POSS
'Di mana sebetulnya tempat tinggalmu?' (Jukes 2013b, hlm. 129)
Lawan dari =mo adalah enklitika imperfektif =pa, yang menyampaikan makna 'belum usai' atau 'masih'.[76]
- Ingka seʼrepi kuboya
ingka
tetapi
seʼre
satu
=pa
=IPF
=i
=3
ku=
1=
boya
cari
'Tetapi masih ada satu hal lagi yang hendak kucari.' (Jukes 2013b, hlm. 129)
Makna 'saja, hanya' (dalam artian 'tidak lebih dari' atau 'tiada lain selain') disampaikan oleh enklitika limitatif =ja. Contoh penggunaan:[77]
- Mannantu lompo, lompo bannanji
manna
walaupun
antu
itu
lompo
besar
lompo
besar
bannang
benang
=ja
=LIM
=i
=3
'Walaupun tebal, tebal benang sajalah itu.' (Jukes 2013b, hlm. 130)
Enklitika =ka memiliki dua fungsi. Dalam kalimat tanya, enklitika ini digunakan untuk meminta kepastian atau mengklarifikasi pernyataan lawan bicara, serupa partikel question tag dalam bahasa Inggris.[78]
Fungsi lain enklitika =ka adalah untuk memarkahi pilihan atau kemungkinan, misalnya tedong=ka jarang=ka (kerbau=OR kuda=OR) '[pilihannya] antara kerbau atau kuda'. Contoh penggunaan yang lebih panjang dapat dilihat dari kutipan mukadimah Kronik Gowa berikut:[79]
- Ka punna taniassenga ruai kodina kisaʼringkai kalenta karaeng–dudu na kanaka tau ipantaraka tau bawang–dudu
ka
BCS
punna
jika
ta=
NEG=
ni-
PASS-
asseng
tahu
≡a
≡DEF
rua
dua
=i
=3
kodi
buruk
≡na
≡3.POSS
ki=
2POL=
saʼring
rasa
=ka
=OR
=i
=3
kale
diri
≡nta
≡2POL.POSS
karaeng
raja
dudu
sangat
na
dan
kana
kata
=ka
=OR
tau
orang
i
PREP
pantaraʼ
luar
≡a
≡DEF
tau
orang
bawang
biasa
dudu
sangat
'Sebab jikalau [kisah para karaeng terdahulu] tidak diketahui, ada dua bahayanya: entah kita merasa bahwa kita ini setara dengan para karaeng, atau orang luar akan mengira bahwa kita ini orang yang biasa-biasa saja.' (Jukes 2020, hlm. 133)
Sistem penulisan
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Keterangan
- ^ Selain ketiga dialek ini, Grimes & Grimes (1987, hlm. 25–26) juga mendaftar satu dialek tambahan, yaitu dialek Maros-Pangkep.
- ^ Khusus dalam contoh ini, tilde (tanda gelombang) ganda menandakan penyengauan yang lebih kuat daripada tilde tunggal (Jukes 2020, hlm. 90).
- ^ Pengucapan fonem /w/ melibatkan dua tempat artikulasi, yaitu bibir (labial) dan velum (velar).
- ^ "Klitika afiksal" merupakan sekumpulan morfem dalam bahasa Makassar yang memiliki sebagian sifat-sifat afiks maupun klitika. Batas antara klitika afiksal dan morfem lainnya ditandai dengan simbol ≡ (Jukes 2020, hlm. 133–134).
- ^ S merupakan subjek dari kalimat intransitif, A merupakan subjek kalimat transitif, dan P merupakan objek kalimat transitif. Jika sebuah bahasa memperlakukan S dan P dengan cara yang sama, maka kedua argumen ini digolongkan sebagai bentuk absolutif, sementara A yang diperlakukan berbeda digolongkan sebagai bentuk ergatif. Jika sebuah bahasa memperlakukan S dan A dengan cara yang sama, keduanya disebut sebagai bentuk nominatif, sedangkan P yang diperlakukan berbeda disebut sebagai bentuk akusatif.
- ^ Singkatan glos dan pemarkah antarmorfem pada contoh-contoh di bagian ini telah diselaraskan mengikuti Jukes (2020, hlm. xvii–xviii). Simbol - akan digunakan untuk imbuhan, = untuk klitika, dan ≡ untuk klitika afiksal. Klitika pronomina hanya akan dilabeli secara minimal dengan makna persona, semisal 1= untuk proklitika persona pertama ('ergatif'), dan =3 untuk enklitika persona ketiga ('absolutif').
Rujukan
Sitiran
- ^ a b Ananta et al. 2015, hlm. 278.
- ^ Hammarström, Harald; Forkel, Robert; Haspelmath, Martin, ed. (2023). "Makasar". Glottolog 4.8. Jena, Jerman: Max Planck Institute for the Science of Human History.
- ^ "Bahasa Makassar". www.ethnologue.com (dalam bahasa Inggris). SIL Ethnologue.
- ^ Smith 2017, hlm. 443–444.
- ^ Grimes & Grimes 1987, hlm. 25–29.
- ^ a b Jukes 2005, hlm. 649.
- ^ Mills 1975, hlm. 217.
- ^ a b Grimes & Grimes 1987, hlm. 25.
- ^ a b Jukes 2020, hlm. 20.
- ^ a b Grimes & Grimes 1987, hlm. 25–26.
- ^ a b Friberg & Laskowske 1989, hlm. 3.
- ^ a b Manyambeang, Mulya & Nasruddin 1996, hlm. 2–4.
- ^ Jukes 2020, hlm. 20–21.
- ^ Ananta et al. 2015, hlm. 278, 280.
- ^ a b Tabain & Jukes 2016, hlm. 99.
- ^ Ananta et al. 2015, hlm. 280.
- ^ Ananta et al. 2015, hlm. 292.
- ^ a b c Jukes 2020, hlm. 4.
- ^ a b Grimes & Grimes 1987, hlm. 27.
- ^ Grimes & Grimes 1987, hlm. 28.
- ^ a b Jukes 2020, hlm. 30.
- ^ Tabain & Jukes 2016, hlm. 100.
- ^ a b c d Jukes 2020, hlm. 85.
- ^ Manyambeang, Mulya & Nasruddin 1996, hlm. 23.
- ^ a b c Tabain & Jukes 2016, hlm. 107.
- ^ Tabain & Jukes 2016, hlm. 106.
- ^ a b Jukes 2020, hlm. 87.
- ^ Mills 1975, hlm. 208–209.
- ^ Jukes 2020, hlm. 86.
- ^ Tabain & Jukes 2016, hlm. 105.
- ^ Jukes 2020, hlm. 90.
- ^ a b c Jukes 2005, hlm. 651.
- ^ a b c Tabain & Jukes 2016, hlm. 101.
- ^ Jukes 2020, hlm. 69–71, 73.
- ^ Tabain & Jukes 2016, hlm. 101–102.
- ^ Jukes 2020, hlm. 71.
- ^ a b Jukes 2020, hlm. 108.
- ^ Macknight 2012, hlm. 10.
- ^ a b Basri, Broselow & Finer 1999, hlm. 26.
- ^ a b Jukes 2020, hlm. 107, 109.
- ^ a b c Tabain & Jukes 2016, hlm. 108.
- ^ Jukes 2020, hlm. 97, 99–100.
- ^ Jukes 2020, hlm. 98.
- ^ Jukes 2005, hlm. 651–652.
- ^ a b c Jukes 2020, hlm. 101.
- ^ Basri, Broselow & Finer 1999, hlm. 25–26.
- ^ Jukes 2005, hlm. 652, 656, 659.
- ^ Basri, Broselow & Finer 1999, hlm. 27.
- ^ Jukes 2005, hlm. 652–653.
- ^ Jukes 2005, hlm. 653.
- ^ Basri, Broselow & Finer 1999, hlm. 26–27.
- ^ Jukes 2005, hlm. 655, 658.
- ^ a b Jukes 2020, hlm. 171.
- ^ a b Jukes 2020, hlm. 169.
- ^ Macknight 2012, hlm. 13.
- ^ Jukes 2020, hlm. 169–170.
- ^ Jukes 2005, hlm. 657.
- ^ a b Jukes 2020, hlm. 147, 196.
- ^ Jukes 2013a, hlm. 68.
- ^ a b c Jukes 2013a, hlm. 69.
- ^ a b Jukes 2013a, hlm. 70.
- ^ Jukes 2013a, hlm. 69–70.
- ^ Jukes 2013a, hlm. 70–71.
- ^ a b Jukes 2013a, hlm. 79.
- ^ a b Jukes 2005, hlm. 667.
- ^ Jukes 2013a, hlm. 80.
- ^ Jukes 2020, hlm. 338–339.
- ^ Jukes 2005, hlm. 668.
- ^ Jukes 2013b, hlm. 123–124.
- ^ Jukes 2013b, hlm. 124.
- ^ Jukes 2020, hlm. 126, 132.
- ^ a b c Jukes 2013b, hlm. 125.
- ^ a b c Jukes 2013b, hlm. 127.
- ^ Jukes 2013b, hlm. 128.
- ^ Jukes 2013b, hlm. 128–129.
- ^ Jukes 2013b, hlm. 129.
- ^ Jukes 2013b, hlm. 130.
- ^ Jukes 2020, hlm. 132–133.
- ^ Jukes 2020, hlm. 133.
Daftar pustaka
- Ananta, Aris; Arifin, Evi Nurvidya; Hasbullah, M Sairi; Handayani, Nur Budi; Pramono, Agus (2015). Demography of Indonesia's Ethnicity. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 9789814519878.
- Basang, Djirong; Arief, Aburaerah (1981). Struktur Bahasa Makassar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. OCLC 17565227.
- Basri, Hasan; Broselow, Ellen; Finer, Daniel (1999). "Clitics and Crisp Edges in Makassarese". Toronto Working Papers in Linguistics. 16 (2).
- Evans, Nicholas (1992). "Macassan Loanwords in Top End Languages". Australian Journal of Linguistics. 12 (1): 45–91. doi:10.1080/07268609208599471.
- Friberg, Timothy; Laskowske, Thomas V. (1989). "South Sulawesi languages" (PDF). Nusa. 31: 1–18.
- Grimes, Charles E.; Grimes, Barbara D. (1987). Languages of South Sulawesi. Pacific Linguistics. D78. Canberra: Pacific Linguistics, The Australian National University. doi:10.15144/PL-D78.
- Jukes, Anthony (2005). "Makassar". Dalam K. Alexander Adelaar; Nikolaus Himmelmann. The Austronesian Languages of Asia and Madagascar. London dan New York: Routledge. hlm. 649–682. ISBN 9780700712861.
- ——— (2013a). "Voice, Valence, and Focus in Makassarese". Nusa. 54: 67–84.
- ——— (2013b). "Aspectual and Modal Clitics in Makassarese". Nusa. 55: 123–133.
- ——— (2015). "Nominalized Clauses in Makasar". Nusa. 59: 21–32.
- ——— (2020). A Grammar of Makasar. Grammars and Sketches of the World's Languages. 10. Leiden: Brill. ISBN 9789004412668.
- Kaseng, Syahruddin (1978). Kedudukan dan Fungsi Bahasa Makassar di Sulawesi Selatan. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. OCLC 1128305657.
- Macknight, Charles Campbell, ed. (2012). Bugis and Makasar: Two Short Grammars (PDF). South Sulawesi Studies. 1. Diterjemahkan oleh Charles Campbell Macknight. Canberra: Karuda Press. ISBN 9780977598335.
- Manyambeang, Abdul Kadir; Mulya, Abdul Kadir; Nasruddin (1996). Tata Bahasa Makassar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. ISBN 9789794596821.
- Miller, Christopher (2010). A Gujarati Origin for Scripts of Sumatra, Sulawesi and the Philippines. Annual Meeting of the Berkeley Linguistics Society. 36. University of California, Berkeley. hlm. 276–291.
- Mills, Roger Frederick (1975). "The Reconstruction of Proto-South-Sulawesi". Archipel. 10: 205–224. doi:10.3406/arch.1975.1250.
- Noorduyn, Jacobus (1991). "The Manuscripts of the Makasarese Chronicle of Goa and Talloq: An Evaluation". Bijdragen Tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 147 (4): 454–484.
- ——— (1993). "Variation in the Bugis/Makassarese Script". Bijdragen Tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 149 (3): 533–570.
- Smith, Alexander D. (2017). "The Western Malayo-Polynesian Problem". Oceanic Linguistics. 56 (2): 435–490. doi:10.1353/ol.2017.0021.
- Tabain, Marija; Jukes, Anthony (2016). "Makasar". Journal of the International Phonetic Association. 46 (1): 99–111. doi:10.1017/S002510031500033X.
- Walker, Alan; Zorc, R. David (1981). "Austronesian Loanwords in Yolngu-Matha of Northeast Arnhem Land". Aboriginal History. 5: 109–134. doi:10.22459/AH.05.2011.07.