Lompat ke isi

Sejarah Islam

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sejarah Islam Nabi Adam dan Siti Hawa beragama Islam [1] mencatat bahwa Islam berasal dari Kota Sri Lanka Nabi Adam dan Jeddah Siti Hawa bertemu di bukit arafah [2].

Penyebaran Islam melalui adat ajaran Islam yang ditanamkan melalui perangkat budaya yang sudah ada sebelumnya. Akhirnya mau tak mau menyisakan warisan agama lama dan kepercayaan yang ada yang tumbuh subur di masyarakat pada waktu itu. Tujuannya untuk melestarikan kemudian dibersihkan dari anasir syirik yang merupakan satu upaya untuk meneguhkan konsep monoteisme (tauhid) dalam ajaran Islam[3]

Kronologi

[sunting | sunting sumber]

Garis waktu berikut ini dapat menyajikan pedoman visual kasar untuk pemerintahan-pemerintahan paling penting di dunia Islam sebelum Perang Dunia I. Garis waktu ini mencakup pusat-pusat kekuatan dan budaya bersejarah, termasuk Jazirah Arab, Mesopotamia (Iraq modern), Persia (Iran modern), Syam (Suriah, Lebanon, Yordania, dan Palestina/Israel modern), Mesir, Maghrib (Afrika barat laut), Al-Andalus (Iberia), Transoxiana (Asia Tengah), Hindustan (termasuk Pakistan, India Utara, dan Bangladesh modern), dan Anatolia (Turki modern). Mestinya ini adalah perkiraan, karena kekuasaan pemerintahan untuk beberapa wilayah kadang dibagi antar-pusat-kekuatan, dan kekuasaan di pemerintahan besar sering tersebar di beberapa dinasti. Contohnya, selama tahap akhir Kekhalifahan Abbasiyah, bahkan Ibukota Baghdad secara efektif diatur oleh dinasti lain seperti Buwaihi dan Seljuk; juga Turki Utsmani biasa mengirim otoritas eksekutif atas provinsi-provinsi terluar ke penguasa setempat, seperti Dey di Aljazair, Bey di Tunisia, dan Mamluk di Iraq.

Kesultanan RumKesultanan MughalKesultanan DelhiGhaznawiyahSuku MongolKewalirajaan MesirQajarShafwiyahSuku MongolUtsmaniyahMamlukAyyubiyahFathimiyahKekhalifahan AbbasiyahUmayyahRasyidin
Tanggal adalah kira-kira, rujuk artikel bersangkutan untuk detail.

Sumber awal dan historiografi

[sunting | sunting sumber]

Kurangnya sumber tidak menjadikan kajian periode awal-awal sejarah Islam sulit.[4] Misalnya, sumber historiografis paling penting untuk asal-usul Islam adalah karya al-Thabari.[5] Meskipun al-Thabari dianggap sejarawan cakap menurut acuan zaman dan tempatnya, dia menggunakan secara bebas sajian-sajian mistis, legenda, stereotip, terdistorsi, dan polemik mengenai materi subyek—yang bagaimanapun juga secara Islam bisa diterima—dan dia menjelaskan permulaan Islam padahal dia terpaut beberapa generasi setelah peristiwanya; al-Thabari meninggal 923.[6][7]

Beragamnya pandangan mengenai bagaimana menangani sumber-sumber tersedia memicu berkembangnya empat pendekatan berbeda terhadap sejarah awal Islam. Masing-masingnya memiliki pengikut sampai hari ini.[8][9][2]

  • Metode deskriptif menggunakan garis besar tradisi Islam, sambil disesuaikan untuk cerita-cerita mukjizat dan pengakuan yang berpusat pada keyakinan dalam sumber-sumber tersebut.[10] Edward Gibbon dan Gustav Weil mewakili beberapa sejarawan awal yang mengikuti metode deskriptif.
  • Pada metode kritik sumber, ada pencarian komparasi terhadap semua sumber untuk mengenali informan-sumber mana yang lemah dan karenanya membedakan material yang palsu.[11] Karya William Montgomery Watt dan Wilferd Madelung adalah dua contoh kritik sumber.
  • Pada metode kritik tradisi, yang diyakini adalah sumber-sumbernya didasarkan pada tradisi lisan dengan asal-usul yang tidak jelas dan sejarah periwayatan, sehingga diperlakukan dengan sangat hati-hati.[12] Ignaz Goldziher adalah pelopor metode kritik tradisi, dan Uri Rubin menjadi contoh kontemporer.
  • Metode skeptis meragukan hampir semua materi pada sumber tradisional; segala kemungkinan inti sejarah dianggap terlalu sulit untuk diuraikan dari material yang dibuat-buat dan terdistorsi.[13] Contoh awal metode skeptis adalah karya John Wansbrough.

Hari-hari ini, masing-masing metode populer memiliki cakupan yang berbeda. Pendekatan deskriptif lebih populer untuk perlakuan gambaran umum sejarah awal Islam. Metode kritik sumber dan kritik tradisi lebih diikuti oleh ilmuwan yang memperhatikan permulaan Islam secara mendalam.[8]

Setelah Abad ke-8, kualitas sumber-sumber meningkat.[14] Sumber-sumber yang membahas masa awal dengan kesenjangan masa Adat dan budaya yang cukup lebar tersebut sekarang mulai memberi catatan yang sifatnya semakin kontemporer, kualitas catatan sejarahnya meningkat, dan sumber-sumber dokumentasi baru—seperti dokumen resmi, peninggalan-peninggalan zaman sejarah, pusaka-pusaka pada zaman penaklukan korespondensi, dan syair-syair—muncul.[14] Untuk zaman sebelum bermulanya Islam—pada Abad ke-6—sumber-sumbernya juga unggulan, meskipun juga campuran kualitasnya. Terkhusus, sumber-sumber yang meliputi wilayah pengaruh Sasaniyah di abad ke-6 cukup buruk, sedangkan sumber-sumber untuk area Bizantium di waktu itu kualitasnya cukup baik, dan dilengkapi oleh sumber-sumber Kekristenan Suriah untuk wilayah Suriah dan Iraq.[15]

NABI MUHAMMAD

[sunting | sunting sumber]
Peta wilayah Kekhilafahan Islam dan sekitarnya pada tahun 750 M (awal abad ke-2 Hijriah)

Jazirah Arab sebelum kedatangan Islam merupakan sebuah kawasan yang sangat mundur. Kebanyakkan orang Arab adalah penyembah berhala dan yang lain merupakan pengikut agama Kristen dan Yahudi. Mekah ketika itu merupakan tempat suci bagi bangsa Arab. karena di tempat tersebut terdapat berhala-berhala agama mereka dan juga terdapat Sumur Zamzam dan yang paling penting adalah Ka'bah.

Muhammad dilahirkan di Mekah pada Tahun Gajah yaitu pada tanggal 12 Rabi'ul Awal atau pada tanggal 21 April (570 atau 571 Masehi). Muhammad merupakan seorang anak yatim sesudah ayahnya Abdullah bin Abdul Muttalib meninggal ketika ia masih dalam kandungan dan ibunya Aminah binti Wahab meninggal dunia ketika ia berusia 6 tahun. Kemudian ia diasuh oleh kakeknya Abdul Muthalib. Setelah kakeknya meninggal ia diasuh juga oleh pamannya yaitu Abu Talib. Muhammad kemudiannya menikah dengan Siti Khadijah ketika ia berusia 25 tahun. Ia pernah menjadi penggembala kambing.

Muhammad pernah diangkat menjadi hakim. Pada usia 35 tahun, kota Mekah dilanda banjir, Ia tidak menyukai suasana kota Mekah yang dipenuhi dengan masyarakat yang memiliki masalah sosial yang tinggi. Selain menyembah berhala, masyarakat Mekah pada waktu itu juga mengubur bayi-bayi perempuan. Muhammad banyak menghabiskan waktunya dengan menyendiri di Gua Hira untuk mencari ketenangan dan memikirkan masalah penduduk Mekah. Ketika Muhammad berusia 40 tahun, ia didatangi oleh Malaikat Jibril. Setelah itu ia mengajarkan ajaran Islam secara diam-diam kepada orang-orang terdekatnya yang dikenal sebagai "as-Sabiqun al-Awwalun (Orang-orang pertama yang memeluk agama Islam)" dan selanjutnya secara terbuka kepada seluruh penduduk Mekah, setelah turun wahyu Al-Qur'an surat Al-Hijr ayat 94.

Pada tahun 622, Muhammad dan pengikutnya pindah dari Mekah ke Madinah. Peristiwa ini dinamai Hijrah. Semenjak peristiwa itu dimulailah Kalender Islam atau Kalender Hijriyah.

Penduduk Mekah dan Madinah ikut berperang bersama Muhammad dengan hasil yang baik walaupun ada di antaranya kaum Islam yang tewas. Lama kelamaan para muslimin menjadi lebih kuat, dan berhasil menaklukkan Kota Mekah. Setelah Muhammad wafat, seluruh Jazirah Arab di bawah penguasaan Islam.

Kekhalifahan Rasyidin

[sunting | sunting sumber]
Kekhalifahan Rasyidin

Setelah Muhammad meninggal, empat khalifah bergantian memerintah negara Islam: Abu Bakar (632-634), Umar bin Khattab (634-644), Utsman bin Affan (644-656), dan Ali bin Abi Thalib (656-661). Para pemimpin ini digelari para Khalifah "Rasyidin" atau "yang terbimbing" dalam Islam Sunni. Merekalah yang mengawal tahap awal penaklukan Islam, terus hingga ke Persia, Syam, Mesir, dan Afrika Utara.

Muawiyah bin Abu SufyanAli ibn Abi ThalibUtsman ibn AffanUmar bin KhattabAbu BakarMuhammadRashidunKekhalifahan UmayyahPerang Saudara Islam IKekhalifahan RasyidinPerang RiddahMuhammad setelah pembebasan MekkahMuhammad di Madinah

Sepeninggalnya Muhammad, Abu Bakar, seorang sahabat terdekatnya, terpilih sebagai khalifah (bahasa Arab: خليفة , translit. khalīfah, har. 'penerus') pertama. Meskipun dalam kedudukan khalifah tetap ada aura otoritas agama, khalifah sama sekali tidak mengakui kenabian.[16] Sejumlah kepala suku menolak untuk melanjutkan perjanjian yang mereka buat dengan Muhammad kepada Abu Bakar, sehingga mereka menahan pembayaran zakat dan beberapa justru mengaku sebagai nabi.[16] Abu Bakar mempertahankan kekuasaannya melalui kampanye militer yang sukses, dikenal dengan sebutan Perang Riddah, yang momentumnya diteruskan ke wilayah Kekaisaran Romawi Timur dan Sasaniyah.[17] Di akhir masa khalifah kedua, Umar, pasukan-pasukan Arab, yang jumlah barisan perangnya semakin membengkak karena tambahan pemberontak yang kalah[18] dan mantan pasukan pembantu kerajaan,[19] mengalahkan Syam dan Mesir, dua provinsi Romawi Timur, sedangkan Sasaniyah kehilangan teritori barat mereka, yang sisanya akan menyusul segera setelahnya.[16]

Umar memperbaiki administrasi imperium yang masih muda ini, memerintahkan peningkatkan saluran irigasi dan ikut serta berperan dalam pembentukan kota-kata seperti Basra. Dekat dengan orang-orang miskin, dia tinggal di sebuah pondok tanah liat sederhana tanpa pintu dan berjalan mengelilingi jalanan setiap malam. Setelah mencari keterangan dengan orang-orang miskin, Umar mendirikan Baitulmal,[20][21][22] sebuah institusi kesejahteraan untuk kaum miskin, berkebutuhan, lansia, yatim, janda, dan penyandang disabilitas yang Muslim dan non-Muslim. Baitulmal beroperasi ratusan tahun di bawah Kekhalifahan Rasyidin di abad ke-7 hingga ke periode Umayyah dan juga ke era Abbasiyah. Umar juga mengenalkan pensiun untuk lansia dan tunjangan untuk anak.[23][24][25][26] Ketika dia merasa bahwa seorang gubernur atau komandan menjadi terpikat pada kekayaan atau tidak memenuhi standar administrasi yang dibutuhkan, dia memindahnya dari jabatannya.[27] Ekspansi sebagian dihentikan antara 638 dan 639 selama tahun-tahun kelaparan di Semenanjung Arab dan wabah berat di Syam, tetapi di akhir masa berkuasanya Umar, Suriah, Mesir, Mesopotamia, dan sebagian besar Persia telah menjadi bagian dari negara Islam.

Bagian-bagian timur Kekaisaran Romawi Timur yang ditaklukkan oleh Arab

Populasi Yahudi lokal dan Kristen pribumi, yang tinggal sebagai minoritas agama dan dibebani pajak (sementara Muslim membayar "Zakat") untuk membiayai Perang-perang Romawi Timur dan Sasaniyah, sering membantu Muslim mengambil alih tanah mereka dari Bizantium dan Persia, menghasilkan penaklukan-penaklukan yang luar biasa kilat.[28][29] Seiring ditaklukkannya area-area baru, mereka juga memanfaatkan perdagangan bebas dengan wilayah lain di negara Islam yang tengah tumbuh tersebut, sementara, untuk mendukung kegiatan komersial, pajak diterapkan pada kekayaan alih-alih perdagangan.[30] Orang-orang muslim membayar zakat hartanya untuk diberikan kepada orang-orang miskin. Sejak Piagam Madinah, naskah yang dibuat oleh Muhammad, orang-orang Yahudi dan Kristen tetap menggunakan hukum dan hakim mereka sendiri.[31][32][33] Untuk membantu perluasan negara yang cepat ini, sistem pengumpulan pajak Romawi Timur dan Persia dipertahankan dan rakyat membayar pajak per kapita yang lebih rendah dari masa Romawi Timur dan Persia.

Pada 639, Umar menunjuk Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai gubernur Syam setelah gubernur sebelumnya meninggal dalam sebuah wabah di antara 25.000 orang lebih.[34][35] Untuk menghentikan usikan Romawi Timur dari arah laut selama Peperangan Romawi Timur-Arab, pada 649 Muawiyah menyusun satu angkatan laut, dengan personilnya adalah para pelaut Kristen monofisit, Koptik, dan Kristen Suriah Yakubiyah serta pasukan Muslim, yang mengalahkan angkatan laut Bizantium pada Pertempuran Foinikos pada 655, membuka Laut Tengah untuk kapal-kapal Muslim.[36][37][38][39]

Pasukan-pasukan Muslim awal berkemah jauh dari kota karena Umar khawatir kalau mereka dapat terpikat oleh harta dan kemewahan, menjauhi peribadahan kepada Allah, mengumpulkan kekayaan, dan membentuk dinasti.[27][40][41][42] Dengan tetap berada di kemah-kemah ini jauh dari kota juga memastikan tidak adanya tekanan bagi penduduk lokal sehingga tetap berjalan normal. Beberapa pangkalan kemah ini kemudian tumbuh menjadi kota seperti Basrah dan Kufah di Iraq dan Fustat di Mesir.[43]

Ketika Umar dibunuh pada 644, Utsman bin Affan, sepupu dari kakek dan dua kali menantu Muhammad, menjadi khalifah berikutnya. Karena bahasa Arab ditulis tanpa vokal, beragam penutur dialek bahasa Arab dan bahasa lain membaca Quran dengan variasi fonetis yang dapat mengubah artinya. Ketika Utsman bin Affan menyadari hal ini, dia memerintahkan penyusunan satu salinan standar Quran dan salinan-salinannya dikirim ke beberapa pusat wilayah kekuasaan Islam yang terus meluas.[44]

Seiring Utsman menua, Marwan bin al-Hakam, seorang kerabat dari Muawiyah, menyelinap ke dalam kekosongan, menjadi sekretarisnya dan perlahan mengambil kendali. Ketika Utsman dibunuh pada 656, Ali bin Abi Thalib, sepupu dan menantu Muhammad, menaiki posisi khalifah dan memindah ibukota ke Kufah di Iraq. Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur Suriah, dan Marwan bin al-Hakam menuntut penangkapan pelaku pembunuhan. Marwan menggerakkan setiap orang dan membuat konflik, yang membuahkan Perang saudara Islam pertama ("Fitnah pertama"). Ali dibunuh oleh Khawarij pada 661. Enam bulan kemudian pada 661, demi kepentingan perdamaian, putra Ali, Hasan, membuat perjanjian damai dengan Muawiyah. Dalam Perjanjian Hasan–Mu'awiyah, Hasan menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah dengan syarat dia akan berbuat adil kepada rakyat dan tidak membuat dinasti setelah dia meninggal.[45][46] Muawiyah pada akhirnya melanggar persyaratan tersebut dan memulai Dinasti Umayyah, beribukota Damaskus.[47] Husain bin Ali, yang saat itu adalah satu-satunya cucu Muhammad yang masih hidup, menolak untuk berbaiat ke keluarga Umayyah. Dia terbunuh di Pertempuran Karbala di tahun yang sama, di peristiwa yang masih diperingati sebagai hari berkabung oleh Syiah, Hari Asyura. Kerusuhan, yang dikenal dengan Fitnah kedua, berlanjut, tetapi kekuasaan Muslim terus meluas di bawah Muawiyah ke Rodos, Kreta, Kabul, Bukhara, dan Samarkand, dan juga meluas ke Afrika Utara. Pada 664, pasukan Arab menaklukkan Kabul,[48] dan pada 665 mendesak sampai ke Magrib.[49]

Kekhalifahan Umayyah

[sunting | sunting sumber]
Kekhalifahan Umayyah

Dinasti Umayyah, yang namanya diambil dari Umayyah bin Abdu Syams, kakek buyut khalifah Umayyah pertama, memerintah dari 661 sampai 750. Meskipun keluarga Umayyah berasal dari kota Mekkah, ibu kota negara adalah Damaskus. Setelah meninggalnya Abdurrahman bin Abi Bakar pada 666,[50][51] Muawiyah bin Abu Sufyan memperkukuh kekuasaannya. Muawiyah memindah ibukotanya dari Damaskus ke Madinah, yang membawa perubahan besar terhadap negara Islam. Di waktu kemudian, pemindahan Khalifah dari Damaskus ke Baghdad menandai naik tahtanya satu keluarga baru.

Seiring negara tumbuh, pengeluaran negara meningkat. Selain pengeluaran Baitulmal dan negara kesejahteraan untuk membantu warga fakir, miskin, lansia, yatim, janda, dan difabel meningkat, kekhalifahan meminta orang-orang yang baru masuk Islam (mawali) untuk terus membayar pajak perkapita. Pemerintahan Umayyah, beserta kekayaan dan kemewahannya juga tampak tidak sejalan dengan pesan Islam yang didakwahkan oleh .[52][53][54] Semua ini meningkatkan ketidakpuasan.[55][56] Keturunan paman Muhammad Abbas bin Abdul-Muththalib menyatukan para mawali, bangsa Arab yang miskin, dan beberapa Syiah, yang tidak puas untuk melawan Kekhalifahan dan menggulingkan mereka dengan bantuan Panglima Abu Muslim Al Khurasany, melantik Dinasti Abbasiyyah pada tahun 750, yang memindah ibu kota ke Baghdad.[57] Satu cabang dari keluarga Umayyah melarikan diri menyeberangi Afrika Utara ke Andalusia dan di sana mereka mendirikan Kekhalifahan Kordoba. Baitulmal dan negara kesejahteraan tadi kemudian diteruskan di bawah Dinasti Abbasiyyah.

Dinasti Umayyah sempat mencakup wilayah lebih luas dari 5.000.000 mil persegi (13.000.000 km2) yang membuatnya salah satu dari imperium terbesar yang pernah ada di dunia.[58]

Kekhalifahan Abbasiyah atau Bani Abbasiyah adalah Kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Baghdad dan kemudian berpindah ke Kairo sejak tahun 1261, Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dunia, Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya dari Bani Umayyah dan menundukkan semua wilayahnya kecuali Andalusia, Bani Abbasiyah me-rujuk kepada keturunan dari paman yang termuda, yaitu Abbas bin Abdul-Muththalib, oleh karena itu mereka juga termasuk ke dalam Bani Hasyim, berkuasa mulai tahun 750 dan memindahkan ibu kota dari Damaskus ke Baghdat, pada zaman Kekhalifahan Abbasiyah atau Bani Abbasiyah, keturunan dari Ahlul Bait Sayyidina Hussein menuju pasai Pulau Perca yang salah satunya yakni Iskandar Zulkarnain Sultan Yang Dipertuan dari Sayyidina Hussein, Sultan Iskandar Zulkarnain beserta anak cucu berangkat dari pulau Perca syiar Islam nasab Iskandar Zulkarnain (IZ) dari Ahlul Bait Sayyidina Hussein bin Ali istri Puteri Syahri Banun keturunan Muhammad salah satu diantaranya ialah Sultan Ratu Mumelar paksi Raja Diraja, Raja Nusirwan, Raja Masyirik dan Magrib, sedangkan nasab IZ dari putri anak baludari pencar dari raja sulaiman alaihi's yaitu raja Bicitram syah, sri sultan Perkasa Alam Johan Berdaulat, sultan Alaudin Mughayat Syah Raja Diraja, Sultan, Raja keindraan itu turun-temurun dari pada pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah, baik ke atas, ke bawah, maupun ke samping dan bangsa Sultan Iskandar Zulkarnain, Asal usul bangsa kahulu menyebut Sultan, Raja di Pulau Perca penyebar Islam berasal dari Sultan Yang Dipertuan [59].

Islam di Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Islam telah dikenal di Indonesia pada abad pertama Hijriyah atau 7 Masehi, meskipun dalam frekuensi yang tidak terlalu besar hanya melalui perdagangan dengan para pedagang muslim yang berlayar ke Indonesia untuk singgah untuk beberapa waktu. Pengenalan Islam lebih intensif, khususnya di Semenanjung Melayu dan Nusantara, yang berlangsung beberapa abad kemudian.

Agama islam pertama masuk ke Indonesia melalui proses perdagangan, pendidikan dan lain-lain.

Tokoh penyebar agama islam adalah walisongo antara lain,

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki dan referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Watt, W. Montgomery (2003). Islam and the Integration of Society. Psychology Press. hlm. 5. ISBN 978-0-415-17587-6. 
  2. ^ a b van Ess, Josef (2017). "Setting the Seal on Prophecy". Theology and Society in the Second and Third Centuries of the Hijra, Volume 1: A History of Religious Thought in Early Islam. Handbook of Oriental Studies. Section 1: The Near and Middle East. 116/1. Diterjemahkan oleh O'Kane, John. Leiden and Boston: Brill Publishers. hlm. 3–7. doi:10.1163/9789004323384_002. ISBN 978-90-04-32338-4. ISSN 0169-9423. 
  3. ^ https://metro.tempo.co/read/863933/zakir-naik-ceramah-di-bekasi-malam-ini-42-ribu-tiket-ludes
  4. ^ Donner 2010, hlm. 628.
  5. ^ Robinson 2010, hlm. 6.
  6. ^ Robinson 2010, hlm. 2.
  7. ^ Hughes 2013, hlm. 56.
  8. ^ a b Donner 2010, hlm. 633.
  9. ^ Lihat pula Hughes 2013, hlm. 6 & 7, yang mengaitkan praktek kritik tradisi dan sumber sebagai satu pendekatan.
  10. ^ Donner 2010, hlm. 629, 633.
  11. ^ Donner 2010, hlm. 630.
  12. ^ Donner 2010, hlm. 631.
  13. ^ Donner 2010, hlm. 632.
  14. ^ a b Robinson 2010, hlm. 9.
  15. ^ Robinson 2010, hlm. 4, 5.
  16. ^ a b c Albert Hourani (2002). A History of the Arab Peoples. Harvard University Press. hlm. 22–23. ISBN 9780674010178. 
  17. ^ "Hasil langsung kemenangan Muslima dalah kekacauan. Kemenangan Madinah memicu suku-suku sekutu untuk menyerang suku-suku non-sekutu untuk mengganti kerugian mereka. Tekanan ini mendorong suku-suku [...] ke luar batas negara. Suku Bakar, yang telah mengalahkan sebuah detasemen Persia pada 606, bergabung dengan pasukan Muslim dan menyebabkan mereka terlibat serbuan di Iraq selatan [...] Serupa dengan tumpahnya serbuan kesukuan yang terjadi di batas wilayah Suriah. Abu Bakar setuju dengan gerakan ini [...] Yang tadinya adalah pertempuran kecil antarsuku sebagai konsolidasi sebuah konfederasi politik di Jazirah Arab menjadi perang besar-besaran melawan kedua kekuatan." (Lapidus 2002, hlm. 32)
  18. ^ "Dalam berhadapan dengan pemimpin yang ditangkap Abu Bakar menunjukkan grasi yang luar biasa, dan banyak yang menjadi pendukung pergerakan Islam." W. Montgomery Watt, Encyclopaedia of Islam 2nd ed., "Abu Bakr", vol. 1, p. 110. "Keputusan Umar setelahnya (kebalikan dari kebijakan eksklusif Abu Bakar) yang mengizinkan suku-suku yang tadinya memberontak selama perjalanan perang Riddah dan telah ditaklukkan untuk ikut serta dalam invasi perluasan dan serangan ke Bulan Sabit Subur [...] telah memasukkan Arab-Arab yang dikalahkan ke dalam kekuasaan sebagai Muslim." (Berkey 2003, hlm. 71)
  19. ^ Sumber-sumber [n]on-Muslim memungkinkan kita untuk melihat keuntungan tambahan, yakni, bahwa para Arab telah melayani pasukan Romawi Timur dan Persia jauh sebelum Islam; mereka telah memperoleh pelatihan bernilai dalam persenjataan dan taktik militer dari kerajaan tersebut dan pada kadar tertentu telah mengalami akulturasi dengan kebiasaan mereka. Bahkan nyatanya, sumber-sumber ini mengisyaratkan bahwa kita perlu melihat bahwa koalisi Arab barat Muhammad, baik anggota mukim maupun pengelananya, bukan sebagai orang luar yang berusaha meruntuhkan kerajaan tersebut, tetapi lebih sebagai orang dalam yang berusaha mengambil bagian dari kekayaan majikannya. (Hoyland 2014, hlm. 227)
  20. ^ Abdul Basit Ahmad (2001). Umar bin Al Khattab - The Second Caliph of Islam. Darussalam. hlm. 43. ISBN 978-9960-861-08-1. 
  21. ^ Khalid Muhammad Khalid; Muhammad Khali Khalid (2005). Men Around the Messenger. The Other Press. hlm. 20–. ISBN 978-983-9154-73-3. 
  22. ^ Maulana Muhammad Ali (8 August 2011). The Living Thoughts of the Prophet Muhammad. eBookIt.com. hlm. 132–. ISBN 978-1-934271-22-3. 
  23. ^ Muhammad Al-Buraey (1985). Administrative Development: An Islamic Perspective. KPI. hlm. 254–. ISBN 978-0-7103-0333-2. 
  24. ^ The challenge of Islamic renaissance by Syed Abdul Quddus
  25. ^ Muhammad Al-Buraey (1985). Administrative Development: An Islamic Perspective. KPI. hlm. 252–. ISBN 978-0-7103-0059-1. 
  26. ^ Ahmed Akgündüz; Said Öztürk (1 January 2011). Ottoman History: Misperceptions and Truths. IUR Press. hlm. 539–. ISBN 978-90-90-26108-9. 
  27. ^ a b Sami Ayad Hanna; George H. Gardner (1969). Arab Socialism. [al-Isytirakīyah Al-ʻArabīyah]: A Documentary Survey. Brill Archive. hlm. 271–. GGKEY:EDBBNXAKPQ2. 
  28. ^ Esposito 2000, hlm. 38.
  29. ^ Hofmann (2007), p. 86
  30. ^ Islam: An Illustrated History oleh Greville Stewart Parker Freeman-Grenville, Stuart Christopher Munro-Hay hlm. 40
  31. ^ R. B. Serjeant (1978). "Sunnah Jami'ah, pacts with the Yathrib Jews, and the Tahrim of Yathrib: analysis and translation of the documents comprised in the so-called 'Constitution of Medina'". Bulletin of the School of Oriental and African Studies. 41: 1–42. doi:10.1017/S0041977X00057761. ISSN 0041-977X. 
  32. ^ R. B. Serjeant (1964). "The Constitution of Medina". Islamic Quarterly. 8: 4. 
  33. ^ Constitution of Medina. scribd.com
  34. ^ Wilferd Madelung (15 October 1998). The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate. Cambridge University Press. hlm. 61. ISBN 978-0-521-64696-3. 
  35. ^ Rahman 1999, hlm. 40.
  36. ^ Archibald Ross Lewis (1985). European Naval and Maritime History, 300–1500. Indiana University Press. hlm. 24–. ISBN 978-0-253-32082-7. 
  37. ^ Leonard Michael Kroll (2005). History of the Jihad: Islam Versus Civilization. AuthorHouse. hlm. 123–. ISBN 978-1-4634-5730-3. 
  38. ^ Timothy E. Gregory (26 August 2011). A History of Byzantium. John Wiley & Sons. hlm. 183–. ISBN 978-1-4443-5997-8. 
  39. ^ Mark Weston (28 July 2008). Prophets and Princes: Saudi Arabia from Muhammad to the Present. John Wiley & Sons. hlm. 61–. ISBN 978-0-470-18257-4. 
  40. ^ Khalid Muhammad Khalid; Muhammad Khali Khalid (February 2005). Men Around the Messenger. The Other Press. hlm. 117–. ISBN 978-983-9154-73-3. 
  41. ^ P. M. Holt; Peter Malcolm Holt; Ann K. S. Lambton; Bernard Lewis (1977). The Cambridge History of Islam. Cambridge University Press. hlm. 605–. ISBN 978-0-521-29138-5. 
  42. ^ Maulana Muhammad Ali (9 August 2011). The Early Caliphate. eBookIt.com. hlm. 101–. ISBN 978-1-934271-25-4. 
  43. ^ Rahman 1999, hlm. 37.
  44. ^ Schimmel, Annemarie; Barbar Rivolta (Summer, 1992). "Islamic Calligraphy". The Metropolitan Museum of Art Bulletin, New Series 50 (1): 3.
  45. ^ Wilferd Madelung (1998). The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate. Cambridge University Press. hlm. 232. ISBN 978-0-521-64696-3. 
  46. ^ Bukhari, Sahih. "Sahih Bukhari : Book of "Peacemaking"". 
  47. ^ Holt 1977a, hlm. 67–72.
  48. ^ Roberts, J: History of the World. Penguin, 1994.
  49. ^ Dermenghem, E. (1958). Muhammad and the Islamic tradition. New York: Harper Brothers. p. 183.
  50. ^ The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate oleh Wilferd Madelung. p. 340.
  51. ^ Encyclopaedic ethnography of Middle-East and Central Asia: A-I, Volume 1, disunting oleh R. Khanam. p. 543
  52. ^ Islam and Politics John L. Esposito 1998 p. 16
  53. ^ Islamic Imperial Law: Harun-Al-Rashid's Codification Project by Benjamin Jokisch - 2007 p. 404
  54. ^ The Byzantine And Early Islamic Near East Hugh N. Kennedy - 2006 p. 197
  55. ^ A Chronology of Islamic History by H. U. Rahman pp. 106, 129
  56. ^ Voyages in World History by Josef W. Meri p. 248
  57. ^ Lapidus 2002, hlm. 56; Lewis 1993, hlm. 71–83
  58. ^ Blankinship, Khalid Yahya (1994). The End of the Jihad State, the Reign of Hisham Ibn 'Abd-al Malik and the collapse of the Umayyads. State University of New York Press. hlm. 37. ISBN 978-0-7914-1827-7. 
  59. ^ https://artsandculture.google.com/entity/g1q6h_y5f_?hl=id

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]