Kerajaan Lasem
Kerajaan Lasêm | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1351–1479 | |||||||||
Agama | Kejawen, Çiwa-Buddha, Hindu (Siwaisme), Buddha, Islam | ||||||||
Sejarah | |||||||||
1351 | |||||||||
1479 | |||||||||
Mata uang | Koin emas dan perak, kepeng/koin perunggu yang diimpor dari Tiongkok (Berdasarkan mata uang yang berlaku pada masa imperium Majapahit | ||||||||
| |||||||||
Bagian dari seri mengenai |
---|
Sejarah Indonesia |
Garis waktu |
Portal Indonesia |
Kerajaan Lasêm adalah nama sebuah kerajaan bawahan Majapahit yang berdiri di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur pada abad ke-14. Kerajaan ini banyak meninggalkan bukti sejarah baik yang bercorak Hindu, Buddha , Kerajaan Lasem berganti statusnya menjadi Kadipaten Lasem pada abad ke-15 sepeninggalan Pangeran Wiranegara.
Nama
Menurut naskah yang ditulis oleh Mbah Guru, nama Lasem diambil dari nama Kamala dan Bekasem. Manisan buah Kamala dan olahan Bekasem ini diajarkan oleh Ki Welug (Mpu Rangga Widyabadra, meninggal tahun 920M) kepada masyarakat Banjar Karanggan dan sekitarnya (banjar=desa besar). Ada versi lain yang menyebutkan bahwa Lasem berasal dari kata Alas Asem, maupun versi lain yaitu Lasem berasal dari kata Lao Sam.
Pusat Kerajaan Lasem dan masa keruntuhan kerajaan lasem
Pusat pemerintahan Kerajaan Lasem terletak dataran sebelah barat Pegunungan Lasem, tepatnya di Bhumi Kriyan. Pada tahun 1391 Syaka, Pangeran Wirabajra memindahkan pusat pemerintahannya ke Bhumi Bonang Binangun. Masa Keruntuhan Kerajaan Lasem Keruntuhan Kerajaan Lasem tidak bisa lepas dari meredupnya kerajaan induk Majapahit. Krisis internal perebutan kekuasaan terjadi pasca sepeninggal generasi emas pembesar kerajaan Majapahit diantaranya Gajah Mada, Tribuana Tungga Dewi, dan Hayam Wuruk. Pasca wafatnya Hayam Wuruk, mulai terjadi perpecahan internal di tubuh Majapahit. Perselisihan terjadi antara Wikrama Wardhana dan Bhre Wirabhumi yang berujung pada terjadinya Perang Paregreg (1405-1406). Perselisihan tidak hanya terjadi disini saja, selanjutnya terjadi silih berganti perselisihan - perselisihan hingga Majapahit runtuh. Bahkan perebutan takhta Majapahit seringkali juga diwarnai pertumpahan darah.
Akibat dari konflik internal Majapahit ini, banyak kerajaan - kerajaan jajahan di Nusantara yang melepaskan diri. Raja Majapahit terakhir yaitu Girindra Wardhana Parbu Nata sendiri hanya menjabat sebagai raja Majapahit selama 5 tahun dan kemudian mengundurkan diri dan memilih menjadi raja Blambangan.
Kerajaan Lasem sebagai Kerajaan Vasal Majapahit juga terkena imbas konflik internal Majapahit. Lasem yang sebelumnya tercatat sebagai wilayah bagian Kerajaan Majapahit pada Piagam SIngosari (1351) kemudian tidak tercantum lagi pada Prasasti Wringin Pitu (1464). Barulah ketika Bhre Pandan Salas naik tahta, Lasem kembali tercatat sebagai Kerajaan Vasal Majapahit. Dengan adanya penghapusan dan penambahan kembali Kerajaan Lasem sebagai kerajaan vassal Majapahit mengindikasikan adanya ketidakstabilan politik yang terjadi di internal Kerajaan Majapahit.
Setelah berakhirnya kekuasaan Bhre Pandan Salas atas Kerajaan Majapahit yang tak lebih menjabat hanya selama dua tahun (1466-1468) selesai pula kekuasaan Bhre Lasem, putri Bhre Pandan Salas atas Kerajaan Lasem. Bhre Lasem terakhir menghapus Kerajaan Lasem dan inilah masa akhir Lasem sebagai kerajaan vasal Majapahit.
sejarah kerajaan lasem
Pada masa Kutha Lasem dipimpin oleh Akuwu Mpu Metthabadra pada tahun 1345 M keadaan Lasem masih aman dan tenteram. Tidak ada negeri lain yang menjajahnya. Baru pada masa Wilwatikta diperintah oleh Prabu Hayam Wuruk, Akuwu Lasem Mpu Metthabadra ditaklukkan oleh pasukan pimpinan Patih Arya Gajah (Gajah Mada?) dan Lasem berada di bawah imperium Majapahit. Kemudian pemerintahan Kerajaan Lasem diserahkan kepada Dewi Indu, dia diwisuda sebagai Raja dengan gelar Bhre Lasem pada tahun 1351 M. Naskah Carita Sejarah Lasem menyebutkan bahwa pada tahun Syaka 1273 (1351 Masehi), adalah Dewi Indu yang menjadi Ratu di Lasem, dia adik nakdulur misanane (adik saudara sepupunya) Prabu Hayam Wuruk di Wilwatikta (Majapahit). Penamaan Kerajaan Lasem pertama kali disebut dalam Piagam Singosari yang berangka tahun 1273 saka atau 1351 Masehi . Dari piagam Singosari tersebut menyebutkan bahwa Lasem sebelum 1351 M bukanlah daerah yang penting. Dapat disimpulkan bahwa kemungkinan Lasem telah ada sebelum tahun 1351 M atau bahkan sudah ada pada zaman Kerajaan Kediri sekalipun hanya sebagai daerah setingkat pakuwu atau kadipaten.
Keberadaan Lasem sebagai kerajaan yang berdaulat diperkuat oleh Nagarakertagama yang menyebutakan ketika Arya Wiraraja ayahanda Nambi sakit keras di Lumajang, orang - orang penting Kerajaan Majapahit datang untuk menjenguknya. Salah satu dari rombongan tersebut adalah Adipati Lasem atau "Ra Lasem", seorang loyalis Raden Wijaya yang membantu dalam pendirian Kerajaan Majapahit. Sayangnya Jayanegara, raja yang memimpin Majapahit pada masa itu terhasut oleh omongan Mahapati, bahwa Nambi sedang merencanakan pemberontakan untuk menyerang Kerajaan Majapahit dan sedang menghimpun kekuatan di Lumajang. Jayanegara kemudian mengirim pasukan untuk menggempur Lumajang. Nambi dan pasukannya akhirnya gugur oleh serbuan pasukan Jayanegara termasuk Adipati Lasem yang ikut membela Patih Nambi.
Baca Juga : Nambi, Kisah Arya yang di Fitnah Mahapati
Dari sepenggal kisah tersebut bisa disimpulkan bahwa sebelum adanya piagam Singosari tahun 1273 saka atau 1351 Masehi, Lasem sudah ada sebagai suatu daerah berdaulat. Kitab Nagarakertagama juga menyebutkan bahwa Bhre Lasem pertama Duhitendu Dewi merupakan salah satu penguasa dari 11 kerajaan khusus di Jawa. Ia juga menjadi salah satu dari sembilan Dewan Petimbangan Agung Kerajaan Majapahit. Dengan adanya statement ini, bisa disimpulkan bahwa Bhre Lasem mempunyai peranan istimewa di Kerajaan Majapahit. Bila kerajaan - kerajaan lain taklukan Majapahit diatur dalam undang - undang kerajaan Majapahit, berbeda dengan ke sebelas kerajaan yang dikuasakan kepada kerabat raja Majapahit. Kesebelas kerajaan ini merupakan penopang Kerajaan Majapahit baik dalam sisi sosial, ekonomi dan politik bagi keberlangsungan imperium Majapahit di Nusantara.
Sebelas kerajaan dalam Piagam Singosari tahun 1351 M :
Kerajaan Daha Kerajaan Wengker Kerajaan Mataun Kerajaan Lasem Kerajaan Pajang Kerajaan Paguhan Kerajaan Kahuripan Kerajaan Singasari Kerajaan Mataram Kerajaan Wirabhumi Kerajaan Pawanukan
Kedelapan Dewan Pertimbangan Agung Kerajaan Majapahit :
Hayam Wuruk sebagai Ketua Tribuana Tunggadewi Sri Kerta Wardhana Sri Wijaya Rajasa Duhitendu Dewi Sri Rajasa Wardhana Bhre Pajang Dyah Wiyat Sri Rajadewi Pada masa transisi kekuasaan keluar piagam Waringin Pitu 1464 M. Di dalam prasasti tersebut tidak menyebutkan Karajaan Lasem sebagai bagian dari Kerajaan Majapahit. Namun, pada tahun 1466 ketika Bhre Pandan Salas naik tahta Majapahit, Lasem kembali tercatat menjadi kerajaan vassal Majapahit. Penambahan dan penghapusan kerajaan vassal di Majapahit mengindikasikan bahwa terjadi ketidakstabilan konstilasi politik di kerajaan Majapahit.
Sementara itu, dalam Pararaton menyebutkan "Adapun adik perempuan Hayam Wuruk, Bhre Lasem, menikah dengan Raja Matahun Rajasawardhana; sedangkan adik termuda, Bhre Lasem menurunkan putri bernama Nagarawardhani, yang kemudian dinikahkan dengan putra Hayam Wuruk dari selir, bernama Bhre Wirabhumi. Bhre Wirabhumi nikah dengan Bhre Lasem sang Alemu (Bhre Lasem yang gemuk / Bhre Lasem III)". Dengan begitu, Nagarawardhani dalam Nagarkertagama sama dengan Bhre Lasem jeng Alemu dalam Pararaton.
Selama 120 tahun, Lasem dipimpin oleh lima orang ratu. Pengangkatan perempuan sebagai pemimpin kerajaan senada dengan apa yang ada di Kerajaan Majapahit dengan diangkatnya Tribhuana Tungga Dewi dan Diyah Wiyat sebagai raja yang berkuasa di Kahuripan dan Dhaha.
Daftar raja-raja Lasem
Menurut naskah Veda Badra Santi (Mpu Santibadra) maupun Kitab Carita Lasem (Mpu Panji Karsono), urutan raja-raja Lasem adalah sebagai berikut.
- Bhre Lasem Duhitendu Dewi(Dewi Indu Purnamawulan), raja pertama Kerajaan Lasem
- Pangeran Badrawardana, dia adalah putra Bhre Lasem Duhitendu Dewi dan Bhre Mataun Rajasawardana
- Pangeran Wijayabadra, putra Pangeran Badrawardana
- Pangeran Badranala, putra Pangeran Wijayabadra
- Pangeran Wirabajra, putra Pangeran Badranala dan Putri Cempo Bi Nang Ti, pusat pemerintahan dipindah di Bhumi Bonang Binangun
- Pangeran Wiranagara, putra Pangeran Wirabajra, ia juga menantu Sunan Ampel
Pada saat Pangeran Wiranagara wafat, pemerintahan dipegang oleh istrinya yaitu Nyi Ageng Maloka putri Sunan Ampel dan pusat pemerintahan dipindah kembali ke Bhumi Lasem depan Puri Kriyan dengan gelar Adipati Lasem. Ia dibantu oleh sanak saudara dari pihak suami, Pangeran Santipuspa putra Tumenggung Wilwatikta Mpu Santibadra.
Keadaan penduduk
Penduduk Lasem pada umumnya bekerja sebagai petani, nelayan, pedagang, maupun pengrajin. Kerajaan Lasem memang terkenal sebagai negara pesisir, dengan pelabuhan utamanya terletak di Pelabuan Kaeringan dan Pelabuhan Regol.
Agama resmi Kerajaan Lasem pada masa pemerintahan Duhitendu Dewi sampai masa pemerintahan Pangeran Wirabajra adalah Çiwa-Buddha selain ada pula Hindu aliran Siwa, Buddha, dan Kejawen. Ketika Pangeran Wiranagara berkuasa, agama resmi kerajaan berganti menjadi Islam walaupun agama lain masih tetap diakui sebagai agama kerajaan.
Keluarga Bi Nang Un menetap di Lasem
Pada kira-kira tahun Syaka 1335 (1413 Masehi), ada salah seorang Dhang Puhawang (Lasem: Laksamana) dari negara Cempa yang bernama Bi Nang Un beserta keluarga dan orang-orang warga dari negerinya datang di Lasem, berlabuh, mendaratkan kapal-kapalnya di pelabuhan Regol. Kedatangan mereka karena mereka semua hendak pindah dari negara Cempa dan menetap di bumi Lasem yang sebelumnya telah mendapatkan izin dari Adipati Pangeran Wijayabadra. Setahun sebelum kedatangan mereka, Bi Nang Un telah terlebih dulu datang di Lasem karena ikut berlayar menjelajah Bawana (dunia) bersama Dhang Puhawang Cheng Ho dari negara Tiongkok. Ketika Bi Nang Un melihat betapa melimpah dan suburnya bumi Lasem, juga orang-orang sekitar yang begitu ramah apalagi di Lasem telah banyak juga orang-orang Cempa yang pindah dan menetap di sana, seketika itu juga timbul keinginan Dhang Puhawang Bi Nang Un untuk ikut pindah dan menetap di Lasem. Dirinya lantas meminta izin dan pamit kepada Dhang Puhawang Cheng Ho, tidak dapat meneruskan perjalanannya berlayar menjelajah Bawana (dunia) dan hendak pindah menetap di Lasem. Permintaan tersebut akhirnya juga mendapatkan restu dari Pangeran Wijayabadra selaku Adipati Lasem tetapi dengan syarat jika kepindahannya kelak beserta keluarga dan warga-warga lain dari Cempa diharapkan dapat membawa banyak benda atau tanaman-tanaman yang di tanah Jawa tidak ada, seperti; Pari Campa Klewer (Padi Campa), Ketan Ireng (ketan hitam), pelem blungkow (mangga blungkow), Tebu Limpow, Delimow (delima), Pitik Cempow (ayam Campa), merak ulese biru (burung merak berbulu biru), serta orang-orang yang ahli di bidang Kesenian. Orang-orang Campa itu perawakan dan kulitnya mirip sekali dengan orang Jawa. Yang laki-laki memakai “gelung kadhal-menek” dan sisir “penyu-plengkung”, dan menggunakan sarung gembaya. Jauh sekali dengan kebiasaan dan perawakan orang-orang Cina. Orang Campa beragama Buddha dan memuja Sang Lokeswara, sedangkan orang-orang dari Cina beragama Kong Hu Cu dan memuja dewa beraneka rupa. Lelaki Cina memakai kuncir Towcang, dan bercelana gombyor hitam. Kedatangan Bi Nang Un beserta keluarga dan rakyat-rakyatnya diterima dengan sangat baik oleh Adipati Lasem Pangeran Wijayabadra, lantas mendapatkan tanah untuk bertempat tinggal di bumi Kemandhung sampai ke Telangbenthung. Orang-orang dari Campa pintar sekali membuat Slepi (wadah tembakau) dari bulu merak, pintar membatik, membuat perhiasan dari emas, menari dan membuat gamelan. Anak-anak kecil dan juga generasi mudanya entah laki-laki atau perempuan pasti bisa menari dan menabuh gamelan untuk upacara-upacara pemujaan dalam agama Buddha. Istri Bi Nang Un bernama Na Li Ni, mereka mempunyai dua orang anak, pada saat kepindahan merek ke bumi Lasem anak yang pertama berusia lima tahun bernama Bi Nang Na, anak yang kedua berumur tiga tahun bernama Bi Nang Ti. Bi Nang Un berserta keluarga dan orang-orangnya menetap di bumi Kemendhung di sebelah selatan sungai, sedangkan yang di sebelah utara sungai terpagari tembok beteng kota Kadipaten Lasem yang panjang membujur ke timur sampai ke Taman Kamalapuri. Sepanjang pagar pekarangan rumah di Kemandhung membujur terus ke selatan sampai ke tanjakan pekarangan Juru Demung ditanami kembang melathi rangkep (bunga melati rangkep) yang disukai oleh Putri Na Li Ni, karena itulah tempat menetapnya Pangeran Bi Nang Un dinamakan Taman Banjarmlati. Di Taman Banjarmlati tersebut Putri Na Li Ni mengajar membuat slepi lar merak (kipas dari bulu merak), membatik dan mengajari menari kepada anak-anak putri Kemandhung dan juga mengajari kepada putra putrinya sendiri. Kakek Ke Tong Dhaw yang merupakan paman putri Na Li Ni, menjadi Pujangga Seni Karawitan dan mengajar Karawitan kepada para pemuda di desa tersebut; juga mengajarkan ilmu Dharma Buddha Sakyamuni. Kakek Mpu Pandhita Asthapaka (Ke Tong Dhaw) tersebut membuka hutan sebelah selatan bumi Kemandhung, dan membuat sendang (mata air) yang airnya dengan sangat deras keluar dari tanah padas (tanah keras/gersang) yang sumber airnya dari sumber payung, sendang (mata air) tersebut lantas di beri nama sendang “Jalatundha”. Setelahnya daerah tersebut di beri nama desa Ketandhan, dengan Kakek Ke Tong Dhaw menjadi cikal bakal desa tersebut dengan panggilan Buyut Ketandha.
Pada masa-masa inilah, lahir Batik Lasem yang sampai sekarang menjadi ikon batik pesisiran khas Lasem yang kaya akan perpaduan unsur-unsur budaya dengan warna yang khas dan motif yang unik.
Peninggalan sejarah
Banyak peninggalan pada masa Kerajaan Lasem, namun banyak juga yang telah dimusnahkan oleh pihak Kolonial pada masa penjajahan sebab para penjajah kesulitan jika Wong Lasem bersatu. Akhirnya mereka memecah belah Wong Lasem dengan memelencengkan sejarah, membakar habis kitab-kitab kuno, dan menghancurkan bangunan bersejarah seperti candi-candi, kecuali Kitab Sabda Badra Santi yang disimpan di rumah Raden Panji Margono yang masih keturunan dari raja-raja Lasem sekaligus putra Adipati Lasem Tejokusumo V. Peninggalan yang masih tersisa antara lain.
- Punden Perabuan Eyang Santibadra, Bukit Tapaan, Ngasinan, Warugunung
- Pertapaan Gebang, Warugunung
- Punden Perabuan Bhre Lasem (Peruntuhan Candi Maladresmi), Gowak
- Pertapaan Mandirasari, Gunung Selembu, Rakitan
- Pelabuhan Regol, Bonang Binangun
- Makam Pangeran Wiranegara, Sriombo
- Makam Pangeran Wirabajra, Sriombo
- Perabuan Putri Cempo Bi Nang Ti dan Pangeran Badranala, Bonang
- Reruntuhan Taman Sitaresmi, Caruban, Gedongmulyo
- Reruntuhan Taman Kamalapuri, Bumi Makam Kutha, Sumbergirang
- Reruntuhan Candi Pucangan, Tasiksono
- Reruntuhan Candi Ratnapangkaja, Semangu, Karangturi
- Situs Batu Tapak (Tapak Kaki Hayam Wuruk), Kajar
- Situs Lingga Kajar, Kajar
Kepustakaan
- Mpu Santibadra. Veda Sabda Badra Santi
- Panji Karsono. 1920. Carita (Sejarah) Lasem
- Mbah Guru. 1996. Sejarah Kawitane Wong Jawa lan Wong Kanung
- Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
- Akrom Unjiya. 2008. Lasem: Kota Dampoawang Sejarah yang Terlupakan