Lompat ke isi

Kerajaan Kahuripan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kerajaan Kahuripan

1009–1042
Peta kerajaan Kahuripan
Peta kerajaan Kahuripan
Ibu kota
Bahasa yang umum digunakanJawa Kuno Sansekerta
Agama
Kejawen, Hinduisme, Buddhisme
PemerintahanMonarki
Raja 
• 1009–1042
Airlangga
• 1042
Sanggramawijaya Tunggadewi
(Memilih menjadi pertapa bergelar Dewi Kili Suci)
Sejarah 
• Airlangga membangun bekas Kerajaan Medang yang runtuh akibat serangan Wurawari sekutu Sriwijaya
1009
• Airlangga membagi kerajaan menjadi Janggala dan Kadiri (Panjalu)
1042
Mata uangKoin emas dan perak
Didahului oleh
Digantikan oleh
Medang
Kadiri
Janggala
Sekarang bagian dari Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Kerajaan Kahuripan atau Kahuripan Aksara Jawa : ꦑꦲꦸꦫꦶꦥꦤ꧀:Kahuripan) adalah nama yang lazim dipakai untuk sebuah kerajaan di Jawa Timur yang didirikan oleh raja Airlangga pada tahun 1009. Kerajaan ini dibangun sebagai kelanjutan Kerajaan Medang yang runtuh di tahun 1006.

Runtuhnya Kerajaan Medang

Raja Kerajaan Medang yang terakhir bernama Dharmawangsa Teguh, saingan berat Kerajaan Sriwijaya. Pada tahun 1006 Raja Wurawari dari Lwaram sekitar Cepu, Blora (sekutu Sriwijaya) menyerang Wwatan, ibu kota Kerajaan Medang, yang tengah mengadakan pesta pernikahan Airlangga dengan putri dari raja Dharmawangsa Teguh, Dharmawangsa Teguh sendiri tewas dalam serangan tersebut sedangkan keponakannya yang bernama Airlangga berhasil lolos.

Airlangga adalah putera pasangan Mahendradatta (saudari Dharmawangsa Teguh) dan Udayana raja dari Bali. ia lolos ditemani pembantunya yang bernama Mpu Narotama. Sejak saat itu Airlangga menjalani kehidupan sebagai pertapa di hutan pegunungan (Vana giri) sekarang Wonogiri, pada tahun 1009 Airlangga didatangi utusan rakyat yang meminta dirinya mendirikan dan membangkitkan kembali sisa-sisa kejayaan kedaton Medang. Ia kemudian membangun sebuah kerajaan baru yang bernama Kahuripan.

Airlangga Mendirikan Kerajaan Kahuripan

Pada tahun 1009, datang para utusan rakyat dan senopati yang masih setia meminta agar Airlangga membangun kembali Kerajaan Medang. Karena kota Wwatan sudah hancur, maka, Airlangga pun membangun ibu kota baru bernama Watan Mas di dekat sekitar Gunung Penanggungan.

Pada mulanya wilayah kerajaan yang diperintah Airlangga hanya meliputi daerah Gunung Penanggungan dan sekitarnya, karena banyak daerah-daerah bawahan Kerajaan Medang yang membebaskan diri setelah keruntuhannya. Baru setelah Kerajaan Sriwijaya dikalahkan Rajendra Coladewa, raja Colamandala dari Kerajaan Chola India tahun 1023, Airlangga bisa dengan leluasa membangun kembali kejayaan wangsa Isyana.

Peperangan demi peperangan dijalani Airlangga. Satu demi satu kerajaan-kerajaan di Jawa Timur dapat ditaklukkannya. Namun pada tahun 1031 Airlangga kehilangan kota Watan Mas karena diserang oleh raja wanita yang kuat bagai raksasa. Raja wanita itu adalah Ratu Dyah Tulodong, yang merupakan salah satu raja Kerajaan Lodoyong (sekarang wilayah Tulungagung, Jawa Timur). Dyah Tulodong digambarkan sebagai ratu yang memiliki kekuatan luar biasa. Salah satu peristiwa sejarah penting adalah pertempuran antara bala tentara Raja Airlangga yang berhasil dikalahkan oleh Dyah Tulodong. Pertempuran tersebut terjadi lantaran Dyah Tulodong berusaha membendung ekspansi Airlangga yang waktu itu sudah menguasai wilayah di sekitar kerajaannya. Bahkan di beberapa riwayat, diceritakan pasukan khusus yang dibawa Ratu Dyah Tulodong merupakan prajurit-prajurit wanita pilihan. Pasukan ini bahkan berhasil memukul mundur pasukan Airlangga dari pusat kerajaannya Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan hingga ke Patakan (Sambeng, Lamongan, Jawa Timur). Peristiwa ini terjadi pada sekitar tahun 1031.

Tetapi satu tahun kemudian Dyah Tulodong berhasil dikalahkan Airlangga lewat pertempuran sengit di penghujung tahun 1032. Dari arah utara, pasukan Airlangga bergerak ke selatan menuju Lodoyong. Kemudian Dyah Tulodong dapat dikalahkan, bahkan dikemudian Raja Wurawari pun dapat dihancurkannya. Sekaligus membalaskan dendam Airlangga dan wangsa Isyana, saat itu wilayah kerajaan Airlangga mencakup hampir seluruh Jawa Timur.

Airlangga kemudian membangun ibu kota baru bernama Kahuripan berpusat di daerah Kabupaten Sidoarjo sekarang. Nama Kahuripan inilah yang kemudian lazim dipakai sebagai nama kerajaan yang dipimpin Airlangga, sama halnya nama Singhasari yang sebenarnya adalah nama ibu kota, lazim dipergunakan sebagai nama kerajaan yang dipimpin oleh Kertanagara. Pusat kerajaan Airlangga kemudiannya dipindah lagi ke Daha, wilayah Kediri saat ini berdasarkan prasasti Pamwatan, 1042 dan Serat Calon Arang.

Pembagian Kerajaan Kahuripan

Pada akhir pemerintahannya tahun 1042, Airlangga berhadapan dengan masalah persaingan perebutan takhta antara kedua putranya. Raja yang sebenarnya, adalah putri Airlangga, yaitu Sanggramawijaya Tunggadewi, yang menjadi putri mahkota sekaligus pewaris takhta istana Kahuripan, namun ia memilih mengundurkan diri untuk menjalani hidup suci sebagai pertapa bergelar Dewi Kili Suci Sanggramawijaya.

Pada akhir November 1042, atas saran penasehat kerajaan Mpu Barada, Airlangga terpaksa membagi kerajaannya menjadi dua, yaitu bagian barat bernama Kerajaan Kadiri beribu kota di Daha, diserahkan kepada Sri Samarawijaya, serta bagian timur bernama Kerajaan Janggala beribu kota di Kahuripan, diserahkan kepada Mapanji Garasakan. Setelah turun takhta, Airlangga menjalani hidup sebagai pertapa sampai meninggal sekitar tahun 1049. Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.

Kahuripan dalam sejarah Majapahit

Nama Kahuripan muncul kembali dalam catatan sejarah Kerajaan Majapahit yang berdiri tahun 1293. Raden Wijaya sang pendiri kerajaan tampaknya memperhatikan adanya dua kerajaan yang dahulu diciptakan oleh Airlangga.

Dua kerajaan tersebut adalah Kadiri alias Daha, dan Janggala alias Kahuripan atau Jiwana. Keduanya oleh Raden Wijaya dijadikan sebagai daerah bawahan yang paling utama. Daha di barat, Kahuripan di timur, sedangkan Majapahit sebagai pusat.

Pararaton mencatat beberapa nama yang pernah menjabat sebagai Bhatara i Kahuripan, atau disingkat Bhre Kahuripan. Yang pertama ialah Tribhuwana Tunggadewi putri Raden Wijaya. Setelah tahun 1319, pemerintahannya dibantu oleh Gajah Mada yang diangkat sebagai patih Kahuripan, karena berjasa menumpas pemberontakan Ra Kuti.

Hayam Wuruk sewaktu menjabat yuwaraja juga berkedudukan sebagai raja Kahuripan bergelar Jiwanarajyapratistha. Setelah naik takhta Majapahit, gelar Bhre Kahuripan kembali dijabat ibunya, yaitu Tribhuwana Tunggadewi.

Sepeninggal Tribhuwana Tunggadewi yang menjabat Bhre Kahuripan adalah cucunya, yang bernama Surawardhani. Lalu digantikan putranya, yaitu Ratnapangkaja.

Sepeninggal Ratnapangkaja, gelar Bhre Kahuripan disandang oleh keponakan istrinya (Suhita) yang bernama Rajasawardhana. Ketika Rajasawardhana menjadi raja Majapahit, gelar Bhre Kahuripan diwarisi putra sulungnya, yang bernama Samarawijaya.

Situs Budaya Kahuripan

Pranala luar

Didahului oleh:
Medang
Kerajaan Hindu-Budha
1009-1042
Diteruskan oleh:
Kadiri dan Janggala