Pengadilan Agama
Pengadilan Agama (biasa disingkat: PA) adalah sebutan (titelateur) resmi bagi salah satu diantara empat lingkungan peradilan negara, tempat daya upaya mencari keadilan atau penyelesaian perselisihan hukum perdata yang dilakukan dengan me-rujuk kepada peraturan-peraturan Syariat Islam dalam Agama Islam oleh kekuasaan kehakiman Hukum Islam di Indonesia yang sah di Indonesia. Pengembangan Hukum Negara di Indonesia Undang-undang serta peraturan-peraturan pemerintah berdasarkan referensi dari Hukum Agama dan Hukum Adat yang tidak bisa terpisahkan untuk mencegah perlawanan antara Peraturan-peraturan pemerintah dan Undang-undang dengan hukum agama dan hukum adat yang bisa mengakibatkan seperti Politik pecah belah, Fitnah, Penghasutan dan lain sebagainya dalam menyelesaikan perkara di Pengadilan. Pengadilan tingkat pertama inilah yang melaksanakan Kekuasaan kehakiman di Indonesia di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota tingkat Provinsi, kabupaten atau kota. Pengadilan Agama dibentuk dengan Keputusan Presiden, Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 dalam perkembangannya Undang-undang ini mengalami beberapa kali sebagai adanya akibat Amandeman Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-undang yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman. Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama dirubah sebanyak dua kali yaitu dengan Undang-undang Nomo 3 tahun 2006 dan Undang-undang Nomor 50 tahun 2009[1]. (M Idris Ramulyo 1999;12) Pengadilan ialah sebuah institusi yang keberadaannya merupakan keniscayaan dalam sebuah Negara hukum. Melalui lembaga peradilan, persoalan yang tidak dapat diselesaikan secara damai di luar proses persidangan, diharapkan dapat diselesaikan melalui putusan hakim. Meskipun ada paradigma yang mengatakan bahwa menyelesaikan perkara melalui jalur pengadilan akan berakhir dengan kenyataan “menang jadi arang, kalah jadi abu”. Untuk lembaga peradilan agama khususnya dan bidang perdata umumnya, melalui Perma No. 1 tahun 2008 yang diharapkan adalah munculnya win-win solution, berakhir dengan jalan damai dan tidak ada pihak yang kalah ataupun yang menang. Sebagai milik bangsa Indonesia khususnya yang beragama Islam, peradilan agama lahir, tumbuh dan berkembang bersama tumbuh dan berkembangnya bangsa Indonesia, kehadirannya mutlak sangat diperlukan untuk menegakkan hukum dan keadilan bersama dengan lembaga peradilan lainnya. Peradilan Agama telah memberikan andil yang cukup besar kepada bangsa Indonesia pada umumnya, khususnya bagi umat Islam yang ada di bumi Indonesia ini.
Sejak 1 Maret 2003 Pengadilan Agama di Aceh berbentuk Pengadilan Khusus dengan nama Mahkamah. Pembentukan tersebut berdasarkan UU No. 18 Tahun 2001 dan Keppres No. 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah dan Mahkamah Provinsi.[2]
Salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman di Indonesia adalah Peradilan Agama yang merupakan peradilan khusus, bertugas dan berwenang menerima, memutus, mempertimbangkan kronologis kejadian yang sebenarnya, bukti-bukti yang sebenarnya tampa di rekayasa dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, wakaf dan shadaqah serta ekonomi. Prof Asikin, seorang praktisi hukum yang cara berpikirnya dapat disetarakan dengan filsuf agustinus memiliki makna yang mendalam tentang keadilan dan kepastian hukum yang menjadi tujuan penyelenggaraan peradilan oleh hakim sebagai pejabat pelaksana. (Varia Peradilan, Oktober 2010; 78)
Kewenangan
Tugas pokok Pengadilan Agama adalah menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
Secara historis, (Abdul Manan 2007; 254) peradilan agama merupakan salah satu mata rantai peradilan Islam yang berkesinambungan sejak masa Nabi Muhammad SAW, Khulafaur Rasyidin, Khulafah Bani Umayyah, Dinasti Abbasiyah, Dinasti Turki Ustmani sampai sekarang oleh Negara-negara Islam atau Negaranegara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Peradilan Islam ini mengalami pasang surut sejalan dengan perkembangan masyarakat Islam di berbagai kawasan dan Negara.
Tahapan Penanganan Perkara di Persidangan
- Upaya perdamaian pengugat dan tergugat
- Pembacaan surat gugatan penggugat
- Jawaban tergugat
- Replik Pengugat
- Duplik tergugat
- Pembuktian tergugat dan penggugat. Catetan: Apabila pengugat tidak dapat membuktikan dalil-dalil gugatan, maka persidangan perceraian dibatalkan oleh hakim ketua karena gugatan tersebut di kategorikan Pidana, seperti Penghasutan, Pitnah dan lain sebagainya.
- Setelah dalil-dalil gugatan pengugat terbukti maka didapatkan kesimpulan para pihak
- Musyararah majelis hakim
- Setelah musyawarah, putusan hakim[3]
Tupoksi Pengadilan Agama
Pengadilan Agama, Tingkat Pertama bertugan memeriksa, memutuskan dengan kelengkapan dokumen keputusan, menyampaikan salinan dokumen keputusan kepada tergugat dan penggugat dan juga menyelesaikan perkaea-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang Perceraian, Kewarisan dan hibah yang di lakukan berdasarkan hukum Islam, Adat dan Budaya Asal serta wakaf dan shadaqah, sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama dan ketentuan pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006[4]. Untuk melaksanakan tugas pokok dimaksud, Pengadilan Agama mempunyai fungsi antara lain;
- Fungsi Menyelidiki, yakni memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama (vide pasal 49 UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006),
- Fungsi Pembinaan, yakni memberikan pengarahan, bimbingan dan petunjuk kepada segenap jajarannya baik menyangkut tekhnis yustisial administrasi peradilan, maupun administrasi umum, keuangan, kepegawaian dan pembangunan (vide pasal 53 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo KMA Nomor 303 Tahun 1990),
- Fungsi Pengawasan, yakni mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku hakim, panitera, sekretaris, Panitera Pengganti dan Jurusita Pengganti (vide pasal 53 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989),
- Fungsi Nasehat, yakni memberikan pertimbangan-pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya apabila diminta (vide pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989),
- Fungsi Administratif, yakni menyelenggarakan administrasi umum, keuangan, kepegawaian, dan lainnya untuk mendukung pelaksanaan Tugas Pokok Tekhnis Peradilan dan Administrasi Peradilan (vide KMA Nomor 303 Tahun 1990).
Perceraian yang Sah melalui Pengadilan Agama oleh istri yakni telah terlaksananya alur proses persidangan perkara yang benar serta didalam persidangan harus dihadiri langsung oleh pengugat dan tergugat "mutlak", dan tidak dapat diwakilkan kepada siapapun termasuk Pengacara, advokat atau kuasa hukum, bilamana salah satu dari tergugat dan penggugat berhalangan untuk menghadiri maka peroses persidangan di jadwalkan kembali sampai kedua objek menghadiri persidangan, sehingga menghasilkan keputan hakim yang sebenar-benarnya dan amanah, sedangkan gugatan talak oleh suami alur proses persidangan melalui Pengadilan Negeri[5][6].
Kewenangan Hakim
Putusan yang mencantumkan kata-kata “Demi keadilan berdasarkan ketuhanan Ynag Maha Esa”, mengisyaratakan bahwa hakim memiliki tanggung jawab berat. Komisi Yudisial Republik Indonesia berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung. Qadi (Hakim) adalah sosok “filsuf/orang bijak” yang secara normatik ditegaskan bahwa hakim dalam meutuskan perkara wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat/rakyat. Hukum jangan dipandang sebagai kaidah formal semata, karena hukum adalah ciptaan manusia yang sangat terbatas wawasan, pengetahuan dan jangkauannya sehingga pada suatu saat kaidah hukum formal akan berkonfrontasi dengan kenyataan riil dalam kehidupan masyarakatnya sendiri. Ketika hakim diibaratkan sebagai corong undang-undang, maka penerapan hukum “progresif” dapat dijadikan suatu pilihan untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum. Hukum progresif menurut satjipto (2000; 3) adalah sebuah konsep mengenai cara berhukum, yang berbeda dengan cara berhukum positif-legalistis, yaitu menerapkan undang-undang atau mengeja undang-undang. Dimana orang hanya membaca teks dan logika penerapannya, ibarat menarik garis lurus antara 2 titik, titik yang satu adalah pasal, titik yang lain adalah fakta yang terjadi,
Meskipun terkesan terlalu berani dalam paradigma hukum, berhukum secara progresif sudah seharusnya mulai dikembangkan ketika permasalahan yang ada tersebut memang tidak ditemukan jawaban dalam aturan hukum normatif. Adalah suatu kekeliruan apabila seorang hakim tetap memaksakan memberi putusan yang tidak pas, apalagi menyimpang dari hakekat permasalahannya[7].
Susunan
Susunan Pengadilan Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, Sekretaris, dan Jurusita.
Pimpinan
Pimpinan terdiri dari seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua. Untuk dapat diangkat menjadi ketua atau wakil ketua pengadilan agama harus berpengalaman paling singkat 10 (sepuluh) tahun sebagai hakim pengadilan agama. Ketua dan wakil ketua pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. Ketua Pengadilan Agama mengucapkan sumpah di hadapan Ketua Pengadilan Tinggi Agama sementara Wakil Ketua Pengadilan Agama Ketua Pengadilan Agama.
Hakim Anggota
Untuk dapat diangkat sebagai calon hakim pengadilan agama, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
- warga negara Indonesia;
- beragama Islam;
- bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
- setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- sarjana syariah dan/atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam;
- sehat jasmani dan rohani;
- berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan
- bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia[8].
- Baligh
- Berakal
- Merdeka (bukan budak)
- Laki-laki
- Memiliki sifat adil
- Memiliki pengetahuan tentang hukum-hukum dalam Alquran dan sunnah Nabi
- Memiliki pengetahuan tentang perkara-perkara ijma
- Memiliki pengetahuan tentang perkara-perkara ikhtilaf (diperselisihkan)
- Memiliki pengetahuan tentang metode berijtihad.
- Memiliki pengetahuan tentang bahasa Arab
- Memiliki pengetahuan tentang tafsir Al-Quran
- Memiliki pendengaran dan penglihatan yang baik
- Memiliki kemampuan menulis
- Memiliki daya ingat dan daya analisa yang kuat[9].
Selain itu untuk dapat diangkat menjadi hakim harus pegawai negeri yang berasal dari calon hakim dan berumur paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun.
Panitera
Pengadilan Agama mempunyai Kepaniteraan yang dipimpin oleh seorang Panitera. Panitera Pengadilan Agama dibantu oleh seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panitera Muda, beberapa orang Panitera Pengganti, dan beberapa orang Jurusita.
Sekretaris
Pengadilan Agama mempunyai Sekretariat yang dipimpin oleh seorang Sekretaris dan dibantu oleh tiga Kepala Sub Bagian.
Daftar Pengadilan Agama/Mahkamah
Wilayah hukum Mahkamah Aceh
Berikut adalah Mahkamah yang masuk dalam wilayah hukum Mahkamah Aceh:
Wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Medan
Berikut adalah Pengadilan Agama yang masuk dalam wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Medan:
Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Agama Kendari
Berikut adalah Pengadilan Agama yang masuk dalam wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Kendari:
No | Pengadilan Agama | Yurisdiksi |
---|---|---|
1 | Pengadilan Agama Kendari | Kota Kendari |
2 | Pengadilan Agama Bau-Bau | Kota Bau-Bau |
3 | Pengadilan Agama Kolaka | Kabupaten Kolaka, Kabupaten Kolaka Timur |
4 | Pengadilan Agama Raha | Kabupaten Muna, Kabupaten Muna Barat |
5 | Pengadilan Agama Unaaha | Kabupaten Konawe, Kabupaten Konawe Utara, Kabupaten Konawe Kepulauan |
6 | Pengadilan Agama Andoolo | Kabupaten Konawe Selatan |
7 | Pengadilan Agama Pasarwajo | Kabupaten Buton |
8 | Pengadilan Agama Lasusua | Kabupaten Kolaka Utara |
9 | Pengadilan Agama Rumbia | Kabupaten Bombana |
10 | Pengadilan Agama Wangi-Wangi | Kabupaten Wakatobi |
Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Agama Lampung
Berikut adalah Pengadilan Agama yang masuk dalam wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Lampung:
No | Pengadilan Agama | Yurisdiksi |
---|---|---|
1 | Pengadilan Agama Tanjung Karang | Tanjung Karang, Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung |
2 | Pengadilan Agama Gunung Sugih | Gunung Sugih, Kabupaten Lampung Tengah |
3 | Pengadilan Agama Kalianda | Kalianda, Kabupaten Lampung Selatan |
4 | Pengadilan Agama Sukadana | Sukadana, Kabupaten Lampung Timur |
5 | Pengadilan Agama Metro | Kota Metro, Kota Metro, Provinsi Lampung |
6 | Pengadilan Agama Liwa | Kabupaten Lampung Barat |
7 | Pengadilan Agama Krui | Kabupaten Pesisir Barat |
8 | Pengadilan Agama Tanggamus | Kabupaten Tanggamus |
9 | Pengadilan Agama Tulang Bawang | Kabupaten Tulang Bawang |
10 | Pengadilan Agama Gedong Tataan | Kabupaten Pesawaran |
11 | Pengadilan Agama Mesuji | Kabupaten Mesuji |
12 | Pengadilan Agama Belambangan Umpu | Kabupaten Way Kanan |
Referensi
- ^ https://rasindonews.wordpress.com/2022/06/27/pengadilan-agama/
- ^ Sejarah dan Perkembangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh
- ^ https://pa-serui.go.id/info-perkara/tahapan-proses-berperkara/
- ^ https://www.pa-cimahi.go.id/tentang-pengadian/kekuasaan-dan-ruang-lingkup-pengadilan-agama
- ^ https://hukumkeluarga.id/proses-perceraian-di-pengadilan-agama/
- ^ https://bursadvocates.com/cara-mengurus-perceraian-di-pengadilan-negeri/
- ^ https://rasindonews.wordpress.com/2022/06/06/peran-hakim-peradilan-agama-dalam-mewujudkan-keadilan-dan-kepastian-hukum-melalui-putusan/
- ^ https://www.gresnews.com/berita/tips/112701-syarat-calon-hakim-pengadilan-agama/
- ^ https://rasindonews.wordpress.com/2022/06/07/menurut-islam-syarat-hakim-perkara-yang-harus-dijauhi/
Pranala luar
- (Indonesia) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama[pranala nonaktif permanen]
- (Indonesia) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
- (Indonesia) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama