Suku Kangean
| |
---|---|
Jumlah populasi | |
~130,110 (sensus 2010) | |
Daerah dengan populasi signifikan | |
| |
Daerah lain dengan keberadaan diaspora etnis Kangean di luar wilayah Kepulauan Kangean | |
Jawa | 3.850
|
Kalimantan | 250
|
Bali | 200
|
Madura | 190
|
Sumatra | 50
|
Bahasa | |
| |
Agama | |
Kelompok etnik terkait | |
Kangean (Kangean: to Kangayan; rėng Kangėan) adalah salah satu kelompok etnis indigenos Jawa Timur yang berasal dari Pulau Kangean di wilayah Kepulauan Kangean, yang berlokasi di Laut Bali sebelah utara. Etnis Kangean bertutur dalam bahasa Kangean dan terikat oleh kesamaan sejarah dan kebudayaan.[5]
Nomenklatur
Terminologi, etimologi, dan sejarahnya
Istilah ‘Kangėan’ (atau juga dapat dieja sebagai ‘Kangayan’ dalam bahasa Kangean Tengah) adalah istilah endonim penduduk setempat yang digunakan sebagai etnonim (nama etnis) untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai suatu kelompok etnis yang didasari oleh kepekaan persatuan yang disebabkan oleh faktor kesamaan latar belakang historis;[5] istilah tersebut secara harfiah memiliki arti "keturunan (keturunan keluarga bangsawan atau terhormat)"[g] (dalam bahasa Kangean). Menurut pengakuan sebagian etnis Kangean, istilah ‘Kangėan’ secara etimologis (asal-usul) berkemungkinan berasal dari istilah ‘Karaengang’ (dalam bahasa Makassar); yang mana tersusun dari kata dasar ‘ka-’ (terj. har. '[prefiks]') + ‘raeng’ (terj. har. 'raden, raja, kaisar') + ‘-an(g)’ (terj. har. '[sufiks]'), yang memiliki arti "kerajaan" atau "kekaisaran". Kata ‘Karaengang’ tersebut diduga berevolusi menjadi ‘Kangėan’ ataupun ‘Kangayan’ dikarenakan faktor penyesuaian dengan logat setempat khas Kepulauan Kangean yang tidak menyebutkan huruf "r" pada beberapa kata, dan mendilusikannya menjadi bunyi "ng" (ŋ); contohnya yakni seperti istilah ‘nyiur’ (dalam bahasa Jawa) berevolusi menjadi ‘nyėong’ (dalam bahasa Kangean), dan kata ‘air’[7] (dalam bahasa Jawa kuno)[7] berevolusi menjadi ‘aėng’ (dalam bahasa Kangean), dengan demikian bentuk istilah asli ‘Ka(r)aengang’ bertransformasi menjadi ‘Ka(ng)aengang’, dan kemudian mengalami penyederhanaan kembali menjadi ‘Ka(ng)aean’ , sebab sufiks ‘-ang’ (dalam bahasa Makassar) sepadan dengan sufiks ‘-an’ (dalam bahasa Jawa) yang mana lebih umum digunakan oleh masyarakat etnis Kangean.
Istilah ‘Karaengang’ hingga bertransformasi menjadi ‘Kangėan’ tersebut mengalami proses panjang selama ribuan tahun, yang mana dalam proses tersebut juga mencakup terkait perubahan acuan ejaan dari masa ke masa, yang sebagian besar acuan transliterasi linguistik Kangean sendiri secara khusus didasarkan pada sistem ejaan latinisasi bahasa Jawa modern dan Jawa kuno; sebagai contohnya, ejaan bagi huruf "è" atau "é" (dalam bahasa Jawa) maupun "ė" (dalam bahasa Kangean) dulunya dieja juga sebagai ‘ay’ berdasarkan aturan ejaan latinisasi Jawa kuno[7] (contoh kata: ‘gaway’ (dalam bahasa Jawa kuno)[7] > ‘gawé’ (dalam bahasa Jawa)), sehingga kata ‘Kangėan’ (dalam bahasa Kangean) dulunya dieja juga sebagai ‘Kangayan’. Dengan demikian, istilah ‘Kangėan’, ‘Kangayan’, maupun ‘Kangėang’ sejatinya merupakan suatu kesatuan kata yang sama, namun ditranskripsikan dengan sistem ejaan latinisasi yang berbeda. Kata ‘Kangėan’ ataupun ‘Kangėang’ (dalam bahasa Kangean) secara cakapan dapat dilafalkan juga sebagai ‘Kangian’ dan ‘Kangiang’, yang secara khusus terkadang ditranskripsikan pula sebagai ‘Kangiė’, sebab sufiks ‘-ng’ (dalam bahasa Jawa) kerap didilusikan menjadi ‘-ė’ (dalam bahasa Kangean), contohnya dapat ditilik dari kata ‘sing’ dan ‘ing’ (dalam bahasa Jawa) yang mana bertransformasi menjadi ‘sė’ dan ‘ė’ (dalam bahasa Kangean)). Kata ‘Kangiė’ inilah yang kemudian terserap kembali ke dalam bahasa Bugis, yang mana ditranskripsikan menjadi ‘Kangie’ (tertulis sebagai ᨀᨂᨗᨕᨛ dalam aksara Lontara Bugis), seperti yang tertera pada bukti kuno peta bahari Bugis yang mendokumentasikan atau memetakan beberapa wilayah eksplorasi Bugis di kawasan Asia Tenggara.[8] Seluruh ejaan bagi "Kangean" secara transkripsi masih digunakan di seluruh wilayah Kepulauan Kangean, baik itu ‘Kangean’ atau ‘Kangėan’ (dalam bahasa Kangean Barat), ‘Kangayan’ (dalam bahasa Kangean Tengah), maupun ‘Kangie’ (dalam bahasa Kangean Timur).
Disebabkan pengaruh linguistik Jawa yang cukup ketara dan dominan dalam pertuturan bahasa masyarakat etnis Kangean, sebagian penduduk lokal Kangean berpendapat bahwa, istilah ‘Kangėan’ berkemungkinan dapat pula beretimologi (berakar kata) dari istilah bahasa Jawa, yakni ‘kahyangan’ (yang mana juga dieja sebagai ‘kahyaṅan’ secara diakritik, dengan "ng" direpresentasikan sebagai "ṅ");[7] yang mana tersusun dari kata dasar ‘ka-’ (terj. har. '[prefiks]') + ‘Hyang’ + ‘-an’ (terj. har. '[sufiks]'), yang secara hakikatnya memiliki arti "tempat leluhur terhormat bersemayam", berakar kata ‘Hyang’ yang merupakan suatu entitas dihormati dan disembah dalam agama tradisional masyarakat indigenos pulau Jawa, berasal dari wilayah pegunungan Iyang di Jawa Timur ataupun Parahyangan di Jawa Barat. Argumen ikatan etimologi dengan bahasa Jawa ini diperkuat dengan ditemukannya bukti prasasti yang ditemukan di daerah barat Pulau Kangean, yang mana ditulis dalam bahasa Jawa dengan menyebutkan tokoh-tokoh bangsawan asal Jawa pendiri sivilisasi Kangean.
Kata ‘angay’ (dalam bahasa Kangean), dapat pula direkonstruksi dalam Proto-Austronesia[h] sebagai *aŋay ataupun *aŋáy,[9] yang mana berkognat dengan beberapa bahasa lainnya, seperti ‘kaangayan’ (dalam bahasa Sibuano) yang mana juga memiliki arti serupa, yakni "keagungan", "kegemilangan", dan sebagainya.
Sejarah
Genealogi
Toa — Prasejarah
Istilah untuk menyebut manusia atau orang adalah ‘to’ (dalam bahasa Kangean), khususnya di wilayah Kangean tengah hingga timur. Dan menurut tradisi lisan etnis Kangean, nenek moyang mereka disebut sebagai ‘To-toa’an’ atau ‘Toatoa’an’, yang pada masa modern ini secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai "sesepuh". Peradaban Kangean telah ada setidaknya 11.000[10] tahun yang lalu (berkisar antara tahun 4.000[11] hingga 9.000 SM),[10] penelitian dan penemuan arkeologi mengindikasikan bahwa masyarakat Kangean sejatinya merupakan salah satu keturunan manusia purba di Indonesia, hal ini dapat diamati melalui penemuan arkeologi kuno yang ditemukan di kompleks Gua Arca yang terletak di wilayah barat Pulau Kangean.[11] Penemuan penggalian juga menunjukkan bahwa kemungkinan besar masyarakat Kangean dulunya adalah manusia gua yang mempraktekkan budaya pemburu-pengumpul, dan kemungkinan besar mempunyai hubungan serumpun yang kuat dengan pribumi Kepulauan Nusa Tenggara.[11]
Bangsawan Jawa & Sulawesi – Pendiri Sivilisasi
Meskipun penduduk Kangean telah dibuktikan (melalui studi arkeologi) berserumpun dengan pribumi Kepulauan Nusa Tenggara,[11] namun perlu menjadi perhatian bahwa masyarakat etnis Kangean yang ada pada masa kini merupakan campuran antara penduduk pribumi dan non-pribumi.[5]
Menurut sejarah lisan setempat, bukti manuskrip dan prasasti, etnis Kangean modern diyakini sebagai keturunan langsung para bangsawan yang berasal dari pulau Sulawesi dan Jawa,[5] konon para bangsawan dari masing-masing monarki melakukan pernikahan campur dengan penduduk pribumi Kangean dan menghasilkan aristokrasi baru yang kemudian disebut sebagai ‘Kangėan’ itu sendiri. Dipercayai juga bahwa nenek moyang etnis Kangean modern (yang datang dari Jawa melalui Madura) memiliki silsilah yang mirip dengan etnis Bali modern (berlainan dengan Bali Aga), yang juga merupakan keturunan dari dinasti Jawa yang sama, yakni berkemungkinan besar melalui garis keturunan Dinasti Rajasa;[12] sesuai dengan nama yang tertera pada prasasti yang ditemukan di Kangean bagian barat, yang sekaligus menjadi nama ibu kota Pulau Kangean itu sendiri, yaitu Arjasa.[12] Dalam manuskrip Jawa kuno, khususnya Pararaton[12] (terj. har. 'kitab Raja-raja') dan Kidung Ranggalawe[12] (terj. har. 'mazmur Ranggalawe'), salah satu panglima terkemuka Dinasti Rajasa adalah Aria Wirarajasa (atau juga lebih dikenal di Bali dengan julukan khas kastanya, yakni sebagai Bañak Widĕ, yang secara harfiah berarti "[orang yang diberkati] banyak ide atau pengetahuan"), dan keterkaitan keduanya mungkin saling tumpang tindih karena Aria Wirarajasa dinamai sesuai nama Dinasti Rajasa itu sendiri.[12]
Di sisi lain (mungkin dimulai pada era 1300-an), pesisir timur dan utara-tengah Kepulauan Kangean juga pernah berada di bawah pengaruh kerajaan yang berbasis di Sulawesi. Jenis ayam lokal endemik Indonesia yang terkenal dengan nama Bekisar diduga merupakan hasil persilangan antara ayam hutan Kangean dengan ayam varietas lokal yang dibawa dari Pulau Sulawesi. Nama kerajaan berbasis Sulawesi tersebut tidak dikenali secara pasti oleh penduduk setempat karena kurangnya catatan sejarah yang dapat ditemui, namun nama ‘Bekisar’ itu sendiri memberikan indikasi yang kuat bahwa diperkirakan kerajaan tersebut berpusat di wilayah Sulawesi selatan, yakni tepatnya di Makassar. Melalui studi banding, besar kemungkinan sejarah kerajaan tersebut ada kaitannya dengan Gowa (yang juga berpusat di Makassar), pengaruhnya masih dapat diobservasi di wilayah-wilayah yang berbatasan dengan Kepulauan Kangean, yaitu di Kepulauan Pangkajene (Pangkep), Kepulauan Nusa Tenggara (terutama di daerah Bima di Pulau Sumbawa dan Pante Macassar di Pulau Timor), bahkan sampai ke Australia. Gelar kebangsawanan khas yang dapat ditemui di wilayah Kepulauan Kangean seperti Daeng[5] ataupun Raeng juga menyiratkan indikasi kuat bahwa kerajaan yang terkenal dalam sejarah lisan lokal Kangean memang berasal dari wilayah Sulawesi bagian selatan.[5] Adanya bukti keselarasan linguistik dalam bahasa Kangean dan bahasa-bahasa asal Sulawesi, khususnya tentang kemaritiman (seperti nama-nama ikan, jenis kapal, dsb) juga memberikan indikasi kuat terkait adanya hubungan antara pribumi Kangean dengan pribumi Sulawesi (khususnya Sulawesi Selatan) melaui jalur maritim.
Pada masa pra-1950-an, Kepulauan Kangean berada di bawah kuasa jajahan Kadipaten Sumenep, sebuah kadipaten Jawa-Madura yang berpusat di Sumenep. Pengaruh mereka masih dianggap sebagai pengaruh terakhir yang masih memainkan dominasinya di kawasan Kangean (khususnya Kangean Barat). Pada tahun 1950, masyarakat Kangean bersama Kadipaten Sumenep mendeklarasikan kemerdekaannya dari Belanda dan secara sukarela bergabung dengan Republik Indonesia Serikat sebagai bagian dari Negara Bagian Madura.
Invasi Mongol terhadap wilayah kekuasaan Jawa
Pulau Kangean pada masa lampau merupakan wilayah vital yang menghubungkan Pulau Sulawesi dengan Pulau Bali dan Pulau Jawa (serta Madura). Pada masa upaya invasi bangsa Mongol ke Pulau Jawa, pasukan angkatan laut Mongol yang melewati Selat Makassar akan melintasi pelabuhan-pelabuhan penting seperti pelabuhan Makasar, pelabuhan Kalianget di Kangean, dan pelabuhan Batugulok di Sumenep sebelum menuju ke pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya untuk melanjutkan serangannya ke Mojokerto (ibukota kerajaan Singhasari yang merupakan kerajaan terkuat yang menguasai wilayah maritim Asia Tenggara saat itu). Setelah bangsa Jawa mengalahkan pasukan Mongol dan juga membunuh rajanya, Kerajaan Singhasari berkembang menjadi sebuah kerajaan yang kemudian dikenal dengan Kemarajaan Majapahit dan memperluas kekuasaannya ke skala yang lebih luas. Setelah mendapat kabar bangsa Mongol dikalahkan oleh bangsa Jawa, banyak pedagang dari berbagai penjuru dunia datang ke Laut Jawa (dan utara Laut Bali) untuk berlayar ke Pulau Jawa untuk mengembangkan usahanya karena para bangsawan Jawa pada saat itu sangat terbuka terhadap peluang usaha bagi orang asing, di antara para pedagang-pedagang asing tersebut, yang paling dominan (di Kangean) adalah dari wilayah Tiongkok (dinasti tetangga Mongol), Persia, dan Arab.
Bangsa Tionghoa menggunakan jalur yang sama dengan bangsa Mongol yang melewati Selat Makassar, dan mereka menetap di masing-masing pelabuhan penting, hal itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa masyarakat keturunan Tionghoa masih dapat dengan mudah dijumpai di wilayah Makassar, Kangean bagian barat (sekitar pelabuhan Kalianget, terutama di Arjasa), Madura bagian timur (sekitar pelabuhan Batugulok yaitu di Dungkek), serta Jawa bagian timur (sekitar pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya Utara). Di zaman sekarang, masyarakat Kangean yang memiliki garis keturunan dengan orang asing cenderung melakukan migrasi berkelanjutan (baik ke luar negeri atau ke pulau lain yang lebih maju seperti Jawa, Bali, dan Madura). Salah satu tempat bersejarah para pedagang Arab dulunya terletak di sekitar wilayah Celgung di daerah barat Kangean, dan orang Tionghoa biasa menetap di sekitar ibu kota Arjasa.
Mengetahui potensi jalur perdagangan yang ramai, para pedagang asal wilayah Indonesia juga termotivasi untuk datang ke wilayah Kepulauan Kangean, salah satunya yaitu etnis Madura (mungkin juga karena pengaruh sejarah Kadipaten Sumenep). Etnis Madura hingga kini masih mendominasi pangsa pasar di wilayah Kangean, dan oleh sebab itu, orang-orang yang memiliki pengetahuan terbatas tentang Kangean (hanya mengetahui Kangean disebabkan oleh faktor perdagangan atau bisnis) biasanya akan menyalahartikan bahasa lisan para pedagang Madura sebagai bahasa asli Kangean.
Tradisi
Mamajir
Mamajir alias Mamajěr adalah satu jenis olahraga atau pacuan tradisional khas suku Kangean yang berasal dari daerah Kolo-kolo di pulau Kangean (wilayah Kepulauan Kangean) yang biasanya menggunakan kerbau.[13]
Pangkak
Tradisi Pangkak merupakan sebuah tradisi asli dari Kangean. Pangkak diserap dari kata aranggak atau aranggĕk dalam bahasa Kangean yang berarti "potong" atau "memotong", mengacu pada proses menuai padi dalam kegiatan panen. Pangkak adalah tradisi merayakan hasil panen. Pelaksanaan tradisi ini merupakan wujud rasa syukur atas hasil bumi yang didapat masyarakat melalui pertanian. Masyarakat Kangean percaya bahwa upacara pangkak adalah bentuk spiritual murni dan sebagai tanda syukur kepada Tuhan atas panen yang berhasil. Pangkak juga merujuk pada gaya nyanyian akapela yang dimainkan selama upacara panen pangkak.[14][15][16] Pangkak juga kemudian digubah sebagai tradisi ritual dalam lamaran di kalangan masyarakat Kangean. Ini merupakan perpaduan ritual agrikultural dan siklus hidup yang masuk akal: perayaan kesuburan yang ditemukan dalam pangkak akan berlanjut untuk pernikahan yang sangat subur. Hubungan antara pangkak dan proses pertunangan ini ditegaskan dalam lirik lagu pangkak, yang berbunyi: "Tenangkan pikiranmu, bertunanganlah; calon pengantinmu akan datang ke rumahmu; Ketika kamu lihat dia, kamu akan menemukan semangatmu”.[17] Upacara pangkak sering diiringi kesenian tradisional dengan menggunakan Gendeng Dumik yang berarti "gendang kecil", dan terkadang Pencak Silat juga dipertunjukkan.[18]
Bahasa Kangean:
"Ambololo hak-hak,
Ambololo harra,
Akadi ombĕk gulina padi,
Masa aranggĕk terbhik padi,
Togur réng tani lebur eola diyĕ,
Māsa réng tani aranggĕk padi.
Ambololo hak-hak,
Ambololo harra,
Gumbhira kejung sambi ātāndhĕng,
Ka’dissa oréng lake nabbu gendĕng,
Tāl-ontālan palotan sambi ātandhĕng,
Tandĕ nyaré juduh até lodang,
Ambololo hak-hak,
Ambololo harra."
Bahasa Indonesia:
"Ambololo hak-hak,
Ambololo harra,
Andai ombak ayunan padi,
Masa panen dekat menanti,
Pondokan petani indah dipandangi,
Masanya petani memotong (menuai) padi.
Ambololo hak-hak,
Ambololo harra,
Riang lagu sambil menari,
Disana lelaki menabuh gendang,
Saling lempar pulut sambil menari,
Tandanya jodoh sedang dicari,
Ambololo hak-hak,
Ambololo harra."- mantra/doa/pujian yang diucapkan selama ritual pangkak oleh pawang lokal.[19]
Budaya
Gotong-royong adalah sebuah konsepsi etos sosialitas yang familiar bagi rakyat Indonesia (dan pada tingkat yang lebih luas mungkin juga mencakup negara-negara di maritim Asia Tenggara). Dalam bahasa di Indonesia khususnya Bahasa Jawa, gotong berarti "memikul beban dengan menggunakan bahu", sedangkan royong berarti "bersama" atau "bersama-sama", dengan demikian frase gabungan gotong royong dapat diterjemahkan secara harfiah sebagai "beban bersama". Ini diterjemahkan menjadi bekerja sama, membantu satu sama lain, atau saling membantu.[20] Fasilitas umum desa, seperti irigasi, jalan, dan rumah ibadah (masjid, gereja, dan pura) biasanya dibangun secara gotong royong, yang mana dana dan material dikumpulkan bersama. Acara komunal tradisional, seperti upacara slametan juga biasanya diadakan dalam etos semangat goyong royong, yang mana setiap anggota masyarakat diharapkan dapat berkontribusi dan berpartisipasi dalam usaha tersebut secara harmonis.[21]
Bahasa
Bahasa Kangean adalah bahasa yang dituturkan oleh masyarakat etnis Kangean yang berasal dari pulau Kangean.[22] Penutur bahasa Kangean berkonsentrasi di wilayah Kepulauan Kangean, yang secara geografis terletak di utara Bali dan baratlaut Lombok. Bahasa ini termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia.
Agama dan Kepercayaan
Mayoritas masyarakat suku Kangean modern merupakan Muslim (dengan mayoritas penganut Islam Sunni). Sebelum terbentuknya pengadopsian Hinduisme, Buddhisme, Konfusianisme maupun Islam secara umum, penduduk asli Nusantara memiliki kepercayaan kepada entitas kekuatan spiritual rohani yang tak terlihat yang dapat berupa energi baik maupun energi buruk. Masyarakat pribumi kuno juga mempercayai bahwa nenek moyang yang telah meninggal tidak benar-benar lenyap atau hilang dari dunia, melainkan roh leluhur dapat bermetamorfosis dan memperoleh kuasa rohani seperti dewa (maupun dewi) dan tetap terlibat dalam urusan duniawi keturunan mereka. Itulah sebabnya pemujaan dan kekhidmatan untuk menghormati leluhur merupakan unsur penting dalam sistem kepercayaan kelompok-kelompok etnis pribumi di Indonesia, termasuk diantaranya yakni suku Kangean. Beberapa masyarakat suku Kangean masih melestarikan kepercayaan kuno ini dan juga mengasimilasikannya ke dalam agama yang kini umum dianut di Kangean (utamanya Islam), yang menghasilkan kepercayaan baru yang dikenal sebagai Islam Nusantara.
Referensi
- ^ Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia (Hasil Sensus Penduduk 2010) [Citizenship Status, Ethnicities, Religions, and Languages of Indonesia (2010 Population Census Result)], Jakarta: Central Bureau of National Statistics of the Republic of Indonesia, 2010
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaANI
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaAoK
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaIndië
- ^ a b c d e f g Social Cohesion of the Sulawesi Community within the Kangean Archipelago Society (dalam bahasa Inggris). Indonesia: Brawijaya University. 2023. doi:10.2991/978-2-38476-186-9_19.
- ^ Gonda, Jan (1975). Selected Studies: Indonesian Linguistics. 5. Leiden: Brill. ISBN 9004042288.
- ^ a b c d e Zoetmulder, P.J. (1982), Old Javanese-English Dictionary (dalam bahasa Kawi and Inggris), Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde
- ^ "Boeginese zeekaart van de Indische Archipel" [Bugis nautical chart of Indonesia ] (dalam bahasa Belanda). 1800s.
- ^ Robert Blust and Stephen Trussel (2010). "Austronesian Comparative Dictionary".
- ^ a b "Pulau Kangean Dihuni Manusia Sejak 11.000 Tahun Lalu" [Kangean Island Inhabited By Humans Since 11,000 Years Ago]. Kompas.
- ^ a b c d "Penelitian Arkeologi di Situs Gua Arca, Pulau Kangean" [Archaeological Research at the Arca Cave Site in Kangean Island]. Archaeology Center of Yogyakarta.
- ^ a b c d e "Sejarah Arya Wiraraja" [History of Aria Wiraraja]. Sumenep Regencial Government. 2017.
- ^ Kardiman, Yuyus; Yasin, Yasnita; Sholiha, Windi Marathun (2010). Masyarakat Indonesia: Teropong Antropologi Budaya Indonesia. Laboratorium Sosial Politik Press, Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Jurusan Ilmu Sosial Politik, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta.
- ^ "Mouth Music: Pangkak Harvest Songs in the Kangean Islands". auralarchipelago.com. Aural Archipelago. 11 April 2018. Diakses tanggal 20 January 2021.
- ^ "PANGKAK : TRADITIONAL CEREMONY FROM KANGEAN ISLAND, INDONESIA". javaisbeautiful.com. Getaway Tours Indonesia. 21 March 2012. Diakses tanggal 20 January 2021.
- ^ Amalyah, Lailya Septi (2013). "ANALYSIS OF SYMBOLS USED BY KANGEAN PEOPLE IN PANGKAK TRADITIONAL CEREMONY". Thesis. University of Muhammadiyah Malang. (2013). Diakses tanggal 20 January 2021.
- ^ "Mouth Music: Pangkak Harvest Songs in the Kangean Islands". auralarchipelago.com. Aural Archipelago. 11 April 2018. Diakses tanggal 20 January 2021.
- ^ "Sejarah Pengadilan Negeri Sumenep". pn-sumenep.go.id. Pengadilan Negeri Sumenep Kelas II. 11 February 2020. Diakses tanggal 20 January 2021.
- ^ "Sejarah Pengadilan Negeri Sumenep". pn-sumenep.go.id. Pengadilan Negeri Sumenep Kelas II. 11 February 2020. Diakses tanggal 20 January 2021.
- ^ "Gotong Royong - KBBI Daring". kbbi.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2020-05-23.
- ^ Taylor, Paul Michael; Aragon, Lorraine V (1991). Beyond the Java Sea: Art of Indonesia's Outer Islands. Abrams. hlm. 10. ISBN 0-8109-3112-5.
- ^ Kangean Speaking Peoples - Joshua Project
Catatan kaki
- ^ Islamisme yang dianut oleh mayoritas etnis Kangean adalah beraliran Nahdlatul Ulama. Namun demikian, penganut aliran Muhammadiah dan lainnya juga dapat dijumpai di wilayah Kepulauan Kangean.
- ^ dianut secara tradisional, yang mana terkadang dalam praktiknya bercampur juga dengan Islamisme.
- ^ dianut secara tradisional, khususnya bagi para sebagian etnis Kangean yang memiliki darah keturunan etnis Jawa, cabang aliran ilmu Kejawen yang populer di kalangan etnis Kangean adalah Pangasihan.
- ^ dianut oleh sebagian diaspora etnis Kangean yang bermukim di Bali, ataupun mereka yang memiliki ikatan dengan Bali.
- ^ dianut oleh sebagian diaspora etnis Kangean yang bermukim di Jawa, Madura, dan Kalimantan.
- ^ dianut secara tradisional, khususnya bagi para sebagian etnis Kangean yang memiliki darah keturunan Tionghoa.
- ^ dalam bahasa Inggris, padanan kata ini ialah "scion".
- ^ rekonstruksi khayal atau imajiner berdasarkan perbandingan linguistik