Lompat ke isi

Pulau Camba-Cambang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 13 Agustus 2024 17.15 oleh Anhar Karim (bicara | kontrib) (Pranala luar)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Camba-Cambang
Nama lokal:

ᨌᨅᨌᨅ (Makassar)
Pulau Camba-Cambang
Camba-Cambang di Sulawesi Selatan
Camba-Cambang
Camba-Cambang
Camba-Cambang di Sulawesi
Camba-Cambang
Camba-Cambang
Camba-Cambang di Indonesia
Camba-Cambang
Camba-Cambang
Camba-Cambang di Asia Tenggara
Camba-Cambang
Camba-Cambang
Etimologidari bahasa Makassar dialek Lakiung/Pabbiring Camba-Cambang berarti "pohon asam"
Geografi
LokasiSelat Makassar
Asia Tenggara
Samudra Hindia
Koordinat4°43′12.000″S 119°16′24.000″E / 4.72000000°S 119.27333333°E / -4.72000000; 119.27333333
KepulauanKepulauan Spermonde, Kepulauan Sunda Besar (Pulau Sulawesi dan Pulau-pulau Kecil di Sekitarnya), Kepulauan Indonesia
Dibatasi olehSelat Makassar
Luas70.744 meter persegi (0,070744 km2) km2[1]
Pemerintahan
Negara Indonesia
Provinsi Sulawesi Selatan
KabupatenPangkajene dan Kepulauan
KecamatanLiukang Tupabbiring Utara
DesaDesa Mattiro Baji
Kependudukan
PendudukTidak berpenghuni / 0 jiwa
Info lainnya
Zona waktu
Peta

Nirwana, Camba-Cambang, Cambacambang (Makassar: ᨌᨅᨌᨅ, translit. Cambacambang, har. 'tumbuhan asam-asaman'), Cambang-Cambang, Camba-Cambayya, atau CbCb Island adalah nama sebuah pulau kecil tak berpenghuni yang berada di gugusan Kepulauan Spermonde, perairan Selat Makassar dan secara administratif masuk pada wilayah Desa Mattiro Baji, Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan, Indonesia. Pulau Camba-Cambang merupakan pulau yang tak berpenghuni yang memiliki wilayah seluas 70.744,4307026 m2.[1] Secara astronomis, pulau ini terletak di titik koordinat 4°43′12.000″LS,119°16′24.000″BT.[2] Pulau ini merupakan bagian dari Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan dengan dasar hukum penetapannya melalui Surat Keputusan Bupati Pangkajene dan Kepulauan Nomor 290 Tahun 2015 yang diterbitkan pada tanggal 2 Maret 2015. Pulau ini memiliki pantai pasir putih dan dipakai sebagai tempat upacara Je'ne Sapara (mandi bulan Safar) oleh penduduk sekitar. Di pulau ini belum terdapat sarana dan prasarana, namun kondisi lingkungan aman dan baik dengan penataan ruang sudah ada serta lahan untuk pengembangan masih terbuka yang dikelola oleh pemerintah daerah. Jarak tempuh ke pulau ini atau sebaliknya adalah 30 menit dengan perahu dan 10 menit dengan speed boat dari Dermaga Maccini Baji, Kecamatan Labakkang.

Pariwisata

[sunting | sunting sumber]

Pulau Camba-Cambang yang luasnya ± 4 hektar ini telah berdiri beberapa fasilitas bangunan modern. Terdapat dermaga tempat spead boat bersandar, vila-vila berwarna merah hati berjejer rapi, mengapung di atas permukaan laut, dilengkapi taman yang dipenuhi pepohonan yang rindang dan bangunan gazebo di sana-sini. Terdapat pula kafe dan pos layanan kesehatan. Sebuah gedung olahraga dan ruang serbaguna juga terpacak megah di pulau ini. Gedung serbaguna ini disewakan kepada siapa saja yang mengadakan acara pelatihan atau serangkaian rapat. Fasilitas ibadat keagamaan, seperti masjid berdiri megah tepat di ujung pulau. Dari masjid inilah titik yang paling indah untuk menikmati tenggelamnya matahari (sunset) di perairan Selat Makassar. Pemandangan serombongan burung camar kerap terlihat memburu ikan-ikan yang sedang naik ke permukaan air Pulau Camba-Cambang.

Di Pulau Camba-Cambang ini ibarat perumahaan mewah di tengah laut dengan beragam hiburan. Mulai dari banana boat, jetski, outbound, dan wahana water boom yang langsung berhubungan dengan laut. Tidak hanya sebagai tempat hiburan bagi masyarakat, pulau ini sebagai gerbang wisata dan pusat informasi untuk mengoptimalkan pengembangan pulau-pulau kecil di Gugusan Kepulauan Spermonde Kabupaten Pangkep. Letak pulau ini berada di tengah dua gugusan kepulauan, yang pada zaman Kerajaan Gowa dan Tallo, menjadi batas wilayah dari kedua kerajaan tersebut. Sebelah barat atau kanan Pulau Camba-Cambang, terlihat pulau-pulau yang namanya berawalan "sa". Sebut saja Saugi, Satando, Salemo, Sagara, Sabangko, Sakuala, Sapuli, Sabutung, Samatellu Pedda, dan Salebbo, yang dulunya merupakan wilayah Kerajaan Tallo. Pemandangan di sisi kiri, tampak gugusan pulau-pulau berawal "po", antara lain Polo Kulambing, Polo Laiyya, Polo Wali, Polo Pala, Polo Badi, dan Po Ranrang. Pulau-pulau itu masuk wilayah Kerajaan Gowa. Baik pulau-pulau berawalan "sa" maupun "po" masing-masing dibagi rata oleh Kerajaan Tallo dan Kerajaan Gowa, kini semuanya masuk dalam kawasan Kepulauan Spermonde. Sebagai pintu gerbang wisata, Pulau Camba-Cambang mendukung sembilan pulau lainnya sebagai destinasi wisata dengan menawarkan keindahan alam bawah laut dan budaya pesisir masyarakat di Kepulauan Spermonde. Dalam lima tahun terakhir ini, Pulau Camba-Cambang telah menarik banyak pengunjung. Setiap hari, khusus Sabtu dan Minggu, masyarakat kepulauan atau pun masyarakat Kota Pangkep, banyak menghabiskan liburan di pulau ini. Para wisatawan lokal dan mancanegara juga telah banyak menginap di pulau ini ketika mereka ingin menikmati pemandangan pulau-pulau Spermonde di sekelilingnya. Sebelum Pulau Camba-Cambang dibangun oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan pada tahun 2012, pulau ini terbilang sepi dan nyaris tak disinggahi masyarakat.[3]

Peristiwa sejarah di pulau

[sunting | sunting sumber]

Menurut beberapa masyarakat di Pulau Saugi, konon di Pulau Camba-Cambang terdapat kepala Andi Mappe, pahlawan Pangkep yang dibenamkan dalam tanah oleh Belanda. Andi Mappe adalah seorang pejuang berdarah Bugis yang dikenal gigih dan sakti melawan dan mengusir pasukan Belanda dari tanah Sulawesi Selatan pada 1945-1949. Ia adalah ikon perjuangan gerilyawan dan menjadi momok yang menakutkan bagi pasukan Belanda karena tak bisa ditaklukan oleh senjata sekalipun. Dalam cerita lisan yang beredar, peluru Belanda seringkali menembus dadanya. Tetapi, peluru-peluru itu tak mampu melenyapkan nyawanya. Bahkan, beberapa kali dikabarkan, Belanda telah berhasil membunuhnya, tetapi esoknya ia terlihat segar kembali. Pasukan Belanda sempat frustasi oleh kesaktian dan ketangguhan kapten dari gerilyawan Harimau Indonesia ini sehingga Belanda mencari titik kelemahannya. Akhirnya, dengan kelihaian mata-mata Belanda, pada 25 Februari 1947, di Bonti/Padang Leangnge Distrik Balocci, Andi Mappe dikepung dua peleton pasukan Belanda dan sekutu pribuminya. Mereka menyerang gubuk pertahanan Andi Mappe selama tiga harmal dengan berondongan peluru yang akhirnya menewaskan banyak pasukan Harimau Indonesia. Termasuk di dalamnya Andi Mappe.

Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, Andi Mappe menyemangati pasukannya yang tersisa dengan berkata, “Ulebbirangngi burue ala najajae Balandae, teasisena mitai Balandae. Nasaba iya sikomemeng tommi naeloreng Puang Allah Ta’ala. (Lebih baik saya ini mati berkalang tanah daripada dijajah Belanda. Saya tidak akan pernah rela melihat Belanda di sini. Saya ini sudah sampai waktunya dikehendaki Tuhan).

Salah seorang Belanda kemudian memenggal lehernya. Konon, inilah titik kelemahan Andi Mappe. Kepalanya harus dipenggal dan dipisahkan dari tubuhnya. Pasukan Belanda kemudian mengarak kepala Andi Mappe dan mempertontonkannya kepada penduduk di Maros, Pangkajene, Bungoro, dan Labakkang. Selanjutnya, kepala itu diseberangkan ke sebuah pulau yang tidak berpenghuni, tidak didiami manusia, dekat pesisir Maccini Baji, Labakkang.

Dari pesisir Maccini Baji, pulau yang tak berpenghuni, yang masih berupa gundukan pasir putih dan ditumbuhi pepohonan liar itu, terlihat dua pohon asam kembar yang tumbuh menjulang tinggi besar. Di bawah pohon asam inilah, menurut sahibul hikayat, kepala Andi Mappe dibenamkan. Sementara itu, tubuhnya ditimbun di daratan Pangkajene.

Kisah kesaktian dan keberanian Andi Mappe ini kemudian menjadi cerita turun-temurun di masyarakat Pangkajene Kepulauan dan Sulawesi Selatan hingga saat ini. Nama besarnya kini diabadikan sebagai nama stadion Kabupaten Pangkajene Kepulauan. Beberapa pakaian dan senjata peninggalan Andi Mappe di masa-masa perjuangan kini tersimpan di Museum Karst Pangkep. Sayangnya, kedua pohon asam kembar itu telah tumbang akibat terjangan angin kencang pada 2008.

Di akhir 2012, ketika Pemerintah Daerah Pangkep memilih pulau yang berada di dua gugusan kepulauan berawal “sa” dan “po” ini sebagai kawasan wisata bahari yang dilengkapi dengan berbagai sarana dan fasilitas, nama Camba-Cambang kemudian disematkan.

Nama Camba-Cambang berasal dari bahasa Makassar, yang bermakna pohon asam yang berdampingan, yang bisa pula ditafsirkan sebagai pasangan suami-istri. Berawal dari situlah, pulau yang mulanya tak bernama dan tak berpenghuni ini memiliki sebuah nama. Sebagai pengingat asal-muasal, beberapa pohon asam telah ditanam kembali di sekitar pulau kecil ini, yang membawa keteduhan dan keindahan tersendiri bagi Camba-Cambang.[3]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b Abdul Haris Farid, Suhardjono, dan Dwi Wulan Titik Andari. Laporan Penelitian: Penguasaan dan Pemilikan atas Tanah Pulau-Pulau Kecil di Propinsi Sulawesi Selatan. Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta, 2013. Hlm. 1–53.
  2. ^ Direktorat Pendayagunaan Pulau-Pulau Kecil, Ditjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (2012). "Direktori Pulau-Pulau Kecil Indonesia". www.ppk-kp3k.kkp.go.id. Diakses tanggal 30 September 2022. 
  3. ^ a b Arman, Ayu (20 Juni 2022). "Hikayat Asam Kembar di Gerbang Spermonde". ourislands.id. Diakses tanggal 25 Mei 2023. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]