Pengguna:Argo Carpathians/Bak pasir
Profil Pengguna | Kirim Pesan | Arsip Pembicaraan | Kotak Pasir Pribadi |
SEDANG DALAM PERBAIKAN
1°22′59″S 120°44′45″E / 1.38306°S 120.74583°E
Kabupaten Poso | |
---|---|
Daerah tingkat II | |
Julukan: Kabupaten Eboni | |
Motto: Sintuwu Maroso | |
Lua error in Modul:Location_map at line 423: Kesalahan format nilai koordinat. | |
Koordinat: Coordinates: Missing latitude Argumen-argumen yang tidak sah telah diberikan kepada fungsi {{#coordinates:}} | |
Negara | Indonesia |
Provinsi | Sulawesi Tengah |
Tanggal berdiri | 4 Juli 1959 |
Dasar hukum | Undang-Undang No. 29 Tahun 1959 |
Ibu kota | Poso |
Jumlah satuan pemerintahan | Daftar
|
Pemerintahan | |
• Bupati | Darmin Sigilipu |
• Wakil Bupati | Toto Samsuri |
• Ketua DPRD | Ellen Ester Pelealu |
Luas | |
• Total | 7.112,25 km² km2 (Formatting error: invalid input when rounding sq mi) |
Populasi | |
• Total | 235,567 jiwa |
Demografi | |
• Agama | Islam Kristen Katolik Hindu Buddha |
• Bahasa | Pamona Indonesia |
Zona waktu | UTC+08:00 (WITA) |
Kode area telepon | 0452 |
APBD | Rp. 1.003.222.000.000 (2015) |
DAU | Rp. 678.031.865 |
Flora resmi | Eboni Diospyros |
Fauna resmi | Anoa |
Situs web | http://posokab.go.id/ |
Kabupaten Poso (bahasa Pamona: Rampulemba Poso; bahasa Inggris: Poso Regency; IPA: [pɔsɔ]; ⓘ), adalah sebuah kabupaten di provinsi Sulawesi Tengah, Indonesia. Ibu kota kabupaten sekaligus pusat administrasi terletak di Kota Poso. Kabupaten ini mempunyai luas sebesar 7112,25 km² dan berpenduduk sebanyak 235.567 jiwa pada tahun 2016. Poso adalah kabupaten terluas ke-3, terpadat ke-11, dan memiliki populasi terbanyak ke-5 di Sulawesi Tengah.[1][2][3]
Kabupaten Poso terdiri dari 19 kecamatan dan 180 desa/kelurahan. Poso berbatasan dengan Parigi Moutong di bagian barat laut, Sigi di bagian barat, Sulawesi Selatan di bagian barat daya dan selatan, Morowali Utara di bagian tenggara dan timur, serta Tojo Una-Una di bagian timur laut.[4] Terletak tepat di tengah-tengah pulau, wilayah ini adalah sentral perhubungan di Sulawesi. Poso termasuk daerah vital karena letaknya sangat strategis dan merupakan persimpangan yang menghubungkan Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, hingga Sulawesi Utara. Sektor pertanian pada umumnya memproduksi beras, palawija, sayur dan buah-buahan, cokelat, kopi dan kelapa.[5]
Wilayah pedalaman Poso telah lama dihuni oleh penduduk asli dari kebudayaan de Steenhouwers sejak 3000 SM hingga tahun 1300, dan peninggalan mereka berupa patung batu, menhir dan kalamba.[6] Luwu dan Sigi mulai menancapkan pengaruh mereka terhadap kerajaan-kerajaan lokal pada abad ke-17, sekaligus membawa Islam ke wilayah ini. Abad penemuan yang berlangsung di periode yang sama, membawa kekuatan-kekuatan Eropa ke Indonesia. Pada akhir abad ke-19, Belanda mencoba memperluas pengaruhnya di Sulawesi Tengah. Pada tahun 1894, mereka menempatkan Kontrolir pertama sebagai pengawas di Poso.[7] Keberadaan mereka meningkatkan upaya untuk mengeksplorasi wilayah ini, ditandai dengan kedatangan para peneliti dan penjelajah pada tahun-tahun berikutnya.[8] Periode tahun 1905 hingga 1907 adalah era pasifikasi, saat pasukan Belanda berhasil menguasai seluruh wilayah Sulawesi, membuat suku-suku pedalaman penganut animisme di Poso beralih ke agama Kristen.[9] Kekuasaan Belanda atas Poso berlangsung hingga tahun 1942, saat Jepang menduduki Indonesia. Pada tahun 1948, sebagai hasil dari Pertemuan Dewan Raja Sulawesi Tengah, kota Poso sempat dijadikan ibu kota Sulawesi Tengah, sebelum akhirnya dipindahkan ke Kota Palu.[10] Dekade akhir 1950-an dan awal 1960-an adalah periode pemberontakan berdarah oleh Permesta dan DI/TII, yang mendapatkan perlawanan dari GPST.[11] Pada periode tahun 1970-an, pemerintah pusat mulai melaksanakan pengembangan Jalan Nasional Trans Sulawesi, yang juga melintasi Poso, dan selesai pada awal dekade 1990-an.[12]
Menjelang akhir milenium, konflik antar agama terjadi. Kerusuhan Poso yang berlangsung dari tahun 1998 hingga 2001, membawa dampak sosial ekonomi yang buruk bagi wilayah ini. Angka pemerintah mencatat sekitar 500 orang lebih menjadi korban dan 86 ribu orang mengungsi ke wilayah lain, sementara pihak-pihak lain mencatat angka yang bervariasi.[13] Berawal dari kerusuhan di ibu kota kabupaten, konflik meluas ke wilayah lain di Poso. Pemerintah kemudian melakukan upaya untuk menyelesaikan konflik, dengan mempertemukan kedua pihak yang bertikai pada tanggal 20 Desember 2001 dalam sebuah perjanjian yang kemudian di kenal dengan Deklarasi Malino I.[14] Tahun-tahun berikutnya merupakan periode pemulihan dan peningkatan keamanan, meskipun peristiwa kekerasan teror masih terus terjadi, dan berangsur-angsur menurun sejak awal tahun 2007. Pada tahun 2009, hampir sepuluh tahun sejak kerusuhan, Kabupaten Poso telah mulai meningkatkan kapabilitas ekonominya, dengan situasi keamanan yang sangat kondusif.[15]
Pariwisata di Poso pada umumnya bergantung pada objek dan kawasan wisata. Danau Poso, salah satu danau terbesar dan terdalam ke-3 di Indonesia, terletak di Kabupaten Poso. Festival Danau Poso yang pertama kali dimulai pada tahun 1991, digelar di kota Tentena.[16] Pada tahun 1991, Poso menjadi salah satu daerah yang masuk dalam daerah destinasi wisata Indonesia yang wajib dikunjungi dalam program Visit Indonesia 1991. Poso merupakan salah satu rumah bagi kayu eboni, yang termasuk dalam spesies Diospyros celebica. Termasuk jenis kayu yang sangat langka dan mahal, membuat eksploitasi eboni menjadi semakin sering, terutama karena ornamen warna kayu eboni dari Poso yang lebih disukai.[17]
Etimologi
[sunting | sunting sumber]Wilayah ini disebut Poso pada abad ke-12. Dalam peta "De bocht van Tominie, befeilt met de Hoecker de brantgans" tahun 1682, nama Poso dituliskan sebagai Posfo yang terletak di bagian hulu Sungai Poso.[18] François Valentijn dalam bukunya Oud en Niew Oost-Indien yang dirilis pada tahun 1724, sudah menuliskan tentang Poso.[19] Poso berasal dari bahasa Pamona yang berarti "Kekokohan". Perdebatan mengenai arti kata Poso selalu dikutip oleh para aktivis, peneliti dan akademisi. Ada berbagai versi yang terkait dengan asal mula penyebutan "Poso" untuk kota Poso, namun secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua. Versi pertama, Poso berarti pecah atau terbelah dan kedua Poso berarti kokoh dan teguh. Walaupun berbeda tafsirnya, tetapi kedua kelompok sepakat bahwa kata "Poso" berasal dari bahasa Pamona.[20]
Kelompok pertama, menganggap bahwa kata "Poso" sama dengan terbelah atau terpecah. Kelompok ini merujuk pada terjemahan Poso yang diambil dari kata Maposo. Secara letter-leg, kata Maposo berarti remuk atau terbelah, dan kemudian terjadi pengubahan makna sebagai terbelah saja. Pengubahan ini untuk memudahkan pemahaman bahwa wilayah kota Poso terbelah oleh sungai yang mengalir dari Tentena ke Poso (Sungai Poso).[21][20]
Kelompok kedua menganggap bahwa Poso sama dengan teguh atau kokoh. Kelompok ini merujuk pada kata Poso'o dalam bahasa Pamona yang berarti teguh dan kokoh. Pada masa awal, pusat pemerintahan Poso berada di Saeyo yang berarti sehari (sekarang menjadi kelurahan Sayo). Tempat ini disebut Saeyo karena perjalanan dari Tentena menuju lokasi rumah Raja memakan waktu sehari perjalanan dengan pedati. Saat tiba di rumah Raja, biasanya tamu yang membawa pedati diperintahkan untuk melepas kekang sapi atau kerbaunya dan mengikatnya di sebuah tempat (sekarang Stadion Kasintuwu) dengan menanam patok yang kokoh. Pada perjalanan sejarah Poso, lokasi di sekitar tempat memasang patok —Stadion Kasintuwu— menjadi pusat perkantoran ibu kota Poso, sebelum pindah ke lokasi sekarang di kelurahan Gebangrejo.[20]
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Di Poso pada zaman batu hingga zaman megalitikum, masyarakat adat Pekurehua di Watutau telah hidup dan menetap secara turun temurun di wilayah Watutau. Hal tersebut ditandai dengan adanya bukti peninggalan purba, di antaranya guci yang terbuat dari tanah yang dijadikan peti mati yang dalam Bahasa Bada disebut dengan Kori Bengki.[22] Di wilayah lembah Lore, terdapat sekitar 400 patung granit megalitik, yang menurut berbagai penelitian arkeologi diperkirakan berasal dari 3000 SM hingga tahun 1300. Patung-patung ini memiliki ukuran yang bervariasi, mulai dari beberapa sentimeter hingga sekitar 45 meter (148 ft)*. Tujuan dibuatnya patung-patung ini masih belum dapat dijelaskan. Sekitar 30 patung megalitik berbentuk seperti manusia, sedangkan yang lainnya dalam bentuk pot besar (Kalamba) dan piring batu (Tutu'na).[23][24]
Periode Raba
[sunting | sunting sumber]Di Lembah Napu, beredar legenda tentang lembah dan pemukiman di sana ribuan tahun sebelumnya. Selama era yang disebut-sebut sebagai Periode Raba, sebagian wilayah Lembah Napu dulunya merupakan danau yang disebut Rano Raba (Danau Raba). Pada saat itu, perbukitan di sekitar danau merupakan daerah permukiman dari berbagai suku, yang hanya dipertemukan dalam konteks upacara adat. Dua kelompok suku terbesar di wilayah tersebut adalah To Winoa yang mendiami perbukitan di atas Tamadue dan To Huku di bagian barat yang menghuni perbukitan di atas Wuasa. Selain itu, kelompok suku kecil lainnya juga mendiami wilayah ini. Meski demikian, mereka mampu berkomunikasi dengan baik menggunakan bahasa yang saat ini dikenal dengan bahasa Napu. Suku-suku ini dipimpin seseorang yang bergelar Tuana. Semakin banyaknya penduduk yang mendiami wilayah ini, membuat para penduduk desa memutuskan untuk mengeringkan Rano Raba. Danau ini dikeringkan dengan upacara adat melalui perantara seseorang yang dijuluki Tawalia (dukun) dengan mengalihkan aliran danau ke sebelah selatan desa Torire saat ini, yang akhirnya menjadi Sungai Lariang melewati Lore Selatan dan bermuara di Mamuju, Sulawesi Barat. Proses pengeringan ini disebut memakan waktu sekitar seratus tahun. Rano Raba menyisakan jejak dalam bentuk danau-danau kecil yang disebut Rano Wanga (Danau Wanga) dan Rano Ngkio (Danau Ngkio), sedangkan wilayah bekas danau utama menjadi padang rumput dan ilalang. Dataran baru ini kemudian dijadikan padang penggembalaan, tanah pertanian, dan wilayah permukiman masyarakat yang baru. Salah satu kelompok suku yang mendiami daratan baru ini adalah To Pekurehua, yang di kemudian hari akan menjadi kelompok terbesar di wilayah ini.
Sama seperti wilayah lainnya di Sulawesi, lembah Napu juga mengenal kisah To Manuru, seseorang yang dalam legenda berasal dari langit. Ia disebut diturunkan dari langit di lembah Napu pada abad ke-10, menikahi wanita lokal keturunan bangsawan dari suku Kalide dan dikaruniai tujuh anak. Setelah semuanya beranjak dewasa, To Manuru pergi dan melanjutkan perjalanan. Seorang putranya yang bernama Tindarura memilih bertahan di desa, sedangkan saudara-saudaranya pergi meninggalkan lembah. Pertumbuhan penduduk yang pesat membuat populasi desa meningkat tajam, membuat sebagian penduduk memutuskan pindah untuk mendirikan permukiman baru bernama Gaa. Seiring waktu, desa-desa seperti Habingka, Gaa, Lengaro, dan Watutau bersekutu untuk membentuk Prinsipalitas dan masing-masing desa dipimpin oleh bangsawan. Tindarura ditunjuk oleh para bangsawan ini untuk menjadi Tadulako (panglima perang) bagi mereka, dan ia mulai dikenal dengan nama Gumang Koana. Ia memproduksi alat-alat pertanian dan senjata, dan membangun sebuah baruga adat di desa Lamba yang dijadikan sebagai tempat pertemuan majelis adat dan bangsawan. Gumang Koana mewariskan tugasnya sebagai Tadulako kepada putranya, nTakeuba. Pada akhir abad ke-12, wilayah lembah Napu diserang oleh suku To Mene yang berasal dari Mandar. Semua penduduk yang tinggal di utara tewas.
Tes
[sunting | sunting sumber]Peta klasik Pluvier untuk abad ke-15, dengan jelas memberi tanda (noktah khusus) untuk beberapa wilayah penting di Sulawesi saat itu, termasuk Poso.[a] Pada tahun 1667, pasca Perjanjian Bongaya yang membahas tentang klaim pengaruh Ternate atas wilayah Sulawesi bagian Utara, khususnya yang berada di kawasan Teluk Tomini (termasuk Poso, Tojo, Togean, Banggai, Luwuk, Moutong), secara politik diserahkan kepada pemerintah kolonial Belanda.
Sejak abad ke-18, penduduk yang mendiami daerah Poso berada di bawah kekuasaan pemerintah raja-raja yang terdiri dari Raja Poso, Raja Napu, Raja Mori, Raja Tojo, Raja Una-Una dan Raja Bungku yang tidak memiliki hubungan satu sama lain. Seluruh wilayah kerajaan tersebut di bawah pengaruh beberapa kerajaan, di bagian utara tunduk dibawah pengaruh Raja Sigi yang berkedudukan di Sigi. Di bagian Timur, yakni daerah Bungku tunduk kepada Sultan Ternate. Dalam catatan Kruyt, ada 4 Kerajaan yang berbatasan langsung dengan wilayah Poso; yaitu Kerajaan Luwu, Kerajaan Sigi, Kerajaan Tojo dan Kerajaan Mori. Kekuasaan yang paling berpengaruh dan paling luas adalah kerajaan Luwu yang berkedudukan di Palopo. Rajanya memakai gelar Datu.
Protektorat kerajaan
[sunting | sunting sumber]Pada awal abad ke-17, Kerajaan Luwu di selatan mulai mencapai puncak kejayaannya. Pengaruh Luwu yang kuat di selatan mulai tersebar ke utara dan memasuki wilayah Poso.[26] Pada akhir abad ke-18, Datu Pamona dikalahkan oleh pasukan Luwu. Datu Pamona kemudian ditawan oleh pasukan Luwu dan dibawa ke Palopo.[27] Pemerintahan Kerajaan Luwu di Poso dikendalikan melalui Wotu dan Ampu Lemba. Ampu Lemba dalam pemerintahannya selalu berkoordinasi dengan Karadja Lamusa yang bermukim di Tando Ngkasa. Perintah maupun permintaan dari Datu Luwu disampaikan kepada Ampu Lemba. Perintah ini dapat berupa bantuan pasukan, apabila pasukan kerajaan Luwu melakukan ekspansi, atau sedang memberikan hukuman di wilayah lain.[27]
Di bawah kekuasaan Kerajaan Luwu di wilayah Poso, kediaman Suku Pamona tetap patuh yang secara tradisi atau turun temurun tunduk kepada Wotu yang dikepalai oleh Macoa Bawa Lipu. Namun dalam catatan Kruyt, wilayah Onda'e tidak tunduk kepada Datu Luwu. Pasukan Datu Luwu kemudian menyerang wilayah Onda'e, dan peristiwa ini dikenal dengan Monangu Buaja.[27] Peristiwa Monangu Buaja disebutkan dalam buku Kruyt yang berjudul De Crocodiel in Possoer. Dalam buku itu, dinyatakan bahwa Pasukan Datu Luwu bersama dengan Lamusa datang menghancurkan Onda'e. Dalam suasana keterpurukkan, para tetua Onda'e yang tersisa kemudian bermusyawarah dan mengambil kesepakatan untuk menghadap langsung kepada Datu Luwu.[27] To Onda’e kemudian dijadikan anak emas oleh Kerajaan Luwu.
Tekanan dari Bone dan Luwu membuat wilayah jajahan mereka seperti Parigi dan Sigi, mulai menyebarkan pengaruh mereka kepada suku pedalaman.[26] Di bagian barat, pengaruh Kerajaan Sigi mulai dirasa kental. Kruyt menyebutkan bahwa Sigi berhasil menguasai sejumlah daerah suku-suku di Poso dengan politik pecah-belah. To Napu, yang merupakan salah satu wilayah yang terkena pengaruh Kerajaan Sigi, sering melakukan penjarahan di Pebato. Sehingga orang-orang di Pebato harus mengakui dua tuan, yakni Luwu dan Sigi. To Napu memiliki naluri perang yang tinggi dan sering ditemukan merajalela di bagian wilayah lain yang pada waktu itu dikategorikan sebagai pelanggaran keras. Mereka merajalela di di wilayah Pebato, Lage, Onda'e dan Wingke mPoso. Diduga agresi yang dilakukan To Napu merupakan tekanan dari Raja Sigi yang berambisi menguasai seluruh wilayah Sulawesi bagian tengah untuk melepaskan diri dari pengaruh Kerajaan Luwu dan mendirikan imperium baru. Namun rencana ini gagal karena tidak semua rakyat Lore mendukung, sebab ada pertalian kekerabatan dengan To Poso.
Dalam situasi tarik-menarik dua kekuatan besar ini, To Onda'e memiliki peranan yang penting, demikian juga To Napu. Situasi ini sering memicu ketegangan antara Onda'e dan Pebato yang memberikan kebebasan To Napu berkeliaran di wilayahnya. Sehingga To Onda'e mengajak To Lage untuk menekan To Pebato. Dua suku ini kemudian menjadi "anak emas" dari dua kerajaan yang memiliki kepentingan politik, yaitu Kerajaan Luwu dengan To Onda'e-nya dan Sigi dengan To Napu-nya. Sedangkan To Pebato dan To Lage berada di tengah sebagai penengah di antara keduanya.
Dalam tiga dekade awal tahun 1800-an, migrasi Suku Mandar dari Sulawesi bagian barat terus berlanjut ke utara dan timur laut, hingga mencapai wilayah pesisir Teluk Tomini. Mereka mulai menetap di pesisir pantai dan menyebar dari wilayah Ampibabo di Parigi hingga ke Lage di Poso. Adriani dan Kruyt dalam buku mereka—De Bare'e-sprekende Toradja's van Midden-Celebes—yang juga dikutip oleh Kaudern, menyatakan peristiwa migrasi suku Mandar ke wilayah Sulawesi bagian tengah tidak dapat diketahui tanggal pastinya.[28] Di wilayah Kadombuku, Lage—suku bawahan Mandar yang sangat berpengaruh—mulai membujuk penduduk lokal To Kadombuku untuk memeluk Islam. Mereka yang tidak setuju dengan ajakan tersebut, memberontak dan menentang Mandar dalam serangkaian perang suku yang terjadi sekitar ca 1832.[b] Rangkaian perang suku ini dimenangkan oleh suku Mandar, dan peristiwa ini dikenal sebagai Perang Mandar–Kadombuku.[29]
Pada bulan September 1865, Johannes Cornelis Wilhelmus Didericus Adrianus van der Wyck—seorang pejabat pemerintahan Hindia Belanda dari Sulawesi Utara—melakukan perjalanan ke dataran tinggi di selatan Teluk Tomini dengan tujuan memastikan kabar bahwa wilayah tersebut merupakan daerah kaya batu bara, bijih besi, dan emas. Ia justru menemukan Danau Poso, membuatnya menjadi orang Eropa pertama yang diketahui mengunjungi danau tersebut. Willem Jan Maria Michielsen mengikuti jejak ini pada tahun 1869, empat tahun setelah kedatangan van der Wyck.[30]
Belanda, yang sejak abad ke-17 menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik mereka di pulau Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi Tengah karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Bagaimanapun, keadaan ini hanya berlangsung selama dua abad. Sebuah peristiwa terjadi, memaksa pemerintah Hindia Belanda untuk ikut campur lebih dalam dengan suku-suku Poso Toraja. Pada tahun 1890, sebuah kapal uap Singapura berbendera Inggris muncul di Teluk Tomini, tanpa meminta izin di Gorontalo yang merupakan pusat asisten residen Belanda. Kapal bernama Glangy ini berlayar menuju ke Poso dan mengirimkan dua orang penyelidik Australia, yang berhasil menembus pedalaman hingga di daerah pertemuan sungai Poso dengan Tomasa untuk melakukan riset. Pemerintah Hindia Belanda khawatir dengan adanya kemungkinan bahwa Inggris akan menyebarkan pengaruh mereka di wilayah yang luas dan benar-benar belum terjamah ini. Untuk mengantisipasi langkah Inggris, pemerintah Hindia Belanda menawarkan kontrak politik dengan empat kepala suku Poso Toraja: Garoeda, Oele, Boenga Sawa dan Bengka. Meskipun demikian, mereka sama sekali tidak mengerti apa-apa tentang kontrak ini, tetapi para penafsir membujuk mereka dengan berbagai alasan untuk menyetujui kontrak tersebut.[31]
Pemerintah Hindia Belanda memahami bahwa kontrak tersebut tidak berarti apa-apa dan memutuskan untuk menempatkan seorang kontrolir di Poso untuk mempermudah kontak dengan suku-suku pedalaman Poso-Toraja dan dengan warga lainnya di sepanjang wilayah pesisir teluk Tomini. Pada bulan September 1894, Belanda mengangkat kontrolir pertama di Poso, Eduard van Duyvenbode Varkevisser. Keberadaan pemerintahan Belanda di mulut sungai Poso ini masih belum diketahui di wilayah pedalaman Poso pada saat itu.[7] Belanda, yang juga khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi Selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis, melihat subsuku keturunan Toraja yang menganut animisme di Sulawesi Tengah sebagai target yang potensial untuk di-Kristen-kan.[32] Ketertarikan Belanda atas wilayah Sulawesi Tengah baru diwujudkan menjelang akhir abad ke-19 untuk mengamati potensi wilayah yang ada di Sulawesi Tengah, terutama Poso. Setelah berdiskusi dengan Raja Sigi, Belanda memutuskan untuk mendaratkan seorang zending muda bernama Albertus Christiaan Kruyt di Mapane pada tahun 1892.[33]
Hingga awal tahun 1905, Kruyt dan Adriani terus menerus melakukan ekspedisi pemetaan wilayah Poso, terutama kekuatan potensial pasukannya, sebagai data awal yang kemudian digunakan pihak Belanda untuk menundukkan Poso. Pada bulan September 1905, Kontrolir Poso Arie Jacob Nicolaas Engelenberg melakukan inisiatif untuk mengadakan pertemuan dengan mengundang seluruh Kabose dari dataran tinggi Napu dan Pebato untuk menjelaskan tentang rezim pemerintahan yang baru. Tindakan para Kabose dari Napu dan Pebato —yang menolak untuk hadir— memaksa pasukan Belanda menyerbu Napu dan menimbulkan korban 60 orang Napu yang tewas dalam pertempuran. Peristiwa ini disebut Perang Peore.[33]
Pemerintahan Hindia Belanda
[sunting | sunting sumber]Pada tahun 1918, seluruh wilayah Sulawesi Tengah dalam lingkungan Kabupaten Poso yang sekarang telah dikuasai oleh Hindia Belanda dan mulailah disusun pemerintah sipil. Kemudian oleh Pemerintah Belanda, wilayah Poso dalam tahun 1905-1918 terbagi dalam dua kekuasaan pemerintah, sebagian masuk wilayah Karesidenan Manado, yakni Onderafdeeling (kawedanan) Kolonodale dan Bungku Tengah, Morowali, sedangkan kedudukan raja-raja dan wilayah kekuasaanya tetap dipertahankan dengan sebutan Self Bestuure-Gabieden (wilayah kerajaan) berpegang pada peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda yang disebut Self Bestuure atau Peraturan Adat Kerajaan (hukum adat).
Pada tahun 1919, seluruh wilayah Poso digabungkan dan dialihkan dalam wilayah Keresidenan Manado dan Sulawesi Tengah terbagi dalam dua wilayah yang disebut Afdeeling, yaitu: Afdeeling Donggala dengan ibu kotanya Donggala dan Afdeeling Poso dengan ibu kotanya kota Poso yang dipimpin oleh masing-masing Asisten Residen.
Pada tahun 1924, Belanda mengeluarkan Staatsblad Nomor 366 tentang pembagian pemerintahan Karesidenan Manado. Afdeling Poso dibentuk, dan Landschap Banggai dipecah menjadi dua Onderafdeling.
Pendudukan Jepang dan perang dunia
[sunting | sunting sumber]Pada bulan-bulan awal tahun 1942, Jepang melakukan serangkaian pendaratan pasukan di berbagai wilayah di Indonesia. Pada tanggal 11 Januari 1942, Kota Manado jatuh ke tangan Jepang, membuat pasukan Belanda mundur ke wilayah Sulawesi Tengah yang saat itu belum dimasuki Jepang. Pemerintah Belanda kemudian menjadikan ibu kota kabupaten Poso sebagai salah satu tempat pemusatan pasukan Belanda, selain Kota Palu.[34] Pada akhir Januari 1942, Troepen commandant (TPC) Mayor B.F.A. Schilmöller yang bermarkas di Poso mengirimkan sebuah radiogram rahasia kepada Letnan W.H.J.E. van Daalen bersama Kapten J.H.L.A.C. de Swert. Dalam radiogram tersebut, Schilmöller memerintahkan agar pasukan Batalyon Inheemsche Militie di Manado untuk segera bersiap dan segera berangkat dengan KM Togian sesuai rencana. Setelah menerima radiogram, de Swert segera memerintahkan agar seluruh pasukan bersiap-siap untuk menuju ke Poso. Pada malam hari tanggal 25 Februari 1942, rombongan mereka tiba di Pelabuhan Poso.[c] Beberapa hari kemudian, pada tanggal 2 Maret 1942, Nani Wartabone mengutus Ahmad Otto Papeo bersama rombongannya dari Gorontalo untuk berangkat ke Poso dengan menggunakan kapal motor SS Urania. Perjalanan ini dilakukan untuk melakukan aksi pelucutan senjata terhadap tentara Belanda yang berada di Poso.[35]
Sasaran utama militer Jepang di Sulawesi Tengah adalah pemerintahan dan militer Hindia Belanda, yang mereka anggap sebagai sekutu Amerika Serikat, lawan utama mereka pada Perang Dunia II. Pasukan Belanda yang bertahan di ibu kota Poso mencapai sekitar 60 orang, yang dipimpin oleh van Daalen dan Asisten Residen Afdeling Poso L.C.J. Rijsdijk. Di sisi lain, Residen Manado Frederik Charles Hendrik Hirschmann menuju ke Lembah Bada di pedalaman Lore untuk menghindari kejaran tentara Jepang. Letak Bada yang berada di pedalaman, kondisi jalan penghubung yang rusak dan sulit dijangkau pada saat itu membuat pelarian Hirschmann sukses.[36] Kesuksesan Jepang mengambil alih Kota Donggala, membuat pengendali kekuatan pasukan militer Belanda dialihkan kepada van Daalen yang berada di Poso.[37] Untuk merebut Palu dan Poso, Jepang melancarkan serangan dua arah —rencana yang terbukti efektif karena kedua kota ini kemudian jatuh ke tangan Jepang— secara langsung. van Daalen dan sisa pasukan mundur dari Poso dan menuju ke kota Kolonodale untuk bergabung dengan Letnan J.A. de Jong yang memang ditempatkan di sana. Kolonodale adalah pusat konsolidasi terakhir pasukan Belanda, sebelum mereka menuju ke Australia. Pelarian mereka membuat Kolonodale menjadi sasaran pesawat pengebom Angkatan Laut Kekaisaran Jepang.[38] Rijsdijk berhasil meloloskan diri, sedangkan van Daalen dan de Jong ditangkap dan dipenjarakan di Manado, dan mereka berdua tewas setelah dieksekusi pada tanggal 25 Agustus 1942.[39]
Keadaan pemerintahan yang dikendalikan oleh para Raja setempat berlangsung sampai bulan Juni 1942. Sebelumnya, pada tanggal 7 Maret 1942, Jepang mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 yang berisi mengenai ketentuan ketatanegaraan yang tidak bertentangan dengan pemerintahan pendudukan militer Jepang.[40] Berlakunya Undang-Undang ini, membuat petugas-petugas pemerintahan sipil Jepang yang berdatangan dari Makassar dan Manado, ditempatkan di kota Donggala, Palu, dan Poso.[41]
Pada tanggal 21 Agustus 1945, Jepang menyerahkan kendali pemerintahan di Sulawesi Tengah terhadap raja-raja setempat. Di Poso, kekuasaan diberikan kepada Raja Muda Wongko Lemba Talasa.[42] Kemerdekaan negara yang masih sangat rapuh, diantisipasi oleh W.L. Talasa dengan membentuk barisan sukarela yang dipimpin Jacob Lamadjuda. Baru sekitar dua bulan mengendalikan pemerintahan, pasukan sekutu dengan menumpang kapal perang Australia tiba di Pelabuhan Poso pada tanggal 1 November 1945. Kapal ini membawa mantan Asisten Residen Poso Rijsdijk dengan dikawal satu regu pasukan Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Kedatangan mereka menandai kembalinya kekuasaan Belanda, disertai dengan penyusunan pemerintahan daerah dengan struktur yang sama dengan masa Hindia Belanda.[43] Jacob Lamadjuda dan pasukannya berniat untuk melawan, tetapi dilarang oleh Raja Tua Poso Talasa.[44]
Pasca kemerdekaan
[sunting | sunting sumber]Pada 2 Desember 1948, Daerah Otonom Sulawesi Tengah terbentuk yang meliputi Afdeeling Donggala dan Afdeeling Poso dengan ibu kotanya Poso yang terdiri dari beberapa wilayah Onder Afdeeling Chef atau lazimnya disebut pada waktu itu Kontroleur atau Hoofd Van Poltseliijk Bestuure (HPB). Ketiga Onder Afdeeling ini meliputi beberapa Landschap dan terbagi dengan beberapa distrik, yakni :
- Onder Afdeeling Poso
- Onder Afdeeling Bungku Mori
- Onder Afdeeling Donggala
- Onder Afdeeling Palu
- Onder Afdeeling Tolitoli
- Onder Afdeeling Parigi
- Onder Afdeeling Luwuk
- Landschap Poso Lage berkedudukan di Poso.
- Landschap Lore berkedudukan di Wanga.
- Landschap Tojo berkedudukan di Ampana.
- Landschap Una-Una berkedudukan di Ampana.
- Landschap Bungku berkedudukan di Bungku.
- Landschap Mori berkedudukan di Mori.
- Landschap Banggai berkedudukan di Luwuk.
Pada tahun 1949, setelah realisasi pembentukan Daerah Otonom Sulawesi Tengah yang disusul dengan pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Sulawesi Tengah, pembentukan Daerah Otonom Sulawesi Tengah dilakukan sebagai tindak lanjut dari hasil Muktamar Raja-raja se-Sulawesi Tengah pada tanggal 13 hingga 14 Oktober 1948 di Parigi yang mencetuskan suara rakyat se-Sulawesi Tengah agar dalam lingkungan Pemerintah Negara Indonesia Timur (NIT), Sulawesi Tengah dapat berdiri sendiri. Kemudian ditetapkan bahwa Rajawali Pusadan, Ketua Dewan Raja-Raja, sebagai Kepala Daerah Otonom Sulawesi Tengah.
Daerah otonom
[sunting | sunting sumber]Pada tanggal 4 April 1952, Presiden Soekarno melakukan kunjungan ke Poso. Soekarno menggunakan pesawat amfibi PBY Catalina yang mendarat di Teluk Poso. Ia kemudian dijemput di Pelabuhan Poso oleh para tokoh adat dan masyarakat. Penyambutan secara adat —yang disebut Pekasiwia— dilakukan. Hampir semua perwakilan dari suku-suku yang ada di Poso datang untuk melakukan penyambutan Soekarno. Setelah disambut secara adat, presiden berangkat ke alun-alun kota saat itu di Lapangan Kasintuwu untuk melaksanakan pidato politiknya. Ribuan masyarakat Poso datang untuk bertemu dan mendengar pidatonya. Setelah melakukan pidato, presiden juga meresmikan Tugu Kemerdekaan di Bonesompe.
Pada tanggal 12 Agustus 1952, pemerintah melalui Menteri Kehakiman Lukman Wiriadinata mengesahkan Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1952 yang mengatur tentang pembubaran Daerah Otonom Sulawesi Tengah dan membagi wilayahnya menjadi daerah-daerah swatantra, yang terdiri dari Daerah Otonom Poso dan Daerah Otonom Donggala.[45]
Pemilihan umum 1955 di Poso dimenangkan oleh Partai Masyumi, dan disusul secara berturut-turut oleh Parkindo, PSII, PNI, Nahdlatul Ulama, PKI dan Partai Katolik.[46] Pada tahun 1959, berdasarkan Undang-Undang No. 29 Tahun 1959, Daerah Otonom Poso dipecah menjadi dua daerah kabupaten, yakni Kabupaten Poso dengan ibu kota Poso dan Kabupaten Banggai dengan ibu kota Luwuk.[47]
Pemberontakan regional
[sunting | sunting sumber]Pembangunan di wilayah timur Indonesia —terutama di Sulawesi— yang dianggap dianaktirikan oleh pemerintah, berujung pada tanggal 2 Maret 1957 di Makassar, saat gerakan Perjuangan Semesta diproklamasikan oleh Pejabat Panglima Tentara Teritorium VII/Wirabuana Letkol. Ventje Sumual.[48] Pada tahun 1957, anggota TNI di semua wilayah Sulawesi Utara dan Tengah telah berada di bawah komando Panglima Permesta Alex Kawilarang. Oleh Permesta, Poso dijadikan basis kekuatan di Sulawesi Tengah untuk melakukan perlawanan terhadap tentara pemerintah, karena dinilai merupakan wilayah paling strategis dan memiliki medan yang mendukung. Permesta di Poso digalakkan oleh pemuda-pemuda pro-Permesta dengan nama Komando Pemuda Permesta (KoP2).[49]
Pertengahan tahun 1957, beras dan tekstil dikirim oleh Permesta dari kota Bitung, Sulawesi Utara. Truk-truk pengangkut barang hilir-mudik antara Bitung dengan wilayah lainnya, dan sebagian diangkut dengan kapal ke Poso. Awal bulan Juni, Kepala Staf Gubernur Militer Sulawesi Utara Tengah bersama rombongannya mengadakan kunjungan 2 hari 2 malam di Poso. Rombongan memberikan bantuan untuk biaya pembangunan di daerah Poso, yang dianggarkan untuk pembangunan daerah sampai akhir tahun 1957. Permesta berfokus pada pembangunan sarana penghubung di sekitar kota Poso, terutama jalan.[50] Penduduk yang tinggal di wilayah Danau Poso pada awalnya senang dengan kehadiran pasukan Permesta yang mengusir tentara DI/TII dari wilayah Poso. Keadaan ini terbukti tidak berlangsung lama. Pasukan Permesta yang mulai bertindak sewenang-wenang terhadap penduduk lokal, membuat para pemuda lokal dari dataran tinggi di Poso bertindak untuk menentang mereka. Pada tanggal 5 Desember 1957, sekelompok milisi yang disebut Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah (GPST) dibentuk dan diketuai oleh Asa Bungkundapu.[51] GPST melakukan gerakan perlawanan dengan dibagi menjadi 9 sektor mulai dari Poso, Mapane, Taripa, Pendolo, Tentena, Mori Atas dan Tomata, Beteleme dan Petasia, Tojo, Bungku, dan Luwuk Banggai.[52]
Pada hari Senin, tanggal 7 Desember 1957, dua peleton TNI memasuki hutan-hutan Poso untuk memburu kelompok Permesta pimpinan Lukas J. Palar. Tindakan ini —yang juga diikuti oleh sejumlah anggota kepolisian, pimpinan pemerintahan sipil serta ribuan orang Poso— terjadi karena tuntutan mereka agar daerah Sulawesi Tengah dijadikan Daerah Swantara Tingkat Pertama (provinsi) tidak dikabulkan Permesta.[50] Dalam triwulan pertama tahun 1958, eskalasi semakin meningkat, menyusul penangkapan 20 orang simpatisan GPST oleh Permesta. Pada tanggal 19 Februari 1958, hanya dua hari setelah KDM-SUT memutuskan hubungan dengan pemerintahan Soekarno, Somba melantik Mayor Jan Wellem Gerungan sebagai komandan Resimen Tim Pertempuran Anoa yang bermarkas di Poso.[53][54]
Hingga bulan April 1958, sekitar dua per tiga penduduk Poso masuk hutan karena takut pada pendudukan Permesta, dan kurang lebih 200 orang pemuda Poso dijadikan anggota pasukan PRRI (Permesta). Di Pendolo pada tanggal 5 Mei, 11 orang anggota GPST tewas dalam penyerangan pos Permesta. Lima hari kemudian, pada tanggal 10 Mei 1958, empat buah kapal motor Permesta yang sedang dalam perjalanan dari Poso ke Parigi berhasil ditenggelamkan oleh pesawat tempur AURI. Komandan Batalyon 719 Anoa Palar bersama anak buahnya gugur dalam peristiwa ini, ketika sedang menyeberangi perairan dengan KM Sabut. Sisa-sisa bawahannya terpencar, sebagian mengikuti Gerungan masuk hutan, dan sebagian lagi menggabungkan diri dengan satuan-satuan Resimen Ular Hitam. Dua minggu kemudian, Kapten Frans Karangan dan batalyon kecilnya membelot di Poso.[54] Sekitar tanggal 23 hingga 27 Mei 1958, pasukan pemerintah pusat dengan bantuan GPST tiba dan mengambil alih Tentena. Permesta berhasil dipukul mundur, dan memaksa Gerungan bersama dengan 200 prajurit (150 di antaranya bersenjata) mundur ke Lore Selatan, untuk menuju ke selatan dan bergabung dengan Kahar.[55] Pada 14 Juli 1958, ibu kota Poso diserang dan direbut oleh TNI dan GPST. Rangkaian serangan GPST berlanjut sampai ke sektor di luar wilayah utama Poso, yang berlangsung hingga akhir tahun 1958.
Setelah Permesta berhasil ditundukkan, terjadi perpecahan di internal GPST, terkait pembagian "dana terima kasih" dari pusat untuk para pemimpin dan anggota GPST yang berjuang di hutan. Peristiwa ini, membuat pasukan GPST yang baru pulang dari perang melawan DI/TII di wilayah Rampi menolak perintah ketuanya untuk melucuti senjata mereka sesuai perjanjian Korontjia antara GPST dengan TNI yang disepakati sebelumnya. Pada hari Jumat, tanggal 11 November 1960 di Tentena, terjadi pertempuran yang menewaskan 12 prajurit TNI dari Kodam Brawijaya. Tentena dikuasai pasukan eks partisan GPST dan sebagian lain yang takut akan ditindak oleh TNI memilih untuk melarikan diri ke hutan di perbatasan Sulawesi Selatan, sedangkan TNI memilih mundur sementara ke Kota Poso. Keadaan menjadi tidak aman dan mencekam. Di ibu kota Poso, akibat serangan tersebut, sekitar 160-an orang yang dituduh sebagai simpatisan GPST —termasuk ketua umum Asa Bungkundapu— ditangkap oleh pasukan Brawijaya dengan tuduhan mengorganisir serangan di Tentena. Pada tanggal 10 Desember 1960, puncak dari perselisihan ini terjadi saat Pasukan Brawijaya 501 —yang sehari kemudian akan digantikan oleh Batalyon Infanteri 506 Kodam Brawijaya dan Batalyon Infanteri 601 Kodam Tanjungpura— mengeksekusi mati 11 orang yang dianggap sebagai pimpinan atau partisan GPST. Setahun kemudian, Komando Resor Militer II/Tadulako dibentuk oleh TNI dan bermarkas di Palu. Empat tahun kemudian, pada tahun 1964, provinsi Sulawesi Tengah yang diperjuangkan GPST terbentuk.[48]
Pertumbuhan ekonomi dan transmigrasi
[sunting | sunting sumber]Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 1973 yang dikeluarkan Soeharto menunjuk Sulawesi Tengah dan sembilan provinsi terluar lainnya sebagai lokasi transmigrasi baru, dengan tujuan utama untuk mengurangi masalah kependudukan di Pulau Jawa. Undang-Undang Pemerintahan Daerah 1974 dan Undang-Undang Pemerintahan Desa Tahun 1979 kemudian melepaskan kekuasaan dari para tetua dewan adat dan meletakkannya di tangan birokrasi pegawai negeri sipil, meningkatkan kontrol politik oleh orang luar.
Kerusuhan dan konflik
[sunting | sunting sumber]Situasi politik nasional yang tidak stabil —karena Kejatuhan Soeharto dan menjelang Pemilu 1999— terjadi di daerah-daerah di seluruh Indonesia. Di Poso, pada tanggal 13 Desember 1998, keputusan Arief Patanga untuk tidak mencalonkan lagi sebagai bupati, menimbulkan ketidakstabilan situasi politik pada saat itu. Kerusuhan Poso yang pertama, yang bermula atas insiden yang terjadi antara dua orang pemuda dari agama yang berbeda, terjadi pada dinihari tanggal 25 Desember di penghujung tahun 1998.[d][56] Kerusuhan pertama ini baru mereda setelah para pejabat birokrat provinsi tiba di Poso dan mempertemukan kedua pihak yang bertikai serta menangkap tokoh-tokoh yang dianggap provokator pada saat itu, meskipun bentrokan kecil masih terjadi beberapa hari setelahnya.[57][58] Dijalankannya undang-undang baru tentang desentralisasi, membuat beberapa calon bupati yang tidak mendapatkan dukungan, tidak dapat berpartisipasi dalam pemilihan.[e] Pada bulan Juni 1999, Gubernur Bandjela Paliudju memutuskan bahwa masa jabatan Arief Patanga telah selesai. Pemilihan Bupati Poso yang definitif baru terlaksana tanggal 30 Oktober 1999. Abdul Muin Pusadan, tokoh Golkar dan mantan aktivis mahasiswa, terpilih dengan suara terbanyak.[60]
Setelah lebih dari setahun tenang, serangkaian peristiwa hukum dan politik pada bulan April 2000 kembali meningkatkan tensi.[61] Bentrokan antar kelompok –yang juga dipicu oleh perkelahian kecil– terjadi,[62] dan memaksa Kapolres Poso saat itu untuk mendatangkan pasukan Brimob dari Palu. Bentrokan susulan terjadi sehari kemudian, menyebabkan rumah-rumah di Poso Kota bagian Utara dirusak dan dibakar.[f] Pangdam Wirabuana Mayor Jenderal TNI Slamet Kirbiantoro mengirimkan 600 orang prajurit dari Makassar untuk membantu meredakan situasi. Pada 18 April, Gubernur Paliudju tiba untuk meredam kekacauan. Paliudju meminta kepada penduduk Protestan –yang sebagian besar telah melarikan diri ke Tentena dan wilayah lainnya– untuk tidak membalas, melainkan "menyerahkannya kepada Tuhan". Polisi menyatakan fase kedua kerusuhan selesai pada tanggal 3 Mei 2000.[63] "Fase ketiga" dimulai hanya dalam waktu tiga minggu kemudian ketika sekelompok orang Kristen bertopeng ninja melakukan serangan dinihari di Kayamanya dan sebagian Moengko kepada beberapa orang dari kelompok Muslim yang mereka anggap bertanggung jawab atas kerusakan di wilayah yang didominasi oleh Kristen sebelumnya.[64] Bentrokan kemudian menjadi semakin intensif, dan meluas ke seluruh wilayah Poso. Tahap ketiga ini memuncak dalam peristiwa pembantaian yang terjadi di pesantren di Sintuwulemba, sebuah desa transmigrasi di selatan ibu kota Poso. Lebih dari seratus orang dieksekusi dengan senjata rakitan, dan tubuh mereka dilemparkan ke sungai Poso serta kuburan massal.[65] Pertempuran masih berlanjut hingga akhir Juli 2000, hingga tiga orang Katolik yang dianggap sebagai pimpinan ditangkap.[g][66] Pada tanggal 22 Agustus 2000, sebuah pertemuan damai yang disebut Rujuk Sintuwu Maroso dan dihadiri oleh Presiden Indonesia ke-4 Abdurrahman Wahid dan beberapa menteri dari Kabinet Persatuan Nasional, digelar di Alun-alun Sintuwu Maroso di pusat Kota Poso.
Selama bulan-bulan pertama tahun 2001, kekerasan memburuk lagi. Selain serangan mengejutkan terhadap petani, kelompok yang tidak puas menanam bom di tempat ibadah dan pos polisi. Setelah tiga orang Katolik dijatuhi hukuman mati, serangan terhadap Muslim meningkat. Ini mulai disebut "fase empat". Pada bulan Juli, kelompok Laskar Jihad, yang berbasis di Yogyakarta, mengirim utusan untuk bertemu dengan para pemimpin agama dan pejabat pemerintah senior di Sulawesi Tengah. Pada bulan Juli 2001, setelah melakukan beberapa kunjungan penjajakan (setelah konflik berjalan dua setengah tahun), Laskar Jihad tiba di Poso.[67] Kekerasan meningkat lagi saat Laskar Jihad mulai melakukan tindakan yang mereka sebut "balas dendam". Lebih dari seratus orang tewas dalam periode yang disebut "fase lima" ini. Setidaknya 6 gereja dan 4.000 rumah di tiga puluh desa dibakar, yang sepertinya tanpa pengawasan aparat keamanan. Sekitar 15.000 orang meninggalkan rumah mereka.[66] Pada tanggal 4 Desember 2001, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono, melakukan kunjungan ke Sulawesi untuk bertemu dengan para pemimpin dari kedua kelompok. Jusuf Kalla, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, ditugaskan sebagai mediator.[68] Kira-kira lima puluh orang delegasi, setengah Muslim dan setengah Kristen, bertemu secara terpisah dengan Kalla di Malino, Sulawesi Selatan. Pada tanggal 20 Desember 2001, sebuah perjanjian perdamaian bilateral berisi sepuluh poin diumumkan, yang nanti dikenal sebagai Deklarasi Malino I.[14] Dengan kedatangan 4.000 orang tentara dan polisi, serta perhatian nasional dan internasional terhadap Poso dan Sulawesi Tengah, perayaan Natal berlangsung aman. Pada Tahun Baru, empat gereja Protestan di bom di ibu kota provinsi Palu, tapi pelaksanaan kesepakatan itu terus berlanjut.[66]
Pemulihan dan penyelesaian konflik
[sunting | sunting sumber]Keadaan yang relatif tenang dari paruh pertama tahun 2003, meyakinkan pemerintah untuk menarik sekitar 1000 tentara dan polisi yang sebelumnya dikerahkan di Poso pada puncak konflik. Beberapa serangan baru terjadi pada bulan Oktober 2003 terhadap orang Kristen, mengakibatkan lebih dari 30 orang tewas. Beberapa anggota kelompok militan Muslim yang berbasis di Sulawesi, Mujahidin KOMPAK —secara luas diyakini memiliki hubungan dengan kelompok militan regional Jemaah Islamiyah (JI)— ditangkap sehubungan dengan serangan. Sebuah serangan fatal pada dua warga Hindu Bali hampir memicu konflik agama lanjutan, yang sebelumnya terbatas pada komunitas Kristen dan Muslim.[69]
Pada tahun 2004, tidak kurang dari 25 orang dilaporkan tewas dalam serangan sporadis misterius. Di tahun yang sama, berbagai laporan muncul dari kelompok hak asasi manusia Indonesia dan internasional yang menuduh pasukan pemerintah dan POLRI telah melakukan lebih dari 80 pelanggaran hak asasi manusia selama periode tahun 2002 hingga 2004. Pada tanggal 28 Mei 2005, sebuah ledakan yang terjadi di sebuah pasar yang ramai di kota Tentena menewaskan 22 orang, sementara pada bulan Oktober 2005, 3 penyerang Muslim bertopeng memenggal 3 siswi Kristen remaja di Poso.
Pada tanggal 27 September 2006, tiga tokoh yang disebut sebagai pimpinan dalam kerusuhan Poso, Fabianus Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus da Silva, dieksekusi pada pukul 1 dinihari di Palu. Mereka dijatuhi hukuman mati pada tahun 2001 dengan dakwaan memimpin serangan tahun 2000 di pesantren Walisongo. Eksekusi ini —yang menghadapi penolakan keras dari pihak Kristen dan Katolik dunia— menimbulkan kerusuhan skala kecil di beberapa wilayah Indonesia Timur karena hukuman mati mereka dipandang sebagai tidak adil dan mengalami penekanan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan.
Peningkatan ekonomi
[sunting | sunting sumber]Hingga pertengahan tahun 2007, dengan serangkaian penangkapan dan penyergapan terhadap tempat-tempat yang diduga mendukung para militan yang tersisa, serta peningkatan jumlah pasukan pengamanan POLRI dan TNI di Poso, JI sebagai salah satu faktor utama pemicu konflik secara efektif sudah tidak beroperasi. Sejak tahun 2009, Poso sudah relatif aman dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kekerasan misterius yang terjadi mulai menurun dan hanya sesekali terjadi di luar ibu kota kabupaten.[69]
Geografi
[sunting | sunting sumber]Berdasarkan garis lintang dan garis bujur, wilayah Poso terletak pada koordinat 1o06' 44,892"-2o12' 53,172" LS dan 120o05' 96" - 120o52' 4,8" BT. Berdasarkan letak astronomisnya, panjang wilayah Kabupaten Poso dari ujung barat sampai ujung timur diperkirakan mencapai ±86,2 km. Lebarnya dari utara ke selatan dengan jarak ±130 km.[4] Berdasarkan posisi geografisnya, Poso terletak di kawasan hutan dan lembah pegunungan, sedangkan kawasan lainnya terletak di pesisir pantai yang sebagian besar terletak di tepi Teluk Tomini. Ketinggian wilayah pada umumnya berada diatas 500 meter dari permukaan laut. Bagian barat dan tengah pada umumnya merupakan lembah dan pedalaman, bagian timur dilalui oleh rangkaian pegunungan, sedangkan bagian utara sebagian besar merupakan dataran rendah yang terletak di pesisir.[70] Titik tertinggi di Poso adalah Gunung Mao, dengan ketinggian mencapai 2552 meter.[71]
Wilayah Poso terletak pada deretan pegunungan lipatan, yakni pegunungan Fennema I,[72] pegunungan Fennema II,[73] dan Tineba di bagian barat;[74] pegunungan Takolekaju di bagian barat daya,[75] pegunungan Verbeek di bagian tenggara,[76] dan pegunungan Pompangeo di bagian timur laut.[77] Penjelajah Swiss, Paul dan Fritz Sarasin dalam buku mereka Reisen in Celebes, menjelaskan beberapa hal tentang geografi di wilayah Poso. Menurut mereka, rantai pegunungan tengah di bagian selatan, sedikit berbelok ke arah utara barat laut, dan terus memanjang ke arah utara. Di satu sisi, di bagian timur terdapat rantai pegunungan dari arah semenanjung Timur, yang pada saat melintasi bagian tengah semenanjung, berbelok tajam ke selatan.[78] Adriani dan Kruyt menggambarkan bahwa bentuk pegunungan di kedua sisi danau Poso tidak jauh berbeda dan kadang-kadang menurun secara vertikal.[79]
Geologi
[sunting | sunting sumber]Jenis tanah di daerah ini terbentuk dari lapisan kelompok jenis batuan yang masing-masing tersebar di seluruh Poso. Batuan Kapur terdapat di wilayah Pamona Selatan dan Pamona Utara; Batuan Sekis, terdapat di wilayah Pamona Utara, Poso Pesisir, Lage, Pamona Selatan, Lore Utara, Lore Selatan dan Poso Kota; Batuan Metamorfik, hanya terdapat di wilayah Lore Utara, Lore Selatan dan sebagian kecil di Poso Pesisir.[80] Formasi Puna, Formasi Napu dan Formasi Poso merupakan jenis tanah endapan lain yang berada di wilayah ini. Sebagian besar wilayah Poso dan sekitarnya dilalui oleh Sabuk Metamorf Sulawesi Tengah, sedangkan Kompleks Sekis Pompangeo meluas di bagian timur. Degradasi tanah terjadi di sepanjang daerah aliran sungai Poso, menyebabkan wilayah ini disebut Depresi Poso.
Citra satelit Interferometric Synthetic Aperture Radar (IFSAR) menunjukkan bahwa wilayah Poso dilalui oleh beberapa sesar; yaitu sesar Sausu-Parigi, sesar Poso, sesar Kasiguncu, sesar Poso Kota dan sesar Tojo. Sesar yang berada di Poso merupakan sesar aktif yang bergerak setiap tahunnya. Kondisi ini menyebabkan kabupaten ini termasuk daerah rawan bencana gempa.[81] E.C. Abendanon dalam bukunya —yang dirilis pada tahun 1915— menyatakan bahwa lapisan kapur yang berkualitas baik di antara lapisan yang sama di sisi timur danau Poso telah ditemukan oleh M. Koperberg.[79]
Iklim
[sunting | sunting sumber]Keadaan iklim di Kabupaten Poso dikenal dengan iklim hujan tropis karena pada bagian utara wilayah ini dilalui oleh garis khatulistiwa. Berdasarkan pengamatan melalui Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Kasiguncu Poso pada tahun 2010, secara umum rata-rata suhu udara maksimum/minimum berada pada 31.76°C dan 20.29°C. Pada tahun 2015, secara umum rata-rata suhu udara maksimum/minimum berada pada 31.98°C dan 23.42°C. Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, suhu udara rata-rata tidak banyak mengalami perubahan.[82] Kelembaban udara selama tahun 2015 rata-rata berkisar antara 76-85%. Sedangkan jika dibandingkan kelembaban udara tahun 2014 rata-rata berkisar antara 73-84%.
Data iklim Poso, Sulawesi Tengah, Indonesia | |||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Bulan | Jan | Feb | Mar | Apr | Mei | Jun | Jul | Agt | Sep | Okt | Nov | Des | Tahun |
Rata-rata tertinggi °C (°F) | 30.6 (87.1) |
30.7 (87.3) |
30.9 (87.6) |
31.0 (87.8) |
31.1 (88) |
30.3 (86.5) |
29.7 (85.5) |
30.8 (87.4) |
31.2 (88.2) |
32.2 (90) |
31.8 (89.2) |
31.1 (88) |
30.95 (87.72) |
Rata-rata harian °C (°F) | 26.8 (80.2) |
26.8 (80.2) |
27.0 (80.6) |
27.0 (80.6) |
27.4 (81.3) |
26.6 (79.9) |
25.9 (78.6) |
26.6 (79.9) |
26.7 (80.1) |
27.5 (81.5) |
27.5 (81.5) |
27.1 (80.8) |
26.91 (80.43) |
Rata-rata terendah °C (°F) | 23.0 (73.4) |
23.0 (73.4) |
23.1 (73.6) |
23.1 (73.6) |
23.7 (74.7) |
23.0 (73.4) |
22.2 (72) |
22.5 (72.5) |
22.3 (72.1) |
22.9 (73.2) |
23.2 (73.8) |
23.2 (73.8) |
22.93 (73.29) |
Presipitasi mm (inci) | 162 (6.38) |
157 (6.18) |
247 (9.72) |
291 (11.46) |
253 (9.96) |
256 (10.08) |
219 (8.62) |
193 (7.6) |
201 (7.91) |
144 (5.67) |
197 (7.76) |
197 (7.76) |
2.517 (99,1) |
% kelembapan | 84.5 | 84.2 | 84.1 | 84.3 | 83.7 | 83.2 | 81.2 | 78.7 | 78.2 | 79.9 | 82.5 | 84.4 | 82.41 |
Sumber #1: Climate-Data.org (temperatur & presipitasi)[83] | |||||||||||||
Sumber #2: Weatherbase (kelembaban)[84] |
Rata-rata penyinaran matahari setiap bulan sejak lima tahun terakhir berkisar antara 37-80%. Pada tahun 2015, penyinaran matahari terendah tercatat ±3 7% pada bulan Juli dan tertinggi pada bulan November dengan ± 80%.[82] Presipitasi terendah terjadi pada bulan Oktober, dengan rata-rata 144 mm. Pada bulan April, presipitasi mencapai puncaknya, dengan rata-rata 291 mm. Dengan suhu rata-rata 27.5 °C, Oktober adalah bulan terpanas sepanjang tahun; dan dengan suhu rata-rata 25.9 °C, Juli adalah bulan terdingin sepanjang tahun. Di antara bulan terkering dan bulan terbasah, perbedaan dalam presipitasi adalah 147 mm. Variasi dalam suhu tahunan adalah ±1.6 °C.[83] Pada tahun 1919, Kaudern mencatat saat musim panas seharusnya terjadi di Tentena, hujan masih terus turun setiap hari, membuat air danau Poso naik setinggi 3 meter di atas batas normalnya.[85]
Hidrologi
[sunting | sunting sumber]Sebagian besar wilayah di Poso dilalui oleh sungai. Sungai Poso adalah yang terpanjang, mengalir dari Danau Poso hingga ke Teluk Tomini. Di sisi barat, terdapat dua jenis dataran rendah, yang satu di bagian hilir sungai Kaia dan yang lainnya di hilir sungai Panjo. Kaia adalah sungai gunung yang luas, yang muncul sebagai hasil dari pertemuan sungai Koeo dengan sungai Kamba. Sungai Kamba berhulu dari pegunungan Ganembulu yang tidak jauh dari danau. Sungai dari Ganembulu berpisah menjadi dua anak sungai yang mengalir ke barat dengan nama Doe dan Kamba yang berbelok ke timur, dan terhubung dengan danau setelah bersatu dengan sungai Koeo. Sungai Panjo juga muncul dari pertemuan dua sungai, yaitu Panjo yang berasal dari selatan, dan Limba Ata, yang berasal dari barat laut. Selain beberapa sungai ini, sungai-sungai lainnya di wilayah barat danau Poso, adalah sungai Toinasa, Ampoe-Ampoe, Owini dan Taipa. Sedangkan di sisi timur, tidak banyak aliran air selain sungai Peura dan Tolambo.[86]
Demografi
[sunting | sunting sumber]Populasi historis | ||
---|---|---|
Tahun | Jumlah Pend. | ±% |
2000 | 232.765 | — |
2009 | 215.379 | −7.5% |
2010 | 209.252 | −2.8% |
2013 | 225.379 | +7.7% |
2016 | 235.567 | +4.5% |
Sumber: BPS Kabupaten Poso[87] |
Jumlah penduduk kabupaten Poso pada tahun 2016 mencapai 235.567 jiwa. Jumlah ini merupakan hasil proyeksi penduduk berdasarkan hasil Sensus Penduduk (SP) 2010. Penduduk laki-laki mencapai 116.827 jiwa, sementara jumlah penduduk perempuan 108.552 jiwa. Ini merupakan peningkatan 2.30% atau sebanyak 5.075 jiwa jika dibandingkan dengan tahun 2012. Tingkat kepadatan penduduk —seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk— juga mengalami peningkatan. Kepadatan penduduk tercatat sebanyak 26 jiwa/km², dengan luas wilayah mencapai 8.712,25 km². Poso Kota merupakan daerah yang memiliki penduduk terpadat yaitu 1.705 jiwa/km² dengan luas area 12,8 km², sementara Lore Tengah di wilayah Lore memiliki penduduk terjarang dengan sekitar 4 jiwa/km² —meskipun memiliki wilayah terluas, mencapai 976,37 km².[88]
Jumlah angkatan kerja di Kabupaten Poso pada tahun 2015 adalah 64.767 orang. Dari jumlah tersebut, 7.35% adalah pengangguran terbuka. Selain itu, jumlah non angkatan kerja adalah 58.305 orang, dengan rincian 10.953 orang masih sekolah, 36.361 orang mengurus rumah tangga, dan 10.991 orang untuk kategori lainnya. Pada tahun 2015, tingkat pengangguran di Poso menyentuh 7.68% dan tingkat partisipasi angkatan kerja mencapai 52.63%. Menurut pembagian lapangan pekerjaan utama, 39.67% penduduk bekerja di sektor pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan; 5.45% bekerja di sektor industri pengolahan, 16.14% bekerja di sektor perdagangan besar, eceran, rumah makan dan hotel; 20.65% bekerja di jasa kemasyarakatan dan 18.09% bekerja di sektor lainnya. Berdasarkan perhitungan jumlah jam kerja selama satu minggu, mayoritas angkatan kerja di Poso bekerja selama 35 jam ke atas.[89]
Bahasa
[sunting | sunting sumber]Bahasa yang digunakan di Kabupaten Poso adalah bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, dan beberapa bahasa daerah —terutama bahasa Pamona— sebagai bahasa sehari-hari. Di wilayah seperti Lore Selatan dan sekitarnya, bahasa yang digunakan adalah bahasa Bada. Menurut klasifikasi bahasa, wilayah Lore memiliki tiga ragam bahasa, yaitu bahasa Bada,[90][91] Napu,[92][93] dan Besoa.[94][95] Bahasa Pamona, juga dikenal sebagai bahasa Ta'a atau bahasa Poso, digunakan oleh sekitar 200.000 orang dari suku Pamona di Indonesia. Bahasa Pamona hanya mempunyai ragam lisan dan tidak memiliki tulisan.[96][97]
Suku bangsa
[sunting | sunting sumber]Kruyt berpendapat bahwa penduduk yang menghuni bagian tengah Sulawesi termasuk sebagai bagian dari suku Toraja. To berarti orang dan Aja artinya gunung, sehingga —secara harfiah— Toraja berarti "Orang Gunung".[98] Oleh Kruyt dan Adriani, Toraja dibagi menjadi tiga, yaitu suku bangsa Toraja Timur (Poso-Tojo), Toraja Barat (Parigi-Kaili) dan Toraja Sadang. Dalam catatannya, Toraja digolongkan dalam ras Proto Melayu dan ciri kebudayaannya masih asli, yang belum terpengaruh oleh budaya luar, seperti Islam dan Eropa. Lokasi tempat tinggal penduduk Poso pada zaman dahulu terbagi atas beberapa bagian masyarakat adat yang terpisah-pisah. Masyarakat adat ini merupakan masyarakat kerabat yang memiliki daerah sendiri dan berdiri sendiri-sendiri. Sistem ini, merujuk pada susunan kerabat yang tersusun secara parental dan merupakan bagian dari suku. Bagian-bagian suku itu menurut daerahnya terdiri atas beberapa bagian. Daerah di sepanjang perbatasan Timur dengan Tojo Una-Una dan Morowali Utara, dihuni oleh To Lage, To Kadombuku, To Rompoe, To Onda'e, To Palande dan To Lamusa. Daerah di selatan Danau Poso dan perbatasan dengan Sulawesi Selatan dihuni oleh To Pu'umboto. Daerah di sisi atas sebelah timur Sungai Poso dihuni To Wingke mPoso, dan sebagian besar wilayah Poso Pesisir dan sisi barat Sungai Poso didiami oleh To Pebato. Daerah lembah dan pegunungan yang memanjang di perbatasan sebelah Barat dengan Sigi dan Parigi Moutong —wilayah Lore hingga Poso Pesisir Utara— dihuni oleh To Napu[h], To Behoa (Besoa), To Bada dan To Tawaelia.
Politik
[sunting | sunting sumber]Pemerintahan
[sunting | sunting sumber]
Kabupaten Poso
Poso di bawah kekuasaan Luwu 1600—1897
Afdeling Poso 1919—1942; 1946—1948
Afdeling Poso 1942—1945
Afdeling Poso 1948—1949
Daerah Otonom Poso 1949—1959
Kabupaten Poso 1959—sekarang
Pemerintahan Kabupaten Poso dipimpin oleh seorang Bupati, yang dipilih secara demokratis berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, dan dalam penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten Poso, terdiri atas pemerintah Kabupaten Poso dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Poso.[99]
Bupati Poso adalah kepala pemerintahan daerah dalam lingkup Pemerintahan Kabupaten Poso, juga memiliki tugas dan wewenang memimpin penyelenggaraan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama dengan DPRD Kabupaten Poso. Bupati dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu. Pilkada Poso 2005 adalah pemilu pertama yang diikuti secara langsung oleh masyarakat, setelah sebelumnya melalui penunjukkan gubernur. Bupati yang saat ini menjabat adalah Darmin Agustinus Sigilipu, yang memenangkan Pilkada Poso 2015 bersama dengan pasangannya, Toto Samsuri.[100]
Sejak zaman kolonial Belanda, terjadi perubahan dalam sistem pemerintahan baik bentuk maupun susunannya. Di setiap kampung di angkat seorang Kabose sebagai kepala kampung. Di tingkat wilayah suku diangkat seorang Kepala Suku. Wilayah suku itu kemudian dikenal dengan nama Distrik oleh pemerintahan Belanda. Setiap distrik terbagi lagi atas beberapa Onderdistrik yang dikepalai oleh wakil Raja dengan nama Witi Mokole. Setiap onderdistrik terdiri dari beberapa kampung yang disebut Kapala. Di setiap kampung lalu dibentuk Dewan Adat atau Majelis Adat yang berfungsi membantu Kapala dalam menyelesaikan masalah, perkara dan perselisihan di dalam kampung. Anggota Majelis Adat adalah kabosenya yang terdiri dari orang-orang tua.
Perwakilan
[sunting | sunting sumber]Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Poso adalah lembaga perwakilan daerah atau lembaga legislatif unikameral yang berkedudukan di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah dan mitra Pemerintah Kabupaten Poso. DPRD Kabupaten Poso sebagai salah satu lembaga daerah yang mengawasi jalannya pemerintahan, terdiri atas wakil-wakil dari organisasi peserta pemilihan umum yang dilaksanakan setiap empat tahun. Pada tahun 2013 keanggotaan masing-masing adalah: anggota Fraksi Demokrat 8 orang, PDS 4 orang, Golongan Karya 5 orang, Poso Bersatu 7 orang, dan Fraksi Bhinneka Tunggal Ika sebanyak 6 orang, yang seluruhnya sebanyak 30 orang yang kesemuanya laki-laki.[101]
Pada 25 Agustus 2014, seluruh anggota DPRD Poso periode 2014-2019 dilantik dan di ambil sumpah jabatan.[102]
Pembagian administratif
[sunting | sunting sumber]Kabupaten Poso terdiri dari 19 kecamatan, 28 kelurahan dan 142 desa. Bagian utara wilayah ini berbatasan langsung dengan Teluk Tomini dan terdiri dari kecamatan Poso Pesisir Utara, Poso Pesisir Selatan, Poso Pesisir, Poso Kota Utara, Poso Kota Selatan, Poso Kota dan Lage yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Tojo Una-Una. Di bagian tengah terdiri dari kecamatan Pamona Utara, Pamona Puselemba, Pamona Timur yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Morowali Utara, Pamona Barat, Pamona Tenggara dan Pamona Selatan yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Luwu Utara di provinsi Sulawesi Selatan. Bagian barat terdiri dari kecamatan Lore Utara, Lore Peore, Lore Timur, Lore Tengah, Lore Barat dan Lore Selatan yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Sigi dan Parigi Moutong.[103]
Pada tahun 1999, melalui Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999, 8 kecamatan di bagian tenggara Poso membentuk kabupaten baru dengan nama Morowali. Pada tahun 2003, Kementerian Dalam Negeri menyahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2003 tentang pelepasan 8 kecamatan untuk pembentukan kabupaten Tojo Una-Una.[104] Pada bulan Oktober 2004, kecamatan Poso Pesisir dimekarkan menjadi tiga kecamatan: Poso Pesisir, Poso Pesisir Utara, dan Poso Pesisir Selatan.[105] Kecamatan Lore Barat dimekarkan dari Lore Selatan melalui Peraturan Daerah Nomor 3 pada bulan Februari 2006.
Kota Poso merupakan ibu kota Kabupaten Poso yang sedang diupayakan untuk menjadi kotamadya, dan direncanakan sebagai calon ibu kota provinsi Sulawesi Timur. Kecamatan yang direncanakan untuk bergabung, meliputi: Poso Kota, Poso Kota Utara, Poso Kota Selatan, Poso Pesisir, Poso Pesisir Selatan, Poso Pesisir Utara, dan Lage. Wilayah Lore yang terdiri dari Lore Utara, Lore Timur, Lore Peore, Lore Tengah, Lore Barat, dan Lore Selatan; direncanakan untuk dimekarkan sebagai Kabupaten Konservasi Tampo Lore.[106] Rencana ini telah didukung oleh pemerintah kabupaten melalui dukungan Bupati.[107]
Pertahanan dan keamanan
[sunting | sunting sumber]Seperti wilayah lainnya di Indonesia, Poso juga memiliki fasilitas dan satuan pertahanan dan keamanan. Poso adalah salah satu wilayah yurisdiksi Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah. Kepolisian Resor Poso yang terletak di pusat kota Poso, memegang peranan dalam keamanan seluruh wilayah Kabupaten Poso, dengan di bantu oleh Kepolisian Sektor yang bertanggungjawab di wilayah yurisdiksi kecamatan mereka masing-masing. Markas Detasemen B Pelopor Sat Brimob Polda Sulawesi Tengah terletak di Moengko, Poso Kota.[108] Tentara Nasional Indonesia bertanggung jawab atas pertahanan negara di wilayah Poso yang termasuk dalam wilayah yurisdiksi —Komando Resor Militer 132— dari Kodam Merdeka. Markas Komando Distrik Militer 1307 terletak di wilayah Bonesompe, Poso Kota Utara. Markas Batalyon Infanteri 714 terletak di Ranononcu, Poso Kota Selatan, sedangkan Kompi A 714 berada di wilayah selatan Poso di Pendolo, Pamona Selatan.[109][110]
Catatan sejarah paling awal tentang jejak pasukan keamanan di Poso dimulai pada akhir abad ke-19. Pada bulan Maret 1895, Kontrolir Poso G.T.M. Liebert yang baru saja menjabat, membawa 33 orang polisi Hindia Belanda yang berasal dari Minahasa, Sulawesi Utara.[111] Selama pertengahan Perang Dunia II, setelah Kota Manado jatuh ke tangan Jepang, pasukan Belanda mundur ke wilayah Sulawesi Tengah dan menjadikan ibu kota kabupaten Poso —bersama dengan Kota Palu— sebagai tempat pemusatan pasukan Belanda yang tersisa.[34] Setelah kerusuhan yang terjadi pada akhir tahun 1998 dan kekerasan mulai berkurang setelah kedua pihak yang bertikai sepakat untuk berdamai dalam Deklarasi Malino, keamanan wilayah Poso secara berangsur-angsur mulai kembali normal. Berbagai tokoh menyatakan bahwa kondisi Poso sudah aman dan kondusif.[112][113] Bupati Poso, sejak masih dipegang oleh Piet Inkiriwang hingga Darmin Sigilipu yang menjabat saat ini, berulangkali menyatakan bahwa "Poso sudah aman".[114][115] Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla, dalam kunjungannya ke Poso pada tahun 2015, menyatakan bahwa dia telah "mengunjungi Poso lebih dari 40 kali dalam 10 tahun terakhir", mengindikasikan situasi keamanan di Poso yang kondusif.[116] Pihak POLRI, yang juga melaksanakan operasi gabungan Tinombala bersama dengan TNI, menyatakan bahwa situasi Poso sangat aman dan terkendali.[117][118]
Sosial
[sunting | sunting sumber]Sejak sebelum zaman kolonial, wilayah Poso umumnya mengenal strata dan kelas sosial di masyarakat, dan struktur ini disebut Wa'angkabosenya. Strata sosial masyarakat Poso dibagi menjadi dua tingkat. Tingkat pertama terdiri dari orang-orang merdeka, yaitu Kabosenya, sedangkan tingkat kedua adalah budak yang disebut Watua. Kabosenya adalah orang merdeka terhadap sesama Kabosenya, yang tidak menerima perintah dari siapapun dan memiliki hak yang sama terhadap orang lain, digolongkan sebagai kelas masyarakat atas (borjuis atau pemilik modal). Watua, adalah orang-orang yang kehilangan kebebasan mengatur hidupnya, tetapi tunduk kepada kepala keluarga yang menjadi tuannya—merepresentasikan golongan kelas bawah (proletariat, buruh tani). Meski tergolong sebagai kelas borjuis, Kabosenya juga memposisikan diri sebagai pelindung bagi Watua yang bekerja padanya.[119]
Kesehatan
[sunting | sunting sumber]Pada tahun 2015, terdapat 2 rumah sakit umum, 1 rumah sakit militer, 21 puskesmas, 252 posyandu, 1 klinik dan 58 Polindes yang tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Poso. Rumah Sakit Umum Daerah Poso terletak di Kasintuwu, Poso Kota Utara dan melayani wilayah kota Poso dan sekitarnya. Rumah Sakit Sinar Kasih Tentena terletak di Tentena, Pamona Puselemba dan melayani masalah kesehatan di kota Tentena dan sekitarnya. Rumah Sakit dr. Yanto adalah sebuah rumah sakit militer bantuan yang berada di lingkungan Kodim 1307/Poso, dengan status tingkat IV.
J.G.F. Riedel menyatakan bahwa penyakit seperti cacar, demam, penyakit perut dan pernapasan sudah biasa menyerang penduduk Poso. Wabah cacar yang terjadi pada tahun 1884 menyebabkan banyak kematian di antara para penduduk, dan membuat pemukiman tempat tinggal ditinggalkan. Kruyt menyebut bahwa "orang-orang mati berbondong-bondong" dalam peristiwa ini.[120] Dua dekade pada awal abad ke-20 di Poso adalah periode yang tercatat sebagai tahun-tahun penuh penyakit. Penyakit seperti Kolera (1902-1903) dan (1915-1916), cacar air (1908-1909), gangguan pernapasan (1911-1912) dan Malaria terus-menerus mewabah. Rata-rata 10% dari populasi dari desa-desa di sekitar Danau Poso di laporkan sekarat karena penyakit paru-paru.[121] Abad ke-20 dilaporkan sebagai periode peningkatan kasus kematian yang mengakibatkan perpindahan penduduk di desa. Di lembah Napu dan Lindu, ditemukan penyakit endemik Schistosomiasis[i], pembengkakan limpa yang disebabkan oleh cacing yang terdapat pada keong dan mewabah di masyarakat.
Pendidikan
[sunting | sunting sumber]Pendidikan di kabupaten ini semakin meningkat pasca kerusuhan yang terjadi beberapa tahun sebelumnya. Pada tahun 2015, Kabupaten Poso memiliki 170 TK, 231 SD, 76 SMP, 19 SMA, dan 16 SMK. Universitas Sintuwu Maroso adalah universitas swasta terbesar di Kabupaten Poso, yang didirikan pada tahun 1986. Universitas Kristen Tentena yang terletak di kota Tentena diresmikan pada tanggal 1 Mei 2007 secara langsung oleh Presiden Indonesia saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono.[122] Sekolah Tinggi Agama Islam Poso, mulai beroperasi pada bulan Juni 2010.[123] Perguruan tinggi lainnya adalah Poltekkes/Akademi Keperawatan Poso, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Husada Mandiri.
Pada masa kepemimpinannya sebagai bupati, Piet Inkiriwang menggagas pendidikan harmoni yang dimulai di sekolah-sekolah, terutama sekolah dasar. Program pendidikan harmoni sendiri mulai dijalankan di Poso sejak awal tahun 2007. Program ini merupakan hasil kerja sama Pemerintah Kabupaten Poso dengan Wahana Visi Indonesia (WVI), dan dilaksanakan selama lima tahun hingga tahun 2014.[124][125]
Agama
[sunting | sunting sumber]Dinas Agama Kabupaten Poso mencatat bahwa mayoritas penduduk di Poso beragama Kristen, dengan jumlah pemeluk sebanyak 122.389 jiwa. Disusul secara berturut-turut terdapat 95.417 jiwa pemeluk Islam, 9.739 jiwa pemeluk Hindu, 1.425 jiwa pemeluk Katolik dan 267 penganut Buddha. Jumlah tempat peribadatan di Poso, terdiri dari 166 masjid, 104 mushala, 500 gereja protestan, 36 gereja katolik, dan 71 pura.[126]
Islam adalah agama pertama yang masuk di wilayah Poso. Pengaruh Luwu merupakan salah satu faktor dalam penyebarannya, dan agama Islam dipastikan telah masuk di Poso sekitar akhir abad ke-18. Migrasi Suku Mandar dari wilayah Sulawesi bagian barat juga berpengaruh dalam proses ini. Proses ini memuncak pada peristiwa saat orang-orang Mandar yang tinggal di wilayah Kadombuku (sekarang Lage), memaksa para penduduk suku lokal untuk memeluk agama Islam dan berakhir dengan rangkaian perang suku antara orang-orang Mandar dan Kadombuku.[29][28] Kristen baru mulai menyebar pada akhir abad ke-19, saat seorang misionaris Belanda, Albertus Christiaan Kruyt diutus oleh sebuah badan Misi Kekristenan dari Nederlandsch Zendeling Genootschap untuk mengabarkan Injil di Sulawesi Tengah. Setelah bekerja selama tujuh belas tahun, upaya mereka membuahkan hasil saat ratusan orang dari To Pebato dibaptis pada malam natal, 25 Desember 1909.[127] Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) adalah sebuah organisasi gereja yang berdiri pada tanggal 18 Oktober 1947 di kota Tentena.[128] Gereja ini melayani wilayah Sulawesi Tengah, Barat, dan Selatan. Pada tahun 2006, 188 ribu orang tercatat menjadi anggota, serta terdapat 376 kongregasi yang dilayani oleh 625 pastor.[129]
Hindu adalah agama berikutnya dengan populasi yang signifikan. Sejak tahun 1960-an, pulau Sulawesi dijadikan sebagai salah satu pulau sasaran penerima transmigran dalam program transmigrasi yang dijalankan pemerintah. Sebagian besar transmigran yang dipindahkan berasal dari pulau Jawa, Bali dan Madura. Di Sulawesi Tengah sendiri, Poso dipilih menjadi salah satu tujuan transmigran.[130] Kecamatan Poso Pesisir Utara, Poso Pesisir Selatan, dan Pamona Barat merupakan basis populasi warga yang beragama Hindu. Dari tahun 2010 sampai 2014, data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Bali menunjukkan bahwa Kabupaten Poso menjadi daerah yang paling banyak menjadi tujuan transmigrasi, yakni sekitar 26% atau sekitar 365 jiwa transmigran Bali.[131] Pura Agung Jagad Natha Stana Narayana adalah pura terbesar di Kabupaten Poso dan merupakan lokasi pusat dari perayaan Hari Raya Nyepi yang diadakan setiap tahun. Lokasi pura ini juga berhadapan langsung dengan Teluk Tomini.[132]
Pertanian
[sunting | sunting sumber]Mayoritas penduduk Kabupaten Poso bekerja sebagai petani, yang tersebar di semua kecamatan. Pembangunan di bidang ekonomi yang dilakukan pemerintah dalam tahapan pembangunan yang dilaksanakan, diarahkan pada sektor industri dan didukung oleh sektor pertanian. Luas lahan padi di Poso pada tahun 2015 sebesar 22.448 hektar padi sawah dan 418 hektar padi ladang. Lahan padi tersebar di setiap kecamatan kecuali kecamatan di wilayah ibu kota. Padi ladang hanya terdapat di tiga kecamatan yaitu kecamatan Pamona Tenggara, Pamona Utara dan Poso Pesisir Selatan.[133] Tanaman palawija terdiri dari jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu dan ubi jalar. Luas lahan terbesar untuk tanaman palawija di Poso didominasi oleh tanaman jagung dengan total luas sebesar 2.347 hektar, yang tersebar di setiap kecamatan. Untuk tanaman kedelai, luas lahan terbesar didominasi oleh kecamatan Poso Pesisir Selatan dengan total luas sebesar 112 hektar, dengan total luas lahan kedelai di Poso sebesar 280 hektar.[134] Ladang kacang tanah di Kabupaten Poso tersebar merata di setiap daerah. Total luas lahan kacang tanah di Poso adalah 280 hektar. Kacang hijau merupakan tanaman palawija yang paling sedikit diproduksi di Poso. Hanya ada empat kecamatan saja yang memiliki ladang kacang hijau, sehingga total luas lahan kacang hijau sebesar 17 hektar. Tanaman ubi kayu dan ubi jalar memiliki luas lahan yang hampir sama, yaitu 177 hektar dan 188 hektar.[135]
Sistem pertanian dan pemukiman pada masa awal di pedalaman yang jarang penduduk di wilayah Poso mengungkapkan pola menyimpang. Pertanian tanaman pangan —sama seperti di banyak daerah lain— didasarkan pada beras dan jagung, dan berlangsung secara eksklusif pada sebidang ladang kering. Periode kekosongan pada tahun 1895, yang bisa mencapai tiga sampai delapan tahun, tidak dapat dihindari. Di Poso, rotasi ini dilaporkan tidak berkelanjutan sehingga seluruh desa —bukan hanya rumah ladang terpencil mereka— secara berkala dipaksa untuk beralih ke lokasi baru.[j][137] Adriani menyimpulkan bahwa keberadaan sistem pertanian keliling di Poso dan daerah sekitarnya ada hubungannya dengan fakta bahwa petani di sini mencampurkan perladangan berpindah dengan luas peternakan dan perburuan.[138] Dengan pengenalan padi sawah pada tahun 1908, Belanda memaksa penduduk pedalaman turun dari bukit-bukit dan secara bertahap meninggalkan sistem perladangan subsisten. Dengan membangun jalan, mereka yang hidup di dataran tinggi mampu mengangkut surplus produksi pertanian ke daerah pesisir. Sebuah perekonomian modern secara bertahap tumbuh, saat warga dapat membayar pajak kepada Belanda, dengan cara menjual padi sawah, selain damar.[139]
Perkebunan
[sunting | sunting sumber]Sesuai letak geografisnya, sebagian besar ladang perkebunan di Kabupaten Poso digunakan untuk menanam tanaman cokelat, dengan luas lahan mencapai 39.116 hektar. Namun, jenis tanaman yang memiliki produktivitas tertinggi adalah tanaman kopi dengan angka 927 kg/hektar.[5] Tanaman sayur-sayuran yang diproduksi di Kabupaten Poso meliputi bawang merah, cabai, kentang, kubis, petai dan beberapa sayuran lainnya. Pada tahun 2015, produksi sayuran terbesar yaitu kubis dengan produksi sebesar 73 kemudian diikuti dengan cabai dan petai dengan total produksi 34 dan 32,9. Produksi bawang merah di Kabupaten Poso sebesar 10,9. Buah-buahan yang menjadi produksi utama di Kabupaten Poso adalah pisang dengan total produksi pada tahun 2015 sebesar 22.551 buah, kemudian diikuti dengan durian dengan total produksi sebesar 16.127 buah dan mangga dengan produksi sebesar 13.653 buah. Buah-buahan lainnya yang diproduksi di kabupaten Poso adalah jeruk, pepaya dan nanas dengan produksi masing-masing sebesar 694 buah, 7.770 buah dan 596 buah.[135]
Peternakan
[sunting | sunting sumber]Subsektor peternakan di Kabupaten Poso secara keseluruhan mengalami peningkatan, pada tahun 2015, untuk ternak sapi potong populasinya mencapai 17.861 ekor, kerbau sebanyak 2216 ekor, dan untuk kuda sebanyak 112 ekor. Pada tahun 2015, populasi kambing sebanyak 7.269 ekor, sedangkan populasi babi sebanyak 76.392 ekor. Populasi hewan ternak terbanyak berada di kecamatan Lage, dengan mayoritas ternak yang terdapat adalah babi. Sedangkan dari populasi unggas, jumlah ayam kampung masih mendominasi dengan jumlah sebanyak 352.235 ekor, disusul ayam pedaging dengan 137.828 ekor dan ayam petelur sebanyak 58.000 ekor, sedangkan populasi itik di Kabupaten Poso sebanyak 47.804 ekor.[140]
Ekonomi
[sunting | sunting sumber]Realisasi pendapatan pemerintah Kabupaten Poso pada tahun 2015 sebesar 1.149.746.887.820 triliun rupiah. Pendapatan terbesar merupakan pendapatan yang bersumber dari pusat sebesar 77,8%, sedangkan pendapatan asli daerah menyumbangkan sebesar 6% dari total pendapatan pemerintah. Belanja tidak langsung pemerintah kabupaten sebesar 669.450.075.993,99 miliar dan belanja langsung pemerintah sebesar 534.563.426.371,80 miliar.[141]
Pada tahun 2015, PDRB Poso berdasarkan lapangan usaha atas harga berlaku sebesar 6.837.573.000 juta atau mengalami peningkatan sebesar 13,11%, dari tahun 2014. Peningkatan terbesar terdapat pada sektor penyediaan akomodasi dan makan minum sebesar 20,39%, sebaliknya sektor pengadaan listrik, air, dan gas mengalami penurunan yang cukup besar mencapai 13,87%. Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan masih tetap menjadi sektor penyumbang angka PDRB terbesar dan mengalami peningkatan sebesar 11,16% menjadi 2.854.504 juta rupiah. Sektor industri pengolahan mengalami peningkatan sebesar 11,45%, tetapi sektor ini masih sangat kecil pengaruhnya karena hanya menyumbangkan saham sebesar 1,4%. PDRB Poso atas harga konstan untuk tahun 2015 juga mengalami peningkatan sebesar 7,7%. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Poso, masing-masing orang memiliki pendapatan sebesar 130,7 juta rupiah. Angka PDRB per kapita ini mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2014.[142] Poso juga termasuk salah satu dari 58 kabupaten/kota yang belanja pegawainya mencapai persentase di atas 60% untuk tahun 2016.[143]
Aktivitas pasar yang sibuk sudah terlihat sejak awal tahun 1897. Kruyt menyebut bahwa kebijakan pemerintah kolonial untuk meluncurkan pasar merupakan usaha yang sia-sia.[144] Diterapkannya perjanjian politik di Poso dimanfaatkan dengan baik oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1899, Belanda melakukan kontrak usaha dengan Kabose Mapane, Garoeda. Di dalam kontrak usaha ini, Belanda diberikan hak dan kuasa untuk menarik tarif ekspor dan impor serta menarik bea cukai atas perdagangan di Poso. Sebagai kompensasi, Garoeda diberikan 125 Gulden setiap tahunnya. Kontrak perjanjian ini disepakati pada tanggal 31 Mei 1899 oleh Kontrolir Poso saat itu, F.H. Dumas.[145]
Setelah kerusuhan, ekonomi Poso dalam keadaan yang sangat buruk. Karnavian menyatakan "Banyak infrastruktur yang dibakar dan banyak pedagang etnis Tionghoa yang merupakan tulang punggung ekonomi lokal telah melarikan diri dari Poso karena ketakutan; roda pemerintahan daerah juga melambat". Pemerintah daerah telah mencoba berbagai program untuk membangun kembali Poso, terutama di bidang ekonomi, namun pemulihannya tidak terlalu cepat. Hasilnya adalah banyak orang di Poso yang menganggur, termasuk mantan kombatan.[146]
Industri
[sunting | sunting sumber]Usaha dan industri yang banyak dikembangkan di Poso adalah sektor makanan, minuman, dan tembakau yang mencapai angka 987 usaha, disusul oleh industri kayu dan barang-barang dari kayu termasuk peralatan rumah tangga. Sejauh ini, industri kayu di Poso telah dikembangkan dalam skala sedang, kecil, dan untuk kerajinan. Pada tahun 2014, di Poso terdapat 1588 industri kecil dan 60 industri kerajinan.[147]
Perdagangan
[sunting | sunting sumber]Perusahaan perdagangan yang ada di Poso pada tahun 2015 sebanyak 617 usaha. Hingga tahun 2015, perusahaan perdagangan masih didominasi dengan usaha-usaha informal atau perorangan dengan total sebanyak 233 usaha. Perusahaan berbadan hukum perseroan terbatas pada tahun 2015 sebanyak 16 usaha, sedangkan usaha dengan badan hukum CV/firma dan koperasi masing-masing berjumlah 62 dan 7 usaha. Pada tahun 2015, Poso memiliki sarana perdagangan dengan total 337 unit, yang paling utama adalah pasar sejumlah 43 unit yang tersebar di setiap kecamatan. Selain itu, Poso juga memiliki 93 unit pertokoan, 158 kios dan 38 warung. Jumlah usaha mikro kecil menengah (UMKM) di Poso pada tahun 2015 menunjukkan peningkatan sebesar 255 unit, menjadi 10.621 unit usaha. Kecamatan dengan jumlah usaha UMKM terbanyak pada tahun 2015 adalah kecamatan Pamona Selatan dengan jumlah 1558 unit, sedangkan kecamatan dengan jumlah UMKM paling sedikit adalah Poso Pesisir Utara sebanyak 50 usaha.[148]
Pariwisata
[sunting | sunting sumber]Pariwisata di Poso mulai dikembangkan oleh pemerintah pusat sejak akhir dekade 1980-an. Pada tahun 1991, di era Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto, Poso dijadikan sebagai salah satu daerah yang masuk dalam daerah destinasi wisata Indonesia yang wajib dikunjungi dalam program Visit Indonesia 1991. Poso, yang saat itu masih merupakan wilayah besar yang terdiri dari beberapa kabupaten termasuk Morowali dan Tojo Una-Una, mendapatkan sumber pemasukan daerah terbesar dari sektor wisata.[149]
Wisata utama dalam bidang pariwisata di Poso adalah danau. Danau Poso, yang merupakan salah satu objek wisata utama terletak pada ketinggian 657 meter. Iklim yang mendukung, membuat danau ini dijadikan sebagai pusat pengembangan wisata di Sulawesi Tengah. Danau Poso dikenal sebagai habitat dari ikan Sogili. Danau Tambing di dataran Lore Utara juga mampu menarik lebih dari 13.000 pengunjung selama pertengahan pertama tahun 2016, meningkat 2 kali lipat dari tahun 2015.[150][151]
Wisata lain seperti air terjun juga menunjang sektor pariwisata daerah. Air Terjun Saluopa adalah objek utama yang sering dikunjungi wisatawan dari dalam dan luar daerah. Lokasi air terjun ini dijadikan sebagai objek wisata dan dikelola oleh pemerintah daerah. Wisatawan yang berkunjung ke sini seringkali menyebut air terjun ini sebagai air terjun terbaik di Indonesia.[152][153][154] Air Terjun Sulewana adalah objek wisata lain yang terletak di Sulewana. Air terjun ini termasuk air terjun alami dengan debit air yang sangat besar.[155] PLTA Poso II juga memanfaatkan aliran air Sungai Sulewana dengan kapasitas 200 MW.[156]
Infrastruktur
[sunting | sunting sumber]Fasilitas di kabupaten ini pada umumnya terpusat di ibu kota kabupaten dan kecamatan. Poso City Mall (PCM) adalah pusat perbelanjaan pertama untuk tingkat kabupaten di seluruh pulau Sulawesi, serta yang terbesar di Sulawesi Tengah bagian timur. Pembangunan tahap pertama dimulai pada tahun 2014.[157] PCM akhirnya diresmikan pada tanggal 19 Oktober 2016.[158]
Pasar Tradisional Bersih Sintuwu Maroso dibangun untuk menggantikan Pasar Sentral Poso yang terletak di pusat kota, sebagai pasar dan pusat perdagangan utama di Poso. Anggaran pembangunan pasar ini berasal dari dana APBN melalui program Stimulus Fiskal 2009. Sedangkan lokasi bekas pasar lama akan dijadikan Ruang Terbuka Hijau berupa taman kota.[159]
Perhubungan
[sunting | sunting sumber]Posisi Poso yang terletak di tengah pulau Sulawesi dan dilintasi Jalan Nasional Trans Sulawesi, sangat strategis sebagai simpul utama transportasi darat. Perlintasan transportasi darat dari Utara ke Selatan (Manado – Gorontalo – Palu – Makassar) dan Timur ke Barat (Palu – Luwuk), semuanya melalui Kota Poso dan membuat Poso memiliki potensi menjadi salah satu pusat perdagangan utama di Sulawesi.[160]
Panjang jalan di Poso mencapai 173 km dan semuanya dikelola oleh pemerintah kabupaten. Jalan terpanjang berada pada wilayah Pamona Selatan dengan panjang jalan mencapai 24 km. Jalan dengan panjang terpendek hanya sebesar 5 km, yang masing-masing terletak di wilayah Pamona Utara, Lore Timur, Lore Utara, Poso Pesisir Selatan, Poso Kota Utara dan Lage. Pada tahun 2015, sepanjang 148 km jalan di Poso sebagian besar masih dalam kondisi baik, kondisi sedang sepanjang 9 km, jalan dengan kondisi rusak mencapai 5 km dan 4 km sisanya berada dalam keadaan rusak berat. Jalan dengan kondisi rusak berat berada pada kecamatan Lore Barat dan Lore Peore masing-masing dengan panjang 2 km.[161]
Transportasi
[sunting | sunting sumber]Jalan darat Trans Sulawesi seluruhnya dapat dilalui bus berukuran 40-an kursi. Alat transportasi lainnya adalah bus berukuran lebih kecil dengan kapasitas 20-an kursi, dengan tarif yang lebih murah. Angkutan antar kota di Poso juga menggunakan mini bus yang dikelola oleh agen travel.[160] Ojek merupakan kendaraan yang umum digunakan oleh masyarakat di Kota Poso. Satuan Lalu Lintas Kepolisian Resor Poso seringkali menggelar acara dalam rangka meningkatkan kerja sama satuan lalu lintas Polres Poso dengan masyarakat.[162] Angkot juga lazim ditemukan di Poso, terutama di ibu kota kabupaten. Taksi adalah sebutan lazim orang Poso untuk angkutan kota. Taksi Benetton merupakan salah satu taksi yang terkenal di Poso di tahun 90-an.[163]
Kabupaten Poso memiliki bandara domestik, yaitu Bandar Udara Kasiguncu. Bandara yang terletak 15 km arah barat Kota Poso —tepatnya di Kasiguncu, Poso Pesisir— ini, memiliki status sebagai UPBU (Unit Penyelenggara Bandar Udara) Kelas II yang berada di bawah Otoritas Wilayah V Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, dengan panjang landasan 1850 m dan mampu melayani pesawat jenis ATR 72. Kasiguncu sempat ditutup saat kerusuhan terjadi dan baru beroperasi kembali pada tanggal 13 Juli 2005, setelah 8 tahun tidak berfungsi. Bandara ini mulai dipugar pada tahun 2013 dan selesai pada tahun 2015 dengan anggaran sebesar 102,3 miliar rupiah.[164]
Pada tahun 2013, jumlah penumpang yang berangkat dari Poso berjumlah 12.441 penumpang dari 238 penerbangan, meningkat dari tahun sebelumnya yaitu 10.351 penumpang dari 277 penerbangan. Terminal baru bandara, diselesaikan pada bulan Mei 2016.[165] Presiden Joko Widodo meresmikan terminal baru Kasiguncu bersama dengan dua bandara lainnya saat berkunjung di Pulau Miangas pada tanggal 20 Oktober 2016.[166]
Wilayah Poso dan sekitarnya memiliki ratusan pelabuhan, termasuk pelabuhan rakyat dan tradisional yang melayani transportasi manusia dan barang melalui laut. Secara administratif pelabuhan utama di daerah Poso dan sekitarnya adalah Pelabuhan Poso.[160] Pelabuhan Poso dapat melayani kapal-kapal domestik maupun asing, termasuk untuk pelayanan ekspor-impor barang. Pada tahun 2010, pengembangan dermaga baru khusus kargo telah dimulai, dengan pertimbangan dermaga yang ada saat ini dikhususkan untuk pelayanan penumpang.[160] Di tahun yang sama, Poso juga mulai membuka kembali jalur transportasi laut.[167] KM Sangiang yang berkapasitas 554 penumpang, menjalani rute menuju Kepulauan Togean hingga ke Bitung. Pada tahun 2014, Pelabuhan Poso memperoleh anggaran 20 miliar dari APBN.[168]
Energi
[sunting | sunting sumber]Poso adalah wilayah dengan sumber energi terbesar di Sulawesi Tengah. Pembangkit Listrik Tenaga Air Sulewana yang terletak di Sulewana, Pamona Utara, mulai dibangun pada tahun 2003 —memiliki tiga pembangkit listrik utama— dan menggunakan Sungai Poso sebagai sumber tenaga. PLTA ini dikelola oleh PT. Poso Energy.[169] PLTA Poso II telah beroperasi sejak tanggal 22 Desember 2012.[170] Daya listrik yang dihasilkan PLTA Sulewana juga dialirkan ke Palu, sisanya menuju ke Parigi Moutong, Sigi, Donggala, hingga ke Sulawesi Selatan.[171]
Pada tahun 2014, di Poso tercatat sebanyak 53.446 pelanggan listrik dengan produksi listrik mencapai 44.875.512 KWh, dan yang terjual sebesar 37.384.802 KWh. Listrik yang digunakan masyarakat Poso tersebar di 7 unit PLN yaitu Ranting Poso, Taripa, Tomata, Ranting Tentena, Pendolo, Gintu, Wuasa ditambah listrik yang berasal dari PLTD yang disewa.[172] PLTM Sawidago yang terletak di Sawidago, Pamona Utara mulai beroperasi pada tanggal 28 Juni 2012.[173]
Budaya
[sunting | sunting sumber]Kebudayaan di Poso terbentuk sebagai hasil interaksi yang panjang antara adat istiadat asli dan berbagai pengaruh dari luar. Letak Poso yang umumnya berada di tengah pulau Sulawesi, yang menghasilkan banyak praktik budaya yang dipengaruhi oleh agama, termasuk Hindu, Buddha, Islam dan Kekristenan. Hasilnya adalah campuran budaya yang kompleks yang sangat berbeda dengan budaya asli. Suku Pamona —sebagai suku bangsa yang mendominasi wilayah pedalaman di Poso— pada dasarnya memiliki cukup banyak adat, terutama tentang kepercayaan (Lamoa), upacara yang berhubungan dengan panen, kematian, kelahiran (Katiana), pernikahan, dan lain-lain. Sebagian budaya asli Pamona lainnya ditinggalkan karena adanya peraturan dari Pemerintah Belanda, yang meminta penduduk lokal untuk meninggalkan adat dan kebudayaan yang mereka anggap tidak cocok lagi untuk dilakukan. Agama Kristen yang dipelopori oleh para misionaris, berkembang dengan cepat di wilayah Poso dan juga menjadi salah satu faktor dalam hal ini.
Olahraga
[sunting | sunting sumber]Sepak bola adalah olah raga yang paling diminati di Poso. Poso adalah rumah dari Persipos Poso, Persidapos Danau Poso, Poso FC, dan PS Poso.[174] Pada 9 September 2014, Pekan Olah Raga Provinsi (Porprov) Sulawesi Tengah digelar di Poso.[175] Pada 17 September 2016, Poso memulai kompetisi Liga Nusantara di Stadion Kasintuwu, setelah sebelumnya ditunjuk oleh PSSI untuk menjadi tuan rumah.[176][177]
Media
[sunting | sunting sumber]Stasiun radio juga terdapat di kabupaten ini, seperti Radio Republik Indonesia Sulawesi Tengah, dan Radio Matahari FM. Surat kabar lokal seperti Radar Poso dan Poso Raya diterbitkan setiap hari, sedangkan surat kabar daerah lintas kabupaten seperti Mercusuar, Radar Sulteng dan MetroSulawesi juga diedarkan hingga ke wilayah Poso.[178][179]
Masakan
[sunting | sunting sumber]Pusat dari makanan kuliner khas kabupaten Poso berada di kota Poso dan Tentena. Menu dari dua kota tersebut memiliki cita rasa khas asam segar. Ikan merupakan menu yang selalu ada di berbagai warung makan. Selain itu, pengunjung hampir akan selalu menemukan potongan jeruk nipis di meja makan, inilah yang menjadikan hampir seluruh cita rasa masakan di Poso dan Tentena memiliki rasa segar. Di sepanjang rumah makan di Jalan Trans-Sulawesi, juga dapat ditemukan menu sayur daun gedi. Menu ini terpengaruh dengan masakan dari Manado dan biasanya menjadi sayuran untuk dimasukkan ke dalam Bubur Manado dan juga sering ditemukan di Papua.[180]
Ikan Sogili bakar atau belut air tawar merupakan salah satu makanan khas yang ada di sekitar Danau Poso. Selain disajikan dengan dibakar, ikan ini juga bisa disajikan dengan direbus dan digoreng.[181] Tosu-Tosu Katue (bahasa Indonesia: Sate Kerang), adalah makanan khas berupa kerang yang dibuat menjadi sate. Dalam bahasa Indonesia, Tosu-Tosu Katue berarti Sate Kerang. Wayawo Masapi (bahasa Indonesia: Woku Sogili). Masakan ini berbahan Sogili atau belut yang dimasak sedemikian rupa sehingga menghadirkan rasa yang istimewa. Ituwu Manu (bahasa Indonesia: Ayam Bumbu), adalah Ayam dimasak dalam bumbu, merupakan resep masakan warisan leluhur. Ayam dimasak sedemikian rupa di dalam campuran berbagai bumbu, setelah matang kemudian dituangkan kedalam wadah berupa mangkok besar. Winagoe (bahasa Indonesia: Nasi Daun), adalah nasi yang dibungkus dengan daun khusus (Winalu). Sayangnya saat ini daun tersebut telah sulit ditemukan. Inau Tarente (bahasa Indonesia: Urap Sayur), adalah masakan dari berbagai jenis sayuran yang menggunakan rempah minimalis. Biasanya, Inau Tarente dimakan bersama Woku Sogili. Kukisi Jongi (bahasa Indonesia: Puding Buah Jongi), Kukisi Jongi berarti puding dari buah Jongi. Buah jongi merupakan buah yang rasanya asam, namun dengan teknik pengolahan tertentu bisa menjadi manis dan segar.
Ekologi
[sunting | sunting sumber]Kayu eboni, yang merupakan spesies Diospyros celebica Bakh, secara alami dapat dijumpai di Sulawesi Tengah (Parigi, Poso, Donggala), Sulawesi Selatan (Maros), Sulawesi Barat (Mamuju) dan Maluku. Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) telah mengeluarkan daftar merah IUCN pada tahun 2000 dan D. celebica tergolong ke dalam kategori spesies rentan, yang berarti eboni berada di batas beresiko tinggi untuk punah di alam (rentan terhadap eksploitasi).[182]
Sebagian besar fauna endemik di Poso berada di kawasan cagar budaya dan alam, seperti Danau Poso dan Taman Nasional Lore Lindu. Whitten (1987), Maurice Kottelat, dan L.R. Parenti menyatakan ada beberapa spesies biota endemik yang hanya di temukan di Danau Poso, seperti ikan endemik Xenopoecilus poptae (Adrianichthys poptae); Adrianichthys kruyti, Weberogobius amadi dan Nomorhamphus celebensis. Ikan endemik lainnya adalah Anguilla celebensis, Xenopoecilus sarasinorum, Xenopoecilus oophorus (Adrianichthys oophorus), Adrianichthys roseni; gastropoda endemik seperti Miratesta celebensis; dan beberapa udang kecil endemik (Caridina sp).
-
Therates labiatus yang ditemukan di dekat Air Terjun Saluopa.
-
Selain dataran rendah, Anoa juga hidup di pegunungan.
-
Rhipidura teysmanni merupakan burung endemik di Sulawesi.
-
Danau Lindu adalah salah satu habitat endemik Rangkong badak.
Tokoh terkenal
[sunting | sunting sumber]- Lian Gogali, aktivis wanita dan perdamaian.[183]
- Ilsyah Ryan Reza, mantan personel grup musik NOAH.[184]
- Roy Porayouw, peserta Big Brother Indonesia Musim Pertama.
- Rinda Arifdayanti, peserta Putri Pariwisata Indonesia 2016.[185]
- Abdul Zubair, peserta Indonesian Idol Junior Musim Kedua.[186]
Lihat juga
[sunting | sunting sumber]Catatan
[sunting | sunting sumber]- ^ Wilayah lainnya yang termasuk adalah Gorontalo, Majene/Mandar, Makassar/Gowa, Luwu, Bone, Bantaeng, Banggai, dan Bitung.[25]
- ^ Kruyt dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1912, hanya mengatakan bahwa perang ini "terjadi sekitar 80 tahun yang lalu", mengindikasikan peristiwa ini terjadi kurang lebih sekitar tahun 1820–an atau 1830–an.
- ^ Rombongan ini dipimpin oleh Komandan Batalyon Kapten J.H.L.A.C. de Swert bersama wakilnya, Letnan W.H.J.E. van Daalen bersama pasukannya. Mereka disambut di pelabuhan oleh TPC Mayor B.F.A. Schilmöller, Residen F.C.H. Hirschmann, yang menggantikan residen Van Rhijn, Asisten Residen L.C.J. Rijsdijk yang menggantikan asisten residen Jurriaan Jan Mendelaar, kontrolir H.J. Van Schravendijk, Bestuurs-assistent Wim S. Warouw, dokter A.G.J. Kandouw, kommies Katili, jaksa Theodorus Polii dan Barends Pontoh, kepala kantor pos Umboh, school opziener (pemilik sekolah) Marthin Supit, Raja Talasa, serta para pemuka masyarakat lainnya.
- ^ Peristiwa ini terjadi pada Malam Natal 25 Desember, yang secara kebetulan bertepatan dengan bulan Ramadan 1419 H. Banyaknya versi dan kronologi tentang peristiwa ini, memunculkan interpretasi berbeda dari masing-masing kelompok yang kemudian melakukan aksi dalam beberapa hari ke depan. Para tokoh agama dari kedua kelompok menyalahkan alkohol dan setuju untuk melarang itu selama bulan Ramadan. Polisi mulai menyita minuman keras, yang dikumpulkan di pusat kota, Alun-alun Sintuwu Maroso. Kelompok Muslim melakukan operasi penyitaan mereka sendiri, dan ketika pemuda Protestan membela toko-toko Tionghoa yang sebagian besar dimiliki oleh orang Kristen, bentrokan tidak dapat dihindari.
- ^ Undang-undang tersebut menyatakan bahwa posisi bupati, yang sebelumnya dipilih melalui penunjukkan, sekarang harus melalui pemilihan di DPRD setempat.[59]
- ^ Kejadian ini diperparah dengan keterlibatan pasukan Brimob, yang seorang anggotanya secara tidak sengaja menembak ke arah kerumunan bentrokan, menewaskan 2 orang dan melukai 8 orang lainnya dari kelompok Muslim. Setelah pemakaman korban pada sore hari yang sama, kelompok Muslim yang marah menuju ke Lombogia dan membakar rumah, gereja, dan sekolah. Brimob ditarik pulang, tetapi bentrokan dan pembakaran masih terus terjadi.
- ^ Para imigran asal Flores ini menjalani pengadilan antara bulan Desember 2000 dan April 2001, yang berakhir dengan vonis hukuman mati. Banding mereka ditolak, dan dieksekusi oleh regu tembak pada tahun 2006 –5 tahun setelah menerima vonis.
- ^ Juga dikenal dengan nama To Pekurehua.
- ^ Di Indonesia, hingga saat ini penyakit Schistosomiasis hanya terdapat di Kabupaten Poso (Napu) dan Sigi (Lindu).
- ^ Ketika areal lahan sebuah desa yang biasanya digunakan untuk menghidupi desa tersebut telah benar-benar gundul dan kekurangan, penduduk desa memilih lokasi untuk pemukiman baru di wilayah suku mereka dan mendirikan sebuah desa baru di sana. Desa sebelumnya ditinggalkan tanpa diurus; dan dengan cepat menjadi terlantar, tembok pelindung desa menjadi lapuk dan hanya pohon kelapa yang tetap berdiri untuk menandai bukit lokasi bekas desa. Wisatawan di negeri ini melihat setidaknya banyak desa yang ditinggalkan, sama seperti desa yang dihuni.[136]
Referensi
[sunting | sunting sumber]Rujukan
[sunting | sunting sumber]- ^ BPS Sulawesi Tengah 2016, hlm. 13.
- ^ BPS Sulawesi Tengah 2016, hlm. 74.
- ^ BPS Sulawesi Tengah 2016, hlm. 76.
- ^ a b BPS Poso 2016a, hlm. 3.
- ^ a b BPS Poso 2016a, hlm. 107.
- ^ Mahid, Sadi & Darsono 2012, hlm. 123.
- ^ a b Adriani & Kruyt 1912, hlm. 143; Henley 2005, hlm. 222
- ^ Kaudern 1925a, hlm. 30; Kaudern 1925a, hlm. 32
- ^ Poso Mori 2016.
- ^ Sadi & Agustino 2016, hlm. 19.
- ^ van Klinken 2007, hlm. 74.
- ^ van Klinken 2007, hlm. 73.
- ^ Human Rights Watch 2002, hlm. 38-39; Karnavian 2014, hlm. 84; McRae 2008, hlm. 184-185
- ^ a b Braithwaite et al. 2010, hlm. 252; Karnavian 2014, hlm. 85; McRae 2008, hlm. 185; van Klinken 2007, hlm. 86; McRae 2013, hlm. 103
- ^ Sidik 2012; Khabibi 2016; Zamzam 2016; Apriyani 2016.
- ^ Wawan 2015; Simanjuntak 2016.
- ^ Santoso 2006, hlm. 315.
- ^ "Poso, Calon Ibu kota Provinsi yang Tereliminasi". Komunitas Historia Sulawesi Tengah. 2 November 2017. Diakses tanggal 8 November 2017.
- ^ Kaudern 1925b, hlm. 135.
- ^ a b c Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (2005). Agama-Agama Dan Perjuangan Hak-Hak Sipil. Bidang Marturia, PGI. OCLC 84835966.
- ^ Schrauwers 1998, hlm. 216.
- ^ "Wilayah Adat Wanua Pekurehua Boya Watutau". Badan Registrasi Wilayah Adat. Diakses tanggal 25 Agustus 2016.
- ^ Hile, Jennifer (12 Desember 2001). "Explorer's Notebook: The Riddle of Indonesia's Ancient Statues". National Geographic. Diakses tanggal 23 Maret 2017.
- ^ Sangadji, Ruslan (5 Juni 2005). "C. Sulawesi's Lore Lindu park, home to biological wealth". The Jakarta Post. Diakses tanggal 23 Maret 2017.
- ^ "Sejarah dan Identitas Orang Gorontalo dalam Peta Jan M. Pluvier". Etno Histori. Diakses tanggal 7 Oktober 2016.
- ^ a b Gobée 2007, hlm. 4.
- ^ a b c d "Struktur Kekuasaan di Poso Abad XIX". Poso Mori. Diakses tanggal 16 Agustus 2016.
- ^ a b Kaudern 1925b, hlm. 112.
- ^ a b Adriani & Kruyt 1912, hlm. 42.
- ^ Adriani & Kruyt 1912, hlm. 141; Sarasin & Sarasin 1905, hlm. 240.
- ^ Adriani & Kruyt 1912, hlm. 141.
- ^ Volkman, Toby Alice (31 Desember 1983). "A View from the Mountains" (Scholar search). Cultural Survival Quarterly. 7 (4). Diakses tanggal 18 Mei 2007.
- ^ a b "Ekspedisi Militer Belanda di Posso: Kisah Penaklukan Tana Poso di awal Abad XX". Poso Mori. 3 Mei 2016. Diakses tanggal 27 Januari 2016.
- ^ a b Mahid, Sadi & Darsono 2012, hlm. 315.
- ^ Abubakar 2015, hlm. 40.
- ^ Mahid, Sadi & Darsono 2012, hlm. 319-320.
- ^ Mahid, Sadi & Darsono 2012, hlm. 341.
- ^ Mahid, Sadi & Darsono 2012, hlm. 342.
- ^ "Dapperheidsonderscheidingen aan Nederlanders voor de Tweede Wereldoorlog". Onderscheidingen (dalam bahasa Belanda). Diakses tanggal 8 Januari 2017.
- ^ Kutoyo 2005, hlm. 197.
- ^ Mahid, Sadi & Darsono 2012, hlm. 316-317.
- ^ Mahid, Sadi & Darsono 2012, hlm. 354.
- ^ Mahid, Sadi & Darsono 2012, hlm. 356.
- ^ Mahid, Sadi & Darsono 2012, hlm. 360.
- ^ "Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1952" (PDF). Hukum Online. Diakses tanggal 27 Maret 2017.
- ^ Mahid, Sadi & Darsono 2012, hlm. 406; Sadi & Agustino 2016, hlm. 19
- ^ Darlis 2012, hlm. 33; Mahid, Sadi & Darsono 2012, hlm. 399
- ^ a b "GPST dan Kekalahan Lobby Poso". Poso Raya. Diakses tanggal 22 Februari 2017.
- ^ Sadi & Agustino 2016, hlm. 13.
- ^ a b "Kronologi Sejarah Singkat Permesta (Bagian 1)". Geocities. Diakses tanggal 22 Februari 2017.
- ^ Braithwaite et al. 2010, hlm. 244.
- ^ Mahid, Sadi & Darsono 2012, hlm. 438.
- ^ Harvey 1974, hlm. 404.
- ^ a b "Kronologi Sejarah Singkat Permesta (Bagian 2)". Geocities. Diakses tanggal 22 Februari 2017.
- ^ Harvey 1974, hlm. 405.
- ^ Braithwaite et al. 2010, hlm. 247; Darlis 2012, hlm. 50-51; Karnavian 2014, hlm. 80-81; McRae 2013, hlm. 30-31; van Klinken 2007, hlm. 72-80
- ^ Human Rights Watch 2002, hlm. 18; McRae 2013, hlm. 34-35
- ^ "22 Hurt in Rioting In Indonesian Town". The New York Times (dalam bahasa Bahasa Inggris). 29 Desember 1998. Diakses tanggal 25 Maret 2017.
- ^ Human Rights Watch 2002, hlm. 18.
- ^ Human Rights Watch 2002, hlm. 15; van Klinken 2007, hlm. 81
- ^ Human Rights Watch 2002, hlm. 15.
- ^ Braithwaite et al. 2010, hlm. 248; Darlis 2012, hlm. 52; Human Rights Watch 2002, hlm. 16; van Klinken 2007, hlm. 82
- ^ Braithwaite et al. 2010, hlm. 249; Human Rights Watch 2002, hlm. 16; McRae 2013, hlm. 48
- ^ Braithwaite et al. 2010, hlm. 249; Darlis 2012, hlm. 54; Human Rights Watch 2002, hlm. 17; Karnavian 2014, hlm. 106; McRae 2013, hlm. 61
- ^ Karnavian 2014, hlm. 84; McRae 2008, hlm. 103; van Klinken 2007, hlm. 84; McRae 2013, hlm. 67
- ^ a b c Aragon, Lorraine. "Waiting for Peace in Poso". Inside Indonesia. Diakses tanggal 23 Januari 2017.
- ^ Human Rights Watch 2002, hlm. 10-23; Karnavian 2014, hlm. 100; van Klinken 2007, hlm. 84
- ^ McRae 2008, hlm. 184.
- ^ a b "Sulawesi on Global Security". Global Security. Diakses tanggal 2 April 2017.
- ^ BPS Poso 2016a, hlm. 6.
- ^ BPS Sulawesi Tengah 2016, hlm. 16.
- ^ "Pegunungan Fennema I di Geonames". Geonames. Diakses tanggal 23 September 2016.
- ^ "Pegunungan Fennema II di Geonames". Geonames. Diakses tanggal 23 September 2016.
- ^ "Pegunungan Tineba di Geonames". Geonames. Diakses tanggal 23 September 2016.
- ^ "Pegunungan Takolekaju di Geonames". Geonames. Diakses tanggal 23 September 2016.
- ^ "Pegunungan Verbeek di Geonames". Geonames. Diakses tanggal 23 September 2016.
- ^ "Pegunungan Pompangeo di Geoview". Geoview. Diakses tanggal 23 September 2016.
- ^ Adriani & Kruyt 1912, hlm. 11-12.
- ^ a b Adriani & Kruyt 1912, hlm. 17.
- ^ Hidayat, Romi. "Hasil Laporan Inventarisasi Cagar Budaya di Kabupaten Poso". Academia. Diakses tanggal 22 September 2016.
- ^ Saleh, Wilman Hanggara. "Analisis Penampang Resistivitas dan Analisis Kekar untuk Mengidentifikasi Sesar di Kabupaten Poso" (PDF). Universitas Pendidikan Indonesia. Diakses tanggal 20 Januari 2017.
- ^ a b BPS Poso 2016a, hlm. 7.
- ^ a b "Iklim: Poso". Climate-Data.org. Diakses tanggal 22 September 2016.
- ^ "POSO, INDONESIA". Weatherbase. Diakses tanggal 22 September 2016.
- ^ Kaudern 1925a, hlm. 22.
- ^ Adriani & Kruyt 1912, hlm. 16.
- ^ BPS Poso 2010, hlm. 6-12.
- ^ BPS Poso 2016a, hlm. 46.
- ^ BPS Poso 2016a, hlm. 47.
- ^ Bahasa Bada di Ethnologue (ed. ke-18, 2015)
- ^ Hammarström, Harald; Forkel, Robert; Haspelmath, Martin, ed. (2023). "Bahasa Bada". Glottolog 4.8. Jena, Jerman: Max Planck Institute for the Science of Human History.
- ^ Bahasa Napu di Ethnologue (ed. ke-18, 2015)
- ^ Hammarström, Harald; Forkel, Robert; Haspelmath, Martin, ed. (2023). "Bahasa Napu". Glottolog 4.8. Jena, Jerman: Max Planck Institute for the Science of Human History.
- ^ Bahasa Behoa di Ethnologue (ed. ke-18, 2015)
- ^ Hammarström, Harald; Forkel, Robert; Haspelmath, Martin, ed. (2023). "Bahasa Behoa". Glottolog 4.8. Jena, Jerman: Max Planck Institute for the Science of Human History.
- ^ Bahasa Pamona di Ethnologue (ed. ke-18, 2015)
- ^ Hammarström, Harald; Forkel, Robert; Haspelmath, Martin, ed. (2023). "Bahasa Pamona". Glottolog 4.8. Jena, Jerman: Max Planck Institute for the Science of Human History.
- ^ Nooy-Palm, Hetty (1975). "Introduction to the Sa'dan People and their Country". Archipel. 15: 163–192.
- ^ "Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah". BPN. Diakses tanggal 14 Agustus 2016.
- ^ Amirudin. "Gubernur Sulawesi Tengah Lantik Walikota dan 6 Bupati di Sulawesi Tengah". RRI. Diakses tanggal 14 September 2016.
- ^ BPS Poso 2016a, hlm. 30.
- ^ "Warga Poso Berharap Pada 30 Anggota DPRD yang Baru". MetroSulawesi. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 Agustus 2016. Diakses tanggal 31 Juli 2016.
- ^ BPS Poso 2016a, hlm. 5.
- ^ Brown, Tajima & Hadi 2005, hlm. 40-41.
- ^ Brown, Tajima & Hadi 2005, hlm. 40-42.
- ^ Timparosa, Feri (24 Oktober 2016). "Kongres Adat Desak Pembentukan Kabupaten Tampo Lore". ANTARA Sulawesi Tengah. Diakses tanggal 20 Februari 2017.
- ^ "Bupati Poso Teken Persetujuan Pemekaran Kabupaten Tampo Lore Kabupaten Tampo Lore". Mercusuar. Diakses tanggal 20 Februari 2017.
- ^ Aditjondro 2004, hlm. 20.
- ^ "Profil Yonif 714/SM". Yonif 714/SM. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2 Oktober 2016. Diakses tanggal 2 Oktober 2016.
- ^ Aditjondro 2004, hlm. 18-19; Nordholt & van Klinken 2007, hlm. 273-274
- ^ Noort 2006, hlm. 51.
- ^ "Rektor UNHAS Nilai Poso Aman". Poso Raya. Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 Agustus 2016. Diakses tanggal 25 Desember 2016.
- ^ "Solmed: Kota Poso Aman". MetroSulawesi. Diarsipkan dari versi asli tanggal 1 Februari 2017. Diakses tanggal 25 Desember 2016.
- ^ "Meriahnya Acara Nonton GMT Bukti Poso Aman". Republika. Diakses tanggal 25 Desember 2016.
- ^ "Bupati Poso: Wilayah Kami Sudah Aman". Kompas. Diakses tanggal 25 Desember 2016.
- ^ "Kemakmuran dan Keadilan Damaikan Konflik". Situs Resmi Wakil Presiden Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 1 Februari 2017. Diakses tanggal 25 Desember 2016.
- ^ "Darat, Laut, dan Udara di Poso Aman". Polda Sulawesi Tengah. Diakses tanggal 25 Desember 2016.
- ^ "Setelah Santoso Ditembak Mati, Kondisi Poso Aman". Fakta Indonesia News. Diarsipkan dari versi asli tanggal 1 Februari 2017. Diakses tanggal 25 Desember 2016.
- ^ Ilyas 2012, hlm. 238.
- ^ Henley 2005, hlm. 263.
- ^ (Koloniaal Verstlag 1912, The Toraja are a Healthy People; Adriani, Nicolaus 1915) "tetapi mereka tidak begitu kuat; penyakit yang hampir tidak berpengaruh kepada kami justru membuat mereka tidak dapat bekerja".
- ^ "Di Tentena, SBY Resmikan Sekolah Tinggi Teologia". Sekretariat Negara Republik Indonesia. Diakses tanggal 13 Oktober 2016.
- ^ "STAI Poso di SRV-DIKTI". Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. Diakses tanggal 12 Maret 2017.
- ^ "Dinas Pendidikan Sulawesi Tengah Kembangkan Pendidikan Harmoni". WVI. Diakses tanggal 25 September 2016.
- ^ "Pendidikan Harmoni di Poso Sepeninggal WVI yang Harus Terus Dijaga". MetroSulawesi. Diakses tanggal 25 September 2016.
- ^ a b BPS Poso 2016a, hlm. 76.
- ^ Tampake 2009, hlm. 1.
- ^ Fasse, Cristoph. "Address data base of Reformed churches and institutions". Reformiert Online. Diakses tanggal 27 Februari 2017.
- ^ "Christian Church of Central Sulawesi — World Council of Churches". Oikoumene.org. Diakses tanggal 27 Februari 2017.
- ^ "Pulang ke Bali Kecil: Migrasi Spontan di Dusun Pematu". UGM. Diakses tanggal 17 Oktober 2016.
- ^ "Ini Asal dan Lokasi Tujuan yang Paling Diminati Transmigran dari Bali". Tribunnews. Diakses tanggal 17 Oktober 2016.
- ^ "Nyepi di Poso Khidmat Tanpa Penjagaan". MetroSulawesi. Diakses tanggal 17 Oktober 2016.
- ^ BPS Poso 2016b, hlm. 13.
- ^ BPS Poso 2016b, hlm. 14.
- ^ a b BPS Poso 2016b, hlm. 15.
- ^ Adriani 1919, hlm. 9-10.
- ^ Henley, David (2011). "Swidden Farming as an Agent of Environmental Change: Ecological Myth and Historical Reality in Indonesia" (PDF). OXIS. KITLV. Diakses tanggal 12 Januari 2017.
- ^ Henley 2005, hlm. 534-7.
- ^ Sangadji, Arianto (12 September 2006). "Kekerasan Poso dan Ekspansi Modal". IndoPROGRESS. Diakses tanggal 17 Mei 2017.
- ^ BPS Poso 2016b, hlm. 17.
- ^ BPS Poso 2016b, hlm. 9.
- ^ BPS Poso 2016b, hlm. 48.
- ^ "Belanja Pegawai di 58 Daerah Lebih Dari 60 Persen". Kementerian Aparatur Negara Republik Indonesia. 10 Oktober 2016. Diakses tanggal 12 April 2017.
- ^ Weber, Kreisel & Faust 2003, hlm. 423.
- ^ "Perjanjian Kabose Garoeda dengan Belanda Tahun 1899". Poso Mori. 17 Oktober 2015. Diakses tanggal 22 Maret 2017.
- ^ BPS Poso 2016b, hlm. 146.
- ^ BPS Poso 2016b, hlm. 35.
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaORBA1
- ^ "TNLL: Wisata Danau Tambing Bisa Dikelola Pemprov". ANTARA Palu. Diakses tanggal 13 Oktober 2016.
- ^ "Kunjungan Wisatawan ke Danau Tambing Tetap Tinggi". ANTARA Palu. Diakses tanggal 13 Oktober 2016.
- ^ "Menikmati Keunikan Objek Wisata Air Terjun Saluopa yang Berundak 12 Tingkat". Berita Jateng. Diakses tanggal 21 Oktober 2016.
- ^ "Air Terjun Saluopa, Pesona Tingkat Air Terjun di Sulawesi Tengah". KSM Tour. Diakses tanggal 21 Oktober 2016.
- ^ "Potensi Utama Wisata Alam Poso". Poso Raya. Diakses tanggal 21 Oktober 2016.
- ^ "Air Terjun Sulewana, Sulawesi Tengah". JJY. Diakses tanggal 31 Juli 2016.
- ^ "Keindahan Air Terjun Sulewana". Detik. Diakses tanggal 31 Juli 2016.
- ^ Iphoel 2014; Malaha 2016.
- ^ Suara Pembaruan 2016.
- ^ Timparosa 2017.
- ^ a b c d "Transportasi Poso". Poso City. Diakses tanggal 23 September 2016.
- ^ BPS Poso 2016b, hlm. 42.
- ^ "Satuan Lalu Lintas Polres Poso Gelar Apel Bersama Komunitas Ojek Poso dan Komunitas Biker Simotik Poso". Polda Sulteng. Diakses tanggal 24 Agustus 2016.
- ^ "Taksi Beken, Penumpang Keren ala Kota Poso". Kompas. Diakses tanggal 24 Agustus 2016.
- ^ "Mengenal Bandara Kasiguncu dan Tanjung Api yang Diresmikan Presiden Jokowi". Sulteng Ekspres. 20 Oktober 2016. Diakses tanggal 16 Februari 2017.
- ^ "Bandara Kasiguncu Poso Siap Dioperasikan". ANTARA Sulawesi Tengah. Diakses tanggal 16 Februari 2017.
- ^ "Ke Pulau Miangas, Jokowi Resmikan Tiga Bandara". Kompas. 19 Oktober 2016. Diakses tanggal 16 Februari 2017.
- ^ "Harbour - Pelabuhan Poso". Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Poso. Diakses tanggal 16 Februari 2017.
- ^ "Pelabuhan Poso dapat Rp.20 Miliar". Badan Pemeriksa Keuangan Kota Palu. Diakses tanggal 16 Februari 2017.
- ^ BeritaSatu 2012; Idris 2016.
- ^ Nadjemuddin 2016a.
- ^ Nadjemuddin 2016b.
- ^ BPS Poso 2016b, hlm. 147.
- ^ Maruto 2015.
- ^ "15 Klub Sulteng Diikutkan Liga Nusantara". Diakses tanggal 10 Desember 2014.
- ^ "Pesta Pekan Olah Raga Provinsi, Seluruh Cabang Digelar di Poso". MetroSulawesi. Diakses tanggal 23 September 2016.
- ^ "PSSI Tunjuk Poso Tuan Rumah Liga Nusantara". Mercusuar News. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 September 2016. Diakses tanggal 23 September 2016.
- ^ "Liga Nusantara 2016, Dua Tim Wakil Tuan Rumah Poso". Tri Media News. Diarsipkan dari versi asli tanggal 1 Februari 2017. Diakses tanggal 23 September 2016.
- ^ "Radio Stations in Sulawesi Tengah, Indonesia, on FM, mediumwave, and shortwave". Asia Wave. Diakses tanggal 22 September 2016.
- ^ "Matahari FM Online Streams". Solo Streamers. Diakses tanggal 22 September 2016.
- ^ "Asam Segar Kuliner Khas Poso". Koran Sindo. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 Februari 2017. Diakses tanggal 10 Oktober 2016.
- ^ "Sogili Bakar, Kuliner Khas Danau Poso". Teluk Palu.com. Diakses tanggal 10 Oktober 2016.
- ^ "Eboni, si Kayu Hitam dari Sulawesi". Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 Oktober 2015. Diakses tanggal 31 Oktober 2016.
- ^ "Lian Gogali, Perempuan Agen Perdamaian Poso". VIVA.co.id. Diakses tanggal 8 Desember 2016.
- ^ Fadjar, Evieta (24 Desember 2014). "Cabut dari Noah, Reza Fokus Ibadah". Tempo.co. Diakses tanggal 24 Januari 2017.
- ^ Al Hadi, Yayan Sopyani (25 September 2016). "Gadis Asal Poso Incar Putri Pariwisata Indonesia 2016". RMOL. Diakses tanggal 24 Januari 2017.
- ^ "Kontestan Indonesian Idol Junior Siapkan Semangat Baru di 2017". Okezone. 30 Desember 2016. Diakses tanggal 24 Januari 2017.
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]- BPS Poso (2016a). Kabupaten Poso dalam Angka 2016. Poso: Badan Pusat Statistik Kabupaten Poso. ISSN 0215-6768.
- BPS Poso (2016b). Indikator Ekonomi Kabupaten Poso 2015-2016. Poso: Badan Pusat Statistik Kabupaten Poso.
- BPS Poso (2015). Kabupaten Poso dalam Angka 2015. Poso: Badan Pusat Statistik Kabupaten Poso. ISSN 0215-6768.
- BPS Poso (2017a). Kabupaten Poso dalam Angka 2017. Poso: Badan Pusat Statistik Kabupaten Poso. ISSN 0021-5678.
- BPS Poso (2017b). Kecamatan Poso Kota dalam Angka 2017. Poso: Badan Pusat Statistik Kabupaten Poso. ISBN 978-602-6543-20-2.
- BPS Poso (2017c). Kecamatan Poso Kota Selatan dalam Angka 2017. Poso: Badan Pusat Statistik Kabupaten Poso. ISBN 978-602-6543-19-6.
- BPS Poso (2017d). Kecamatan Poso Kota Utara dalam Angka 2017. Poso: Badan Pusat Statistik Kabupaten Poso. ISBN 978-602-6543-20-2.
- BPS Poso (2010). Hasil Sensus Penduduk 2010 Kabupaten Poso: Data Agregat Per Kecamatan. Poso: Badan Pusat Statistik Kabupaten Poso.
- BPS Sulawesi Tengah (2016). Provinsi Sulawesi Tengah dalam Angka 2016 (PDF). Palu: Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah.
- Hasan; Darwis; Mahid, Syakir; Sadi, Haliadi (2004). Sejarah Poso. Yogyakarta: Tiara Wacana. ISBN 978-979-9340-50-4.
Sumber
[sunting | sunting sumber]Buku
[sunting | sunting sumber]- Abubakar, Jamrin (2015). 15 Tokoh Bersejarah Provinsi Sulawesi Tengah. Palu: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Sulawesi Tengah. ISBN 978-602-1158-09-8.
- Adriani, Nicolaus; Kruyt, Albertus Christiaan (1912). De Bare'e-sprekende Toradja's van Midden-Celebes. Batavia: Landsdrukkerij.
- Adriani, Nicolaas (1919). Posso (Midden-Celebes). Onze Zendingsvelden (2). Den Haag: Boekhandel van den Zendingsstudie-Raad.
- Aragon, Lorraine (2000). Fields of the Lord: Animism, Christianity, and State Development in Indonesia. Honolulu: University of Hawai'i Press. ISBN 978-0-82-482303-0. LCCN 99058189.
- Aritonang, Jan Sihar; Steenbrink, Karel Adriaan (2008). A History of Christianity in Indonesia. Studies in Christian Mission (35). Leiden: Brill Publishers. ISBN 978-9-00-417026-1. LCCN 2008031321.
- Braithwaite, John; Braithwaite, Valerie; Cookson, Michael; Dunn, Leah (2010). Anomie and Violence: Non-truth and Reconciliation in Indonesian Peacebuilding. Canberra: ANU E Press. doi:10.26530/oapen_458801. ISBN 192-1666-23-4.
- Brown, Graham; Tajima, Yukhi; Hadi, Suprayoga (2005). Piza-Lopez, Eugenia, ed. Overcoming Violent Conflict: Peace and Development Analysis in Central Sulawesi. Department of International Development. Overcoming Violent Conflict. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. ISBN 979-99878-4-9.
- Darlis, Andi Muhammad (2012). Konflik Komunal: Studi dan Rekonsiliasi Konflik Poso. Yogyakarta: Buku Litera. ISBN 978-602-19217-6-0.
- End, Thomas van den (1987). Ragi carita 1. Ragi carita (edisi ke-1). BPK Gunung Mulia. ISBN 978-9-79-415188-4. LCCN 88940223.
- End, Thomas van den (1999). Ragi carita: 1860-sekarang. Ragi carita (edisi ke-2). BPK Gunung Mulia. ISBN 978-9-79-415606-3. LCCN 99503367.
- Gross, Max L. (2015). A Muslim Archipelago: Islam and Politics in Southeast Asia. Washington D.C.: Center for Strategic Intelligence Research. ISBN 978-1-932946-19-2. LCCN 2006937784.
- Harvey, Barbara Sillars (1974). Tradition, Islam and Rebellion: South Sulawesi 1950-1965. New York: Universitas Cornell.
- Henley, David (2005). Fertility, Food and Fever: Population, Economy and Environment in North and Central Sulawesi, 1600-1930. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (201). Leiden: KITLV Press. ISBN 978-9-06-718209-6. LCCN 2006402352.
- Karnavian, Tito (2014). Explaining Islamist Insurgencies: The Case of al-Jamaah al-Islamiyyah and the Radicalisation of the Poso Conflict, 2000–2007. Singapura: World Scientific. doi:10.1142/p948. ISBN 178-3264-88-8.
- Kaudern, Walter (1925a). Structures and settlements in Central Celebes. Ethnographical studies in Celebes (1). Göteborg: Martinus Nijhoff.
- Kaudern, Walter (1925b). Migrations of the Toradja in Central Celebes. Ethnographical studies in Celebes (2). Den Haag: Elanders Boktryckeri Aktiebolag.
- Kaudern, Walter (1927). Musical Instruments in Celebes. Ethnographical studies in Celebes (3). Göteborg: Elanders Boktryckeri Aktiebolag.
- Kaudern, Walter (1929). Games and Dances in Celebes. Ethnographical studies in Celebes (4). Göteborg: Elanders Boktryckeri.
- Kaudern, Walter (1938). Megalithic Finds in Central Celebes. Ethnographical studies in Celebes (5). Göteborg: Elanders Boktryckeri Aktiebolag.
- Kruyt, Albertus Christiaan (2008). Keluar dari Agama Suku, Masuk ke Agama Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia. ISBN 979-6873-37-0.
- Kutoyo, Sutrisno (2005). Sejarah Daerah Sulawesi Tengah. Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi Tengah.
- Li, Tania (2007). "Adat in Central Sulawesi: Contemporary deployments". Dalam Davidson, Jamie S.; Henley, David. The Revival of Tradition in Indonesian Politics: The deployment of adat from colonialism to indigenism. Routledge. hlm. 337–370. doi:10.4324/9780203965498. ISBN 0-203-96549-3.
- Mahid, Syakir; Sadi, Haliadi; Darsono, Wilman (2012). Sejarah Kerajaan Bungku. Yogyakarta: Penerbit Ombak. ISBN 978-602-7544-09-3.
- McRae, Dave (2008). The Escalation and Decline of Violent Conflict in Poso, Central Sulawesi, 1998-2007 (Tesis Ph.D). Canberra: Universitas Nasional Australia. http://openresearch-repository.anu.edu.au/handle/1885/11026.
- McRae, Dave (2013). A Few Poorly Organized Men: Interreligious Violence in Poso, Indonesia. Jakarta: Brill. doi:10.1163/9789004251724. ISBN 900-4251-72-3.
- Noort, Gerrit (2006). De weg van magie tot geloof: Leven en werk van Albert C. Kruyt (1869-1949), zendeling-leraar in Midden-Celebes, Indonesië. Utrecht: Universitas Utrecht. ISBN 978-9-02-392155-4.
- Nooy-Palm, Hetty (1979). The Sa'dan Toraja: A Study of their Social Life and Religion. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (87). Den Haag: Martinus Nijhoff. doi:10.26530/OAPEN_613382. ISBN 978-9-00-428718-1. LCCN 80503174.
- Nordholt, Henk Schulte; van Klinken, Geert Arend (2007). Renegotiating Boundaries: Local Politics in Post-Suharto Indonesia. Leiden: KITLV Press. doi:10.1163/9789004260436. ISBN 906-7182-83-4.
- Raven, Harry C. (1926). The Stone Images and Vats of Central Celebes. New York: Museum Nasional Sejarah Amerika.
- Tampake, Tony (2009). Ecclesia via Contemplativa vs Ecclesia via Activa: Sebuah Kajian Eklesiologis Historis 100 tahun Kekristenan Orang Poso. Jakarta: Universitas Kristen Satya Wacana.
- Sadi, Haliadi; Mahid, Syakir; Ibrahim, M. Anas (2007). Gerakan pemuda Sulawesi Tengah (GPST) di Poso, 1957-1963: perjuangan anti Permesta dan pembentukan Provinsi Sulawesi Tengah. Yogyakarta: Penerbit Ombak. ISBN 978-979-3472-70-6.
- Sarasin, Paul; Sarasin, Fritz (1905). Reisen in Celebes. Wiesbaden: Kreidel.
- Schrauwers, Albert (2000). Colonial 'reformation' in the Highlands of Central Sulawesi, Indonesia, 1892–1995. Anthropological Horizons (14). Toronto: University of Toronto Press. ISBN 978-0-80-208303-6. LCCN 00698098.
- Schrauwers, Albert (1998). "Returning to the "Origin": Church and State in the Ethnogenesis of the "To Pamona"". Dalam Kahn, Joel S. Southeast Asian Identities: Culture and the Politics of Representation in Indonesia, Malaysia, Singapore, and Thailand. Singapura: I.B.Tauris. hlm. 203–226. ISBN 186-0642-43-8.
- Stroomberg, J. (2018). Hindia Belanda 1930 [1930 Handbook of the Netherlands East Indies] (dalam bahasa Inggris). Diterjemahkan oleh Apriyono, Heri. Yogyakarta: IRCiSoD. OCLC 82582351.
- van Klinken, Geert Arend (2005). "New actors, new identities: Post-Suharto ethnic violence in Indonesia". Dalam Anwar, Dewi Fortuna; Bouvier, Hélène; Smith, Glenn; Tol, Roger. Violent Internal Conflicts in Asia Pacific: Histories, Political Economic and Policies. Penerbit Obor. hlm. 79–100. ISBN 979-461-514-5.
- van Klinken, Geert Arend (2007). Communal Violence and Democratization in Indonesia: Small Town Wars. Jakarta: Routledge. doi:10.4324/9780203965115. ISBN 113-4115-33-4.
- Waterson, Roxana (2009). Paths and Rivers: Sa'dan Toraja society in transformation. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (253). Leiden: Brill. doi:10.26530/OAPEN_377535. ISBN 978-9-06-718307-9. LCCN 2009521561.
- Weber, Robert (2006). Kulturlandschaftswandel in Zentralsulawesi: historisch-geographische Analyse einer indonesischen Bergregenwaldregion. Göttingen: Universitas Göttingen. doi:10.17875/gup2006-224. ISBN 393-8616-52-0.
Jurnal
[sunting | sunting sumber]- Anis, Elis Z. (2006). "Framing Conflict News In Poso Indonesia: A Comparative Analysis of the Manado Post, MAL, and Kompas Newspapers". Universitas Ohio.
- Aragon, Lorraine (2001). "Communal Violence in Poso, Central Sulawesi: Where People Eat Fish and Fish Eat People". Indonesia. Southeast Asia Program Publications (72): 45–79. doi:10.2307/3351481. JSTOR 3351481.
- Aragon, Lorraine (2005). "Mass Media Fragmentation and Narratives of Violent Action in Sulawesi's Poso Conflict". Indonesia. Southeast Asia Program Publications (79): 1–55. doi:10.2307/3351332. JSTOR 3351332.
- Cannon, Chuck; Harting, John; Salim, Agus; Summers, Marcy (2005). "The Vegetation of Sulawesi" (PDF). Texas: Texas Tech University.
- Coté, Joost (1996). "Colonising Central Sulawesi. The 'Ethical Policy' and Imperialist Expansion 1890–1910". Itinerario. 20 (3): 87–107. doi:10.1017/S0165115300003983.
- Coté, Joost (2003). "'A Conglomeration of […] often Conflicting Ideas': Resolving the 'Native Question' in Java and the Outer Islands in the Dutch East Indies, 1900-1925". Itinerario. 27 (3-4): 160–188. doi:10.1017/S0165115300020817.
- Coté, Joost (2011). "Creating Central Sulawesi: Mission Intervention, Colonialism and 'Multiculturality'". BMGN - Low Countries Historical Review. 126 (2): 2–29. doi:10.18352/bmgn-lchr.7308.
- Diprose, Rachael (2007). "Passing on the challenges or prescribing better management of diversity? Decentralisation, power sharing and conflict dynamics in Central Sulawesi, Indonesia". Conflict, Security & Development. 8 (4): 393–425. doi:10.1080/14678800802539291.
- Ilyas (2012). "Kajian Simbol-Simbol Etnisitas dalam Kampanye, Komunikasi Politik dan Pergeserannya pada Pemilukada Kabupaten Poso". Jurnal Ilmu Komunikasi. Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UPN Veteran Yogyakarta. 10 (2): 233–247.
- McRae, Dave (2007). "Criminal Justice and Communal Conflict: A Case Study of the Trial of Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, and Marinus Riwu". Indonesia. Southeast Asia Program Publications (83): 79–117. doi:10.2307/40376414. JSTOR 40376414.
- Purwana, Bambang Hendarta Suta (2016). "Sintuwu Maroso Ri Tana Poso: Analisis Kapasitas Modal Sosial Masyarakat Poso dalam Membangun Integrasi Sosial Pasca Konflik". Patrawidya. Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta. 17 (2): 75–94.
- Sadi, Haliadi; Agustino, Leo (2015). "Pemikiran Politik Lokal dalam Sejarah Pembentukan Provinsi Sulawesi Tengah". COSMOGOV: Jurnal Ilmu Pemerintahan. Universitas Andalas. 1 (2): 354–376. doi:10.24198/cosmogov.v1i2.11843.
- Santoso, Budi (2006). "Status dan Strategi Pemuliaan Eboni". Berita Biologi. Pusat Penelitian untuk Biologi LIPI. 6 (2): 315–319. doi:10.14203/beritabiologi.v6i2.1499.
- Villeneuve, Michel; Gunawan, Wahyu; Cornee, Jean-Jacques; Vidal, Olivier (2002). "Geology of the central Sulawesi belt (eastern Indonesia): Constraints for geodynamic models". International Journal of Earth Sciences. Springer-Verlag. 91 (3): 524–537. doi:10.1007/s005310100228.
- Watkinson, Ian M. (2011). "Ductile flow in the metamorphic rocks of central Sulawesi". Geological Society. London: Special Publications. 355: 157–176. doi:10.1144/sp355.8.
- Weber, Robert; Kreisel, Werner; Faust, Heiko (2003). "Colonial Interventions on the Cultural Landscape of Central Sulawesi by "Ethical Policy": The Impact of the Dutch Rule in Palu and Kulawi Valley, 1905–1942". Asian Journal of Social Science. Brill. 31 (3): 398–434. doi:10.1163/156853103322895324.
Laporan
[sunting | sunting sumber]- ADB, Asian Development Bank (2008). Indonesia: Central Sulawesi Integrated Area Development and Conservation Project. Bank Pembangunan Asia.
- Aditjondro, George Junus (2004). Kerusuhan Poso dan Morowali, Akar Permasalahan dan Jalan Keluarnya (PDF) (Laporan). Palu: Yayasan Tanah Merdeka.
- Aliansi Jurnalis Independen (2007). Liputan Peristiwa 22 Januari 2007 di Poso [Shabby Portrait of the Republic’s Role in Poso] (PDF) (Laporan). Palu.
- Diprose, Rachael; Ukiwo, Ukoha (2008). "Decentralisation and Conflict Management in Indonesia and Nigeria". Queen Elizabeth House. CRISE Working Paper. CRISE (49). CiteSeerX 10.1.1.987.7466 .
- Human Rights Watch (2002). BREAKDOWN: Four Years of Communal Violence in Central Sulawesi. Indonesia (Laporan). 14. New York City. doi:10.1163/2210-7975_hrd-2156-0284.
- International Crisis Group (3 Februari 2004). Indonesia Backgrounder: Jihad in Central Sulawesi. ICG Asia Report (Laporan). International Crisis Group.
- International Crisis Group (24 Januari 2007). Jihadism in Indonesia: Poso on the Edge. ICG Asia Report (Laporan). International Crisis Group.
- KontraS (2004). Laporan Penelitian Bisnis Militer di Poso Sulawesi Tengah (PDF) (Laporan). Jakarta.
- LPS-HAM (31 Desember 2004). Evaluasi Kondisi HAM di Sulawesi Tengah Tahun 2004 (PDF) (Laporan). Lembaga Pengembangan Studi Hukum dan Advokasi Hak Asasi Manusia Sulawesi Tengah.
- Rojas, Róbinson (2009). "Central Sulawesi Integrated Area Development and Conservation Project" (PDF). The Róbinson Rojas Archive.
- Surya, Dendi; Bakrun, -; Ary, K. (2012). Penyelidikan Geofisika Terpadu Daerah Panas Bumi Maranda, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Laporan Pendahuluan Survei Magnetotellurik Daerah Panas Bumi Maranda-Kawende Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Laporan). Bandung: Pusat Sumber Daya Geologi.
- Swisher, Gary; Risnarto, H.; Sembiring, Sulaiman; Andiko; Oszaer, Robert; Adam, Muchtar; Suaib (2005). "Pembangunan Ekonomi Lokal, Sumber Daya Alam dan Penghidupan Maluku Utara, Maluku dan Sulawesi Tengah" (PDF). United Nations Development Programme.
- Tirtosudarmo, Riwanto (2008). "State formation, decentralisation and East Sulawesi province: Conflict and the politics of transcending boundaries in Eastern Indonesia". Department of International Development. CRISE Working Paper. CRISE (56).
- USAID (15 Maret 2002). Building Conservation Capacity and Partnerships at Lore Lindu National Park (PDF) (Laporan) (edisi ke-6). Jakarta: United States Agency for International Development.
- Yushantarti, Anna; Setiawan, Dede Iim (2015). Geochemistry of A Non Volcanic Geothermal Area in Maranda, Poso Regency, Central Sulawesi, Indonesia (PDF). Proceedings World Geothermal Congress (Laporan). hlm. 19–25.
Situs web
[sunting | sunting sumber]- Apriyani (2016). "KADIN Ajak Pengusaha Investasi ke Poso". Bank News. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 Juli 2016. Diakses tanggal 23 Juli 2016.
- BeritaSatu (21 September 2012). "PLTA Sulewana Poso Beroperasi Pekan Depan". BeritaSatu. Diakses tanggal 16 Januari 2017.
- Idris, Muhammad (16 Agustus 2016). "Menengok Pembangkit Listrik di Sungai Poso yang Dibangun Grup Kalla". Detik. Diakses tanggal 16 Januari 2017.
- Iphoel (28 Desember 2014). "Poso City Mall Siap Dibangun". Kabar Selebes. Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 Januari 2015. Diakses tanggal 17 April 2017.
- Khabibi, Ikhwanul (16 Juni 2015). "Wapres JK Promosi Poso: Konflik Sudah Selesai, di Sini Aman". Detik. Diakses tanggal 11 Oktober 2016.
- Malaha, Rolex (19 November 2015). "Poso Segera Miliki Mall Dengan Hypermart Termodern". ANTARA News Sulawesi Tengah. Diakses tanggal 1 April 2017.
- Maruto, Riski (28 Maret 2015). Santoso, ed. "Kurangi Konsumsi BBM di Sulawesi Tengah, PLN Operasikan PLTM". ANTARA News Sulawesi Tengah. Diakses tanggal 1 Mei 2017.
- Nadjemuddin, Adha (4 April 2016). Malaha, Rolex, ed. "PLTA Poso I Targetkan Beroperasi 2018". ANTARA News Sulawesi Tengah. Diakses tanggal 16 Januari 2017.
- Nadjemuddin, Adha (9 April 2016). Malaha, Rolex, ed. "PLTA Sulewana Baru Terserap 48 Megawatt". ANTARA News Sulawesi Tengah. Diakses tanggal 16 Januari 2017.
- Poso Mori (2016). "Menghadapi Ekspedisi Tentara Belanda dalam Perang Lamba". Poso Mori. Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 November 2016. Diakses tanggal 11 Oktober 2016.
- Sidik, Jafar M (3 November 2012). "Kapolda: Poso Sudah Aman". Antaranews. Diakses tanggal 11 Oktober 2016.
- Simanjuntak, Michael (16 September 2016). "FDP Akan Digelar Selama Empat Hari di Tentena". MetroSulawesi. Diakses tanggal 11 Oktober 2016.
- Suara Pembaruan (20 Oktober 2016). "Hypermart Terbesar Beroperasi di Poso, Sulawesi Tengah". Suara Pembaruan. Diakses tanggal 1 April 2017.
- Timparosa, Feri (2 Maret 2017). Malaha, Rolex, ed. "RTH Bernilai Rp13 miliar di Poso mulai dibangun". ANTARA News Sulawesi Tengah. Diakses tanggal 17 April 2017.
- Wawan (9 Oktober 2015). "Festival Danau Poso Kembali Digelar". MetroSulawesi. Diakses tanggal 11 Oktober 2016.
- Zamzam (23 Juli 2016). "Santoso Tewas, Investor Mulai Lirik Kawasan Poso". Harian Terbit. Diakses tanggal 11 Oktober 2016.
Pranala luar
[sunting | sunting sumber]Parigi Moutong |
Teluk Tomini | Tojo Una-Una |
||
Sigi |
Morowali Utara | |||
| ||||
Sulawesi Selatan |
Sulawesi Selatan |
Morowali Utara |