Usman bin Yahya
Habib Uthman bin Yahya | |
---|---|
Nama asal | عثمان بن يحيى |
Lahir | Usman 1822 M Pekojan, Batavia, Hindia Belanda |
Meninggal | 1913 (umur 90–91) Batavia, Hindia Belanda |
Makam | Pondok Bambu |
Nama lain | Habib Usman bin Yahya |
Pekerjaan | Ulama, Mufti |
Tempat kerja | Hindia Belanda |
Dikenal atas | Mufti Betawi |
Karya terkenal | berdakwah |
Gelar | Habib atau Sayyid |
Orang tua | Abdullah bin Aqil bin Umar bin Yahya (ayah) Aminah(ibu) |
Usman bin Yahya, Utsman ibn Yahya atau Othman bin Yahya (bahasa Arab: عثمان بن يحيى , translit. ‘Uthmān bin Yahyā; pelafalan dalam bahasa Arab: [ʕuθma:n bin jɑħjɑ:] nama lengkap: (bahasa Arab: الحبيب عثمان بن عبد الله بن عقيل بن يحيى العلوي, translit. Sayyid ‘Uthmān ibn ‘Abdallāh ibn ‘Aqīl ibn Yaḥyā al-‘Alawī) ; 1822 Masehi/17 Rabi' al-awwal 1238 Hijriyah - 1913 M/21 Safar 1331 H) adalah Mufti Agung Betawi pada abad ke-19 di Hindia Belanda.
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Habib Usman bin Yahya lahir di Pekojan, Batavia pada 1822 Masehi (17 Rabiul awal 1238 Hijriyah). Usman berasal dari keluarga Ba 'Alawi sada dengan ayahnya adalah Sayyid Abdullah bin Aqil bin Umar bin Yahya. Ibunya adalah Aminah, seorang putri dari Sheikh Mesir Abdurahman Al-Misri.[1]
Habib Utsman bin Yahya dilahirkan di Batavia, tepatnya di daerah Pekojan, pada tanggal 17 Rabiul Awal 1238 H/1822 M. ayahnya bernama Abdullah bin Aqil bin Umar bin Yahya, dilahirkan di Mekkah dari keturunan Hadramaut. Ibunya adalah Aminah, putri dari Syekh Abdurrahman al-Misri. Ketika usianya menginjak tiga tahun, ayah Habib Utsman bin Yahya bertolak kembali ke Mekkah, sehingga ia pun diasuh oleh kakeknya, Syekh Abdurrahman al-Misri. Beliau memperoleh pendidikan tidak dalam lembaga pendidikan formal, melainkan secara pribadi ia belajar dari kakeknya berbagai macam studi agama, bahasa Arab, dasar-dasar ilmu falak-spesialisasi kakeknya- dan adab sopan santun.
Ketika berumur 18 tahun, sang kakek meninggal, kemudian Habib Utsman bin Yahya memutuskan untuk mengembara ke Mekkah. Di kota itu, selain menunaikan ibadah haji, ia juga mengagendakan kepergiannya itu untuk melepas rindu dengan ayahnya dan kerabatanya. Selain itu, di kota itu Habib Utsman bin Yahya mulai menempa diri dengan mendulang berbagai khazanah keilmuan selama tujuh tahun. Kebanyakan dari ayahnya dan Sayid Ahmad Dahlan seorang mufti Syafi’i kondang dan dikenal pula sebagai sejarawan Mekkah.Setelah itu, Habib Utsman bin Yahya melanjutkan langkah kelananya ke Hadramaut. Di sini, ia kembali menambah dan mendalami pengetahuan agamanya dengan berguru ke sejumlah ulama terkemuka di kota itu, seperti Habib Abdullah bin Husain bin Thahir, Habib Abdullah bin Umar bin Yahya, Habib Hasan bin Shalih al-Bahar, Habib ‘Alawi bin Segaf al-Jufrie.
Di kota ilmu itu, beliau menghabiskan hari-harinya dengan menelaah berbagai korpus klasik. Atas permintaan salah seorang gurunya, beliau menikah dengan seorang syarifah. Ketika beberapa gurunya telah meninggal, beliau memutuskan untuk melanjutkan perjalanan keilmuannya dengan kembali ke Mekkah lalu kemudian ke Madinah. Seperti banyak ulama terkenal lainnya, Habib Utsman bin Yahya mengkhususkan sebagian dari umurnya untuk “tapa jalan” dengan merogoh dan menambang perbendaharaan keilmuan di belahan dunia yang berbeda. Dari Madinah beliau pergi ke Dimyat, Mesir-kampung halaman ibunya-untuk bertemu dengan keluarganya. Beliau bermukim di Mesir selama delapan bulan, sekaligus menimba berbagai disiplin ilmu dari ulama ternama di kota itu.
Tak lama kemudian, kakinya kembali melangkah untuk membuka daerah-daerah lain yang belum ia kunjungi seperti ke Tunis, Maroko, Aljazair yang disinggahinya masing-masing selama limadan tujuh bulan. Beliau sempat mengunjungi beberapa kota, seperti Marakesh dan Fezt, tempatnya menyemai ilmu-ilmu eksoterik (zahir) dan esoterik (batin). Selain itu, Beliau juga rajin menyambung kawat persaudaraan dengan jejaring ulama di sana, salah satunya dengan Mufti Tunis. Setelah merasa cukup, Habib Utsman bin Yahya berlayar ke Istanbul, Turki yang ditinggalinya selama tiga bulan. Di ibukota dunia Islam itu, ia bertemu dengan mufti dan Syaikh al-Islam, dan menerima sebuah surat dari Pasya Madinah kemudian Beliau pergi ke Palestina, Suriah, dan Hadramaut. Beliau kembali ke Batavia (Jakarta) melalui Singapura pada 1279 H/1862 M dan menjadi Mufti Betawi.
Habib Utsman bin Yahya adalah habib atau ulama yang sangat berpengaruh, bukan saja di Jakarta, Indonesia, tetapi juga di Asia Tenggara. Menurut Habib Ismail bin Yahya bahwa dalam sebuah lawatan ulama Pattani, Thailand ke salah satu pondok pesantren di Sukabumi, mereka menemukan karya-karya Habib Utsman bin Yahya dalam bahasa Arab Melayu. Mereka mngatakan bahwa di tempat mereka di Pattani, karya-karya Habib Utsman bin Yahya masih diajarkan. Beliau memang ulama yang produktif menulis, ada yang menyebutkan bahwa karya-karyanya berjumlah 116 buah, ada pula yang menyebutkan sebanyak 114 buah. Habib Ali Yahya, mantan Wapemred Majalah Al-Kisah, menyebutkan kepada saya bahwa karya Habib Utsman bin Yahya ada 150-an buah. Salah seorang ulama yang masih menyimpan hampir semua karya-karya Habib Utsman bin Yahya adalah KH. Tubagus Ahmad Bakri yang akrab dipanggil Mama Sempur Plered karena tinggal di daerah Sempur, Plered, Purwakarta.
Keilmuannya yang tinggi, kiprah dan pengaruhnya yang luas seharusnya menjadikan Habib Utsman bin Yahya sebagai sosok yang seharusnya dikenang setiap hari wafatnya dalam sebuah acara haul. Namun, beliau sudah berwasiat kepada keluarganya agar jika beliau wafat jangan diadakan haul untuk dirinya. Maka, beliau adalah sedikit ulama yang tidak pernah diadakan haulnya saban tahun. Beliau juga ulama yang jarang diziarahi kuburannya. Ini dikarenakan kuburan beliau masih diragukan keotentikannya oleh sebagian kalangan. Masih menurut Habib Ismail bin Yahya bahwa pada saat Ali Sadikin menjabat Gubernur DKI Jakarta, dilakukan pemindahan makam, terutama makam para ulama, di daerah Tanah Abang yang terkena proyek pembangunan.
Ketika makam Habib Utsman bin Yahya digali, ternyata tidak ditemukan jenazahnya. Petugas penggali kubur terus menggali sampai kedalaman 4 bahkan ada yang mengatakan 6 meter, tetap saja jenazah Habib Utsman bin Yahya tidak ditemukan, baik kain kafan atau tulang belulangnya. Padahal, beliau dimakamkan persis bersebelahan dengan makam Syaikh Abdurrahman Al-Mishri, bapak dari ibu beliau atau kakeknya dari pihak ibu yang wafatnya jauh lebih dulu dari Habib Utsman bin Yahya. Makam Syaikh Abdurrahman Al-Mishri juga ikut dibongkar dan ditemukan kain kafan serta lainnya. Dikarenakan tidak ditemukan kain kafan dan bekas-bekas jenazah dari Habib Utsman bin Yahya, maka yang dipindahkan adalah tanah kuburannya saja ke Pemakaman Jeruk Purut. Lalu, dipindahkan lagi ke kuburan sekarang, yaitu di Kompleks Masjid Abidin, Sawah Barat, Pondok Bambu, Jakarta Timur. Jadi, yang dimaksud dengan kuburan Habib Utsman bin Yahya di Kompleks Masjid Abidin adalah kuburan simboliknya, bukan kuburan sebenarnya.
Kontroversi
[sunting | sunting sumber]Habib Usman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya Ba’alawi belajar agama di Ḥaḍramaut. Ia dibawa kembali ke Nusantara oleh Belanda untuk membantu pemerintah kolonial serta diangkat oleh penjajah belanda menjadi adviseur of honorair sampai meninggalnya. Ia pun mendapatkan bintang Salib Singa Belanda (Nederlandsch Liew) dan bekerja mendampingi Snouck Hurgronje sebagai penasehat pemerintah kolonial untuk urusan pribumi dan Arab yang kelak menjadi Kantor Penasehat urusan pribumi (Het Kantoor voor Inlandsche Zaken).[2]
Selain menjadi adviseur of honorair, ia juga menjabat sebagai mufti Batavia dan aktif dalam karya tulis keagamaan. Habib Usman telah menjadi bagian dari elemen pemerintah penjajah kolonial yang sering dimintai pertimbangan dan saran oleh Snouck Hurgronje dalam memberi masukan dan saran kepada pemerintah penjajah kolonial yang akhirnya menjadi sebuah kebijakan di Hindia Belanda. Habib Usman memberikan pertimbangan-pertimbangan khusus yang berbeda dari keadaan yang terjadi pada masyarakat pribumi pada umumnya.[3]
Sejumlah kontroversi menyelimuti Habib Usman. Bagi pemerintah penjajah kolonial ia merupakan sosok yang sangat dicintainya karena kontribusinya yang cukup besar bagi pemerintah penjajah kolonial. Namun sebaliknya bagi pejuang pribumi, Habib Usman dianggap sebagai pengkhianat. Diantara kebijakan kontroversi Habib Usman sebagai mufti Batavia saat itu, ia mengeluarkan fatwa haram dengan menyebutnya ghurur atas perjuangan pribumi melawan penjajah kolonial; perjuangan jamaah thoriqoh melawan penjajah di Banten. Fatwa Habib Usman dan surat Habib Usman kepada penjajah kolonial yang meminta untuk menghukum pejuang pribumi, membuat sejumlah tokoh-tokoh pejuang pribumi dihukum mati, termasuk sejumlah murid Syeikh KH. Abdul Karim. [4].[5]
Kematian sejumlah ulama Nusantara ini dinilai oleh penjajah merupakan kesuksesan Habib Usman bin Yahya dalam mengabdi terhadap penjajah Belanda, melalui fatwa dan laporan-laporannya kepada pemerintah kolonial. Oleh karena itu, mufti Batavia ini mendapat penghargaan dari pemerintah kolonial penjajah berupa lambang emas dengan simbol salib.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Syamsu As, Muhammad (1996). Ulama Pembawa Islam Di Indonesia Dan Sekitarnya. Seri Buku Sejarah Islam. 4 (edisi ke-2). Lentera. ISBN 978-9798880162.
- ^ Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 102,159,160
- ^ Athoillah, Ahmad (Oktober 2013). "Kritik Sayid Utsman bin Yahya terhadap Ideologi Jihad dalam Gerakan Sosial Islam Pada Abad 19 dan 20" (PDF) (edisi ke-Volume 13, Nomor 5). UGM Yogyakarta: Refleksi. hlm. 574.
- ^ Noupal, Dr. Muhammad. "Kontroversi Tentang Sayyid Utsman Bin Yahya (1822-1914) Sebagai Penasehat Snouck Hurgronje". AICIS XII.
- ^ Athoillah, Ahmad. "Kritik Sayid Utsman bin Yahya terhadap Ideologi Jihad dalam Gerakan Sosial Islam Pada Abad 19 dan 20".