Hukum perang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Hukum perang (Inggris: laws of war) adalah sebuah komponen hukum internasional yang mengatur mengenai syarat-syarat unt] (jus ad bellum) dan tindakan-tindakan yang diizinkan dalam keadaan perang (jus in bello).

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Mahabharata[sunting | sunting sumber]

Di anak benua India, Mahabharata menggambarkan diskusi antara saudara yang berkuasa tentang apa yang merupakan perilaku yang dapat diterima di medan perang, contoh awal dari aturan proporsionalitas:

Seseorang seharusnya tidak menyerang kereta dengan kavaleri; prajurit kereta harus menyerang kereta perang. Seseorang tidak boleh menyerang seseorang yang sedang dalam kesusahan, tidak untuk menakut-nakuti atau mengalahkannya ... Perang harus dilakukan demi penaklukan; seseorang seharusnya tidak marah kepada musuh yang tidak mencoba membunuhnya.

Islam[sunting | sunting sumber]

Peraturan perang Islam merujuk kepada apa yang telah diterima dalam syariah (hukum Islam) dan fiqih (ilmu hukum Islam) oleh para ulama sebagai cara yang benar dalam Islam yang harus dipatuhi oleh para Muslim dalam ketika sedang berperang.

Menurut Al-Qur'an, umat Muslim hanya dibolehkan membunuh, mengusir dan memerangi umat kafir yang telah memerangi mereka terlebih dahulu dan dilarang melampaui batas. Aturan-aturan lainnya antara lain dilarang berperang di Masjidil Haram, kecuali umat kafir telah memerangi terlebih dahulu ditempat tersebut; jika pihak musuh sudah berhenti memerangi dan tidak adalagi kerusakan maka diwajibkan untuk berhenti berperang; berperang hanya dijalan yang diperintahkan oleh Allah; dan ajib melindungi orang-orang musyrik yang meminta perlindungan terhadap Umat Muslim.

Menurut hadis, terdapat beberapa peraturan perang tambahan, seperti:

  1. Dilarang melakukan pengkhianatan jika sudah terjadi kesepakatan damai
  2. Dilarang membunuh wanita dan anak-anak, kecuali mereka ikut berperang maka boleh diperangi
  3. Dilarang membunuh orang tua dan orang sakit
  4. Dilarang membunuh pekerja (orang upahan)
  5. Dilarang mengganggu para biarawan dan tidak membunuh umat yang tengah beribadah.
  6. Dilarang memutilasi mayat musuh,
  7. Dilarang membakar pepohonan merusak ladang atau kebun
  8. Dilarang membunuh ternak kecuali untuk dimakan
  9. Dilarang menghancurkan desa atau kota

Nabi Muhammad juga telah mengeluarkan instruksi yang jelas untuk memberikan perawatan terhadap tawanan perang yang terluka. Sejarah mencatat bagaimana umat Islam saat itu menangani tawanan pertama selepas Perang Badar pada 624 Masehi. Sebanyak 70 orang tawanan Makkah yang ditangkap dalam perang itu dibebaskan dengan atau tanpa tebusan.

Yahudi/Yudaisme[sunting | sunting sumber]

Sebuah contoh dari Book of Deuteronomy[1] 20: 19-20 membatasi jumlah kerusakan lingkungan, hanya memperbolehkan penebangan pohon yang tidak berbuah untuk digunakan dalam operasi pengepungan, sedangkan pohon yang berbuah harus diawetkan untuk digunakan sebagai sumber makanan:

19Ketika kamu mengepung sebuah kota untuk waktu yang lama, berperang melawannya untuk merebutnya, janganlah kamu menghancurkan pohon-pohonnya dengan mengayunkan kapak pada mereka. Anda boleh makan dari mereka, tetapi Anda tidak boleh menebangnya. Apakah pohon-pohon di lapangan adalah manusia, sehingga mereka harus dikepung oleh Anda? 20Hanya pohon-pohon yang kamu tahu bukan pohon untuk dimakan, kamu boleh menghancurkan dan menebang, yang boleh membuat pengepungan melawan kota yang berperang denganmu, sampai kota itu tumbang.[2]

Book of Deuteronomy[3] 20: 10-12 mensyaratkan orang Israel untuk membuat tawaran perdamaian terkondisi kepada pihak lawan sebelum mengepung kota mereka, mengambil penduduk sebagai pelayan dan pekerja paksa sebagai gantinya, haruskah mereka menerima tawaran tersebut.

10 Ketika Anda mendekati kota untuk melawannya, tawarkan istilah damai untuk itu. 11Dan jika itu menanggapi Anda dengan damai dan terbuka untuk Anda, maka semua orang yang ditemukan di dalamnya akan melakukan kerja paksa untuk Anda dan akan melayani Anda. 12 Tetapi jika itu tidak membuat damai dengan Anda, tetapi membuat perang melawan Anda, maka Anda akan mengepungnya.[4]

Demikian pula, Book of Deuteronomy[5] 21: 10–14 mensyaratkan bahwa tawanan perempuan yang dipaksa menikah dengan pemenang perang, kemudian tidak diinginkan lagi, dilepaskan ke mana pun mereka mau, dan mengharuskan mereka untuk tidak diperlakukan sebagai budak atau dijual demi uang:

10Ketika kamu pergi berperang melawan musuh-musuhmu, dan Tuhan, Allahmu, memberikan mereka ke tanganmu dan kamu menawan mereka, 11 dan kamu melihat di antara para tawanan itu seorang wanita cantik, dan kamu ingin membawanya menjadi istrimu, 12 dan Anda membawanya pulang ke rumah Anda, dia akan mencukur kepalanya dan mengupas kukunya. Setelah itu Anda bisa masuk kepadanya dan menjadi suaminya, dan dia akan menjadi istri Anda. 14 Tetapi jika Anda tidak lagi menyukainya, Anda harus membiarkan dia pergi ke mana pun dia inginkan. Tetapi Anda tidak akan menjualnya untuk uang, Anda juga tidak akan memperlakukan dia sebagai budak, karena Anda telah mempermalukannya. "[6]

Sumber hukum[sunting | sunting sumber]

Konvensi Den Haag[sunting | sunting sumber]

Konvensi-konvensi Den Haag adalah dua perjanjian internasional sebagai hasil perundingan yang dilakukan dalam konferensi-konferensi perdamaian internasional di Den Haag, Belanda: Konvensi Den Haag Pertama (1899) dan Konvensi Den Haag Kedua (1907). Bersama Konvensi-konvensi Jenewa, Konvensi-konvensi Den Haag adalah sebagian dari pernyataan-pernyataan formal pertama tentang hukum perang dan kejahatan perang dalam batang tubuh Hukum Internasional yang baru berkembang pada waktu itu. Konferensi internasional yang ketiga direncanakan untuk diadakan pada tahun 1914 dan kemudian dijadwal ulang untuk tahun 1915. Namun, konferensi tersebut tidak pernah terlaksana karena pecahnya Perang Dunia I. Walther Schücking, seorang sarjana hukum internasional dan aktivis perdamaian aliran neo-Kant dari Jerman, menyebut konferensi-konferensi tersebut sebagai “serikat internasional konferensi Den Haag”. Dia melihat konferensi-konferensi tersebut sebagai inti dari sebuah federasi internasional yang akan mengadakan pertemuan berkala untuk menegakkan keadilan dan menyusun prosedur hukum internasional bagi penyelesaian damai atas sengketa. Dia menegaskan bahwa “dengan diselenggarakannya Konferensi yang Pertama dan Kedua itu, sebuah serikat politik yang pasti yang terdiri dari negara-negara di dunia telah tercipta.” Berbagai badan yang dibentuk oleh Konferensi-konferensi tersebut, antara lain Pengadilan Arbitrase Permanen, adalah “agen-agen atau organ-organ serikat tersebut.”

Usaha besar dalam kedua konferensi tersebut ialah untuk membentuk sebuah pengadilan internasional yang mengikat yang melakukan arbitrase wajib untuk menyelesaikan sengketa internasional, sebuah pengadilan yang waktu itu dianggap perlu untuk menggantikan institusi perang. Namun, usaha ini tidak mencapai sukses dalam konferensi 1899 maupun 1907. Konferensi Pertama secara umum sukses dan berfokus pada usaha perlucutan senjata. Konferensi Kedua gagal menciptakan pengadilan internasional yang mengikat yang melakukan arbitrase wajib, tetapi berhasil memperbesar mekanisme arbitrase sukarela. Konferensi ini menetapkan sejumlah konvensi yang mengatur penagihan utang, aturan perang, dan hak serta kewajiban negara netral. Selain merundingkan perlucutan senjata dan arbitrase wajib, kedua konferensi tersebut juga merundingkan hukum perang dan kejahatan perang. Dalam Perang Dunia I, banyak dari aturan-aturan yang ditetapkan dalam Konvensi-konvensi Den Haag dilanggar, terutama oleh Jerman.

Sebagian besar negara besar (great powers), termasuk Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Prancis, China, dan Kekaisaran Persia, lebih menyukai arbitrase internasional yang mengikat, tetapi syaratnya ialah bahwa proses voting harus menghasilkan persetujuan dengan suara bulat. Beberapa negara, dengan dipimpin oleh Jerman, memveto gagasan ini.

Konvensi Munisi Tandan[sunting | sunting sumber]

Konvensi Munisi Tandan adalah traktat internasional yang melarang penggunaan bom tandan (bom curah), jenis senjata yang menyebar banyak subminisi. Konvensi ini diadakan pada tanggal 30 Mei 2008 di Dublin, Irlandia, dan telah ditandatangani di Oslo pada 3 Desember 2008. Konvensi ini diikuti lebih dari 100 negara yang tidak termasuk Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, India, Pakistan, Israel, dan Brasil.Negara-negara ini merupakan pemilik terbesar munisi tandan. Trakat ini mulai berlaku pada 1 Agustus 2010.

Perangkat[sunting | sunting sumber]

Ultimatum[sunting | sunting sumber]

Ultimatum adalah sebuah kata dari bahasa Latin, yang bermaksud pernyataan terakhir atau permintaan tak terbatalkan yang menjadi bagian dari cara diplomatik terhadap negara lain, dan biasa diikuti dengan perang, jika tak dipenuhi.

Bendera putih[sunting | sunting sumber]

Bendera putih dikenal sebagai suatu cara untuk menunjukan perdamaian atau tidak keikut sertaan seseorang pada suatu peperangan. Sehingga menurut peraturan perang orang-orang yang mengibarkan bendera putih dilarang untuk dibunuh.

Persetujuan damai[sunting | sunting sumber]

Perjanjian atau persetujuan damai ialah persetujuan antara 2 pihak yang bertikai, biasanya negara atau pemerintahan, yang secara resmi mengakhiri konflik bersenjata. Persetujuan damai berbeda dari gencatan senjata, yakni persetujuan untuk mengakhiri pertikaian, atau penyerahan, di mana militer setuju meletakkan senjata. Persetujuan damai sering berakhir dengan penentuan perbatasan dan pemulihan perang harus diwujudkan oleh negara-negara tersebut seusai perang.

Warga sipil[sunting | sunting sumber]

Seorang warga sipil adalah seseorang yang bukan merupakan anggota militer atau dari angkatan bersenjata. Menurut Konvensi Jenewa Keempat, merupakan sebuah kejahatan perang untuk menyerang seorang warga sipil yang tidak sedang melakukan penyerangan secara sengaja atau menghancurkan atau mengambil barang milik seorang warga sipil secara tidak perlu.

Meskipun begitu, barang milik seorang warga sipil boleh dihancurkan jika ada tujuan militer; barang milik seorang warga boleh disita untuk keperluan militer; dan kerusakan secara tidak sengaja merupakan sesuatu yang dapat diterima dalam suatu perang.

Dalam praktiknya, siapa yang boleh disebut sebagai pihak pejuang dan non-pejuang kadang menjadi persoalan yang rumit, terutamanya dalam perang gerilya di mana para pejuang gerilya menerima dukungan penduduk lokal. Kadang menjadi perdebatan bahwa perbedaan antara warga sipil dan militer dan ketidak senangan terhadap penyerangan terhadap warga sipil merupakan refleksi dari sikap Barat terhadap perang; bagi komunitas lainnya hal ini bukan merupakan suatu masalah, malah mereka menganggap strategi perang pihak Barat seperti pengeboman strategis sebagai hal yang tidak disenangi.

Di luar hal itu, ada 188 negara yang mengikuti Konvensi Jenewa (per 31 Desember 1996) termasuk negara-negara non-Barat yang telah terlibat konflik sejak 12 Agustus 1946, hari ditetapkannya Konvensi tersebut, misalnya Afganistan, Kamboja, Tiongkok, Kongo, India, Iran, Irak, Yordania, kedua-dua negara Korea, Kuwait, Laos, Rwanda, Suriah dan Vietnam

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Book of Deuteronomy". Wikipedia (dalam bahasa Inggris). 2020-09-30. 
  2. ^ "Bible Gateway passage: Deuteronomy 20:19-20 - English Standard Version". Bible Gateway (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-10-03. 
  3. ^ "Book of Deuteronomy". Wikipedia (dalam bahasa Inggris). 2020-09-30. 
  4. ^ "Bible Gateway passage: Deuteronomy 20:10-12 - English Standard Version". Bible Gateway (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-10-03. 
  5. ^ "Book of Deuteronomy". Wikipedia (dalam bahasa Inggris). 2020-09-30. 
  6. ^ "Bible Gateway passage: Deuteronomy 21:10-14 - English Standard Version". Bible Gateway (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-10-03.