Lompat ke isi

Jalan Raya Pos

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Peta Jalan Raya Pos yang membentang dari Anyer sampai Panarukan, melalui beberapa kota penting.

Jalan Raya Pos (juga dikenal sebagai Jalan Daendels atau Jalan Anyer-Panarukan; dalam bahasa Belanda: De Groote Postweg (kontemporer), De Grote Postweg (modern); bahasa Prancis: La Grande Route) adalah jalan bersejarah di Pulau Jawa sepanjang kira-kira 1.000 kilometer (620 mi) yang dibangun pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels (memerintah 1808–1811 M). Membentang dari Anyer, Banten hingga Panarukan, Jawa Timur, Daendels tidak membangun jalan ini sebagai jalan baru dari awal, tetapi dibangun dari jalan-jalan yang sudah ada sebelumnya.

Kini, sebagian besar Jalan Raya Pos menjadi bagian dari Jalan Raya Pantai Utara Jawa, atau lebih dikenal sebagai Jalan Pantura. Ini sering memunculkan kesalahpahaman bahwa Jalan Raya Pos disamakan dengan Jalan Pantura meskipun tidak semua Jalan Pantura mengikuti Jalan Raya Pos (berlaku juga untuk sebaliknya).

Dalam bahasa Indonesia dan bahasa Belanda, nama Jalan Raya Pos dan De Groote Postweg (ejaan modern: De Grote Postweg) berasal dari adanya sebanyak 50 kantor pos sepanjang jalan antara Batavia dengan Surabaya yang dibangun Daendels untuk mempercepat komunikasi dengan para pejabatnya.[1] Komunikasi pada saat itu merupakan hal yang dianggap berharga karena Daendels merasakan sulitnya berkomunikasi dengan mereka yang tersebar di seluruh Jawa dan lalu lintas laut yang bisanya digunakan untuk menyampaikan pesan dihadang Inggris.[2] Daendels sendiri menyebut jalan ini dalam bahasa Prancis sebagai La Grande Route.[3] Jalan ini juga disebut sebagai Jalan Anyer Panarukan karena jalan ini dimulai dari Anyer di Banten dan berakhir pada Panarukan di Jawa Timur.[4]

Latar belakang

[sunting | sunting sumber]
Potret Herman Willem Daendels dengan tangan kirinya menunjuk pada peta pembangunan jalan. Lukisan 1838 karya Raden Saleh.

Pada 28 Januari 1807, Daendels diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda oleh Louis Bonaparte, adik Napoleon Bonaparte yang diangkat menjadi raja di Belanda semasa Peperangan Napoleon.[5] Louis memberi dua tugas utama kepada Daendels, yaitu mempertahankan Jawa dari serbuan Inggris dan membenahi sistem administrasi Hindia Belanda.[6] Instruksi yang serupa juga diterimanya dari Napoleon Bonaparte saat bertemu di Paris, sesaat sebelum pergi ke Jawa.[2]

Pilihan Daendels untuk membangun jalan raya di Jawa mungkin diinspirasi oleh cursus publicus, sistem jalan pos Romawi Kuno yang menghubungkan Roma dengan kota-kota yang ditaklukkannya.[7][8] Dengan begitu, Daendels berkeinginan untuk menerapkan konsep yang sama dengan menghubungkan Batavia dengan daerah-daerah di Jawa melalui Jalan Raya Pos.[9]

Sumber lainnya mengatakan bahwa idenya untuk membangun sebuah jalan raya mungkin dipengaruhi oleh perjalanannya menuju Jawa. Saat itu, Inggris menguasai lautan dan menghadang Prancis untuk mengakses lautan sehingga memaksa Daendels harus melalui daratan Prancis terlebih dahulu dengan jalan raya yang dibuat oleh Napoleon.[3] Setelah kedatangannya, ia juga melakukan perjalanan ke Jawa yang merepotkan dan memakan banyak waktu. Oleh karena itu, Daendels memerintahkan pembangunan jalan raya, yang selesai dalam setahun.[3] Daendels tiba di Anyer, Banten pada 5 Januari 1808. Sembilan hari kemudian, ia resmi menggantikan Gubernur Jenderal Albertus Henricus Wiese (memerintah 1805–1808 M).[10]

Pembangunan

[sunting | sunting sumber]
Daendels membangun Jalan Raya Pos di atas Jawa. Sebuah ilustrasi anonim ca 1910

Pada 29 April 1808, agar lebih mengetahui permasalahan di Jawa lebih lanjut, Daendels melakukan perjalanan dari ke Semarang dan ujung timur Jawa. Setibanya di Semarang pada 5 Mei 1808, ia mengeluarkan perintah (besluit) untuk membangun Jalan Raya Pos. Karena keterbatasan biaya, Daendels hanya meratakan jalan dari Batavia ke Buitenzorg (kini Bogor) via Meester Cornelis dan membangun petak jalan di Preanger. Sisanya, yaitu jalan dari Cirebon hingga Surabaya dikerjakan oleh para bupati di daerahnya masing-masing.[11] Ia tidak membangun jalan ini dari nol, tetapi dimulai dari memperbaiki dan menghubungkan jalan-jalan yang telah ada sebelumnya. Ini memungkinkan ia dapat mewujudkan kemudahan pengangkutan hasil pertanian dan pengerahan pasukannya dengan cepat.[12]

Dia menegaskan bahwa jalan harus selalu buka sepanjang tahun, bahkan di musim hujan, dan untuk semua jenis kereta kuda. Dalam pembangunannya, banyak jembatan yang dibangun untuk menyeberangi aliran sungai, baik kecil maupun besar. Total panjang jalan yang dibangun mencapai sekitar 1.000 kilometer (620 mi) atau "300 jam berjalan".[13]

Jalur pertama

[sunting | sunting sumber]

Pembangunan Jalan Raya Pos pertama dimulai dari Buitenzorg ke Karangsambung[a] berdasarkan perintah Daendels pada 5 Mei 1808. Jalur ini direncanakan melalui Cisarua, Cianjur, Rajamandala, Bandung, Parakan Muncang, dan Sumedang. Secara teknis, jalur tersebut harus dibuat selebar 2 rijnlandse roeden (~7.5 meter) dan didirikan tiang di setiap 400 rijnlandse roeden (~1.5 kilometer) untuk menunjukkan jarak dan menandai batas distrik.[15] Pemerintah menyediakan anggaran sebesar 30.000 ringgit perak untuk membangun jalur ini, sementara para pekerjanya disediakan oleh Gubernur Pantai Timur Laut Jawa, Nicolaus Engelhard sebanyak 1.100 orang.[16]

Proyek ini dipimpin oleh Kolonel Zeni Balthazar Friedrich Wilhelm van Lützow dengan bantuan dari Komisi Negara dan dua insinyur militer. Van Lützow kemudian menyerahkan tanggung jawab sebagian pengerjaan, yaitu jalur Cisarua-Cianjur dan Parakan Muncang-Karangsambung, kepada dua insinyurnya. Masing-masing insinyur dibantu oleh dua bintara yang dipilihnya.[17][18] Daendels juga menetapkan jumlah pekerja dan upah yang berbeda untuk membangun jalan ini, mengingat kondisi medan yang berat yang dihadapi oleh para pekerja.[15]

Penetapan jumlah pekerja dan upah untuk jalur pertama[15]
Dari Ke Jumlah pekerja Upah

(ringgit perak)

Cisarua Cianjur 400 orang 10 per orang/bulan
Cianjur Rajamandala 150 orang 4 per orang/bulan
Rajamandala Bandung 200 orang 6 per orang/bulan
Bandung Parakan Muncang 50 orang 1 per orang/bulan
Parakan Muncang Sumedang 150 orang 5 per orang/bulan
Sumedang Karangsambung 150 orang 4 per orang/bulan

Pada 28 Maret 1809, para pekerja dari Batavia dan Preanger yang membangun jalan antara Cianjur-Sumedang diberi bantuan berupa 1.5 pon beras setiap hari dan 5 pon garam garam setiap bulan hingga jalan selesai dibangun. Sehari setelahnya, para pekerja juga diberi kapak dan peralatan lainnya. Kemudian, para pekerja yang didatangkan dari Cirebon dan daerah vorstenlanden yang membangun jalan di Sumedang akan diberi upah dua ringgit perak setiap bulan ditambah tiga gantang beras, sementara para mandor akan diberi upah tiga ringgit perak setiap bulan. Bantuan-bantuan ini merupakan kebijakan pemerintah atas beratnya medan yang harus ditembus, khususnya dalam pembuatan jembatan di jalur Cianjur ke Bandung dan pemotongan lereng gunung di jalur Parakan Muncang ke Sumedang.[19]

Jalur selanjutnya

[sunting | sunting sumber]
Jalan Raya Pos berakhir di Panarukan, sebuah kecamatan di Kabupaten Situbondo. Foto udara Panarukan pada 1949 oleh Layanan Penerbangan Angkatan Laut Hindia Belanda.

Pada Juli 1808, sehubungan dengan kosongnya kas pemerintah, Daendels bertemu dengan 38 bupati untuk memerintahkan membantu pembangunan jalan dari Cirebon ke Surabaya dengan menggunakan sistem kerja wajib (heerendiensten).[20] Dengan jalan raya yang sisanya dikerjakan oleh para bupati, Daendels tidak perlu membuat laporan rinci untuk jalan-jalan tersebut. Hasilnya, tidak ada arsip-arsip kolonial yang memuat laporan pembangunan jalannya. Satu-satunya informasi yang didapat yang melaporkan pembangunannya adalah korespondensi antara Daendels dengan Menteri Perdagangan dan Koloni Paulus van der Heim [nl].[21]

Di Jawa Tengah, jalan raya ini melewati Tegal, Pemalang, Comal, Pekalongan, Kendal, Kaliwungu, Semarang, Demak, Kudus, Pati, Rembang, dan Lasem. Sementara di Jawa Timur, jalan raya ini melewati Tuban, Sidayu, Gresik, Surabaya, Porong, Bangil, Pasuruan, Probolinggo, Kraksaan, Paiton, Besuki, dan akhirnya Panarukan.[22]

Kontroversi

[sunting | sunting sumber]

Korban jiwa dalam pembangunan

[sunting | sunting sumber]

Karena sifat pembangunan jalannya, terdapat perbedaan kepentingan politik baik di Eropa maupun di Jawa yang memunculkan versi sejarah yang berbeda-beda.[23] Gubernur Pantai Timur Laut Jawa Nicolaus Engelhard harus menyerahkan jabatannya karena Daendels membagi Pantai Timur Laut Jawa menjadi beberapa unit administrasi yang lebih kecil. Engelhard menjadi pengkritik kebijakan Daendels, menyatakan bahwa 500 pekerja meninggal dunia saat pembangunan jalan di bukit sekitar Megamendung, Jawa Barat dan menekankan bahwa angka ini tidak menghitung pekerja yang keluar atau meninggal karena terkena penyakit di sana. William Thorn, seorang tentara Inggris yang ikut serta dalam Penyerbuan Jawa pada 1811, menulis bahwa "sekitar 12.000 pekerja dikatakan telah meninggal dunia dalam membangun (jalannya), terutama karena keburukan hutan dan rawa-rawa yang dilaluinya". Nas dan Pratiwo (2002) menyatakan bahwa meskipun sangat mungkin bahwa pembangunan jalan ini menelan banyak korban jiwa, tulisan dari Thorn dan Engelhard tidak menyertakan bukti atau perhitungan dengan pasti. Mereka juga menambahkan bahwa karena adanya perselisihan antara Daendels dengan Engelhard dan juga Belanda dengan Inggris, sumber Thorn dan Engelhard perlu dianggap sebagai sumber yang kurang dapat dipercaya.[24]

Perkembangan setelah Daendels

[sunting | sunting sumber]

Seiring berjalannya waktu, Jalan Raya Pos menjadi daerah perkotaan yang sambung-menyambung dan menggantikan peran sungai-sungai besar yang awalnya menjadi jalur utama perekonomian yang membentang dari utara ke selatan, menghubungkan daerah pesisir dengan daerah pedalaman, menjadi dari barat ke timur melalui jalur darat sepanjang pesisir utara Pulau Jawa. Jalan ini juga mengubah tata kota tradisional Jawa yang sebelumnya menghadap ke sungai atau pegunungan.[25]

Pada awalnya, penggunanan jalan ini hanya digunakan untuk kebutuhan pos dan militer. Selain itu, jalan ini juga tidak boleh dilewati oleh kendaraan milik orang Jawa yang harus menggunakan jalur khusus gerobak yang berada di sisi jalan. Jalan Raya Pos hanya dapat dilewati oleh kereta kuda Belanda yang dilengkapi oleh kusir dan kenek.[25]

Dalam budaya populer

[sunting | sunting sumber]

Film dokumenter De Groote Postweg, disutradarai dan ditulis oleh Bernie IJdis, dirilis pada 1996. Film ini menceritakan tentang sejarah dan dampak modern dari Jalan Raya Pos. Pramoedya Ananta Toer, yang juga diceritakan kisah hidupnya semasa Orde Baru, mengisi narasi untuk film ini.[26]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]

Catatan

  1. ^ Kini bagian dari Kecamatan Tomo di Kabupaten Sumedang.[14]

Kutipan

  1. ^ Hidayat dkk. 2015, hlm. 5.
  2. ^ Lompat ke: a b Tim Ekspedisi Kompas Anjer-Panaroekan 2008, hlm. 26-27.
  3. ^ Lompat ke: a b c Nas & Pratiwo 2002, hlm. 709.
  4. ^ Hidayat dkk. 2015, hlm. 3-5.
  5. ^ Tim Ekspedisi Kompas Anjer-Panaroekan 2008, hlm. 16.
  6. ^ Hidayat dkk. 2015, hlm. 28.
  7. ^ Hidayat dkk. 2015, hlm. 4.
  8. ^ Tim Ekspedisi Kompas Anjer-Panaroekan 2008, hlm. 5.
  9. ^ Hartatik 2018, hlm. 34.
  10. ^ Tim Ekspedisi Kompas Anjer-Panaroekan 2008, hlm. 4.
  11. ^ Tim Ekspedisi Kompas Anjer-Panaroekan 2008, hlm. 19.
  12. ^ Hartatik 2018, hlm. 51-52.
  13. ^ Ravesteijn & Nispen 2007, hlm. 284.
  14. ^ Santosa, Iwan (27 November 2020). "Petualangan di Jalan Raya Pos Tahun 1852". Kompas.id. Diakses tanggal 22 September 2023. Selepas ruas tersebut, perjalanan berlanjut ke Karang Sambung yang sekarang bagian dari Kecamatan Tomo, Kabupaten Sumedang, terdapat 12 Stasiun Pos sampai ke Kota Tegal. 
  15. ^ Lompat ke: a b c Tim Ekspedisi Kompas Anjer-Panaroekan 2008, hlm. 6-7.
  16. ^ Hidayat dkk. 2015, hlm. 13.
  17. ^ Tim Ekspedisi Kompas Anjer-Panaroekan 2008, hlm. 22.
  18. ^ Hidayat dkk. 2015, hlm. 27.
  19. ^ Tim Ekspedisi Kompas Anjer-Panaroekan 2008, hlm. 23.
  20. ^ Marihandono 2008, hlm. 70.
  21. ^ Tim Ekspedisi Kompas Anjer-Panaroekan 2008, hlm. 25-26.
  22. ^ Hidayat dkk. 2015, hlm. 6.
  23. ^ Tim Ekspedisi Kompas Anjer-Panaroekan 2008, hlm. 35.
  24. ^ Nas & Pratiwo 2002, hlm. 710.
  25. ^ Lompat ke: a b Carey 2022, hlm. 39-40.
  26. ^ Nas & Pratiwo 2002, hlm. 716-717.

Daftar pustaka

Bacaan lebih lanjut

[sunting | sunting sumber]