Kesultanan Gorontalo
Kesultanan Gorontalo هولونتالو Pohala'a Hulontalo Kerajaan Gorontalo | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1385–1878 | |||||||||
Lukisan Kawasan Benteng dan Istana Kesultanan Gorontalo tahun 1821. Kawasan Kesultanan ini dibangun oleh Sultan Botutihe tahun 1738 | |||||||||
Wilayah kekuasaan dan pengaruh Kesultanan Gorontalo yang meluas hingga ke tomini-bocht di Sausu dan Teluk Tomini tahun 1821 | |||||||||
Ibu kota | Biawu | ||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Bahasa Gorontalo | ||||||||
Agama | Sunni Islam | ||||||||
Pemerintahan | Monarki Konstitusional | ||||||||
Raja/Sultan | |||||||||
• 1300 - 1385 | Humalanggi | ||||||||
• 1523 - 1550 | Sultan Amai "Ta Olongia Lopo Isilamu" | ||||||||
• 1859 - 1878 | Sultan Zainal Abidin Monoarfa | ||||||||
Sejarah | |||||||||
• Didirikan | 1385 | ||||||||
• Wilayah Jajahan Hindia Belanda | 1878 | ||||||||
| |||||||||
Kesultanan Gorontalo yang mulanya disebut juga sebagai Kerajaan Hulontalo (Bahasa Gorontalo: Pohala'a Hulontalo) merupakan salah satu Kerajaan tertua di Semenanjung Utara Pulau Sulawesi, dan paling berpengaruh di seantero Kawasan Teluk Tomini, Indonesia.[1]
Kerajaan ini terletak di bagian tengah dari lengan utara pulau Sulawesi, dan diapit oleh dua perairan strategis yaitu Teluk Gorontalo di Selatan dan Laut Sulawesi di Utara.
Pada masa kejayaannya, Kesultanan Gorontalo menjadi pusat penyebaran islam dan pusat perdagangan paling berpengaruh dengan luas wilayah Kesultanan meliputi jazirah Gorontalo hingga ke wilayah Teluk Tomini (Teluk Gorontalo), sampai ke ujung Sausu, Parigi Moutong di Tomini-Bocht (tikungan Tomini), hingga beberapa wilayah di utara dan tengah pulau Sulawesi.[2]
Kerajaan Gorontalo kemudian berubah menjadi Kerajaan Islam pada masa Pemerintahan Raja Amai yang kemudian berganti menjadi Sultan. Sultan Amai yang bergelar Ta Olongia Lopo Isilamu (Raja yang mengislamkan Negeri) merupakan Olongia atau Raja pertama dari Kerajaan Gorontalo yang menganut agama islam.
Ilomata Wopato
[sunting | sunting sumber]Dalam catatan manuskrip sejarah kerajaan-kerajaan di Gorontalo, terapat empat era atau zaman keemasan dari peradaban masyarakat Gorontalo yang dikenal dengan istilah "Ilomata Wopato".
Ilomata Wopato secara harfiah berarti empat karya agung (wopato berarti empat dan ilomata berarti maha karya). Pada empat era tersebut, Kerajaan Gorontalo dipimpin oleh Raja yang arif dan bijaksana hingga akhirnya Kerajaaan berubah menjadi Kesultanan yang berlandaskan ajaran agama Islam. Pada era tersebut, tata kelola pemerintahan hingga kehidupan bermasyarakat diatur sedemikian rupa sehingga rakyat menjadi makmur dan sejahtera.
Ilomata Wopato berada pada empat era dengan rentang waktu sekitar abad ke-14 pada kepemimpinan Raja Ilahudu, abad ke-15 pada kepemimpinan Sultan Amai, abad ke-17 pada kepemimpinan Sultan Eato, dan abad ke-18 pada kepemimpinan Sultan Botutihe.
-
Raja Ilahudu (1385–1427)
-
Sultan Amai (1523–1550)
-
Sultan Eato (1646–1674)
-
Sultan Botutihe (1737–1757)
Bagian dari seri mengenai |
---|
Sejarah Indonesia |
Garis waktu |
Portal Indonesia |
Ibukota Kesultanan
[sunting | sunting sumber]Kedudukan ibukota Kesultanan Gorontalo mulanya berada di Desa Hulawa, Kecamatan Telaga sekarang, tepatnya di pinggiran sungai Bolango. Kemudian pada tahun 1024 H, ibukota Kesultanan Gorontalo dipindahkan ke Kelurahan Tuladenggi, Kecamatan Dungingi.[3] Lokasi ibukota Kesultanan Gorontalo yang terakhir terletak di Kelurahan Biawu, Kecamatan Kota Selatan, Kota Gorontalo.[4]
Struktur Pemerintahan Kesultanan
[sunting | sunting sumber]Adapun struktur pemerintahan Kesultanan Gorontalo terdiri atas tiga lembaga yang disebut "Buatulo Towulongo" yang dimaknai sebagai 3 serangkai adat yang menyatu. Buatulo Towulongo terdiri dari:
- Buatulo Bubato, Lembaga Pemerintahan
- Buatulo Sara'a, Lembaga Keagamaan
- Buatulo Bala, Lembaga Pertahanan dan Keamanan
Masing-masing perwakilan Buatulo tersebut akan dipilih secara musyawarah dan mufakat oleh Buatulo Bantayo yang dikepalai oleh seorang Bate. Selain itu, Buatulo Bantayo juga bertugas menciptakan peraturan-peraturan adat dan garis-garis besar tujuan kerajaan/kesultanan.
Batas Wilayah Kesultanan
[sunting | sunting sumber]Kesultanan Gorontalo memiliki wilayah kedaulatan yang berbatasan dengan Kerajaan Limboto, Kerajaan Suwawa, dan Kerajaan Bolango.
Meskipun begitu, pengaruh dan wilayah kekuasaan Kerajaan ini meluas hingga melintasi batas-batas Kerajaan tersebut, bahkan hingga ke wilayah perairan Teluk Tomini (Teluk Gorontalo) sampi ke Sausu, Parigi Moutong di Tomini-Bocht.[5]
Adapun wilayah Kerajaan Gorontalo saat ini kini berada di dalam wilayah Kota Gorontalo, serta sebagian kecil berada di wilayah Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo.
Terbentuknya Kerajaan Gorontalo
[sunting | sunting sumber]Menurut manuskrip sejarah Gorontalo, cikal bakal Kerajaan Gorontalo bermula pertama kali dari sebuah Kerajaan Kecil (Linula) bernama Kerajaan Hulontalangi yang diperkirakan telah berdiri sejak tahun 1300. Dalam catatan R. Tacco (1956), saat itu Kerajaan Hulontalangi telah dipimpin oleh Raja Humalanggi. Di kemudian hari, Raja Humalanggi memiliki seorang anak bernama Ilahudu yang kemudian merangkul dan mempersatukan 17 Kerajaan kecil di lereng atau kaki gunung.[6] 17 Kerajaan-Kerajaan inilah yang kemudian membentuk Kerajaan Gorontalo yang pengaruhnya menjadi lebih besar dan meluas di beberapa wilayah di Teluk Tomini (Teluk Gorontalo).
Selain itu, Kerajaan Gorontalo sejak dahulu telah mengenal kedudukan Raja Perempuan atau Ratu sebagai pemimpin Kerajaan. Hal ini menunjukkan bahwa sejak zaman dahulu, masyarakat Gorontalo telah mengenal kesetaraan kedudukan antara laki-laki dan perempuan di dalam lingkungan Kerajaan.
Daftar Perserikatan Kerajaan Gorontalo
Adapun Perserikatan 17 Kerajaan Kecil (Linula) yang menjadi cikal bakal terbentuknya Kerajaan Gorontalo adalah sebagai berikut:
- Kerajaan Hunginaa, Rajanya: Lihawa
- Kerajaan Lupoyo, Rajanya: Pai
- Kerajaan Bilinggata, Rajanya: Lou
- Kerajaan Wuwabu, Rajanya: Wahumolongo
- Kerajaan Biawu, Rajanya: Wolango Huladu
- Kerajaan Padengo, Rajanya: Palanggo
- Kerajaan Huwangobotu Olowala, Rajanya: Dawanggi
- Kerajaan Tapa, Rajanya: Deyilohiyo Daa
- Kerajaan Lauwonu, Rajanya: Bongohulawa (Perempuan)
- Kerajaan Toto, Rajanya: Tilopalani (Perempuan)
- Kerajaan Dumati, Rajanya: Buata
- Kerajaan Ilotidea, Rajanya: Tamau
- Kerajaan Pantungo, Rajanya: Ngobuto
- Kerajaan Panggulo, Rajanya: Hungiyelo
- Kerajaan Huangobotu Oloyihi, Rajanya: Lealini
- Kerajaan Tamboo, Rajanya: Dayilombuto (Perempuan)
- Kerajaan Hulontalangi, Rajanya: Ilahudu
Kedatangan Islam
[sunting | sunting sumber]Kesultanan Gorontalo merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam di Indonesia Timur, selain Kesultanan Ternate, Kesultanan Gowa dan Kesultanan Bone.[7] Penyebaran agama Islam di Gorontalo diperkirakan bermula sejak abad ke-16 (antara tahun 1501-1600), ditandai dengan Islamnya salah satu Raja Gorontalo yang bernama Amai. Raja Amai kemudian mengganti sebutan raja menjadi sultan, sehingga namanya dikenang luas sebagai Sultan Amai dari Kesultanan Gorontalo.
Salah satu referensi masuknya Islam di Gorontalo berasal dari penjelasan Profesor Ibrahim Polontalo, dimana perkawinan antara Olongia Amai atau Raja Amai dengan Puteri Owutango dari Kerajaan Palasa.[8] Agama Islam yang dianut oleh Kerajaan Palasa Ogomonjolo (Kumonjolo) berasal dari hubungan pertalian darah kerajaan tersebut dengan para Raja dari Kesultanan Ternate.[9] Dalam perkawinan tersebut, Raja Amai dan para pengikutnya dipersyaratkan untuk memeluk Islam dan Al-Quran sebagai sumber utama tatanan kehidupan dan adat istiadat masyarakat Gorontalo.[10]
Setelah lamaran diterima, maka Raja Amai yang kemudian bergelar Sultan Amai kembali ke Gorontalo bersama istrinya Putri Owutango, serta didampingi 8 Raja-Raja kecil (Olongia Walu Lontho Otolopa) yaitu Raja Tamalate, Raja Lemboo, Raja Siyendeng, Raja Hulangato, Raja Siduan, Raja Sipayo, Raja Soginti dan Raja Bunuyo.[11] Para Raja ini yang di kemudian hari membantu Sultan Amai dalam membimbing dan merancang adat istiadat yang berpedomankan pada agama Islam.
Sejarah Nama Kerajaan
[sunting | sunting sumber]Pada era kolonial Belanda, Kerajaan Gorontalo sendiri memiliki banyak nama yang disebutkan dalam berbagai literatur sejarah, termasuk dalam surat-menyurat antara Belanda dan para Raja Gorontalo saat itu. Nama lain dari Kerajaan Gorontalo yang banyak ditemukan dalam berbagai sumber referensi ilmiah dan media cetak sejak tahun 1800-an di antaranya adalah Goenong-Talo,[12] Goenong-Tello,[13] dan Holontalo.[14]
Dalam catatan sejarah, asal usul nama Gorontalo sendiri memiliki banyak versi. Namun asal usul nama Gorontalo yang paling sesuai dengan fakta sejarah adalah berasal dari kata Huidu Totolu (Tiga Gunung), yang kemudian oleh berbagai literatur era kolonial diserap menjadi Goenong-Talo atau Goenong-Tello. Penjelasan sejarah ini ditegaskan secara lugas oleh Profesor Jusuf Sjarif Badudu dalam Buku Morfologi Bahasa Gorontalo pada tahun 1982.[15]
Dalam bukunya tersebut, Prof. Badudu menjelaskan bahwa Tiga Gunung yang menjadi asal usul nama Gorontalo merujuk pada Gunung Tilonggabila (kini disebut Gunung Tilongkabila), Gunung Malenggalila, dan Gunung ketiga yang tidak bernama. Tiga gunung inilah yang kemudian dalam bahasa Gorontalo disebut sebagai Huidu Totolu yang kemudian diserap menjadi Hulonthalo atau Goenong-Talo, hingga akhirnya dikenal sebagai Gorontalo seperti sekarang ini.
Daftar Olongia (Raja) dan Tulutani (Sultan)
[sunting | sunting sumber]No | Olongia | Tahun |
---|---|---|
1 | Ilahudu | 1385–1427 |
2 | Uloli | 1427–1450 |
3 | Walango | 1450–1481 |
4 | Polamolo | 1481–1490 |
5 | Ntihedu | 1490–1503 |
6 | Detu | 1503–1523 |
Olongiya to Tilayo
No | Olongia/Tulutani | Tahun |
---|---|---|
1 | Amay | 1523–1550 |
2 | Matolodula Kiki | 1550–1585 |
3 | Pongoliwa Daa | 1585–1615 |
4 | Moliye | 1615–1646 |
5 | Eato (Eyato) | 1646–1674 |
6 | Polamolo II Tomito | 1674–1686 |
7 | Lepehulawa | 1686–1735 |
8 | Nuwa | 1735–1764 |
9 | Walango | 1767–1798 |
10 | Bia (Bea/Biya) | 1798–1809 |
11 | Tapu | 1809 |
12 | Haidari | 1809–1828 |
13 | Walangadi | 1828–1835 |
14 | Wadipalapa | 1836–1847 |
15 | Panjuroro | 1847–1851 |
Olongia to Huliyaliyo
No | Olongia/Tulutani | Tahun |
---|---|---|
1 | Podungge | 1530–1560 |
2 | Tuliabu | 1560–1578 |
3 | Wulutileni | 1578–1611 |
4 | Mboheleo | 1611–1632 |
5 | Bumulo | 1632–1647 |
6 | Tiduhula | 1647–1677 |
7 | Bia | 1677–1703 |
8 | Walangadi | 1703–1718 |
9 | Piola | 1718–1737 |
10 | Botutihe | 1737–1757 |
11 | Iskandar Monoarfa | 1757–1777 |
12 | Unonongo | 1780–1782 |
13 | Pongoliwu Mbuinga Daa | 1782–1795 |
14 | Mbuinga Kiki Monoarfa | 1795–1818 |
15 | Muh. Iskandar Pui Monoarfa | 1818–1829 |
16 | Lihawa Monoarfa | 1829–1830 |
17 | Abdul Babiyonggo | 1830–1831 |
18 | Bumulo | 1831–1836 |
19 | Hasan Pui Monoarfa | 1836–1851 |
20 | Abdullah (Mbuinga) Pui Monoarfa | 1851–1859 |
21 | Zainal Abidin Monoarfa | 1859–1878 |
Lihat Pula
[sunting | sunting sumber]- Kesultanan Limboto
- Kesultanan Bolango
- Suku Gorontalo
- Masakan Gorontalo
- Marga Gorontalo
- Bahasa Gorontalo
- Bahasa Melayu Gorontalo
Daftar Pustaka Rujukan
[sunting | sunting sumber]- Rosenberg, C. B. H. (1865). Reistogten in de afdeeling Gorontalo: gedaan op last der Nederlandsch Indische regering (Vol. 10). F. Muller.
- Riedel, J. G. F. (1870). De landschappen Holontalo, Limoeto, Bone, Boalemo en Kattinggola, of Andagile: Geographische, statistische, historische en ethnographische aanteekeningen.
- Riedel, J. G. F., & Behrnauer, W. F. A. (1871). Die Landsehaften Holontalo, Limoeto, Bone, Boalemo und Kattinggola oder Andagile mit geographischen, statistischen, geschichtlichen und ethnographischen Anmerkungen (Schluss). Zeitschrift für Ethnologie, 3, 397-408.
- Herbig, G. (1896). Aktionsart und Zeitstufe. Indogermanische Forschungen, 6, 157.
- Riedel, J. G. F. (1904). Aus der Holontalo-und der Tominisprache. In Volksdichtung aus Indonesien (pp. 318-340). Springer, Dordrecht.
- Rohlfs, G. (1871). Henry Noel von Bagermi. Zeitschrift für Ethnologie, 3, 253-255.
- Riedel, J. G. F. (1885). De oorsprong en de vestiging der Boalemoërs op Noord-Selebes. Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 34, 495-521.
- Schröder, E. E. W. G. (1908). Gorontalosche woordenlijst. M. Nijhoff.
- Nur, S. R. (1979). Beberapa aspek hukum adat tatanegara kerajaan Gorontalo pada masa pemerintahan Eato (1673-1679). Universitas Hasanuddin (UNHAS).
- Haga, B. J. (1981). Lima Pahalaa: susunan masyarakat, hukum adat, dan kebijaksanaan pemerintahan di Gorontalo. Djambatan.
- Amin, B. (2012). Islam, Budaya dan Lokalitas Gorontalo. Dalam Jurnal Sejarah dan Budaya (KURE). Manado. Balai Pelestarian Nilai Budaya Manado.
- Apriyanto, J. (2001). Konflik Gorontalo-Hindia Belanda periode 1856-1942 (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).
- Damis, M. (2016). Ikrar U Duluwo Limo Lo Pahalaa: Bentuk Kesadaran Etnis Gorontalo Era Prakolonial. HOLISTIK, Journal Of Social and Culture.
- Baruadi, M. K. (2013). Sendi Adat dan Eksistensi Sastra: Pengaruh Islam dalam Nuansa Budaya Lokal Gorontalo. EL HARAKAH (TERAKREDITASI), 14(2), 293-311.
- Ismail, L. (2017). Pelayaran Tradisional Gorontalo Abad XIX. Skripsi, 1(231411068).
- Sirajuddin, S. (2018). Peran Para Sultan dalam Penyebaran Islam di Gorontalo. Al-Qalam, 14(1), 57-74.
- Hunowu, R. P. S. (2019). Kajian Bentuk Visual Dan Analisis Ornamen Pada Masjid Hunto Sultan Amay Gorontalo (Doctoral dissertation, Universitas Komputer Indonesia).
- Amin, B. (2017). Lokalitas Islam Gorontalo. Suyatno Ladiqi, Ismail Suardi Wekke, Cahyo Seftyono, 1.
- Hasanuddin, H. Pelayaran Niaga, Bajak Laut, Perkampungan Pedagang di Gorontalo. Walasuji, 9(2), 261-275.
- Adiatmono, F. (2017). The Weapons Kingdom of Gorontalo (Form, Symbols, and History). International Journal of European Studies, 1(1), 7.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Juwono, H. and Hutagalung, Y., 2005. Limo lo pohalaa: sejarah Kerajaan Gorontalo. Ombak.
- ^ Reinwardt, C.G.C., 1858. Reis naar het oostelijk gedeelte van den Indischen Archipel in het jaar 1821. Uit zijne nagelaten aanteekeningen opgestelt met een levensberigt en bijlagen vermeerderd door WH de Vriese. Muller.
- ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-11-12. Diakses tanggal 2019-11-12.
- ^ https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbgorontalo/sejarah-gorontalo_indonesia/
- ^ Reinwardt, C.G.C., 1858. Reis naar het oostelijk gedeelte van den Indischen Archipel in het jaar 1821. Uit zijne nagelaten aanteekeningen opgestelt met een levensberigt en bijlagen vermeerderd door WH de Vriese. Muller.
- ^ Sirajuddin, S. (2018). Peran para Sultan dalam Penyebaran Islam di Gorontalo. Al-Qalam, 14(1), 57-74.
- ^ Maili, M., & Suryani, W. (2018). Jaringan Islamisasi Gorontalo.(Fenomena Keagamaan dan Perkembangan Islam di Gorontalo). Al-Ulum, 18, 435-458.
- ^ Polontalo, Ibrahim. 1968. Peranan Tidi Lopolopalo Gorontalo dalam Pembinaan Kepribadian Suku Gorontalo, (Menado: FKPS-IKIP).
- ^ Richard Tacco. 1935. Het Volk Van Gorontalo: Historich Traditioneel Maatschappelijk Cultural Sociaal Karakteristiek…, hlm. 26.
- ^ Amin, B. (2012). Islam, Budaya dan Lokalitas Gorontalo. Dalam Jurnal Sejarah dan Budaya (KURE). Manado. Balai Pelestarian Nilai Budaya Manado.
- ^ Amin, B. (2017). Lokalitas Islam Gorontalo. Suyatno Ladiqi, Ismail Suardi Wekke, Cahyo Seftyono, 1.
- ^ Jacobus Noorduyn. 1843. Aardrijkskundig Woordenboek der Nederlanden: E - G. Volume 4.
- ^ Zoological Society of London. 1874. Transactions of the Zoological Society of London. Volume 8.
- ^ Johan Gerard Friedrich Riedel. 1870. De Landschappen Holontalo, Limoeto, Bone, Boalemo en Kattinggola of Andagile, Geographische, Statistische, Historische en Ethnographische Aanteekeningen
- ^ J.S. Badudu. 1982. Morfologi Bahasa Gorontalo. Djambatan