Lompat ke isi

Pax Nederlandica

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pax Nederlandica[1][2] adalah politik kolonial Belanda di Nusantara[2] dengan upaya menyatukan wilayah-wilayahnya melalui perjanjian dan pendekatan militer.[3][4] Pax Nederlandica menunjukkan bahwa Belanda mengalami perubahan orientasi politik yang awalnya hanya melakukan monopoli perdagangan dan membatasi jalur perdagangan, kemudian menjadi negara berpaham kolonialisme dan imperialisme yang melakukan politik ekspansi.

Latar belakang

[sunting | sunting sumber]

Belanda menggagas Pax Nederlandica karena kekhawatiran terhadap negara-negara Barat lain akan datang ke wilayah Nusantara dan berniat menguasainya, dan juga Terusan Suez yang telah dibuka membuat jalur pelayaran antara Eropa dan Asia menjadi lebih singkat sehingga Belanda menginginkan untuk melaksanakan Politik Pasifikasi sesegera mungkin untuk menguasai daerah di Nusantara.[3]

Pax Nederlandica juga digagas untuk mengubah sistem administrasi tradisional menjadi sistem administrasi modern, yaitu dengan mengubah sistem pemimpin pribumi ke sistem birokrasi kolonial. Sehingga Belanda dapat ambil posisi penting dari pemimpin daerah dan menjadikan para pemimpin pribumi terlepas dari hubungan tradisional dengan rakyatnya lalu menjadikannya sebagai pegawai di dalam birokrasi kolonial.[4]

Pelaksanaan

[sunting | sunting sumber]

Politik Pasifikasi

[sunting | sunting sumber]

Politik Pasifikasi adalah kegiatan ekspansi militer Belanda untuk menguasai daerah-daerah yang belum dikuasai oleh Belanda, kegiatan Politik Pasifikasi mengakibatkan terjadinya beberapa peperangan di berbagai wilayah Nusantara, salah satunya yaitu Perang Aceh.[5][6]

Perjanjian

[sunting | sunting sumber]

Belanda melakukan sejumlah perjanjian untuk dapat menguasai beberapa wilayah di Nusantara, yaitu Kongres Wina (1815) dan Konvensi London (1814) untuk mengembalikan beberapa wilayah dari negara-negara Eropa sebelum invasi Napoleon Bonaparte, Traktat London (1824) bersangkutan dengan Sumatra dan Bengkulu, Traktat Sumatra (1871) bersangkutan dengan Aceh dan Gayo-Alas,[5] perjanjian antara Inggris dan Belanda yang berkaitan dengan Irian Barat (1828), dan perjanjian antara Portugis dengan Belanda yang berkaitan dengan perbatasan antara Timor Barat dan Timor Timur (1904).

Pax Nederlandica melalui proses Politik Pasifikasi selama abad ke-19 Masehi berdampak pada hilangnya kedaulatan kerajaan-kerajaan yang ada di wilayah Nusantara karena dikuasai oleh Belanda. Belanda dengan sejumlah kerajaan di Nusantara terikat oleh Perjanjian Panjang (Lange Veklaring), salah satunya Kesultanan Bima[7] dan Perjanjian Pendek (Korte Veklaring), salah satunya Negeri Langsa.[6] Berdasarkan perjanjian tersebut, Gubernur Jenderal Hindia Belanda memiliki kekuasaan untuk mengarahkan serta mengawasi kegiatan sejumlah kerajaan di Nusantara yang terikat perjanjian, hingga membuat wilayah kerajaan yang terikat perjanjian menjadi bagian dari kekuasaan pemerintah Belanda serta terjadinya perubahan pada struktur kelembagaan kerajaan yang membuat pemerintahan Belanda memiliki hak untuk mengambil keputusan dalam kerajaan.

Pax Nederlandica juga memberikan dampak yang bermanfaat pada infrastruktur transportasi, pemerintah Belanda membangun jalan dan jalur kereta api sehingga memudahkan mobilisasi serta pergerakan pasukan untuk menghadapi perlawanan-perlawanan rakyat pada abad ke-19. Di daerah Aceh, Belanda membangun jalur kereta api dari Kotaraja ke Oeluelue pada 1876 untuk transportasi peralatan perang.[6] Di daerah Sumatera Barat dan Sumatera Utara pemerintah Belanda juga membangun sarana transportasi untuk menaklukkan perlawanan rakyat.

Pax Nederlandica juga memberikan dampak pada migrasi penduduk serta pencampuran budaya, karena tentara yang direkrut Belanda berasal dari berbagai daerah di Nusantara. Para tentara tersebut kemudian bermukim di wilayah tempat tugasnya dan menikah dengan warga setempat sehingga terjadi amalgamasi.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Zubaedah, Aminatun; Edi; Lay; Fatimah dkk. (2018). The Politics of Welfare: Contested Welfare Regimes in Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm. 28. ISBN 978-602-433-608-0. 
  2. ^ a b Boomgaard, Peter (2003). "Smallpox, vaccination, and the Pax Neerlandica, Indonesia, 1550-1930". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 159 (4): 591. doi:10.1163/22134379-90003743. 
  3. ^ a b Mustopo, M. Habib; Hermawan; Waluyo; Suprijono; Sugiharti (November 2007). Sejarah: Untuk kelas 2 SMA. Jakarta: Yudhistira. hlm. 117. ISBN 979-676-707-4. 
  4. ^ a b Putri, Arum Sutrisni (6 Maret 2020). Putri, Arum Sutrisni, ed. "Politik Etis: Pengertian, Latar Belakang, Tokoh dan Tujuan". Kompas.com. Diakses tanggal 23 Maret 2020. 
  5. ^ a b Amal, Taufik Adnan; Panggabean, Samsu Rizal (Desember 2004). Politik Syariat Islam: dari Indonesia hingga Nigeria. Jakarta: Pustaka Alvabet. hlm. 17. ISBN 979-3064-07-2. 
  6. ^ a b c Muhajir, Ahmad (2018). "Langkah Politik Belanda di Aceh Timur: Memahami Sisi Lain Sejarah Perang Aceh, 1873-1912". MUKADIMAH. 1 (2): 161–171. doi:10.30743/mkd.v1i2.515. 
  7. ^ Sukarddin, Sukarddin; Musaded, Akhamad Ari; Ediyono, Suryo (2018). "War of Ngali Toward Dutch Colonialism in Bima". International Journal of Multicultural and Multireligious Understanding. 5 (4): 130. doi:10.18415/ijmmu.v5i4.216.