Polisi global

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Polisi global adalah istilah informal untuk sebuah negara yang berusaha mencari atau mengklaim kekuasaan tertinggi dalam dunia global. Istilah polisi global pertama kali digunakan oleh Kerajaan Inggris, dan digunakan sejak tahun 1945 oleh Amerika Serikat, negara yang paling berpengaruh di antara empat negara yang menjadi pemenang dalam Perang Dunia II.[1][2]

Dalam beberapa tahun terakhir telah ada spekulasi bahwa Tiongkok dapat mengambil alih peran[3] sebagai polisi global, dengan usaha yang telah dilakukannya untuk melindungi jalur pelayaran dan para pekerja luar negeri mereka yang ada di Tiongkok, serta upaya mereka 'menyelinap ke dalam persekutuan negara-negara adidaya'. Pihak Barat, berdasarkan surat kabar Financial Times menyatakan bahwa hal ini harus dilihat sebagai suatu peluang, bukan sebagai suatu ancaman.

Dalam hukum Internasional[sunting | sunting sumber]

Tidak ada pengakuan formal mengenai adanya posisi sebagai polisi global. Secara teoretis, dalam hukum internasional, semua negara adalah sama menurut prinsip yang berlaku: 'par in parem non habet imperium', atau tidak ada kewenangan di antara kedudukan yang sama. Namun dalam kenyataannya, hukum internasional mengalami desentralisasi, tidak terpengaruh atas peraturan yang efektif, menentang hal yang sah dalam hukum untuk melakukan berbagai pelanggaran, hukum internasional menjadi tidak jelas, dan sering diselewengkan. Negara-negara polisi global adalah 'negara-negara yang abadi' dan tidak bisa didakwa.[4]

Perbandingan dengan perpolisian negara[sunting | sunting sumber]

Di dalam negara, hukum terkendali dan kekuasaan terbatasi; namun antar negara, hal yang terjadi ialah hal yang sebaliknya.[5]

Prinsip Peelian dari perpolisian meliputi tugas: mencegah kejahatan; menjaga perdamaian; menegakkan hukum, disertai dengan persetujuan masyarakat, dan menggunakan kekuatan serta pemenjaran yang minimal, bertindak secara tidak memihak, dan tugas yang dilakukannya bukan untuk merebut kekuasaan kehakiman.[6] Pada standar tugas yang terakhir dibutuhkan penerapan asas praduga tak bersalah. Para kandidat dalam rekrutmen serta promosi jabatan polisi diangkat berdasarkan prestasi, sedangkan jabatan 'polisi global' dilakukan melaui pengangkatan oleh diri sendiri atau faute de mieux.

Di dalam negara, memonopoli kehebatan merupakan norma yang dipegang oleh polisi, misalnya pihak polisi mempunyai hak untuk membawa senjata. Namun dalam kasus antarnegara, hanya ada beberapa negara yang dapat melakukan 'monopoli kehebatan' tersebut secara internasional (Amerika Serikat adalah pengecualian, sehingga mendorong Charles Lane untuk mempertanyakan keabsahan hal tersebut apakah benar dilakukan oleh pihak negara[7]). 'Polisi global', di lain pihak, merupakan negara bersenjata berat di antara 200 negara lainnya.

Dalam perundingan mengenai peran 'kepolisian global' untuk setiap kepentingan pribadi masing-masing negara, negara yang diekspansi oleh 'polisi global' menyiratkan bahwa ada konflik kepentingan yang terlibat di dalam peran tersebut. Negara polisi global membekali perang dengan kekuatan maksimum; terlibat dalam penjualan senjata; dan membentuk aliansi, yang oleh sebab itu kurang memiliki ketidakberpihakan.[8]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Pada tahun yang relatif damai pada 1815-1914 yang dikenal sebagai Pax Britannica, Inggris melakukan upaya untuk mengendalikan perdagangan budak melalui Skuadron Afrika Barat.[9] Pada tahun 1827, Inggris bersama dengan Prancis dan Rusia turut campur dalam kemerdekaan yunani dengan menghancurkan armada Turki pada Pertempuran Navarino. Pada tahun 1854, Inggris bersama dengan Prancis mencegah Rusia menghancurkan kekaisaran Ottoman. Rusia harus menarik diri dari Moldavia dan Wallachia, sementara Sebastopol telah terkepung dalam perang Krimea.

Pada tahun 1914-1945 tidak ada negara yang lebih berkuasa. Di era multipolaritas dan tersebarnya tanggung jawab, diktator fasis muncul dan Eropa tenggelam dalam dua perang dunia. Pemerintah otoriter Jermanmenantang demokrasi Inggris, yang kemudian sebanding dengan pemerintah otoriter Tiongkok yang menantang demokrasi Amerika pada masa sekarang, menurut Richard J Evans.[10]

Doktrin Truman pada tahun 1947 menjanjikan bantuan kepada pihak sekutu yang antikomunis. 'Hak netralitas dihapuskan... hal itu berlangsung pada era kebijakan masa damai yang agresif, yang menandai masa awal peran Amerika Serikat sebagai polisi global.'[11] Sejak berakhirnya Perang Dingin, 'musuh pada saat itu ialah terorisme, bukan komunisme'.[12] Tetapi setelah terjadinya bencana intervensi di Somalia pada tahun 1993, Amerika Serikat enggan untuk terlibat dalam intervensi kemanusiaan di Bosnia[13] dan Rwanda.[14]

Amerika Serikat memimpin Invasi ke Irak, seolah-olah menjalankan misi kepolisian untuk menemukan WMD atau senjata pemusnah massal yang membahayaka perdamaian internasiona.[15][16]

Sejak saat itu, keraguan yang serius telah bangkit mengenai keabsahan intervensi Amerika Serikat di luar negeri dan destabilisasi yang terjadi di Irak, Libya, dan Suriah.[17][18] Amerika Serikat tidak menerima hukum selain hukum yang mereka tetapkan di tanah mereka, selain itu mengharapkan bangsa lain untuk tunduk kepada aturan dari pasukan Amerika Serikat; sebuah standar ganda.[19]

Penggunaan pesawat tanpa awak untuk menyerang teroris di Pakistan dan Afghanistan bertentangan dengan asas praduga tak bersalah. Pihak CIA yang terkecualikan dari hasil Konvensi Jenewa tersebut secara 'diam-diam menghukum mati orang-orang yang telah terbukti melakukan kejahatan setelah pemeriksaan resmi atau pemeriksaan pengadilan.'[20] Al-Qaeda bukan merupakan suatu negara, sehingga 'hukum perang' yang memungkinkan pembunuhan terhadap pihak yang ikut bertempur menjadi tidak berlaku.

Lihat juga[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Linda Colley, 'Britain and the US once ran the world. Now they're all at sea', The Guardian, 14 June 2017.
  2. ^ Gideon Rachman, 'The world would miss the American policeman', Financial Times, 2 September 2013.
  3. ^ Jonas Parello-Plesner and Parag Khanna, 'Stop fretting about Beijing as a global policeman', Financial Times, 28 December 2011.
  4. ^ Martin Wight, Power Politics (Wight book), 1978, p 98- 109
  5. ^ Martin Wight, Power Politics, 1978, p 102
  6. ^ Charles Reith, A new study of police history, Oliver and Boyd, 1956, appendix.
  7. ^ 'In the US, who has the monopoly on force?', Washington Post, 13th July 2016
  8. ^ Daniel L Davis, 'What the 'world police' analogy gets wrong,' The National Interest, 2/10/2016
  9. ^ http://www.nationalarchives.gov.uk>pdf>britain-and-the-trade.pdf
  10. ^ 'Before the first world war: what can 1914 tell us about 2014?' New Statesman, 23/1/2014
  11. ^ Wendy McElroy, 'How America became the World's Policeman', The Daily Bell, 19/3/2015
  12. ^ ibid,
  13. ^ Connor Murphy, 'World Police Force?' psu.edu, 31/10/2013
  14. ^ Scott Baldauf, 'Why the US didn't intervene in the Rwandan massacre', Christian Science Monitor 7/4/2009.
  15. ^ Richard Norton-Taylor, 'Top judge: US and UK acted as vigilantes in Iraq invasion, Guardian, 17/11/2008
  16. ^ David Usborne, 'WMD just an excuse for war, admits Wolfowitz', Independent, 29/5/2003
  17. ^ Tariq Ali, 'America's selective vigilantism will make as many enemies as friends', The Guardian, 6/9/2011
  18. ^ Nathan Gardels and Hans Blix, 'America is not the world's policeman - in Syria or Iraq', Christian Science Monitor, 27/8/2013
  19. ^ Daniel L Davis, 'What the World Police Analogy gets wrong', The National Interest, 2/10/2016
  20. ^ Geoffrey Robertson, 'Drone attacks go against every Human Right in the book', New Statesman, 13/6/2012