Lompat ke isi

Kesultanan Bima: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Memperbaiki
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(27 revisi perantara oleh 21 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{untuk|kegunaan lain|Bima (disambiguasi)}}
{{kegunaanlain|Bima}}{{Infobox Former Country
{{Infobox Former Country
|conventional_long_name =
| conventional_long_name = كسلطانن بيما مبوجو
|common_name = Bima
|native_name = Kesultanan Bima Mbojo
| common_name = Bima
|continent = moved from Category:Asia to Southeast Asia
| native_name = Kesultanan Bima
|region = Southeast Asia
| continent = moved from Category:Asia to Southeast Asia
|image_map = COLLECTIE TROPENMUSEUM Het paleis van de sultan van Bima TMnr 10015406.jpg
| region = Southeast Asia
| image_map = COLLECTIE TROPENMUSEUM Het paleis van de sultan van Bima TMnr 10015406.jpg
|image_map_alt =
| image_map_alt =
|image_map_caption = Bima Sultanate palace
| image_map_caption = Istana Sultan Bima
|country = Indonesia
| country = Indonesia
|religion = [[Islam]]
| religion = [[Islam]]
|p1 = Kerajaan Bima
| p1 = Kerajaan Bima
|s1 = Hindia Belanda
| s1 = Hindia Belanda
|flag_s1 = Flag of the Netherlands.svg
| flag_s1 = Flag of the Netherlands.svg
|year_start = 1620
| year_start = 1620
|year_end = 1958
| year_end = 1958
|event_start = Kerajaan Bima berkonversi menjadi Kesultanan Bima
| event_start = Kerajaan Bima berkonversi menjadi Kesultanan Bima
|event_end = Status kesultanan dihapus oleh Republik Indonesia
| event_end = Status kesultanan dihapus oleh Republik Indonesia
|capital = [[Bima]]
| capital = [[Kota Bima|Bima]]
|common_languages = [[Bahasa Bima|Bima]]
| common_languages = [[Bahasa Bima|Bima]]
|government_type = Kesultanan
| government_type = Kesultanan
|title_leader = Sultan
| title_leader = Sultan
|leader1 = Sultan Abdul Kahir
| leader1 = Sultan Abdul Kahir
|year_leader1 =
| year_leader1 =
|leader2 =
| leader2 =
|year_leader2 =
| year_leader2 =
|leader3 =
| leader3 =
|year_leader3 =
| year_leader3 =
|today = {{flag|Indonesia}}
| today = {{flag|Indonesia}}
|footnotes =
| footnotes =
| image_flag = Bendera Kesultanan Bima.png
}}
}}
{{Templat: Sejarah Indonesia}}[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Nederlandse militairen op bezoek bij Sultan Muhammed Salahuddin van Bima TMnr 10029673.jpg|jmpl|Sultan Muhammad Salahuddin bersama tamu tentara Belanda (tahun 1949)]][[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Portret van de Sultan van Bima TMnr 10018801.jpg|jmpl|Sultan Muhammad Salahuddin (bertahta 1920-1943)]]
{{Sejarah Indonesia}}[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Nederlandse militairen op bezoek bij Sultan Muhammed Salahuddin van Bima TMnr 10029673.jpg|jmpl|Sultan Muhammad Salahuddin bersama tamu tentara Belanda (tahun 1949)]][[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Portret van de Sultan van Bima TMnr 10018801.jpg|jmpl|Sultan Muhammad Salahuddin (bertahta 1920-1943)]]
'''Kesultanan Bima''' adalah kerajaan [[Islam]] yang didirikan pada tanggal 7 Februari 1621 [[Masehi]]. Sultan pertamanya adalah raja ke-27 dari [[Kerajaan Bima]] yang bernama La Kai. Wilayah Kesultanan Bima meliputi [[Pulau Sumbawa]]. Kesultanan ini telah dipimpin oleh 14 sultan. Sultan terakhirnya adalah [[Sultan Muhammad Salahuddin]].{{Sfn|Mawaddah|2017|p=141}}
'''Kesultanan Bima''' (كسلطانن بيما) adalah kerajaan [[Islam]] yang didirikan pada tanggal 7 Februari 1621 [[Masehi]]. Sultan pertamanya adalah raja ke-27 dari [[Kerajaan Mbojo]] yang bernama La Kai. Wilayah Kesultanan Bima meliputi [[Pulau Sumbawa]] dan [[Pulau Flores]] Bagian Barat yaitu Wilayah Manggarai yang sekarang menjadi 3 Kabupaten yakni Kab. Manggarai, Kab. Manggarai Barat dan Kab. Manggarai Timur. Kesultanan ini telah dipimpin oleh 14 sultan. Sultan terakhirnya adalah [[Sultan Muhammad Salahuddin]].{{Sfn|Mawaddah|2017|p=141}}


== Awal Pendirian ==
== Awal Pendirian ==
Pada awalnya Kesultanan Bima merupakan sebuah kelompok masyarakat [[Suku Bima]] yang menganut paham [[animisme]] dan [[dinamisme]]. Masyarakat ini kemudian disatukan bersama suku-suku lain di sekitarnya. Penyatuan ini dilakukan oleh Sang Bima yang mengajarkan agama [[Agama Hindu|Hindu]] dari [[Jawa]]. Setelah itu, ia mendirikan Kerajaan Bima dengan gelar ''Sangaji''.{{Sfn|Saputri|2016|p=633}}
Pada awalnya Kesultanan Bima merupakan sebuah kelompok masyarakat [[Suku Mbojo]] yang menganut paham [[animisme]] dan [[dinamisme]]. Masyarakat ini kemudian disatukan bersama suku-suku lain di sekitarnya. Penyatuan ini dilakukan oleh Sang Bima yang mengajarkan agama [[Agama Hindu|Hindu]] dari [[Jawa]]. Setelah itu, ia mendirikan Kerajaan Bima dengan gelar ''Sangaji''.{{Sfn|Saputri|2016|p=633}}


Kerajaan Bima didirikanpada abad ke-11 Masehi dengan dua nama, yaitu Kerajaan Mbojo dan Kerajaan Bima. Kerajaan Mbojo merupakan nama yang diberikan oleh para pemangku adat yang disebut ''Ncuhi'', sedangkan Kerajaan Bima merupakan nama yang diberikan oleh masyarakat. Setelah membentuk kerajaan, Sang Bima pergi ke [[Medang|Kerajaan Medang]]. Ia kemudian mengirim kedua putranya yang bernama Indra Zamrud dan Indra Kumala ke Kerajaan Bima. Indra Zamrud diangkat menjadi ''Sangaji'' di [[Kabupaten Bima|Bima]], sedangkan Indra Kumala menjadi ''Sangaji'' di [[Kabupaten Dompu|Dompu]].{{Sfn|Saputri|2016|p=633–634}}
Kerajaan Bima didirikanpada abad ke-11 Masehi dengan dua nama, yaitu Kerajaan Mbojo dan Kerajaan Bima. Kerajaan Mbojo merupakan nama yang diberikan oleh para pemangku adat yang disebut ''Ncuhi'', sedangkan Kerajaan Bima merupakan nama yang diberikan oleh masyarakat. Setelah membentuk kerajaan, Sang Bima pergi ke [[Medang|Kerajaan Medang]]. Ia kemudian mengirim kedua putranya yang bernama Indra Zamrud dan Indra Kumala ke Kerajaan Bima. Indra Zamrud diangkat menjadi ''Sangaji'' di [[Kabupaten Bima|Bima]], sedangkan Indra Kumala menjadi ''Sangaji'' di [[Kabupaten Dompu|Dompu]].{{Sfn|Saputri|2016|p=633–634}}


== Awal Kesultanan ==
== Awal Kesultanan ==
Pada tahun 1540 Masehi, para [[Dai|mubalig]] dan pedagang dari [[Kesultanan Demak]] datang ke Kerajaan Bima untuk menyiarkan Islam. Penyebaran Islam dilakukan oleh [[Sunan Prapen]], tetapi tidak dilanjutkan setelah [[Trenggana|Sultan Trenggono]] wafat pada tahun yang sama. Pada tahun 1580, penyebaran Islam dilanjutkan oleh para mubalig dan pedagang dari [[Kesultanan Ternate]] yang diutus oleh [[Baabullah|Sultan Baabullah]]. Selanjutnya, penyebaran Islam di Kerajaan Bima diteruskan oleh [[Ala'uddin dari Gowa|Sultan Alauddin]] pada tahun 1619. Ia mengirim para mubalig dari [[Kedatuan Luwu|Kesultanan Luwu]], [[Kerajaan Tallo]] dan [[Kesultanan Bone|Kerajaan Bone]]. Kerajaan Bima akhirnya menjadi kesultanan setelah rajanya yang bernama La Kai menjadi [[muslim]] pada tanggal 15 [[Rabiul awal|Rabiul Awal]] tahun 1030 [[Kalender Hijriyah|Hijriyah]]. Agama Islam kemudian menjadi agama resmi dari para bangsawan dan masyarakat Kerajaan Bima.{{Sfn|Saputri|2016|p=634}}
Pada tahun 1540 Masehi, para [[Dai|mubalig]] dan pedagang dari [[Kesultanan Demak]] datang ke Kerajaan Bima untuk menyiarkan Islam. Penyebaran Islam dilakukan oleh [[Sunan Prapen]], tetapi tidak dilanjutkan setelah [[Trenggana|Sultan Trenggono]] wafat pada tahun yang sama. Pada tahun 1580, penyebaran Islam dilanjutkan oleh para mubalig dan pedagang dari [[Kesultanan Ternate]] yang diutus oleh [[Baabullah|Sultan Baabullah]]. Selanjutnya, penyebaran Islam di Kerajaan Bima diteruskan oleh [[Ala'uddin dari Gowa|Sultan Alauddin]] pada tahun 1619. Ia mengirim para mubalig dari [[Kesultanan Gowa]] dan [[Kesultanan Tallo]] dari [[Makassar]]. Kerajaan Bima akhirnya menjadi kesultanan setelah rajanya yang bernama La Kai menjadi [[muslim]] pada tanggal 15 [[Rabiul awal|Rabiul Awal]] tahun 1030 [[Kalender Hijriyah|Hijriyah]]. Agama Islam kemudian menjadi agama resmi dari para bangsawan dan masyarakat Kerajaan Bima.{{Sfn|Saputri|2016|p=634}}


== Wilayah Kekuasaan ==
== Wilayah Kekuasaan ==
Pada abad ke-19 M, wilayah kekuasaan Kesultanan Bima meliputi Pulau Sumbawa bagian timur, [[Kabupaten Manggarai|Manggarai]], dan pulau‑pulau kecil di [[Selat Alas]]. Wilayah Kesultanan Bima berbatasan langsung dengan [[Laut Jawa]] di utara dan [[Samudra Hindia|Samudera Hindia]] di selatan. Di Pulau Sumbawa, wilayah Kesultanan Bima dibagi menjadi tiga distrik yaitu [[Belo, Palibelo, Bima|Belo]], [[Bolo, Bima|Bolo]], dan [[Sape, Bima|Sape]]. Tiap distrik dipimpin oleh seorang pemimpin distrik yang disebut ''galarang''. Distrik kemudian dibagi lagi menjadi perkampungan-perkampungan yang dipimpin oleh kepala kampung. Wilayah Kesultanan Bima di Manggarai dibagi menjadi daerah [[Reok, Manggarai|Reo]] dan daerah [[Pota, Sambi Rampas, Manggarai Timur|Pota]]. Pemimpin masing-masing distrik bergelar ''naib'' yang bertanggung jawab langsung kepada sultan. Para ''naib'' ini memimpin para ''galarang'', dan kepala kampung.{{Sfn|Haris|2006|p=18}}
Pada abad ke-19 M, wilayah kekuasaan Kesultanan Bima meliputi Pulau Sumbawa bagian timur, [[Kabupaten Manggarai|Manggarai]], dan pulau‑pulau kecil di [[Selat Alas]]. Wilayah Kesultanan Bima berbatasan langsung dengan [[Laut Jawa]] di utara dan [[Samudra Hindia|Samudera Hindia]] di selatan. Di Pulau Sumbawa, wilayah Kesultanan Bima dibagi menjadi tiga distrik yaitu [[Belo, Palibelo, Bima|Belo]], [[Bolo, Bima|Bolo]], dan [[Sape, Bima|Sape]]. Tiap distrik dipimpin oleh seorang pemimpin distrik yang disebut ''Djeneli''. Distrik kemudian dibagi lagi menjadi perkampungan-perkampungan yang dipimpin oleh kepala kampung. Wilayah Kesultanan Bima di Manggarai dibagi menjadi daerah [[Reok, Manggarai|Reo]] dan daerah [[Pota, Sambi Rampas, Manggarai Timur|Pota]]. Pemimpin masing-masing distrik bergelar ''naib'' yang bertanggung jawab langsung kepada sultan. Para ''naib'' ini memimpin para ''galarang'', dan kepala kampung.{{Sfn|Haris|2006|p=18}}


Pada tahun 1938, wilayah kekuasaan Kesultanan Bima menyempit akibat perjanjian dengan Gubernur [[Hindia Belanda]]. Kesultanan Bima berbatasan dengan Laut Jawa di utara dan Samudera Hindia di selatan. Bagian timur berbatasan dengan Manggarai dan bagian barat berbatasan dengan Dompu. Kesultanan Bima juga memperoleh wilayah Kerajaan Sanggar yang berada di pantai barat semenanjung [[Gunung Tambora]] pada tahun 1928.{{Sfn|Haris|2006|p=19}}
Pada tahun 1938, wilayah kekuasaan Kesultanan Bima menyempit akibat perjanjian dengan Gubernur [[Hindia Belanda]]. Kesultanan Bima berbatasan dengan Laut Jawa di utara dan Samudera Hindia di selatan. Bagian timur berbatasan dengan Manggarai dan bagian barat berbatasan dengan Dompu. Kesultanan Bima juga memperoleh wilayah Kerajaan Sanggar yang berada di pantai barat semenanjung [[Gunung Tambora]] pada tahun 1928.{{Sfn|Haris|2006|p=19}}
Baris 54: Baris 56:
[[Sultan Ismail]] adalah sultan ke-10 Kesultanan Bima. Ia adalah putra dari [[Sultan Abdul Hamid]]. Kekuasaannya dimulai sejak pengangkatannya pada tanggal 26 November 1819.{{Sfn|Mandyara|2017|p=47}} Sultan Ismail berkuasa hingga tahun 1854. Selama masa kekuasaannya, Kesultanan Bima membangun banyak [[musala]] dan [[masjid]] di seluruh wilayahnya. Pada awal pemerintahannya, masyarakat hidup miskin dan menderita kelaparan akibat letusan Gunung Tambora, serangan [[Perompakan|bajak laut]], dan [[Musim kemarau|kemarau]] panjang. Perekonomian Kesultanan Bima kemudian membaik setelah Sultan Ismail beralih patuh kepada [[Inggris]].{{Sfn|Mandyara|2017|p=48}}
[[Sultan Ismail]] adalah sultan ke-10 Kesultanan Bima. Ia adalah putra dari [[Sultan Abdul Hamid]]. Kekuasaannya dimulai sejak pengangkatannya pada tanggal 26 November 1819.{{Sfn|Mandyara|2017|p=47}} Sultan Ismail berkuasa hingga tahun 1854. Selama masa kekuasaannya, Kesultanan Bima membangun banyak [[musala]] dan [[masjid]] di seluruh wilayahnya. Pada awal pemerintahannya, masyarakat hidup miskin dan menderita kelaparan akibat letusan Gunung Tambora, serangan [[Perompakan|bajak laut]], dan [[Musim kemarau|kemarau]] panjang. Perekonomian Kesultanan Bima kemudian membaik setelah Sultan Ismail beralih patuh kepada [[Inggris]].{{Sfn|Mandyara|2017|p=48}}


=== Sultan Abdul Kadi ===
=== Sultan Abdul Kadim ===
[[Sultan Abdul Kadim]] adalah sultan kedelapan dari Kesultanan Bima. Ia berkuasa sejak tanggal 9 Februari
[[Sultan Abdul Kadim]] adalah sultan kedelapan dari Kesultanan Bima. Ia berkuasa sejak tanggal 9 Februari


Baris 70: Baris 72:


== Keagamaan ==
== Keagamaan ==
Islam pertama kali diperkenalkan ke Kesultanan Bima oleh Sayyid Murtolo yang berasal dari [[Kabupaten Gresik|Gresik]]. Ia adalah putra Syekh Maulana Ibrahim Asmara dan saudara dari [[Sunan Ampel]]. Penyebaran Islam dilakukan bersamaan dengan kegiatan perdagangan. Penerimaan Islam hanya oleh kelompok kecil pedagang dan masyarakat Kerajaan Bima yang berada di wilayah pesisir.{{Sfn|Salahuddin|2005|p=194}}
Islam pertama kali diperkenalkan ke Kesultanan Bima oleh Sayyid Ali Murtadlo atau Sunan Gisik yang berasal dari [[Kabupaten Gresik|Gresik]]. Ia adalah putra Syekh Maulana Ibrahim Asmaraqandi dan kakak dari [[Sunan Ampel]]. Penyebaran Islam dilakukan bersamaan dengan kegiatan perdagangan. Penerimaan Islam hanya oleh kelompok kecil pedagang dan masyarakat Kerajaan Bima yang berada di wilayah pesisir.{{Sfn|Salahuddin|2005|p=194}}


[[Islamisasi]] di [[Sulawesi Selatan]] selama periode tahun 1605 hingga 1611 membuat Kesultanan Gowa memperluas penyebaran Islam ke [[Kepulauan Nusa Tenggara]].{{Sfn|Effendy|2017|p=188}} Kesultanan Gowa memusatkan penyebaran Islam di Pulau Sumbawa setelah hampir seluruh kerajaan di Sulawesi Selatan diislamkan.{{Sfn|Effendy|2017|p=189}} Penyebaran Islam dilanjutkan oleh para pedagang dari Kerajaan Gowa, Kerajaan Tallo, Kesultanan Luwu, Kesultanan Bone, dan Kesultanan Ternate. Hubungan politik, budaya dan ekonomi antara Kerajaan Gowa dan Kesultanan Bima akhirnya membuat raja Kerajaan Bima yang bernama La Kai menjadi muslim. Islam yang berkembang di Kesultanan Bima juga dipengaruhi oleh Kesultanan Gowa.{{Sfn|Salahuddin|2005|p=195}}
[[Islamisasi]] di [[Sulawesi Selatan]] selama periode tahun 1605 hingga 1611 membuat Kesultanan Gowa memperluas penyebaran Islam ke [[Kepulauan Nusa Tenggara]].{{Sfn|Effendy|2017|p=188}} Kesultanan Gowa memusatkan penyebaran Islam di Pulau Sumbawa setelah hampir seluruh kerajaan di Sulawesi Selatan diislamkan.{{Sfn|Effendy|2017|p=189}} Penyebaran Islam dilanjutkan oleh para pedagang dari Kerajaan Gowa, Kerajaan Tallo, Kesultanan Luwu, Kesultanan Bone, dan Kesultanan Ternate. Hubungan politik, budaya dan ekonomi antara Kerajaan Gowa dan Kesultanan Bima akhirnya membuat raja Kerajaan Bima yang bernama La Kai menjadi muslim. Islam yang berkembang di Kesultanan Bima juga dipengaruhi oleh Kesultanan Gowa.{{Sfn|Salahuddin|2005|p=195}}
Baris 76: Baris 78:
Kesultanan Bima kemudian menerapkan hukum Islam dan hukum adat secara bersamaan. Pemerintahan Kesultanan Bima kemudian membentuk lembaga [[eksekutif]] dan [[Kehakiman|yudikatif]].{{Sfn|Salahuddin|2005|p=195–196}} Sejak tanggal 14 Agustus 1788, Kesultanan Bima memiliki lembaga peradilan Islam yang bernama Mahkamah Syar'iyyah. Tugas utamanya adalah mengadili dalam urusan syariat Islam. Setelah Belanda memerintah di Kerajaan Bima, Mahkamah Syar’iyyah digantikan oleh sistem peradilan Hindia Belanda pada tahun 1908.{{Sfn|Salahuddin|2005|p=196}}
Kesultanan Bima kemudian menerapkan hukum Islam dan hukum adat secara bersamaan. Pemerintahan Kesultanan Bima kemudian membentuk lembaga [[eksekutif]] dan [[Kehakiman|yudikatif]].{{Sfn|Salahuddin|2005|p=195–196}} Sejak tanggal 14 Agustus 1788, Kesultanan Bima memiliki lembaga peradilan Islam yang bernama Mahkamah Syar'iyyah. Tugas utamanya adalah mengadili dalam urusan syariat Islam. Setelah Belanda memerintah di Kerajaan Bima, Mahkamah Syar’iyyah digantikan oleh sistem peradilan Hindia Belanda pada tahun 1908.{{Sfn|Salahuddin|2005|p=196}}


== Silsilah Sultan ==
== Daftar Sultan ==
Para [[sultan]] yang pernah berkuasa di Kesultanan Bima adalah sebagai berikut:{{Sfn|Haris|2006|p=30–31}}
Para [[sultan]] yang pernah berkuasa di Kesultanan Bima adalah sebagai berikut:{{Sfn|Haris|2006|p=30–31}}
{| class="wikitable"
{| class="wikitable"
|+Silsilah sultan di Kesultanan Bima
|+Daftar sultan di Kesultanan Bima
!Sultan ke-
!Sultan ke-
!Nama
!Nama
Baris 186: Baris 188:
* {{cite journal|last=Aulia|first=Rihla Nur|date=2013|title=Rimpu: Budaya Dalam Dimensi Busana Bercadar Perempuan Bima|url=http://journal.unj.ac.id/unj/index.php/jsq/article/download/4463/3384/|journal=Studi Al-Qur'an|volume=9|issue=2|pages=1–11|doi=|issn=2339-2614|ref={{sfnref|Aulia|2013}}|url-status=live}}
* {{cite journal|last=Aulia|first=Rihla Nur|date=2013|title=Rimpu: Budaya Dalam Dimensi Busana Bercadar Perempuan Bima|url=http://journal.unj.ac.id/unj/index.php/jsq/article/download/4463/3384/|journal=Studi Al-Qur'an|volume=9|issue=2|pages=1–11|doi=|issn=2339-2614|ref={{sfnref|Aulia|2013}}|url-status=live}}
* {{cite journal|last=Effendy|first=Muslimin AR.|date=Desember 2017|title=Diskursus Islam dan Karakter Politik Negara di Kesultanan Bima|url=http://jurnalalqalam.or.id/index.php/Alqalam/article/download/429/309|journal=Al-Qalam|volume=23|issue=2|pages=184–197|doi=|issn=|ref={{sfnref|Effendy|2017}}|url-status=live}}
* {{cite journal|last=Effendy|first=Muslimin AR.|date=Desember 2017|title=Diskursus Islam dan Karakter Politik Negara di Kesultanan Bima|url=http://jurnalalqalam.or.id/index.php/Alqalam/article/download/429/309|journal=Al-Qalam|volume=23|issue=2|pages=184–197|doi=|issn=|ref={{sfnref|Effendy|2017}}|url-status=live}}
* {{cite journal|last=Haris|first=Tawalinuddin|date=2006|title=Kesultanan Bima di Pulau Sumbawa|url=http://wacana.ui.ac.id/index.php/wjhi/article/download/244/233|journal=Wacana|volume=8|issue=1|pages=17–31|doi=|issn=|ref={{sfnref|Haris|2006}}|url-status=live}}
* {{cite journal|last=Haris|first=Tawalinuddin|date=2006|title=Kesultanan Bima di Pulau Sumbawa|url=http://wacana.ui.ac.id/index.php/wjhi/article/download/244/233|journal=Wacana|volume=8|issue=1|pages=17–31|doi=|issn=|ref={{sfnref|Haris|2006}}|url-status=live|access-date=2020-08-31|archive-date=2019-03-21|archive-url=https://web.archive.org/web/20190321171254/http://wacana.ui.ac.id/index.php/wjhi/article/download/244/233|dead-url=yes}}
* {{cite journal|last=Mandyara|first=Dewi Ratna Muchlisa|date=2017|title=Peran Kesultanan Bima pada Masa Sultan Ismail Tahun 1819-1854|url=https://www.ejournal.tsb.ac.id/index.php/jpi/article/download/84/71/|journal=Jurnal Pendidikan IPS|volume=7|issue=1|pages=44–48|doi=|issn=|ref={{sfnref|Mandyara|2017}}|url-status=live}}
* {{cite journal|last=Mandyara|first=Dewi Ratna Muchlisa|date=2017|title=Peran Kesultanan Bima pada Masa Sultan Ismail Tahun 1819-1854|url=https://www.ejournal.tsb.ac.id/index.php/jpi/article/download/84/71/|journal=Jurnal Pendidikan IPS|volume=7|issue=1|pages=44–48|doi=|issn=|ref={{sfnref|Mandyara|2017}}|url-status=live}}
* {{cite journal|last=Mawaddah|first=Kartini|date=2017|title=Diplomatik Sultan Abdul Hamid di Kerajaan Bima Tahun 1773-1817 M|url=|journal=Juspi|volume=1|issue=1|pages=139–153|doi=|issn=|ref={{sfnref|Mawaddah|2017}}|url-status=live}}
* {{cite journal|last=Mawaddah|first=Kartini|date=2017|title=Diplomatik Sultan Abdul Hamid di Kerajaan Bima Tahun 1773-1817 M|url=|journal=Juspi|volume=1|issue=1|pages=139–153|doi=|issn=|ref={{sfnref|Mawaddah|2017}}|url-status=live}}
Baris 193: Baris 195:
* {{cite journal|last=Sulistyo|first=Bambang|date=Juli 2014|title=Multikulturalisme di Bima pada Abad X - XVII|url=https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/paramita/article/download/3120/3137|journal=Paramita|volume=24|issue=2|pages=155–172|doi=10.15294/paramita.v24i2.3120|issn=0854-0039|ref={{sfnref|Sulistyo|2014}}|url-status=live}}
* {{cite journal|last=Sulistyo|first=Bambang|date=Juli 2014|title=Multikulturalisme di Bima pada Abad X - XVII|url=https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/paramita/article/download/3120/3137|journal=Paramita|volume=24|issue=2|pages=155–172|doi=10.15294/paramita.v24i2.3120|issn=0854-0039|ref={{sfnref|Sulistyo|2014}}|url-status=live}}
* {{cite journal|last=Sumiyati|first=|date=2020|title=Kondisi Politik di Kesultanan Bima (1915-1950)|url=http://diakronika.ppj.unp.ac.id/index.php/diakronika/article/download/128/66/|journal=Diakronika|volume=20|issue=1|pages=–|doi=10.24036/diakronika/vol20-iss1/128|issn=2620-9446|ref={{sfnref|Sumiyati|2020}}|url-status=live}}
* {{cite journal|last=Sumiyati|first=|date=2020|title=Kondisi Politik di Kesultanan Bima (1915-1950)|url=http://diakronika.ppj.unp.ac.id/index.php/diakronika/article/download/128/66/|journal=Diakronika|volume=20|issue=1|pages=–|doi=10.24036/diakronika/vol20-iss1/128|issn=2620-9446|ref={{sfnref|Sumiyati|2020}}|url-status=live}}
*
*


{{Kerajaan di Sunda Kecil}}
{{Kerajaan di Sunda Kecil}}

[[Kategori:Kesultanan Bima| ]]
[[Kategori:Kesultanan Bima| ]]
[[Kategori:Kerajaan di Nusa Tenggara Barat|Bima]]
[[Kategori:Kerajaan di Nusa Tenggara Barat|Bima]]
[[Kategori:Kabupaten Bima| ]]
[[Kategori:Kabupaten Bima| ]]
[[Kategori:Nusa Tenggara Barat|Bima]]

Revisi terkini sejak 9 Mei 2024 04.35

كسلطانن بيما مبوجو

Kesultanan Bima
1620–1958
Bendera Bima
Bendera
Istana Sultan Bima
Istana Sultan Bima
Ibu kotaBima
Bahasa yang umum digunakanBima
Agama
Islam
PemerintahanKesultanan
Sultan 
Sejarah 
• Kerajaan Bima berkonversi menjadi Kesultanan Bima
1620
• Status kesultanan dihapus oleh Republik Indonesia
1958
Didahului oleh
Digantikan oleh
krjKerajaan
Bima
Hindia Belanda
Sekarang bagian dari Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini
Sultan Muhammad Salahuddin bersama tamu tentara Belanda (tahun 1949)
Sultan Muhammad Salahuddin (bertahta 1920-1943)

Kesultanan Bima (كسلطانن بيما) adalah kerajaan Islam yang didirikan pada tanggal 7 Februari 1621 Masehi. Sultan pertamanya adalah raja ke-27 dari Kerajaan Mbojo yang bernama La Kai. Wilayah Kesultanan Bima meliputi Pulau Sumbawa dan Pulau Flores Bagian Barat yaitu Wilayah Manggarai yang sekarang menjadi 3 Kabupaten yakni Kab. Manggarai, Kab. Manggarai Barat dan Kab. Manggarai Timur. Kesultanan ini telah dipimpin oleh 14 sultan. Sultan terakhirnya adalah Sultan Muhammad Salahuddin.[1]

Awal Pendirian

[sunting | sunting sumber]

Pada awalnya Kesultanan Bima merupakan sebuah kelompok masyarakat Suku Mbojo yang menganut paham animisme dan dinamisme. Masyarakat ini kemudian disatukan bersama suku-suku lain di sekitarnya. Penyatuan ini dilakukan oleh Sang Bima yang mengajarkan agama Hindu dari Jawa. Setelah itu, ia mendirikan Kerajaan Bima dengan gelar Sangaji.[2]

Kerajaan Bima didirikanpada abad ke-11 Masehi dengan dua nama, yaitu Kerajaan Mbojo dan Kerajaan Bima. Kerajaan Mbojo merupakan nama yang diberikan oleh para pemangku adat yang disebut Ncuhi, sedangkan Kerajaan Bima merupakan nama yang diberikan oleh masyarakat. Setelah membentuk kerajaan, Sang Bima pergi ke Kerajaan Medang. Ia kemudian mengirim kedua putranya yang bernama Indra Zamrud dan Indra Kumala ke Kerajaan Bima. Indra Zamrud diangkat menjadi Sangaji di Bima, sedangkan Indra Kumala menjadi Sangaji di Dompu.[3]

Awal Kesultanan

[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1540 Masehi, para mubalig dan pedagang dari Kesultanan Demak datang ke Kerajaan Bima untuk menyiarkan Islam. Penyebaran Islam dilakukan oleh Sunan Prapen, tetapi tidak dilanjutkan setelah Sultan Trenggono wafat pada tahun yang sama. Pada tahun 1580, penyebaran Islam dilanjutkan oleh para mubalig dan pedagang dari Kesultanan Ternate yang diutus oleh Sultan Baabullah. Selanjutnya, penyebaran Islam di Kerajaan Bima diteruskan oleh Sultan Alauddin pada tahun 1619. Ia mengirim para mubalig dari Kesultanan Gowa dan Kesultanan Tallo dari Makassar. Kerajaan Bima akhirnya menjadi kesultanan setelah rajanya yang bernama La Kai menjadi muslim pada tanggal 15 Rabiul Awal tahun 1030 Hijriyah. Agama Islam kemudian menjadi agama resmi dari para bangsawan dan masyarakat Kerajaan Bima.[4]

Wilayah Kekuasaan

[sunting | sunting sumber]

Pada abad ke-19 M, wilayah kekuasaan Kesultanan Bima meliputi Pulau Sumbawa bagian timur, Manggarai, dan pulau‑pulau kecil di Selat Alas. Wilayah Kesultanan Bima berbatasan langsung dengan Laut Jawa di utara dan Samudera Hindia di selatan. Di Pulau Sumbawa, wilayah Kesultanan Bima dibagi menjadi tiga distrik yaitu Belo, Bolo, dan Sape. Tiap distrik dipimpin oleh seorang pemimpin distrik yang disebut Djeneli. Distrik kemudian dibagi lagi menjadi perkampungan-perkampungan yang dipimpin oleh kepala kampung. Wilayah Kesultanan Bima di Manggarai dibagi menjadi daerah Reo dan daerah Pota. Pemimpin masing-masing distrik bergelar naib yang bertanggung jawab langsung kepada sultan. Para naib ini memimpin para galarang, dan kepala kampung.[5]

Pada tahun 1938, wilayah kekuasaan Kesultanan Bima menyempit akibat perjanjian dengan Gubernur Hindia Belanda. Kesultanan Bima berbatasan dengan Laut Jawa di utara dan Samudera Hindia di selatan. Bagian timur berbatasan dengan Manggarai dan bagian barat berbatasan dengan Dompu. Kesultanan Bima juga memperoleh wilayah Kerajaan Sanggar yang berada di pantai barat semenanjung Gunung Tambora pada tahun 1928.[6]

Pemerintahan

[sunting | sunting sumber]

Kesultanan Bima menggunakan gelar Ruma kepada para sultannya. Gelar ini melambangkan bahwa sultan adalah khalifah dan wakil Allah di bumi. Sultan diberi wewenang oleh masyarakatnya untuk menjadi pemimpin dan pemerintah. Dalam melaksanakan pemerintahan, sultan mengutamakan kepentingan masyarakat dan tidak mementingkan keperluan pribadinya. Pemerintahan sultan sepenuhnya dilaksanakan sesuai syariat Islam. Nilai-nilai budaya yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam dipadukan dan membentuk tradisi pemerintahan.[7]

Pemerintah Hindia Belanda berkuasa di Kesultanan Bima pada tahun 1908 dan menerapkan pemerintahan terpusat. Wilayah Kesultanan Bima dibagi menjadi 5 distrik pemerintahan yaitu Distrik Rasanae, Distrik Donggo, Distrik Sape, Distrik Belo, dan Distrik Bolo. Distrik Rasanae dipimpin oleh Sultan, sedangkan Distrik Donggo dipimpin oleh Sultan Muda. Distrik Sapa dipimpin oleh Raja Bicara, Distrik Bolo dipimpin oleh Raja Sakuru. dan Distrik Bolo dipimpin oleh Rato Parado.[8] Pada tahun 1909, Kesultanan Bima digabung ke dalam Keresidenan Timur Hindia Belanda dengan pusat pemerintahan di Makassar. Semua urusan kesultanan harus mendapat persetujuan pemerintah kolonial Belanda.[9]

Sultan Ismail

[sunting | sunting sumber]

Sultan Ismail adalah sultan ke-10 Kesultanan Bima. Ia adalah putra dari Sultan Abdul Hamid. Kekuasaannya dimulai sejak pengangkatannya pada tanggal 26 November 1819.[10] Sultan Ismail berkuasa hingga tahun 1854. Selama masa kekuasaannya, Kesultanan Bima membangun banyak musala dan masjid di seluruh wilayahnya. Pada awal pemerintahannya, masyarakat hidup miskin dan menderita kelaparan akibat letusan Gunung Tambora, serangan bajak laut, dan kemarau panjang. Perekonomian Kesultanan Bima kemudian membaik setelah Sultan Ismail beralih patuh kepada Inggris.[11]

Sultan Abdul Kadim

[sunting | sunting sumber]

Sultan Abdul Kadim adalah sultan kedelapan dari Kesultanan Bima. Ia berkuasa sejak tanggal 9 Februari

Sultan Abdul Hamid

[sunting | sunting sumber]

Sultan Abdul Hamid adalah putra dari Sultan Abdul Kadim. Ia memerintah mulai tahun 1773 M. Pada masa pemerintahannya, perdagangan di wilayah Kesultanan Bima telah menjadi hak monopoli Belanda. Ia kemudian berperan dalam mempermudah izin pelayaran kapal-kapal di wilayah Kesultanan Bima.[12]

Sultan Muhammad Salahuddin

[sunting | sunting sumber]

Sultan Muhammad Salahuddin adalah putra Sultan Ibrahim. Ia berkuasa pada tahun 1915 dan mengubah keadaan politik dan pemerintahan.[8] Selama pemerintahannya, ia mendirikan sekolah Islam di Raba dan Kampo Suntu. Selain itu, masjid-masjid didirikan di tiap desa dalam wilayah Kesultanan Bima. Sultan Muhammad Salahuddin juga mendirikan peradilan urusan agama yang disebut Badan Hukum Syara. Ia juga mulai melepaskan pengaruh Hindia Belanda di kesultanannya dengan melakukan peperangan dan mendirikan berbagai organisasi yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.[13]

Kehidupan Masyarakat

[sunting | sunting sumber]

Masyarakatnya memiliki tiga sifat yang berasal dari masa awal pendirian Kerajaan Bima, yaitu sifat sabar, malu dan takut. Ketiga sifat ini diwariskan oleh Sang Bima kepada kedua anaknya, yaitu Indra Zamrud dan Indra Kumala. Indra Zamrud dibekali ilmu melaut, sedangkan Indra Kumala dibekali ilmu bertani. Pengetahuan ini kemudian diajarkan kepada masyarakat Bima.[14] Setelahnya, Wilayah Kesultanan Bima telah menjadi kawasan perdagangan sejak abad ke-11 M. Perannya adalah sebagai penghubung antara Kerajaan Medang di Pulau Jawa dan Kepulauan Maluku. Kerajaan Bima menjadi tempat perdagangan dan persinggahan. Hasil bumi yang diperdagangkan berupa soga, sapang dan rotan. Perdagangan dilakukan di pelabuhan Bima Lawa Due dan Nanga Belo. Para pedagang juga singgah untuk mempersiapkan bekal ke Maluku berupa makanan dan air minum.[15]

Struktur Sosial

[sunting | sunting sumber]

Penduduk asli di Kesultanan Bima adalah masyarakat Suku Donggo yang menghuni wilayah pegunungan. Wilayah pemukimannya berada di Kecamatan Donggo dan Kecamatan Wawo Tengah.[16] Penduduk yang lainnya adalah Suku Bima. Suku ini awalnya adalah para pendatang dari Suku Makassar dan Suku Bugis yang menghuni wilayah pesisir Bima. Mereka kemudian menikahi penduduk asli dan menetap sebagai penduduk di Bima pada abad ke-14.[17] Para pendatang lain berasal dari Suku Melayu dan Suku Minangkabau. Mereka menetap di wilayah Teluk Bima, Kampung Melayu, dan Benteng. DI Kesultanan Bima juga terdapat pemukiman Arab yang terdiri dari para pedagang dan mubalig.[18]

Keagamaan

[sunting | sunting sumber]

Islam pertama kali diperkenalkan ke Kesultanan Bima oleh Sayyid Ali Murtadlo atau Sunan Gisik yang berasal dari Gresik. Ia adalah putra Syekh Maulana Ibrahim Asmaraqandi dan kakak dari Sunan Ampel. Penyebaran Islam dilakukan bersamaan dengan kegiatan perdagangan. Penerimaan Islam hanya oleh kelompok kecil pedagang dan masyarakat Kerajaan Bima yang berada di wilayah pesisir.[19]

Islamisasi di Sulawesi Selatan selama periode tahun 1605 hingga 1611 membuat Kesultanan Gowa memperluas penyebaran Islam ke Kepulauan Nusa Tenggara.[20] Kesultanan Gowa memusatkan penyebaran Islam di Pulau Sumbawa setelah hampir seluruh kerajaan di Sulawesi Selatan diislamkan.[21] Penyebaran Islam dilanjutkan oleh para pedagang dari Kerajaan Gowa, Kerajaan Tallo, Kesultanan Luwu, Kesultanan Bone, dan Kesultanan Ternate. Hubungan politik, budaya dan ekonomi antara Kerajaan Gowa dan Kesultanan Bima akhirnya membuat raja Kerajaan Bima yang bernama La Kai menjadi muslim. Islam yang berkembang di Kesultanan Bima juga dipengaruhi oleh Kesultanan Gowa.[22]

Kesultanan Bima kemudian menerapkan hukum Islam dan hukum adat secara bersamaan. Pemerintahan Kesultanan Bima kemudian membentuk lembaga eksekutif dan yudikatif.[23] Sejak tanggal 14 Agustus 1788, Kesultanan Bima memiliki lembaga peradilan Islam yang bernama Mahkamah Syar'iyyah. Tugas utamanya adalah mengadili dalam urusan syariat Islam. Setelah Belanda memerintah di Kerajaan Bima, Mahkamah Syar’iyyah digantikan oleh sistem peradilan Hindia Belanda pada tahun 1908.[24]

Daftar Sultan

[sunting | sunting sumber]

Para sultan yang pernah berkuasa di Kesultanan Bima adalah sebagai berikut:[25]

Daftar sultan di Kesultanan Bima
Sultan ke- Nama Gelar Periode
1 Abdul Kahir Mantau Wata Wadu 1620—1640
2 I Ambela Abi’l Khair Sirajuddin, Mantau Uma Jati 1640—1682
3 Nuruddin Abu Bakar All Syah Mawa’a Paju 1682—1687
4 Jamaluddin Ali Syah Mawa’a Romo 1687—1696
5 Hasanuddin Muhammad Syah Mabata Bo’u 1696—1731
6 Alauddin Muhammad Syah Manuru Daha 1731—1748
7 Kamalat Syah Rante Patola Sitti Rabi’ah 1748—1751
8 Abdul Kadim Muhammad Syah Mawa’a Taho 1751—1773
9 Abdul Hamid Muhammad Syah Mantau Asi Saninu 1773—1817
10 Ismail Muhammad Syah Mantau Dana Sigi 1817—1854
11 Abdullah Mawa’a Adil 1854—1868
12 Abdul Aziz Mawa’a Sampela 1868—1881
13 Ibrahim Ma Taho Parange 1881—1915
14 Muhamad Salahuddin Marrbora di Jakarta 1915—1951

Peninggalan Sejarah

[sunting | sunting sumber]

Istana Asi Mbojo

[sunting | sunting sumber]
Istana Sultan Bima pada tahun 1949

Istana Asi Mbojo didirikan pada tahun 1888 dalam masa pemerintahan Sultan Ibrahim. Istana ini digunakan hingga masa pemerintahan Sultan Muhammad Salahuddin. Pada tahun 1927, istana Asi Mbojo diperbaiki dan ditempati kembali pada tahun 1929. Arsitekturnya dirancang dengan menggunakan perpaduan arsitektur Bima dan Belanda. Perancangnya adalah Obzicter Rahatta yang merupakan tahanan Hindia Belanda dari Ambon. Istana Asi Mbojo kemudian menjadi Museum Asi Mbojo [26] Pada masa Kesultanan Bima, istana ini digunakan sebagai kediaman sultan bersama keluarganya, serta sebagai pusat pemerintahan dan pusat penyiaran agama.[27]

Istana Asi Bou

[sunting | sunting sumber]

Istana Asi Bou dibangun pada tahun 1927 sebagai kediaman sementara untuk sultan dan keluarganya. Kediaman ini digunakan selama pembangunan ulang dari Istana Asi Mbojo. Istana Asi Bou merupakan sebuah rumah panggung tradisional. Bahan bangunannya berupa kayu jati yang berasal dari Tololai, Kecamatan Wera. Pembangunannya menggunakan biaya dari kas keuangaan Kesultanan Bima dan dana pribadi Sultan Muhammad Salahuddin.[28]

Masjid Sultan Muhammad Salahuddin

[sunting | sunting sumber]

Masjid Sultan Muhammad Salahuddin mulai dibangun pada tahun 1737 M dalam masa pemerintahan Sultan Abdul Kadim. Pembangunan masjid diteruskan oleh Sultan Abdul Hamid. Ia mengubah model atap masjid menjadi bersusun tiga yang menyerupai Masjid Kudus. Pada tahun 1943, Sultan Muhammad Salahuddin memerintahkan pembangunan ulang masjid yang hancur setelah dibom oleh pesawat pasukan sekutu dalam Perang Dunia II. Masjid ini kembali diperbaiki pada tahun 1990 oleh Siti Maryam yang merupakan putri dari Sultan Muhammad Salahuddin.[28]

Masjid Al-Muwahiddin

[sunting | sunting sumber]

Masjid Al-Muwahiddin dibangun pada tahun 1947 dalam masa pemerintahan Sultan Muhammad Salahuddin. Tujuan pembangunannya adalah untuk menggantikan sementar fungsi dari Masjid Muhammad Salahuddin yang telah hancur. Masjid ini difungsikan sebagai tempat kegiatan ibadah, dakwah, dan studi Islam.[29]

Peninggalan Budaya

[sunting | sunting sumber]

Rimpu adalah busana wanita berupa sarung yang digunakan oleh para muslimah di Kesultanan Bima. Kegunaannya adalah sebagai penutup kepala dan bagian tubuh bagian atas. Rimpu terdiri dari dua lembar kain sarung. Sarung pertama digunakan untuk menutupi kepala sehingga yang terliihat hanya bagian muka atau mata saja. Kain kedua diikat di perut dan digunakan sebagai pengganti rok.[30] Rimpu diperkenalkan pertama kali di Bima pada akhir abad ke-17 M.[31]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Mawaddah 2017, hlm. 141.
  2. ^ Saputri 2016, hlm. 633.
  3. ^ Saputri 2016, hlm. 633–634.
  4. ^ Saputri 2016, hlm. 634.
  5. ^ Haris 2006, hlm. 18.
  6. ^ Haris 2006, hlm. 19.
  7. ^ Effendy 2017, hlm. 185.
  8. ^ a b Sumiyati 2020, hlm. 22.
  9. ^ Sumiyati 2020, hlm. 23.
  10. ^ Mandyara 2017, hlm. 47.
  11. ^ Mandyara 2017, hlm. 48.
  12. ^ Mawaddah 2017, hlm. 142.
  13. ^ Sumiyati 2020, hlm. 25.
  14. ^ Sulistyo 2014, hlm. 160.
  15. ^ Sulistyo 2014, hlm. 159.
  16. ^ Aulia 2013, hlm. 2.
  17. ^ Aulia 2013, hlm. 3.
  18. ^ Aulia 2013, hlm. 4.
  19. ^ Salahuddin 2005, hlm. 194.
  20. ^ Effendy 2017, hlm. 188.
  21. ^ Effendy 2017, hlm. 189.
  22. ^ Salahuddin 2005, hlm. 195.
  23. ^ Salahuddin 2005, hlm. 195–196.
  24. ^ Salahuddin 2005, hlm. 196.
  25. ^ Haris 2006, hlm. 30–31.
  26. ^ Akbar, Antariksa, dan Meidiana 2017, hlm. 13.
  27. ^ Akbar, Antariksa, dan Meidiana 2017, hlm. 13–14.
  28. ^ a b Akbar, Antariksa, dan Meidiana 2017, hlm. 14.
  29. ^ Akbar, Antariksa, dan Meidiana 2017, hlm. 15.
  30. ^ Aksa 2018, hlm. 84.
  31. ^ Aksa 2018, hlm. 85.

Daftar Pustaka

[sunting | sunting sumber]