Lompat ke isi

Kerajaan Sunda: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Arumly (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(334 revisi antara oleh lebih dari 100 100 pengguna tak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{for|kerajaan yang berdiri setelah penggabungan dua kerajaan besar di [[Tanah Sunda]]|Kerajaan Sunda Galuh}}
{{Infobox Former Country
{{Infobox Former Country
|conventional_long_name = Kerajaan Sunda
| conventional_long_name = Sunda
|common_name = Kerajaan Sunda
| common_name =
| religion = [[Sunda Wiwitan]], [[Hindu]], [[Buddha]], [[Islam]] (mulai abad ke-14)
|continent = moved from Category:Asia to Southeast Asia
| p1 = Kerajaan Tarumanagara
|region = Asia Tenggara
| s1 = Kesultanan Cirebon
|country = Indonesia
| flag_s1 =
|religion = [[Hindu]], [[Buddha]], [[Sunda Wiwitan]](mulai abad ke-14)
| s2 = Kesultanan Banten
|p1 = Tarumanagara
|s1 = Kesultanan Banten
| s3 = Kesultanan Demak
| year_start = 932
|flag_s1 = Flag of the Sultanate of Banten.svg
| year_end = 1579
|s2 = Kesultanan Demak
| date_start =
|s3 = Kerajaan Sumedang Larang
| date_end =
|year_start = 669
| event_start = [[Prasasti Kebon Kopi II]]: pemulihan kekuasaan raja Sunda
|year_end = 1579
| event_end = Invasi [[Kesultanan Banten]] dan [[Kesultanan Demak]]
|date_start =
| image_coat =
|date_end =
| symbol_type =
|event_start = [[Peralihan Dari Tarumanagara]]
| image_map = Sunda Kingdom_id.svg
|event_end = invansi [[Kesultanan Banten|Banten]]
| image_map_caption = Cakupan wilayah Kerajaan Sunda
|image_coat =
| capital = [[Pakwan Pajajaran]], [[Kawali]] (mulai abad ke-14)
|symbol_type =
| common_languages = [[Bahasa Sunda Kuno|Sunda Kuno]] (umum)
|image_map = Sunda Kingdom_id.svg
[[Bahasa Sanskerta|Sansekerta]] (religius)
|image_map_caption = Wilayah Kerajaan Bersatu Sunda dan Galuh
| title_leader = [[Maharaja]]
|capital = Berpindah-pindah antara [[Pajajaran]], dan [[Kawali]] (Galuh). Pernah juga di Saunggalah (Kuningan)
| leader1 = [[Sri Jayabhupati]]
|common_languages = [[Bahasa Sunda]], [[Bahasa Jawa]], [[Bahasa Melayu Kuno]]
| year_leader1 = {{circa|1030-1042}}
|government_type = Mon
| leader2 = [[Niskala Wastu Kancana]]
|title_leader = ?
| year_leader2 = {{circa|1371-1475}}
|currency = Mata uang emas dan perak
| leader3 = [[Sri Baduga Maharaja]]
|category=
| year_leader3 = {{circa|1482-1521}}
|footnotes =
| leader4 = [[Surawisesa]]
| year_leader4 = {{circa|1521–1535}}
| currency = Mata uang emas dan perak
| category =
| footnotes =
| today = {{flag|Indonesia}}
| s4 = Kerajaan Sumedang Larang
| flag_s4 =
| flag_s2 = Flag of the Sultanate of Banten.svg
| leader5 = [[Ratu Dewata]]
| year_leader5 = 1535–1543
| native_name = ( Sin - To )
}}
}}
{{Sejarah Indonesia}}
{{Sejarah Indonesia|Kerajaan Hindu-Buddha}}
'''Kerajaan Sunda''' ({{lang-su|{{ruby|{{Sund|ᮊ}}|{{resize|60%|ka}}}}{{ruby|{{Sund|ᮛ}}|{{resize|60%|ra}}}}{{ruby|{{Sund|ᮏ}}|{{resize|60%|ja}}}}{{ruby|{{Sund|ᮃ}}|{{resize|60%|a}}}}{{ruby|{{Sund|ᮔ᮪}}|{{resize|60%|n}}}} {{ruby|{{Sund|ᮞᮥ}}|{{resize|60%|su}}}}{{ruby|{{Sund|ᮔ᮪}}|{{resize|60%|n}}}}{{ruby|{{Sund|ᮓ}}|{{resize|60%|da}}}}|Karajaan Sunda}}, {{IPA-su|sunˈda}}) adalah [[kerajaan]] yang pernah ada antara tahun 932 dan 1579 Masehi di bagian barat [[pulau Jawa]], sekarang bagian dari provinsi [[Banten]], [[DKI Jakarta]], [[Jawa Barat]], sebagian wilayah barat Provinsi [[Jawa Tengah]], serta meliputi sebagian wilayah selatan [[Pulau Sumatra]]. Kerajaan ini merupakan penerus dari [[Kerajaan Tarumanagara]] yang bercorak [[Hindu]] dan [[Buddha]],<ref>Geoffrey C. Gunn, (2011), ''History Without Borders: The Making of an Asian World Region, 1000-1800'', Hong Kong University Press, ISBN 988-8083-34-1</ref> kemudian sekitar abad ke-14 diketahui kerajaan ini telah beribu kota di [[Kawali]] serta memiliki dua kawasan pelabuhan utama di [[Kalapa]] dan [[Banten]].<ref name="Claude Guillot"/>
[[Berkas:Gunung-pulosari-1.jpg|thumb|300px|[[Gunung Pulosari]], tempat kramat kerajaan Sunda]]
'''Kerajaan Sunda''' adalah kerajaan yang pernah ada antara tahun 932 dan 1579 Masehi di bagian Barat [[pulau Jawa]] (Provinsi [[Banten]], [[Jakarta]], [[Jawa Barat]], dan sebagian [[Jawa Tengah]] sekarang). Kerjaan ini bahkan pernah menguasai wilayah bagian selatan [[Pulau Sumatera]]. Kerajaan ini bercorak [[Hindu]] dan [[Buddha]],<ref>Geoffrey C. Gunn, (2011), ''History Without Borders: The Making of an Asian World Region, 1000-1800'', Hong Kong University Press, ISBN 9888083341</ref> kemudian sekitar abad ke-14 diketahui kerajaan ini telah beribukota di [[Pakuan Pajajaran]] serta memiliki dua kawasan pelabuhan utama di [[Kalapa]] dan [[Banten]].<ref name="Claude Guillot"/>


Kerajaan Sunda runtuh setelah ibukota kerajaan ditaklukan oleh [[Maulana Yusuf]] pada tahun [[1579]]. Sementara sebelumnya kedua pelabuhan utama Kerajaan Sunda itu juga telah dikuasai oleh [[Kerajaan Demak]] pada tahun [[1527]], Kalapa ditaklukan oleh [[Fatahillah]] dan Banten ditaklukan oleh [[Maulana Hasanuddin]].
Kerajaan Sunda runtuh setelah ibu kota kerajaan ditaklukan oleh [[Maulana Yusuf]] pada tahun [[1579]]. Sementara sebelumnya kedua pelabuhan utama Kerajaan Sunda itu juga telah dikuasai oleh [[Kesultanan Demak]] pada tahun [[1527]], [[Kalapa]] ditaklukan oleh [[Fatahillah]] dan [[Banten]] ditaklukan oleh [[Maulana Hasanuddin]].


== Catatan sejarah ==
==Sumber sejarah==
Secara tradisional, ingatan kolektif mengenai keberadaan kerajaan ini pada kalangan [[Suku Sunda|masyarakat Sunda]] terjaga dalam tradisi oral ''[[Pantun Sunda|Pantun]]'', yang banyak menceritakan masa-masa keemasan kerajaan, terutama mengenai legenda tentang [[Prabu Siliwangi]], Raja Sunda paling populer.<ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=rFvsBQAAQBAJ&q=Pantun+Sunda+Siliwangi&pg=PA146|title=Java Essay: The History and Culture of a Southern Country|last=Iguchi|first=Masatoshi|date=2017-01-25|publisher=Troubador Publishing Ltd|isbn=9781784628857|language=en}}</ref><ref>{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=chJvAAAAMAAJ&q=Pantun+Sunda+Siliwangi|title=Kebudayaan Sunda: Zaman Pajajaran|last=Ekajati|first=Edi Suhardi|date=2005|publisher=Pustaka Jaya|isbn=9789794193341|language=id}}</ref>
[[Berkas:Padrao sunda kelapa.jpg|thumb | kanan | 150px |Padrão Sunda Kalapa (1522), sebuah pilar batu untuk memperingati perjanjian Sunda-Portugis, Museum Nasional Indonesia, Jakarta.]]
Meskipun nama Sunda disebutkan dalam prasasti, naskah-naskah kuno, dan catatan sejarah dari luar negeri, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto menyatakan bahwa belum begitu banyak prasasti yang ditemukan di Jawa Barat dan secara jelas menyebutkan nama kerajaannya, walau dalam berbagai sumber kesusastraan, secara tegas Sunda merujuk kepada nama kawasan.<ref name="Marwati">Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1993), ''Sejarah nasional Indonesia: Zaman kuno'', PT Balai Pustaka, ISBN 979407408X</ref> Diduga sebelum keruntuhannya tahun 1579, Kerajaan Sunda telah mengalami beberapa kali perpindahan pusat pemerintahannya, dimulai dari Galuh dan berakhir di Pakuan Pajajaran.


Beberapa prasasti menyebutkan kerajaan ini, seperti [[Prasasti Kebonkopi II]], [[Prasasti Sanghyang Tapak]], [[Prasasti Kawali]], dan [[Prasasti Batutulis]].
=== Catatan sejarah dari Cina ===
Menurut Hirth dan Rockhill,<ref>Hirth, F., Rockhill, W.W., (1911). ''Chao Ju-kua, His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteen centuries, entitled Chu-fan-chi''. St Petersburg</ref> ada sumber Cina tertentu mengenai Kerajaan Sunda. Pada saat Dinasti Sung Selatan, inspektur perdagangan dengan negara-negara asing, [[Zhao Rugua]] mengumpulkan laporan dari para pelaut dan pedagang yang benar-benar mengunjungi negara-negara asing. Dalam laporannya tentang negara Jauh, ''Zhufan Zhi'', yang ditulis tahun 1225, menyebutkan pelabuhan di "Sin-t'o". Zhao melaporkan bahwa:


===Sumber lokal===
{{cquote2|"Orang-orang tinggal di sepanjang pantai. Orang-orang tersebut bekerja dalam bidang pertanian, rumah-rumah mereka dibangun diatas tiang (rumah panggung) dan dengan atap jerami dengan daun pohon kelapa dan dinding-dindingnya dibuat dengan papan kayu yang diikat dengan rotan. Laki-laki dan perempuan membungkus pinggangnya dengan sepotong kain katun, dan memotong rambut mereka sampai panjangnya setengah inci. Lada yang tumbuh di bukit (negeri ini) bijinya kecil, tetapi berat dan lebih tinggi kualitasnya dari Ta-pan (Tuban, Jawa Timur). Negara ini menghasilkan labu, tebu, telur kacang dan tanaman."}}
[[File:KITLV 87649 - Isidore van Kinsbergen - Inscribed stone at Batoetoelis at Buitenzorg - Before 1900.tif|thumb|right|[[Prasasti Batutulis]] (bertanggal 1533), di [[Bogor]], mengenang raja agung Sunda, [[Sri Baduga Maharaja]] (memerintah dari 1482–1521).]]
Rujukan paling awal mengenai nama "Sunda" yang digunakan untuk mengidentifikasi sebuah kerajaan adalah [[Prasasti Kebonkopi II]], bertanggal 854 Saka (932 M). Prasasti ini ditulis dalam aksara Kawi dan berbahasa Melayu. Kutipannya adalah sebagai berikut:<ref name="SNI-II:Zaman Kuno">{{cite book |author1=Marwati Djoened Poesponegoro |author2=Nugroho Notosusanto | title=Sejarah Nasional Indonesia: Zaman kuno | url=http://www.worldcat.org/title/sejarah-nasional-indonesia/oclc/318053182 | date=2008 | publisher=Balai Pustaka | ISBN=979407408X | language=Indonesian | accessdate=3 June 2018}}</ref>


Alih aksara:<br/>
Buku perjalanan Cina ''[[Shunfeng xiangsong]]'' dari sekitar 1430 mengatakan :
{{cquote2|''Ini sabdakalanda Rakryan Juru Pangambat I kawihaji panyaca pasagi marsandeca ~ ba(r) pulihkan hajiri Sunda''}}


Terjemahan:<br/>
{{cquote2|"Dalam perjalanan ke arah timur dari Shun-t'a, sepanjang pantai utara Jawa, kapal dikemudikan 97 1/2 derajat selama tiga jam untuk mencapai [[Sunda Kalapa|Kalapa]], mereka kemudian mengikuti pantai (melewati Tanjung Indramayu), akhirnya dikemudikan 187 derajat selama empat jam untuk mencapai Cirebon. Kapal dari Banten berjalan ke arah timur sepanjang pantai utara Jawa, melewati [[Sunda Kalapa|Kalapa]], melewati Indramayu, melewati Cirebon."}}
{{cquote2|Batu peringatan ini adalah ucapan Rakryan Juru Pangambat, pada tahun 854 Saka (932 Masehi), bahwa tatanan pemerintah dikembalikan kepada kekuasaan raja Sunda.}}


Rujukan lain mengenai nama kerajaan ini adalah [[Prasasti Sanghyang Tapak|Prasasti Jayabupati]] yang terdiri dari 40 baris yang ditulis di atas empat buah batu, yang ditemukan di tepi sungai Cicatih, Cibadak, [[Sukabumi]]. Prasasti ini menyebutkan pendirian sebuah kawasan suci yang dilindungi bernama Sanghyang Tapak oleh Raja Jayabhupati dari Sunda. Prasasti ini berangka tahun 1030 Masehi.<ref>{{Citation|author=Dit. PCBM|title=Keragaman Aksara dan Bahasa pada Prasasti-Prasasti Jawa Barat|publication-date=12 Februari 2019|publisher=kebudayaan.kemdikbud.go.id|url=https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/dpk/ragam-aksara-dan-bahasa-prasasti-prasasti-jawa-barat/|access-date=6 Juli 2023|language=id}}</ref>
=== Catatan sejarah dari Eropa ===
Laporan Eropa berasal dari periode berikutnya menjelang jatuhnya Kerajaan Sunda oleh kekuatan [[Kesultanan Banten]]. Salah satu penjelajah itu adalah [[Tomé Pires]] dari Portugal. Dalam bukunya ''[[Suma Oriental]]'' (1513 - 1515) ia menulis bahwa:


Prasasti berbahan lempengan tembaga yang berasal dari abad ke-15, termasuk instruksi kerajaan, juga mendukung keberadaan Kerajaan Sunda. [[Prasasti kebantenan|Prasasti Kebantenan I]] (Jayagiri) menyebutkan bahwa Raja Rahyang [[Niskala Wastu Kancana]] mengirimkan perintah melalui Hyang Ningrat Kancana kepada Susuhunan Pakuan Pajajaran untuk mengurus "dayohan" di Jayagiri dan Sunda Sembawa, dan melarang pemungutan pajak dari para penduduk, karena mereka akan menjadi pemeluk agama Hindu dan memuja para dewa. Prasasti lempengan tembaga Kebantenan II (atau Sunda Sembawa I) mengumumkan bahwa [[Sri Baduga Maharaja]] (1482-1521), raja di Pakuan, menyetujui tanah suci yang telah ditandai ('tanah devasasana') untuk digunakan oleh ''wiku'' (pendeta), yang tidak boleh dipecah-pecah karena tanah tersebut merupakan tempat untuk beribadah, yang merupakan milik raja. Prasasti Kebantenan III (Sunda Sembawa II) yang terbuat dari lempengan tembaga mengumumkan sanksi raja Sunda atas pembangunan candi di Sunda Sembawa. Prasasti Kebantenan IV merinci bahwa Sri Baduga Maharaja, yang memerintah di Pakuan, menyetujui pembangunan tempat suci yang serupa di Gunung Samya (Gunung Rancamaya).<ref>{{Cite journal|last=Gunawan|first=Aditia|last2=Griffiths|first2=Arlo|date=2021|title=Old Sundanese Inscriptions: Renewing the Philological Approach|url=https://journals.openedition.org/archipel/2365|journal=Archipel|volume=101|pages=131-208|doi=10.4000/archipel.2365|ref=harv|url-status=live|doi-access=free| issn=0044-8613 }}</ref>
{{cquote2|"Beberapa orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda luasnya setengah dari seluruh pulau Jawa; sebagian lagi mengatakan bahwa Kerajaan Sunda luasnya sepertiga dari pulau Jawa dan ditambah seperdelapannya."}}


Naskah [[Bujangga Manik]] adalah sumber utama tentang kehidupan sehari-hari Kerajaan Sunda pada akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16. Naskah ini menuliskan nama-nama tempat, budaya dan adat istiadat, dengan sangat rinci, naskah ini dianggap sebagai salah satu contoh penting dari sastra [[bahasa Sunda Kuno]]. Naskah ini mengisahkan tentang Jaya Pakuan alias Bujangga Manik, meskipun seorang pangeran di istana [[Pakuan Pajajaran]], namun ia lebih memilih untuk hidup menyendiri sebagai penganut agama Hindu yang taat. Sebagai seorang pengembara pertapa, buku ini merinci dua perjalanan dari [[Pakuan Pajajaran]] ke Jawa Tengah dan Jawa Timur dan kembali, perjalanan kedua termasuk kunjungan ke [[Bali]]. Disimpulkan bahwa Jaya Pakuan melakukan pertapaan di sebuah gunung di Jawa bagian barat sampai kematiannya.<ref name="Noorduyn 2006 437">{{cite book | last =Noorduyn | first =J. | publisher= KITLV Press | title = Three Old Sundanese poems | year =2006| page =437
=== Temuan arkeologi ===
}}</ref> Sebagai sebuah naskah yang berasal dari zaman Sunda pra-Islam, naskah ini ditulis dalam bahasa Sunda yang lebih tua. Naskah ini tidak mengandung kata-kata yang dipinjam dari bahasa Arab. Pengaruh Islam juga tidak ada dalam isi cerita. Penyebutan secara spesifik tentang [[Majapahit]], [[Kesultanan Malaka]] dan [[Kesultanan Demak]], memungkinkan kita untuk menentukan tanggal penulisan cerita pada abad ke-15, mungkin pada akhir abad ini, atau paling lambat awal abad ke-16.<ref>{{cite book | last =Noorduyn | first =J. | publisher= KITLV Press | title = Three Old Sundanese poems | year =2006 | page =438
Di wilayah [[Jawa Barat]] ditemukan beberapa candi, antara lain [[Percandian Batujaya]] di Karawang (abad ke-2 sampai ke-12) yang bercorak [[Buddha]], serta percandian [[Hindu]] yaitu [[Candi Bojongmenje]] di Kabupaten Bandung yang berasal dari abad ke-7 (sezaman dengan percandian [[Dieng]]), dan [[Candi Cangkuang]] di Leles, Garut yang bercorak Hindu Siwa dan diduga berasal dari abad ke-8 Masehi. Siapa yang membangun candi-candi ini masih merupakan misteri, namun umumnya disepakati bahwa candi-candi ini dikaitkan dengan kerajaan Hindu yang pernah berdiri di Jawa Barat, yaitu Tarumanagara, Sunda dan Galuh.
}}</ref>


===Sumber China===
Di [[Museum Nasional Indonesia]] di Jakarta terdapat sejumlah arca yang disebut "arca [[Caringin]]" karena pernah menjadi hiasan kebun asisten-[[residen]] Belanda di tempat tersebut. Arca tersebut dilaporkan ditemukan di Cipanas, dekat kawah [[Gunung Pulosari]], dan terdiri dari satu dasar patung dan 5 arca berupa [[Shiwa]] Mahadewa, [[Durga]], [[Batara Guru]], [[Ganesha]] dan [[Brahma]]. Coraknya mirip corak patung Jawa Tengah dari awal abad ke-10.
[[File:Jan Huyghen van Linschoten Ship of China and Java.jpg|thumb|right|Rombongan kerajaan Sunda berlayar ke Majapahit dengan menggunakan ''[[Djong (kapal)#Era Majapahit|Jong sasanga wangunan ring Tatarnagari tiniru]]'', sebuah jenis perahu ''junk'', yang juga menggabungkan teknik-teknik dari Tiongkok, seperti penggunaan paku besi di samping pena kayu, pembuatan sekat yang kedap air, dan penambahan kemudi di bagian tengah.]]
[[File:COLLECTIE TROPENMUSEUM Kampong Wanaradja bij de vulkaan Papandajan op West-Java. TMnr 60007645.jpg|thumb|right|[[Rumah tradisional Sunda]] bergaya atap ''[[Julang Ngapak]]'' di [[Garut]] sekitar 1920-an. Dibangun di atas tiang-tiang dan beratap jerami, seperti yang dijelaskan dalam [[Zhu Fan Zhi|sumber Tiongkok abad ke-12]].]]


Menurut F. Hirt dan W. W. Rockhill, terdapat sumber-sumber Cina mengenai Kerajaan Sunda. Pada masa Dinasti Sung Selatan, inspektur perdagangan dengan negara-negara asing, [[Chau Ju-kua]], mengumpulkan laporan-laporan dari para pelaut dan pedagang yang telah mengunjungi negeri-negeri asing. Laporannya tentang negeri-negeri yang jauh, ''[[Zhu Fan Zhi]]'', yang ditulis pada tahun 1178 hingga 1225 Masehi, menyebutkan tentang pelabuhan laut dalam Sin-t'o (Sunda). Zhu Fan Zhi melaporkan sebagai berikut:
Di situs purbakala [[Banten Girang]], yang terletak kira-kira 10&nbsp;km di sebelah selatan pelabuhan Banten sekarang, terdapat reruntuhan dari satu istana yang diperkirakan didirikan di abad ke-10. Banyak unsur yang ditemukan dalam reruntuhan ini yang menunjukkan pengaruh Jawa Tengah.


{{quotation|Di sepanjang pantai, orang-orang tinggal. Orang-orang bekerja di bidang pertanian, rumah-rumah mereka bertiang dan atapnya terbuat dari jerami dengan kulit daun pohon palem dan dindingnya terbuat dari papan kayu yang diikat dengan rotan. Baik pria maupun wanita melilitkan sepotong kapas di pinggang mereka, dan dalam memotong rambut mereka hanya menyisakan setengah inci. [[Lada hitam]] yang ditanam di perbukitan (negeri ini) berbutir kecil tetapi berbobot dan lebih unggul daripada lada [[Tuban|Ta-pan]] (Tuban di Jawa bagian timur). Negara ini menghasilkan labu, tebu, [[labu botol]], kacang-kacangan, dan [[terung]]. Namun, karena tidak ada pemerintahan yang teratur di negara ini, penduduknya menjadi perampok, sehingga pedagang asing jarang pergi ke sana.}}
Situs-situs arkeologi lain yang berkaitan dengan keberadaan Kerajaan Sunda, masih dapat ditelusuri terutama pada kawasan muara [[Sungai Ciliwung]] termasuk situs Sangiang di daerah [[Pulo Gadung]]. Hal ini mengingat jalur [[sungai]] merupakan salah satu alat transportasi utama pada masa tersebut.<ref>Uka Tjandrasasmita, (2009), ''Arkeologi Islam Nusantara'', Kepustakaan Populer Gramedia, ISBN 979910212X</ref>


Menurut sumber ini, kerajaan Sunda menghasilkan lada hitam berkualitas tinggi. Kerajaan yang terletak di bagian barat Jawa dekat [[Selat Sunda]], sesuai dengan wilayah Banten, Jakarta, dan bagian barat provinsi Jawa Barat saat ini. Menurut sumber ini, pelabuhan Sunda berada di bawah kekuasaan [[Sriwijaya]]. Pelabuhan Sunda ini sangat mungkin merujuk kepada [[Banten]], bukannya [[Sunda Kalapa]] (sekarang [[Jakarta Utara]]). Ibukotanya terletak 10 kilometer ke arah selatan di [[Banten Girang]] dekat [[Gunung Pulosari]].
=== Naskah Kuno ===
Selain dari beberapa [[prasasti]] dan [[berita]] dari luar, beberapa karya sastra dan karya bentuk lainnya dari [[naskah]] lama juga digunakan dalam merunut keberadaan Kerajaaan Sunda,<ref>Noorduyn, ''Kerajaan Sunda dan Pakuan Pajajaran dilihat dari sumber-sumber prasasti dan naskah-naskah lama'', Panitia Seminar, 1991</ref> antaranya naskah [[Carita Parahyangan]], [[Pararaton]], [[Bujangga Manik]], naskah didaktik [[Sanghyang siksakanda ng karesian]], dan naskah sejarah [[Sajarah Banten]].<ref>Nana Supriatna, Mamat Ruhimat, Kosim, ''IPS Terpadu (Sosiologi, Geografi, Ekonomi, Sejarah)'', PT Grafindo Media Pratama, ISBN 9797583376</ref>
Buku Cina "Shun-Feng Hsiang-Sung" dari sekitar tahun 1430 Masehi menceritakan:


{{quotation|Dalam pelayaran ke arah timur dari Sunda, di sepanjang pantai utara Jawa, kapal-kapal mengarahkan 97 1/2 derajat selama tiga kali putaran untuk mencapai [[Sunda Kalapa|Kalapa]]; mereka kemudian mengikuti pesisir pantai (melewati Tanjung Indramayu), dan akhirnya mengarahkan 187 1/2 derajat selama empat kali putaran untuk mencapai Cirebon. Kapal-kapal dari Banten melanjutkan perjalanan ke arah timur di sepanjang pantai utara Jawa, melewati [[Sunda Kalapa|Kalapa]], melewati Indramayu, melewati Cirebon.}}
== Berdirinya kerajaan Sunda ==
Berdasarkan [[Prasasti Kebonkopi II]], yang ber[[bahasa Melayu Kuno]] dengan tarikh [[932]], menyebutkan seorang "Raja Sunda menduduki kembali tahtanya".<ref>Guillot, Claude, Lukman Nurhakim, Sonny Wibisono, (1995), ''La principauté de Banten Girang'', Archipel, Vol. 50, pp 13-24</ref> Hal ini dapat ditafsirkan bahwa Raja Sunda telah ada sebelumnya.<ref name="Marwati"/> Sementara dari sumber [[Tiongkok]] pada buku [[Zhufan Zhi]] yang ditulis pada tahun [[1178]] oleh [[Zhao Rugua]] menyebutkan terdapat satu kawasan dari ''San-fo-ts'i'' yang bernama ''Sin-to'' kemudian dirujuk kepada Sunda.<ref>Soekmono, R. (2002), ''Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 2''. Kanisius. ISBN 979-413-290-X.</ref>


Menurut sumber ini, pelabuhan Sunda terletak di sebelah barat [[Sunda Kalapa|Kalapa]] dan kemudian diidentifikasi sebagai [[Kota Kuno Banten]].
Menurut [[naskah Wangsakerta]], naskah yang oleh sebagian orang diragukan keasliannya serta diragukan sebagai sumber sejarah karena sangat sistematis, menyebutkan Sunda merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan [[Tarumanagara]]. Kerajaan Sunda didirikan oleh [[Tarusbawa]] pada tahun 669 (591 Saka). Kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi [[Banten]], [[Jakarta]], Provinsi [[Jawa Barat]], dan bagian barat Provinsi [[Jawa Tengah]].


===Sumber Eropa===
Sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, [[666]]-[[669]] M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, dia memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan [[Dapunta Hyang Sri Jayanasa]], yang selanjutnya mendirikan [[Kerajaan Sriwijaya]]. Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun ([[612]]-[[702]]) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan [[Kerajaan Galuh]] yang mandiri. Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara, dan selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai [[Cipakancilan]] dimana di daerah tersebut sungai [[Ciliwung]] dan sungai [[Cisadane]] berdekatan dan berjajar, dekat [[Kota Bogor|Bogor]] saat ini. Sedangkan Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Dia dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari [[Radite]] [[Pon]], 9 [[Suklapaksa]], bulan [[Yista]], tahun 519 Saka (kira-kira [[18 Mei]] [[669]] M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya yaitu [[sungai Citarum]] (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).
[[File:Java-Map.jpg|thumb|right|300px|Peta kuno pulau Jawa masih menganggap bahwa tanah Sunda di bagian barat terpisah dari pulau Jawa lainnya. Di sini ibu kota Sunda disebut ''Daio'' yang merujuk pada ''Dayeuh'' [[Pakuan Pajajaran]].]]
Para penjelajah Eropa, terutama Portugis yang berbasis di [[Malaka Portugis]], juga melaporkan keberadaan Kerajaan Sunda. [[Tomé Pires]] (1513) menyebut sebuah kerajaan di Jawa Barat yang menjalin hubungan dagang dengan mereka sebagai ''Regño de Çumda'', yang berarti ''Kerajaan Sunda''. Juga laporan [[Antonio Pigafetta]] (1522) yang menyebut Sunda sebagai daerah penghasil [[lada]].<ref name="SNI-II:Zaman Kuno"/>{{rp|381}}


Tomé Pires dari Portugal menulis dalam laporannya [[Suma Oriental]] (1513-1515):
== Wilayah kekuasaan ==
Berdasarkan naskah kuno primer [[Bujangga Manik]] (yang menceriterakan perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta [[Hindu]] [[Sunda]] yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, [[Oxford University]], [[Inggris]] sejak tahun [[1627]]), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai [[Kali Brebes]]) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi [[Jawa Tengah]]. Kerajaan Sunda yang berikbukota di [[Pajajaran]] juga mencakup wilayah bagian selatan pulau Sumatera. Setelah Kerajaan Sunda diruntuhkan oleh [[Kesultanan Banten]] maka kekuasaan atas wilayah selatan Sumatera dilanjutkan oleh Kesultanan Banten.<ref name="Claude Guillot">{{cite book | last =Guillot | first =Claude. | publisher= Gramedia Book Publishing Division | title = The Sultanate of Banten | date = | year =1990 | id= ISBN 9794039225}}</ref>


{{quotation|Beberapa orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda menempati setengah dari seluruh pulau Jawa; yang lain, yang memiliki otoritas lebih besar, mengatakan bahwa kerajaan Sunda sepertiga bagian dari pulau Jawa ditambah seperdelapan bagian lainnya. Berakhir di Ci Manuk. Sungai ini melintasi seluruh pulau dari laut ke laut sedemikian rupa sehingga ketika orang-orang Jawa menggambarkan negara mereka sendiri, mereka mengatakan bahwa negara mereka dibatasi di sebelah barat oleh pulau Sunda. Orang-orang percaya bahwa siapa pun yang melewati selat ini (sungai Cimanuk) menuju Laut Selatan akan terbawa arus deras dan tidak dapat kembali lagi.<ref name="Heuken">{{cite book | last =SJ | first =Adolf Heuken | publisher= Cipta Loka Caraka | title = Sumber-sumber asli sejarah Jakarta, Jilid I: Dokumen-dokumen sejarah Jakarta sampai dengan akhir abad ke-16 | year =1999|page = 34 }}</ref>}}
Menurut [[Naskah Wangsakerta]], wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi [[Lampung]] melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh [[Selat Sunda]].


Laporan Portugis di atas berasal dari periode akhir Kerajaan Sunda, tak lama sebelum jatuh ke tangan [[Kesultanan Banten]].
== Menyebarnya Islam ==
[[Islam]] mulai masuk ke wilayah Tatar Pasundan pada abad ke-7 Masehi. Namun penyebarannya secara signifikan baru dimulai pada abad ke-13 Masehi.


=== Naskah lainnya ===
Pada tahun 1416, Laksamana [[Zheng He]] dari [[Dinasti Ming]] melakukan ekspedisi ke-5 menuju Nusantara. Dalam rombongannya terdapat Syekh Hasanuddin, juga dikenal sebagai '''[[Syekh Quro]]''' yang berasal dari [[Kerajaan Champa|Champa]]. Saat armada Zheng He singgah di Karawang, Syekh Hasanuddin beserta pengikutnya turun dan bermukim di [[Tanjungpura, Karawang Barat, Karawang|Tanjungpura]]. Atas izin Prabu [[Niskala Wastu Kancana]], Syekh Hasanuddin mendirikan pesantren bernama [[Pondok Qura]] di Tanjungpura, yang merupakan pesantren tertua di Jawa Barat. Ia kemudian menjadi guru dari Nyi Mas [[Subanglarang]], salah-satu istri dari Prabu [[Sri Baduga Maharaja]] yang menganut Islam.
Selain dari beberapa [[prasasti]] dan [[berita]] dari luar, beberapa karya sastra juga digunakan untuk mengetahui keberadaan Kerajaan Sunda,<ref>Noorduyn, ''Kerajaan Sunda dan [[Pakuan Pajajaran]] dilihat dari sumber-sumber prasasti dan naskah-naskah lama'', Panitia Seminar, 1991</ref> diantaranya :


# ''[[Carita Parahyangan]]'',
== Masa penurunan ==
# ''[[Sanghyang Siksa Kandang Karesian]]''.<ref>Nana Supriatna, Mamat Ruhimat, Kosim, ''IPS Terpadu (Sosiologi, Geografi, Ekonomi, Sejarah)'', PT Grafindo Media Pratama, ISBN 979-758-337-6</ref>
Sapeninggal Jayadéwata, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya, Prabu Surawisésa (1521-1535), kemudian Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543), Prabu Sakti (1543-1551), Prabu Nilakéndra (1551-1567), serta Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579). Prabu Suryakancana ini merupakan pemimpin kerajaan Sunda-Galuh yang terakhir, sebab setelah beberapa kali diserang oleh pasukan [[Maulana Yusuf]] dari Kesultanan Banten, mengakibatkan kekuasaan [[Prabu Surya Kancana]] dan [[Kerajaan Pajajaran]] runtuh.{{fact}}


== Ibukota kerajaan ==
== Persekutuan antara Sunda dan Galuh ==
Putera [[Tarusbawa]] yang terbesar, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih muda, meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini lantas dinikahi oleh Rahyang [[Sanjaya]] dari [[Galuh]], sampai mempunyai seorang putera, Rahyang Tamperan.{{fact}}


Nama Ibukota kerajaan dapat diketahui dari beberapa sumber, diantaranya:
Ibu dari Sanjaya adalah Sanaha, cucu Ratu [[Shima]] dari [[Kalingga]] di [[Jepara]]. Ayah dari Sanjaya adalah [[Bratasenawa]]/Sena/Sanna, Raja Galuh ketiga sekaligus teman dekat Tarusbawa. Sena adalah cucu [[Wretikandayun]] dari putera bungsunya, [[Mandiminyak]], raja Galuh kedua (702-709 M). Sena pada tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh Purbasora. [[Purbasora]] dan [[Sena]] sebenarnya adalah saudara satu ibu, tetapi lain ayah.{{fact}}


=== Prasasti Batutulis (1533 M) ===
Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke [[Pakuan Pajajaran]], pusat Kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang, [[Wretikandayun]], kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan [[Kerajaan Galuh]] dari [[Tarumanegara]]. Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh dengan bantuan Tarusbawa. Penyerangan ini bertujuan untuk melengserkan Purbasora.{{fact}}


Berdasarkan [[Prasasti Batutulis]] berangka tahun 1533 (1455 Saka), disebutkan nama ''[[Sri Baduga Maharaja|Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata]]'', sebagai raja yang bertahta di [[Pakuan Pajajaran]]. Prasasti ini terletak di Jalan Batutulis, [[Batutulis, Bogor Selatan, Bogor|Kelurahan Batutulis]], [[Bogor Selatan, Bogor|Kecamatan Bogor Selatan]], [[Kota Bogor]].<ref>{{Cite book|last=Casparis|first=J. G. de|date=1975|url=https://books.google.com/books?id=cLUfAAAAIAAJ&pg=PA54&lpg=PA54&dq=Batu+Tulis+inscription&source=bl&ots=G1uVi9KHi8&sig=fwfjS56T33DIXhL5uNG7kIPcl3g&hl=en&ei=yX1VTMDuBsGUrAffl73zAw&sa=X&oi=book_result&ct=result|title=Indonesian Palaeography: A History of Writing in Indonesia from the Beginnings to C. A.D. 1500|publisher=BRILL|isbn=978-90-04-04172-1|language=en}}</ref>
Saat Tarusbawa meninggal (tahun [[723]]), kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya. Di tangan Sanjaya, Sunda dan Galuh bersatu kembali. Tahun 732, Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh kepada puteranya [[Rarkyan Panaraban]] (Tamperan). Di [[Kalingga]] Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun ([[732]]-[[754]]), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi Sudiwara, yaitu [[Rakai Panangkaran]]. Rarkyan Panaraban berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739), lalu membagi kekuasaan pada dua puteranya; Sang Manarah (dalam carita rakyat disebut Ciung Wanara) di Galuh, serta Sang Banga (Hariang Banga) di Sunda.{{fact}}


[[Prasasti]] ini dikaitkan dengan Kerajaan Sunda. Pada batu ini berukir kalimat-kalimat dalam [[bahasa Sunda Kuno]] dan [[aksara Kawi]]. Prasasti ini dibuat oleh [[Prabu]] [[Sanghiang Surawisesa]] (yang melakukan perjanjian dengan [[Portugis]]) dan menceritakan kemashuran ayahandanya tercinta (Sri Baduga Maharaja) sebagai berikut:
Sang Banga (Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27 tahun ([[739]]-[[766]]), tetapi hanya menguasai Sunda dari tahun [[759]]. Dari Déwi Kancanasari, keturunan [[Demunawan]] dari [[Saunggalah]], Sang Banga mempunyai putera bernama [[Rarkyan Medang]], yang kemudian meneruskan kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun ([[766]]-[[783]]) dengan gelar [[Prabhu Hulukujang]]. Karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon atau [[Prabhu Gilingwesi]] dari Galuh, yang menguasai Sunda selama 12 tahun ([[783]]-[[795]]).{{fact}}


{{cquote2|Semoga selamat, ini tanda peringatan Prabu Ratu almarhum. Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan.
Karena Rakryan Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan, maka kekuasaan Sunda lantas jatuh ke menantunya, Rakryan Diwus (dengan gelar [[Prabu Pucukbhumi Dharmeswara]]) yang berkuasa selama 24 tahun ([[795]]-[[819]]). Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus, yang menikah dengan putera dari Sang Welengan (raja Galuh, [[806]]-[[813]]). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-[[842]]), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh Rakryan Wuwus (dengan gelar [[Prabhu Gajahkulon]]) sampai ia wafat tahun [[891]].{{fact}}
Dia putera Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusa Larang.
Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, membuat undakan untuk hutan Samida, membuat Sahiyang Telaga Rena Mahawijaya (dibuat) dalam (tahun) Saka "Panca Pandawa Mengemban Bumi".}}


== Penemuan arkeologi ==
Sepeninggal Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari Galuh, [[Arya Kadatwan]]. Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari Sunda, ia dibunuh tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke putranya, Rakryan Windusakti. Kekuasaan ini lantas diturunkan pada putera sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913). Rakryan Kamuninggading menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian direbut oleh adiknya, Rakryan Jayagiri (916). Rakryan Jayagiri berkuasa selama 28 tahun, kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun 942. Melanjutkan dendam orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut kekuasaannya oleh keponakannya (putera Kamuninggading), Sang Limburkancana (954-964).{{fact}}
Di wilayah [[Jawa Barat]] ditemukan beberapa [[candi]], antara lain [[Percandian Batujaya]] di [[Kabupaten Karawang|Karawang]] (abad ke-2 sampai ke-12) yang bercorak [[Buddha]], serta percandian [[Hindu]] yaitu [[Candi Bojongmenje]] di [[Kabupaten Bandung]] yang berasal dari abad ke-7 (sezaman dengan percandian [[Dieng]]), dan [[Candi Cangkuang]] di Leles, [[Kabupaten Garut|Garut]] yang bercorak [[Hindu Siwa]] dan diduga berasal dari abad ke-8 Masehi. Siapa yang membangun candi-candi ini masih merupakan misteri, namun umumnya disepakati bahwa candi-candi ini dikaitkan dengan kerajaan Hindu yang pernah berdiri di Jawa Barat, yaitu [[Tarumanagara]], [[Sunda]] dan [[Galuh]].


Di [[Museum Nasional Indonesia]] di [[Jakarta]] terdapat sejumlah arca yang disebut "[[arca]] [[Caringin]]" karena pernah menjadi hiasan kebun asisten-[[residen]] [[Belanda]] di tempat tersebut. Arca tersebut dilaporkan ditemukan di [[Cipanas]], dekat [[kawah]] [[Gunung Pulosari]], dan terdiri dari satu dasar patung dan 5 arca berupa [[Shiwa]] Mahadewa, [[Durga]], [[Batara Guru]], [[Ganesha]] dan [[Brahma]]. Coraknya mirip corak patung di [[Jawa Tengah]] dari awal abad ke-10.
Dari Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera sulungnya, Rakryan Sundasambawa (964-973). Karena tidak mempunyai putera dari Sundasambawa, kekuasaan tersebut jatuh ke adik iparnya, Rakryan Jayagiri (973-989). Rakryan Jayagiri mewariskan kekuasaannya ka puteranya, Rakryan Gendang (989-1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu Déwasanghyang (1012-1019). Dari Déwasanghyang, kekuasaan diwariskan kepada puteranya, lalu ke cucunya yang membuat [[prasasti Cibadak]], Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri Jayabhupati adalah menantu dari [[Dharmawangsa Teguh]] dari Jawa Timur, mertua raja [[Airlangga]] (1019-1042).{{fact}}


Di situs purbakala [[Banten Girang]], yang terletak kira-kira 10&nbsp;km di sebelah selatan pelabuhan [[Banten]] sekarang, terdapat reruntuhan dari satu istana yang diperkirakan didirikan pada abad ke-10. Banyak unsur yang ditemukan dalam reruntuhan ini yang menunjukkan pengaruh Jawa Tengah.
Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya, Dharmaraja (1042-1064), lalu ke cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi (1064-1154). Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri (1154-[[1156]]), lantas oleh cucunya, Prabhu Dharmakusuma (1156-[[1175]]). Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada putranya, Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun (1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12 tahun, tapi kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada [[Pakuan Pajajaran]], kembali lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.{{fact}}


Situs-situs arkeologi lain yang berkaitan dengan keberadaan Kerajaan Sunda, masih dapat ditelusuri terutama pada kawasan muara [[Sungai Ciliwung]] termasuk [[situs Sangiang]] di daerah [[Pulo Gadung]] (sekarang [[Pulo Gadung, Jakarta Timur]]). Hal ini mengingat jalur [[sungai]] merupakan salah satu alat transportasi utama pada masa tersebut.<ref>Uka Tjandrasasmita, (2009), ''Arkeologi Islam Nusantara'', Kepustakaan Populer Gramedia, ISBN 979-9102-12-X</ref>
Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang terbesar, Rakryan Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama enam tahun (1297-1303). Prabhu Ragasuci kemudian diganti oleh putranya, Prabhu Citraganda, yang berkuasa selama delapan tahun (1303-1311), kemudian oleh keturunannya lagi, Prabu Linggadéwata (1311-1333). Karena hanya mempunyai anak perempuan, Linggadéwata menurunkan kekuasaannya ke menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340), kemudian ke Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan diwariskan ke putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (1350-1357), yang di ujung kekuasaannya gugur saat [[Tragedi Bubat|Perang Bubat]]. Karena saat kejadian di Bubat, putranya—Niskalawastukancana—masih kecil, kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu Bunisora (1357-1371).{{fact}}


== Alur ==
[[Berkas:Pr AG.jpg|thumb|200px|[[Prasasti Kawali]] di Kabuyutan Astana Gedé, Kawali, [[Ciamis]].]]
Kerajaan Sunda merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan [[Tarumanagara]] yang mengalami keruntuhan.WIlayah kekuasaannya meliputi bagian barat dari [[pulau Jawa]] dan membentang dari [[Ujung Kulon]] hingga ke [[Sungai Serayu|Ci Sarayu]] dan [[Sungai Pemali|Ci Pamali]].<ref>{{Cite book|last=BPS Provinsi Banten|date=2019|url=https://dmsppid.bantenprov.go.id/upload/dms/52/buku-pbda-2019-final.pdf|title=Pariwisata Banten dalam Angka Tahun 2019|publisher=Dinas Pariwisata Provinsi Banten|pages=47-48|url-status=live}}</ref> Keterangan tentang berdirinya Kerajaan Sunda sebagai penerus Kerajaan Tarumanagara diperoleh dari [[naskah Wangsakerta]], naskah yang oleh sebagian orang diragukan keasliannya serta diragukan sebagai sumber sejarah karena sangat sistematis.<ref>{{Cite journal|last=Lubis|first=Nina H.|date=2012-08-03|title=Kontroversi Tentang Naskah Wangsakerta|url=https://jurnal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/741|journal=Humaniora|language=id|volume=14|issue=1|pages=20–26|doi=10.22146/jh.v14i1.741|doi-broken-date=31 July 2022|issn=2302-9269}}</ref><ref>{{Cite news|date=2013-12-14|title=Mengungkap Kontroversi Naskah Wangsakerta - Radar Cirebon|url=http://www.radarcirebon.com/mengungkap-kontroversi-naskah-wangsakerta-2.html|work=Radar Cirebon|language=id-ID|access-date=2018-06-03|archive-date=2018-09-07|archive-url=https://web.archive.org/web/20180907214133/http://www.radarcirebon.com/mengungkap-kontroversi-naskah-wangsakerta-2.html|dead-url=yes}}</ref>
Sapeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana, Niskalawastukancana, yang kemudian memimpin selama 104 tahun (1371-1475). Dari isteri pertama, Nay Ratna Sarkati, ia mempunyai putera Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang diberi kekuasaan bawahan di daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda). Prabu Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur. Dari Nay Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai putera Ningratkancana (Prabu Déwaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di daerah Galuh (1475-1482).{{fact}}


=== Rakryan Juru Pangambat ===
Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan menikahkan Jayadéwata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh Jayadéwata, yang bergelar Sri Baduga Maharaja.{{fact}}
Berdasarkan [[prasasti Kebon Kopi II]], berasal dari 932, ditemukan di [[Bogor]], seorang pemburu ulung berjuluk '''Rakryan Juru Pangambat''', mendeklarasikan otoritasnya yang telah mengembalikan kekuasaan Raja Sunda.<ref name="SNI-II:Zaman Kuno" />{{rp|381}} Prasasti ini berbahasa Melayu Kuno, arkeologis F.D.K. Bosch berpendapat bahwa penggunaan bahasa Melayu Kuno sebagai pengaruh Sriwijaya. Sejarawan Prancis, Claude Guillot juga berpendapat bahwa prasasti ini sebagai deklarasi berdaulatnya Kerajaan Sunda, kemungkinan dari Sriwijaya.


=== Jayabupati ===
== Raja-raja Kerajaan Sunda-Galuh ==
[[Berkas:Sanghyang_Tapak_inscription.jpg|ka|jmpl|Prasasti Sanghyang Tapak]]
Menurut [[Prasasti Sanghyang Tapak]] yang berangka tahun 1030 (952 Saka), diketahui bahwa kerajaan Sunda dipimpin oleh ''Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwana Mandala Swaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa''. Prasasti ini terdiri dari 40 baris yang ditulis dalam [[Aksara Kawi]] pada 4 buah batu, ditemukan di tepi sungai Cicatih di Cibadak, [[Sukabumi]]. Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nesional dengan nomor kode D 73 (dari Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi ketiga batu pertama berisi tulisan sebagai berikut<ref name="Herwig Zahorka">{{cite book | last =Zahorka | first =Herwig | publisher= Yayasan Cipta Loka Caraka | title = The Sunda Kingdom of West Java From Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with the Royal Center of Bogor | date = | year =2007| page = }}</ref>:
Berdasarkan Prasasti Sanghyang Tapak, '''Maharaja Sri Jayabupati''', telah mendirikan tempat suci Sanghyang Tapak. Gaya prasasti menunjukkan aksara, bahasa, dan gaya Jawa Timur, mirip dengan istana Dharmawangsa di Mataram.


Sri Jayabupati dalam ''Carita Parahiyangan'' disebutkan sebagai Prabu Detya Maharaja. [[Prasasti Horren]] dari abad ke-11 yang ditemukan di Kediri bagian selatan, melaporkan bahwa ''çatru Sunda'' ("musuh dari Sunda") telah menginvasi dan mengancam desa-desa di Jawa Timur.<ref name="SNI-II:Zaman Kuno" />{{Rp|388}}
{{cquote2|Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah hilir dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan Sumpah.}}


Setelah Sri Jayabupati, tidak ada prasasti batu yang ditemukan yang menyebutkan penguasa berikutnya. Tidak ada bukti nyata yang ditemukan dari periode antara abad ke-11 hingga abad ke-14. Sebagian besar pengetahuan kita saat ini tentang periode ini berasal dari ''Carita Parahiyangan''.
Prasasti lain yang menyebut raja Sunda adalah Prasasti Batutulis yang ditemukan di Bogor. Berdasarkan [[Prasasti Batutulis]] berangka tahun 1533 (1455 Saka), disebutkan nama ''Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata'', sebagai raja yang bertahta di [[Pakuan Pajajaran]]. Prasasti ini terletak di Jalan Batutulis, [[Batutulis, Bogor Selatan, Bogor|Kelurahan Batutulis]], [[Bogor Selatan, Bogor|Kecamatan Bogor Selatan]], [[Kota Bogor]]. Prasasti Batutulis dianggap terletak di situs ibu kota [[Pajajaran]].<ref>[http://books.google.com/books?id=cLUfAAAAIAAJ&pg=PA54&lpg=PA54&dq=Batu+Tulis+inscription&source=bl&ots=G1uVi9KHi8&sig=fwfjS56T33DIXhL5uNG7kIPcl3g&hl=en&ei=yX1VTMDuBsGUrAffl73zAw&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=6&ved=0CCEQ6AEwBTgU#v=onepage&q&f=false Indonesian palaeography: a history of writing in, Volume 4, Issue 1 By J. G. de Casparis]</ref> Prasasti ini dikaitkan dengan Kerajaan Sunda. Pada batu ini berukir kalimat-kalimat dalam [[bahasa Sunda|bahasa]] dan [[aksara Sunda Kuno]]. Prasati ini dibuat oleh Prabu Sanghiang Surawisesa (yang melakukan perjanjian dengan Portugis) dan menceritakan kemashuran ayahandanya tercinta (Sri Baduga Maharaja) sebagai berikut:


Sumber dari dinasti Song, ''Chu-fan-chi'' dari sekitar 1200, menyebutkan bahwa Sriwijaya masih menguasai Sumatra, semenanjung Melayu, dan Sin-to (Sunda). Sumber ini menggambarkan pelabuhan Sunda sebagai pelabuhan yang strategis dan berkembang pesat, lada dari Sunda merupakan salah satu yang terbaik kualitasnya. Penduduknya bekerja di bidang pertanian dan rumah-rumah mereka dibangun di atas tiang-tiang kayu (rumah panggung). Namun, perampok dan pencuri menjangkiti negara ini.<ref>{{cite book|author=Drs. R. Soekmono|date=1973|title=''Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2'', 2nd ed.|location=Yogyakarta|publisher=Penerbit Kanisius|pages=60}}</ref> Pelabuhan Sunda yang dimaksud oleh Chou Ju-kua mungkin merujuk pada Banten Lama, bukan Sunda Kelapa. Tampaknya pada awal abad ke-13, perdagangan maritim masih didominasi oleh mandala Sriwijaya yang berpusat di Sumatra.
{{cquote2|Semoga selamat, ini tanda peringatan Prabu Ratu almarhum. Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan.
Dia putera Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusa Larang.
Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, membuat undakan untuk hutan Samida, membuat Sahiyang Telaga Rena Mahawijaya (dibuat) dalam (tahun) Saka "Panca Pandawa Mengemban Bumi".}}


=== Masa keemasan ===
Sayang sekali tidak/belum ditemukan prasasti-prasasti lainnya yang menyebutkan nama-nama raja Sunda setelah masa raja terakhir Tarumanagara sampai masa Sri Jayabupati dan antara masa Sri Jayabupati dan Rahiyang Niskala Watu Kancana. Namun nama-nama raja Sunda lainnya hanya ditemukan pada naskah-naskah kuno.
Nama Sunda muncul dalam sumber Jawa, [[Pararaton]], yang melaporkan bahwa pada tahun 1336, pada saat pelantikannya sebagai Perdana Menteri, [[Gajah Mada]] mendeklarasikan [[Sumpah Palapa]], yang menyatakan kebijakan luar negerinya untuk menyatukan Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit.<ref>{{Cite web|title=Perpustakaan Lemhannas RI - Page 10|url=http://lib.lemhannas.go.id/public/media/catalog/0010-011600000000002/swf/1606/files/basic-html/page10.html|website=lib.lemhannas.go.id|access-date=2023-06-16|lang=id}}</ref> Pararaton mencatat apa yang diucapkan oleh Gajah Mada:
{{quotation|"Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, '''Sunda''', Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa."}}
Terjemahan:
{{quotation|"Dia, Gajah Mada sang Patih Amangkubumi, tidak ingin menghentikan puasanya. Gajah Mada: "Jika (saya berhasil) mengalahkan (menaklukkan) Nusantara, (maka) saya akan berbuka puasa. Jika Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Temasek, semuanya dikalahkan, (maka) saya akan mengakhiri puasa."}}
Sunda disebut-sebut sebagai salah satu kerajaan yang menjadi sasaran kampanye luar negeri Gajah Mada. Tampaknya pada awal abad ke-14, Kerajaan Sunda telah berkembang cukup makmur dan ikut ambil bagian dalam perdagangan maritim internasional.


==== Prabu Maharaja ====
Naskah kuno Fragmen Carita Parahyangan (koleksi Perpustakaan Nasional Kropak 406) menyebutkan silsilah raja-raja Sunda mulai dari Tarusbawa, penerus raja terakhir Tarumanagara, dengan penerusnya mulai dari Maharaja Harisdarma, Rahyang Tamperan, Rahyang Banga, Rahyangta Wuwus, Prebu Sanghyang, Sang Lumahing Rana, Sang Lumahing Tasik Panjang, Sang Winduraja, sampai akhirnya kepada Rakean Darmasiksa.
{{Further|Perang Bubat}}
[[File:CP Vs Pararaton.jpg|thumb|"Prabu Maharaja" tertulis dalam [[Carita Parahiyangan]] & [[Pararaton]].]]
Carita Parahyangan dan [[Pararaton]] menamainya sebagai '''Prěbu Maharaja''', sedangkan catatan pseudohistoris Wangsakerta memberikan nama yang lebih rinci, yaitu Prabu Maharaja Lingga Buana. Ia memerintah dari Kawali Galuh, dan tewas dalam [[Pertempuran Bubat]] pada tahun 1357, menjadi korban dari siasat yang dibuat oleh perdana menteri Majapahit, [[Gajah Mada]].<ref name="Sunda-Java">{{Cite journal|last=Ali|first=Fachry|date=2016-11-26|title=Sunda-"Java" and The Past : A Socio-Historical Reflection|url=http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/insaniyat/article/view/4350|journal=Insaniyat: Journal of Islam and Humanities|language=en|volume=1|issue=1|pages=33–40|doi=10.15408/insaniyat.v1i1.4350|issn=2541-500X|doi-access=free}}</ref>


[[Hayam Wuruk]], raja Majapahit, berniat menikahi Putri [[Dyah Pitaloka Citraresmi|Dyah Pitaloka]], putri Prabu Maharaja. Dengan senang hati, raja Sunda dan keluarga kerajaannya datang ke Majapahit, untuk menikahkan putrinya dengan Hayam Wuruk. Pihak Sunda mendirikan perkemahan di lapangan Bubat di bagian utara [[Trowulan]] dan menunggu upacara pernikahan yang tepat. Namun, Gajah Mada melihat peristiwa ini sebagai kesempatan untuk menuntut tunduknya Sunda kepada kekuasaan Majapahit dan bersikeras bahwa sang putri harus dipersembahkan sebagai tanda ketundukan.
Naskah kuno Carita Parahyangan (koleksi Perpustakaan Nasional) menyebutkan silsilah raja setelah masa Tarumanagara. Yang pertama disebutkan adalah Tohaan di Sunda (Tarusbawa). Berikutnya disebutkan nama-nama raja penerusnya seperti Sanjaya, Prabu Maharaja Lingga Buana, raja Sunda yang gugur dikhianati di Bubat (Jawa Timur) yang merupakan ayahnya Rahiyang Niskala Wastu Kancana, sampai Surawisesa.


Merasa marah dan dipermalukan, raja Sunda memutuskan untuk membatalkan pernikahan dan pulang, yang mengakibatkan pertempuran antara keluarga kerajaan Sunda dan tentara Majapahit. Kalah jumlah, hampir seluruh pihak Sunda, termasuk sang putri, tewas dalam tragedi ini. Tradisi mengatakan bahwa Putri Dyah Pitaloka bunuh diri untuk membela kehormatan negaranya. Setelah kematiannya, Prabu Maharaja dihormati sebagai Prabu Wangi ({{terjemahan harfiah|Raja yang harum}}) karena tindakan heroik mempertahankan kehormatannya. Oleh karena itu, penerusnya, raja-raja Sunda selanjutnya, kemudian disebut ''Siliwangi'' (artinya penerus Wangi). Kisah ini merupakan tema utama dari [[Kidung Sunda]], sumber lain yang melaporkan kejadian ini yang ditemukan di Bali.
Sedangkan nama-nama raja penerus Surawisesa yang berperang dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon dapat ditemukan dalam sejarah Banten.


====Niskala Wastu Kancana====
Tahun-tahun masa pemerintaha para raja Sunda secara lebh terperinci dapat ditemukan pada naskah [[Pangéran Wangsakerta]] (waktu berkuasa dalam tahun [[Masehi]]):
{{main|Niskala Wastu Kancana}}
[[File:KITLV 87612 - Isidore van Kinsbergen - Inscribed stone at Kawali near Tjiamis - Before 1900.tif|thumb|right|Salah satu [[prasasti Kawali]]]]
Raja Sunda berikutnya adalah '''Niskala Wastu Kancana''', yang merupakan putra bungsu Prabu Maharaja dan adik dari Putri Dyah Pitaloka, yang keduanya tewas dalam Peristiwa Bubat. Pada tahun 1371, Pangeran Wastu naik takhta dengan gelar Prabu Raja Wastu Kancana. Menurut salah satu [[prasasti Kawali|Prasasti Astana Gede]], yang diperkirakan berasal dari paruh kedua abad ke-14, raja memerintahkan pembangunan bangunan pertahanan, tembok dan parit yang mengelilingi kota Kawali, serta merenovasi istana Surawisesa.<ref name="Sejarah Jawa Barat">{{Cite book|url=https://books.google.com/books?id=dvR7CgAAQBAJ&q=Niskala+Wastu+Kancana&pg=PA52|title=Sejarah Daerah Jawa Barat|year=1977|publisher=Direktorat Jenderal Kebudayaan|language=id}}</ref> Pembangunan parit dan langkah-langkah pertahanan lainnya, mungkin sebagai tanggapan terhadap ancaman asing yang dirasakan. Terutama setelah hubungan antara Sunda dan tetangganya di timur, kerajaan Majapahit, memburuk setelah peristiwa Bubat.<ref name="Sunda-Java"/> Niskala Wastu kemudian berkedudukan di istana Kawali di Galuh.<ref name="SNI-II:Zaman Kuno"/>{{rp|392}} Masa pemerintahannya dikenang sebagai masa yang penuh kedamaian dan kemakmuran.


Prasasti Kebantenan I yang terbuat dari lempengan tembaga menyebutkan bahwa Raja Rahyang Niskala Wastu Kancana mengirimkan perintah melalui Hyang Ningrat Kancana kepada Susuhunan Pakuan Pajajaran untuk mengurusi ''dayeuhan'' di Jayagiri dan Sunda Sembawa, dan melarang memungut pajak dari para penduduknya karena mereka telah mengetahui agama Hindu dan memuja para dewa.
# Tarusbawa (menantu [[Linggawarman]], [[669]] - [[723]])
# Harisdarma, atawa [[Sanjaya]] (menantu Tarusbawa, 723 - [[732]])
# Tamperan Barmawijaya (732 - [[739]])
# Rakeyan Banga (739 - [[766]])
# Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - [[783]])
# Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 - [[795]])
# Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 - [[819]])
# Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 - [[891]])
# Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 - [[895]])
# Windusakti Prabu Déwageng (895 - [[913]])
# Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 - [[916]])
# Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 - [[942]])
# Atmayadarma Hariwangsa (942 - [[954]])
# Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 - [[964]])
# Munding Ganawirya (964 - [[973]])
# Rakeyan Wulung Gadung (973 - [[989]])
# Brajawisésa (989 - [[1012]])
# Déwa Sanghyang (1012 - [[1019]])
# Sanghyang Ageng (1019 - [[1030]])
# Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 - [[1042]])
# Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 - [[1065]])
# Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 - [[1155]])
# Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 - [[1157]])
# Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 - [[1175]])
# Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 - [[1297]])
# Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 - [[1303]])
# Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 - [[1311]])
# Prabu Linggadéwata (1311-[[1333]])
# Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-[[1340]])
# Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-[[1350]])
# Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam [[Tragedi Bubat|Perang Bubat]], 1350-[[1357]])
# Prabu Bunisora (1357-[[1371]])
# Prabu Niskala Wastu Kancana (1371-[[1475]])
# Prabu Susuktunggal (1475-[[1482]])
# Jayadéwata ([[Sri Baduga Maharaja]], 1482-[[1521]])
# Prabu Surawisésa (1521-[[1535]])
# Prabu Déwatabuanawisésa (1535-[[1543]])
# Prabu Sakti (1543-[[1551]])
# Prabu Nilakéndra (1551-[[1567]])
# Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-[[1579]])


Menurut [[Prasasti Batutulis]], Rahyang Niskala Wastu Kancana dimakamkan di Nusalarang, dan didukung oleh naskah Carita Parahyangan yang menyebutkan ''Prebu Niskala Wastu Kancana surup di Nusalarang ring giri Wanakusumah''. Pada masa ini, ibu kotanya masih berada di Galuh, tepatnya di kota Kawali.<ref name="SNI-II:Zaman Kuno"/>{{rp|391}}
== Hubungan dengan kerajaan lain ==
=== Singasari ===
Dalam ''[[Kakawin Nagarakretagama|Nagarakretagama]]'', disebutkan bahwa setelah [[Kertanagara]] menaklukkan Bali ([[1284|1206 Saka]]), kerajaan-kerajaan lain turut bertekuk lutut, tidak terkecuali Sunda. Jika ini benar, adalah aneh jika di kemudian hari, [[kerajaan Majapahit]] sebagai penerus yang kekuasaannya lebih besar justru tidak menguasai Sunda, sehingga nama Sunda harus termuat dalam [[Sumpah Palapa|sumpahnya]] [[Gajah Mada]].{{fact}}


=== Majapahit ===
==== Ningrat Kancana ====
Putra Niskala Wastu Kancana, yang bergelar ''Tohaan di Galuh'' (Penguasa Galuh) dalam ''Carita Parahiyangan'', menggantikannya sebagai raja. Ia disebut dalam [[Prasasti Kebantenan|prasasti Kebantenan I]] sebagai Hyang Ningrat Kancana dan dalam prasasti Batutulis sebagai Rahyang Dewa Niskala.
Menurut [[Kidung Sunda]], Majapahit berusaha untuk menaklukan Kerajaan Sunda dan beberapa kali melakukan penyerangan tapi berhasil digagalkan. Upaya terakhir Mejapahit untuk memperluas kekuasaannya adalah dengan upaya penyatuan melalui perkawinan antara raja [[Hayam Wuruk]] dari Majapahit dan putri [[Dyah Pitaloka Citraresmi]] dari Kerajaan Sunda tapi usaha ini pun gagal dan berkahir dengan [[tragedi Bubat]].


Namun, raja baru ini hanya memerintah selama tujuh tahun dan kemudian turun tahta. Carita Parahyangan menceritakan bahwa ''"... kéna salah twa(h) bogo(h) ka estri larangan ti kaluaran..."'' yang diterjemahkan menjadi ''"karena salahnya (dia), jatuh cinta pada seorang perempuan luar yang terlarang."''<ref name="SNI-II:Zaman Kuno" />{{rp|393}} Meskipun tidak jelas apa maksud dari kalimat tersebut, ada kemungkinan bahwa perempuan luar yang terlarang itu adalah seorang muslim, yang menandakan kehadiran [[Islam]] di Jawa bagian barat.
=== Eropa ===
Kerajaan Sunda sudah lama menjalin hubungan dagang dengan bangsa [[Eropa]] seperti [[Inggris]],{{fact}} [[Perancis]]{{fact}} dan [[Portugis]]. Kerajaan Sunda bahkan pernah menjalin hubungan politik dengan bangsa Portugis. Dalam tahun [[1522]], Kerajaan Sunda menandatangani [[Prasasti Perjanjian Sunda-Portugis|Perjanjian Sunda-Portugis]] yang membolehkan orang Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan [[Sunda Kelapa]]. Sebagai imbalannya, Portugis diharuskan memberi bantuan militer kepada Kerajaan Sunda dalam menghadapi serangan dari [[Kesultanan Demak|Demak]] dan [[Kesultanan Cirebon|Cirebon]] <ref>{{cite book | last = | first = | author=Herwig Zahorka | publisher=Yayasan Cipta Loka Caraka | title =The Sunda Kingdoms of West Java: From Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with the Royal Center of Bogor | date = | year =2007 | url = | accessdate = }}</ref>(yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda).


Menurut prasasti Batutulis, Rahyang Dewa Niskala kemudian dimakamkan di Gunatiga. Informasi ini didukung oleh Carita Parahyangan yang menyebutkan bahwa Tohaan di Galuh ''nu surup di Gunung Tilu'' wafat atau dimakamkan di Gunung Tilu (Tilu berarti tiga), yang sesuai dengan pegunungan Gunung Tilu yang terletak di sebelah timur kota [[Kabupaten Kuningan|Kuningan]].<ref>{{Cite web|title=Google Maps|url=https://www.google.com/maps/place/Gn.+Tilu/@-7.1188884,108.6816571,14z/data=!3m1!4b1!4m5!3m4!1s0x2e6f73efb54d5283:0x8ef28fb8de770294!8m2!3d-7.1188889!4d108.6991667!5m1!1e4|website=Google Maps|access-date=2018-06-17}}</ref>
{{Kerajaan Sunda}}


====Sri Baduga Maharaja====
== Catatan kaki ==
{{main|Sri Baduga Maharaja}}
{{reflist}}
[[File:KITLV 87605 - Isidore van Kinsbergen - Hindu-Javanese sculpture at Telaga in Kuningan - Before 1900.tif|thumb|right|Patung dewa Hindu dari Telaga di dekat Kuningan, Jawa Barat, yang berasal dari Kerajaan Sunda.]]
'''Sang Ratu Jayadewata''' (memerintah tahun 1482 hingga 1521) atau juga dikenal sebagai '''Sri Baduga Maharaja'''', adalah cucu dari Prabu Wastu Kancana. Jayadewata sering dikaitkan dengan tokoh populer [[Prabu Siliwangi]] dalam [[Pantun Sunda]], sebuah tradisi lisan masyarakat Sunda.


Raja Jayadewata memindahkan pusat pemerintahan dari [[Kawali]] ke [[Pakuan Pajajaran]] pada tahun 1482. Namun, tidak jelas alasan di balik pemindahan ibu kota ke arah barat; mungkin merupakan langkah geopolitik untuk mengamankan ibu kota dari ancaman timur dari kekuatan Muslim yang meningkat dari [[Kesultanan Demak]] di Jawa Tengah. Pada tahun 1482, menurut ''Purwaka Caruban Nagari'', sebuah kronik Cirebon, [[Kesultanan Cirebon|Cirebon]] menyatakan kemerdekaannya dari Sunda dan tidak lagi mengirimkan upeti ke istana Sunda. Berdasarkan prasasti Kebantenan, ia mendirikan tanah suci ''tanah devasasana'' di Gunung Samya atau Rancamaya. Ia juga mengumumkan pembangunan sebuah kompleks suci di Sunda Sembawa, yang ditetapkan sebagai tempat tinggal para pendeta.
== Rujukan ==

* '''[[Aca]]'''. [[1968]]. ''Carita Parahiyangan: naskah titilar karuhun urang Sunda abad ka-16 Maséhi''. Yayasan Kabudayaan Nusalarang, Bandung.
Menurut [[Prasasti Batutulis]], Sri Baduga Maharaja membangun [[parit]] pertahanan di sekeliling [[Pakuan Pajajaran]]; ia membangun ''gugunungan'' (gundukan tanah yang dikeramatkan), mendirikan gubuk-gubuk dan hutan Samya yang dikeramatkan, tempat penyimpanan kayu yang diperuntukkan bagi persembahan, dan danau buatan Talaga Rena Mahawijaya (yang diduga berfungsi sebagai waduk).<ref>{{cite journal |last1=Budimansyah |last2=Sofianto |first2=Kunto |last3=Dienaputra |first3=Reiza D. |title=Representasi "Perempuan Matang" Dalam Majalah Pesona (Femina Group) Indonesia |date=2018-11-08 |url=https://media.neliti.com/media/publications/291875-sang-hyang-talaga-rena-mahawijaya-telaga-b72a4772.pdf |journal=Patanjala |volume=10 |issue=3 |pages=419–434 |doi=10.30959/patanjala.v10i3.376 |s2cid=192336846 }}</ref> Sudah pasti, ada jalur penghung menuju [[Sunda Kalapa]] (sekarang Jakarta), pelabuhan terpenting kerajaan Sunda. Pada saat kunjungan [[Tomé Pires|Tome Pirés]] ke Pakuan, Sri Baduga Maharaja memerintah kerajaan.
* '''[[Ayatrohaedi]]'''. [[2005]]. ''Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" dari Cirebon''. Pustaka Jaya, Jakarta.

Masa pemerintahan Raja Jayadewata disebut-sebut sebagai masa keemasan masyarakat Sunda. Kerajaan ini mengonsolidasikan kekuasaannya dan menjalankan kekuasaannya di seluruh bagian barat Jawa. Masa ini juga menandai era kemakmuran yang luar biasa yang dihasilkan dari pengelolaan pertanian yang efisien dan perdagangan lada yang berkembang pesat di wilayah tersebut. Era kemakmuran besar ini juga menandai awal kemunduran kerajaan Sunda.

===Kemunduran===
Pada masa pemerintahan Jayadewata, sudah ada sekelompok penduduk Sunda yang memeluk [[Islam]], seperti yang disaksikan oleh catatan Portugis. Tomé Pires pada tahun 1513 melaporkan, ada sejumlah besar [[Muslim]] yang tinggal di pelabuhan Cimanuk (sekarang [[Indramayu]]), pelabuhan paling timur Kerajaan Sunda. Menurut laporan Portugis, pelabuhan [[Cirebon]] yang terletak di sebelah timur Cimanuk sudah menjadi pelabuhan Muslim pada saat itu, yang diperintah oleh orang Jawa.

Para mualaf baru ini kemungkinan besar adalah orang-orang yang disebut di Carita Parahyangan sebagai "mereka yang tidak merasakan kedamaian karena telah tersesat dari ''[[Sanghyang Siksa Kandang Karesian]]''. Walaupun demikian, pada masa itu, pengaruh Islam belum merambah hingga ke pedalaman ibu kota. Seperti yang disebutkan dalam Carita Parahyangan bahwa ''mana mo kadatangan ku musuh ganal, musu(h)alit'', yang berarti ibu kota "aman dari musuh kasar/besar, (juga) musuh halus/kecil". Istilah "musuh kasar" mengacu pada tentara asing yang menyerang, sedangkan "musuh halus" mengacu pada penyebaran kepercayaan baru atau agama baru yang dapat mengganggu tatanan spiritual kerajaan yang sudah mapan.<ref name="SNI-II:Zaman Kuno"/>{{rp|394}}

Kerajaan Sunda menyaksikan pengaruh yang semakin besar dari [[Kesultanan Demak]] Islam yang ekspansif yang akhirnya berhasil menghancurkan [[Kediri]], sisa-sisa istana Hindu [[Majapahit]] pada tahun 1527. Akibat peristiwa ini, hanya [[Blambangan]] di ujung timur Jawa, dan Sunda di bagian barat yang masih menjadi kerajaan Hindu di Jawa. Sementara itu, di tanah Sunda, pengaruh Islam mulai masuk ke dalam kerajaan.

==== Kebangkitan Cirebon dan Banten====
[[Berkas:Building in Keraton Kasepuhan.jpg|thumb|right|[[Keraton Kasepuhan]] di [[Kesultanan Cirebon]]. Pada tahun 1482, kerajaan Sunda kehilangan pelabuhan timurnya yang penting di [[Cirebon]].]]
Naskah ''[[Bujangga Manik]]'' yang ditulis sekitar paruh kedua abad ke-15 melaporkan bahwa batas timur wilayah Kerajaan Sunda adalah sungai Cipamali di [[Kabupaten Brebes]] sekarang. Namun, [[Suma Oriental]] dari Portugis pada tahun 1513 melaporkan bahwa batas timur Kerajaan Sunda terletak di pelabuhan ''Chemano'' (Cimanuk), muara [[Ci Manuk]]. Ini berarti antara tahun 1450 dan 1513, kerajaan ini telah kehilangan kendali atas wilayah sekitar Cirebon, antara Brebes dan Indramayu di bagian timur laut kerajaan. Hal ini menandakan bahwa orang Jawa Muslim pesisir berekspansi ke arah barat yang dulunya merupakan wilayah cakupan Sunda, didukung oleh Kesultanan Demak sebagai faktor kebangkitan Cirebon.

Keterangan mengenai Kerajaan Sunda dan hubungannya dengan kebangkitan [[Kesultanan Cirebon]], sebagian besar diambil dari naskah ''Purwaka Caruban Nagari'', sebuah babad Cirebon yang menyatakan bahwa Cirebon adalah penerus Kerajaan Sunda yang sah.

Menurut Purwaka Caruban Nagari, seorang raja Sunda [[Prabu Siliwangi]] menikahi Nyai Subang Larang, putri Ki Gedeng Tapa, penguasa pelabuhan Muara Jati (sekarang Cirebon). Mereka dikaruniai tiga orang anak: [[Pangeran Walangsungsang]], Putri Rara Santang, dan Pangeran Kian Santang.<ref name="Kabupaten" /> Meskipun Pangeran Walangsungsang adalah putra sulung Raja, pangeran ini tidak mendapatkan hak sebagai putra mahkota Kerajaan Sunda. Hal ini disebabkan karena ibunya, Nyai Subang Larang bukanlah seorang [[permaisuri]]. Alasan lainnya adalah karena ia masuk Islam, mungkin dipengaruhi oleh ibunya yang merupakan seorang Muslim. Pada abad ke-16 di Jawa Barat, kepercayaan yang lazim dianut adalah Hindu, [[Sunda Wiwitan]], dan Buddha. Saudara tirinya, Prabuwisesa, putra raja dari istri ketiganya, Nyai Kentring Manikmayang, yang dipilih sebagai putra mahkota.

Walangsungsang kemudian pindah ke sebuah pemukiman bernama Dukuh Alang-alang pada tahun 1445. Setelah kematian Ki Gedeng Alang-Alang pada tahun 1447, Walangsungsang diangkat sebagai penguasa kota dan mendirikan istana serta bergelar Pangeran Cakrabuana. Prabu Siliwangi mengirimkan utusannya Tumenggung Jagabaya dan Raja Sengara, untuk menganugerahi Pangeran Cakrabuana dengan gelar Tumenggung Sri Mangana. Pemukiman yang sekarang disebut Cirebon tumbuh menjadi pelabuhan yang berkembang pesat, namun Cakrabuana masih setia kepada ayahnya dan mengirimkan upeti kepada istana utama Sunda. Pada saat itu Cirebon masih merupakan sebuah kerajaan di bawah Kerajaan Sunda.

Pada tahun 1479, Cakrabuana digantikan oleh keponakannya, Syarif Hidayatullah, putra dari saudara perempuannya, Nyai Rara Santang. Ia menikahi sepupunya, Nyi Mas Pakungwati putri Cakrabuana. Beliau dikenal dengan nama anumerta [[Sunan Gunung Jati]]. Pada tanggal 2 April 1482, Sunan Gunungjati menyatakan bahwa Cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada [[Pajajaran]], yang menandai proklamasi bahwa [[Kesultanan Cirebon]] telah merdeka dari Sunda Pajajaran.<ref name="Kabupaten">{{cite web
|url = http://www.cirebonkab.go.id/sekilas-kab-cirebon/sejarah-kabupaten-cirebon
|title = Sejarah Kabupaten Cirebon
|language = id
|publisher = Cirebon Regency
|access-date = 16 January 2013
}}</ref>

Karakter yang digambarkan dalam Purwaka Caruban Nagari, sebagai [[Prabu Siliwangi]], cocok dengan karakter historis Dewa Niskala atau Ningrat Kancana, yang disebut sebagai Tohaan di Galuh dalam Carita Parahyangan. Tohaan di Galuh adalah putra dan pewaris Niskala Wastu Kancana.

Tekanan dari negara-negara Islam Jawa pesisir mendorong [[Sri Baduga Maharaja]] untuk mencari bantuan dari Portugis di [[Malaka]]. Pada tahun 1512 dan sekali lagi pada tahun 1521, ia mengirim putranya, putra mahkota Surawisesa yang juga dikenal sebagai Ratu Sang Hyang (Samian) ke Malaka untuk meminta Portugis menandatangani perjanjian persekutuan, berdagang lada, dan membangun benteng di pelabuhan utamanya di Sunda Kalapa. Putra Sunan Gunung Jati ini kemudian juga mendirikan [[Kesultanan Banten]], yang kemudian menjadi ancaman bagi Kerajaan Sunda.

====Surawisesa dan Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal====
{{Main|Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal}}
Setelah kematian Sri Baduga Maharaja pada tahun 1521, raja-raja yang menggantikannya, Prabu "Surawisesa" Jayaperkosa, yang juga dikenal sebagai Ratu Sang Hyang yang oleh orang Portugis disebut Ratu Samian, menghadapi ancaman dari [[Kesultanan Cirebon]] dan [[Kesultanan Demak]]. Di bawah ancaman ini, Surawisesa, yang memerintah dari tahun 1521 hingga 1535, membuat perjanjian dengan [[Melaka Portugis|Portugis dari Malaka]] untuk mendirikan sebuah gudang dan benteng di [[Sunda Kelapa]] dengan imbalan perlindungan dari ancaman Kesultanan-kesultanan Islam tersebut.

Pada tahun 1522, Portugis siap membentuk koalisi dengan Raja Sunda untuk mendapatkan akses ke perdagangan lada yang menguntungkan. Komandan Malaka, Jorge de Albuquerque, mengirimkan sebuah kapal, ''São Sebastião'', di bawah pimpinan Kapten Henrique Leme, ke Sunda Kalapa dengan membawa hadiah-hadiah yang sangat berharga untuk Raja Sunda. Dua sumber tertulis menjelaskan secara rinci tentang penandatanganan perjanjian tersebut, yaitu dokumen asli Portugis tahun 1522 yang memuat teks perjanjian dan para penandatangan saksi, serta sebuah laporan tentang peristiwa tersebut oleh [[João de Barros]] dalam bukunya ''Da Ásia'', yang dicetak pada tahun 1777/1778.

Raja menyambut mereka dengan hangat pada saat kedatangan mereka. Putra mahkota telah menggantikan ayahnya dan kini bergelar Raja Prabu Surawisesa, meskipun Barros memanggilnya Raja Samião. Penguasa Sunda ini menyetujui perjanjian persahabatan dengan Raja Portugis dan memberikan sebuah benteng di muara Sungai Ciliwung di mana Portugis dapat memuat lada sebanyak yang mereka inginkan. Selain itu, ia berjanji, sejak dimulainya pembangunan benteng tersebut, setiap tahun ia akan menyumbangkan seribu karung lada kepada raja Portugis. Dokumen kontrak dibuat dalam dua salinan dan ditandatangani. Pada hari tersebut di tahun 1522, Henrique Leme dari Portugis dan rombongannya bersama dengan para utusan Raja Sunda mendirikan batu peringatan di muara [[Sungai Ciliwung]].

==== Kejatuhan Sunda Kalapa ====
[[Berkas:Sunda Kelapa Februari 2020.jpg|thumb|right|Pelabuhan [[Sunda Kalapa]], cikal bakal [[Jakarta]]. Selama berabad-abad, pelabuhan ini merupakan pelabuhan kerajaan Sunda yang melayani ibu kota [[Pakuan Pajajaran]]. 60 kilometer ke arah selatan hingga jatuh ke tangan pasukan Demak dan Cirebon pada tahun 1527.]]
Perjanjian perdagangan dan pertahanan Portugal dengan Sunda ini berantakan karena Portugis gagal memenuhi janjinya untuk membangun benteng di Kalapa. Penundaan tersebut disebabkan oleh masalah di [[Penaklukan Goa oleh Portugis|Goa Portugis]]. Lebih buruk lagi, pada tahun 1527 [[Fatahillah]], seorang komandan militer yang dikirim dari Demak, berhasil merebut pelabuhan [[Sunda Kalapa]] sebelum Portugis kembali.

Pasukan Fatahillah, yang terdiri dari pasukan Cirebon-Demak, menaklukkan Sunda Kalapa. Otoritas Sunda yang ditempatkan di pelabuhan itu jatuh. Kepala pelabuhan dan keluarganya, menteri kerajaan, dan semua orang yang bekerja di pelabuhan dibantai. Kota pelabuhan benar-benar hancur dan rata dengan tanah, karena bala bantuan Sunda yang dikirim dari Pakuan terlalu lemah dan mundur. Kerajaan Sunda telah kehilangan pelabuhan terpentingnya, sehingga kemudian Sunda Kalapa diubah namanya menjadi [[Jayakarta]] oleh penakluknya yang beragama Islam.

Tiga puluh pelaut Portugis, yang karam akibat badai, berenang ke pantai di Kalapa hanya untuk dibunuh oleh anak buah Fatahillah. Portugis menyadari bahwa kepemimpinan politik telah berubah ketika mereka tidak diizinkan untuk menginjakkan kaki di daratan. Karena mereka terlalu lemah untuk bertempur, mereka berlayar kembali ke Malaka. Tahun berikutnya, upaya kedua gagal karena para pelaut yang mogok kerja marah karena tidak dibayar.

Kegagalan untuk mengandalkan bantuan Portugis membuat Sunda berjuang sendiri untuk mempertahankan diri. Carita Parahyangan menyebutkan bahwa selama 14 tahun masa pemerintahannya (1521-1535), Raja Sang Hyang (Surawisesa) telah berperang dalam 15 pertempuran. Tak terkalahkan, semua pertempuran tersebut berhasil mengusir pasukan Muslim dari Cirebon dan Demak. Ia bertempur di Kalapa, Tanjung, Ancol Kiyi, [[Banten Girang|Wahanten Girang]], Simpang, Gunung Batu, Saung Agung, Rumbut, Gunung, Gunung Banjar, Padang, Panggoakan, Muntur, Hanum, Pagerwesi, dan Medangkahyangan.<ref name="SNI-II:Zaman Kuno" />{{rp|398}}

Perang antara pasukan Cirebon-Demak dan kerajaan Sunda berlangsung selama hampir lima tahun. Raja kehilangan ribuan anak buahnya. Dalam perang ini, setelah Sunda Kalapa, Kerajaan Sunda juga kehilangan [[Banten (kota)]]. [[Sunan Gunungjati]] dari Cirebon kemudian menobatkan putranya, [[Maulana Hasanuddin dari Banten|Hasanuddin]], sebagai raja Banten di bawah naungan Sultan Demak yang pada gilirannya menikahkan Hasanudin dengan adik perempuannya. [[Kesultanan Banten|Banten]] didirikan sebagai ibu kota kesultanan baru ini, yang berkedudukan sebagai vasal di bawah [[Kesultanan Cirebon]].<ref name="Claude Guillot" />{{rp|18}} Akhirnya, pada tahun 1531, sebuah perjanjian damai disepakati antara Raja Surawisesa dari Sunda dan Syarif Hidayatullah dari Cirebon.

Dalam kesedihan yang mendalam setelah kekalahan besar dan kehilangan dua pelabuhan terpentingnya, Prabu Surawisesa mendirikan [[prasasti Batutulis]] pada tahun 1533 untuk mengenang mendiang ayahnya.<ref>{{Cite web|url=https://tirto.id/kesedihan-di-balik-prasasti-batutulis-cw9x|title=Kesedihan di Balik Prasasti Batutulis - Tirto.ID|last=Teguh|first=Irfan|website=tirto.id|language=id|access-date=2018-06-22}}</ref> Tindakan ini mungkin merupakan upaya memohon petunjuk dan perlindungan leluhur terhadap musuh Muslim yang kuat yang kini membayangi di depan pintu gerbang. Karena pertempuran yang terus berlangsung, ia sering tidak bisa tinggal di istananya di [[Pakuan Pajajaran]].

====Jaya Dewata====
'''Prabu Ratu Dewata''' juga dikenal sebagai '''Sang Ratu Jaya Dewata''', adalah penerus Prabu Surawisesa. Namun, ia bukanlah putranya. Masa pemerintahan Prabu Ratu Dewata antara tahun 1535 dan 1543 dikenal sebagai masa yang kacau dan penuh kesulitan, karena pasukan Islam dari Cirebon dan Banten mencoba berkali-kali untuk merebut ibukota "Dayeuh" Pakuan.

Pada masa pemerintahan Ratu Dewata, Carita Parahyangan melaporkan beberapa musibah yang menimpa kerajaan; terjadi serangan tiba-tiba, banyak musuh yang meratakan kota{{which|date=November 2020}}, sehingga meletuslah pertempuran besar-besaran di halaman agung (''buruan ageung'').<ref name="SNI-II:Zaman Kuno" />{{rp|398}} Dalam pertempuran ini, para pangeran bangsawan terbunuh. Kekacauan meluas ke seluruh wilayah kerajaan, penyerangan juga terjadi di Ciranjang dan [[Sumedang]]. Teror lainnya adalah pembunuhan terhadap para [[resi]], pertapa, dan pendeta Hindu yang berada di tempat suci pertapaan. Dilaporkan bahwa para pendeta dan pertapa Hindu di mandala Jayagiri, ditangkap dan ditenggelamkan ke laut.<ref name="SNI-II:Zaman Kuno" />{{rp|400}} Kemungkinan besar serangan tersebut dilancarkan oleh negara-negara Muslim di Banten atau Cirebon.<ref name="SNI-II:Zaman Kuno"/>{{rp|395}} Serangan ini merupakan serangan yang menghancurkan langsung ke inti spiritual masyarakat Hindu Sunda.

Karena tidak mampu mengendalikan kerajaan, alih-alih memenuhi tugasnya dengan menjaga hukum dan ketertiban, Prabu Ratu Dewata mengundurkan diri menjadi ''Raja Pandita'' (raja pendeta), dan menenggelamkan diri secara mendalam ke dalam ritual-ritual keagamaan sebagai bentuk permohonan yang tampaknya putus asa untuk mendapatkan keselamatan dari para dewa.<ref name="SNI-II:Zaman Kuno" />{{rp|396}} Pada masa ini, Kerajaan Sunda sudah terisolasi dan terkurung di pedalaman.

==== Raja-raja terakhir dan keruntuhan kerajaan Sunda====
[[Berkas:Bird’s-eye View of the City of Bantam de Bry.jpg|thumb|right|Pelabuhan Banten pada abad ke-16]]
Kesultanan Banten yang bercorak Islam bertanggung jawab atas runtuhnya Kerajaan Hindu Sunda, dan menggantikannya sebagai pemerintahan yang dominan di bagian barat Pulau Jawa pada abad-abad berikutnya.
Rangkaian raja-raja Sunda terakhir terkenal sebagai penguasa yang tidak kompeten. Penerus Ratu Dewata, Raja '''Ratu Sakti''' yang memerintah dari tahun 1543 hingga 1551, dikenal sebagai raja yang kejam, yang memanjakan diri dengan kenikmatan indrawi.<ref name="SNI-II:Zaman Kuno" />{{rp|396}}

Penerus berikutnya yang memerintah dari tahun 1551 hingga 1567, Raja '''Nilakendra''', yang juga dikenal sebagai Tohaan di Majaya, juga merupakan penguasa yang tidak kompeten. Alih-alih memenuhi kewajibannya sebagai raja, ia malah merenovasi dan mempercantik istana. Menghambur-hamburkan kekayaan kerajaan dengan memanjakan diri dalam kesenangan dan kemewahan.<ref name="SNI-II:Zaman Kuno"/>{{rp|396}}

Karena pertempuran yang terus berlangsung, ironisnya Tohaan di Majaya tidak dapat tinggal di istananya yang baru saja direnovasi. Raja-raja Sunda terakhir tidak dapat lagi tinggal di Pakuan Pajajaran, karena pada tahun 1550-an [[Maulana Hasanuddin dari Banten|Hasanuddin]], sultan Banten telah melancarkan serangan yang sukses ke Dayeuh Pakuan, merebut dan meratakan ibu kota.

Para bangsawan dan rakyat biasa yang masih hidup melarikan diri dari kota yang jatuh, menuju ke hutan belantara pegunungan. Setelah jatuhnya Pakuan Pajajaran, para bangsawan Kerajaan Sunda diungsikan ke kerajaan timur [[Kerajaan Sumedang Larang]]. Mereka membawa benda pusaka sebagai pewaris Kerajaan Sunda, di antara warisan tersebut adalah [[Binokasih Sanghyang Pake|''Makuta Binokasih Sanghyang Paké'']], mahkota kerajaan Sunda. Dengan demikian, anggota dinasti Sunda mendirikan kerajaan daerah kecil Sumedang Larang di mana aristokrasi Sunda akan bertahan selama beberapa abad berikutnya hingga mengintegrasikan diri dengan [[Kesultanan Mataram]] pada abad ke-17.

Dari tahun 1567 hingga 1579, di bawah raja terakhir Raja Mulya, yang juga dikenal sebagai '''Prabu Surya Kencana''', kerajaan ini mengalami kemunduran yang cukup besar. Dalam Carita Parahyangan, Raga Mulya disebut sebagai ''Nusiya Mulya''. Ia memerintah lebih jauh ke pedalaman di Pulasari, dekat [[Pandeglang]], di lereng Gunung Palasari. Kerajaan ini mengalami kemunduran, terutama setelah tahun 1576 akibat tekanan terus-menerus dari Banten, dan akhirnya runtuh sepenuhnya pada tahun 1579. Setelah itu, [[Kesultanan Banten]] mengambil alih sebagian besar wilayah bekas Kerajaan Sunda, dan pada akhirnya mengakhiri satu milenium peradaban Hindu-Buddha di Jawa Barat.<ref name="SNI-II:Zaman Kuno" />{{rp|396}} Pada masa ini, Jawa telah berubah menjadi semakin Islami. Hanya kerajaan [[Kerajaan Blambangan]] di ujung timur yang merupakan kerajaan Hindu terakhir yang masih ada di Jawa, hingga keruntuhannya pada awal abad ke-18.

== Wilayah kekuasaan ==
Berdasarkan naskah primer berbahasa [[Bahasa Sunda Kuno|Sunda kuno]] ''[[Perjalanan Bujangga Manik]]'' (yang menceriterakan perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta [[Hindu]] [[Sunda]] yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, [[Oxford University]], [[Inggris]] sejak tahun [[1627]]), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi [[Jawa Tengah]]. Wilayah vasal Kerajaan Sunda membentang dari ujung barat di [[Pasar Talo, Ilir Talo, Seluma|Pasar Talo]], [[Bengkulu]] hingga ke [[Jatimalang, Purwodadi, Purworejo|Jatimalang]], [[Purworejo]] di ujung Timur. Kerajaan Sunda yang beribukota di [[Pajajaran]] juga mencakup wilayah bagian selatan pulau Sumatra ([[prasasti Ulubelu]]). Setelah Kerajaan Sunda diruntuhkan oleh [[Kesultanan Banten]] maka kekuasaan atas wilayah selatan Sumatra dilanjutkan oleh Kesultanan Banten.<ref name="Claude Guillot">{{cite book|last =Guillot|first =Claude.|publisher= Gramedia Book Publishing Division|title = The Sultanate of Banten|date =|year =1990|id= ISBN 979-403-922-5}}</ref>

== Daftar raja-raja Sunda ==
===Berdasarkan arkeologi dan catatan bangsa asing===
Nama raja-raja Sunda, berdasarkan bukti arkeologis berupa prasasti-prasasti, serta catatan bangsa asing sbb.:
{| class="wikitable" border="1" cellpadding="3" style="font-size: 95%" width="650" align="center"
|+Raja-raja Sunda berdasarkan temuan prasasti, naskah dan catatan bangsa asing
|- bgcolor="lightgrey"
!No
!Nama raja
!Masa pemerintahan
!Ditemukan pada
|-
| align="center" |1
|[[Sri Jayabhupati]]
|{{circa|1030-1042}}
|[[Prasasti Sanghyang Tapak]] (1030 M)
|-
| align="center" |2
|[[Linggabuana|Prabu Maharaja]]
|{{circa|1350-1357}}
|[[Pararaton]], [[Carita Parahyangan|Carita Parahiyangan]], [[Kidung Sunda]]
|-
| align="center" |3
|[[Bunisora]]
|{{circa|1357-1371}}
|[[Carita Parahyangan|Carita Parahiyangan]] (1580)
|-
| align="center" |4
|[[Niskala Wastu Kancana]]
|{{circa|1371-1475}}
|[[Prasasti Kawali]] (paruh kedua abad ke-14) & [[Prasasti Batutulis]] (1533)
|-
| align="center" |5
|[[Susuk Tunggal]] (di Pakuan)
| rowspan="2" |{{circa|1475-1482}}
| rowspan="2" |[[Carita Parahyangan|Carita Parahiyangan]] (1580)
|-
| align="center" |6
|[[Dewa Niskala|Ningrat Kancana]] (di Kawali)
|-
| align="center" |7
|[[Sri Baduga Maharaja]]
|{{circa|1482-1521}}
|[[Prasasti Batutulis]] (1533)
|-
| align="center" |8
|[[Surawisesa|Ratu Samian/Rei Samião]] (Ratu Sanghyang)
|{{circa|1521–1535}}
|[[Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal|Padrão dan Perjanjian Sunda-Portugal]] (1522) & {{br}}''Décadas da Ásia'' (1777–78, [[João de Barros|De Barros]])
|-
| align="center" |9
|[[Ratu Dewata]]
|{{circa|1535–1543}}
|[[Carita Parahyangan|Carita Parahiyangan]] (1580)
|-
| align="center" |10
|[[Ratu Sakti]]
|{{circa|1543–1551}}
|[[Carita Parahyangan|Carita Parahiyangan]] (1580)
|-
| align="center" |11
|[[Ratu Nilakendra|Nilakendra]]
|{{circa|1551–1567}}
|[[Carita Parahyangan|Carita Parahiyangan]] (1580)
|-
| align="center" |12
|[[Raga Mulya]]
|{{circa|1567–1579}}
|[[Carita Parahyangan|Carita Parahiyangan]] (1580)
|}

=== Raja-raja Sunda dari tahun (1482 – 1579) ===

# [[Sri Baduga Maharaja]] (1482 – 1521), bertakhta di Pakuan (Bogor sekarang)
# [[Surawisesa]] (1521 – 1535), bertakhta di Pakuan
# [[Ratu Dewata]] (1535 – 1543), bertakhta di Pakuan
# [[Ratu Sakti]] (1543 – 1551), bertakhta di Pakuan
# [[Ratu Nilakendra]] (1551 – 1567), meninggalkan Pakuan karena serangan Sultan Maulana Hasanuddin dan anaknya, Maulana Yusuf
# [[Raga Mulya]] (1567 – 1579), dikenal sebagai Prabu Surya Kencana, memerintah dari Pandeglang.

== Perjanjian dengan Portugal ==
[[Berkas:Padrao sunda kelapa.jpg|jmpl|299x299px|[[Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal]], sebuah tugu batu untuk memperingati perjanjian antara Kerajaan Portugal dan Sunda yang saat ini berada di Museum Nasional Indonesia, Jakarta.]]
Pada tahun [[1522]], Kerajaan Sunda menandatangani [[Prasasti Perjanjian Sunda-Portugis|Perjanjian Sunda-Portugis]] yang membolehkan orang Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan [[Sunda Kelapa]]. Sebagai imbalannya, Portugis diharuskan memberi bantuan militer kepada Kerajaan Sunda dalam menghadapi serangan dari [[Kesultanan Demak|Demak]] dan [[Kesultanan Cirebon|Cirebon]]<ref>{{cite book|last=|author=Herwig Zahorka|first=|date=|year=2007|url=|title=The Sunda Kingdoms of West Java: From Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with the Royal Center of Bogor|publisher=Yayasan Cipta Loka Caraka|accessdate=}}</ref> yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda.

== Lihat pula ==
* [[Kerajaan Tarumanagara]]
* [[Pakwan Pajajaran]]
* [[Kawali]]
* [[Kesultanan Cirebon]]
* [[Kesultanan Banten]]
* [[Kerajaan Sumedang Larang]]

== Bacaan lanjut ==
<div class="references-small">
{{Col-begin}}
{{Col-2}}
* [[Atja]]. [[1968]]. ''Carita Parahiyangan: naskah titilar karuhun urang Sunda abad ka-16 Maséhi''. Yayasan Kabudayaan Nusalarang, Bandung.
* [[Ayatrohaedi]]. [[2005]]. ''Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" dari Cirebon''. Pustaka Jaya, Jakarta.
* Darsa, Undang A. 2004. “Kropak 406; Carita Parahyangan dan Fragmen Carita Parahyangan“, Makalah disampaikan dalam Kegiatan Bedah Naskah Kuno yang diselenggarakan oleh Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga. Bandung-Jatinangor: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran: hlm. 1 – 23.
* Ekadjati, Edi S. 1995. Sunda, Nusantara, dan Indonesia; Suatu Tinjauan Sejarah. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran pada Hari Sabtu, 16 Desember `1995. Bandung: Universitas Padjadjaran.
* Ekadjati, Edi S. 1981. Historiografi Priangan. Bandung: Lembaga Kebudayaan Universitas Padjadjaran.
* Ekadjati, Edi S. (Koordinator). 1993. Sejarah Pemerintahan di Jawa Barat. Bandung: Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
* Raffles, Thomas Stamford. 1817. The History of Java, 2 vols. London: Block Parbury and Allen and John Murry.
* Raffles, Thomas Stamford. 2008. The History of Java (Terjemahan Eko Prasetaningrum, Nuryati Agustin, dan Idda Qoryati Mahbubah). Yogyakarta: Narasi.
* Z., Mumuh Muhsin. ''Sunda, Priangan, dan Jawa Barat''. Makalah disampaikan dalam Diskusi ''Hari Jadi Jawa Barat'', diselenggarakan oleh Harian Umum Pikiran Rakyat Bekerja Sama dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat pada Selasa, 3 November 2009 di Aula Redaksi HU Pikiran Rakyat.
* Uka Tjandrasasmita. (2009). ''Arkeologi Islam Nusantara.'' Kepustakaan Populer Gramedia.
* E. Rokajat Asura. (September 2011). ''Harisbaya bersuami 2 raja - Kemelut cinta di antara dua kerajaan Sumedang Larang dan Cirebon''. Penerbit Edelweiss.
* Atja, Drs. (1970). ''Ratu Pakuan.'' Lembaga Bahasa dan Sedjarah Unpad. Bandung.
* Atmamihardja, Mamun, Drs. Raden. (1958). ''Sadjarah Sunda.'' Bandung. Ganaco Nv.
* Joedawikarta (1933). ''Sadjarah Soekapoera, Parakan Moencang sareng Gadjah.'' Pengharepan''.'' Bandoeng,
* Lubis, Nina Herlina., Dr. MSi, dkk. (2003). ''Sejarah Tatar Sunda jilid I dan II''. CV. Satya Historica. Bandung.
* Herman Soemantri Emuch. (1979). ''Sajarah Sukapura, sebuah telaah filologis''. Universitas Indonesia. Jakarta.
{{Col-2}}
* '''[[Edi S. Ekajati]]'''. 2005. ''Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta''. Pustaka Jaya, Jakarta. ISBN 979-419-329-1
* '''[[Edi S. Ekajati]]'''. 2005. ''Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta''. Pustaka Jaya, Jakarta. ISBN 979-419-329-1
* '''Guillot, Claude, Lukman Nurhakim, Sonny Wibisono''', "La principauté de Banten Girang" ("Kerajaan Banten Girang"), ''[[Archipel]]'', Tahun 1995, Volume 50, No. 50, halaman 13-24
* '''Guillot, Claude, Lukman Nurhakim, Sonny Wibisono''', "La principauté de Banten Girang" ("Kerajaan Banten Girang"), ''[[Archipel]]'', Tahun 1995, Volume 50, No. 50, halaman 13-24
* '''[[Yoséph Iskandar]]'''. [[1997]]. ''Sejarah Jawa Barat: yuganing rajakawasa''. Geger Sunten, Bandung.
* '''[[Yoséph Iskandar]]'''. [[1997]]. ''Sejarah Jawa Barat: yuganing rajakawasa''. Geger Sunten, Bandung.
* Zamhir, Drs. (1996). ''Mengenal Museum Prabu Geusan Ulun serta Riwayat Leluhur Sumedang.'' Yayasan Pangeran Sumedang. Sumedang.
* Sukardja, Djadja. (2003). ''Kanjeng Prebu R.A.A. Kusumadiningrat Bupati Galuh Ciamis th. 1839 s / d 1886.'' Sanggar SGB. Ciamis.
* Sulendraningrat P.S. (1975). ''Sejarah Cirebon dan Silsilah Sunan Gunung Jati Maulana Syarif Hidayatullah.'' Lembaga Kebudayaan Wilayah III Cirebon. Cirebon.
* Sunardjo, Unang, R. H., Drs. (1983). ''Kerajaan Carbon 1479-1809''. PT. Tarsito. Bandung.
* Suparman, Tjetje, R. H., (1981). ''Sajarah Sukapura''. Bandung
* Surianingrat, Bayu., Drs. (1983). ''Sajarah Kabupatian I Bhumi Sumedang 1550-1950.'' CV.Rapico. Bandung.
* Soekardi, Yuliadi. (2004). ''Kian Santang''. CV Pustaka Setia.
* Soekardi, Yuliadi. (2004). ''Prabu Siliwangi''. CV Pustaka Setia.
* Tjangker Soedradjat, Ade. (1996). ''Silsilah Wargi Pangeran Sumedang Turunan Pangeran Santri alias Pangeran Koesoemadinata I Penguasa Sumedang Larang 1530-1578''. Yayasan Pangeran Sumedang. Sumedang.
* Widjajakusuma, Djenal Asikin., Raden Dr. (1960). ''Babad Pasundan, Riwajat Kamerdikaan Bangsa Sunda Saruntagna Karadjaan Pdjadjaran Dina Taun 1580''. Kujang. Bandung.
* Winarno, F. G. (1990). ''Bogor Hari Esok Masa Lampau.'' PT. Bina Hati. Bogor.
* Olthof, W.L. (cetakan IV 2008). ''Babad Tanah Jawi - mulai dari Nabi Adam sampai tahun 1647.'' PT. Buku Kita. Yogyakarta Bagikan.
* A. Sobana Hardjasaputra, H.D. Bastaman, Edi S. Ekadjati, Ajip Rosidi, Wim van Zanten, Undang A. Darsa. (2004). ''Bupati di Priangan dan Kajian Lainnya Mengenai Budaya Sunda.'' Pusat Studi Sunda.
* A. Sobana Hardjasaputra (Ed.). (2008). ''Sejarah Purwakarta.''
* Nina H. Lubis, Kunto Sofianto, Taufik Abdullah (pengantar), Ietje Marlina, A. Sobana Hardjasaputra, Reiza D. Dienaputra, Mumuh Muhsin Z. (2000). ''Sejarah Kota-kota Lama di di Jawa Barat''. Alqaprint. ISBN 979-95652-4-3.
{{Col-end}}
</div>

== Catatan kaki ==
{{reflist}}


[[Kategori:Sejarah Banten]]
[[Kategori:Kerajaan di Nusantara|Kerajaan Sunda]]
[[Kategori:Sejarah Jawa Barat]]
[[Kategori:Kerajaan di Jawa|Kerajaan Sunda]]
[[Kategori:Sejarah Jawa Tengah]]
[[Kategori:Sejarah Nusantara]]
[[Kategori:Sejarah Nusantara]]
[[Kategori:Kerajaan di Parahyangan]]

Revisi terkini sejak 3 November 2024 12.36

Sunda

( Sin - To )
932–1579
Cakupan wilayah Kerajaan Sunda
Cakupan wilayah Kerajaan Sunda
Ibu kotaPakwan Pajajaran, Kawali (mulai abad ke-14)
Bahasa yang umum digunakanSunda Kuno (umum) Sansekerta (religius)
Agama
Sunda Wiwitan, Hindu, Buddha, Islam (mulai abad ke-14)
Maharaja 
• ca 1030-1042
Sri Jayabhupati
• ca 1371-1475
Niskala Wastu Kancana
• ca 1482-1521
Sri Baduga Maharaja
• ca 1521–1535
Surawisesa
• 1535–1543
Ratu Dewata
Sejarah 
• Prasasti Kebon Kopi II: pemulihan kekuasaan raja Sunda
932
1579
Mata uangMata uang emas dan perak
Didahului oleh
Digantikan oleh
krjKerajaan
Tarumanagara
kslKesultanan
Cirebon
kslKesultanan
Banten
kslKesultanan
Demak
krjKerajaan
Sumedang Larang
Sekarang bagian dari Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Kerajaan Sunda (bahasa Sunda: (ka) (ra) (ja) (a)ᮔ᮪ (n) ᮞᮥ (su)ᮔ᮪ (n) (da), translit. Karajaan Sunda, pengucapan bahasa Sunda: [sunˈda]) adalah kerajaan yang pernah ada antara tahun 932 dan 1579 Masehi di bagian barat pulau Jawa, sekarang bagian dari provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, sebagian wilayah barat Provinsi Jawa Tengah, serta meliputi sebagian wilayah selatan Pulau Sumatra. Kerajaan ini merupakan penerus dari Kerajaan Tarumanagara yang bercorak Hindu dan Buddha,[1] kemudian sekitar abad ke-14 diketahui kerajaan ini telah beribu kota di Kawali serta memiliki dua kawasan pelabuhan utama di Kalapa dan Banten.[2]

Kerajaan Sunda runtuh setelah ibu kota kerajaan ditaklukan oleh Maulana Yusuf pada tahun 1579. Sementara sebelumnya kedua pelabuhan utama Kerajaan Sunda itu juga telah dikuasai oleh Kesultanan Demak pada tahun 1527, Kalapa ditaklukan oleh Fatahillah dan Banten ditaklukan oleh Maulana Hasanuddin.

Sumber sejarah

[sunting | sunting sumber]

Secara tradisional, ingatan kolektif mengenai keberadaan kerajaan ini pada kalangan masyarakat Sunda terjaga dalam tradisi oral Pantun, yang banyak menceritakan masa-masa keemasan kerajaan, terutama mengenai legenda tentang Prabu Siliwangi, Raja Sunda paling populer.[3][4]

Beberapa prasasti menyebutkan kerajaan ini, seperti Prasasti Kebonkopi II, Prasasti Sanghyang Tapak, Prasasti Kawali, dan Prasasti Batutulis.

Sumber lokal

[sunting | sunting sumber]
Prasasti Batutulis (bertanggal 1533), di Bogor, mengenang raja agung Sunda, Sri Baduga Maharaja (memerintah dari 1482–1521).

Rujukan paling awal mengenai nama "Sunda" yang digunakan untuk mengidentifikasi sebuah kerajaan adalah Prasasti Kebonkopi II, bertanggal 854 Saka (932 M). Prasasti ini ditulis dalam aksara Kawi dan berbahasa Melayu. Kutipannya adalah sebagai berikut:[5]

Alih aksara:

Ini sabdakalanda Rakryan Juru Pangambat I kawihaji panyaca pasagi marsandeca ~ ba(r) pulihkan hajiri Sunda

Terjemahan:

Batu peringatan ini adalah ucapan Rakryan Juru Pangambat, pada tahun 854 Saka (932 Masehi), bahwa tatanan pemerintah dikembalikan kepada kekuasaan raja Sunda.

Rujukan lain mengenai nama kerajaan ini adalah Prasasti Jayabupati yang terdiri dari 40 baris yang ditulis di atas empat buah batu, yang ditemukan di tepi sungai Cicatih, Cibadak, Sukabumi. Prasasti ini menyebutkan pendirian sebuah kawasan suci yang dilindungi bernama Sanghyang Tapak oleh Raja Jayabhupati dari Sunda. Prasasti ini berangka tahun 1030 Masehi.[6]

Prasasti berbahan lempengan tembaga yang berasal dari abad ke-15, termasuk instruksi kerajaan, juga mendukung keberadaan Kerajaan Sunda. Prasasti Kebantenan I (Jayagiri) menyebutkan bahwa Raja Rahyang Niskala Wastu Kancana mengirimkan perintah melalui Hyang Ningrat Kancana kepada Susuhunan Pakuan Pajajaran untuk mengurus "dayohan" di Jayagiri dan Sunda Sembawa, dan melarang pemungutan pajak dari para penduduk, karena mereka akan menjadi pemeluk agama Hindu dan memuja para dewa. Prasasti lempengan tembaga Kebantenan II (atau Sunda Sembawa I) mengumumkan bahwa Sri Baduga Maharaja (1482-1521), raja di Pakuan, menyetujui tanah suci yang telah ditandai ('tanah devasasana') untuk digunakan oleh wiku (pendeta), yang tidak boleh dipecah-pecah karena tanah tersebut merupakan tempat untuk beribadah, yang merupakan milik raja. Prasasti Kebantenan III (Sunda Sembawa II) yang terbuat dari lempengan tembaga mengumumkan sanksi raja Sunda atas pembangunan candi di Sunda Sembawa. Prasasti Kebantenan IV merinci bahwa Sri Baduga Maharaja, yang memerintah di Pakuan, menyetujui pembangunan tempat suci yang serupa di Gunung Samya (Gunung Rancamaya).[7]

Naskah Bujangga Manik adalah sumber utama tentang kehidupan sehari-hari Kerajaan Sunda pada akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16. Naskah ini menuliskan nama-nama tempat, budaya dan adat istiadat, dengan sangat rinci, naskah ini dianggap sebagai salah satu contoh penting dari sastra bahasa Sunda Kuno. Naskah ini mengisahkan tentang Jaya Pakuan alias Bujangga Manik, meskipun seorang pangeran di istana Pakuan Pajajaran, namun ia lebih memilih untuk hidup menyendiri sebagai penganut agama Hindu yang taat. Sebagai seorang pengembara pertapa, buku ini merinci dua perjalanan dari Pakuan Pajajaran ke Jawa Tengah dan Jawa Timur dan kembali, perjalanan kedua termasuk kunjungan ke Bali. Disimpulkan bahwa Jaya Pakuan melakukan pertapaan di sebuah gunung di Jawa bagian barat sampai kematiannya.[8] Sebagai sebuah naskah yang berasal dari zaman Sunda pra-Islam, naskah ini ditulis dalam bahasa Sunda yang lebih tua. Naskah ini tidak mengandung kata-kata yang dipinjam dari bahasa Arab. Pengaruh Islam juga tidak ada dalam isi cerita. Penyebutan secara spesifik tentang Majapahit, Kesultanan Malaka dan Kesultanan Demak, memungkinkan kita untuk menentukan tanggal penulisan cerita pada abad ke-15, mungkin pada akhir abad ini, atau paling lambat awal abad ke-16.[9]

Sumber China

[sunting | sunting sumber]
Rombongan kerajaan Sunda berlayar ke Majapahit dengan menggunakan Jong sasanga wangunan ring Tatarnagari tiniru, sebuah jenis perahu junk, yang juga menggabungkan teknik-teknik dari Tiongkok, seperti penggunaan paku besi di samping pena kayu, pembuatan sekat yang kedap air, dan penambahan kemudi di bagian tengah.
Rumah tradisional Sunda bergaya atap Julang Ngapak di Garut sekitar 1920-an. Dibangun di atas tiang-tiang dan beratap jerami, seperti yang dijelaskan dalam sumber Tiongkok abad ke-12.

Menurut F. Hirt dan W. W. Rockhill, terdapat sumber-sumber Cina mengenai Kerajaan Sunda. Pada masa Dinasti Sung Selatan, inspektur perdagangan dengan negara-negara asing, Chau Ju-kua, mengumpulkan laporan-laporan dari para pelaut dan pedagang yang telah mengunjungi negeri-negeri asing. Laporannya tentang negeri-negeri yang jauh, Zhu Fan Zhi, yang ditulis pada tahun 1178 hingga 1225 Masehi, menyebutkan tentang pelabuhan laut dalam Sin-t'o (Sunda). Zhu Fan Zhi melaporkan sebagai berikut:

Di sepanjang pantai, orang-orang tinggal. Orang-orang bekerja di bidang pertanian, rumah-rumah mereka bertiang dan atapnya terbuat dari jerami dengan kulit daun pohon palem dan dindingnya terbuat dari papan kayu yang diikat dengan rotan. Baik pria maupun wanita melilitkan sepotong kapas di pinggang mereka, dan dalam memotong rambut mereka hanya menyisakan setengah inci. Lada hitam yang ditanam di perbukitan (negeri ini) berbutir kecil tetapi berbobot dan lebih unggul daripada lada Ta-pan (Tuban di Jawa bagian timur). Negara ini menghasilkan labu, tebu, labu botol, kacang-kacangan, dan terung. Namun, karena tidak ada pemerintahan yang teratur di negara ini, penduduknya menjadi perampok, sehingga pedagang asing jarang pergi ke sana.

Menurut sumber ini, kerajaan Sunda menghasilkan lada hitam berkualitas tinggi. Kerajaan yang terletak di bagian barat Jawa dekat Selat Sunda, sesuai dengan wilayah Banten, Jakarta, dan bagian barat provinsi Jawa Barat saat ini. Menurut sumber ini, pelabuhan Sunda berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Pelabuhan Sunda ini sangat mungkin merujuk kepada Banten, bukannya Sunda Kalapa (sekarang Jakarta Utara). Ibukotanya terletak 10 kilometer ke arah selatan di Banten Girang dekat Gunung Pulosari.

Buku Cina "Shun-Feng Hsiang-Sung" dari sekitar tahun 1430 Masehi menceritakan:

Dalam pelayaran ke arah timur dari Sunda, di sepanjang pantai utara Jawa, kapal-kapal mengarahkan 97 1/2 derajat selama tiga kali putaran untuk mencapai Kalapa; mereka kemudian mengikuti pesisir pantai (melewati Tanjung Indramayu), dan akhirnya mengarahkan 187 1/2 derajat selama empat kali putaran untuk mencapai Cirebon. Kapal-kapal dari Banten melanjutkan perjalanan ke arah timur di sepanjang pantai utara Jawa, melewati Kalapa, melewati Indramayu, melewati Cirebon.

Menurut sumber ini, pelabuhan Sunda terletak di sebelah barat Kalapa dan kemudian diidentifikasi sebagai Kota Kuno Banten.

Sumber Eropa

[sunting | sunting sumber]
Peta kuno pulau Jawa masih menganggap bahwa tanah Sunda di bagian barat terpisah dari pulau Jawa lainnya. Di sini ibu kota Sunda disebut Daio yang merujuk pada Dayeuh Pakuan Pajajaran.

Para penjelajah Eropa, terutama Portugis yang berbasis di Malaka Portugis, juga melaporkan keberadaan Kerajaan Sunda. Tomé Pires (1513) menyebut sebuah kerajaan di Jawa Barat yang menjalin hubungan dagang dengan mereka sebagai Regño de Çumda, yang berarti Kerajaan Sunda. Juga laporan Antonio Pigafetta (1522) yang menyebut Sunda sebagai daerah penghasil lada.[5]:381

Tomé Pires dari Portugal menulis dalam laporannya Suma Oriental (1513-1515):

Beberapa orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda menempati setengah dari seluruh pulau Jawa; yang lain, yang memiliki otoritas lebih besar, mengatakan bahwa kerajaan Sunda sepertiga bagian dari pulau Jawa ditambah seperdelapan bagian lainnya. Berakhir di Ci Manuk. Sungai ini melintasi seluruh pulau dari laut ke laut sedemikian rupa sehingga ketika orang-orang Jawa menggambarkan negara mereka sendiri, mereka mengatakan bahwa negara mereka dibatasi di sebelah barat oleh pulau Sunda. Orang-orang percaya bahwa siapa pun yang melewati selat ini (sungai Cimanuk) menuju Laut Selatan akan terbawa arus deras dan tidak dapat kembali lagi.[10]

Laporan Portugis di atas berasal dari periode akhir Kerajaan Sunda, tak lama sebelum jatuh ke tangan Kesultanan Banten.

Naskah lainnya

[sunting | sunting sumber]

Selain dari beberapa prasasti dan berita dari luar, beberapa karya sastra juga digunakan untuk mengetahui keberadaan Kerajaan Sunda,[11] diantaranya :

  1. Carita Parahyangan,
  2. Sanghyang Siksa Kandang Karesian.[12]

Ibukota kerajaan

[sunting | sunting sumber]

Nama Ibukota kerajaan dapat diketahui dari beberapa sumber, diantaranya:

Prasasti Batutulis (1533 M)

[sunting | sunting sumber]

Berdasarkan Prasasti Batutulis berangka tahun 1533 (1455 Saka), disebutkan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, sebagai raja yang bertahta di Pakuan Pajajaran. Prasasti ini terletak di Jalan Batutulis, Kelurahan Batutulis, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor.[13]

Prasasti ini dikaitkan dengan Kerajaan Sunda. Pada batu ini berukir kalimat-kalimat dalam bahasa Sunda Kuno dan aksara Kawi. Prasasti ini dibuat oleh Prabu Sanghiang Surawisesa (yang melakukan perjanjian dengan Portugis) dan menceritakan kemashuran ayahandanya tercinta (Sri Baduga Maharaja) sebagai berikut:

Semoga selamat, ini tanda peringatan Prabu Ratu almarhum. Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan.

Dia putera Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusa Larang.

Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, membuat undakan untuk hutan Samida, membuat Sahiyang Telaga Rena Mahawijaya (dibuat) dalam (tahun) Saka "Panca Pandawa Mengemban Bumi".

Penemuan arkeologi

[sunting | sunting sumber]

Di wilayah Jawa Barat ditemukan beberapa candi, antara lain Percandian Batujaya di Karawang (abad ke-2 sampai ke-12) yang bercorak Buddha, serta percandian Hindu yaitu Candi Bojongmenje di Kabupaten Bandung yang berasal dari abad ke-7 (sezaman dengan percandian Dieng), dan Candi Cangkuang di Leles, Garut yang bercorak Hindu Siwa dan diduga berasal dari abad ke-8 Masehi. Siapa yang membangun candi-candi ini masih merupakan misteri, namun umumnya disepakati bahwa candi-candi ini dikaitkan dengan kerajaan Hindu yang pernah berdiri di Jawa Barat, yaitu Tarumanagara, Sunda dan Galuh.

Di Museum Nasional Indonesia di Jakarta terdapat sejumlah arca yang disebut "arca Caringin" karena pernah menjadi hiasan kebun asisten-residen Belanda di tempat tersebut. Arca tersebut dilaporkan ditemukan di Cipanas, dekat kawah Gunung Pulosari, dan terdiri dari satu dasar patung dan 5 arca berupa Shiwa Mahadewa, Durga, Batara Guru, Ganesha dan Brahma. Coraknya mirip corak patung di Jawa Tengah dari awal abad ke-10.

Di situs purbakala Banten Girang, yang terletak kira-kira 10 km di sebelah selatan pelabuhan Banten sekarang, terdapat reruntuhan dari satu istana yang diperkirakan didirikan pada abad ke-10. Banyak unsur yang ditemukan dalam reruntuhan ini yang menunjukkan pengaruh Jawa Tengah.

Situs-situs arkeologi lain yang berkaitan dengan keberadaan Kerajaan Sunda, masih dapat ditelusuri terutama pada kawasan muara Sungai Ciliwung termasuk situs Sangiang di daerah Pulo Gadung (sekarang Pulo Gadung, Jakarta Timur). Hal ini mengingat jalur sungai merupakan salah satu alat transportasi utama pada masa tersebut.[14]

Kerajaan Sunda merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara yang mengalami keruntuhan.WIlayah kekuasaannya meliputi bagian barat dari pulau Jawa dan membentang dari Ujung Kulon hingga ke Ci Sarayu dan Ci Pamali.[15] Keterangan tentang berdirinya Kerajaan Sunda sebagai penerus Kerajaan Tarumanagara diperoleh dari naskah Wangsakerta, naskah yang oleh sebagian orang diragukan keasliannya serta diragukan sebagai sumber sejarah karena sangat sistematis.[16][17]

Rakryan Juru Pangambat

[sunting | sunting sumber]

Berdasarkan prasasti Kebon Kopi II, berasal dari 932, ditemukan di Bogor, seorang pemburu ulung berjuluk Rakryan Juru Pangambat, mendeklarasikan otoritasnya yang telah mengembalikan kekuasaan Raja Sunda.[5]:381 Prasasti ini berbahasa Melayu Kuno, arkeologis F.D.K. Bosch berpendapat bahwa penggunaan bahasa Melayu Kuno sebagai pengaruh Sriwijaya. Sejarawan Prancis, Claude Guillot juga berpendapat bahwa prasasti ini sebagai deklarasi berdaulatnya Kerajaan Sunda, kemungkinan dari Sriwijaya.

Jayabupati

[sunting | sunting sumber]
Prasasti Sanghyang Tapak

Berdasarkan Prasasti Sanghyang Tapak, Maharaja Sri Jayabupati, telah mendirikan tempat suci Sanghyang Tapak. Gaya prasasti menunjukkan aksara, bahasa, dan gaya Jawa Timur, mirip dengan istana Dharmawangsa di Mataram.

Sri Jayabupati dalam Carita Parahiyangan disebutkan sebagai Prabu Detya Maharaja. Prasasti Horren dari abad ke-11 yang ditemukan di Kediri bagian selatan, melaporkan bahwa çatru Sunda ("musuh dari Sunda") telah menginvasi dan mengancam desa-desa di Jawa Timur.[5]:388

Setelah Sri Jayabupati, tidak ada prasasti batu yang ditemukan yang menyebutkan penguasa berikutnya. Tidak ada bukti nyata yang ditemukan dari periode antara abad ke-11 hingga abad ke-14. Sebagian besar pengetahuan kita saat ini tentang periode ini berasal dari Carita Parahiyangan.

Sumber dari dinasti Song, Chu-fan-chi dari sekitar 1200, menyebutkan bahwa Sriwijaya masih menguasai Sumatra, semenanjung Melayu, dan Sin-to (Sunda). Sumber ini menggambarkan pelabuhan Sunda sebagai pelabuhan yang strategis dan berkembang pesat, lada dari Sunda merupakan salah satu yang terbaik kualitasnya. Penduduknya bekerja di bidang pertanian dan rumah-rumah mereka dibangun di atas tiang-tiang kayu (rumah panggung). Namun, perampok dan pencuri menjangkiti negara ini.[18] Pelabuhan Sunda yang dimaksud oleh Chou Ju-kua mungkin merujuk pada Banten Lama, bukan Sunda Kelapa. Tampaknya pada awal abad ke-13, perdagangan maritim masih didominasi oleh mandala Sriwijaya yang berpusat di Sumatra.

Masa keemasan

[sunting | sunting sumber]

Nama Sunda muncul dalam sumber Jawa, Pararaton, yang melaporkan bahwa pada tahun 1336, pada saat pelantikannya sebagai Perdana Menteri, Gajah Mada mendeklarasikan Sumpah Palapa, yang menyatakan kebijakan luar negerinya untuk menyatukan Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit.[19] Pararaton mencatat apa yang diucapkan oleh Gajah Mada:

"Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa."

Terjemahan:

"Dia, Gajah Mada sang Patih Amangkubumi, tidak ingin menghentikan puasanya. Gajah Mada: "Jika (saya berhasil) mengalahkan (menaklukkan) Nusantara, (maka) saya akan berbuka puasa. Jika Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Temasek, semuanya dikalahkan, (maka) saya akan mengakhiri puasa."

Sunda disebut-sebut sebagai salah satu kerajaan yang menjadi sasaran kampanye luar negeri Gajah Mada. Tampaknya pada awal abad ke-14, Kerajaan Sunda telah berkembang cukup makmur dan ikut ambil bagian dalam perdagangan maritim internasional.

Prabu Maharaja

[sunting | sunting sumber]
"Prabu Maharaja" tertulis dalam Carita Parahiyangan & Pararaton.

Carita Parahyangan dan Pararaton menamainya sebagai Prěbu Maharaja, sedangkan catatan pseudohistoris Wangsakerta memberikan nama yang lebih rinci, yaitu Prabu Maharaja Lingga Buana. Ia memerintah dari Kawali Galuh, dan tewas dalam Pertempuran Bubat pada tahun 1357, menjadi korban dari siasat yang dibuat oleh perdana menteri Majapahit, Gajah Mada.[20]

Hayam Wuruk, raja Majapahit, berniat menikahi Putri Dyah Pitaloka, putri Prabu Maharaja. Dengan senang hati, raja Sunda dan keluarga kerajaannya datang ke Majapahit, untuk menikahkan putrinya dengan Hayam Wuruk. Pihak Sunda mendirikan perkemahan di lapangan Bubat di bagian utara Trowulan dan menunggu upacara pernikahan yang tepat. Namun, Gajah Mada melihat peristiwa ini sebagai kesempatan untuk menuntut tunduknya Sunda kepada kekuasaan Majapahit dan bersikeras bahwa sang putri harus dipersembahkan sebagai tanda ketundukan.

Merasa marah dan dipermalukan, raja Sunda memutuskan untuk membatalkan pernikahan dan pulang, yang mengakibatkan pertempuran antara keluarga kerajaan Sunda dan tentara Majapahit. Kalah jumlah, hampir seluruh pihak Sunda, termasuk sang putri, tewas dalam tragedi ini. Tradisi mengatakan bahwa Putri Dyah Pitaloka bunuh diri untuk membela kehormatan negaranya. Setelah kematiannya, Prabu Maharaja dihormati sebagai Prabu Wangi (terj. har.'Raja yang harum') karena tindakan heroik mempertahankan kehormatannya. Oleh karena itu, penerusnya, raja-raja Sunda selanjutnya, kemudian disebut Siliwangi (artinya penerus Wangi). Kisah ini merupakan tema utama dari Kidung Sunda, sumber lain yang melaporkan kejadian ini yang ditemukan di Bali.

Niskala Wastu Kancana

[sunting | sunting sumber]
Salah satu prasasti Kawali

Raja Sunda berikutnya adalah Niskala Wastu Kancana, yang merupakan putra bungsu Prabu Maharaja dan adik dari Putri Dyah Pitaloka, yang keduanya tewas dalam Peristiwa Bubat. Pada tahun 1371, Pangeran Wastu naik takhta dengan gelar Prabu Raja Wastu Kancana. Menurut salah satu Prasasti Astana Gede, yang diperkirakan berasal dari paruh kedua abad ke-14, raja memerintahkan pembangunan bangunan pertahanan, tembok dan parit yang mengelilingi kota Kawali, serta merenovasi istana Surawisesa.[21] Pembangunan parit dan langkah-langkah pertahanan lainnya, mungkin sebagai tanggapan terhadap ancaman asing yang dirasakan. Terutama setelah hubungan antara Sunda dan tetangganya di timur, kerajaan Majapahit, memburuk setelah peristiwa Bubat.[20] Niskala Wastu kemudian berkedudukan di istana Kawali di Galuh.[5]:392 Masa pemerintahannya dikenang sebagai masa yang penuh kedamaian dan kemakmuran.

Prasasti Kebantenan I yang terbuat dari lempengan tembaga menyebutkan bahwa Raja Rahyang Niskala Wastu Kancana mengirimkan perintah melalui Hyang Ningrat Kancana kepada Susuhunan Pakuan Pajajaran untuk mengurusi dayeuhan di Jayagiri dan Sunda Sembawa, dan melarang memungut pajak dari para penduduknya karena mereka telah mengetahui agama Hindu dan memuja para dewa.

Menurut Prasasti Batutulis, Rahyang Niskala Wastu Kancana dimakamkan di Nusalarang, dan didukung oleh naskah Carita Parahyangan yang menyebutkan Prebu Niskala Wastu Kancana surup di Nusalarang ring giri Wanakusumah. Pada masa ini, ibu kotanya masih berada di Galuh, tepatnya di kota Kawali.[5]:391

Ningrat Kancana

[sunting | sunting sumber]

Putra Niskala Wastu Kancana, yang bergelar Tohaan di Galuh (Penguasa Galuh) dalam Carita Parahiyangan, menggantikannya sebagai raja. Ia disebut dalam prasasti Kebantenan I sebagai Hyang Ningrat Kancana dan dalam prasasti Batutulis sebagai Rahyang Dewa Niskala.

Namun, raja baru ini hanya memerintah selama tujuh tahun dan kemudian turun tahta. Carita Parahyangan menceritakan bahwa "... kéna salah twa(h) bogo(h) ka estri larangan ti kaluaran..." yang diterjemahkan menjadi "karena salahnya (dia), jatuh cinta pada seorang perempuan luar yang terlarang."[5]:393 Meskipun tidak jelas apa maksud dari kalimat tersebut, ada kemungkinan bahwa perempuan luar yang terlarang itu adalah seorang muslim, yang menandakan kehadiran Islam di Jawa bagian barat.

Menurut prasasti Batutulis, Rahyang Dewa Niskala kemudian dimakamkan di Gunatiga. Informasi ini didukung oleh Carita Parahyangan yang menyebutkan bahwa Tohaan di Galuh nu surup di Gunung Tilu wafat atau dimakamkan di Gunung Tilu (Tilu berarti tiga), yang sesuai dengan pegunungan Gunung Tilu yang terletak di sebelah timur kota Kuningan.[22]

Sri Baduga Maharaja

[sunting | sunting sumber]
Patung dewa Hindu dari Telaga di dekat Kuningan, Jawa Barat, yang berasal dari Kerajaan Sunda.

Sang Ratu Jayadewata (memerintah tahun 1482 hingga 1521) atau juga dikenal sebagai Sri Baduga Maharaja', adalah cucu dari Prabu Wastu Kancana. Jayadewata sering dikaitkan dengan tokoh populer Prabu Siliwangi dalam Pantun Sunda, sebuah tradisi lisan masyarakat Sunda.

Raja Jayadewata memindahkan pusat pemerintahan dari Kawali ke Pakuan Pajajaran pada tahun 1482. Namun, tidak jelas alasan di balik pemindahan ibu kota ke arah barat; mungkin merupakan langkah geopolitik untuk mengamankan ibu kota dari ancaman timur dari kekuatan Muslim yang meningkat dari Kesultanan Demak di Jawa Tengah. Pada tahun 1482, menurut Purwaka Caruban Nagari, sebuah kronik Cirebon, Cirebon menyatakan kemerdekaannya dari Sunda dan tidak lagi mengirimkan upeti ke istana Sunda. Berdasarkan prasasti Kebantenan, ia mendirikan tanah suci tanah devasasana di Gunung Samya atau Rancamaya. Ia juga mengumumkan pembangunan sebuah kompleks suci di Sunda Sembawa, yang ditetapkan sebagai tempat tinggal para pendeta.

Menurut Prasasti Batutulis, Sri Baduga Maharaja membangun parit pertahanan di sekeliling Pakuan Pajajaran; ia membangun gugunungan (gundukan tanah yang dikeramatkan), mendirikan gubuk-gubuk dan hutan Samya yang dikeramatkan, tempat penyimpanan kayu yang diperuntukkan bagi persembahan, dan danau buatan Talaga Rena Mahawijaya (yang diduga berfungsi sebagai waduk).[23] Sudah pasti, ada jalur penghung menuju Sunda Kalapa (sekarang Jakarta), pelabuhan terpenting kerajaan Sunda. Pada saat kunjungan Tome Pirés ke Pakuan, Sri Baduga Maharaja memerintah kerajaan.

Masa pemerintahan Raja Jayadewata disebut-sebut sebagai masa keemasan masyarakat Sunda. Kerajaan ini mengonsolidasikan kekuasaannya dan menjalankan kekuasaannya di seluruh bagian barat Jawa. Masa ini juga menandai era kemakmuran yang luar biasa yang dihasilkan dari pengelolaan pertanian yang efisien dan perdagangan lada yang berkembang pesat di wilayah tersebut. Era kemakmuran besar ini juga menandai awal kemunduran kerajaan Sunda.

Kemunduran

[sunting | sunting sumber]

Pada masa pemerintahan Jayadewata, sudah ada sekelompok penduduk Sunda yang memeluk Islam, seperti yang disaksikan oleh catatan Portugis. Tomé Pires pada tahun 1513 melaporkan, ada sejumlah besar Muslim yang tinggal di pelabuhan Cimanuk (sekarang Indramayu), pelabuhan paling timur Kerajaan Sunda. Menurut laporan Portugis, pelabuhan Cirebon yang terletak di sebelah timur Cimanuk sudah menjadi pelabuhan Muslim pada saat itu, yang diperintah oleh orang Jawa.

Para mualaf baru ini kemungkinan besar adalah orang-orang yang disebut di Carita Parahyangan sebagai "mereka yang tidak merasakan kedamaian karena telah tersesat dari Sanghyang Siksa Kandang Karesian. Walaupun demikian, pada masa itu, pengaruh Islam belum merambah hingga ke pedalaman ibu kota. Seperti yang disebutkan dalam Carita Parahyangan bahwa mana mo kadatangan ku musuh ganal, musu(h)alit, yang berarti ibu kota "aman dari musuh kasar/besar, (juga) musuh halus/kecil". Istilah "musuh kasar" mengacu pada tentara asing yang menyerang, sedangkan "musuh halus" mengacu pada penyebaran kepercayaan baru atau agama baru yang dapat mengganggu tatanan spiritual kerajaan yang sudah mapan.[5]:394

Kerajaan Sunda menyaksikan pengaruh yang semakin besar dari Kesultanan Demak Islam yang ekspansif yang akhirnya berhasil menghancurkan Kediri, sisa-sisa istana Hindu Majapahit pada tahun 1527. Akibat peristiwa ini, hanya Blambangan di ujung timur Jawa, dan Sunda di bagian barat yang masih menjadi kerajaan Hindu di Jawa. Sementara itu, di tanah Sunda, pengaruh Islam mulai masuk ke dalam kerajaan.

Kebangkitan Cirebon dan Banten

[sunting | sunting sumber]
Keraton Kasepuhan di Kesultanan Cirebon. Pada tahun 1482, kerajaan Sunda kehilangan pelabuhan timurnya yang penting di Cirebon.

Naskah Bujangga Manik yang ditulis sekitar paruh kedua abad ke-15 melaporkan bahwa batas timur wilayah Kerajaan Sunda adalah sungai Cipamali di Kabupaten Brebes sekarang. Namun, Suma Oriental dari Portugis pada tahun 1513 melaporkan bahwa batas timur Kerajaan Sunda terletak di pelabuhan Chemano (Cimanuk), muara Ci Manuk. Ini berarti antara tahun 1450 dan 1513, kerajaan ini telah kehilangan kendali atas wilayah sekitar Cirebon, antara Brebes dan Indramayu di bagian timur laut kerajaan. Hal ini menandakan bahwa orang Jawa Muslim pesisir berekspansi ke arah barat yang dulunya merupakan wilayah cakupan Sunda, didukung oleh Kesultanan Demak sebagai faktor kebangkitan Cirebon.

Keterangan mengenai Kerajaan Sunda dan hubungannya dengan kebangkitan Kesultanan Cirebon, sebagian besar diambil dari naskah Purwaka Caruban Nagari, sebuah babad Cirebon yang menyatakan bahwa Cirebon adalah penerus Kerajaan Sunda yang sah.

Menurut Purwaka Caruban Nagari, seorang raja Sunda Prabu Siliwangi menikahi Nyai Subang Larang, putri Ki Gedeng Tapa, penguasa pelabuhan Muara Jati (sekarang Cirebon). Mereka dikaruniai tiga orang anak: Pangeran Walangsungsang, Putri Rara Santang, dan Pangeran Kian Santang.[24] Meskipun Pangeran Walangsungsang adalah putra sulung Raja, pangeran ini tidak mendapatkan hak sebagai putra mahkota Kerajaan Sunda. Hal ini disebabkan karena ibunya, Nyai Subang Larang bukanlah seorang permaisuri. Alasan lainnya adalah karena ia masuk Islam, mungkin dipengaruhi oleh ibunya yang merupakan seorang Muslim. Pada abad ke-16 di Jawa Barat, kepercayaan yang lazim dianut adalah Hindu, Sunda Wiwitan, dan Buddha. Saudara tirinya, Prabuwisesa, putra raja dari istri ketiganya, Nyai Kentring Manikmayang, yang dipilih sebagai putra mahkota.

Walangsungsang kemudian pindah ke sebuah pemukiman bernama Dukuh Alang-alang pada tahun 1445. Setelah kematian Ki Gedeng Alang-Alang pada tahun 1447, Walangsungsang diangkat sebagai penguasa kota dan mendirikan istana serta bergelar Pangeran Cakrabuana. Prabu Siliwangi mengirimkan utusannya Tumenggung Jagabaya dan Raja Sengara, untuk menganugerahi Pangeran Cakrabuana dengan gelar Tumenggung Sri Mangana. Pemukiman yang sekarang disebut Cirebon tumbuh menjadi pelabuhan yang berkembang pesat, namun Cakrabuana masih setia kepada ayahnya dan mengirimkan upeti kepada istana utama Sunda. Pada saat itu Cirebon masih merupakan sebuah kerajaan di bawah Kerajaan Sunda.

Pada tahun 1479, Cakrabuana digantikan oleh keponakannya, Syarif Hidayatullah, putra dari saudara perempuannya, Nyai Rara Santang. Ia menikahi sepupunya, Nyi Mas Pakungwati putri Cakrabuana. Beliau dikenal dengan nama anumerta Sunan Gunung Jati. Pada tanggal 2 April 1482, Sunan Gunungjati menyatakan bahwa Cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada Pajajaran, yang menandai proklamasi bahwa Kesultanan Cirebon telah merdeka dari Sunda Pajajaran.[24]

Karakter yang digambarkan dalam Purwaka Caruban Nagari, sebagai Prabu Siliwangi, cocok dengan karakter historis Dewa Niskala atau Ningrat Kancana, yang disebut sebagai Tohaan di Galuh dalam Carita Parahyangan. Tohaan di Galuh adalah putra dan pewaris Niskala Wastu Kancana.

Tekanan dari negara-negara Islam Jawa pesisir mendorong Sri Baduga Maharaja untuk mencari bantuan dari Portugis di Malaka. Pada tahun 1512 dan sekali lagi pada tahun 1521, ia mengirim putranya, putra mahkota Surawisesa yang juga dikenal sebagai Ratu Sang Hyang (Samian) ke Malaka untuk meminta Portugis menandatangani perjanjian persekutuan, berdagang lada, dan membangun benteng di pelabuhan utamanya di Sunda Kalapa. Putra Sunan Gunung Jati ini kemudian juga mendirikan Kesultanan Banten, yang kemudian menjadi ancaman bagi Kerajaan Sunda.

Surawisesa dan Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal

[sunting | sunting sumber]

Setelah kematian Sri Baduga Maharaja pada tahun 1521, raja-raja yang menggantikannya, Prabu "Surawisesa" Jayaperkosa, yang juga dikenal sebagai Ratu Sang Hyang yang oleh orang Portugis disebut Ratu Samian, menghadapi ancaman dari Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Demak. Di bawah ancaman ini, Surawisesa, yang memerintah dari tahun 1521 hingga 1535, membuat perjanjian dengan Portugis dari Malaka untuk mendirikan sebuah gudang dan benteng di Sunda Kelapa dengan imbalan perlindungan dari ancaman Kesultanan-kesultanan Islam tersebut.

Pada tahun 1522, Portugis siap membentuk koalisi dengan Raja Sunda untuk mendapatkan akses ke perdagangan lada yang menguntungkan. Komandan Malaka, Jorge de Albuquerque, mengirimkan sebuah kapal, São Sebastião, di bawah pimpinan Kapten Henrique Leme, ke Sunda Kalapa dengan membawa hadiah-hadiah yang sangat berharga untuk Raja Sunda. Dua sumber tertulis menjelaskan secara rinci tentang penandatanganan perjanjian tersebut, yaitu dokumen asli Portugis tahun 1522 yang memuat teks perjanjian dan para penandatangan saksi, serta sebuah laporan tentang peristiwa tersebut oleh João de Barros dalam bukunya Da Ásia, yang dicetak pada tahun 1777/1778.

Raja menyambut mereka dengan hangat pada saat kedatangan mereka. Putra mahkota telah menggantikan ayahnya dan kini bergelar Raja Prabu Surawisesa, meskipun Barros memanggilnya Raja Samião. Penguasa Sunda ini menyetujui perjanjian persahabatan dengan Raja Portugis dan memberikan sebuah benteng di muara Sungai Ciliwung di mana Portugis dapat memuat lada sebanyak yang mereka inginkan. Selain itu, ia berjanji, sejak dimulainya pembangunan benteng tersebut, setiap tahun ia akan menyumbangkan seribu karung lada kepada raja Portugis. Dokumen kontrak dibuat dalam dua salinan dan ditandatangani. Pada hari tersebut di tahun 1522, Henrique Leme dari Portugis dan rombongannya bersama dengan para utusan Raja Sunda mendirikan batu peringatan di muara Sungai Ciliwung.

Kejatuhan Sunda Kalapa

[sunting | sunting sumber]
Pelabuhan Sunda Kalapa, cikal bakal Jakarta. Selama berabad-abad, pelabuhan ini merupakan pelabuhan kerajaan Sunda yang melayani ibu kota Pakuan Pajajaran. 60 kilometer ke arah selatan hingga jatuh ke tangan pasukan Demak dan Cirebon pada tahun 1527.

Perjanjian perdagangan dan pertahanan Portugal dengan Sunda ini berantakan karena Portugis gagal memenuhi janjinya untuk membangun benteng di Kalapa. Penundaan tersebut disebabkan oleh masalah di Goa Portugis. Lebih buruk lagi, pada tahun 1527 Fatahillah, seorang komandan militer yang dikirim dari Demak, berhasil merebut pelabuhan Sunda Kalapa sebelum Portugis kembali.

Pasukan Fatahillah, yang terdiri dari pasukan Cirebon-Demak, menaklukkan Sunda Kalapa. Otoritas Sunda yang ditempatkan di pelabuhan itu jatuh. Kepala pelabuhan dan keluarganya, menteri kerajaan, dan semua orang yang bekerja di pelabuhan dibantai. Kota pelabuhan benar-benar hancur dan rata dengan tanah, karena bala bantuan Sunda yang dikirim dari Pakuan terlalu lemah dan mundur. Kerajaan Sunda telah kehilangan pelabuhan terpentingnya, sehingga kemudian Sunda Kalapa diubah namanya menjadi Jayakarta oleh penakluknya yang beragama Islam.

Tiga puluh pelaut Portugis, yang karam akibat badai, berenang ke pantai di Kalapa hanya untuk dibunuh oleh anak buah Fatahillah. Portugis menyadari bahwa kepemimpinan politik telah berubah ketika mereka tidak diizinkan untuk menginjakkan kaki di daratan. Karena mereka terlalu lemah untuk bertempur, mereka berlayar kembali ke Malaka. Tahun berikutnya, upaya kedua gagal karena para pelaut yang mogok kerja marah karena tidak dibayar.

Kegagalan untuk mengandalkan bantuan Portugis membuat Sunda berjuang sendiri untuk mempertahankan diri. Carita Parahyangan menyebutkan bahwa selama 14 tahun masa pemerintahannya (1521-1535), Raja Sang Hyang (Surawisesa) telah berperang dalam 15 pertempuran. Tak terkalahkan, semua pertempuran tersebut berhasil mengusir pasukan Muslim dari Cirebon dan Demak. Ia bertempur di Kalapa, Tanjung, Ancol Kiyi, Wahanten Girang, Simpang, Gunung Batu, Saung Agung, Rumbut, Gunung, Gunung Banjar, Padang, Panggoakan, Muntur, Hanum, Pagerwesi, dan Medangkahyangan.[5]:398

Perang antara pasukan Cirebon-Demak dan kerajaan Sunda berlangsung selama hampir lima tahun. Raja kehilangan ribuan anak buahnya. Dalam perang ini, setelah Sunda Kalapa, Kerajaan Sunda juga kehilangan Banten (kota). Sunan Gunungjati dari Cirebon kemudian menobatkan putranya, Hasanuddin, sebagai raja Banten di bawah naungan Sultan Demak yang pada gilirannya menikahkan Hasanudin dengan adik perempuannya. Banten didirikan sebagai ibu kota kesultanan baru ini, yang berkedudukan sebagai vasal di bawah Kesultanan Cirebon.[2]:18 Akhirnya, pada tahun 1531, sebuah perjanjian damai disepakati antara Raja Surawisesa dari Sunda dan Syarif Hidayatullah dari Cirebon.

Dalam kesedihan yang mendalam setelah kekalahan besar dan kehilangan dua pelabuhan terpentingnya, Prabu Surawisesa mendirikan prasasti Batutulis pada tahun 1533 untuk mengenang mendiang ayahnya.[25] Tindakan ini mungkin merupakan upaya memohon petunjuk dan perlindungan leluhur terhadap musuh Muslim yang kuat yang kini membayangi di depan pintu gerbang. Karena pertempuran yang terus berlangsung, ia sering tidak bisa tinggal di istananya di Pakuan Pajajaran.

Jaya Dewata

[sunting | sunting sumber]

Prabu Ratu Dewata juga dikenal sebagai Sang Ratu Jaya Dewata, adalah penerus Prabu Surawisesa. Namun, ia bukanlah putranya. Masa pemerintahan Prabu Ratu Dewata antara tahun 1535 dan 1543 dikenal sebagai masa yang kacau dan penuh kesulitan, karena pasukan Islam dari Cirebon dan Banten mencoba berkali-kali untuk merebut ibukota "Dayeuh" Pakuan.

Pada masa pemerintahan Ratu Dewata, Carita Parahyangan melaporkan beberapa musibah yang menimpa kerajaan; terjadi serangan tiba-tiba, banyak musuh yang meratakan kota[yang mana?], sehingga meletuslah pertempuran besar-besaran di halaman agung (buruan ageung).[5]:398 Dalam pertempuran ini, para pangeran bangsawan terbunuh. Kekacauan meluas ke seluruh wilayah kerajaan, penyerangan juga terjadi di Ciranjang dan Sumedang. Teror lainnya adalah pembunuhan terhadap para resi, pertapa, dan pendeta Hindu yang berada di tempat suci pertapaan. Dilaporkan bahwa para pendeta dan pertapa Hindu di mandala Jayagiri, ditangkap dan ditenggelamkan ke laut.[5]:400 Kemungkinan besar serangan tersebut dilancarkan oleh negara-negara Muslim di Banten atau Cirebon.[5]:395 Serangan ini merupakan serangan yang menghancurkan langsung ke inti spiritual masyarakat Hindu Sunda.

Karena tidak mampu mengendalikan kerajaan, alih-alih memenuhi tugasnya dengan menjaga hukum dan ketertiban, Prabu Ratu Dewata mengundurkan diri menjadi Raja Pandita (raja pendeta), dan menenggelamkan diri secara mendalam ke dalam ritual-ritual keagamaan sebagai bentuk permohonan yang tampaknya putus asa untuk mendapatkan keselamatan dari para dewa.[5]:396 Pada masa ini, Kerajaan Sunda sudah terisolasi dan terkurung di pedalaman.

Raja-raja terakhir dan keruntuhan kerajaan Sunda

[sunting | sunting sumber]
Pelabuhan Banten pada abad ke-16

Kesultanan Banten yang bercorak Islam bertanggung jawab atas runtuhnya Kerajaan Hindu Sunda, dan menggantikannya sebagai pemerintahan yang dominan di bagian barat Pulau Jawa pada abad-abad berikutnya. Rangkaian raja-raja Sunda terakhir terkenal sebagai penguasa yang tidak kompeten. Penerus Ratu Dewata, Raja Ratu Sakti yang memerintah dari tahun 1543 hingga 1551, dikenal sebagai raja yang kejam, yang memanjakan diri dengan kenikmatan indrawi.[5]:396

Penerus berikutnya yang memerintah dari tahun 1551 hingga 1567, Raja Nilakendra, yang juga dikenal sebagai Tohaan di Majaya, juga merupakan penguasa yang tidak kompeten. Alih-alih memenuhi kewajibannya sebagai raja, ia malah merenovasi dan mempercantik istana. Menghambur-hamburkan kekayaan kerajaan dengan memanjakan diri dalam kesenangan dan kemewahan.[5]:396

Karena pertempuran yang terus berlangsung, ironisnya Tohaan di Majaya tidak dapat tinggal di istananya yang baru saja direnovasi. Raja-raja Sunda terakhir tidak dapat lagi tinggal di Pakuan Pajajaran, karena pada tahun 1550-an Hasanuddin, sultan Banten telah melancarkan serangan yang sukses ke Dayeuh Pakuan, merebut dan meratakan ibu kota.

Para bangsawan dan rakyat biasa yang masih hidup melarikan diri dari kota yang jatuh, menuju ke hutan belantara pegunungan. Setelah jatuhnya Pakuan Pajajaran, para bangsawan Kerajaan Sunda diungsikan ke kerajaan timur Kerajaan Sumedang Larang. Mereka membawa benda pusaka sebagai pewaris Kerajaan Sunda, di antara warisan tersebut adalah Makuta Binokasih Sanghyang Paké, mahkota kerajaan Sunda. Dengan demikian, anggota dinasti Sunda mendirikan kerajaan daerah kecil Sumedang Larang di mana aristokrasi Sunda akan bertahan selama beberapa abad berikutnya hingga mengintegrasikan diri dengan Kesultanan Mataram pada abad ke-17.

Dari tahun 1567 hingga 1579, di bawah raja terakhir Raja Mulya, yang juga dikenal sebagai Prabu Surya Kencana, kerajaan ini mengalami kemunduran yang cukup besar. Dalam Carita Parahyangan, Raga Mulya disebut sebagai Nusiya Mulya. Ia memerintah lebih jauh ke pedalaman di Pulasari, dekat Pandeglang, di lereng Gunung Palasari. Kerajaan ini mengalami kemunduran, terutama setelah tahun 1576 akibat tekanan terus-menerus dari Banten, dan akhirnya runtuh sepenuhnya pada tahun 1579. Setelah itu, Kesultanan Banten mengambil alih sebagian besar wilayah bekas Kerajaan Sunda, dan pada akhirnya mengakhiri satu milenium peradaban Hindu-Buddha di Jawa Barat.[5]:396 Pada masa ini, Jawa telah berubah menjadi semakin Islami. Hanya kerajaan Kerajaan Blambangan di ujung timur yang merupakan kerajaan Hindu terakhir yang masih ada di Jawa, hingga keruntuhannya pada awal abad ke-18.

Wilayah kekuasaan

[sunting | sunting sumber]

Berdasarkan naskah primer berbahasa Sunda kuno Perjalanan Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah. Wilayah vasal Kerajaan Sunda membentang dari ujung barat di Pasar Talo, Bengkulu hingga ke Jatimalang, Purworejo di ujung Timur. Kerajaan Sunda yang beribukota di Pajajaran juga mencakup wilayah bagian selatan pulau Sumatra (prasasti Ulubelu). Setelah Kerajaan Sunda diruntuhkan oleh Kesultanan Banten maka kekuasaan atas wilayah selatan Sumatra dilanjutkan oleh Kesultanan Banten.[2]

Daftar raja-raja Sunda

[sunting | sunting sumber]

Berdasarkan arkeologi dan catatan bangsa asing

[sunting | sunting sumber]

Nama raja-raja Sunda, berdasarkan bukti arkeologis berupa prasasti-prasasti, serta catatan bangsa asing sbb.:

Raja-raja Sunda berdasarkan temuan prasasti, naskah dan catatan bangsa asing
No Nama raja Masa pemerintahan Ditemukan pada
1 Sri Jayabhupati ca 1030-1042 Prasasti Sanghyang Tapak (1030 M)
2 Prabu Maharaja ca 1350-1357 Pararaton, Carita Parahiyangan, Kidung Sunda
3 Bunisora ca 1357-1371 Carita Parahiyangan (1580)
4 Niskala Wastu Kancana ca 1371-1475 Prasasti Kawali (paruh kedua abad ke-14) & Prasasti Batutulis (1533)
5 Susuk Tunggal (di Pakuan) ca 1475-1482 Carita Parahiyangan (1580)
6 Ningrat Kancana (di Kawali)
7 Sri Baduga Maharaja ca 1482-1521 Prasasti Batutulis (1533)
8 Ratu Samian/Rei Samião (Ratu Sanghyang) ca 1521–1535 Padrão dan Perjanjian Sunda-Portugal (1522) &
Décadas da Ásia (1777–78, De Barros)
9 Ratu Dewata ca 1535–1543 Carita Parahiyangan (1580)
10 Ratu Sakti ca 1543–1551 Carita Parahiyangan (1580)
11 Nilakendra ca 1551–1567 Carita Parahiyangan (1580)
12 Raga Mulya ca 1567–1579 Carita Parahiyangan (1580)

Raja-raja Sunda dari tahun (1482 – 1579)

[sunting | sunting sumber]
  1. Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521), bertakhta di Pakuan (Bogor sekarang)
  2. Surawisesa (1521 – 1535), bertakhta di Pakuan
  3. Ratu Dewata (1535 – 1543), bertakhta di Pakuan
  4. Ratu Sakti (1543 – 1551), bertakhta di Pakuan
  5. Ratu Nilakendra (1551 – 1567), meninggalkan Pakuan karena serangan Sultan Maulana Hasanuddin dan anaknya, Maulana Yusuf
  6. Raga Mulya (1567 – 1579), dikenal sebagai Prabu Surya Kencana, memerintah dari Pandeglang.

Perjanjian dengan Portugal

[sunting | sunting sumber]
Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal, sebuah tugu batu untuk memperingati perjanjian antara Kerajaan Portugal dan Sunda yang saat ini berada di Museum Nasional Indonesia, Jakarta.

Pada tahun 1522, Kerajaan Sunda menandatangani Perjanjian Sunda-Portugis yang membolehkan orang Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kelapa. Sebagai imbalannya, Portugis diharuskan memberi bantuan militer kepada Kerajaan Sunda dalam menghadapi serangan dari Demak dan Cirebon[26] yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda.

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Bacaan lanjut

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Geoffrey C. Gunn, (2011), History Without Borders: The Making of an Asian World Region, 1000-1800, Hong Kong University Press, ISBN 988-8083-34-1
  2. ^ a b c Guillot, Claude. (1990). The Sultanate of Banten. Gramedia Book Publishing Division. ISBN 979-403-922-5. 
  3. ^ Iguchi, Masatoshi (2017-01-25). Java Essay: The History and Culture of a Southern Country (dalam bahasa Inggris). Troubador Publishing Ltd. ISBN 9781784628857. 
  4. ^ Ekajati, Edi Suhardi (2005). Kebudayaan Sunda: Zaman Pajajaran. Pustaka Jaya. ISBN 9789794193341. 
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p Marwati Djoened Poesponegoro; Nugroho Notosusanto (2008). Sejarah Nasional Indonesia: Zaman kuno (dalam bahasa Indonesian). Balai Pustaka. ISBN 979407408X. Diakses tanggal 3 June 2018. 
  6. ^ Dit. PCBM (12 Februari 2019), Keragaman Aksara dan Bahasa pada Prasasti-Prasasti Jawa Barat, kebudayaan.kemdikbud.go.id, diakses tanggal 6 Juli 2023 
  7. ^ Gunawan, Aditia; Griffiths, Arlo (2021). "Old Sundanese Inscriptions: Renewing the Philological Approach". Archipel. 101: 131–208. doi:10.4000/archipel.2365alt=Dapat diakses gratis. ISSN 0044-8613. 
  8. ^ Noorduyn, J. (2006). Three Old Sundanese poems. KITLV Press. hlm. 437. 
  9. ^ Noorduyn, J. (2006). Three Old Sundanese poems. KITLV Press. hlm. 438. 
  10. ^ SJ, Adolf Heuken (1999). Sumber-sumber asli sejarah Jakarta, Jilid I: Dokumen-dokumen sejarah Jakarta sampai dengan akhir abad ke-16. Cipta Loka Caraka. hlm. 34. 
  11. ^ Noorduyn, Kerajaan Sunda dan Pakuan Pajajaran dilihat dari sumber-sumber prasasti dan naskah-naskah lama, Panitia Seminar, 1991
  12. ^ Nana Supriatna, Mamat Ruhimat, Kosim, IPS Terpadu (Sosiologi, Geografi, Ekonomi, Sejarah), PT Grafindo Media Pratama, ISBN 979-758-337-6
  13. ^ Casparis, J. G. de (1975). Indonesian Palaeography: A History of Writing in Indonesia from the Beginnings to C. A.D. 1500 (dalam bahasa Inggris). BRILL. ISBN 978-90-04-04172-1. 
  14. ^ Uka Tjandrasasmita, (2009), Arkeologi Islam Nusantara, Kepustakaan Populer Gramedia, ISBN 979-9102-12-X
  15. ^ BPS Provinsi Banten (2019). Pariwisata Banten dalam Angka Tahun 2019 (PDF). Dinas Pariwisata Provinsi Banten. hlm. 47–48. 
  16. ^ Lubis, Nina H. (2012-08-03). "Kontroversi Tentang Naskah Wangsakerta". Humaniora. 14 (1): 20–26. doi:10.22146/jh.v14i1.741 (tidak aktif 31 July 2022). ISSN 2302-9269. 
  17. ^ "Mengungkap Kontroversi Naskah Wangsakerta - Radar Cirebon". Radar Cirebon. 2013-12-14. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-09-07. Diakses tanggal 2018-06-03. 
  18. ^ Drs. R. Soekmono (1973). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 60. 
  19. ^ "Perpustakaan Lemhannas RI - Page 10". lib.lemhannas.go.id. Diakses tanggal 2023-06-16. 
  20. ^ a b Ali, Fachry (2016-11-26). "Sunda-"Java" and The Past : A Socio-Historical Reflection". Insaniyat: Journal of Islam and Humanities (dalam bahasa Inggris). 1 (1): 33–40. doi:10.15408/insaniyat.v1i1.4350alt=Dapat diakses gratis. ISSN 2541-500X. 
  21. ^ Sejarah Daerah Jawa Barat. Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1977. 
  22. ^ "Google Maps". Google Maps. Diakses tanggal 2018-06-17. 
  23. ^ Budimansyah; Sofianto, Kunto; Dienaputra, Reiza D. (2018-11-08). "Representasi "Perempuan Matang" Dalam Majalah Pesona (Femina Group) Indonesia" (PDF). Patanjala. 10 (3): 419–434. doi:10.30959/patanjala.v10i3.376. 
  24. ^ a b "Sejarah Kabupaten Cirebon". Cirebon Regency. Diakses tanggal 16 January 2013. 
  25. ^ Teguh, Irfan. "Kesedihan di Balik Prasasti Batutulis - Tirto.ID". tirto.id. Diakses tanggal 2018-06-22. 
  26. ^ Herwig Zahorka (2007). The Sunda Kingdoms of West Java: From Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with the Royal Center of Bogor. Yayasan Cipta Loka Caraka.