Bahasa Buru
Bahasa Buru merupakan sebuah bahasa Austronesia yang dituturkan di Pulau Buru, Maluku. Penuturnya berjumlah sekitar 45.000 orang.[1]
Klasifikasi dan dialek
Bahasa Buru termasuk ke dalam rumpun bahasa Maluku Tengah yang juga mencakup sebagian besar bahasa-bahasa Austronesia di Kepulauan Maluku. Di antara bahasa-bahasa Maluku Tengah, bahasa Buru paling dekat hubungannya dengan bahasa-bahasa di kepulauan Sula dan Taliabu, membentuk subkelompok Buru-Sula-Taliabu dalam rumpun Maluku Tengah. Rumpun bahasa Maluku Tengah sendiri termasuk dalam kelompok Melayu-Polinesia (cabang Tengah-Timur) dari keluarga Austronesia.[4]
Pada tahun 1980-an, bahasa Buru memiliki lima dialek: (1) Masarete, (2) Wae Sama, yang dituturkan di pesisir tenggara pulau, (3) Rana, di wilayah pedalaman pulau, (4) Lisela, di sepanjang pesisir utara, dan (5) Fogi, di pesisir barat daya.[5] Di antara dialek-dialek bahasa Buru, dialek Lisela merupakan yang paling berbeda secara kosakata. Namun, dalam hal struktur, dialek Lisela hampir persis sama dengan dialek Masarete dan Rana.[6] Perbedaan antar dialek juga tidak menghalangi usaha untuk berkomunikasi satu sama lainnya. Ditambah lagi, masyarakat Buru menganggap bahwa kelima dialek ini merupakan satu kesatuan dan bukannya bahasa-bahasa berbeda.[7]
Pantangan
Masyarakat Buru mengenal pantangan atau koit yang melarang penggunaan kata-kata tertentu dan menggantinya dengan kosa kata baru yang mirip secara semantik, atau kata yang dimaksudkan sebagai deskripsi.[8][9] Salah satu pantangan adalah menyebut nama kerabat secara langsung. Jika nama kerabat tersebut diambil dari nama makhluk hidup atau fenomena alam (penamaan semacam ini umum di beberapa tempat yang masih belum begitu dipengaruhi budaya luar), maka nama makhluk atau fenomena tersebut pun pantang diucapkan.[a][10] Ada pula pantangan yang diasosiasikan dengan wilayah tertentu; wilayah pantangan ini disebut net koit dalam bahasa Buru. Contohnya kata ikan 'ikan', yang di beberapa daerah diganti dengan kata edhamat 'sesuatu yang mengambang',[11] atau kata senget 'nyamuk' yang di beberapa tempat diganti inhadat 'sesuatu yang menggigit'.[9] Pantangan semacam ini biasanya dikaitkan dengan legenda atau mitos setempat.[9][11]
Di wilayah pedalaman Garan yang tak berpenghuni di bagian barat laut pulau, bahasa Buru sehari-hari pantang digunakan. Wilayah pantangan ini memilki panjang dan lebar kurang lebih dua hari perjalanan dari ujung ke ujung. Untuk menghindari menggunakan bahasa sehari-hari, penutur dialek Rana yang lazim melalui wilayah ini pun menciptakan ragam bahasa bernama Li Garan 'bahasa Garan', yang kosa katanya dibuat melalui metode yang umum digunakan untuk menghindari kata pantangan seperti dijelaskan di atas.[6] Contohnya, dalam Li Garan, kata geba 'orang' disebut em-kise-n (kata dasar kise berarti 'berdahi tinggi'), ana-fina 'perempuan' disebut em-kise-n brenge-t (kata dasar brenge berarti 'kuskus betina'[b]), dan kira-n 'dahi' disebut olo-n hapu-t '(bagian) kepala yang diikat'.[12] Selain berfungsi sebagai ragam bahasa yang digunakan di wilayah Garan, penutur dialek Rana juga menggunakan ragam ini sebagai bahasa rahasia jika ingin mendiskusikan sesuatu tanpa melibatkan penutur dialek lain.[6]
Demografi dan persebaran
Bahasa Buru dituturkan di sebagian besar Pulau Buru. Dialek Masarete dituturkan di daerah aliran sungai Wa Mala di bagian barat daya pulau, Wae Sama di pesisir tenggara, Rana di wilayah pedalaman, Lisela di sepanjang pesisir utara, dan Fogi di pesisir barat daya.[13][5] Dialek Rana dan Lisela merupakan dialek dengan jumlah penutur terbanyak pada tahun 1989.[14] Dari kelima dialek ini, penggunaan dialek Masarete, Wae Sama dan Rana masih cukup kuat. Sementara itu, dialek Lisela penggunaannya menurun, dan penutur dialek Fogi yang jumlahnya paling sedikit mungkin sudah bertukar menggunakan bahasa Melayu seluruhnya.[13][15]
Fonologi
Terdapat 17 fonem konsonan dan 5 fonem vokal dalam bahasa Buru. Fonem /dʒ/ merupakan serapan.[16]
Labial | Apikal | Laminal | Dorsal | |
---|---|---|---|---|
Nasal | m | n | ŋ | |
Letup | p b | t̪ d | tʃ (dʒ) | k g |
Frikatif | f | s | h | |
Lateral | l | |||
Getar | r | |||
Semivokal | w | j |
Depan | Madya | Belakang | |
---|---|---|---|
Tertutup | i | u | |
Tengah | e | o | |
Terbuka | a |
Tata bahasa
Negasi
Dalam bahasa Buru, evaluasi dari sebuah ungkapan selalu dilakukan di akhir, termasuk dalam hal negasi.[17]
Sira hapu lafa-t la yako langina moo 3pl ikat makanan-nom untuk 1sg sebelumnya neg 'Mereka tidak menyiapkan bekal makanan untuk saya tadi'
Penggunaan kata penyangkal di akhir kalimat pada bahasa Buru berlawanan dengan lazimnya bahasa Austronesia yang meletakkan kata penyangkal sebelum predikat atau kata kerja. Negasi di akhir kalimat merupakan ciri khas bahasa-bahasa non-Austronesia di Papua dan Halmahera, yang kemudian menyebar ke beberapa bahasa-bahasa Austronesia di Maluku dan Papua (termasuk Buru) melalui kontak.[18]
Referensi
Keterangan
- ^ Tidak seperti pada beberapa masyarakat Austronesia lainnya, menyebut nama kerabat yang sudah meninggal bukanlah pantangan. Terkadang, mereka bahkan dipanggil dengan nama langsung tanpa panggilan kekerabatan.[9]
- ^ Kata ini pun awalnya tumbuh dari pantangan; kata dasar renge berarti 'membawa sesuatu dengan menyampirkannya di punggung', sebab induk kuskus seringkali menggendong anaknya di punggung.[12]
Catatan kaki
- ^ a b Grimes 1991, hlm. 45.
- ^ Hammarström, Harald; Forkel, Robert; Haspelmath, Martin, ed. (2023). "Buruic". Glottolog 4.8. Jena, Jerman: Max Planck Institute for the Science of Human History.
- ^ "Bahasa Buru". www.ethnologue.com (dalam bahasa Inggris). SIL Ethnologue.
- ^ Collins 1983, hlm. 15, 19–20.
- ^ a b Grimes 1991, hlm. 35.
- ^ a b c Grimes 1991, hlm. 40.
- ^ Grimes 1991, hlm. 39.
- ^ Grimes & Maryott 1994, hlm. 277.
- ^ a b c d Grimes 1991, hlm. 34.
- ^ Grimes 1991, hlm. 33.
- ^ a b Grimes & Maryott 1994, hlm. 278.
- ^ a b Grimes 1991, hlm. 41.
- ^ a b Grimes & Maryott 1994, hlm. 276.
- ^ Grimes 1991, hlm. 44.
- ^ Grimes 1995, hlm. 3.
- ^ a b c Grimes 1991, hlm. 47–49.
- ^ Grimes 1991, hlm. 232.
- ^ Klamer 2002, hlm. 375.
Bibliografi
- Collins, James T. (1983). The Historical Relationships of the Languages of Central Maluku, Indonesia (PDF). Pacific Linguistics, series D. 47. Canberra: Pacific Linguistics. doi:10.15144/PL-D47.
- Grimes, Charles E (1991). The Buru Language of Eastern Indonesia (Tesis Doktoral). Australian National University. https://openresearch-repository.anu.edu.au/handle/1885/10925.
- Grimes, Charles E. (1995). Digging for the Roots of Language Death in Eastern Indonesia: The Cases of Kayeli and Hukumina. 69th Annual Meeting of the Linguistic Society of America. New Orleans. hlm. 1–18.
- Grimes, Charles E.; Maryott, Kenneth R. (1994). "Name speech registers in Austronesian languages". Dalam Thomas Edward Dutton; Darrell T. Tryon. Language Contact and Change in the Austronesian World. Trends in Linguistics. 77. hlm. 275–319. ISBN 9783110883091.
- Klamer, Marian (2002). "Typical Features of Austronesian Languages in Central/Eastern Indonesia". Oceanic Linguistics. 41 (2): 363–383. doi:10.1353/ol.2002.0007.