Suku Karo
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
| |||||||||||||||||||||||||
Jumlah populasi | |||||||||||||||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
± 1.100.000 (2010) | |||||||||||||||||||||||||
Daerah dengan populasi signifikan | |||||||||||||||||||||||||
Sumatra Utara | ? | ||||||||||||||||||||||||
Kabupaten Karo | ? | ||||||||||||||||||||||||
Kabupaten Deli Serdang | ? | ||||||||||||||||||||||||
Kabupaten Langkat | ? | ||||||||||||||||||||||||
Kabupaten Dairi | ? | ||||||||||||||||||||||||
Kabupaten Simalungun | ? | ||||||||||||||||||||||||
Kota Medan | ? | ||||||||||||||||||||||||
Kota Binjai | ? | ||||||||||||||||||||||||
Aceh | ? | ||||||||||||||||||||||||
Kabupaten Aceh Tenggara | ? | ||||||||||||||||||||||||
Bahasa | |||||||||||||||||||||||||
Karo, Indonesia, Melayu, Simalungun, Toba, Pakpak | |||||||||||||||||||||||||
Agama | |||||||||||||||||||||||||
Kelompok etnik terkait | |||||||||||||||||||||||||
Suku Karo (Karo: ᯂᯒᯨ atau ᯂᯒᯭ, Latin: Karo) atau lazim juga disebut Batak Karo (Karo: ᯆᯗᯂ᯳ ᯂᯒᯨ atau ᯆᯗᯂ᯳ ᯂᯒᯭ, Latin: Batak Karo) adalah suku bangsa atau kelompok etnik yang mendiami wilayah Sumatra Utara dan sebagian Aceh; meliputi Kabupaten Karo, sebagian Kabupaten Aceh Tenggara, sebagian Kabupaten Langkat (Langkat Hulu), Sebagian Kabupaten Dairi, sebagian Kabupaten Simalungun, dan sebagian Kabupaten Deli Serdang serta juga dapat ditemukan di kota Medan & Kota Binjai. Suku ini merupakan salah satu suku terbesar dalam Sumatra Utara. Nama suku ini dijadikan sebagai nama salah satu Kabupaten di Sumatra Utara yaitu Kabupaten Karo. Suku ini memiliki bahasa yang disebut Bahasa Karo atau Cakap Karo. Pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan emas. Konon, Kota Medan didirikan oleh seorang putra Karo yang bernama Guru Patimpus Sembiring Pelawi.
Sejarah & etimologi
Suku Karo adalah suku asli yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Kabupaten Deli Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kota Medan, dan Kabupaten Aceh Tenggara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Kabupaten Karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo dan memiliki salam khas yaitu Mejuah-juah. Sementara pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan emas. Adapun keberadaan Rumah adat Suku Karo atau yang dikenal dengan nama Rumah Si Waluh Jabu yang berarti rumah untuk delapan keluarga, yaitu Rumah yang terdiri dari delapan bilik yang masing-masing bilik dihuni oleh satu keluarga. Tiap keluarga yang menghuni rumah itu memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda sesuai dengan pola kekerabatan masing-masing.
Eksistensi Kerajaan
Kesultanan Aru Baroman | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
1225[6]–1613 | |||||||
Peta Sumatra tahun 1565 dengan arah selatan di atas. Wilayah "Terre Laru" dapat dilihat di pojok atas dalam "kotak" kiri bawah | |||||||
Ibu kota | Kota Rentang | ||||||
Bahasa yang umum digunakan | Karo Melayu | ||||||
Agama | Islam | ||||||
Pemerintahan | Monarki | ||||||
Sejarah | |||||||
• Didirikan | 1225[6] | ||||||
• Serangan akhir dari Kesultanan Aceh | 1613 | ||||||
| |||||||
Sekarang bagian dari | Indonesia | ||||||
Bagian dari seri mengenai |
---|
Sejarah Indonesia |
Garis waktu |
Portal Indonesia |
Kesultanan Aru/Karo atau Haru merupakan sebuah kerajaan yang pernah berdiri di wilayah pantai timur Sumatra Utara sekarang.
Kerajaan Haru-Karo (Kerajaan Aru/Karo) mulai menjadi kerajaan besar di Sumatra, namun tidak diketahui secara pasti kapan berdirinya. Namun, Brahma Putra, dalam bukunya "Karo dari Zaman ke Zaman" mengatakan bahwa pada abad 1 Masehi sudah ada kerajaan di Sumatra Utara yang rajanya bernama "Pa Lagan". Menilik dari nama itu merupakan bahasa yang berasal dari suku Karo. Mungkinkah pada masa itu Kerajaan Haru sudah ada? Hal ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.(Darwan Prinst, SH :2004)
Kerajaan Haru-Karo diketahui tumbuh dan berkembang bersamaan waktunya dengan kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Johor, Malaka, dan Aceh. Terbukti karena kerajaan Haru pernah berperang dengan kerajaan-kerajaan tersebut. Kerajaan Haru pada masa keemasannya, pengaruhnya tersebar mulai dari Aceh Besar hingga ke sungai Siak di Riau.
Terdapat suku Karo di Aceh Besar yang dalam bahasa Aceh disebut Karee. Keberadaan suku Haru-Karo di Aceh ini diakui oleh H. Muhammad Said dalam bukunya "Aceh Sepanjang Abad" (1981). Ia menekankan bahwa penduduk asli Aceh Besar adalah keturunan mirip Batak. Namun tidak dijelaskan keturunan dari Batak mana penduduk asli tersebut. Sementara itu, H. M. Zainuddin dalam bukunya "Tarich Atjeh dan Nusantara" (1961) mengatakan bahwa di lembah Aceh Besar disamping terdapat kerajaan Islam terdapat pula kerajaan Karo. Selanjunya disebutkan bahwa penduduk asli atau bumi putera dari ke-20 mukim bercampur dengan suku Karo. "Brahma Putra", dalam bukunya "Karo Sepanjang Zaman" mengatakan bahwa raja terakhir suku Karo di Aceh Besar adalah "Manang Ginting Suka".
Kelompok Karo di Aceh kemudian berubah nama menjadi "Kaum Lhee Reutoih" atau Kaum Tiga Ratus. Penamaan demikian terkait dengan peristiwa perselisihan antara suku Karo dengan suku Hindu di sana yang disepakati diselesaikan dengan perang tanding. Sebanyak tiga ratus (300) orang suku Karo akan berkelahi dengan empat ratus (400) orang suku Hindu di suatu lapangan terbuka. Perang tanding ini dapat didamaikan dan sejak saat itu suku Karo disebut sebagai kaum tiga ratus dan kaum Hindu disebut kaum empat ratus.
Di kemudian hari terjadi pencampuran antar suku Karo dengan "Suku dari India" dan mereka disebut sebagai kaum Ja Sandang. Golongan lainnya adalah Kaum Imeum Peuet dan Kaum Tok Batee yang merupakan campuran suku pendatang, seperti: Kaum Hindu, Arab, Persia, dan lainnya.
Historiografi
Nama kerajaan ini disebutkan dalam Pararaton, yang tepatnya disebut di dalam Sumpah Palapa:[7]
“Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa”
Dalam bahasa Indonesia mempunyai arti:[7]
“Dia, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, Gajah Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa
Sebaliknya tidak tercatat lagi dalam Kakawin Nagarakretagama sebagai negara bawahan sebagaimana tertulis dalam pupuh 13 paragraf 1 dan 2.
Sementara itu dalam Suma Oriental disebutkan bahwa kerajaan ini merupakan kerajaan yang kuat Penguasa Terbesar di Sumatra yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan memiliki pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh kapal-kapal asing.[8] Dalam laporannya, Tomé Pires juga mendeskripsikan akan kehebatan armada kapal laut kerajaan Aru yang mampu melakukan pengontrolan lalu lintas kapal-kapal yang melalui Selat Melaka pada masa itu.
Dalam Sulalatus Salatin Haru disebut sebagai kerajaan yang setara kebesarannya dengan Malaka dan Pasai. Peninggalan arkeologi yang dihubungkan dengan Kerajaan Haru telah ditemukan di Kota China dan Kota Rantang.
Wilayah Karo
Sering terjadi kekeliruan dalam percakapan sehari-hari. Karo diidentikkan dengan Kabupaten Karo. Padahal, Taneh Karo jauh lebih luas daripada Kabupaten Karo karena meliputi:
Kabupaten Karo
Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi Tanah Karo. Kota yang terkenal dengan di wilayah ini adalah Berastagi dan Kabanjahe. Berastagi merupakan salah satu kota turis di Sumatera Utara yang sangat terkenal dengan produk pertaniannya yang unggul. Salah satunya adalah buah jeruk dan produk minuman yang terkenal yaitu sebagai penghasil Markisa Jus yang terkenal hingga seluruh nusantara. Mayoritas suku Karo bermukim di daerah pegunungan ini, tepatnya di daerah Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak yang sering disebut sebagai atau "Taneh Karo Simalem". Banyak keunikan-keunikan terdapat pada masyarakat Karo, baik dari geografis, alam, maupun bentuk masakan. Masakan Karo, salah satu yang unik adalah trites. Trites ini disajikan pada saat pesta budaya, seperti pesta pernikahan, pesta memasuki rumah baru, dan pesta tahunan yang dinamakan -kerja tahun-. Trites ini bahannya diambil dari isi lambung sapi/kerbau, yang belum dikeluarkan sebagai kotoran. Bahan inilah yang diolah sedemikian rupa dicampur dengan bahan rempah-rempah sehingga aroma tajam pada isi lambung berkurang dan dapat dinikmati. Masakan ini merupakan makanan istimewa yang di suguhkan kepada yang dihormati.
Kota Medan
Pendiri kota Medan adalah seorang putra Karo yaitu Guru Patimpus Sembiring Pelawi. Sebagian sejarawan dan pemerhati budaya juga memercayai bahwa asal mula nama Kota Medan berasal dari Bahasa Karo, Madan yang berarti "obat". Namun pendapat ini masih menjadi pro dan kontra karena terdapat beberapa versi mengenai asal mula nama Medan.
Kota Binjai
Kota Binjai merupakan daerah yang memiliki interaksi paling kuat dengan Kota Medan disebabkan oleh jaraknya yang relatif sangat dekat dari Kota Medan sebagai ibukota Provinsi Sumatra Utara. Nama "Binjai" juga dipercaya berasal dari gabungan kedua kosakata Bahasa Karo, ben dan i-jei yang artinya "bermalam di sini". Hal tersebut kemudian diucapkan "Binjei" dan menjadi "Binjai" hingga sekarang.
Kabupaten Langkat
Suku Karo di Langkat mendiami daerah hulu, seperti Bahorok, Kutambaru, Sei Bingai, Kuala, Salapian, dan sebagian Selesai, Batang Serangan, dan Serapit. Teluk Aru yang berada di Langkat Hilir juga pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Aru, kerajaan bercorak Karo-Melayu yang dimana menjadi leluhur dari raja dan sultan Melayu Sumatera Timur.
Kabupaten Dairi
Wilayah Kabupaten Dairi pada umumnya sangat subur dengan kemakmuran masyarakatnya melalui perkebunan kopinya yang sangat berkualitas. Sebagian Kabupaten Dairi yang merupakan bagian Taneh Karo:
- Kecamatan Taneh Pinem
- Kecamatan Tiga Lingga
- Kecamatan Gunung Sitember
Kabupaten Aceh Tenggara
Taneh Karo di Kabupaten Aceh Tenggara meliputi:
- Kecamatan Lau Sigala-gala (Desa Lau Deski, Lau Perbunga, Lau Kinga)
- Kecamatan Simpang Simadam
Kabupaten Deli Serdang
- Kecamatan Tanjung Morawa
- Kecamatan Sinembah Tanjung Muda Hulu
- Kecamatan Sinembah Tanjung Muda Hilir
- Kecamatan Sibolangit
- Kecamatan Pancur Batu
- Kecamatan Kutalimbaru
- Kecamatan Sunggal
- Kecamatan Deli Tua
- Kecamatan Sibiru-biru
- Kecamatan Gunung Meriah
Kabupaten Simalungun
- Kecamatan Dolok Silau
- Kecamatan Pamatang Silimahuta
- Kecamatan Silimakuta
Merga / Marga
Suku Karo memiliki sistem kemasyarakatan atau adat yang dikenal dengan nama merga silima, tutur siwaluh, dan rakut sitelu. Merga disebut untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan disebut beru. Merga atau beru ini disandang di belakang nama seseorang. Merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok utama (marga inti/pokok), yang disebut dengan merga silima. Kelima merga tersebut adalah:
- Karo-karo: Purba, Barus, Bukit, Gurusinga, Kaban, Kacaribu, Surbakti, Sinulingga, Sitepu, Sinuraya, Sinuhaji, Ketaren, Kemit, Ujung, Sinukaban, Sinubulan, Samura, Sekali (berjumlah 18).
- Tarigan: Bondong, Gana-Gana, Gersang, Gerneng, Jampang, Purba, Pekan, Sibero, Tua, Tegur, Tambak, Tambun, Silangit, Tendang (berjumlah 14).
- Ginting: Anjartambun, Babo, Beras, Cabap, Gurupatih, Garamata, Jandibata, Jawak, Manik, Munte, Pase, Seragih, Suka, Sugihen, Sinusinga, Tumangger, Taling Kuta (berjumlah 17).
- Sembiring: Sembiring si banci man biang (Sembiring yang boleh makan anjing): Keloko, Sinulaki, Kembaren, Sinupayung (Jumlah = 4); Sembiring simantangken biang (Sembiring yang tidak boleh makan anjing): Brahmana, Depari, Meliala, Pelawi, Busuk, Colia, Muham, Maha, Bunuhaji, Gurukinayan, Pandia, Keling, Pandebayang, Sinukapur, Tekang (berjumlah 15).
- Perangin-angin: Bangun, Keliat, Kacinambun, Namohaji, Mano, Benjerang, Uwir, Pinem, Pancawan, Penggarun, Ulun Jandi, Laksa, Perbesi, Sukatendel, Singarimbun, Sinurat, Sebayang, Tanjung (berjumlah 18).
Keterangan:
- Total semua sub-merga atau cabang marga adalah 82.
Kelima merga ini masih mempunyai sub-merga masing-masing. Setiap orang Karo mempunyai salah satu dari merga tersebut. Merga diperoleh secara turun termurun dari ayah. Merga ayah juga merga anak. Orang yang mempunyai merga atau beru yang sama, dianggap bersaudara dalam arti mempunyai nenek moyang yang sama. Jikalau laki-laki bermarga sama, maka mereka disebut (b)ersenina. Demikian juga antara perempuan dengan perempuan yang mempunyai beru yang sama, maka mereka disebut juga (b)ersenina. Namun antara seorang laki-laki dengan perempuan yang bermerga sama, mereka disebut erturang, sehingga dilarang melakukan perkawinan, kecuali pada merga Sembiring (Sembiring Kembaren).
Falsafah kemasyarakatan
Hal lain yang penting dalam susunan masyarakat Karo adalah rakut sitelu, yang artinya secara metaforik adalah Tungku Nan Tiga, yang berarti Ikatan yang Tiga. Arti rakut sitelu tersebut adalah Sangkep Nggeluh (Kelengkapan Hidup) bagi orang Karo. Kelengkapan yang dimaksud adalah lembaga sosial yang terdapat dalam masyarakat Karo yang terdiri dari tiga kelompok, yaitu :
- Kalimbubu
- Anak Beru
- Sembuyak
- Kalimbubu dapat didefinisikan sebagai keluarga pemberi istri.
- Anak Beru yaitu keluarga yang mengambil atau menerima istri.
- Sembuyak adalah keluarga satu galur keturunan merga atau keluarga inti.
Suku Karo mempunyai salam khas yaitu "Mejuah-Juah" atau lengkapnya adalah 'mejuah-juah kita kerina' yang arti/maknanya kurang lebih adalah: sehat sehat kita semua, baik2 kita semua, kedamaian/kesehatan/kebaikan untuk kita semua. Kata mejuahjuah biasa diucapkan di awal (pembuka kata) yakni menjadi salam khas sejak dulu.
Sistem kekerabatan
Tutur Siwaluh adalah konsep kekerabatan masyarakat Karo, yang berhubungan dengan penuturan, yaitu terdiri dari delapan golongan:
- Puang Kalimbubu
- Kalimbubu
- Senina
- Sembuyak
- Senina Sipemeren
- Senina Sepengalon/Sedalanen
- Anak Beru
- Anak Beru Menteri
Dalam pelaksanaan upacara adat, Tutur Siwaluh ini masih dapat dibagi lagi dalam kelompok-kelompok lebih khusus sesuai dengan keperluan dalam pelaksanaan upacara yang dilaksanakan, yaitu sebagai berikut :
- Puang Kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu seseorang
- Kalimbubu adalah kelompok pemberi istri kepada keluarga tertentu. Kalimbubu ini dapat dikelompokkan lagi menjadi :
- Kalimbubu Bena-bena atau Kalimbubu Tua, yaitu kelompok pemberi istri kepada kelompok tertentu yang dianggap sebagai kelompok pemberi istri adalah dari keluarga tersebut. Misalnya A bermerga Sembiring bere-bere Tarigan, maka Tarigan adalah Kalimbubu Si A. Jika A mempunyai anak, maka merga Tarigan adalah Kalimbubu Bena-bena / Kalimbubu Tua dari anak A. Jadi Kalimbubu Bena-bena atau Kalimbubu Tua adalah kalimbubu dari ayah kandung.
- Kalimbubu Simada Dareh adalah berasal dari ibu kandung seseorang. Kalimbubu Simada Dareh adalah saudara laki-laki dari ibu kandung seseorang. Disebut Kalimbubu Simada Dareh karena mereka yang dianggap mempunyai keturunan sedarah, karena sedarah maka itu juga yang terdapat dalam diri keponakannya.
- Kalimbubu Iperdemui, yaitu yang berarti kalimbubu yang dijadikan kalimbubu oleh karena seseorang mengawini putri dari satu keluarga untuk pertama kalinya. Maka seseorang itu yang menjadi kalimbubu adalah berdasarkan perkawinan.
- Senina, yaitu mereka yang bersaudara karena mempunyai merga dan submerga yang sama.
- Sembuyak, yaitu secara harfiah artinya adalah satu dan Mbuyak yang artinya adalah kandungan. Maka artinya adalah orang-orang yang lahir dari kandungan atau rahim yang sama. Namun dalam masyarakat Karo istilah ini digunakan untuk senina yang berlainan sub-merga juga, dalam bahasa Karo disebut Sindauh Ipedeher (Yang jauh menjadi dekat).
- Sipemeren, yaitu orang-orang yang ibu-ibu mereka bersaudara kandung. Bagian ini didukung lagi oleh pihak Siparibanen, yaitu orang-orang yang mempunyai istri yang bersaudara.
- Senina Sepengalon atau Sendalanen, yaitu orang yang bersaudara karena mempunyai anak-anak yang memperistri dari beru yang sama.
- Anak beru, yang berarti pihak yang mengambil istri dari suatu keluarga tertentu untuk diperistri. Anak beru dapat terjadi secara langsung karena mengawini wanita keluarga tertentu, dan secara tidak langsung melalui perantaraan orang lain, seperti Anak Beru Menteri dan Anak Beru Singikuri. Anak beru ini terdiri lagi sebagai berikut :
- Anak Beru Tua, adalah anak beru dalam satu keluarga turun temurun. Paling tidak tiga generasi telah mengambil istri dari keluarga tertentu (Kalimbubu-nya). Anak Beru Tua adalah anak beru yang utama, karena tanpa kehadirannya dalam suatu upacara adat yang dibuat oleh pihak kalimbubu-nya, maka upacara tersebut tidak dapat dimulai. Anak Beru Tua juga berfungsi sebagai Anak Beru Singerana (sebagai pembicara), karena fungsinya dalam upacara adat sebagai pembicara dan pemimpin keluarga dalam keluarga kalimbubu dalam konteks upacara adat.
- Anak Beru Cekoh Baka Tutup, yaitu anak beru yang secara langsung dapat mengetahui segala sesuatu di dalam keluarga kalimbubu-nya. Anak Beru Cekoh Baka Tutup adalah anak saudara perempuan dari seorang kepala keluarga. Misalnya Si A seorang laki-laki, mempunyai saudara perempuan Si B, maka anak Si B adalah Anak Beru Cekoh Baka Tutup dari Si A. Dalam panggilan sehari-hari anak beru disebut juga Bere-bere Mama.
- Anak Beru Menteri, yaitu anak berunya si anak beru. Asal kata Menteri adalah dari kata Minteri yang berarti meluruskan. Jadi anak beru minteri mempunyai pengertian yang lebih luas sebagai petunjuk, mengawasi serta membantu tugas kalimbubu-nya dalam suatu kewajiban dalam upacara adat. Ada pula yang disebut Anak Beru Singkuri, yaitu anak beru-nya si Anak Beru Menteri. Anak beru ini mempersiapkan hidangan dalam konteks upacara adat.
Aksara/sistem penulisan
Aksara yang digunakan oleh suku Karo adalah Aksara Karo. Aksara ini adalah aksara kuno yang dipergunakan oleh masyarakat Karo, akan tetapi pada saat ini penggunaannya sangat terbatas sekali bahkan hampir tidak pernah digunakan lagi. Guna melengkapi cara penulisan perlu dilengkapi dengan anak huruf seperti o = ketolongen, x = sikurun, ketelengen dan pemantek.
Bentuk aksara dasar
a | ha | ka | ba | pa | na | wa | ga | ja | da | ra | ma | ta | sa | ya | nga | la | nya | ca | nda | mba | i | u | |
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Karo |
Bentuk-bentuk di atas merupakan bentuk yang digeneralisasi, tidak jarang suatu naskah menggunakan varian bentuk aksara atau tarikan garis yang sedikit berbeda antara satu sama lainnya tergantung dari daerah asal dan media yang digunakan.
Aksara i (ᯤ) dan u (ᯥ) hanya digunakan untuk suku kata terbuka, misal pada kata ina ᯤᯉ dan ulu ᯥᯞᯮ. Untuk suku kata tertutup yang diawali dengan bunyi i atau u, digunakanlah aksara a (ᯀ atau ᯁ) bersama diaktirik untuk masing-masing vokal, misal pada kata indung ᯀᯪᯉ᯲ᯑᯮᯰ dan umpama ᯀᯮᯔ᯲ᯇᯔ.
Dalam penulisan Karo, bunyi sengau m, n, dan ng sebelum konsonan b, c, d, g, j, k, dan p/ tidak ditulis. Karena itu, kata seperti panta hanya ditulis pata ᯇᯗ. -->
Diakritik
Diakritik (anak surat) adalah tanda yang melekat pada aksara utama untuk mengubah vokal inheren aksara utama yang bersangkutan, bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:[9]
-i | -u | -é[1] | -e[2] | -o | -ou | -ng | -h | pemati | ||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Karo | ||||||||||
kelawan | sikurun | ketéléngan | kebereten | ketolongen | kebincaren | kejeringen | penengen | |||
Catatan
|
Tabel berikut menunjukkan bagaimana diakritik melekat pada aksara dasar ka dalam masing-masing varian aksara:
ka | ki | ku[3] | ké[1] | ke[2] | ko | kou | kang | kah | k | |
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Karo | ||||||||||
kelawan | sikurun | ketéléngan | kebereten | ketolongen | kebincaren | kejeringen | penengen | |||
Catatan
|
Penulisan suku kata tertutup
Pada penulisan suku kata tertutup yang berpola konsonan-vokal-konsonan, diakritik vokal yang normalnya menempel pada aksara dasar pertama ditempatkan ulang agar menempel dengan aksara dasar kedua dan diaktrik pemati. Aturan ini berlaku untuk semua varian aksara, dan penerapannya dapat dilihat sebagaimana berikut:[9]
komponen | penulisan | keterangan | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
ta + pa + pangolat = tap | |||||||||
ta + -i + pa + pangolat → ta + pa + -i + pangolat = tip | |||||||||
ta + -u + pa + pangolat → ta + pa + -u + pangolat = tup | |||||||||
ta + -é + pa + pangolat → ta + pa + -é + pangolat = tép | |||||||||
ta + -e + pa + pangolat → ta + pa + -e + pangolat = tep | |||||||||
ta + -o + pa + pangolat → ta + pa + -o + pangolat = top |
Penulisan diakritik -ng dan -h
Apabila suatu suku kata menggunakan diakritik vokal yang menempel di sebelah kanan aksara dasar, diakritik -ng dan -h ditulis tidak menempel pada aksara dasar namun diaktrik vokal yang bersangkutan. Penerapannya dapat dilihat sebagaimana berikut:[9]
komponen | penulisan | keterangan | |||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
pa + -i + ing = ping | |||||||
pa + -u + -ng = pung | |||||||
pa + -i + -h = pih | |||||||
pa + -e + -h = peh |
Contoh teks
Berikut adalah sebuah ratapan Karo pada bambu dari koleksi Museum fur Völkerkunde Berlin no. IC 39908a. Alih aksara dan terjemahan disadur dari Kozok (1999):[10]
Huruf/Abjad Karo | Alih aksara Latin | Terjemahan |
---|---|---|
ᯔᯂᯀᯪᯛᯨᯀᯒᯪᯂᯬᯗᯩᯉᯬᯆᯪᯞᯰᯆᯪᯞᯰᯂᯪᯉ᯳ᯆᯬᯞᯬᯱᯗᯎᯉ᯳ᯀᯩᯢ | maka io ari kuté nu bilang-bilang kin buluh tagan énda | inilah ratap tangis di bambu yang menjadi tabung |
ᯔᯉ᯳ᯀᯪᯝᯉ᯳ᯉᯬᯒᯪᯉᯬᯒᯪᯂᯧᯉ᯳ᯀᯗᯩᯔᯧᯘᯬᯋᯪᯞᯒᯧᯝᯑᯪᯝᯑᯪ | man ingan nuri-nuriken até mesui la erngadi-ngadi | sebagai tempat untuk menceritakan penderitaanku yang tiada habisnya |
ᯘᯪᯔᯉ᯳ᯗᯬᯒᯪᯉ᯳ᯂᯧᯉ᯳ᯔᯔᯘᯪᯂᯒᯨᯂᯒᯨᯔᯧᯒ᯳ᯎᯉᯆᯧᯒᯩᯘᯪᯆᯪᯒᯪᯰ | si man turinken mama si karo-karo mergana beré simbiring | tentang aku yang bermarga Karo-karo, yang marga ibunya (beré) Simbiring |
ᯘᯪᯞᯇᯘ᯳ᯔᯧᯞᯬᯔᯰ | si lampas melumang | yang lekas menjadi yatim piatu |
ᯘᯪᯗᯧᯒ᯳ᯆᯆᯀᯗᯩᯔᯧᯘᯬᯋᯪᯞᯒᯧᯝᯑᯪᯝᯑᯪ | si terbaba até mesui la erngadi-ngadi | yang penderitaannya tiada habis |
ᯇᯧᯝᯪᯢᯨᯂᯬᯞᯔᯧᯀᯬᯞᯪ | péngindoku la mehuli | nasibku yang malang ini |
ᯉᯢᯩᯆᯪᯆᯪᯂᯬᯂᯒᯪᯉᯂᯗᯂᯬ | nandé bibiku karina kataku | wahai nandé dan bibiku semua, kataku |
ᯀᯩᯢᯗᯬᯒᯰᯂᯬᯗᯬᯒᯪᯂᯧᯉ᯳ | énda, turang, kuturiken | inilah, sayang, tuturanku |
Kalender Karo
Nama-nama bulan
Adapun nama-nama bulan dan binatang atau benda apa yang bersamaan dengan bulan bersangkutan adalah sebagai berikut:
- Bulan Sipaka sada merupakan bulan kambing
- Bulan Sipaka dua merupakan bulan lembu
- Bulan Sipaka telu merupakan bulan gaya (cacing)
- Bulan Sipaka empat merupakan bulan padek (katak)
- Bulan Sipaka lima merupakan bulan arimo (harimau)
- Bulan Sipaka enem merupakan bulan kuliki (elang)
- Bulan Sipaka pitu merupakan bulan kayu
- Bulan Sipaka waluh merupakan bulan tambok (kolam)
- Bulan Sipaka siwah merupakan bulan gayo (kepiting)
- Bulan Sipaka sepuluh merupakan bulan belobat, baluat atau balobat (sejenis alat musik tiup)
- Bulan Sipaka sepuluh sada merupakan bulan batu
- Bulan Sipaka sepuluh dua merupakan bulan binurung (ikan)
Nama-nama hari
Nama-nama hari pada suku Karo apabila diperhatikan banyak miripnya dengan kata-kata bahasa Sanskerta. Setiap hari dari tanggal itu mempunyai makna atau pengertian tertentu. Oleh karena itu apabila seseorang hendak merencanakan sesuatu, misalnya keberangkatan ke tempat jauh, berperang ke medan laga, memasuki rumah baru dan berbagai kegiatan lainnya. selalu dilihat harinya yang dianggap paling cocok. Di sinilah besarnya peranan "guru si beloh niktik wari" (dukun/orang tua yang pintar melihat hari dan bulan yang baik dan serasi), yang dengan perhitungannya secara saksama, ia menyarankan agar suatu acara yang direncanakan dilakukan pada hari X.
Adapun nama yang 30 dalam satu bulan adalah sebagai berikut:
- Aditia
- Suma
- Nggara
- Budaha
- Beras pati
- Cukra enem
- Belah naik
- Aditia naik
- Sumana siwah
- Nggara sepuluh
- Budaha ngadep
- Beras pati tangkep
- Cukera dudu (lau)
- Belah purnama raya
- Tula
- Suma cepik
- Nggara enggo tula
- Budaha gok
- Beras pati
- Cukra si 20
- Belah turun
- Aditia turun
- Sumana mate
- Nggara simbelin
- Budaha medem
- Beras pati medem
- Cukrana mate
- Mate bulan ngulak
- Dalan bulan
- Sami sara
Budaya/kesenian Karo
Suku Karo mempunyai beberapa kebudayaan tradisional, kesenian/seni (sastra) di antaranya tari tradisional:
- Piso Surit
- Tari Lima Serangkai
- 'Tari Terang Bulan'
- Tari baka
- Tari ndikkar
- Tari Ndurung
- Tari tongkat
- Tari sigundari
- Tari mbuah page
- 'Tari Tiga Sibolangit'
- Pantun
- Petatah petitih
- Petuah
- Syair (bersyair)
- Senandung/nandung (dendang)
- Gendang
- Guro aron-aron
- Gurindam
- Anding-andingen
- Kuan kuanen
- Bilang-Bilang (ratapan)
- Cakap Lumat
- Dengang Duka
- Gundala Gundala
- Tari sambut/tari penyambutan/tari persembahan (tari mejuah-juah)
Seni Bela diri (Silat Karo)
Seni bela diri orang karo merupakan Silat Karo yang dalam Bahasa Karo disebut ndikar. Kata tersebut mulai jarang digunakan masyarakat Karo sehingga kini asing terdengar. Masyarakat Karo dewasa ini cenderung menyebutnya dengan nama Silat Karo saja.
Kata ndikar untuk penamaan bela diri/silat dalam Bahasa Karo kadang kerap disamakan dengan kata Pandikar. Kata ndikar hanya untuk menyebut silat/bela diri, sedangkan pandikar merupakan seseorang yang mempunyai ilmu bela diri yang tinggi atau bisa juga orang yang mendalami ilmu bela diri dan memiliki ilmu bela diri.
Seni Musik
Alat musik tradisional suku Karo adalah Gendang Karo. Biasanya disebut Gendang “Lima Sedalinen” yang artinya seperangkat gendang tari yang terdiri dari lima unsur.
Unsur disini terdiri dari beberapa alat musik tradisional Karo seperti Kulcapi, Balobat, Surdam, Keteng-keteng, Murhab, Serune, Gendang si ngindungi, Gendang si nganaki, Penganak dan Gung. Alat tradisional ini sering digunakan untuk menari, menyanyi dan berbagai ritus tradisi.
Jadi Gendang Karo sudah lengkap (lima sedalinen) jika sudah ada Serune, Gendang si ngindungi, Gendang si nganaki, Penganak dan Gung dalam mengiringi sebuah upacara atau pesta.
Seni Tari
Tari dalam bahasa Karo disebut “Landek.” Pola dasar tari Karo adalah posisi tubuh, gerakan tangan, gerakan naik turun lutut (endek) disesuaikan dengan tempo gendang dan gerak kaki. Pola dasar tarian itu ditambah dengan variasi tertentu sehinggga tarian tersebut menarik dan indah.
Tarian berkaitan adat misalnya memasuki rumah baru, pesta perkawinan, upacara kematian dan lain-lain. Tarian berkaitan dengan ritus dan religi biasa dipimpin oleh guru (dukun). Misalnya Tari Mulih-mulih, Tari Tungkat, Erpangir Ku Lau, Tari Baka, Tari Begu Deleng, Tari Muncang, dan lain-lain.
Tarian berkaitan dengan hiburan digolongkan secara umum. Misalnya Tari Gundala-gundala, Tari Ndikkar dan lain-lain. Sejak tahun 1960 tari Karo bertambah dengan adanya tari kreasi baru. Misalnya tari lima serangkai yang dipadu dari lima jenis tari yaitu Tari Morah-morah, Tari Perakut, Tari Cipa Jok, Tari Patam-patam Lance dan Tari Kabang Kiung. Setelah itu muncul pula tari Piso Surit, tari Terang Bulan, tari Roti Manis dan tari Tanam Padi.
Seni Ukir / Pahat
Keragaman seni pahat dan ukir suku Karo terlihat dari corak ragam bangunannya. Dulu orang yang ahli membuat bangunan Karo disebut “Pande Tukang.”
Hal ini terlihat dari jenis-jenis bangunan Karo seperti Rumah Siwaluh Jabu, Geriten, Jambur, Batang, Lige-lige, Kalimbaban, Sapo Gunung, dan Lipo. Seni ukir yang menjadi kekayaan kesenian Karo terlihat pada setiap ukiran bangunannya seperti Ukir Cekili Kambing, Ukir Ipen-Ipen, Ukir Embun Sikawiten, Ukir Lipan Nangkih Tongkeh, Ukir Tandak Kerbo Payung, Ukir Pengeretret, dan Ciken.
Suku Karo juga memiliki drama tradisional yang disebut dengan Gundala-Gundala.
Kegiatan kebudayaan & adat-istiadat
- Merdang merdem = "Kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".
- "Mahpah" = "Kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".
- Mengket Rumah Mbaru - Pesta perayaan memasuki rumah (adat - ibadat) baru.
- 'Mbesur-mbesuri' - "Mengenyangkan" memberi makan untuk wanita yang hamil 7 bulan, dengan harapan memenuhi keinginan nya sebelum melahirkan.
- Cawir metua = Upacara adat/ritual kematian
- Ndilo Udan - Memanggil hujan.
- Rebu-rebu - Mirip pesta "kerja tahun".
- Ngumbung - Hari jeda "aron" (kumpulan pekerja di desa).
- Erpangir Ku Lau - Penyucian diri (untuk membuang sial).
- "Raleng Tendi" - "Ngicik Tendi" , yaitu memanggil jiwa setelah seseorang kurang tenang karena terkejut secara suatu kejadian yang tidak disangka-sangka.
- 'Motong Rambai' - Pesta kecil keluarga - handai taulan untuk memanggkas habis rambut bayi (balita) yang terjalin dan tidak rapih.
- "Ngaloken Cincin Upah Tendi" - Upacara keluarga pemberian cincin permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere atau dari Bibi ke Permain).
- Manok Sangkepi
- Maba Belo Selamber (MBS)
- 'Ngaloken Rawit' - Upacara keluarga pemberian pisau (tumbuk lada) atau belati atau clurit kecil yang berupa permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere) - keponakan laki-laki.
Kuliner Khas Karo
Makanan
Kuliner Karo sangat banyak sekali ragamnya, salah satunya yang terkenal ialah Babi panggang Karo (BPK). Babi Panggang Karo ialah makanan yang diproduksi dengan cara dipanggang dan diberi bumbu rempah-rempah yang asli dan khas. Bumbu ini dinamakan "Tuba" atau juga bisa disebut 'andaliman' yang dalam bahasa Karo untuk menyebut rempah-rempah khas asli dari tanah Karo. Makanan ini sudah terkenal di Indonesia bahkan hingga mancanegara dan kerapkali disingkat sebagai BPK. Makanan ini banyak dijual di kedai-kedai makanan Karo atau juga kedai (restoran khas Medan) yang menjual makanan asli tidak hanya dari suku Karo saja melainkan semua suku yang ada di Sumatera Utara seperti Batak, Melayu, Nias. Tidak hanya ada di tanah Karo itu sendiri ataupun kota Medan, kedai-kedai Karo ini juga banyak tersebar di kota besar diluar pulau Sumatera (di beberapa kota besar Indonesia) khususnya Jakarta, Pekanbaru, dll. Makanan ini sangat lezat dan menggugah selera orang yang melihatnya, mencium aromanya, dan tentu yang mencobanya akan ketagihan.
Meskipun makanan ini tidak halal, untuk masyarakat Karo Muslim (Islam) yang populasinya juga cukup signifikan, maka memakan makanan yang halal saja. Banyak juga terdapat makanan Karo yang halal. Diantaranya adalah: arsik nurung mas, cimpa unung unung, cincang bohan, pagit-pagit, trites, gule Kuta kuta (gulai ayam kampung), tasak telu, mie Keling, bihun bebek, Bika Ambon, sayur gurih taucho khas karo, lemang Karo, soto udang, kue manis, bubur pedas, cipera, Anyang pakis, rendang ayam, dendeng, sayur pucuk ubi/daun singkong (Bulung gadung) dan masih banyak lainnya yang merupakan makanan halal.
Ada juga beberapa makanan Karo yang non halal bagi umat Muslim selain babi panggang yaitu: Kidu-kidu, manuk getah, sup babi, sup anjing, lomok-lomok, soto babi, olahan dari daging anjing, olahan yang memakai darah hewan dll.
Minuman
Selain makanan, minuman khas Karo pun banyak macam ragamnya. Minuman yang terkenal ialah teh sulit (susu kitik) yaitu teh susu telur khas karo. Minuman ini biasa disajikan di warkop-warkop karo. Selain itu, ada lagi minuman2 khas Karo. Diantaranya adalah: Teh susu telur khas Karo/sukit (susu kitik), Roco timun, jus martebe, sirup markisa, es kolak durian, bandrek dll.
Lagu daerah Karo
Karo mempunyai Lagu-lagu daerah yang familiar. Lagu-lagu daerah Karo, tidak hanya lagu tradisional atau juga lagu2 untuk ritual, pelaksanaan adat, upacara2, atau pesta2 tertentu. Tetapi juga lagu2 daerah yang memang berasal dari Tanah Karo.
Berikut ini lagu-lagu yang berasal dari Daerah Karo ialah: Famili Teksi, Mbiring Manggis, Piso Surit, Sora Mido, mejuah-juah, Tengguli Laneng, pincala, si lampas melumang, O taneh karo, deleng Sinabung, dll.
Keyakinan (agama)
Mayoritas penduduk Karo memeluk agama Kristen sekitar 70% (mayoritas Protestan 55% dan 15% Katolik), dan Islam 24%. Sekitar 3% masih menganut aliran kepercayaan lama yakni Pemena[11]. Lalu ada sebagian kecil yang beragama Hindu yaitu sekitar 2%. Ada pula agama lainnya yang dianut suku Karo seperti (Buddha, Pelebegu/Sipelebegu, Perbegu/Parbagu, & Paganisme) sekitar 1%
Sebagian kecil masyarakat Karo di desa Pintu Besi, Kecamatan Sinembah Tanjung Muda Hilir, Deli Serdang menganut agama Hindu yang dimana memiliki kemiripan dengan agama Hindu Bali mulai dari tempat ibadah berupa pura hingga upacara keagamaan. [12]
Rata-Rata pemeluk agama pemena (agama awal & agama asli Karo) berada di desa2/kuta2 (dalam bahasa Karo yang berarti kampung/desa) utamanya yang berada didekat/dikaki gunung Sinabung.
Pemeluk agama tradisional/kepercayaan lama (menyembah berhala) lainnya dapat ditemui di pedalaman dan mereka nyaris punah. Agama Lainnya pun terutama agama Buddha dapat kita temui di perkotaan namun jumlahnya sangat sedikit.
Gereja yang didominasi suku Karo
- Gereja Batak dan Karo Protestan (GBKP) (Paling dominan)
- Gereja Kristen Karo (GKK)
- Gereja Injili Karo Indonesia (GIKI)
Kontroversi
Banyak diantara orang Karo yang tidak ingin dirinya disebut sebagai bagian dari Batak. Mereka berpendapat bahwa dari asal usul nenek moyang orang Karo saja sudah berbeda dari suku Batak, selain itu budaya dan bahasa Karo juga diyakini berbeda dari Batak. Embel-embel "Batak" diyakini mereka merupakan stereotip yang dimunculkan pada masa kolonial Belanda, dimana suku bangsa non-Melayu yang ada di pesisir dikategorikan sebagai suku Batak yang bermukim di dataran tinggi/pegunungan.[13]
Pernyataan tersebut memunculkan pro dan kontra di kalangan masyarakat, terutama di masyarakat Suku Batak. Walaupun Karo berdiri sebagai suku sendiri tetapi suku Karo serumpun dengan suku Batak yaitu dengan suku Batak Simalungun, Suku Batak Toba, khususnya suku Batak Pakpak. Karena dari segi budaya, bahasa, bahkan marga-marga beberapa ada yang mirip bahkan sama atau ada sebagian marga yang se-trah atau ada kaitannya/hubungan dengan marga Batak, hal ini bisa dilihat karena mereka juga memiliki wilayah geografis yang berdekatan. Bahkan aksara Batak juga sangat mempengaruhi Karo, orang Karo sendiri menggunakan surat Batak sebagai aksaranya karena sudah terpengaruh sejak lama dan berkembang disana. Huruf Batak awal mulanya berkembang di wilayah Tapanuli bagian selatan lebih tepatnya wilayah Angkola & Mandailing lalu kemudian menyebar ke Toba-Samosir lalu menyebar ke wilayah Simalungun dan wilayah Pakpak-Dairi 2 suku Batak ini (Batak Simalungun & Batak Dairi) menjadi penerima terakhir. Karena wilayah keduanya yang berdekatan dan berbatasan langsung dengan wilayah suku Karo maka menyebar juga ke wilayah Karo. Dan akhirnya Karo menjadi suku penerima terakhir surat Batak setelah suku-suku Batak itu tersendiri, di Tanah Karo sendiri penyebutan aksara Batak disebut Surat Si Siwa-siwa/Surat Aru/Haru setelah munculnya kerajaan Karo yakni kerajaan Haru/Aru. Karena pengaruh Karo saat itu juga kuat pada wilayah sekitarnya seperti seni musik Batak Simalungun yang mirip seperti seni musik Karo serta suku Pakpak juga terpengaruh sedikit oleh budaya Karo bahkan bahasa dan marganya juga, mereka beberapa saling berkaitan. Pada dasarnya bahasa Batak Pakpak tak jauh beda pada bahasa Batak umumnya / lainnya seperti Batak Toba dan Batak Simalungun, tetapi bahasa Batak Pakpak memiliki beberapa kemiripan serta persamaan dengan bahasa Karo. Bahasa Karo juga punya sedikit kemiripan / persamaan dengan bahasa Batak (khususnya Simalungun) bahkan ada marga-marga yang berkaitan. Batak Simalungun juga terpengaruh sedikit bahasa Karo. Jadi ada beberapa kosakata/bahasa yang sama atau mirip, tak heran karena secara geografis juga mereka berdekatan dan berbatasan sama seperti wilayah orang Batak Pakpak/Dairi yang dekat dengan wilayah Karo, Wilayah Singkil di Aceh bahkan wilayah Batak pada umumnya yaitu daerah Tapanuli serta sekitaran Tapanuli dan sekitaran Danau Toba. Tak sampai situ saja, bahkan suku Melayu Deli ada sedikit kosakata yang sama/mirip dengan bahasa Karo. Ada juga dari mereka yang merupakan keturunan dari Karo, karena kesultanan Deli sendiri beberapa Datuk pendirinya adalah orang Karo yang sudah masuk Islam dan sudah menjadi bangsawan Melayu maka diberi gelar Datuk. Itulah karena pengaruh Karo sangatlah luas dan berpengaruh kerajaan Haru wilayah kekuasaannya juga sampai ke Riau, kerajaan Haru juga merupakan kerajaan terbesar di Sumatra Utara pada masa itu. Kota Medan juga didirikan oleh bangsawan Karo yakni Guru Patimpus Sembiring Pelawi. Orang Karo juga menjadi penduduk asli kota Medan juga, setelah orang Melayu/Suku Melayu Deli karena didirikan oleh orang bersuku Karo.
Tokoh-tokoh Karo
- Guru Patimpus Sembiring Pelawi
- Djamin Ginting
- Lyodra Ginting
- Tio Fanta Pinem
- MS Kaban
- Tanta Ginting
- Gusti Terkelin Surbakti
- Latief Sitepu
- Anthony Ginting
- Arman Depari
- Tifatul Sembiring
Galeri
-
Petani Karo
-
Wanita Karo zaman dulu berpakaian adat tradisional Karo
-
Petani Karo
-
Seorang kakek memainkan (kulcapi) alat musik tradisional Karo
-
Foto Gadis Karo dengan pakaian tradisional tahun 1925, koleksi Tropenmuseum
Referensi
- ^ Ginting, Ray Brema (2016). "Kristen di Dataran Tinggi Karo Tahun 1890-1906". Kristen di Dataran Tinggi Karo Tahun 1890-1906. Repositori Institusi Universitas Sumatera Utara (RI-USU).
- ^ Ginting, Dewi (2012-08-08). "SEJARAH BERKEMBANGNYA AGAMA ISLAM DI TANAH KARO SUMATERA UTARA PADA TAHUN 1980- 2010". Ginting, Dewi (2012) SEJARAH BERKEMBANGNYA AGAMA ISLAM DI TANAH KARO SUMATERA UTARA PADA TAHUN 1980- 2010. Undergraduate thesis, UNIMED. UNIMED.
- ^ "Katolik di Tanah Karo: Kabanjahe, 1942-1970an". jurnal.ugm.ac.id. Jurnal Lembaran Sejarah, Vol. 11, No. 2, Oktober 2014 | Mahasiswa S1 Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada. Oktober 2014.
- ^ Rasmamana, Edi Putra (2016-09-03). "PENYEBARAN AGAMA BUDDHA PADA MASYARAKAT KARO DI KABUPATEN LANGKAT". Rasmamana, Edi Putra (2016) PENYEBARAN AGAMA BUDDHA PADA MASYARAKAT KARO DI KABUPATEN LANGKAT. Undergraduate thesis, UNIMED. UNIMED.
- ^ Voice of Nature, Volumes 85-95. Yayasan Indonesia Hijau. 1990. hlm. 45.
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaBrahma Putro
- ^ Lompat ke: a b Mangkudimedja, R.M., 1979, Serat Pararaton. Alih aksara dan alih bahasa Hardjana HP. Jakarta: Departemen P dan K, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
- ^ Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society, 2 vols
- ^ Lompat ke: a b c Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamauni
- ^ Kozok 1999, hlm. 122-124.
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaKaro
- ^ [1]
- ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-08-22. Diakses tanggal 2018-08-22.
Bacaan lanjutan terkait
- Perangin-angin, Martin. (2004). Orang Karo Diantara Orang Batak. Pustaka Sora Mido