Bahasa Sasak
Bahasa Sasak merupakan bahasa ibu yang dituturkan oleh suku Sasak yang menjadi etnis mayoritas di pulau Lombok, Indonesia. Bahasa ini berkerabat dekat dengan bahasa Bali dan bahasa Sumbawa yang dituturkan di pulau-pulau sekitar Lombok. Ketiganya merupakan bagian dari rumpun bahasa Austronesia. Bahasa Sasak tidak memiliki status resmi; di Indonesia bahasa Indonesia adalah bahasa nasional yang digunakan oleh penutur bahasa Sasak dalam konteks formal dan tertulis.
Beberapa dialek bahasa Sasak memiliki tingkat kesalingpahaman yang rendah. Bahasa Sasak mempunyai sistem tingkatan bahasa, mirip dengan bahasa Jawa dan Bali. Setiap tingkatannya memiliki kosakata berbeda; penggunaannya ditentukan oleh status sosial relatif penutur terhadap lawan bicaranya.
Meski kini jarang ditemui dalam ragam tulisan, teks-teks tradisional bahasa Sasak yang ditulis dengan medium lontar terkadang dibacakan pada acara-acara adat tertentu. Sistem aksara bahasa Sasak hampir mirip dengan aksara Bali.
Penutur
Bahasa Sasak dituturkan oleh sebagian besar masyarakat Sasak di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, Indonesia, yang terletak di antara Pulau Bali (di sebelah barat) dan Pulau Sumbawa (di sebelah timur). Penutur bahasa Sasak mencapai 2,7 juta jiwa pada tahun 2010, atau sekitar 85% dari penduduk Pulau Lombok.[1] Bahasa Sasak digunakan dalam komunikasi dalam keluarga dan perdesaan, tetapi bahasa ini tidak memiliki status resmi. Bahasa nasional, bahasa Indonesia, digunakan sebagai bahasa pendidikan, pemerintahan, literatur, dan komunikasi antaretnis.[6] Suku Sasak bukan satu-satunya etnis yang menempati Pulau Lombok; sekitar 300.000 orang Bali tinggal di tepi barat pulau dan di dekat Mataram, ibu kota provinsi Nusa Tenggara Barat.[7] Di daerah perkotaan yang komposisi etnisnya lebih beragam, ada kecenderungan peralihan bahasa menuju bahasa Indonesia, umumnya dalam bentuk alih dan campur kode dan tidak sepenuhnya meninggalkan bahasa Sasak.[6]
Klasifikasi dan bahasa-bahasa kerabat
Ahli bahasa Austronesia, K. Alexander Adelaar, mengklasifikasikan bahasa Sasak sebagai bagian dari subkelompok Melayu-Sumbawa dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia pada sebuah makalah yang terbit tahun 2005.[8][9] Kerabat terdekat bahasa Sasak adalah bahasa Sumbawa, kemudian bahasa Bali; ketiganya membentuk rumpun bahasa Bali–Sasak-Sumbawa (BSS).[8] Rumpun bahasa BSS, bersama rumpun Melayik (termasuk bahasa Melayu, bahasa Indonesia dan bahasa Minangkabau) serta rumpun Chamik (termasuk bahasa Aceh) membentuk satu cabang tersendiri dari subkelompok Melayu-Sumbawa.[8][9] Dua cabang utama lainnya adalah bahasa Sunda dan Madura.[9] Klasifikasi ini menempatkan bahasa Jawa di luar subkelompok Melayu-Sumbawa, membentuk cabangnya sendiri di dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia.[9]
Akan tetapi, hipotesis Melayu-Sumbawa ditolak oleh Blust (2010) dan Smith (2017), yang memasukkan rumpun BSS ke dalam subkelompok "Indonesia Barat", bersama bahasa Jawa, Madura, Sunda, Lampung, bahasa-bahasa Barito dan bahasa-bahasa Borneo Utara Raya.[10][11]
Bahasa Kawi, yang merupakan ragam literer dari bahasa Jawa Kuna, telah mempengaruhi bahasa Sasak secara signifikan.[12] Bahasa Kawi digunakan di dalam seni pewayangan Sasak, syair-syair, dan dalam beberapa naskah lontar, terkadang bercampur dengan bahasa Sasak.[2][12] Bahasa Kawi juga digunakan sebagai ragam kesopanan paling tinggi (satu tingkat di atas bahasa Sasak "alus"), terutama oleh kalangan kelas atas yang disebut mènak.[12]
Fonologi
Labial | Alveolar | Postalveolar | Palatal | Velar | Glottal | ||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Sengau | m | n | ɲ | ŋ | |||
Letup | nirsuara | p | t | k | ʔ | ||
bersuara | b | d | ɡ | ||||
Afrikat | nirsuara | tʃ | |||||
bersuara | dʒ | ||||||
Desis | ç | h | |||||
Aproksiman | l | j | w | ||||
Getar | r |
Delapan bunyi vokal dapat ditemui dalam bahasa Sasak,[15] walaupun tidak semua dialek mengkontraskan kedelapan volkal ini.[15] Kedelapan bunyi ini direpresentasikan dengan ejaan Latin a, e, i, o dan u, terkadang juga digunakan diakritik untuk membedakan bunyi-bunyi yang mirip.[15][16] Umumnya, e merujuk pada bunyi e pepet, é untuk bunyi vokal takbulat setengah tertutup depan, è untuk vokal takbulat setengah terbuka depan, ó untuk vokal bulat setengah tertutup belakang dan ò untuk vokal bulat setengah terbuka belakang.[16]
Depan | Madya | Belakang | |
---|---|---|---|
Tertutup | i | u | |
1/2 tertutup | e | ə | o |
1/2 terbuka | ɛ | ɔ | |
Terbuka | a |
Diftong
Bahasa Sasak memiliki diftong (dua vokal beriringan dalam satu sukukata) /ae/, /ai/, /au/, /ia/, /uə/ dan /oe/.[13]
Morfofonologi
Kata-kata dalam bahasa Sasak memiliki tekanan tunggal di suku kata terakhir.[17] Bunyi /a/ dalam posisi akhir sebuah kata dasar secara fonetis diucapkan sebagai [ə] (vokal tengah madya) dengan pita suara kencang; contohnya, /baca/ ("membaca") diucapkan (dan dieja) sebagai bace, namun ketika diberi imbuhan, bunyi vokal ini tidak berubah, semisal di dalam kata bacaan, "bacaan" dan pembacaan, "benda untuk membaca".[18] Dalam penggabungan kata, jika elemen pertama berakhir dengan bunyi vokal, maka elemen tersebut akan ditambahi dengan bunyi penghubung sengau (/n/ di sebagian besar dialek, /ŋ/ di dialek tertentu). Contohnya, bila kata mate ("mata") dan bulu ("bulu") digabungkan, hasilnya adalah maten bulu ("bulu mata").[17]
Tata bahasa
Bahasa Sasak memiliki urutan kata yang fleksibel, seperti umumnya bahasa-bahasa Austronesia Barat (AB) di Indonesia.[19] Persebaran frekuensi urutan-urutan kata dipengaruhi oleh bentuk verba yang digunakan dalam sebuah klausa (mis. tergantung apakah verba tersebut berimbuhan "awalan sengau" atau tidak, lihat #Verba).[19] Klausa yang melibatkan verba dengan awalan sengau akan memiliki urutan subjek-predikat-objek (SPO), serupa dengan kelas pelaku-sasaran di bahasa-bahasa AB Indonesia lainnya.[19] Sebaliknya, klausa dengan verba tanpa awalan tidak memiliki urutan kata yang dominan; tiga dari enam urutan kata yang mungkin (subjek-predikat-objek, predikat-subjek-objek dan objek-predikat-subjek) dapat ditemui dengan frekuensi yang relatif sama.[20]
Verba bahasa Sasak, seperti bahasa-bahasa lain di Indonesia bagian barat, tidak berubah bentuk tergantung kala, modus atau aspek. Imbuhan bahasa Sasak hanya digunakan untuk derivasi morfologis.[21] Verba dapat memiliki dua bentuk: dasar (tak berawalan) dan berawalan.[22][16] Bentuk dasar digunakan dalam daftar kosakata dan kamus-kamus,[16] sementara bentuk berawalan memiliki awalan berupa bunyi sengau.[22] Dasar awalan sengau ini adalah bunyi -n, yang juga dapat direalisasikan menjadi nge-, m- dan sebagainya, serta dapat menghapus konsonan pertama dari kosakata dasar.[22][23] Sebagai contoh, bentuk dasar dari "membeli" adalah beli dan jika ditambahi awalan menjadi mbeli.[23] Awalan sengau ini juga dapat mengubah nomina menjadi verba yang sesuai; contohnya, dari kupi ("kopi") menjadi ngupi ("meminum kopi" atau "ngopi").[21] Peran awalan dan tambahan bunyi sengau ini berbeda-beda tergantung dialek.[24] Misalnya, dialek-dialek timur bahasa Sasak memiliki tiga jenis penggunaan awalan seperti ini: yang pertama menandai verba transitif, yang kedua digunakan untuk menghasilkan fokus predikat, dan yang ketiga untuk aksi duratif dengan penderita non-spesifik.[25] Kalimat dengan modus imperatif dan hortatif menggunakan bentuk dasar.[16]
Bahasa Sasak memiliki beragam klitika, yaitu satuan gramatikal yang dianggap sebagai bagian dari sebuah kata (seperti imbuhan) namun secara sintaksis merupakan kata tersendiri—seperti klitik 'll dalam bahasa Inggris.[26] Klitik sederhana digunakan sebagai penjelas penunjuk yang dilekatkan pada nomina atau frasa nomina sebelumnya; contohnya, klitik ni("ini") dalam dengan ni ("orang ini").[27][28] Klitik khusus, bila dilekatkan pada nomina, menunjukkan kepunyaan ''inalienable'', dan bila dilekatkan pada yang lain merepresentasikan hubungan antara agen dan pasien.[28] Sebagai contoh, klitik ku (ada pula yang menyebut kò atau k, tergantung dialeknya) yang menunjukkan kepemilikan orang pertama ("aku"), bila dilekatkan dengan nomina ime ("tangan") akan menjadi imengku ("tanganku").[18]
Ragam
Dialek
Bahasa Sasak memiliki keragaman dialek, baik secara fonologi, kosakata maupun tata bahasa.[6] Umumnya, penutur jati bahasa Sasak mengidentifikasi setidaknya lima dialek, dinamai berdasarkan kata yang digunakan untuk merujuk pada "begitu" dan "begini": Kutó-Kuté (Sasak Utara), Nggetó-Nggeté (Sasak Timur Laut), Menó-Mené (Sasak Tengah), Ngenó-Ngené (Sasak Timur-Tengah, Sasak Barat-Tengah) dan Meriaq-Meriku (Sasak Selatan-Tengah).[1][3] Namun, menurut ahli bahasa Peter K. Austin, klasifikasi tradisional ini tidak "sepenuhnya mecerminkan keragaman geografis yang ekstensif ... di dalam bahasa Sasak".[a][1] Selain itu, beberapa dialek memiliki tingkat kesalingpahaman yang rendah.[3]
Tingkatan bahasa
Bahasa Sasak memiliki tingkatan-tingkatan dengan perbedaan kosakata, yang penggunaannya terikat pada status sosial relatif penutur terhadap lawan bicara.[1] Ini sistem yang serupa dengan yang ada di bahasa tetangganya yaitu bahasa Jawa dan Bali[6], maupun bahasa Korea.[29] Ada tiga tingkatan dalam bahasa Sasak untuk menandakan status pembicara (rendah, pertengahan, dan tinggi),[1] ditambah satu dimensi merendah-hormat yang mendandai hubungan antara pembicara dengan orang lain (yang bukan lawan bicara).[30] Contohnya, kata ganti orang kedua dapat disebut sebagai kamu (tingkat rendah), side (pertengahan), pelinggih (tinggi) atau dekaji (menghormati).[31] "Makan" dapat diterjemahkan sebagai mangan (rendah), bekelór (pertengahan), madaran (tinggi) atau majengan (menghormati).[31]
Semua tingkatan, kecuali ragam paling rendah, disebut sebagai bahasa alus ("halus" atau "sopan") dalam bahasa Sasak.[6] Ragam-ragam alus dipakai dalam konteks resmi dan kepada orang dengan status sosial yang lebih tinggi, terutama terhadap para mènak (kasta tinggi tradisional, yang mencakup sekitar delapan persen populasi suku Sasak).[6] Sistem ini juga dapat ditemukan pada dialek-dialek bahasa Sasak secara umum. Meski untuk kosakata di tingkatan paling rendah ada banyak variasi dialektal, bentuk kosakata alus selalu konsisten di seluruh dialek.[31] Menurut spesialis bahasa-bahasa Indonesia Bernd Nothofer, sistem ini diadopsi dari bahasa Bali atau Jawa.[12]
Sastra
Orang Sasak memilki tradisi menulis dengan perantara daun lontar yang dikeringkan.[12] Tradisi baca-tulis mungkin dikenalkan pada abad ke-14 oleh kemaharajaan Hindu-Buddha Majapahit, yang pengaruhnya mencapai pulau Lombok.[32] Naskah-naskah lontar tertua yang bertahan berasal dari abad ke-19; banyak di antaranya yang dikumpulkan oleh pemerintah Belanda dan disimpan di perpustakaan-perpustakaan Leiden atau Bali.[12] Selain itu, Museum Matarm di Lombok juga mengoleksi beberapa naskah, dan banyak juga individu atau keluarga yang menyimpannya sebagai pusaka untuk diwariskan lintas generasi.[12]
Naskah-naskah lontar ini masih dibacakan dalam pementasan yang disebut pepaòsan.[33] Pembacaan naskah ini dilakukan dalam beberapa acara penting, termasuk pemakaman, pernikahan, dan khitanan.[33] Masyarakat Sasak di perdesaan membaca naskah lontar sebagai bagian dari ritual untuk memastikan kesuburan hewan ternak mereka.[33] Peter K. Austin, dalam penggambarannya mengenai sebuah pepaòsan dalam acara khitanan pada tahun 2002,[34] menyebutkan bahwa pementasan tersebut menggunakan salinan kertas dari naskah asli alih-alih daun lontar.[35]
Lontar Lombok ditulis dalam bahasa Sasak, bahasa Kawi (bahasa sastra berdasarkan bahasa Jawa Kuna) atau kombinasi keduanya.[2] Naskah-naskah ini menggunakan aksara hanacaraka, sebuah sistem penulisan yang hampir serupa dengan aksara Bali.[2] Huruf dasarnya terdiri dari sebuah konsonan ditambah bunyi vokal a.[2] Lima huruf pertamanya disebut ha, na, ca, ra dan ka, maka aksara ini dinamai demikian.[2] Suku kata dengan bunyi vokal selain a dituliskan dengan menambahkan diakritik di atas, di bawah, atau di samping huruf dasar.[2] Konsonan akhir dan gabungan konsonan juga bisa dituliskan dengan aksara ini.[2]
Referensi
Catatan
- ^ Kutipan asli: "reflect fully the extensive geographical variation ... found within Sasak"
Kutipan
- ^ a b c d e f Austin 2012, hlm. 231.
- ^ a b c d e f g h Austin 2010, hlm. 36.
- ^ a b c Bahasa Sasak di Ethnologue (ed. ke-18, 2015)
- ^ Hammarström, Harald; Forkel, Robert; Haspelmath, Martin, ed. (2023). "Sasak". Glottolog 4.8. Jena, Jerman: Max Planck Institute for the Science of Human History.
- ^ "Bahasa Sasak". www.ethnologue.com (dalam bahasa Inggris). SIL Ethnologue.
- ^ a b c d e f Austin 2010, hlm. 33.
- ^ Austin 2010, hlm. 32.
- ^ a b c Shibatani 2008, hlm. 869.
- ^ a b c d Adelaar 2005, hlm. 357.
- ^ Blust 2010, hlm. 81-82.
- ^ Smith 2017, hlm. 443, 456.
- ^ a b c d e f g Austin 2010, hlm. 35.
- ^ a b PHOIBLE 2014.
- ^ Donohue 2007, hlm. 527.
- ^ a b c d Seifart 2006, hlm. 294.
- ^ a b c d e Austin 2012, hlm. 232.
- ^ a b Austin 2004, hlm. 4.
- ^ a b Austin 2004, hlm. 5.
- ^ a b c Wouk 1999, hlm. 98.
- ^ Wouk 1999, hlm. 99.
- ^ a b Austin 2013, hlm. 31.
- ^ a b c Wouk 1999, hlm. 93.
- ^ a b Austin 2013, hlm. 33.
- ^ Austin 2013, hlm. 43.
- ^ Austin 2013, hlm. 43-44.
- ^ Austin 2004, hlm. 2-3.
- ^ Austin 2004, hlm. 6.
- ^ a b Austin 2004, hlm. 18.
- ^ Goddard 2005, hlm. 215.
- ^ Austin 2012, hlm. 231-232.
- ^ a b c Austin 2010, hlm. 34.
- ^ Austin 2010, hlm. 31.
- ^ a b c Austin 2010, hlm. 39.
- ^ Austin 2010, hlm. 42.
- ^ Austin 2010, hlm. 44.
Daftar pustaka
- Adelaar, K. Alexander (2005). "Malayo-Sumbawan". Oceanic Linguistics. Project MUSE. 44 (2): 356–388. doi:10.1353/ol.2005.0027.
- Austin, Peter K. (2004). Clitics in Sasak, eastern Indonesia. Linguistics Association of Great Britain Annual Conference. Sheffield, United Kingdom.
- Austin, Peter K. (2010). Imogen Gunn & Mark Turin, ed. "Reading the Lontars: Endangered literature practices of Lombok, eastern Indonesia". Language Documentation and Description. London: SOAS, University of London. 8: 27–48. ISSN 1740-6234.
- Austin, Peter K. (2012). Stuart McGill & Peter K. Austin, ed. "Tense, aspect, mood and evidentiality in Sasak, eastern Indonesia". Language Documentation and Description. London: SOAS, University of London. 11: 231–251. ISSN 1740-6234.
- Austin, Peter K. (2013). "Too many nasal verbs: dialect variation in the voice system of Sasak". NUSA: Linguistic studies of languages in and around Indonesia. 54: 29–46.
- Blust, Robert (2010). "The Greater North Borneo Hypothesis". Oceanic Linguistics. 49 (1): 44–118. doi:10.1353/ol.0.0060. JSTOR 40783586.
- Donohue, Mark (2007). "The Papuan Language of Tambora". Oceanic Linguistics. University of Hawai'i Press. 46 (2): 520–537. doi:10.1353/ol.2008.0014.
- Goddard, Cliff (2005). The Languages of East and Southeast Asia: An Introduction. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-927311-9.
- PHOIBLE (2014). "Sasak sound inventory (PH)". Dalam Steven Moran; Daniel McCloy; Richard Wright. PHOIBLE Online. Leipzig: Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology.
- Seifart, Frank (2006). "Orthography development". Dalam Jost Gippert, Nikolaus P. Himmelmann, Ulrike Mosel. Essentials of Language Documentation. Berlin: Walter de Gruyter. hlm. 275–300. ISBN 9783110197730.
- Shibatani, Masayoshi (2008). "Relativization in Sasak and Sumbawa, Eastern Indonesia" (PDF). Language and Linguistics. 9 (4): 865–916.
- Smith, Alexander D. (2017). "The Western Malayo-Polynesian Problem". Oceanic Linguistics. 56 (2): 435–490. doi:10.1353/ol.2017.0021.
- Wouk, Fay (1999). "Sasak Is Different: A Discourse Perspective on Voice". Oceanic Linguistics. University of Hawai'i Press. 38 (1): 91–114. doi:10.2307/3623394. JSTOR 3623394.
Pranala luar
- (Indonesia) Kamus bahasa sasak online
- Online Dictionary Sasak language - English
- Koleksi Music of Indonesia and Malaysia David Goldsworthy yang diarsipkan dengan Paradisec, termasuk rekaman dengan akses terbuka, di Sasak.