Lompat ke isi

Suku Karo Asli

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 10 Agustus 2021 11.02 oleh Fbryn140802 (bicara | kontrib) (Ubah target pengalihan dari Orang Karo ke Suku Karo)

Halaman pengalihan

Mengalihkan ke:

Kalak Karo

ᯂᯞᯂ᯳ ᯂᯒᯭ
Orang Karo
Berkas:Jamin-ginting.jpg
Berkas:Lyodra Photoby WinstonGomez.jpg
Berkas:Masri singarimbun.jpg
Jumlah populasi
± 1.200.000 (2010)
Bahasa
Bahasa Karo & Bahasa Indonesia
Agama
Kelompok etnik terkait

Suku Karo (Karo: ᯂᯒᯨ atau ᯂᯒᯭ, Latin: Karo) adalah suku bangsa atau kelompok etnis/etnik yang mendiami wilayah provinsi Sumatra Utara dan sebagian Aceh, meliputi: Kabupaten Karo, sebagian Kabupaten Aceh Tenggara, sebagian Kabupaten Langkat (Langkat Hulu), Sebagian Kabupaten Dairi, sebagian Kabupaten Simalungun, dan sebagian Kabupaten Deli Serdang. Serta juga dapat ditemukan di Kota Medan & Kota Binjai. Suku ini berkerabat dekat dengan Suku-Suku disekitarnya seperti suku Batak dan beberapa suku-suku di Aceh. Suku Karo merupakan suku dari Rumpun Batak yakni Rumpun Batak Utara bersamaan dengan suku-suku disekitarnya. Suku ini juga salah satu suku terbesar di Sumatra Utara. Nama suku ini dijadikan sebagai nama salah satu Kabupaten di Sumatra Utara yaitu Kabupaten Karo. Suku ini memiliki bahasa yang disebut Bahasa Karo atau Cakap Karo. Pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan emas. Konon, Kota Medan didirikan oleh seorang tokoh Karo yang bernama Guru Patimpus Sembiring Pelawi.

Sejarah & etimologi

Suku Karo adalah suku yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Kabupaten Deli Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kota Medan, dan Kabupaten Aceh Tenggara. Suku ini memiliki bahasa yang disebut Bahasa Karo dan memiliki salam khas yaitu Mejuah-juah. Adapun Rumah adat Suku Karo atau yang dikenal dengan nama Rumah Siwaluh Jabu yang berarti rumah untuk delapan keluarga, yaitu Rumah yang terdiri dari delapan bilik yang masing-masing bilik dihuni oleh satu keluarga. Tiap keluarga yang menghuni rumah itu memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda sesuai dengan pola kekerabatan masing-masing.

Seorang Wanita Karo mengenakan kain (Gatip Ampar) di atas bahunya dan anting-anting (padung perak), dan seorang Pria Karo kemungkinan mengenakan Julu Berjongkit atau Ragi Santik sebagai penutup pinggul. Foto diambil di salah satu desa di Kabupaten Karo, sekitar tahun 1914-1919.

Adapun beberapa 5 marga induk pada suku Karo yang biasa disebut "Merga Silima" ialah:

1. Karo/Karo-Karo, diberi nama Karo tujuannya bila nanti leluhurnya telah tiada, Karo lah menjadi gantinya atau sebagai ingatan (asal-usul). Sehingga nama leluhurnya/jati diri tidak hilang dan tetap terjaga untuk identitas masyarakat suku Karo.

2. Ginting, anak kedua.

3. Sembiring, sembiring berasal dari kata simbiring. Ia diberi nama "Si "Mbiring (si hitam) karena dia merupakan yang paling hitam diantara saudaranya.

4. Perangin-angin, diberi nama perangin-angin karena ketika ia lahir angin berhembus dengan kencangnya (angin puting-beliung).

5. Tarigan, anak bungsu.

Eksistensi kerajaan

Kesultanan Aru Baroman

1225[7]–1613
Peta Sumatra tahun 1565 dengan arah selatan di atas. Wilayah "Terre Laru" dapat dilihat di pojok atas dalam "kotak" kiri bawah
Peta Sumatra tahun 1565 dengan arah selatan di atas. Wilayah "Terre Laru" dapat dilihat di pojok atas dalam "kotak" kiri bawah
Ibu kotaKota Rentang
Bahasa yang umum digunakanKaro
Melayu
Agama
Islam
PemerintahanMonarki
Sejarah 
• Didirikan
1225[7]
• Serangan akhir dari Kesultanan Aceh
1613
Digantikan oleh
kslKesultanan
Deli
Sekarang bagian dari Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Kesultanan Aru atau Haru merupakan sebuah kerajaan yang pernah berdiri di wilayah pantai timur Sumatra Utara sekarang.

Historiografi

Nama kerajaan ini disebutkan dalam Pararaton, yang tepatnya disebut di dalam Sumpah Palapa:[8]

Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa

Dalam bahasa Indonesia mempunyai arti:[8]

Dia, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, Gajah Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa

Sebaliknya tidak tercatat lagi dalam Kakawin Nagarakretagama sebagai negara bawahan sebagaimana tertulis dalam pupuh 13 paragraf 1 dan 2.

Sementara itu dalam Suma Oriental disebutkan bahwa kerajaan ini merupakan kerajaan yang kuat Penguasa Terbesar di Sumatra yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan memiliki pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh kapal-kapal asing.[9] Dalam laporannya, Tomé Pires juga mendeskripsikan akan kehebatan armada kapal laut kerajaan Aru yang mampu melakukan pengontrolan lalu lintas kapal-kapal yang melalui Selat Melaka pada masa itu.

Dalam Sulalatus Salatin Haru disebut sebagai kerajaan yang setara kebesarannya dengan Malaka dan Pasai. Peninggalan arkeologi yang dihubungkan dengan Kerajaan Haru telah ditemukan di Kota China dan Kota Rantang.

Kontroversi

Banyak diantara orang Karo yang tidak ingin dirinya disebut sebagai bagian dari Batak. Mereka berpendapat bahwa dari asal usul nenek moyang orang Karo saja sudah berbeda dari suku Batak, selain itu budaya dan bahasa Karo juga diyakini berbeda dari Batak. Embel-embel "Batak" diyakini mereka merupakan stereotip yang dimunculkan pada masa kolonial Belanda, dimana suku bangsa non-Melayu yang ada di pesisir dikategorikan sebagai suku Batak yang bermukim di dataran tinggi/pegunungan.

Pernyataan tersebut memunculkan pro dan kontra di kalangan masyarakat, terutama di masyarakat Suku Batak. Walaupun Karo berdiri sebagai suku sendiri tetapi suku Karo serumpun dengan suku Batak karena dari segi budaya, bahasa, bahkan marga-marga beberapa ada yang mirip bahkan sama atau ada sebagian marga yang se-trah atau ada kaitannya, hubungan, atau merupakan pecahan (keturunan) marga Batak, hal ini bisa dilihat karena mereka juga memiliki wilayah geografis yang berdekatan. Sejarah Suku Karo Menurut Kol. (Purn) Sempa Sitepu dalam buku "Sejarah Pijer Podi, Adat Nggeluh Suku Karo Indonesia" menuliskan secara tegas etnis Karo bukan berasal dari si Raja Batak. Ia mengemukakan silsilah etnis Karo yang diperoleh dari cerita lisan secara turun temurun dan sampai kepada beliau yang didengar sendiri dari kakeknya yang lahir sekitar tahun 1838. Secara etimologi, suku Karo merupakan suku tersendiri yang mandiri dan bukan bagian dari Batak. Karena kata Batak pun ciptaan dari para penjajah/pengelana asing untuk mengelompokkan manusia-manusia di daerah pegunungan/pedalaman yang bermakna menghina dan negatif. Kata/pelabelan Batak pada etnis Karo seolah merusak identitas atau jati diri mereka sebagai suku Karo asli. Menurut orang Karo, kata Batak tidak mewakili identitas/jati diri mereka. Ini adalah hal serius untuk tidak mengatakan Karo adalah Batak karena ini ialah masalah jati diri, mereka memang berbeda. Kemiripan dan beberapa persamaan terjadi karena akulturasi dan asimilasi yang memang tak bisa dielakkan. Karena juga wilayah mereka saling berdekatan. Ini adalah masalah serius agar anak cucu kita nanti tidak kehilangan jati dirinya sebagai orang Karo/kalak Karo.

Wilayah Karo

Musium "Karo" di 'Berastagi
Rumah adat Karo Siwaluh Jabu tempo dulu di Kabanjahe

Sering terjadi kekeliruan dalam percakapan sehari-hari dimana wilayah Karo hanya diidentikkan dengan Kabupaten Karo. Padahal, Taneh Karo jauh lebih luas daripada Kabupaten Karo karena meliputi:

Kabupaten Langkat

Suku Karo di Langkat mendiami daerah hulu, seperti Bahorok, Kutambaru, Sei Bingai, Kuala, Salapian, dan sebagian Selesai, Batang Serangan, dan Serapit. Teluk Aru yang berada di Langkat Hilir juga pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Aru, kerajaan bercorak Karo-Melayu yang dimana menjadi leluhur dari raja dan sultan Melayu Sumatera Timur.

Kabupaten Dairi

Wilayah Kabupaten Dairi pada umumnya subur dengan kemakmuran masyarakatnya melalui perkebunan kopinya yang berkualitas. Sebagian Kabupaten Dairi yang merupakan bagian Taneh Karo:

Kabupaten Karo

Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi Karo. Kota yang terkenal di wilayah ini adalah Berastagi dan Kabanjahe. Berastagi merupakan salah satu kota turis di Sumatera Utara yang sangat terkenal dengan produk pertaniannya yang unggul. Salah satunya adalah buah jeruk dan produk minuman yang terkenal yaitu sebagai penghasil Markisa Jus yang terkenal hingga seluruh nusantara. Sedangkan Kabanjahe merupakan ibukota dari kabupaten Karo. Kabupaten Karo inilah merupakan tanah asli (tanah ulayat) suku Karo. Mayoritas suku Karo bermukim di daerah ini, tepatnya di daerah sekitar pegunungan Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak yang sering disebut sebagai "Taneh Karo Simalem". Banyak keunikan-keunikan terdapat pada masyarakat Karo, baik dari geografis, alam, maupun bentuk masakan. Masakan Karo, salah satu yang unik adalah trites. Trites ini disajikan pada saat pesta budaya, seperti pesta pernikahan, pesta memasuki rumah baru, dan pesta tahunan yang dinamakan -kerja tahun-. Trites ini bahannya diambil dari isi lambung sapi/kerbau, yang belum dikeluarkan sebagai kotoran. Bahan inilah yang diolah sedemikian rupa dicampur dengan bahan rempah-rempah sehingga aroma tajam pada isi lambung berkurang dan dapat dinikmati. Masakan ini merupakan makanan istimewa yang di suguhkan kepada yang dihormati.

Kota Medan

Pendiri kota Medan adalah seorang putra Karo yaitu Guru Patimpus Sembiring Pelawi. Sebagian sejarawan dan pemerhati budaya juga memercayai bahwa asal mula nama Kota Medan berasal dari Bahasa Karo, madan yang berarti "obat". Namun pendapat ini masih menjadi pro dan kontra karena terdapat beberapa versi mengenai asal mula nama Medan.

(Tanah Karo 1917.)
Suasana serta potret ikon kota, tugu, gedung, dan bangunan di kota Medan

Kota Binjai

Kota Binjai merupakan daerah yang memiliki interaksi paling kuat dengan Kota Medan disebabkan oleh jaraknya yang relatif sangat dekat dari Kota Medan sebagai ibukota Provinsi Sumatra Utara. Nama "Binjai" juga dipercaya berasal dari gabungan kedua kosakata Bahasa Karo, ben dan i-jei yang artinya "bermalam di sini". Hal tersebut kemudian diucapkan "Binjei" dan menjadi "Binjai" hingga sekarang.

Kabupaten Aceh Tenggara

Taneh Karo di Kabupaten Aceh Tenggara meliputi:

Kabupaten Deli Serdang

Kabupaten Simalungun

Rumah adat Karo Siwaluh Jabu di Desa Dokan
Panorama Berastagi dari atas puncak Bukit Gundaling

Marga

Suku Karo memiliki sistem kemasyarakatan atau adat yang dikenal dengan nama merga silima, tutur siwaluh, dan rakut sitelu. Merga disebut untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan disebut beru. Merga atau beru ini disandang di belakang nama seseorang. Merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok utama (marga inti/pokok), yang disebut dengan merga silima. Kelima merga tersebut adalah:

Marga Utama (merga silima)
Ginting Karo-karo Perangin-angin Sembiring Tarigan
Sub-marga Ajartambun Barus Bangun Brahmana Bondong
Babo Bukit Benjerang Bunuaji Gana-Gana
Bras Gurusinga Kacinambun Busu Gersang
Guru Patih Kaban Keliat Colia Gerneng
Garamata Kacaribu Laksa Depari Jampang
Jandibata Karo Sekali Limbeng Gurukinayan Krandam
Jawak Kemit Mano Keling Tarigan Purba/Cikala
Ginting Manik Ketaren Namoaji Keloko Pekan
Munte Karo Manik Pencawan Kembaren Sibero
Pase Paroka Penggarus Maha Silangit
Seragih Karo Purba Perbesi Meliala/Milala/Melala Tambun
Suka/Sinisuka Samura Pinem Muham Tambak
Sugihen Sinubulan Sebayang Pandia Tegur
Sinusinga Sinuaji Singarimbun Pandebayang Tendang
Tumangger Sinukaban Sinurat Pelawi Tua
Capah Sinulingga Sukatendel Sinukapar/Sinukapur Sahing
Sinuraya Tanjung Sinulaki Sebayak/Sibayak Juhar
Sitepu Ulunjandi Sinupayung Cingkes
Surbakti Uwir Tekang Jambor Lateng
Torong Jenabun Iju
Jung/Ujung Kutabuluh
Jombor Beringen
Prasi
Beliter

Kelima marga Karo tersebut mempunyai sub-marga masing-masing, dimana setiap orang Karo mempunyai salah satu dari merga tersebut. Ada sekitar kurang lebih 100 Marga (Sub-Marga) didalam suku Karo dengan 5 marga induk utama/marga inti (pokok). Marga diperoleh secara turun termurun dari ayah, marga ayah juga merga anak. Orang yang mempunyai merga atau beru yang sama, dianggap bersaudara dalam arti mempunyai nenek moyang yang sama. Jikalau laki-laki bermarga sama, maka mereka disebut (b)ersenina. Demikian juga antara perempuan dengan perempuan yang mempunyai beru yang sama, maka mereka disebut juga (b)ersenina. Namun antara seorang laki-laki dengan perempuan yang bermerga sama, mereka disebut erturang, sehingga dilarang melakukan perkawinan, kecuali pada merga Sembiring (Sembiring Kembaren).

Falsafah kemasyarakatan

Pasangan pengantin pria & wanita menikah dengan pakaian adat Karo lengkap dengan (uis) & tudung karo untuk perempuan, serta bekabuluh untuk lelaki

Hal lain yang penting dalam susunan masyarakat Karo adalah rakut sitelu, yang artinya secara metaforik adalah Tungku Nan Tiga, yang berarti Ikatan yang Tiga. Arti rakut sitelu tersebut adalah Sangkep Nggeluh (Kelengkapan Hidup) bagi orang Karo. Kelengkapan yang dimaksud adalah lembaga sosial yang terdapat dalam masyarakat Karo yang terdiri dari tiga kelompok, yaitu :

  1. Kalimbubu
  2. Anak Beru
  3. Sembuyak
  • Kalimbubu dapat didefinisikan sebagai keluarga pemberi istri.
  • Anak Beru yaitu keluarga yang mengambil atau menerima istri.
  • Sembuyak adalah keluarga satu galur keturunan merga atau keluarga inti.

Orang Karo mempunyai salam khas yaitu Mejuah-juah atau lengkapnya adalah mejuah-juah kita kerina yang memiliki arti sehat-sehat kita semua, baik-baik kita semua, kedamaian, kesehatan, kebaikan untuk kita semua.

Sistem kekerabatan

Tutur Siwaluh adalah konsep kekerabatan masyarakat Karo, yang berhubungan dengan penuturan, yaitu terdiri dari delapan golongan:

  1. Puang Kalimbubu
  2. Kalimbubu
  3. Senina
  4. Sembuyak
  5. Senina Sipemeren
  6. Senina Sepengalon/Sedalanen
  7. Anak Beru
  8. Anak Beru Menteri

Dalam pelaksanaan upacara adat, Tutur Siwaluh ini masih dapat dibagi lagi dalam kelompok-kelompok lebih khusus sesuai dengan keperluan dalam pelaksanaan upacara yang dilaksanakan, yaitu sebagai berikut :

  1. Puang Kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu seseorang
  2. Kalimbubu adalah kelompok pemberi istri kepada keluarga tertentu. Kalimbubu ini dapat dikelompokkan lagi menjadi :
    • Kalimbubu Bena-bena atau Kalimbubu Tua, yaitu kelompok pemberi istri kepada kelompok tertentu yang dianggap sebagai kelompok pemberi istri adalah dari keluarga tersebut. Misalnya A bermerga Sembiring bere-bere Tarigan, maka Tarigan adalah Kalimbubu Si A. Jika A mempunyai anak, maka merga Tarigan adalah Kalimbubu Bena-bena / Kalimbubu Tua dari anak A. Jadi Kalimbubu Bena-bena atau Kalimbubu Tua adalah kalimbubu dari ayah kandung.
    • Kalimbubu Simada Dareh adalah berasal dari ibu kandung seseorang. Kalimbubu Simada Dareh adalah saudara laki-laki dari ibu kandung seseorang. Disebut Kalimbubu Simada Dareh karena mereka yang dianggap mempunyai keturunan sedarah, karena sedarah maka itu juga yang terdapat dalam diri keponakannya.
    • Kalimbubu Iperdemui, yaitu yang berarti kalimbubu yang dijadikan kalimbubu oleh karena seseorang mengawini putri dari satu keluarga untuk pertama kalinya. Maka seseorang itu yang menjadi kalimbubu adalah berdasarkan perkawinan.
  3. Senina, yaitu mereka yang bersaudara karena mempunyai merga dan submerga yang sama.
  4. Sembuyak, yaitu secara harfiah artinya adalah satu dan Mbuyak yang artinya adalah kandungan. Maka artinya adalah orang-orang yang lahir dari kandungan atau rahim yang sama. Namun dalam masyarakat Karo istilah ini digunakan untuk senina yang berlainan sub-merga juga, dalam bahasa Karo disebut Sindauh Ipedeher (Yang jauh menjadi dekat).
  5. Sipemeren, yaitu orang-orang yang ibu-ibu mereka bersaudara kandung. Bagian ini didukung lagi oleh pihak Siparibanen, yaitu orang-orang yang mempunyai istri yang bersaudara.
  6. Senina Sepengalon atau Sendalanen, yaitu orang yang bersaudara karena mempunyai anak-anak yang memperistri dari beru yang sama.
  7. Anak beru, yang berarti pihak yang mengambil istri dari suatu keluarga tertentu untuk diperistri. Anak beru dapat terjadi secara langsung karena mengawini wanita keluarga tertentu, dan secara tidak langsung melalui perantaraan orang lain, seperti Anak Beru Menteri dan Anak Beru Singikuri. Anak beru ini terdiri lagi sebagai berikut :
    • Anak Beru Tua, adalah anak beru dalam satu keluarga turun temurun. Paling tidak tiga generasi telah mengambil istri dari keluarga tertentu (Kalimbubu-nya). Anak Beru Tua adalah anak beru yang utama, karena tanpa kehadirannya dalam suatu upacara adat yang dibuat oleh pihak kalimbubu-nya, maka upacara tersebut tidak dapat dimulai. Anak Beru Tua juga berfungsi sebagai Anak Beru Singerana (sebagai pembicara), karena fungsinya dalam upacara adat sebagai pembicara dan pemimpin keluarga dalam keluarga kalimbubu dalam konteks upacara adat.
    • Anak Beru Cekoh Baka Tutup, yaitu anak beru yang secara langsung dapat mengetahui segala sesuatu di dalam keluarga kalimbubu-nya. Anak Beru Cekoh Baka Tutup adalah anak saudara perempuan dari seorang kepala keluarga. Misalnya Si A seorang laki-laki, mempunyai saudara perempuan Si B, maka anak Si B adalah Anak Beru Cekoh Baka Tutup dari Si A. Dalam panggilan sehari-hari anak beru disebut juga Bere-bere Mama.
  8. Anak Beru Menteri, yaitu anak berunya si anak beru. Asal kata Menteri adalah dari kata Minteri yang berarti meluruskan. Jadi anak beru minteri mempunyai pengertian yang lebih luas sebagai petunjuk, mengawasi serta membantu tugas kalimbubu-nya dalam suatu kewajiban dalam upacara adat. Ada pula yang disebut Anak Beru Singkuri, yaitu anak beru-nya si Anak Beru Menteri. Anak beru ini mempersiapkan hidangan dalam konteks upacara adat.
Kedua mempelai dari suku Karo berbusana adat Karo

Bahasa

Bahasa Karo merupakan rumpun Bahasa Austronesia dan digolongkan dalam Rumpun Bahasa Batak Utara[10] yang utamanya dituturkan oleh masyarakat Karo di wilayah Kabupaten Karo, Langkat, Deli Serdang, Dairi, dan Kota Medan.

Aksara dan sistem penulisan

Aksara

Aksara yang digunakan oleh Suku Karo adalah Aksara Karo yang merupakan varian dari Aksara Batak. Aksara ini adalah aksara kuno yang dipergunakan oleh masyarakat Karo dan masyarakat Batak, akan tetapi pada saat ini penggunaannya sangat terbatas bahkan hampir tidak pernah digunakan lagi.

Sistem Penulisan

Ukiran dari sebuah tulisan ratapan Karo (Bilang-bilang) menggunakan aksara Karo pada media bambu

Sistem penulisan aksara Karo biasanya diukir pada media bambu. Guna melengkapi cara penulisan perlu dilengkapi dengan induk huruf & anak huruf seperti: O= Ketolongen, X= Sikurun, Ketelengen, dan Pemantek.

Kalender Karo

Nama-nama bulan

Adapun nama-nama bulan dan binatang atau benda apa yang bersamaan dengan bulan bersangkutan adalah sebagai berikut:

  • Bulan Sipaka sada merupakan bulan kambing
  • Bulan Sipaka dua merupakan bulan lembu
  • Bulan Sipaka telu merupakan bulan gaya (cacing)
  • Bulan Sipaka empat merupakan bulan padek (katak)
  • Bulan Sipaka lima merupakan bulan arimo (harimau)
  • Bulan Sipaka enem merupakan bulan kuliki (elang)
  • Bulan Sipaka pitu merupakan bulan kayu
  • Bulan Sipaka waluh merupakan bulan tambok (kolam)
  • Bulan Sipaka siwah merupakan bulan gayo (kepiting)
  • Bulan Sipaka sepuluh merupakan bulan belobat, baluat atau balobat (sejenis alat musik tiup)
  • Bulan Sipaka sepuluh sada merupakan bulan batu
  • Bulan Sipaka sepuluh dua merupakan bulan binurung (ikan)

Nama-nama hari

Nama-nama hari pada suku Karo apabila diperhatikan banyak miripnya dengan kata-kata bahasa Sanskerta. Setiap hari dari tanggal itu mempunyai makna atau pengertian tertentu. Oleh karena itu apabila seseorang hendak merencanakan sesuatu, misalnya keberangkatan ke tempat jauh, berperang ke medan laga, memasuki rumah baru dan berbagai kegiatan lainnya. selalu dilihat harinya yang dianggap paling cocok. Di sinilah besarnya peranan "guru si beloh niktik wari" (dukun/orang tua yang pintar melihat hari dan bulan yang baik dan serasi), yang dengan perhitungannya secara saksama, ia menyarankan agar suatu acara yang direncanakan dilakukan pada hari X.

Adapun nama yang 30 dalam satu bulan adalah sebagai berikut:

  1. Aditia
  2. Suma
  3. Nggara
  4. Budaha
  5. Beras pati
  6. Cukra enem
  7. Belah naik
  8. Aditia naik
  9. Sumana siwah
  10. Nggara sepuluh
  11. Budaha ngadep
  12. Beras pati tangkep
  13. Cukera dudu (lau)
  14. Belah purnama raya
  15. Tula
  16. Suma cepik
  17. Nggara enggo tula
  18. Budaha gok
  19. Beras pati
  20. Cukra si 20
  21. Belah turun
  22. Aditia turun
  23. Sumana mate
  24. Nggara simbelin
  25. Budaha medem
  26. Beras pati medem
  27. Cukrana mate
  28. Mate bulan ngulak
  29. Dalan bulan
  30. Sami sara

Budaya/kesenian Karo

Kebudayaan & Sastra tradisional

Suku Karo mempunyai beberapa kebudayaan tradisional, kesenian/seni (sastra) di antaranya tari tradisional seperti:

  • Piso Surit
  • Tari Lima Serangkai
  • Tari Terang Bulan
  • Tari Baka
  • Tari Ndikkar
  • Tari Ndurung
  • Tari Tongkat
  • Tari Sigundari
  • Tari Mbuah Page
  • Tari Tiga Sibolangit
  • Pantun
  • Petatah petitih
  • Petuah
  • Syair (bersyair)
  • Senandung/nandung (dendang)
  • Gendang
  • Guro Aron-aron
  • Gurindam
  • Anding-andingen
  • Kuan-kuanen
  • Bilang-bilang (ratapan)
  • Cakap Lumat
  • Dengang Duka
  • Gundala Gundala
  • Tari sambut/tari penyambutan/tari persembahan (Tari Mejuah-juah)

Seni Bela diri (Silat Karo)

Seni bela diri orang karo merupakan Silat Karo yang dalam Bahasa Karo disebut ndikar. Kata tersebut mulai jarang digunakan masyarakat Karo sehingga kini asing terdengar. Masyarakat Karo dewasa ini cenderung menyebutnya dengan nama Silat Karo saja.

Kata ndikar untuk penamaan bela diri/silat dalam Bahasa Karo kadang kerap disamakan dengan kata Pandikar. Kata ndikar hanya untuk menyebut silat/bela diri, sedangkan pandikar merupakan seseorang yang mempunyai ilmu bela diri yang tinggi atau bisa juga orang yang mendalami ilmu bela diri dan memiliki ilmu bela diri.

Seni Musik

Instrumen alat-alat musik tradisional Karo.

Alat musik tradisional suku Karo adalah Gendang Karo. Biasanya disebut Gendang “Lima Sedalinen” yang artinya seperangkat gendang tari yang terdiri dari lima unsur.

Unsur disini terdiri dari beberapa alat musik tradisional Karo seperti Kulcapi, Balobat, Surdam, Keteng-keteng, Murhab, Serune, Gendang si ngindungi, Gendang si nganaki, Penganak dan Gung. Alat tradisional ini sering digunakan untuk menari, menyanyi dan berbagai ritus tradisi.

Jadi Gendang Karo sudah lengkap (lima sedalinen) jika sudah ada Serune, Gendang si ngindungi, Gendang si nganaki, Penganak dan Gung dalam mengiringi sebuah upacara atau pesta.

Seni Tari

Pasangan Karo menari

Tari dalam bahasa Karo disebut “Landek”. Pola dasar tari Karo adalah posisi tubuh, gerakan tangan, gerakan naik turun lutut (endek) disesuaikan dengan tempo gendang dan gerak kaki. Pola dasar tarian itu ditambah dengan variasi tertentu sehinggga tarian tersebut menarik dan indah.

Tarian berkaitan adat misalnya memasuki rumah baru, pesta perkawinan, upacara kematian dan lain-lain. Tarian berkaitan dengan ritus dan religi biasa dipimpin oleh guru (dukun). Misalnya Tari Mulih-mulih, Tari Tungkat, Erpangir Ku Lau, Tari Baka, Tari Begu Deleng, Tari Muncang, dan lain-lain.

Tarian berkaitan dengan hiburan digolongkan secara umum. Misalnya Tari Gundala-gundala, Tari Ndikkar dan lain-lain. Sejak tahun 1960 tari Karo bertambah dengan adanya tari kreasi baru. Misalnya tari lima serangkai yang dipadu dari lima jenis tari yaitu Tari Morah-morah, Tari Perakut, Tari Cipa Jok, Tari Patam-patam Lance dan Tari Kabang Kiung. Setelah itu muncul pula tari Piso Surit, tari Terang Bulan, tari Roti Manis dan tari Tanam Padi.

Seni Ukir / Pahat

Keragaman seni pahat dan ukir suku Karo terlihat dari corak ragam bangunannya. Dulu orang yang ahli membuat bangunan Karo disebut “Pande Tukang.”

Hal ini terlihat dari jenis-jenis bangunan Karo seperti Rumah Siwaluh Jabu, Geriten, Jambur, Batang, Lige-lige, Kalimbaban, Sapo Gunung, dan Lipo. Seni ukir yang menjadi kekayaan kesenian Karo terlihat pada setiap ukiran bangunannya seperti Ukir Cekili Kambing, Ukir Ipen-Ipen, Ukir Embun Sikawiten, Ukir Lipan Nangkih Tongkeh, Ukir Tandak Kerbo Payung, Ukir Pengeretret, dan Ciken.

Suku Karo juga memiliki drama tradisional yang disebut dengan Gundala-Gundala.

Kegiatan kebudayaan & adat-istiadat

  • Merdang Merdem = "Kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".
  • Mahpah = "Kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".
  • Mengket Rumah Mbaru - Pesta perayaan memasuki rumah (adat/ibadat) baru.
  • Mbesur-mbesuri - "Mengenyangkan" memberi makan untuk wanita yang hamil 7 bulan, dengan harapan memenuhi keinginannya sebelum melahirkan.
  • Cawir Metua = Upacara adat/ritual kematian
  • Ndilo Udan - Memanggil hujan.
  • Rebu-rebu - Mirip dengan pesta "kerja tahun".
  • Ngumbung - Hari jeda "aron" (kumpulan pekerja di desa).
  • Erpangir Ku Lau - Penyucian diri (untuk membuang sial).
  • Raleng Tendi - "Ngicik Tendi" , yaitu memanggil jiwa setelah seseorang kurang tenang karena terkejut secara suatu kejadian yang tidak disangka-sangka.
  • Motong Rambai - Pesta kecil keluarga - handai taulan untuk memanggkas habis rambut bayi (balita) yang terjalin dan tidak rapih.
  • Ngaloken Cincin Upah Tendi - Upacara keluarga pemberian cincin permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere atau dari Bibi ke Permain).
  • Manok Sangkepi
  • Mbaba Belo Selambar (MBS) - rangkaian ritus Pernikahan adat Karo
  • Ngaloken Rawit - Upacara keluarga pemberian pisau (tumbuk lada) atau belati atau clurit kecil yang berupa permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere) - keponakan laki-laki.

Kuliner Khas Karo

Makanan

Rumah makan Babi Panggang Karo di Kecamatan Tigapanah

Kuliner Karo sangat banyak ragamnya, salah satunya yang terkenal ialah Babi panggang Karo atau kerapkali disingkat sebagai BPK. BPK adalah makanan yang diproduksi dengan cara dipanggang dan diberi bumbu rempah-rempah yang khas, bumbu ini dinamakan Tuba atau juga bisa disebut andaliman. Umumnya orang Karo yang menjual BPK di warung makan ataupun restoran, namun tidak jarang juga ditemukan orang non-Karo yang juga menjual hidangan tersebut seperti orang Batak, Nias, dan lain lain.

Kuliner Karo lainnya meliputi: Kidu-kidu, Manuk Getah, Arsik Nurung Mas, Cimpa, Unung-unung, Cincang Bohan, Pagit-pagit, Trites, Gule Kuta-kuta (gulai ayam kampung), Tasak Telu, Mie Keling, Bihun Bebek, Bika Ambon, Bubur Pedas, Lemang Karo, Cipera, Anyang Pakis, Bulung Gadung, dan lain lain.

Minuman

Selain makanan, minuman khas Karo pun banyak macam ragamnya seperti: Jus martebe, sirup markisa, dan sebagainya. Minuman yang terkenal adalah Susu Kitik yaitu teh susu telur khas Karo. Minuman ini umumnya disajikan di warung kopi di daerah Karo.

Lagu daerah Karo

Beberapa lagu yang berasal dari Daerah Karo adalah:

  • Piso Surit
  • Mbiring Manggis
  • Mejuah-juah
  • Famili Teksi
  • Sora Mido
  • Tengguli Laneng
  • Pincala
  • Si Lampas Melumang
  • O Taneh Karo
  • Deleng Sinabung

Keyakinan (agama)

Gereja GBKP dan Masjid yang berhadapan di Desa Perteguhen

Mayoritas orang Karo memeluk agama Kristen sekitar 70% (mayoritas Protestan 55% dan 15% Katolik), dan Islam 29%. Sekitar 1% menganut agama Buddha, Hindu, dan juga ada yang masih menganut kepercayaan Tradisional yakni: Pemena.

Agama Hindu dapat dijumpai di Dusun Pintu Besi Desa Lau Rakit, Kecamatan Sinembah Tanjung Muda Hilir, Deli Serdang namun jumlahnya sangat sedikit. Agama Hindu pada masyarakat Karo memiliki kemiripan dengan agama Hindu Bali mulai dari tempat ibadah berupa pura, Ritual-Ritual, hingga upacara keagamaan. [11]

Umumnya pemeluk agama pemena (agama awal & agama asli Karo) berada di desa yang berada di dekat atau di kaki gunung Sinabung. Pemeluk agama tradisional/kepercayaan ini juga dapat ditemui di pedalaman dan mereka nyaris punah dan semakin terus berkurang.

Sebagian kecil masyarakat Karo juga menganut agama Buddha serta sedikit sisanya menganut agama lainnya yang dapat ditemui di perkotaan seperti kota Medan, Kabupaten Karo, kabupaten Langkat dan di daerah sekitar Tanah Karo lainnya namun jumlahnya hanya sedikit/tidak begitu signifikan.

Gereja yang didominasi suku Karo

Gereja GBKP Kota Kabanjahe

Tokoh-tokoh Karo

Galeri

Referensi

  1. ^ Ginting, Ray Brema (2016). "Kristen di Dataran Tinggi Karo Tahun 1890-1906". Kristen di Dataran Tinggi Karo Tahun 1890-1906. Repositori Institusi Universitas Sumatera Utara (RI-USU). 
  2. ^ Ginting, Dewi (2012-08-08). "SEJARAH BERKEMBANGNYA AGAMA ISLAM DI TANAH KARO SUMATERA UTARA PADA TAHUN 1980- 2010". Ginting, Dewi (2012) SEJARAH BERKEMBANGNYA AGAMA ISLAM DI TANAH KARO SUMATERA UTARA PADA TAHUN 1980- 2010. Undergraduate thesis, UNIMED. UNIMED. 
  3. ^ "Katolik di Tanah Karo: Kabanjahe, 1942-1970an". jurnal.ugm.ac.id. Jurnal Lembaran Sejarah, Vol. 11, No. 2, Oktober 2014 | Mahasiswa S1 Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada. Oktober 2014. 
  4. ^ Rasmamana, Edi Putra (2016-09-03). "PENYEBARAN AGAMA BUDDHA PADA MASYARAKAT KARO DI KABUPATEN LANGKAT". Rasmamana, Edi Putra (2016) PENYEBARAN AGAMA BUDDHA PADA MASYARAKAT KARO DI KABUPATEN LANGKAT. Undergraduate thesis, UNIMED. UNIMED. 
  5. ^ [1]
  6. ^ Voice of Nature, Volumes 85-95. Yayasan Indonesia Hijau. 1990. hlm. 45. 
  7. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Brahma Putro
  8. ^ a b Mangkudimedja, R.M., 1979, Serat Pararaton. Alih aksara dan alih bahasa Hardjana HP. Jakarta: Departemen P dan K, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
  9. ^ Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society, 2 vols
  10. ^ https://petabahasa.kemdikbud.go.id/provinsi.php?idp=Sumatra%20Utara
  11. ^ [2]

Bacaan lanjutan terkait

  • Perangin-angin, Martin. (2004). Orang Karo Diantara Orang Batak. Pustaka Sora Mido

Pranala luar