Lompat ke isi

Kerajaan Haru

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 12 September 2022 12.29 oleh 180.242.215.107 (bicara)
Kerajaan Karo Aru

1225–1613
Peta Sumatra tahun 1565 dengan arah selatan di atas. Wilayah "Terre Laru" dapat dilihat di pojok atas dalam "kotak" kiri bawah
Peta Sumatra tahun 1565 dengan arah selatan di atas. Wilayah "Terre Laru" dapat dilihat di pojok atas dalam "kotak" kiri bawah
Ibu kotatanah karo
Bahasa yang umum digunakanKaro, Melayu Kuno
Agama
Hindu - Islam
PemerintahanMonarki
Sejarah 
• Didirikan
1225
• Serangan dari majapahit tahun 1365 M & serangan dari aceh 1613 M
1613
Sekarang bagian dari Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Kerajaan Aru atau Haru merupakan sebuah kerajaan yang pernah berdiri di wilayah pantai timur Sumatra Utara sekarang.

Historiografi

Nama kerajaan ini disebutkan dalam Pararaton, yang tepatnya disebut di dalam Sumpah Palapa:[1]

Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa

Dalam bahasa Indonesia mempunyai arti:[1]

Dia, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, Gajah Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa

dalam Kakawin Nagarakretagama sebagai negara bawahan sebagaimana tertulis dalam pupuh 13 paragraf 1 dan 2.

lwir niɳ nusa pranusa pramukha sakahawat / ksoni ri malayu, naɳ jambi mwaɳ palembaɳ karitan i teba len / darmmaçraya tumut, kandis kahwas manankabwa ri siyak i rkan / kampar mwan i pane, kampe harw (haru) athawe mandahilin i tumihaɳ parllak / mwan i barat. terjemahan : Terperinci demi pulau negara bawahan, paling dulu M’layu: Jambi, Palembang, Toba dan Darmasraya pun ikut juga disebut Daerah Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar dan Pane Kampe, Haru serta Mandailing, Tamihang, negara Perlak dan Padang

Sementara itu dalam Suma Oriental disebutkan bahwa kerajaan ini merupakan kerajaan yang kuat Penguasa Terbesar di Sumatra yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan memiliki pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh kapal-kapal asing.[2] Dalam laporannya, Tomé Pires juga mendeskripsikan akan kehebatan armada kapal laut kerajaan Aru yang mampu melakukan pengontrolan lalu lintas kapal-kapal yang melalui Selat Melaka pada masa itu.

Dalam Sulalatus Salatin Haru disebut sebagai kerajaan yang setara kebesarannya dengan Malaka dan Pasai. Peninggalan arkeologi yang dihubungkan dengan Kerajaan Haru telah ditemukan di Kota China dan Kota Rantang.

Letak

Kerajaan Harw/Haru/Aru Terdapat di provinsi sumatra utara

Sejarah

Kondisi Benteng tersebut melingkupi areal berukuran ± 732 x 250 meter atau memiliki luas sekitar 17 ha. Batas-batas Benteng Putri Hijau adalah sebagai berikut : di sebelah utara berbatasan dengan pemukiman penduduk yang menempati areal di luar maupun di dalam benteng. Sebelah barat sebagian merupakan areal yang berbatasan dengan tebing curam, terutama yang terletak di sisi sebelah baratlaut. Sebagian lagi berbatasan dengan areal landai yang saat ini dimanfaatkan sebagai perladangan. Demikian juga dengan sisi selatan berbatasan dengan perladangan penduduk, sedangkan di sebelah timur benteng tanah menghadap langsung ke jurang, di mana terdapat hulu aliran Sungai Deli yang disebut Sungai Petani (Lau Tani).

Di luar benteng tanah terdapat parit-parit buatan yang mengelilingi. Benteng tanah, maupun parit buatan berukuran lebar mencapai 4 meter, bahkan lebih. kedalaman parit mencapai lebih dari 2 meter. Adapun bangunan benteng tanah di beberapa tempat, berukuran tinggi mencapai hingga 6-7 meter.

Pintu masuk utama benteng pada masa lalu diperkirakan terletak di sebelah timur, tepat di sebelah pemandian Putri Hijau (Pancuran Gading). Bagian pintu masuk benteng merupakan dinding tebing yang dilandaikan. Di samping kiri-kanan pintu masuk tersebut terdapat dinding tanah berukuran cukup tinggi.

Di beberapa tempat tampaknya terdapat pemotongan bagian benteng. Tidak diketahui secara pasti, apakah pemotongan dinding benteng merupakan sisa aktivitas masa lalu atau dilakukan pada masa belakangan. Benteng tanah juga mengalami kerusakan akibat aktivitas masa.

Dalam bukunya yang berjudul “Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur”, Tuanku Lukman Sinar menyebutkan bahwa pada tahun 1869, Kontelir Cats de Raet menemukan sebuah meriam (lela) yang telah diserahkan ke Museum Pusat di Jakarta dengan kapal Baron Sloet v.d. Beele. Pada meriam tersebut terdapat pertulisan dalam aksara Melayu/Jawi yang berbunyi “Sanat….03 Alamat Balun Haru”. Sanat…03 Tidak Jelas, Namun Apabila 03 Berarti Tahun 1003 Hijriyah, Berarti Cocok Dengan 1539 Masehi, yang menurut Pinto merupakan ditaklukkannya Haru oleh Sultan Aceh, Al Qahhar. “Alamat Balun Haru” dapat juga berarti Alamat sadar (siuman) Haru, tetapi dalam bahasa Aceh dapat berarti: “Dalam Tahun ….03, di tempat saya menyerahkan Haru kepada Tuanku”. Dalam Bahasa Melayu “Balun” juga berarti “sadar” atau juga “dilibas”.Terlepas dari isi/arti pertulisan tersebut, di tengah-tengah benteng Putri Hijau telah didapatkan bukti tentang nama Haru.

Temuan peluru senjata api berbahan timah, menunjukkan bahwa di situs tersebut pernah terjadi perang atau setidaknya senapan yang ditembakkan. Apabila kepemilikan senjata api tersebut sejaman dengan peperangan yang terjadi antara Kerajaan Aceh dan Aru (Deli?) maka senjata api tersebut kemungkinan berasal dari Turki. Senjata api jenis senapan laras panjang itu umum digunakan pada abad ke 15-19, yang dikenal dengan sebutan musket atau tufenk. Senapan-senapan tersebut dibawa ke Deli Tua dari Negara asal pembuatnya (Turki) oleh tentara Aceh atau sepasukan tentara Turki sendiri yang diperbantukan untuk menyerang wilayah kekuasaan kerajaan di Deli Tua (BP3 Aceh, 2008:17).

Selain itu terdapat temuan berupa koin Aceh yang diperkirakan berasal dari abad ke XVII. Keberadaan mata uang Aceh berkaitan dengan kedatangan dan atau digunakan koin-koin Aceh untuk transaksi perdagangan. Hal ini tentu saja sangat memungkinkan, mengingat keberadaan Kesultanan Aceh pada waktu yang sama, bahkan sebelumnya telah mengeluarkan mata uang resmi kerajaan untuk perdagangan, sehingga tidak mustahil apabila koin-koin yang beredar di Kerajaan Aceh juga beredar di Kerajaan Aru, untuk memperlancar transaksi perdagangan yang dilakukan oleh kedua belah pihak.

Hubungan dagang antara Kerajaan Aru (Deli Tua) pada masa yang cukup lama juga telah dilakukan dengan bangsa-bangsa lain seperti India dan Cina. Melalui hubungan perdagangan secara tidak langsung juga berpengaruh pada kontak-kontak kebudayaan, yang dilakukan dengan Cina ataupun India. E.E. Mc Kinnon menyebutkan bahwa walaupun bukti-bukti secara fisik sangat jarang ditemukan, kebudayaan masyarakat batak sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang berasal dari batak.

Bukti-bukti adanya kontak dengan Cina secara fisik dapat diketahui, dari adanya bukti berupa temuan keramik yang tersebar di situs Benteng Putri Hijau. Berdasarkan hasil analisis temuan keramik yang ditemukan di Deli Tua dari hasil penggalian yang dilakukan diketahui bahwa periode masa hunian di bagian dalam benteng tanah Deli Tua adalah dalam rentang waktu antara 15-18. Temuan hasil penggalian menunjukkan bahwa periode tertua adalah temuan keramik yang berasal dari abad 15-14 M, bahkan ditemukan sekeping fragmen keramik yang berasal dari abad 15-19 M. Periode yang lebih muda menunjukkan bahwa situs tersebut masih digunakan sampai abad 17-18.

Sebaliknya berdasarkan hasil survey permukaan menunjukkan bahwa temuan keramik terbanyak berasal dari abad ke 17-18 M, disusul oleh temuan yang berasal dari abad 15-19 M. Hal ini menunjukkan bahwa di situs tersebut mengalami masa hunian yang cukup lama. Tidak diketahui secara pasti apa yang menjadi penyebab maju mundurnya hunian di Benteng Putri Hijau. Data-data sejarah tidak banyak memberikan informasi tentang kondisi

Sosial, Ekonomi, dan Budaya

Raja Haru dan penduduknya telah memeluk agama Islam, sebagaimana disebutkan dalam Yingyai Shenglan (1416), karya Ma Huan yang ikut mendampingi Laksamana Cheng Ho dalam pengembaraannya. Dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu disebutkan kerajaan tersebut diislamkan oleh Nakhoda Ismail dan Fakir Muhammad, yang juga mengislamkan Merah Silu, Raja Samudera Pasai pada pertengahan abad ke-13.

Sumber-sumber Tiongkok menyebutkan bahwa adat istiadat seperti perkawinan, adat penguburan jenazah, bahasa, pertukangan, dan hasil bumi Haru sama dengan Melaka, Samudera dan Jawa. Mata pencaharian penduduknya adalah menangkap ikan di pantai dan bercocok tanam. Tetapi karena tanah negeri itu tidak begitu sesuai untuk penanaman padi, maka sebagian besar penduduknya berkebun menanam kelapa, pisang dan mencari hasil hutan seperti kemenyan. Mereka juga berternak unggas, bebek, kambing. Sebagian penduduknya juga sudah mengonsumsi susu. Apabila pergi ke hutan mereka membawa panah beracun untuk perlindungan diri. Wanita dan laki-laki menutupi sebagian tubuh mereka dengan kain, sementara bagian atas terbuka. Hasil-hasil bumi dibarter dengan barang-barang dari pedagang asing seperti keramik, kain sutera, manik-manik dan lain-lain.[3]

Peninggalan arkeologi di Kota China menunjukkan wilayah Haru memiliki hubungan dagang dengan Tiongkok dan India. [4] Namun dalam catatan Ma Huan, tidak seperti Pasai atau Malaka, pada abad ke-15 Haru bukanlah pusat perdagangan yang besar.[5] Agaknya Raja-raja Haru kemudian mengalihkan perhatian mereka ke perompakan.sebab Haru terkenal sebagai penguasa Selat MALAKA[4]

Haru memakai batak, dan dalam kejayaan ARU Haru Haro beberapa wilayah terpengaruh budaya dan bahasa batak.

Daftar Penguasa Haru

  1. Raja Serbanyaman +-(1225-1255)
  2. Raja Kembat +-(1255-1292)
  3. serangan singosari (1292)
  4. serangan majapahit (1365)
  5. diserahkan pagaruyung +-(1375-1410)
  6. Sultan Husin (1410-1456)
  7. Sultan Mansur Shah (1456-1477)[6]
  8. Sultan Ali Boncar (1477-1500)
  9. pertempuran dengan aceh(1500-1538)
  10. putri enche sinni +-(1538-1564)
  11. sultan Abdullah bin alaudin aceh (1564-1599)
  12. diserang kesultanan aceh iskandarmuda (1613)

Berkaitan dengan penguasa Aru, tidak dapat dipisahkan dengan peran lembaga Raja Berempat, yang menurut Peret (2010) telah ada sebelum pengaruh Aceh.

Dalam kesempatan berikut, Raja Berempat ini berperan dalam penentuan calon pengganti Sultan di Deli/Serdang, dengan menempakan Datuk Sunggal sebagai Ulun Janji.[6]

Rujukan

  1. ^ a b Mangkudimedja, R.M., 1979, Serat Pararaton. Alih aksara dan alih bahasa Hardjana HP. Jakarta: Departemen P dan K, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
  2. ^ Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society, 2 vols
  3. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama waspada
  4. ^ a b A Note on Aru and Kota China (Part 2)[pranala nonaktif permanen]
  5. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama melayuonline1
  6. ^ a b Perret, D (2010). Kolonialisme dan Etnisitas". KPG