Lompat ke isi

Sistem noken

Dengarkan artikel ini
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 27 Juli 2024 12.09 oleh Serigala Sumatera (bicara | kontrib) (Pelaksanaan: (QuickEdit))
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Simbol artikel pilihan
Artikel ini telah dinilai sebagai artikel pilihan pada 12 Mei 2022 (Pembicaraan artikel)
Peta yang menunjukkan kabupaten yang mempraktikkan sistem noken di wilayah Papua, Indonesia. Merah: kabupaten yang mempraktikkan sistem noken untuk pemilu tahun 2019. Nila: kabupaten yang pernah mempraktikkan sistem noken, tetapi tidak termasuk ke dalam daftar kabupaten yang diperbolehkan Komisi Pemilihan Umum untuk mempraktikkan sistem noken pada pemilu tahun 2019.
Artikel ini tersedia dalam versi lisan
Dengarkan versi lisan dari artikel ini (40 menit)
noicon
Ikon Wikipedia Lisan
Berkas suara ini dibuat berdasarkan revisi dari artikel ini per tanggal 12 November 2022 (2022-11-12), sehingga isinya tidak mengacu pada revisi terkini.

Sistem noken (juga disebut sistem ikat) adalah sebuah sistem pemilihan umum yang digunakan khusus untuk sejumlah kabupaten di wilayah Pegunungan Tengah di Provinsi Papua Tengah dan Papua Pegunungan, Indonesia. Sistem ini dinamai dari noken, yaitu sebuah tas anyaman dari serat kulit kayu yang memiliki peran sentral dalam kehidupan masyarakat Papua. Tidak diketahui secara pasti kapan sistem noken pertama kali digagas. Konon gagasan untuk memasukkan surat suara ke dalam noken muncul secara spontan saat pesta bakar batu yang merupakan sebuah tradisi di Papua, tetapi ada pula yang meyakini bahwa sistem noken sebenarnya diperkenalkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1970-an dan bukan sebuah tradisi yang sudah dipraktikkan sejak lama oleh masyarakat di wilayah Pegunungan Tengah Papua.

Sistem noken digunakan di wilayah adat Mee Pago (Papua Tengah) dan La Pago (Papua Pegunungan). Walaupun tidak ada definisi umum untuk menentukan sistem pemilihan mana yang dapat dianggap sebagai sistem noken, secara umum terdapat dua pola sistem noken. Pola pertama, yaitu sistem big man (pria berwibawa), menyerahkan pilihan sepenuhnya kepada kepala suku. Kepala suku dapat melakukan pencoblosan untuk warganya atau sekadar memberitahukan pilihan masyarakatnya kepada Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Pola kedua, yaitu sistem "noken gantung", dilandaskan pada hasil kesepakatan bersama masyarakat dengan kepala suku setelah melalui proses deliberasi (melakukan pertimbangan yang mendalam dengan melibatkan semua pihak sebelum mengambil keputusan). Pada hari pemilihan umum, tas noken berperan sebagai pengganti kotak suara. Masing-masing noken melambangkan suatu calon, dan pemilihan dilakukan di muka umum dengan memasukkan surat suara ke dalam noken calon yang telah disepakati, atau dengan berbaris di hadapan noken tersebut. Suara bisa diberikan kepada satu calon saja atau dibagi kepada beberapa calon sesuai kesepakatan sebelumnya. Namun, dilaporkan bahwa belakangan unsur deliberasi dan pemilihan umum dengan menggunakan noken sudah menghilang di lapangan.

Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa sistem noken adalah konstitusional karena dianggap sebagai pendekatan yang paling realistis untuk mencegah konflik dan disintegrasi. Selain itu, sistem noken juga dianggap oleh Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari hak adat masyarakat wilayah Pegunungan Tengah. Namun, sistem noken juga menuai kritikan karena memicu sistem broker yang berujung pada politik uang; rentan dimanipulasi oleh elite politik; mengorbankan hak pilih individu; serta bertentangan dengan asas pemilihan umum yang bebas dan rahasia. Hasil pemilihan umum sistem noken juga terbilang "ganjil" bila dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia, mengingat tingkat partisipasi mencapai 100%, jumlah suara tidak sah tidak ada sama sekali, dan perolehan suara calon di wilayah tertentu bisa mencapai 100%. Selain itu, pandangan Mahkamah Konstitusi bahwa sistem noken memelihara perdamaian juga dipertanyakan, karena sistem tersebut malah dianggap bisa memperburuk ketegangan dan konflik antaretnis.

Latar belakang

Papua secara resmi bergabung dengan Indonesia pada tahun 1969 setelah dilaksanakannya Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang kontroversial. Dalam PEPERA, sekitar seribu orang yang telah diseleksi oleh Indonesia (kurang dari 1% populasi saat itu) secara aklamasi memilih bersatu dengan Indonesia. Setelah keberhasilan gerakan Reformasi dan tumbangnya pemerintahan Suharto di Indonesia, pemilihan umum yang jujur dan adil diselenggarakan di Indonesia. Program desentralisasi kemudian berujung pada pemekaran berbagai kabupaten dan distrik. Pada tahun 1999, Papua dimekarkan menjadi dua provinsi, yaitu Provinsi Papua Barat dengan Manokwari sebagai ibu kotanya dan Papua dengan Jayapura sebagai ibu kotanya. Wilayah Papua kemudian memperoleh otonomi khusus pada tahun 2001. Selanjutnya, Provinsi Papua dimekarkan lagi pada tahun 2022, dengan tambahan tiga provinsi baru yaitu Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Selatan. Papua sendiri merupakan wilayah yang memiliki keanekaragaman etnis. Terdapat lebih dari 261 kelompok etnis di wilayah Papua di Indonesia, sementara di Pulau Papua secara keseluruhan, terdapat sekitar 1.797 bahasa yang tergolong ke dalam 127 rumpun bahasa. Di tengah tren desentralisasi dan juga untuk menghargai keanekaragaman, Papua diperbolehkan menerapkan sistem noken yang berbeda dari sistem pemilihan umum nasional.[1]

Etimologi

Noken yang merupakan tas tradisional masyarakat Papua.
Para perempuan Papua sedang membuat tas noken.

Sistem ini dinamai dari noken, yaitu sebuah tas tradisional yang umum digunakan oleh masyarakat Papua. Tas ini (yang juga disebut bilum di Papua Nugini dan su di kalangan suku Dani) terbuat dari serat kulit kayu dan merupakan hasil karya perempuan-perempuan Papua yang pembuatannya bisa memakan waktu berbulan-bulan.[2] Lelaki tidak diperbolehkan membuat noken, karena noken dianggap terkait dengan kesuburan wanita.[3] Tas noken dapat digunakan untuk beraneka macam kegiatan. Perempuan-perempuan Papua dapat menggunakan tas noken untuk membawa bayi mereka, kayu bakar, anak babi, atau hasil panen. Laki-laki juga menggunakan tas noken untuk keperluan sehari-hari. Kegunaan-kegunaan lain yang telah diidentifikasi oleh penelitian etnologis meliputi ornamen dalam tarian tradisional, perlindungan dari terik matahari dan dinginnya cuaca, perlambang status sosial, atau bahkan untuk fungsi-fungsi keupacaraan, seperti upacara perkawinan.[2] Noken juga dipercaya sebagai pembawa kekuatan leluhur dan penangkap roh.[4]

Dalam kebudayaan masyarakat Papua, noken bukan sekadar tas, tetapi memiliki peranan sentral dalam kehidupan sehari-hari. Menurut aktivis budaya Papua Titus Pekei, "noken adalah salah satu hal yang menyatukan semua orang Papua Barat (...) Semua suku di Papua yang berjumlah 250 menggunakan [noken]."[5] Menurut penelitian Pieter Ell dkk., noken dianggap sebagai lambang relasi, kekeluargaan, identitas, perlindungan, ekonomi, kehidupan, estetika, serta spontanitas, kejujuran, keterbukaan, dan transparansi.[6] Menurut peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Cahyo Pamungkas, noken merupakan simbol kehidupan yang baik, perdamaian, dan kesuburan.[3] Mengingat noken memiliki peran sosial-budaya yang sangat penting dalam masyarakat Papua, noken telah diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh UNESCO pada Desember 2012.[7]

Asal nama kata "noken" tidak diketahui secara pasti.[8] Sistem noken dinamai dari tas ini karena dalam sistem tersebut, noken menggantikan kotak suara yang lazim ditemui di wilayah lain di Indonesia. Sistem ini kadang disebut "sistem ikat", walaupun juga tidak dijelaskan dari mana istilah ini berasal.[9] Pada saat yang sama, penggunaan istilah "sistem noken" telah dikritik oleh peneliti isu konflik Papua Cillian Nolan. Menurutnya, istilah "sistem" tidak tepat karena tidak ada aturan tertulis, tidak ada praktik yang seragam, dan juga tidak ada standar teknis minimal untuk pencatatan suara. Selain itu, ia merasa bahwa noken tidak memainkan peran utama dalam sistem pemilihan ini.[10] Di sisi lain, Cahyo Pamungkas menganggap noken sebagai simbol konsensus.[11]

Sejarah

Orang-orang Papua saat pesta bakar batu. Walaupun tidak diketahui secara pasti kapan sistem noken pertama kali digagas, Pieter Ell dkk. melaporkan bahwa konon gagasan mengenai sistem tersebut muncul secara spontan saat pesta bakar batu.[12]

Tidak diketahui secara pasti asal mula dari sistem noken.[13][14] Menurut hasil penelitian Pieter Ell dkk., konon gagasan penggunaan noken muncul secara spontan dalam sebuah pesta bakar batu yang merupakan sebuah tradisi di Papua. Gagasan untuk memasukkan surat suara ke dalam noken diterima oleh semua hadirin pesta tersebut dan lalu terus diperkenalkan dan disebarkan ke berbagai tempat hingga akhirnya para kepala suku, tokoh adat, dan tokoh masyarakat menyepakati gagasan tersebut. Dengan demikian, sistem noken digunakan dalam pemilihan umum legislatif, Dewan Perwakilan Daerah, dan Presiden pada tahun 2009 di beberapa kabupaten di wilayah Pegunungan Tengah Papua.[12]

Majelis Rakyat Papua (yang merupakan sebuah lembaga perwakilan untuk penduduk asli Papua) mengklaim bahwa suku-suku di wilayah adat Mee Pago dan La Pago sudah mempraktikkan sistem noken sejak lama. Menurut mereka, sistem ini pertama kali diterapkan di Republik Indonesia untuk pemilihan umum legislatif tahun 1971.[15] Sementara itu, seorang petugas pemilu di Asolokobal, Jayawijaya, Damianus Wetipo, berpendapat bahwa sistem noken pertama kali digunakan untuk pemilu tahun 1999 yang merupakan pemilu jujur dan adil pertama setelah zaman Orde Baru.[16]

Terdapat pihak yang meragukan bahwa sistem noken sudah dipraktikkan sejak lama oleh masyarakat Mee Pago dan La Pago. Aktivis hak asasi manusia dan cendekiawan Papua Pares Wenda menyatakan bahwa sistem noken diperkenalkan oleh pemerintah Indonesia di Papua pada akhir dasawarsa 1970-an agar masyarakat Papua di pedalaman dapat diikutkan dengan sistem pemilihan umum nasional secara bertahap.[17] Menurutnya, sebelum diperkenalkan oleh Indonesia, sistem noken tidak pernah digunakan untuk memilih kepala suku di wilayah Pegunungan Tengah Papua.[18] Titus Pekei juga mengkritik penggunaan noken sebagai pengganti kotak suara; menurutnya, ini merupakan kesalahan penafsiran terhadap peran noken dalam kehidupan masyarakat Papua. Ia menegaskan bahwa tujuan noken bukan untuk mengumpulkan surat suara, tetapi untuk menunjukkan status atau kepemimpinan pemiliknya.[17] Ketua Dewan Adat Baliem Yulianus Hisage bahkan mengklaim bahwa sistem noken bukanlah bagian dari kebudayaan mereka.[15]

Maka dari itu, muncul penilaian bahwa sistem noken bukanlah sebuah tradisi yang sudah dipraktikkan masyarakat Mee Pago dan La Pago sejak lama, tetapi merupakan hasil ciptaan pada masa modern.[19] Menurut antropolog Birgit Bräuchler, "Apabila [sistem noken] adalah hasil ciptaan pemerintah Indonesia, bisa dicurigai bahwa pemerkuatan lebih lanjut terhadap sistem pemilihan kolektif tersebut bisa-bisa mengulangi kembali apa yang digadang-gadang sebagai 'Act of Free Choice' [Penentuan Pendapat Rakyat] tahun 1969, yang sangat dimanipulasi, yang acap kali disebut oleh banyak pihak sebagai 'Act of No Choice' [Penentuan Pendapat Rakyat Tanpa Pilihan] (...)."[19][a]

Sebaran

Sistem noken digunakan oleh suku-suku di wilayah adat Mee Pago di Provinsi Papua Tengah dan La Pago di Provinsi Papua Pegunungan. Wilayah adat Mee Pago meliputi Kabupaten Nabire, Dogiyai, Deiyai, Paniai, Intan Jaya, dan Mimika. Sementara itu, wilayah adat La Pago mencakup Kabupaten Puncak Jaya, Puncak, Nduga, Jayawijaya, Lanny Jaya, Mamberamo Tengah, Tolikara, Yalimo, Pegunungan Bintang, dan Yahukimo.[20] Menurut Cahyo Pamungkas, sistem noken dapat ditemui di keenambelas kabupaten ini.[20]

Namun, menurut Lampiran II Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 810/PL.02.6-Kpt/06/KPU/IV/2019 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemungutan Suara dengan Sistem Noken/Ikat di Papua dalam Pemilihan Umum Tahun 2019, hanya terdapat dua belas kabupaten yang dapat menyelenggarakan pemungutan suara dengan sistem noken, yaitu Yahukimo, Jayawijaya, Nduga, Mamberamo Tengah, Lanny Jaya, Tolikara, Puncak Jaya, Puncak, Paniai, Intan Jaya, Deiyai, dan Dogiyai.[21] Pengecualian diberikan kepada Kelurahan Wamena, Sinapuk, dan Sinakma di Kabupaten Jayawijaya; Kampung Kobakma dan Kelila di Mamberamo Tengah; serta Kampung Ovi, Langgalo, Bokon, Dura, Wadinalomi, Ekanom, Yorenime, Yogobak, Abua, Tepogi, Werme, dan Guma Game di Kabupaten Lanny Jaya, yang berarti bahwa daerah-daerah ini menggunakan sistem pemilu nasional.[22]

Pelaksanaan

Sistem noken pertama kali dituangkan ke dalam regulasi teknis dalam bentuk Keputusan KPU Papua No.01/KPTS/KPU Prov.030/2013, walaupun petunjuk teknis ini hanya menyebutkan bahwa noken dapat menggantikan kotak suara.[23] Kemudian, KPU dalam Keputusan Nomor 810/PL.02.6-Kpt/06/KPU/IV/2019 mendefinisikan sistem noken atau ikat sebagai:

suatu bentuk kesepakatan bersama atau aklamasi untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Papua, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota yang dilakukan oleh kelompok masyarakat adat sesuai nilai adat, tradisi, budaya, dan kearifan lokal masyarakat setempat.[21]

Ignatius Yordan Nugraha dari Universitas Hasselt mengungkapkan bahwa definisi ini tidak menjelaskan secara spesifik tata cara pelaksanaan sistem noken.[21] Menurut Cillian Nolan, memang tidak ada definisi umum untuk sistem noken, dan sebaiknya sistem ini dipahami sebagai "penyimpangan" dari praktik pemilihan umum nasional.[24] Akibat ketiadaan definisi umum, Cillian merasa bahwa banyak praktik-praktik yang bisa begitu saja diklaim sebagai bagian dari "sistem noken".[23]

Menurut antropolog Indonesia, Tito Panggabean, terdapat dua pola sistem noken yang umum dipraktikkan di wilayah Pegunungan Tengah Papua. Pola pertama adalah sistem big man (pria berwibawa). Pria berwibawa menjadi pemimpin bukan lewat warisan, tetapi dengan memenangkan persaingan melawan orang lain. Dalam sistem ini, pilihan diserahkan sepenuhnya kepada pria berwibawa sebagai bentuk ketaatan.[25] Pria berwibawa bisa mengambil semua surat suara masyarakatnya, mencoblos surat-surat suara tersebut, memasukkannya ke dalam noken, dan kemudian menyerahkannya kepada petugas KPPS, sementara masyarakat berkumpul di tempat pemungutan suara untuk menyaksikan hal tersebut. Ada pula pria berwibawa yang sekadar memberitahukan kepada penyelenggara pemilu jumlah suara yang diberikan kepada calon tertentu.[26] Menurut seorang imam Katolik asal Papua, Neles Tebay, pria berwibawa memiliki peran yang lebih kuat di wilayah Pegunungan Tengah Timur (atau wilayah La Pago), sehingga mereka cenderung memberikan suara yang bulat dalam pemilihan umum. Di wilayah Pegunungan Tengah Barat (atau wilayah Mee Pago), peran pria berwibawa tidak sebesar di wilayah La Pago, dan ia cenderung memberikan kebebasan kepada masyarakatnya untuk memilih.[27]

Sementara itu, pola kedua disebut "noken gantung". Dalam sistem ini, masyarakat bersama dengan pria berwibawa melakukan deliberasi untuk menentukan bagaimana mereka akan memilih dalam pemilihan umum. Berdasarkan hasil kesepakatan tersebut, pada hari pemilu, masyarakat akan hadir di tempat pemungutan suara.[25] Noken-noken akan digantung di kayu yang telah ditancapkan di tanah, atau bisa juga dikenakan oleh sejumlah individu.[28] Noken kemudian menjadi pengganti kotak suara. Jumlah noken yang digantung disesuaikan dengan jumlah calon, dan masing-masing noken mewakili satu calon. Biasanya setiap noken dilengkapi dengan nama dan gambar calon. Setelah itu, terdapat beberapa variasi metode pemungutan suara. Berdasarkan salah satu variasi, pemilih akan berbaris di hadapan noken yang mewakili calon pilihan mereka, dan petugas KPPS kemudian akan menghitung jumlah mereka. Berdasarkan variasi yang lain, pemilih akan memasukkan surat suara yang belum dicoblos ke dalam noken yang melambangkan calon pilihan mereka. Petugas KPPS kemudian akan mencoblos surat suara tersebut untuk mereka.[26] Menurut Cahyo Pamungkas, sistem noken gantung pernah digunakan di 51 distrik di Kabupaten Yahukimo.[29]

Neles Tebay menjelaskan bagaimana proses deliberasi berlangsung untuk sistem noken gantung. Setelah penetapan nama calon kepala daerah, anggota legislatif, atau presiden, anggota suku akan mulai berkumpul dan membahas bagaimana mereka akan memilih. Diskusi bisa dilangsungkan di berbagai tempat, seperti di rumah adat, halaman tempat ibadah, atau halaman rumah tertentu, dan pertemuan tersebut dikepalai oleh tokoh masyarakat. Mereka membagi informasi mengenai latar belakang masing-masing calon. Mereka juga membahas sumbangsih calon bagi wilayah mereka apabila calon berasal dari tempat yang sama. Pembahasan dilakukan hingga tercapai kesepakatan. Sebagai contoh, mereka bisa memutuskan untuk mengalokasikan suara kepada calon ini dan calon itu.[30] Menurut peneliti Pusat Studi Strategis dan Internasional Vidhyandika Djati Perkasa, pembagian suara dilakukan untuk menghindari konflik, terutama apabila calon-calon berasal dari kampung mereka atau kampung yang tidak jauh dari tempat mereka.[31]

Berkat adanya proses deliberasi, Cahyo Pamungkas berpendapat bahwa sistem noken melambangkan penerapan asas-asas demokrasi deliberatif.[32] Namun, pria berwibawa masih memainkan peran penting dalam proses deliberasi dan pencapaian konsensus, misalnya dengan menjanjikan kehidupan yang baik apabila mereka memilih calon tertentu. Pria berwibawa juga bisa mengintimidasi atau memaksa warganya untuk mengikuti pilihannya. Akibat posisi pria berwibawa yang mendominasi di masyarakatnya, Vidhyandika Djati Perkasa meragukan bahwa proses deliberasi yang berlangsung "murni" merupakan proses yang bebas bagi anggota suku.[33] Terkait dengan hal ini, Cillian Nolan mengamati bahwa belakangan ini unsur deliberasi dan pemungutan suara dengan menggunakan noken pada praktiknya sudah "menghilang".[34] Vidhyandika Djati Perkasa bahkan melaporkan adanya pengiriman hasil aklamasi lewat layanan pesan singkat (SMS) dengan dalih bahwa tempat pemungutan suara terlalu jauh untuk dijangkau warga.[35]

Konstitusionalitas

Gedung Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengakui konstitusionalitas sistem noken dalam perkara-perkaranya. Dalam Putusan Nomor 47-81/PHPU.A-VII/2009, seorang pendeta yang bernama Elion Numberi gagal terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah untuk Provinsi Papua. Ia mengklaim bahwa telah terjadi kecurangan di Kabupaten Yahukimo yang membuat saingannya, Paulus Yohanes Sumino, terpilih sebagai anggota. Untuk mendukung klaim ini, Elion membawa saksi-saksi yang mengklaim bahwa pemilu tidak pernah diselenggarakan di dua dari tiga daerah pemilihan di Yahukimo. MK menjawab bahwa pemilu di Yahukimo diadakan dengan sistem aklamasi yang disebut sistem noken.[36] MK kemudian menyatakan bahwa apabila aturan pemilihan umum di tingkat nasional dipaksakan kepada masyarakat Yahukimo, hal tersebut dapat menimbulkan konflik dan disintegrasi.[36][37][38][39] MK khawatir bahwa persaingan dalam pemilu dapat mengganggu keselarasan di masyarakat Yahukimo. Maka dari itu, MK meyakini bahwa cara yang realistis adalah dengan menerima sistem noken, tetapi pemilu tetap harus diadakan dengan baik. Mengingat MK menemukan bahwa telah terjadi kecurangan sistematis dan masif di Yahukimo, pada akhirnya MK memerintahkan pemilu ulang di daerah-daerah yang bermasalah.[40]

Kemudian, dalam Putusan Nomor 14/PHPU.D-XI/2013, calon yang kalah dalam pemilihan umum Gubernur Papua 2013, Habel Melkias Suwae, mengklaim bahwa keputusan KPU Papua untuk memperbolehkan penggunaan noken sebagai pengganti kotak suara adalah sebuah "konspirasi" untuk memenangkan calon lainnya, Lukas Enembe. Habel mengeluh bahwa kotak-kotak suara tidak pernah dikirim ke kampung-kampung, dan pemungutan suara di delapan belas kampung hanya diwakili oleh tiga kepala kampung. MK menjawab bahwa tuduhan "konspirasi" ini tidak beralasan. Selain itu, MK menegaskan bahwa keputusan KPU Papua didasarkan pada hukum adat yang berlaku di daerah setempat. Walaupun tidak diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pemerintahan Daerah, MK menyatakan bahwa Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menegaskan bahwa:[41]

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan hukum masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.[42]

Dengan demikian, MK menegaskan bahwa sistem noken merupakan bagian dari kesatuan-kesatuan hukum masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.[43] Putusan MK dalam perkara ini dikritik oleh pakar hukum Indonesia asal Australia, Simon Butt. Menurutnya, MK gagal menjelaskan mengapa sistem noken bisa dianggap memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.[39]

Sistem noken kembali menjadi isu pada saat pemilihan umum Presiden Indonesia 2014. Calon yang kalah, Prabowo Subianto, mengklaim telah terjadi kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif, termasuk di Provinsi Papua. Tim Prabowo menyatakan bahwa proses rekapitulasi tidak pernah diselenggarakan di berbagai kampung, dan suara langsung diberikan begitu saja kepada calon yang lain, Joko Widodo, tanpa pembahasan terlebih dahulu, sehingga Joko Widodo mendapatkan perolehan suara 100% di berbagai tempat pemungutan suara. Dalam Putusan Nomor 1/PHPU.PRES-XII/2014, MK menjawab bahwa sistem noken sejalan dengan UUD 1945. MK juga menegaskan bahwa perolehan 100% bukanlah hal yang aneh apabila sistem noken diterapkan, sehingga tidak dapat dijadikan bukti kecurangan. MK berpendapat bahwa "apapun hasil pemilihan dengan sistem noken/ikat semua pihak harus menerimanya sebab sistem pemilihan demikian telah diakui dan dijamin oleh konstitusi". Pada akhirnya, MK mendapati bahwa pemilu digelar di distrik-distrik dengan menggunakan sistem noken dan hasilnya juga telah didokumentasikan dengan baik oleh pihak penyelenggara.[44]

Dampak

Terhadap pelaksanaan dan hasil pemilu

Sistem noken berperan penting dalam memenangkan Lukas Enembe (gambar) pada pemilihan Gubernur Papua tahun 2013.

Akibat sistem noken, pemilihan umum sering kali tidak dilaksanakan secara fisik di lapangan, dan pencoblosan dilakukan oleh petugas KPPS. Tempat pemungutan suara juga tidak dibuka di berbagai tempat, dan kalaupun ada, pemilihan umum secara fisik sering kali hanya menjadi "tontonan" saja. Menurut laporan seorang saksi pemilu asal Jayapura, ia ingin mencoblos di Dekai, Yahukimo. Namun, sesampainya di tempat pemungutan suara, ia hanya melihat dua ruangan; di ruangan pertama, masyarakat sedang menyantap hidangan yang disiapkan oleh beberapa calon, sementara di ruangan lain anggota KPPS sedang melakukan pencoblosan untuk mereka. Ia tidak diizinkan untuk ikut mencoblos di tempat itu.[45]

Sistem noken berdampak terhadap tingkat partisipasi di wilayah yang mempraktikkannya. Dalam pemilihan Gubernur Papua tahun 2013, tingkat partisipasi di sembilan kabupaten yang mempraktikkan sistem noken tercatat sebesar 100%, sementara di Kota Jayapura dan Merauke hanya sekitar 60%. Sistem ini berperan penting dalam memenangkan Lukas Enembe pada pemilu tersebut. Akibat peningkatan jumlah pemilih secara drastis, dua per tiga dari jumlah suara yang diberikan pada pemilu tersebut berasal dari wilayah Pegunungan Tengah Papua, meskipun jumlah penduduk kawasan tersebut tidak lebih dari setengah populasi Provinsi Papua secara keseluruhan.[10] Dalam pemilihan umum legislatif tahun 2014, di kabupaten-kabupaten yang menggunakan sistem noken (kecuali Nabire dan Mimika), tingkat partisipasi juga tercatat sebesar 100%. Sebagai perbandingan, tingkat partisipasi di tingkat nasional tercatat sekitar 75%, sementara di wilayah pesisir Papua berkisar antara 80 hingga 90%. Akibat sistem noken, tingkat partisipasi Provinsi Papua menjadi jauh lebih tinggi dari tingkat nasional, yaitu sebesar 95%.[46]

Penerapan sistem noken juga memengaruhi persentase suara tidak sah. Dalam pemilu legislatif tahun 2014, tidak terdapat suara tidak sah sama sekali di tiga belas kabupaten yang menerapkan sistem noken, sementara di wilayah lainnya di Papua persentase suara tidak sah diperkirakan sekitar 8,6%. Provinsi Papua juga menjadi provinsi dengan persentase suara tidak sah yang paling rendah, yaitu 3%.[46] Selain itu, jumlah daftar pemilih tetap juga meningkat secara drastis sejak MK mengakui sistem noken. Pada periode 2009–2014, jumlah daftar pemilih tetap Provinsi Papua meningkat dari sekitar dua juta menjadi 3,2 juta, walaupun pertumbuhan penduduk Papua tidak secepat itu. Peningkatan paling besar terlihat di wilayah Pegunungan Tengah.[24] Pada tahun 2012, KPU Papua menetapkan bahwa seluruh 32 distrik di Kabupaten Nduga akan memiliki daftar pemilih tetap yang sama, yaitu 4.587 orang, untuk "menghindari konflik".[10] Untuk pemilihan Gubernur tahun 2013, KPU Papua menetapkan daftar pemilih tetap untuk Mimika sebesar 223.409 pemilih, meskipun hasil sensus tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk kabupaten tersebut hanya 182.001 jiwa.[47]

Pemilihan umum Presiden Indonesia di Kampung Mewut, Kabupaten Puncak Jaya, tahun 2014
09 Juli 2014 (2014-07-09)
Pemilih terdaftar1626
Kehadiran pemilih100%
Kandidat
 
Calon Joko Widodo Prabowo Subianto
Partai PDI-P Gerindra
Aliansi Koalisi Indonesia Hebat Koalisi Merah Putih
Wakil Jusuf Kalla Hatta Rajasa
Suara popular 1626 0
Persentase 100% 0%

Sistem noken juga berdampak terhadap hasil pemilu. Dalam pemilu legislatif tahun 2014, meskipun Partai Demokrat mengalami penurunan suara secara signifikan bila dibandingkan dengan pemilu tahun 2009, partai ini memperoleh hasil terbaiknya di Provinsi Papua (yang saat itu dipimpin oleh seorang gubernur kader Partai Demokrat).[46] Hasil pemilu juga menjadi "ganjil" akibat sistem noken. Sering kali calon dapat memperoleh 100% suara di daerah tertentu. Sebagai contoh, di Kampung Mewut di Kabupaten Puncak Jaya, semua pemilih memberikan suaranya kepada Joko Widodo dalam pemilihan umum Presiden Indonesia tahun 2014, sehingga Joko Widodo memperoleh kemenangan 100% dengan tingkat partisipasi 100%.[21] Pada saat yang sama, lawan Joko Widodo, Prabowo Subianto, memperoleh 100% suara di Kampung Fawi, Puncak Jaya.[43]

Noken dianggap memicu sistem broker, yang berarti bahwa kepala suku dapat menentukan bagaimana seluruh masyarakatnya akan memilih.[48] Akibatnya, perolehan suara calon cenderung terkonsentrasi di wilayah tertentu. Misalnya, pada tahun 2007, anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk Daerah Pemilihan Papua, Tony Wardoyo, menyatakan dukungannya terhadap pemekaran Kabupaten Puncak dari Puncak Jaya; pemekaran ini kemudian diresmikan pada tahun 2008. Untuk pemilihan umum legislatif tahun 2014, sebagai calon dari Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan, ia memperoleh 86% suara di Kabupaten Puncak, yang saat itu dikepalai oleh seorang bupati dari partai yang sama. Sementara itu, di kabupaten lain di Daerah Pemilihan Papua, perolehan suaranya tidak terlalu besar; secara keseluruhan, 98,9% suara yang diperoleh Tony pada pemilu tersebut berasal dari Kabupaten Puncak. Secara umum, calon-calon yang berhasil memenangkan pemilihan legislatif di Provinsi Papua mendapatkan sebagian besar suaranya dari satu (atau paling banyak dua) kabupaten yang mempraktikkan sistem noken.[49]

Akibat sistem broker ini, bupati menjadi tokoh yang penting dalam pemilihan umum karena mereka memiliki pengaruh yang besar di wilayahnya. Pengaruh mereka ditopang oleh pembayaran uang, kendali atas anggaran daerah (termasuk anggaran KPU untuk kabupaten yang bersangkutan), dan janji patronistik (seperti janji untuk membangun jalan atau infrastruktur). Dengan ini, bupati dapat menekan kepala suku untuk memberikan suara kepada calon tertentu. Bupati juga bisa melakukan intervensi dalam proses rekapitulasi.[50] Selain bupati, Gubernur Papua dan elite-elite politik lainnya juga bisa memanfaatkan sistem noken untuk kepentingan mereka. Misalnya, dalam pemilihan umum Bupati Intan Jaya 2017, Gubernur Lukas Enembe menekan kepala-kepala suku untuk memilih calon yang ia inginkan. Beberapa kepala suku menolak dan memulai perang melawan suku yang mendukung calon pilihan Gubernur.[51]

Sistem noken juga mengakibatkan maraknya politik uang.[52] Dilaporkan bahwa sebelum pemilu di Wamena, semua anjungan tunai mandiri sudah kehabisan uang kas tiga hari sebelum hari pemilu. Pada saat pemilu, tempat pemungutan suara sudah ditutup pada pukul 9.00 atau bahkan tidak pernah dibuka. Di lobi hotel setempat, para calon atau perwakilan mereka melakukan tawar-menawar harga dengan penyelenggara pemilu; harga dasarnya adalah lima puluh juta rupiah untuk 5.000 suara.[53] Dengan demikian, proses "rekapitulasi" berubah menjadi perundingan mengenai siapa yang harus memperoleh suara terbanyak.[54]

Terhadap hak pilih individu

Dalam sistem noken, anggota suku harus mengikuti keputusan pria berwibawa atau hasil deliberasi bersama (tergantung pada variasi sistemnya).[55] Sebagai gantinya, anggota suku mendapatkan perlindungan (patronasi). Akibatnya, muncul kritik bahwa sistem noken mengorbankan hak pilih individu.[56] Vidhyandika Djati Perkasa juga berpendapat bahwa sistem ini mendorong para kepala suku untuk "menindas" rakyatnya dan tidak memberikan pendidikan politik yang positif kepada warga Papua.[57]

Menurut Simon Butt, sistem noken bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemilihan umum dilaksanakan "secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil". Hal ini dikarenakan pilihan anggota suku sudah ditentukan dari sebelumnya, dan apabila diadakan pemilu, pemilihan ditonton banyak orang.[39] Akibatnya, anggota suku yang "menyimpang" dari hasil aklamasi dapat dengan mudah diidentifikasi.[58] Oleh sebab itu, sistem noken tidak bisa dianggap "bebas" dan "rahasia".[39][59]

Terhadap perdamaian

Salah satu alasan MK mempertahankan sistem noken adalah demi mencegah konflik dan disintegrasi.[36] Hakim MK Achmad Sodiki menjelaskan bahwa dalam memutuskan soal noken, terdapat dua nilai yang "dipertaruhkan", yakni "nilai kepastian hukum dan nilai harmoni masyarakat". Menurutnya, mengukuhkan kepastian hukum "dapat menimbulkan kehidupan yang tidak harmonis masyarakat dan tidak mendatangkan kemanfaatan bagi masyarakat Yahukimo." Ia juga mengklaim bahwa MK "melakukan pendekatan yang integral dengan mempertimbangkan nilai-nilai hukum lain yang hidup dalam masyarakat, yaitu harmoni, manfaat, dan stabilitas."[38]

Namun, penalaran MK dipertentangkan oleh Vidhyandika Djati Perkasa. Ia menyatakan bahwa tidak ada bukti sistem noken telah mencegah konflik dan memelihara keselarasan. Sebaliknya, Vidhyandika mengklaim bahwa sistem noken memperburuk konflik. Ia menjelaskan bahwa dalam sistem pria berwibawa, persaingan memicu dendam, pembalasan dendam, dan perang suku. Posisi pria berwibawa tidaklah aman dan ia bisa sewaktu-waktu dijatuhkan oleh pihak lain. Dalam hal ini, sistem noken dianggap bisa memperburuk ketegangan dan konflik antaretnis akibat manipulasi, kecurangan, dan intrik-intrik politik yang dilakukan atas dasar etnis.[60] Vidhyandika juga menegaskan bahwa MK "perlu mengakhiri romantisasi kehidupan desa".[61]

Lihat pula

Keterangan

  1. ^ Kutipan asli: "If it is an invention by the Indonesian government, one could suspect that a further strengthening of that collective voting system threatens to reproduce the highly manipulated so-called ‘Act of Free Choice’ of 1969, popularly often called the ‘Act of No Choice’ (...)." Lihat Bräuchler 2014, hlm. 51

Catatan kaki

  1. ^ Nugraha 2021, hlm. 256-257.
  2. ^ a b Bräuchler 2014, hlm. 36- 37.
  3. ^ a b Pamungkas 2017, hlm. 223.
  4. ^ Stewart & Strathern 1997, hlm. 4.
  5. ^ Bräuchler 2014, hlm. 46-47.
  6. ^ Ell dkk. 2013, hlm. 21.
  7. ^ Bräuchler 2014, hlm. 44.
  8. ^ Ell dkk. 2013, hlm. 4-5.
  9. ^ Nugraha 2021, hlm. 260.
  10. ^ a b c Nolan 2014.
  11. ^ Pamungkas 2017, hlm. 226.
  12. ^ a b Ell dkk. 2013, hlm. 23.
  13. ^ Ell dkk. 2013, hlm. 22.
  14. ^ Nolan 2016, hlm. 402-403.
  15. ^ a b Nugraha 2021, hlm. 264.
  16. ^ Bräuchler 2014, hlm. 50.
  17. ^ a b Bräuchler 2014, hlm. 50-51.
  18. ^ Pamungkas 2017, hlm. 229.
  19. ^ a b Bräuchler 2014, hlm. 51.
  20. ^ a b Pamungkas 2017, hlm. 224.
  21. ^ a b c d Nugraha 2021, hlm. 261.
  22. ^ Suwandi 2019.
  23. ^ a b Nolan 2016, hlm. 404.
  24. ^ a b Nolan 2016, hlm. 402.
  25. ^ a b Panggabean 2014.
  26. ^ a b Perkasa 2016, hlm. 80.
  27. ^ Pamungkas 2017, hlm. 228.
  28. ^ Nugraha 2021, hlm. 262.
  29. ^ Pamungkas 2017, hlm. 227.
  30. ^ Tebay 2014.
  31. ^ Perkasa 2016, hlm. 81.
  32. ^ Pamungkas 2017, hlm. 232.
  33. ^ Perkasa 2016, hlm. 85-86.
  34. ^ Nolan 2016, hlm. 403.
  35. ^ Perkasa 2016, hlm. 80-81.
  36. ^ a b c Nugraha 2021, hlm. 267.
  37. ^ Wiratraman & Shah 2019, hlm. 136.
  38. ^ a b Sodiki 2009, hlm. 4.
  39. ^ a b c d Butt 2015, hlm. 170.
  40. ^ Nugraha 2021, hlm. 267-268.
  41. ^ Nugraha 2021, hlm. 268-269.
  42. ^ Sodiki 2009, hlm. 6.
  43. ^ a b Nugraha 2021, hlm. 269.
  44. ^ Nugraha 2021, hlm. 269-270.
  45. ^ Nolan 2016, hlm. 410-411.
  46. ^ a b c Nolan 2016, hlm. 404-405.
  47. ^ Institute for Policy Analysis of Conflict 2013, hlm. 8 & catatan kaki #42.
  48. ^ Nolan 2016, hlm. 405.
  49. ^ Nolan 2016, hlm. 407-408.
  50. ^ Nolan 2016, hlm. 409.
  51. ^ Pamungkas 2017, hlm. 228-229.
  52. ^ Perkasa 2016, hlm. 83.
  53. ^ Nolan 2016, hlm. 411.
  54. ^ Nolan 2016, hlm. 412.
  55. ^ Nugraha 2021, hlm. 263.
  56. ^ Nolan 2016, hlm. 414.
  57. ^ Perkasa 2016, hlm. 87.
  58. ^ Perkasa 2016, hlm. 86.
  59. ^ Nugraha 2021, hlm. 275.
  60. ^ Perkasa 2016, hlm. 86-87.
  61. ^ Perkasa 2016, hlm. 88.

Daftar pustaka