Lompat ke isi

Suku Batak

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 22 Oktober 2024 06.36 oleh 27christian11 (bicara | kontrib) (Budaya, Kekerabatan, dan Sistem Kemasyarakatan: Foto kuburan Batak, bukan rumah Batak.)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Suku Batak
Toba: ᯆᯖᯂ᯲
Karo: ᯆᯗᯂ᯳
Simalungun: ᯅᯖᯃ᯳
Pakpak-Dairi: ᯅᯗᯂ᯲
Angkola-Mandailing: ᯅᯖᯄ᯦᯲
Daerah dengan populasi signifikan
Sumatera Utara5.785.716
Riau691.399
Jawa Barat467.438
DKI Jakarta326.645
Sumatera Barat222.549
Kepulauan Riau208.678
Aceh147.259
Banten139.259
Jambi106.249
Jawa Timur56.339
Lampung52.311
Sumatera Selatan45.709
Kalimantan Timur37.145
Bengkulu32.972
Kalimantan Barat26.486
Jawa Tengah24.357
Kalimantan Selatan12.408
Kalimantan Tengah12.324
D.I. Yogyakarta9.858
Bangka Belitung9.452
Malaysia Malaysia5.400
Bahasa
AngkolaKaroMandailingPakpakSimalungunToba
Agama
Protestan, Islam, Katolik, Parmalim[1]
Kelompok etnik terkait
Alas, Kluet, Singkil, Gayo, Nias

Suku Batak merupakan kelompok etnik terbesar ketiga di Indonesia berdasarkan sensus dari Badan Pusat Statistik pada tahun 2010. Nama ini merupakan sebuah istilah kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari provinsi Sumatera Utara. Suku bangsa yang termasuk sebagai Batak adalah Angkola, Karo, Mandailing, Pakpak-Dairi, Simalungun, dan Toba.[a][2]

Sejarah

Orang Batak adalah penutur bahasa Austronesia, tetapi tidak diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di Sumatra Utara. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan telah berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu pada zaman batu muda (Neolitikum).[3] Karena hingga sekarang belum ada artefak Neolitikum (Zaman Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak, maka dapat diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatera Utara pada zaman logam.[butuh rujukan]

Pada abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang bernama Barus, yang terletak di pesisir barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kapur barus yang diusahakan oleh petani-petani dari pedalaman. Kapur barus dari tanah Batak bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir barat Sumatra.[4] Sebagian pedagang Tamil itu ada yang berpindah ke dataran tinggi Karo dan menjadi cikal bakal beberapa marga Karo.[5] Pada masa berikutnya, perdagangan kapur barus mulai dikuasai oleh pedagang Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat Sumatera Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam, hingga Natal.[6]

Berdasarkan penuturan dari seorang kepala suku di Silindung saat kunjungan tiga misionaris dari Baptist Missionary Society, yaitu Nathaniel Ward, Evans Meers, dan Richard Burton pada tahun 1824, orang-orang Batak dipercaya merupakan kelompok pertama yang menetap di Pulau Sumatra. Tradisi mengenai negeri asal mereka tidak dapat diketahui lagi, selain bahwa negeri itu berada jauh di timur samudra. Awalnya, orang-orang Batak itu mendarat di sekitar wilayah timur dari Danau Toba. Mereka akhirnya bermukim di daerah tepian danau karena telah mendapatkan kenyamanan yang di ada di daerah itu. Setelah penduduk bertambah banyak, beberapa di antara mereka berpindah ke daerah Silindung, sebagian berpindah ke daerah Dairi di utara, dan selebihnya ke daerah Angkola di selatan. Orang-orang Batak di Angkola ini kemudian berangsur-angsur berpindah ke daerah Minangkabau. Mereka percaya bahwa sultan dari Kerajaan Pagaruyung merupakan anak ketiga dari Alexander Agung.[7]

Sebelum kedatangan Belanda, kepala-kepala suku berada di bawah pemerintahan Kerajaan Pagaruyung, dan mereka mengirimkan upeti secara teratur kepada sultan melalui perantaranya di Barus.[8] Setelah Belanda berhasil menaklukkan pasukan Padri, wilayah Tapanuli dimasukkan ke dalam bagian administrasi Sumatra's Westkust yang berpusat di Padang.[9]

Identitas Batak

Identitas Batak populer dalam sejarah Indonesia modern setelah bergabungnya para pemuda dari Angkola, Mandailing, Karo, Pakpak, Simalungun, dan Toba dalam organisasi Jong Batak di tahun 1926.

Organisasi ini memiliki satu kesepahaman:

Bahasa Batak kita begitu kaya akan puisi, pepatah, dan pribahasa yang mengandung satu dunia kebijaksanaan tersendiri. Bahasanya sama dari utara ke selatan, tapi terbagi jelas dalam berbagai dialek. Kita memiliki budaya sendiri, aksara sendiri, seni bangunan yang tinggi mutunya yang sepanjang masa tetap membuktikan bahwa kita mempunyai nenek moyang yang perkasa. Sistem marga yang berlaku bagi semua kelompok penduduk negeri kita menunjukkan adanya tata negara yang bijak. Kita berhak mendirikan sebuah persatuan Batak yang khas, yang dapat membela kepentingan kita dan melindungi budaya kuno itu [10]

R.W Liddle mengatakan, bahwa sebelum abad ke-20 di Sumatra bagian utara tidak terdapat kelompok etnis sebagai satuan sosial yang koheren. Menurutnya sampai abad ke-19, interaksi sosial di daerah itu hanya terbatas pada hubungan antar individu, antar kelompok kekerabatan, atau antar kampung. Dan hampir tidak ada kesadaran untuk menjadi bagian dari satuan-satuan sosial dan politik yang lebih besar.[11] Pendapat lain mengemukakan, bahwa munculnya kesadaran mengenai sebuah keluarga besar Batak baru terjadi pada zaman kolonial.[12] Dalam disertasinya J. Pardede mengemukakan bahwa istilah "Tanah Batak" dan "rakyat Batak" diciptakan oleh pihak asing. Sebaliknya, Siti Omas Manurung, seorang istri dari putra pendeta Batak Toba menyatakan, bahwa sebelum kedatangan Belanda, semua orang baik Karo maupun Simalungun mengakui dirinya sebagai Batak, dan Belanda-lah yang telah membuat terpisahnya kelompok-kelompok tersebut. Sebuah mitos yang memiliki berbagai macam versi menyatakan, bahwa Pusuk Buhit, salah satu puncak di barat Danau Toba, adalah tempat "kelahiran" bangsa Batak.[13]

Terbentuknya masyarakat Batak yang tersusun dari berbagai macam marga, sebagian disebabkan karena adanya migrasi keluarga-keluarga dari wilayah lain di Sumatra. Penelitian penting tentang tradisi Karo dilakukan oleh J.H Neumann, berdasarkan sastra lisan dan transkripsi dua naskah setempat, yaitu Pustaka Kembaren dan Pustaka Ginting. Menurut Pustaka Kembaren, daerah asal marga Kembaren dari Pagaruyung di Minangkabau.[14] Selain itu marga Nasution di Mandailing juga dipercaya merupakan keturunan Batara Payung Tuanku Raja Nan Sakti, putra Sultan Alamsyah Siput Aladin, raja Pagaruyung.[15][16] Orang Tamil diperkirakan juga menjadi unsur pembentuk masyarakat Karo. Hal ini terlihat dari banyaknya nama marga Karo yang diturunkan dari Bahasa Tamil. Orang-orang Tamil yang menjadi pedagang di pantai barat, lari ke pedalaman Sumatra akibat serangan pasukan Minangkabau yang datang pada abad ke-14 untuk menguasai Barus.[17]

Sebaran di wilayah Indonesia

Kabupaten-kabupaten di Sumatera Utara yang diwarnai, memiliki mayoritas penduduk Batak.
Ulos dan Ruma Bolon.

Orang Batak kebanyakan berada di Sumatera Utara, dan menjadi salah satu suku asli provinsi tersebut. Berdasarkan data Sensus Penduduk Indonesia 2010, jumlah suku Batak sebanyak 8.446.969 jiwa, atau 3,58% dari seluruh penduduk Indonesia, dan berada di urutan ke tiga, setelah suku Jawa dan Sunda. Suku Batak mencakup semua sub-suku, yakni Angkola, Karo, Mandailing, Pakpak, Simalungun, dan Toba. Berikut ini jumlah orang Batak di Indonesia menurut provinsi berdasarkan Sensus 2010:[18]

No Provinsi Jumlah 2010 %
1 Sumatera Utara 5.785.716 68,49%
2 Riau 691.399 8,19%
3 Jawa Barat 467.438 5,53%
4 DKI Jakarta 326.645 3,87%
5 Sumatera Barat 222.549 2,63%
6 Kepulauan Riau 208.678 2,47%
7 Aceh 147.295 1,74%
8 Banten 139.259 1,65%
9 Jambi 106.249 1,26%
10 Jawa Timur 56.339 0,67%
11 Lampung 52.311 0,62%
12 Sumatera Selatan 45.709 0,54%
13 Kalimantan Timur 37.145 0,44%
14 Bengkulu 32.972 0,39%
15 Provinsi lain 127.265 1,51%
Indonesia 8.446.969 100%

Catatan: Data di Kalimantan Timur masih bergabung dengan Kalimantan Utara.

Agama

Kepercayaan

Sebuah kalender Batak yang terbuat dari tulang, dari abad ke-20. Dimiliki oleh Museum Anak di Indianapolis.

Sebelum suku Batak menganut agama Kristen dan Islam, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi terhadap Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaannya terwujud dalam Debata Natolu. [butuh rujukan] Ajaran ini disebut Ugamo Malim dan penghayatnya dikenal sebagai Parmalim.

Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak Toba mengenal tiga konsep, yaitu:[butuh rujukan]

  • Tondi: adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi didapat sejak seseorang di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.[butuh rujukan]
  • Sahala: adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.[butuh rujukan]
  • Begu: adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.

Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam pustaha. Walaupun sudah menganut agama Kristen dan berpendidikan tinggi, tetapi orang Batak belum mau meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati sanubari mereka.[19]

Penyebaran agama

Masuknya Islam

Dalam kunjungannya pada tahun 1292, Marco Polo melaporkan bahwa masyarakat Batak sebagai orang-orang "liar" dan tidak pernah terpengaruh oleh agama-agama dari luar. Meskipun Ibn Battuta, mengunjungi Sumatera Utara pada tahun 1345 dan mengislamkan Sultan Al-Malik Al-Dhahir, masyarakat Batak tidak pernah mengenal Islam sebelum disebarkan oleh pedagang Minangkabau. Bersamaan dengan usaha dagangnya, banyak pedagang Minangkabau yang melakukan kawin-mawin dengan perempuan Batak. Hal ini secara perlahan telah meningkatakan pemeluk Islam di tengah-tengah masyarakat Batak.[6] Pada masa Perang Paderi di awal abad ke-19, pasukan Minangkabau menyerang tanah Batak dan melakukan pengislaman besar-besaran atas masyarakat Mandailing dan Angkola.[20] Kerajaan Aceh di utara, juga berperan dalam mengislamkan sebagian masyarakat Karo dan Pakpak. Sementara Simalungun banyak terkena pengaruh Islam dari masyarakat Melayu di pesisir Sumatra Timur

Pada tahun 1824, dua misionaris Baptist asal Inggris, Richard Burton dan Nathaniel Ward berjalan kaki dari Sibolga menuju pedalaman Batak.[21] Setelah tiga hari berjalan, mereka sampai di dataran tinggi Silindung dan menetap selama dua minggu di pedalaman. Dari penjelajahan ini, mereka melakukan observasi dan pengamatan langsung atas kehidupan masyarakat Batak. Pada tahun 1834, kegiatan ini diikuti oleh Henry Lyman dan Samuel Munson dari Dewan Komisaris Amerika untuk Misi Luar Negeri.[22]

Pada tahun 1850, Dewan Injil Belanda menugaskan Herman Neubronner van der Tuuk untuk menerbitkan buku tata bahasa dan kamus bahasa Batak - Belanda. Hal ini bertujuan untuk memudahkan misi-misi kelompok Kristen Belanda dan Jerman berbicara dengan masyarakat Toba dan Simalungun yang menjadi sasaran pengkristenan mereka.[19]

Misionaris pertama asal Jerman tiba di lembah sekitar Danau Toba pada tahun 1861, dan sebuah misi pengkristenan dijalankan pada tahun 1881 oleh Dr. Ludwig Ingwer Nommensen. Kitab Perjanjian Baru untuk pertama kalinya diterjemahkan ke Bahasa Batak Toba oleh Nommensen pada tahun 1869 dan penerjemahan Kitab Perjanjian Lama diselesaikan oleh P. H. Johannsen pada tahun 1891. Teks terjemahan tersebut dicetak dalam huruf latin di Medan pada tahun 1893. Menurut H. O. Voorma, terjemahan ini tidak mudah dibaca, agak kaku, dan terdengar aneh dalam bahasa Batak.[23]

Berikutnya, misi Katolik di Tanah Batak terhitung sejak Pastor Misionaris pertama yakni Pastor Sybrandus van Rossum, OFM. Cap., masuk ke jantung tanah Batak, yakni Balige tanggal 5 Desember 1934. Masyarakat Toba, Karo, Simalungun, Pakpak, dan sebagian Angkola menyerap agama Kristen dengan cepat, dan pada awal abad ke-20 telah menjadikan Kristen sebagai identitas budaya.[24] Pada masa ini merupakan periode kebangkitan kolonialisme Hindia Belanda, dimana banyak orang Batak yang sudah tak lagi melakukan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial. Perlawanan secara gerilya yang dilakukan oleh orang-orang Batak Toba berakhir pada tahun 1907, setelah pemimpin kharismatik mereka, Sisingamangaraja XII wafat.[25]

Gereja di Tanah Batak

Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) telah berdiri di Balige pada bulan September 1917. Pada akhir tahun 1920-an, sebuah sekolah perawat memberikan pelatihan perawatan kepada bidan-bidan disana. Kemudian pada tahun 1941, Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) didirikan.[26]

Misi Katolik masuk ke tanah Batak setelah Zending Protestan berada di sana selama 73 tahun. Daerah-daerah yang padat penduduknya serta daerah-daerah yang subur sudah menjadi “milik” Protestan. Menurut Sybrandus van Rossum dalam tulisannya berjudul “Matahari Terbit di Balige” bahwa pada tahun 1935 orang Batak yang sudah dibaptis di Protestan mencapai lebih kurang 450.000 orang. Lembaga pendidikan dan kesehatan sudah berada di tangan Zending. Zending juga sudah mempunyai kader-kader yang tangguh baik dalam masyarakat maupun dalam pemerintahan. Dalam situasi seperti itulah misi Katolik masuk ke tanah Batak.

Budaya, Kekerabatan, dan Sistem Kemasyarakatan

Bendera yang digunakan oleh suku Batak.

Kekerabatan

Laki-laki dan perempuan Batak Toba.

Kekerabatan adalah menyangkut hubungan hukum antar orang dalam pergaulan hidup. Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak ada.[butuh rujukan]

Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan adat adalah ikatan sedarah dalam marga, kemudian marga. Dikarenakan tradisi Batak bersifat dinamis yang sering kali disesuaikan dengan waktu dan tempat, hal ini berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi antar daerah.[butuh rujukan]

Adanya falsafah dalam perumpamaan Bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul, merupakan suatu filosofi agar kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga, karena merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang pertama dicari adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan dalam pelaksanaan adat.[butuh rujukan]

Falsafah dan Sistem Kemasyarakatan

Masyarakat Batak memiliki falsafah, asas, sekaligus sebagai struktur dalam sistem kemasyarakatan yakni Dalihan Na Tolu. Berikut penyebutan Dalihan Na Tolu menurut keenam puak Batak:[butuh rujukan]

  1. Dalihan Na Tolu (Batak Toba):
    1. Somba Marhula-hula
    2. Manat Mardongan Tubu
    3. Elek Marboru
  2. Dalian Na Tolu (Batak Angkola dan Mandailing):
    1. Hormat Marmora
    2. Manat Markahanggi
    3. Elek Maranak Boru
  3. Tolu Sahundulan (Batak Simalungun):
    1. Martondong Ningon Hormat, Sombah
    2. Marsanina Ningon Pakkei, Manat
    3. Marboru Ningon Elek, Pakkei
  4. Rakut Sitelu (Batak Karo):
    1. Nembah Man Kalimbubu
    2. Mehamat Man Sembuyak
    3. Nami-nami Man Anak Beru
  5. Daliken Sitelu (Batak Pakpak):
    1. Sembah Merkula-kula
    2. Manat Merdengan Tubuh
    3. Elek Marberru
  • Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari istri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak) sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).[butuh rujukan]
  • Dongan Tubu/Hahanggi disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya kadang-kadang saling gesek. Namun, pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.[butuh rujukan]
  • Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang mengambil istri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai 'parhobas' atau pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru.[butuh rujukan]

Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifat kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi Hulahula, juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual.[butuh rujukan]

Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku 'raja'. Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raja ni Dongan Tubu dan Raja ni Boru.[butuh rujukan]

Ritual kanibalisme

Laskar Batak

Ritual kanibalisme telah terdokumentasi dengan baik di kalangan orang Batak, yang bertujuan untuk memperkuat tondi pemakannya. Secara khusus, darah, jantung, telapak tangan, dan telapak kaki dianggap sebagai kaya tondi.[butuh rujukan]

Dalam memoir Marco Polo yang sempat melakukan ekspedisi di pesisir timur Sumatra dari bulan April sampai September 1292, menyebutkan bahwa ia berjumpa dengan orang yang menceritakan akan adanya masyarakyat pedalaman yang disebut sebagai "pemakan manusia".[27] Dari sumber-sumber sekunder, Marco Polo mencatat cerita tentang ritual kanibalisme di antara masyarakat "Battas". Walau Marco Polo hanya tinggal di wilayah pesisir, dan tidak pernah pergi langsung ke pedalaman untuk memverifikasi cerita tersebut, tetapi dia bisa menceritakan ritual tersebut.[butuh rujukan]

Niccolò Da Conti (1395–1469), seorang Venesia yang menghabiskan sebagian besar tahun 1421 di Sumatra, dalam perjalanan panjangnya untuk misi perdagangan di Asia Tenggara (1414–1439), mencatat kehidupan masyarakat disana. Dia menulis sebuah deskripsi singkat tentang penduduk Batak: "Dalam bagian pulau, disebut Batech, masyarakatnya hidup dengan berperang terus-menerus kepada tetangga mereka ".[28][29] Hal yang sama juga dicatat oleh William Marsden dalam bukunya History of Sumatra, yang menyatakan bahwa pedagang Minangkabau menjual senjata yang dibuat di Salimpaung kepada masyarakat di utara yang suka berperang.[30]

Kunjungan yang sama oleh Nathan Ward, Meers, dan Burton pada tahun 1828 mencatat dalam jurnalnya bahwa tindakan kanibalisme terjadi bukan karena kekurangan makanan, selera yang aneh, dendam pribadi, takhayul ataupun kehormatan militer. Kebiasaan kanibalisme ini lebih sebagai bentuk penghormatan kepada keadilan di tengah-tengah masyarakat dan amarah kepada pelaku kriminal.[31] Pendapat ini diambil karena pada sistem hukum suku Batak pada masa itu memiliki hukuman kanibalisme pada pelaku kriminal. Beberapa contoh yang mereka ketahui ialah orang yang ketahuan melakukan perampokan akan dibunuh secara publik dengan pisau atau kancing sumbu yang nanti akan dimakan secara ramai-ramai. Untuk pria yang berselingkuh, maka dia akan dimakan dengan memotong bagian tubuhnya sepotong-sepotong tanpa dibunuh terlebih dahulu. Para tawanan perang dan pria yang mati saat perang akan dimakan ramai-ramai, kecuali bila hanya dua desa saja yang berperang. Pada kunjungan ini, mereka mendengar bahwa 20 orang telah dimakan dalam satu hari dan tengkoraknya disimpan. Orang-orang tersebut merupakan penduduk yang tinggal di sekitar pinggir pantai yang sering menjarah para penumpang kapal yang mereka anggap sudah keterlaluan.[32]

Thomas Stamford Raffles pada tahun 1820 mempelajari Batak dan ritual mereka, serta undang-undang mengenai konsumsi daging manusia, menulis secara detail tentang pelanggaran yang dibenarkan.[33] Raffles menyatakan bahwa: "Suatu hal yang biasa dimana orang-orang memakan orang tua mereka ketika terlalu tua untuk bekerja, dan untuk kejahatan tertentu penjahat akan dimakan hidup-hidup".. "daging dimakan mentah atau dipanggang, dengan kapur, garam dan sedikit nasi".[34]

Para dokter Jerman dan ahli geografi Franz Wilhelm Junghuhn, mengunjungi tanah Batak pada tahun 1840-1841. Junghuhn mengatakan tentang ritual kanibalisme di antara orang Batak (yang ia sebut "Battaer"). Junghuhn menceritakan bagaimana setelah penerbangan berbahaya dan lapar, ia tiba di sebuah desa yang ramah. Makanan yang ditawarkan oleh tuan rumahnya adalah daging dari dua tahanan yang telah disembelih sehari sebelumnya.[35] Namun hal ini terkadang dibesar-besarkan dengan maksud untuk menakut-nakuti pihak yang bermaksud menjajah dan/atau sesekali agar mendapatkan pekerjaan baik sebagai tukang pundak bagi pedagang maupun sebagai tentara bayaran bagi suku-suku pesisir yang diganggu oleh bajak laut.[36]

Oscar von Kessel mengunjungi Silindung pada tahun 1840-an, dan pada tahun 1844 mungkin orang Eropa pertama yang mengamati ritual kanibalisme Batak di mana suatu pezina dihukum dan dimakan hidup-hidup. Menariknya, terdapat deskripsi paralel dari Marsden untuk beberapa hal penting, von Kessel menyatakan bahwa kanibalisme dianggap oleh orang Batak sebagai perbuatan berdasarkan hukum dan aplikasinya dibatasi untuk pelanggaran yang sangat sempit yakni pencurian, perzinaan, mata-mata, atau pengkhianatan. Garam, cabe merah, dan jeruk nipis harus diberikan oleh keluarga korban sebagai tanda bahwa mereka menerima putusan masyarakat dan tidak memikirkan balas dendam.[37]

Ida Pfeiffer mengunjungi Batak pada bulan Agustus 1852, dan meskipun dia tidak mengamati kanibalisme apapun, dia diberitahu bahwa: "Tahanan perang diikat pada sebuah pohon dan dipenggal sekaligus, tetapi darah secara hati-hati diawetkan untuk minuman, dan kadang-kadang dibuat menjadi semacam puding dengan nasi. Tubuh kemudian didistribusikan; telinga, hidung, dan telapak kaki adalah milik eksklusif raja, selain klaim atas sebagian lainnya. Telapak tangan, telapak kaki, daging kepala, jantung, serta hati, dibuat menjadi hidangan khas. Daging pada umumnya dipanggang serta dimakan dengan garam. Para perempuan tidak diizinkan untuk mengambil bagian dalam makan malam publik besar ".[38]

Pada 1890, pemerintah kolonial Belanda melarang kanibalisme di wilayah kendali mereka.[39] Rumor kanibalisme Batak bertahan hingga awal abad ke-20, dan tampaknya kemungkinan bahwa adat tersebut telah jarang dilakukan sejak tahun 1816. Hal ini dikarenakan besarnya pengaruh agama pendatang dalam masyarakat Batak.[40]

Menurut Franz Wilhelm Junghuhn, dalam bukunya yang berjudul Die Battaländer auf Sumatra, kemungkinan ritual kanibalisme suku Batak hanyalah kabar angin yang ingin menakuti Belanda agar tidak berani memasuki tanah Batak.

Tarombo

Silsilah atau tarombo merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak tersesat (nalilu). Orang Batak diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.[butuh rujukan]

Aksara Batak

Aksara dasar (ina ni surat) dalam tulisan Bahasa Batak merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/. Terdapat 19 aksara dasar yang dimiliki semua varian aksara Batak, sementara beberapa aksara dasar yang hanya digunakan pada varian tertentu. Bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:

Ina ni Surat
a ha ka ba pa na wa ga ja da ra ma ta sa ya nga la nya ca nda mba i u
Karo A Ha Ka Ba Pa Na Wa Ga Ja Da Ra Ma Ta Sa Ya Nga La Ca
Ca
Nda Ba I I
Angkola
Mandailing
A Ha Ka Ba Pa Na
Na
Wa Ga Ra Ma Ta Sa
Sa
Ya La Nya Ca
A
Pakpak A Ha Ka Ba Pa Na Wa Ga Ra Ma Ta Sa Ya La Ca
Simalungun A Ha Ka Ba Pa Na Wa Ga Ra Ma Ta Sa Ya La Nya
Toba A Ha Ka Ba Pa Na Wa
Wa
Ga Ra Ma Ta
Ta
Sa Ya La Nya

Bentuk-bentuk di atas merupakan bentuk yang digeneralisasi, tidak jarang suatu naskah menggunakan varian bentuk aksara atau tarikan garis yang sedikit berbeda antara satu sama lainnya, tergantung dari daerah asal dan media yang digunakan.[41]

Aksara i () dan u () hanya digunakan untuk suku kata terbuka, misal pada kata ina ᯤᯉ dan ulu ᯥᯞᯮ. Untuk suku kata tertutup yang diawali dengan bunyi i atau u, digunakanlah aksara a ( atau ) bersama diaktirik untuk masing-masing vokal, misal pada kata indung ᯀᯉᯪ᯲ᯑᯮᯰ dan umpama ᯀᯔᯮ᯲ᯇᯔ.[42]

Kalender Batak

Nama bulan[butuh rujukan]
No Penanggalan (Toba) Penanggalan (Karo) Lama Hari
1 Sipaha sada Paka sada (Kambing) 30
2 Sipaha dua Paka dua (Lembu) 29
3 Sipaha tolu Paka telu (Gaya) 30
4 Sipaha opat Paka empat (Padek) 29
5 Sipaha lima Paka lima (Arimo) 30
6 Sipaha onom Paka enem (Kuliki) 29
7 Sipaha pitu Paka pitu (Kayu) 30
8 Sipaha ualu Paka waluh (Tambok) 29/30
9 Sipaha sia Paka siwah (Gayo) 29/30
10 Sipaha sampulu Paka sepuluh (Baluat) 29
11 Sipaha li Paka sepuluh sada (Batu) 30
12 Sipaha hurung Paka sepuluh dua (Binurung) 29
13 Lamadu (30)
Total 353–355/(383–384)
Penanggalan[butuh rujukan]
Hari Penamaan hari (Toba) Penamaan hari (Karo) Penamaan hari (Simalungun)
1 Aditia Aditia Aditia
2 Suma Suma Suma
3 Anggara Nggara Anggara
4 Muda Budaha Mudaha
5 Boraspati Beraspati Boraspati
6 Singkora Cukra Enem Berngi Sihora
7 Samisara Belah Naik Samisari
8 Artia ni Aek Aditia Naik Aditia Turun
9 Suma ni Mangadop Suma Siwah Suma ni Siah
10 Anggara Sampulu Nggara Sepuluh Anggara ni Sapuluh
11 Muda ni Mangadop Budaha Ngadep Mudaha ni Mangadop
12 Boraspati ni Mangadop Beraspati Tangkep Boraspati ni Takkop
13 Singkora ni Purnama Cukra Dudu (Lau) Sihora Duduk (Bah)
14 Samisuru ni Purasa Belah Purnama Raya Samisara Purnama Raya
15 Tula Tula Tula
16 Suma ni Holom Suma Cepik Suma ni Holom
17 Anggara ni Holom Nggara Enggo Tula Anggara ni Tula
18 Muda ni Holom Budaha Gok Mudaha (Gok)
19 Boraspati ni Holom Beraspati 19 Boraspati 19
20 Singkora Maraturun Cukra Si 20 Sihorasi 20
21 Samisara Maraturun Belah Turun Samisara Maraturun
22 Aditia ni Angga Aditia Turun Aditia Turun
23 Suma ni Mate Sumana Mate Suma ni Mate
24 Anggara ni Begu Nggara Simbelin Anggarana (Bod)
25 Muda ni Mate Budaha Medem Mudaha (Bod)
26 Boraspati ni Gok Beraspati Medem Boraspati (Bod)
27 Singkora Dudu Cukrana Mate Sihora 27
28 Samisara Bulan Mate Mate Bulan Matei ni Bulan
29 Hurung Dalin Bulan Dalan ni Bulan
30 Ringkar Sami Sara Rikkar

Salam khas Batak

Tiap etnis Batak memiliki salam khasnya masing masing. Beberapa salam yang biasa dituturkan oleh tiap etnis adalah:[butuh rujukan]

  1. Angkola dan Mandailing: “Horas Tondi Madingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur Matua Bulung!”
  2. Karo: “Mejuah-juah Kita Krina!”
  3. Pakpak: “Njuah-juah Mo Banta Karina!”
  4. Simalungun: “Horas banta Haganupan, Salam Habonaran Do Bona!”
  5. Toba: “Horas Jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna!” atau "Horas Tondi Matogu, Pir Ma Tondi Madingin!"

Kontroversi

Sebagian orang Karo, Mandailing, dan Pakpak ada yang tidak mengakui dirinya sebagai bagian dari suku Batak. Meski sebagian yang lain masih mengakui dirinya bagian dari suku Batak, namun wacana penolakan identitas tersebut sempat muncul dikarenakan kategori "Batak" dipandang primitif oleh etnis lain. Menurut Daniel Perret, penolakan ini juga disebabkan oleh adanya perbedaan agama, karakter, serta tingkat pendidikan di kalangan orang-orang Tapanuli.[14] Di pesisir timur laut Sumatra, khususnya di Kota Medan, perpecahan ini sangat terasa. Terutama dalam hal pemilihan pemimpin politik dan perebutan sumber-sumber ekonomi.

Sumber lainnya menyatakan bahwa kata "Batak" berasal dari rencana Gubernur Raffles yang membuat etnik Kristen yang berada diantara Kesultanan Aceh dan Kerajaan Minangkabau yang muslim, di wilayah pedalaman Barus, yang dinamakan Batak. Generalisasi kata "Batak" terhadap etnik Mandailing, umumnya tak dapat diterima oleh keturunan asli wilayah tersebut. Demikian juga di Angkola dan Karo, yang terdapat banyak pengungsi muslim yang berasal dari wilayah sekitar Danau Toba dan Samosir, akibat pelaksanaan dari pembuatan Afdeling Bataklanden oleh pemerintah Hindia Belanda, yang melarang penduduk muslim bermukim di wilayah tersebut.[butuh rujukan]

Konflik terbesar adalah pertentangan antara masyarakat bagian utara Tapanuli dengan selatan Tapanuli, mengenai identitas Batak dan Mandailing. Bagian utara menuntut identitas Batak untuk sebagain besar penduduk Tapanuli, bahkan juga wilayah-wilayah di luarnya. Sedangkan bagian selatan menolak identitas Batak, dengan bertumpu pada unsur-unsur budaya dan sumber-sumber dari Barat. Penolakan masyarakat Mandailing yang tidak ingin disebut sebagai bagian dari etnis Batak, sempat mencuat ke permukaan dalam kasus syarikat Tapanuli (1919-1922), kasus pekuburan Sungai Mati (1922),[43] dan kasus pembentukan Provinsi Tapanuli (2008–2009).[44]

Dalam Sensus Penduduk tahun 1930 dan 2000, pemerintah mengklasifikasikan Angkola, Karo, Mandailing, Pakpak, Simalungun, dan Toba sebagai etnis Batak.[45]

Pakaian

Pada kunjungan misionaris dari Baptist Missionary Society yaitu Nathan Ward, Evans Meers, dan Richard Burton di abad ke-19, mereka bertiga mencatat pakaian yang dipakai oleh warga pedalaman Batak dalam jurnalnya. Jurnal tersebut menjelaskan bahwa lelaki dari suku ini memakai dua jenis pakaian dengan garis-garis yang memiliki beragam warna berukuran dua setengah yard. Satu pakaian diikat di pinggang menggunakan ikat pinggang yang teruntai hingga di kaki dan satunya lagi dipakai dengan agak longgar melewati pundak sebagai sebuah syal.

Ada perbedaan pakaian antara kepala suku dan orang biasa, dimana pakaian yang digunakan oleh kepala suku memiliki umbai dengan bordir yang tebal di ujungnya serta dijahit dengan rapi menggunakan jarum. Kepala suku juga menggunakan anting berbahan dasar emas. Sedangkan warga biasa hanya memakai bumban yang terbuat dari ranting atau dedaunan semak yang mengelilingi bagian kepala di atas telinga dan bertelanjang dada. Untuk orang-orang yang dituakan selain kepala suku, mereka mengunakan pakaian berwarna biru atau putih dengan ukuran 5 hasta yang diikat seperti kepala suku yang ujungnya menonjol hingga ke kedua telinga.

Perempuan di suku ini tidak memiliki atasan bila sudah menikah, dan hanya pakaian yang menutupi selangkangannya. Untuk perempuan yang belum menikah, mereka memiliki tambahan pakaian yang menutup dada mereka, tetapi kebiasaan ini berkebalikan dengan orang-orang yang berada di dekat Danau Toba karena wanita yang belum menikah tidak menggunakan penutup untuk dada mereka, sedangkan yang sudah menikah harus ditutup. Anak perempuan kepala suku terkadang memiliki kawat kuningan yang berada di pergelangan tangannya dan beberapa kalung manik-manik di sekitar lehernya untuk menandakan bahwa dia belum menikah. Anak-anak dibiarkan telanjang hingga berumur 6- 8 tahun.[32]

Catatan

  1. ^ Termasuk di dalamnya, Batak Pardembanan.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ "Aris Ananta, Evi Nurvidya Arifin, M Sairi Hasbullah, Nur Budi Handayani, Agus Pramono. Demography of Indonesia's Ethnicity. Singapore: ISEAS: Institute of Southeast Asian Studies. p. 271.". 2015. 
  2. ^ Sarumpaet, J.P. (1988). Bibliografi Batak. Melbourne: Sahata Publications. hlm. vii. ISBN 978-095-8786-51-5. 
  3. ^ Peter Bellwood, Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago, Revised edition, University of Hawaii Press, Honolulu, 1997
  4. ^ Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. 
  5. ^ E. Mc Kinnon, "New Light on Indianization of the Karo-Batak" in: Carle, R. (ed). Cultures and Societies of North Sumatra. Berlin: Dietrich Reimer Verlag, 1987
  6. ^ a b Dobbin, Christine. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi, Minangkabau 1784 – 1847. 
  7. ^ "XXVI. Report of a Journey into the Batak Country, in the interior of Sumatra, in the year 1824. By Messrs. BURTON and WARD, Baptist Missionaries. Communicated by the late Sir STAMFORD RAFFLES, Kt.". Transactions of the Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland (dalam bahasa Inggris). Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland: The Society. 22 April 1826. hlm. 495. 
  8. ^ Jane Drakard, Malay Frontier: Unity and Duality in a Sumatran Kingdom, 1988
  9. ^ Fadila, Zikri (2018). PENERBITAN MINANGKABAU MASA KOLONIAL: Sejarah Penerbitan Buku di Fort de Kock (Bukittinggi) 1901-1942. Gre Publishing. ISBN 978-602-7677-59-3. 
  10. ^ Hans Van Miert (2003). Dengan Semangat Berkobar. Hasta Mitra-Pustaka Utan Kayu-KITLV. hlm. 475. ISBN 9799665736. 
  11. ^ Liddle, R.W (1970). Ethnicity, party, and national integration: an Indonesian case study. New Haven: Yale University Press. 
  12. ^ Castles, L. Statelesness and Stateforming Tendencies Among the Batak before Colonial Rule. Kuala Lumpur: Monograph no 6 of MBRAS. hlm. 67-66. 
  13. ^ Tahi Bonar Simatupang, Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos: Menelusuri Makna Pengalaman Seorang Prajurit Generasi Pembebas Bagi Masa Depan Masyarakat, Bangsa dan Negara; Pustaka Sinar Harapan, 1991
  14. ^ a b Daniel Perret, La Formation d'un Paysage Ethnique: Batak et Malais de Sumatra Nord-Est, Paris: EFEO, 1995
  15. ^ Cut Nuraini, Permukiman suku Batak Mandailing, 2004
  16. ^ Dada Meuraxa, Sejarah Kebudayaan Suku-suku di Sumatera Utara, 1973
  17. ^ Tideman, J. Hindoe-Invloed in Noordelijk Batakland. Amsterdam: Uitgave van het Bataksche Institut no 23. hlm. 56. 
  18. ^ "Kewarganegaraan Suku Bangsa, Agama, Bahasa 2010" (PDF). demografi.bps.go.id. Badan Pusat Statistik. 2010. hlm. 23, 31, 36–41. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-07-12. Diakses tanggal 28 Oktober 2021. 
  19. ^ a b Tuuk, H. N. van der, Bataksch Leesbok, Stukken in het Mandailingsch; Stukken in het Dairisch. Amsterdam, 1861.
  20. ^ Kipp, 1990.
  21. ^ Burton, R. and Ward, N., "Report of a Journey into the Batak Country, in the interior of Sumatra, in the year 1824." Transactions of the Royal Asiatic Society, London 1:485-513.
  22. ^ "Missionaries: The Martyrs of Sumatra," in The Most of It: Essays on Language and the Imagination. by Theodore Baird, Amherst, Mass.: Amherst College Press, 1999.
  23. ^ "Voorma, H.O. The Encounter of the Batak People with Rheinische Missions-Gesellschaft in the Field of Education, 1861-1940, A Historical-Theological Inquiry. (2000), p. 173." (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2003-04-18. Diakses tanggal 2010-04-16. 
  24. ^ Ooi KG. Southeast Asia: A Historical Encyclopedia, from Angkor Wat to East Timor. Santa Barbara, Calif.: ABC-CLIO, 2004.
  25. ^ Sherman, George, Rice, Rupees and Ritual, Cornell University Press, Ithaca, NY 1990.
  26. ^ "Kushnick, G. "Parent-Offspring Conflict Among the Karo of Sumatra," Doctoral dissertation, University of Washington, Seattle, 2006, p. 7" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2011-03-31. Diakses tanggal 2010-04-19. 
  27. ^ Polo M, Yule H, Cordier H. The Travels of Marco Polo: The Complete Yule-Cordier Edition, Dover Pubns, 1993, Vol. II, Chapter X, p. 366.
  28. ^ The Travels of Nicolò Conte [sic] in the East in the Early Part of the Fifteenth Century Hakluyt Society xxii (London, 1857)
  29. ^ Sibeth A, Kozok U, Ginting JR. The Batak: Peoples of the Island of Sumatra: Living with Ancestors. New York: Thames and Hudson, (1991) p. 16.
  30. ^ William Marsden, History of Sumatra: Containing an Account of the Government, Laws, Customs, and Manners of the Native Inhabitants; 1784
  31. ^ Greatheed, Samuel; Parken, Daniel; Williams, Theophilus; Conder, Josiah; Price, Thomas; Ryland, Jonathan Edwards; Hood, Edwin Paxton (1826). The Eclectic Review (dalam bahasa Inggris). C. Taylor. hlm. 428. 
  32. ^ a b "XXVI. Report of a Journey into the Batak Country, in the interior of Sumatra, in the year 1824. By Messrs. BURTON and WARD, Baptist Missionaries. Communicated by the late Sir STAMFORD RAFFLES, Kt.". Transactions of the Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland (dalam bahasa Inggris). Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland: The Society. 22 April 1826. hlm. 496–497. 
  33. ^ Nigel Barley (ed.), The Golden Sword: Stamford Raffles and the East, British Museum Press, 1999 (exhibition catalogue). ISBN 0-7141-2542-3.
  34. ^ Barley N. The Duke of Puddle Dock: Travels in the Footsteps of Stamford Raffles. 1st American ed. New York: H. Holt, 1992, p. 112.
  35. ^ Junghuhn, F., Die Batta-länder auf Sumatra, (1847) Vol. II, p. 249.
  36. ^ Junghuhn, p. 87
  37. ^ Von Kessel, O., "Erinnerungen an Sumatra," Das Ausland, Stuttgart (1854) 27:905-08.
  38. ^ Pfeiffer, Ida, A Lady's Second Journey Around the World: From London to the Cape of Good Hope, Borneo, Java, Sumatra, Celebes, Ceram, the Moluccas, etc., California, Panama, Peru, Ecuador, and the United States. New York, Harper & Brothers, 1856, p. 151.
  39. ^ Sibeth, p. 19.
  40. ^ Kipp RS. The early years of a Dutch Colonial Mission: the Karo Field. Ann Arbor: University of Michigan Press, 1990.
  41. ^ Kozok 2009.
  42. ^ Kozok 1999, hlm. 109.
  43. ^ Perret, Daniel. La Formation d'un Paysage Ethnique: Batak & Malais de Sumatra Nord-Est. Paris: École Française d'Extrême-Orient. hlm. 316-325. 
  44. ^ Bungaran Antonius Simanjuntak, ‎Khairul Ikhwan Damanik, ‎Elfian Lubis; Otonomi Daerah, Etnonasionalisme, dan Masa Depan Indonesia; 2010
  45. ^ (Inggris) Leo Suryadinata, Evi Nurvidya arifin, Aris Ananta, Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape, Institute of Southeast Asian Studies, Singapura, hal.48.

Daftar pustaka